Anda di halaman 1dari 7

(Abraham David Mandey = Ahmad Dzulkiffi Mandey)

Saya terlahir dengan nama Abraham David di Manado, 12 Februari 1942. Sedangkan,
Mandey adalah nama fam (keluarga) kami sebagai orang Minahasa, Sulawesi Utara. Saya
anak bungsu dan tiga bersaudara yang seluruhnya laki-laki. Keluarga kami termasuk
keluarga terpandang, baik di lingkungan masyarakat maupun gereja. Maklum, ayah saya
yang biasa kami panggil papi, adalah seorang pejabat Direktorat Agraria yang merangkap
sebagai Bupati Sulawesi pada awal revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang
berkedudukan di Makasar. Sedangkan, ibu yang biasa kami panggil mami, adalah
seorang guru SMA di lingkungan sekolah milik gereja Minahasa.

Sejak kecil saya kagum dengan pahlawan-pahlawan Perang Salib seperti Richard Lion
Heart yang legendaris. Saya juga kagum kepada Jenderal Napoleon Bonaparte yang
gagah perwira. Semua cerita tentang kepahlawanan, begitu membekas dalam batin saya
sehingga saya sering berkhayal menjadi seorang tentara yang bertempur dengan gagah
berani di medan laga.

Singkatnya, saya berangkat ke Jakarta dan mendaftar ke Mabes ABRI. Tanpa menemui
banyak kesulitan, saya dinyatakan lulus tes. Setelah itu, saya resmi mengikuti pendidikan
dan tinggal di asrama. Tidak banyak yang dapat saya ceritakan dari pendidikan militer
yang saya ikuti selama 2 tahun itu, kecuali bahwa disiplin ABRI dengan doktrin “Sapta
Marga”-nya telah menempa jiwa saya sebagai perwira remaja yang tangguh, berdisiplin,
dan siap melaksanakan tugas negara yang dibebankan kepada saya.

Meskipun dipersiapkan sebagai perwira pada bagian pembinaan mental, tetapi dalam
beberapa operasi tempur saya selalu dilibatkan. Pada saat-saat operasi pembersihan G-
30S/PKI di Jakarta, saya ikut bergabung dalam komando yang dipimpin Kol. Sarwo
Edhie Wibowo (almarhum).

Setelah situasinegara pulih yang ditandai dengan lahirnya Orde Baru tahun 1966, oleh
kesatuan saya ditugaskan belajar ke STT (Sekolah Tinggi Teologi) milik gereja Katolik
yang terletak di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Di STI ini, selama 5 tahun (1966-1972)
saya belajar, mendalami, mengkaji, dan diskusi tentang berbagai hal yang diperlukan
sebagai seorang pendeta. Di samping belajar sejarah dan filsafat agama Kristen. STT juga
memberikan kajian tentang sejarah dan filsafat agama-agama di dumia, termasuk studi
tentang Islam.

Menjadi Pendeta.

Sambil tetap aktif d TNI-AD, oleh Gereja Protestan Indonesia saya ditugaskan menjadi
Pendeta II di Gereja P***** (edited) di Jakarta Pusat, bertetangga dengan Masjid Sunda
Kelapa. Di gereja inilah, selama kurang lebih 12 tahun (1972-1984) saya memimpin
sekitar 8000 jemaat yang hampir 80 persen adalah kaum intelektual atau masyarakat elit.

Di Gereja P***** (edited) ini, saya tumpahkan seluruh pengabdian untuk pelayanan
firman Tuhan. Tugas saya sebagai Pendeta II, selama memberikan khutbah, menyantuni
jemaat yang perlu bantuan atau mendapat musibah, juga menikahkan pasangan muda-
mudi yang akan berumah tangga.

Kendati sebagai pendeta, saya juga anggota ABRI yang harus selalu siap ditugaskan di
mana saja di wilayah Nusantara. Sebagai perwira ABRI saya sering bertugas ke seluruh
pelosok tanah air Bahkan, ke luar negeri dalam rangka tugas belajar dari markas, seperti
mengikuti kursus staf Royal Netherland Armed Forces di Negeri Belanda. Kemudian,
pada tahun 1969 saya ditugaskan untuk mengikuti Orientasi Pendidikan Negara-negara
Berkembang yang disponsoni oleh UNESCO di Paris, Prancis.

Dilema Rumah Tangga

Kesibukkan saya sebagai anggota ABRI ditambah tugas tugas gereja, membuat saya
sibuk luar biasa. Sebagaipendeta, saya lebih banyak memberikan perhatian kepada
jemaat. Sementara,kepentingan pribadi dan keluarga nyaris tergeser. Istri saya, yang putri
mantan Duta Besar RI di salah satu negara Eropa, sering mengeluh dan menuntut agar
saya memberikan perhatian yang lebih banyak buat rumah tangga.

Tetapi yang namanya wanita, umumnya lebih banyak berbicara atas dasar perasaan.
Karena melihat kesibukan saya yang tidak juga berkurang, ia bahkan meminta agar saya
mengundurkan diri dan tugas-tugas gereja, dengan alasan supaya lebih banyak waktu
untuk keluarga. Tenth saja saya tidak dapat menerima usulannya itu. Sebagai seorang
“Pelayan Firman Tuhan” saya telah bersumpah bahwa kepentingan umat di atas
segalanya.

Problem keluarga yang terjadi sekitar tahun 1980 ini kian memanas, sehingga bak api
dalam sekam. Kehidupan rumah tangga saya, tidak lagi harmonis. Masalah-masalah yang
kecil dan sepele dapat memicu pertengkaran. Tidak ada lagi kedamaian di rumah. Saya
sangat mengkhawatirkan Angelique, putri saya satu-satunya. Saya khawatir
perkembangan jiwanya akan terganggu dengan masalah yang ditimbulkan kedua orang
tuanya. Oleh karenanya, saya bertekad harus merangkul anak saya itu agar ia mau
mengerti dengan posisi ayahnya sebagai pendeta yang bertugas melayani umat. Syukur,
ia mau mengerti. Hanya Angeliquelah satu-satunya orang di rumah yang menyambut
hangat setiap kepulangan saya.

Dalam kesunyian malam saat bebas dan tugas-tugas gereja, saya sering merenungkan
kehidupan ramah tangga saya sendiri. Saya sering berpikir, buat apa saya menjadi
pendeta kalau tidak mampu memberikan kedamaian dan kebahagiaan buat rumah
tangganya sendiri. Saya sering memberikan khutbah pada setiap kebaktian dan
menekankan hendaknya setiap umat Kristen mampu memberikan kasih kepada sesama
umat manusia. Lalu, bagaimana dengan saya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu semakin membuat batin saya resah. Saya mencoba
untuk memperbaiki keadaan. Tetapi, semuanya sudah terlambat. Istri saya bahkan terang
terangan tidak mendukung tugas-tugas saya sebagai pendeta. Saya benar-benar
dilecehkan. Saya sudah sampal pada kesimpulan bahwa antara kami berdua sudah tidak
sejalan lagi.

Lalu, untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak saling sejalan? Ketika
niat saya untuk “melepas” istri, saya sampaikan kepada sahabat-sahabat dekat saya
sesama pendeta, mereka umumnya menyarankan agar saya bertindak lebih bijak. Mereka
mengingatkan saya, bagaimana mungkin seorang pendeta yang sering menikahkan
seseorang, tetapi ia sendiri justru menceraikan istrinya? Bagaimana dengan citra pendeta
di mata umat? Begitu mereka mengingatkan.

Apa yang mereka katakan semuanya benar. Tetapi, saya sudah tidak mampu lagi
mempertahankan bahtera rumah tangga. Bagi saya yang terpenting saat itu bukan lagi
persoalan menjaga citra pendeta. Tetapi, bagaimana agar batin saya dapat damai.
Singkatnya, dengan berat hati saya terpaksa menceraikan istri saya. Dan, Angelique, putri
saya satu-satunya memilih ikut bersama saya.

Mencari Kedamaian

Setelah kejadian itu, saya menjadi lebih banyak melakukan introspeksi. Saya menjadi
lebih banyak membaca literatur tentang filsafat dan agama. Termasuk kajian tentang
filsafat Islam, menjadi bahan yang paling saya sukai. Juga mengkaji pemikiran beberapa
tokoh Islam yang banyak dilansir media massa.

Salah satunya tentang komentar K.H. E.Z. Muttaqin (almarhum) terhadap krisis perang
saudara di Timur Tengah, seperti diYerusalem dan Libanon. Waktu itu (tahun 1983),
K.H.E.Z. Muttaqin mempertanyakan dalam khutbah Idul Fitrinya, mengapa Timur
Tengah selalu menjadi ajang mesiu dan amarah, padahal di tempat itu diturunkan para
nabi yang membawa agama wahyu dengan pesan kedamaian?

Saya begitu tersentuh dengan ungkapan puitis kiai dan Jawa Barat itu. Sehingga, dalam
salah satu khutbah saya di gereja, khutbah Idul Fitni K.H. E.Z. Muttaqin itu saya
sampaikan kepada para jemaat kebaktian. Saya merasakan ada kekagetan di mata para
jemaat. Saya maklum mereka terkejut karena baru pertama kali mereka mendengar
khutbah dari seorang pendeta dengan menggunakan referensi seorang kiai Tetapi, bagi
saya itu penting, karena pesan perdamaian yang disampaikan beliau amat manusiawi dan
universal.

Sejak khutbah yang kontroversial itu, saya banyak mendapat sorotan. Secara selentingan
saya pemah mendengar “Pendeta Mandey telah miring.” Maksudnya, saya dinilai telah
memihak kepada salah satu pihak. Tetapi, saya tidak peduli karena yang saya sampaikan
adalah nilai-nilai kebenaran.

Kekaguman saya pada konsep perdamaian Islam yank diangkat oleh KH. E.Z. Muttaqin,
semakin menarik saya lebih kuat untuk mendalami konsepsi-konsepsi Islam lainnya.
Saya ibarat membuka pintu, lalu masuk ke dalamnya, dan setelah masuk, saya ingin
masuk lagi ke pintu yang lebih dalam. Begitulah perumpamaannya. Saya semakin
“terseret” untuk mendalami, konsepsi Islam tentang ketuhanan dan peribadahan

Saya begitu tertarik dengan konsepsi ketuhanan Islam yang disebut “tauhid”. Konsep itu
begitu sederhana, lugas, dan tuntas dalam menjelaskan eksistensi Tuhan yang oleh orang
Islam disebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga, orang yang paling awam sekalipun
akan mampu mencemanya. Berbeda dengan konsepsi ketuhanan Kristen yang disebut
Trinitas. Konsepsi ini begitu rumit, sehingga diperlukan argumentasi ilmiah untuk
memahaminya.

Akan halnya konsepsi peribadatan Islam yang disebut syariat, saya melihatnya begitu
teratur dan sistematis. Saya berpikir seandainya sistemper ibadatan yang seperti ini benar
benar diterapkan, maka dunia yang sedang kacau ini akan mampu di selamatkan.

Pada tahun 1982 itulah saya benar-benar mencoba mendekati Islam. Selama satu
setengah tahun saya melakukar konsultasi dengan K.H. Kosim Nurzeha yang juga aktif di
Bintal (Pembinaan Mental) TNI-AD. Saya memang tidak ingin gegabah dan tergesa-gesa,
karena di samping saya seorang pendeta, saya juga seorang perwira Bintal Kristen
dilingkungan TNI-AD. Saya sudah dapat menduga apa yang akan terjadi seandainya saya
masuk Islam.

Tetapi, suara batin saya yang sedang mencari kebenaran dan kedamaian tidak dapat
diajak berlama-lama dalam kebimbangan. Batin saya mendesak kuat agar saya segera
meraih kebenaran yang sudah saya temukan itu.

Oh, ya, di samping Pak Kosim Nurzeha, saya juga sering berkonsultasi dengan kolega
saya di TNI-AD. Yaitu, Dra. Nasikhah M., seorang perwira Kowad (Korps.Wanita
Angkatan Darat) yang bertugas pada BAIS (Badan Intelijen dan Strategi) ABRI.

Ia seorang muslimah lulusan UGM (Universilas Gajah Mada) Yogyakarta, jurusan


filsafat. Kepadanya saya sering berkonsultasi tentang masalah-masalah pribadi dan
keluarga. Ia sering memberi saya buku-buku bacaan tentang pembinaan pribadi dan
keluarga dalam Islam. Saya seperti menemukan pegangan dalam kegundahan sebagai
duda yang gagal dalam membina rumah tangganya.

Akhirnya, saya semakin yakin akan hikmah dibalik drama rumah tangga saya. Saya yakin
bahwa dengari jalan itu, Tuhan ingin membimbing saya ke jalan yang lurus dan benar.
Saya bertekad, apa pun yang terjadi saya tidak akan melepas kebenaran yang telah saya
raih ini.

Akhimya, dengan kepasrahan yang total kepada Tuhan, pada tanggal 4 Mei 1984 saya
mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat dengan bimbingan Bapak K.H. Kosim Nurzeha
dan saksi Drs. Farouq Nasution di Masjid Istiqial. Allahu Akbar. Hari itu adalah hari
yang amat bersejarah dalam hidup saya. Han saat saya menemukan diri saya yang sejati.

Menghadapi Teror
Berita tentang keislaman saya ternyata amat mengejutkan kalangan gereja, termasuk di
tempat kerja saya di TNI-AD. Wajar, karena saya adalah Kepala Bintal (Pembinaan
Mental)Kristen TNI-AD dan di gereja, saya adalah pentolan.

Sejak itu saya mulai memasuki pengalaman baru, yaitu menghadapi tenor dan berbagai
pihak. Telepon yang bernada ancaman terus berdening. Bahkan, ada sekelompok pemuda
gereja di Tanjung Priok yang bertekad menghabisi nyawa saya, karena dianggapnya telah
murtad dan mempermalukan gereja.

Akan halnya saya, di samping menghadapi teror, juga menghadapi persoalan yang
menyangkut tugas saya di TNI AD. DGI (Dewan Gereja Indonesia), bahkan menginim
surat ke Bintal TNT-AD, meminta agar saya dipecat dan kedinasan dijajaran ABRl dan
agar saya mempertanggungjawabkan perbuatan saya itu di hadapan majelis gereja.

Saya tidak penlu menjelaskan secara detail bagaimana proses selanjutnya, karena itu
menyangkut rahasia Mabes ABRI. Yang jelas setelah itu, saya menerima surat ucapan
tenima kasih atas tugas-tugas saya kepada negara, sekaligus pembebastugasan dan
jabatan saya di jajaran TNT-AD dengan pangkat akhir Mayor.

Tidak ada yang dapat saya ucapkan, kecuali tawakal dan ménerima dengan ikhlas
semua yang tenjadi pada diri saya. Saya yakin ini ujian iman.

Saya yang terlahir dengan nama Abraham David Mandey, setelah muslim menjadi
Ahmad Dzulkiffi Mandey, mengalami ujian hidup yang cukup berat. Alhamdulillah,
berkat kegigihan saya, akhirnya saya diterima bekerja di sebuab perusahaan swasta.
Sedikit demi sedikit kanin saya terus menanjak. Setelah itu, beberapa kali saya pindah
kerja dan menempati posisi yang cukup penting. Saya pennah menjadi Manajer Divisi
Utama FT Putera Dharma. Pernah menjadi Personel/General Affairs Manager Hotel
Horison, tahun 1986-1989, Dan, sejak tahun 1990 sampai sekarang saya bekerja di
sebuah bank terama di Jakarta sebagai Safety & Security Coordinator.

Kini, keadaan saya sudah relatif baik, dan saya sudah meraih semua kebahagiaan yang
selama sekian tahun saya rindukan. Saya sudah tidak lagi sendiri, sebab Dra. Nasikhah
M, perwira Kowad itu, kini menjadi pendamping saya yang setia, insya Allah selama
hayat masih di kandung badan. Saya menikahinya tahun 1986. Dan, dan perikahan itu
telah lahir seorarig gadis kedil yang manis dan lucu, namariya Achnasya. Sementara,
Angelique, putri saya dari istri pertama, sampai hari ini tetap ikut bersama saya,
meskipun ia masih tetap sebagai penganut Protestan yang taat.

Kebahagiaan saya semakin bertambah lengkap, tatkala saya mendapat kesempatan


menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama istri tercinta pada tahun 1989.

dan membuatnya memeluk Islam


Hidayatullah.com--Satu ketika di hari
Jumat, jarum jam menunjukkan pukul 10
pagi jelang masuknya waktu shalat,
seorang pemuda China tampak
mendekati mesjid agung Beijing, China.
Jang nama pemuda itu, berdiri sejenak
persis di pintu gerbang masuk mesjid.
Dia terlihat seperti ragu-ragu untuk
melangkahkan kakinya lebih lanjut.
Matanya tertumpu pada tulisan yang
tergantung di gerbang, yang berbunyi
“Muslims Only". Tanda peringatan itu
ditulis dalam tiga bahasa, China, Inggris dan Arab.

Di tengah keragu-raguan itu, dia akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam mesjid.
Batinnya seakan membawa sebuah beban berat.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanya imam mesjid ramah. "Saya mau menjadi seorang
muslim, Pak," sahut Jang dengan nada bergetar. Sang imam tersenyum penuh simpatik.
Lalu dia mengajak Jang masuk ke dalam ruangan kantor yang terletak menyatu dengan
mesjid.

Lalu pengurus mesjid memberi Jang tiga buah brosur tentang Islam, agar dia sedikit
paham sebelum memeluk Islam. Tapi serta merta mereka sangat terkejut ketika Jang
memberitahukan bahwa dia tidak butuh brosur. Bahkan, kata Jang, dia telah mempelajari
Islam dengan membaca bermacam buku.

Guna meyakinkan para pengurus mesjid, Jang mengajak mereka diskusi tentang apa saja
yang telah diketahuinya. Alhasil, salah seorang pengurus menghampirinya dan
melafalkan dua kalimah syahadah. Serta merta Jang pun mengikuti petunjuk sang imam.

Awalnya karena babi

Jang, yang kini telah menjadi mualaf mengganti namanya menjadi Salim. Lalu dia
menceritakan kisah perjalanannya mencari Islam.

"Semuanya bermula dari masalah babi," kata dia sembari tersenyum. Sebagaimana
diketahui Islam melarang para penganutnya untuk mengkonsumsi babi. Jang heran dan
ingin tahu lebih detail kenapa babi dilarang dalam Islam.

"Saya lalu mempelajari hal itu dengan serius. Berbagai majalah kesehatan, demikian juga
aneka rupa buku saya cari untuk mencari jawabnya," kisah Jang.

Dari hasil studi itu, diketahui bahwa babi merupakan hewan omnivora atau hewan
pemakan segala jenis makanan. Tidak seperti sapi atau kambing yang hanya makan jenis
tetumbuhan saja.
Beberapa peneliti juga menyebutkan bahwa makan babi dapat menyebabkan tidak kurang
dari tujuh puluh macam jenis penyakit berbeda. Jang makin yakin Islam adalah agama
yang benar.

"Bahkan saya juga menemukan hal yang sama di dalam pengobatan tradisonal China. Di
sana disebutkan babi sangat tdak dianjurkan dijadikan sebagai makanan dan begitu pula
mengolahnya menjadi sbahan baku produk-produk seperti kesehatan, kosmetik dan
lainnya sangat dilarang," sebut Salim.

Berdasarkan data sejarah, Islam datang ke China melalui perantaraan pedagang muslim di
era Dinasti Tang, sekitar 1300 tahun silam. Namun ada juga sejarah yang tergolong sahih
menyebut bahwa Islam dibawa oleh sahabat Nabi Muhammad bernama Saad bin Abi
Waqqas. Saat ini komunitas umat Islam di China ada sekitar 30 juta jiwa. Mereka
sebagian besar berdiam di kawasan Xinjiang, Ningxia, dan Kashgar. Walahu 'alam
bisshawab. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

Anda mungkin juga menyukai