Anda di halaman 1dari 3

Gugatan Actio Popularis dan Batas Kewenangan Hakim

Hukum acara perdata atau hukum perdata formal adalah hukum yang mengatur bagaimana
caranya melaksanakan hukum perdata materiil atau bagaimana caranya melaksanakan
tuntutan hak.?
Hukum atau peraturan yang mengatur cara melaksanakan tuntutan hak merupakan aturan
permainan (spelregels) dalam melaksanakan tuntutan hak itu. Sebagai aturan permainan
dalam melaksanakan tuntutan hak maka hukum acara perdata mempunyai fungsi yang
penting, sehingga harus bersifat strict, fixed, correct, pasti, tidak boleh disimpangi, dan harus
bersifat imperatif (memaksa). Hakim harus tunduk serta terikat padanya dan tidak boleh
bebas menafsirkannya, jangankan menggunakan atau mengadopsi lembaga hukum acara
dari luar.
Setiap orang tidak bebas mengajukan gugatan dengan cara yang dikehendakinya. Hakimlah
yang berkuasa dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara dengan tunduk pada
peraturan

hukum

acara

yang

ada

dan

tidak

menuruti

justiciabelen

(pencari

keadilan/penggugat) yang memilih sendiri caranya berperkara yang tidak/belum ada dasar
hukumnya.
Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengadopsi lembaga hukum acara asing (kecuali sudah
diatur dalam undang-undang), kecuali itu hakim dilarang menciptakan peraturan yang
mengikat secara umum (Pasal 21 AB). Janganlah hakim di-fait accompli atau dipaksa untuk
menerima atau menggunakan lembaga hukum acara perdata yang tidak diatur dalam
hukum positif kita (tidak diatur dalam undang-undang).
Hukum acara perdata mengatur hak dan kewajiban beracara yang bersifat prosedural (hak
untuk naik banding, kewajiban untuk mengajukan saksi) dan bukan bersifat substansial
seperti pada hukum perdata matenil (hak milik, kewajiban untuk melunasi hutang).
Kalau dalam Pasal 28 Undang-undang No 4 Tahun 2004 mengatakan bahwa hakim wajib
menggali hukumnya di dalam masyarakat, maka yang dimaksudkan adalah hukum
materiilnya (hukum yang mengatur hak dan kewajiban substansial), bukan hukum formil
(hukum yang mengatur hak dan kewajiban formil). ltupun, dalam menggali hukumnya, dalam
menemukan hukumnya, tidak asal mengadakan "terobosan", tetapi ada metode atau aturan
permainannya.
Asas dasar utama yang penting dalam hukum acara perdata kita adalah asas point d'interet
point d'action (Mertokusumo, 53: 2006), yang berarti bahwa barangsiapa mempunyai
kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak atau gugatan.

Kepentingan di sini bukan asal setiap kepentingan, tetapi kepentingan hukum secara
langsung, yaitu kepentingan yang dilandasi dengan adanya hubungan hukum antara
penggugat dan tergugat dan hubungan hukum itu langsung dialami sendiri secara konkrit
oleh penggugat.
Kalau semata-mata hanya "asal kepentingan" saja, maka dapat terjadi seorang isteri (C,
pihak ketiga) dari kreditur A (pihak kesatu) yang tidak mempunyai kepentingan langsung
dengan seorang debitur B (pihak kedua), yang mempunyai hutang kepada kreditur A (pihak
kesatu) tetapi tidak melunasi hutangnya, dapat menggugat debitur B tanpa adanya
kepentingan secara langsung, tanpa ada surat kuasa. Kepentingan hukum secara langsung,
hubungan sebab akibat, harus dialaminya sendiri. Kalau dimungkinkan setiap orang boleh
menggugat tanpa syarat adanya "kepentingan hukum yang langsung", maka dapat
dipastikan pengadilan akan kebanjiran gugatan-gugatan.
Asas penting lainnya dalam hukum acara perdata adalah asas actori incumbit probatio yang
berarti barangsiapa mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu peristiwa harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (Pasal 163 HIR). Penggugat harus membuktikan
adanya hubungan antara dirinya dengan hak atau kepentingan.
Di dalam praktik dikenal suatu cara mengajukan gugatan perdata yang disebut gugatan
perwakilan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dalam satu
perkara yang dilakukan oleh salah seorang anggota atau lebih dari kelompok tersebut tanpa
menyebut anggota kelompok satu demi satu. Gugatan semacam ini dikenal dengan acara
gugatan class action yang diadopsi dari sistem Anglosaks (Mertokusumo, 2006:71) dan
diatur dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dari sekian banyak perkara gugatan class action, sebagian besar tidak diterima (niet
ontvankelijk verklaard) oleh pengadilan dan patut patut dipertanyakan: Mengapa sebagian
besar gugatan class action tidak diterima oleh pengadilan? Diktum "tidak dapat diterima",
termasuk hukum acara perdata yang berarti bahwa putusan itu belum menyentuh pokok
perkara, baru menyentuh formalitas. Berarti bahwa syarat formal pengajuannya tidak
dipenuhi.
Akhir-akhir ini mulai marak diajukan tuntutan perdata yang dikenal dengan actio popularis
atau citizen lawsuit. Menurut Sjahdeini yang dimaksud dengan actio popularis adalah
prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepentingan umum secara perwakilan.
Gugatan dapat ditempuh dengan acuan bahwa setiap warga negara tanpa kecuali
mempunyai hak membela kepentingan umum (Sjahdeini, Suara Pembaharuan 8/9/2005).

Dengan demikian setiap anggota warga negara atas nama kepentingan umum dapat
menggugat negara atau pemerintah atau siapa saja yang yang melakukan perbuatan
melawan hukum, yang nyata-nyata merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan
masyarakat luas. Dalam actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi warga negara atas
nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil inisiatif
mengajukan gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian secara langsung,
dan juga tidak memerlukansurat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya.
Suatu contoh gugatan actio popularis adalah kasus demam berdarah, putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No 251/Pdt/G/t998 PN. Jkt. Pst, hakim dalam putusannya berpendapat
bahwa actio popularis harus diatur dalam undang-undang (Komisi Hukum Nasional,
Menggagas bentuk gugatan actio polularis), sedangkan perkara divestasi PT Indosat baik
dalam putusan tingkat pertama maupun dalam putusan banding dinyatakan tidak sah (Suara
Pembaharuan, Nasib gugatan "actio popularis" privatisasi Indosat). Dapat diinformasikan
bahwa action popularis di Negeri Belanda sejak I Juli 2005 telah dihapus (Stichting
Greenpeace Nederland).
Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah disimpulkan seperti berikut: (i) Peraturan hukum
acara perdata bersifat imperatif, yang berarti bersifat memaksa, tidak dapat disimpangi dan
hakim harus tunduk; (ii) Hakim tidak dapat menciptakan peraturan yang mengikat setiap
orang secara umum; (iii) Lembaga hukum acara perdata asing sepanjang belum ada
landasan undang-undangnya, demi kepastian hukum, tidak dapat diterapkan. Kebebasan
hakim tidaklah mutlak, tetapi dibatasi oleh undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan; (iv) Penemuan hukum yang sering dikatakan sebagai 'penerobosan' tidak dapat
asal saja dilakukan (menerobos), tetapi ada metode atau aturan permainannya. Kita harus
tetap taat asas.

Anda mungkin juga menyukai