Anda di halaman 1dari 10

2.?

Kelainan Pada Otot Rangka


2.?.? Kelalahan Pada Otot Rangka Akibat Lama, Aktivitas & Sikap Kerja
Beban sikap tubuh statis yang lama menjadi faktor yang utama dalam
kehidupan modern, yang menjadi penyebab nyeri otot rangka akibat kerja
(Chavalitsakulchai & Shahnavas,1992 dalam Susetyo,dkk., 2008). Sikap tubuh
seseorang pada waktu menjalankan tugas ditentukan oleh hubungan antara
dimensi berbagai objek kerja dan ruang kerja. Ketidakserasian ini selain akan
menyebabkan nyeri otot-otot rangka juga akan menyebabkan kelelahan. Di
Amerika Serikat keluhan nyeri otot-otot rangka merupakan salah satu penyakit
akibat kerja sehingga menyebabkan penderitaan tenaga kerja, penurunan
produktivitas dan kerugian ekonomi, penyebab kerja yang tidak alamiah sebagai
akibat tidak betulnya design tempat kerja (kursi dan meja) menyebabkan hampir
sebagian besar tenaga kerja menderita Musculosketal Disorder dan Low Back
Pain (Manuaba, 1995 dalam Susetyo,dkk., 2008).
Sistem kerja yang baik tidak terlepas dari work place (tempat kerja)
maupun langkah-langkah operasional tugas yang harus dilakukan dalam suatu
pekerjaan. Penataan tempat kerja beserta perlengkapan atau peralatan yang
digunakan maupun posisi tubuh pada saat bekerja akan sangat berpengaruh dalam
menciptakan suatu sistem kerja yang terintegrasi dengan baik. Melalui perbaikan
yang dilakukan, akan menjadikan suatu industri bisa berjalan dengan efektif dan
efisien. Meskipun perkembangan industri di dunia sudah maju dan segala
sesuatunya serba otomatis, tetapi penggunaan tenaga manusia secara manual
masih belum bisa dihindari secara keseluruhan. Dunia industri di Indonesia juga
masih banyak yang menggunakan tenaga manusia dalam hal penanganan material.
Kelebihan MMH (Manual Material Handling) bila dibandingkan dengan
penanganan material menggunakan alat bantu adalah fleksibilitas gerakan yang
dapat dilakukan untuk beban-beban ringan. Akan tetapi, aktivitas MMH
diidentifikasi berisiko besar sebagai penyebab utama penyakit tulang belakang
(Low Back Pain) (Astuti, 2007).
Menurut Luopajarvi (1990) dalam Astuti (2007), beban kerja yang berat,
postur kerja yang salah dan perulangan gerakan yang tinggi, serta adanya getaran

terhadap keseluruhan tubuh merupakan keadaan yang memperburuk penyakit


tersebut. Kondisi manusia dikatakan tidak aman bila kesehatan dan keselamatan
pekerja mulai terganggu. Dengan adanya kelelahan dan keluhan muskuloskeletal
merupakan salah satu indikasi adanya gangguan kesehatan dan keselamatan
pekerja. Pekerja sering mengeluh tubuh merasa nyeri atau sakit saat bekerja
maupun setelah bekerja. Studi tentang MSDs menunjukkan bahwa bagian otot
yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher,
bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot bagian bawah (Astuti,
2007).
Proses kerja secara manual akan memerlukan penggunaan tenaga otot
sebagai tenaga utama. Kekuatan otot ditentukan oleh sifat dari sel otot itu sendiri.
Sel otot skeletal ada 2 tipe yaitu otot merah dan otot putih. Kontraksi otot merah
berlangsung lambat dan dalam waktu lama, karena memiliki pembuluh
intramuskular lebih banyak dibandingkan dengan otot putih yang mampu
berkontraksi cepat dalam waktu singkat (Guyton & Hall, 2000; Silverthorn, 2001
dalam Susetyo,dkk., 2008). Kontraksi otot memerlukan energi dan menghasilkan
zat sisa metabolisme (Cummings, 2003 dalam Susetyo,dkk., 2008).
Kontraksi otot timbul akibat eksitasi akson terminal ke sel otot, melalui
eksositosis asetilkolin pra sinaps. Kontak asetilkolin dengan reseptor pasca sinaps
merangsang aliran ion natrium ekstrasel ke intrasel sehingga terjadi potensial aksi
di dalam sel otot seperti di sarkolema, tubulus transversalis, tubulus longitudinalis
dan sisterna. Potensial aksi di sisterna akan merangsang sekresi kalsium sisterna
ke dalam miofilamen otot skeletal sehingga terjadi ikatan kalsium tranponin C.
Ikatan troponin C kalsium akan merangsang terjadinya kontak aktin dan miosin
sehingga terjadi pergeseran aktin di atas miosin (sliding mechanism) dan timbul
kontraksi otot (Guyton & Hall, 2000 dalam Susetyo,dkk., 2008).
Selama proses kontraksi otot akan diperlukan ATP untuk menjamin
terjadinya : (1) pergeseran aktin di atas miosin, (2) pelepasan kontak aktin dan
miosin serta (3) mengembalikan ion kalsium ke sisterna dengan pompa kalsium.
Ketersediaan energi ini tergantung pada ketersediaan oksigen dan zat makanan
yang dihantarkan oleh sirkulasi intramuskular. Kontraksi kontinyu dan monoton
akan menyebabkan oklusi intramuskular sehingga mengurangi produksi ATP

menjadi 2 mol dan terbentuk asam laktat akibat metabolisme anaerobik.


Penurunan energi dan akumulasi asam laktat akan mempercepat timbulnya
kelelahan dan rasa nyeri (Guyton & Hall, 2000; Grandjean & Kroemer, 2000;
Cummings, 2003 dalam Susetyo,dkk., 2008).
Oleh karena itu otot yang berkontraksi perlu mendapat relaksasi optimal,
sehingga oklusi dapat dihindari dan sirkulasi intramuskular kembali optimal. Hal
ini akan mengembalikan metabolisme sel menjadi metabolisme aerobik. Dengan
demikian asam laktat dapat dikonversi kembali dan ATP yang terbentuk menjadi
36 ATP, sehingga kontraksi otot dapat berlangsung lebih lama (Susetyo,dkk.,
2008).
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh
terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat.
Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap
individu, tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan
kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis,
yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot adalah merupakan
tremor pada otot/perasaan nyeri pada otot. Sedang kelelahan umum biasanya
ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh
karena monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebabsebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi (Grandjean, 1993 dalam Astuti,
2007).
Secara umum kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai
perasaan yangm sangat melelahkan. Kelelahan subyektif biasanya terjadi pada
akhir jam kerja, apabila rata-rata beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga aerobik
maksimal (Astrand & Rodahl, 1977 ; Pulat, 1992 dalam Astuti, 2007). Keluhan
muskuloskeletal adalah keluhan pada bagianbagian otot skeletal yang dirasakan
oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot
menerima beban statis secara berulang dan waktu yang lama, akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan
hingga

kerusakan

inilah

yang

biasanya

diistilahkan

dengan

keluhan

muskuloskelatal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskelatal


(Grandjean, 1993 dalam Astuti, 2007). Penyebab cepat timbulnya kelelahan selain

faktor tersebut di atas juga karena faktor-faktor antara lain umur, jenis kelamin,
ukuran anthropometri, kesegaran jasmani, sosial dan mental (Susetyo,dkk., 2008).
Kelelahan umum dapat diakibatkan oleh efek dari berbagai stress berupa
monotony, intensitas atau durasi dari beban kerja mental atau mental dan fisik,
iklim lingkungan termasuk penerangan dan kebisingan, penyebab mental berupa
tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik-konflik, penyakit dan perasaan sakit
dan faktor nutrisi yang dialami sepanjang hari kerja berakumulasi pada organisme
dan secara bertahap meningkatkan perasaan lelah dimana perasaan lelah ini
merupakan keadaan yang dapat dihilangkan dengan berbaring dan istirahat
(Susetyo,dkk., 2008).
Kondisi kelelahan pada pekerja perlu diukur agar dapat dilakukan upayaupaya penanggulangan secara dini dan lebih rasional. Dengan mengetahui lebih
awal kondisi kelelahan pada pekerja mengalami fatigue accumulation maupun
kelelahan kronis yang dapat terjadi akibat pemulihan tidak memadai.

Dari

beberapa literatur dikatakan bahwa sampai saat ini tidak ada suatu campuran yang
dapat mengukur secara langsung suatu kelelahan itu sendiri. Untuk membuat
interpretasi dari hasil-hasil pemeriksaan agar lebih reliabel, saat ini dalam
beberapa studi dapat dipakai kombinasi dari bebrapa indikatordari kelelahan
(Susetyo,dkk., 2008).
Menurut Susetyo,dkk. (2008), ada beberapa cara yang saat ini dipakai untuk
mengetahui kelelahan, yang sifatnya hanya mengukur manifestasi-manifestasi
atau indikator-indikator kelelahan yaitu :
a. Kualitas dan kuantitas dari penampilan kerja
b. Mencatat persepsi subyektif dari kelelahan
c. EEG (Electroencepalhography)
d. Uji flicker fusion
e. The Blink Apparatus
f. Tes Psikomotor. Tes ini mengukur fungsi-fungsi yang melibatkan persepsi,
interpretasi dan reaksi motorik: simple dan selektif reaction times test,
tachistoscopic test.
g. Tes mental : aritmatic problem, tes konsentrasi misalnya tes Bourdon
wiersma.

Meskipun ada banyak macam alat ukur untuk mengevaluasi kelelahan seperti
disebutkan diatas, jenis alat ukur (tes) yang mudah untuk dilakukan adalah
kuesioner yang mencatat persepsi subyektif dari kelelahan umum (the subyektif
sysmtoms test yang terdiri dari 30 item gejala kelelahan umum). Kuesioner 30-an
item gejala kelelahan umum diadopsi dari IFRC (Industrial Fatigue Research
Commitee Of Japanese Association Of Industrial Health) yang dibuat pada tahun
1967. Disosialisasikan dan dimuat dalam Prosiding Symposium on Methodology
of Fatgue Assesment. Symposium ini diadakan di Kyoto Jepang pada tahun 1969.
Sepuluh item pertama mengindikasikan adanya pelemahan aktifitas, 10 item
kedua pelemahan motifasi kerja dan 10 item ketiga atau terakhir mengindikasikan
kelelahan fisik atau kelelahan pada bagian tubuh (Susetyo,dkk., 2008).
Semakin tinggi frekuensi gejala kelelahan muncul dapat diartikan semakin
besar pula tingkat kelelahan. Dikatakan bahwa kelemahan dari kuesioner ini
adalah tidak dilakukannya evaluasi terhadap setiap item pertanyaan secara
tersendiri. Kuesioner ini kemudian dikembangkan dimana jawaban jawaban
kuesioner diskoring sesuai empat skala Likert. Interpretasi dibuat berdasrkan skor
yang akan didapat. Kategori tidak lelah ditentukan jika skor yang diperoleh lebih
kecil dari 40. Kategori lelah ditentukan dari skor total lebih besar atau sama
dengan 40. Dalam studi-studi eksperimen interpretasi biasanya dibuat hanya
berdasarkan adanya perbedaan skor sebelum dan sesudah suatu perlakuan
(Susetyo,dkk., 2008).
Faktor Resiko Sikap Kerja Terhadap Gangguan Muskuloskeletal
Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan
pekerjaan antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan, dan lainlain. Sikap kerja tersebut dilakukan tergantung dari kondisi dari sistem kerja yang
ada. Jika kondisi sistem kerjanya yang tidak sehat akan menyebabkan kecelakaan
kerja, karena pekerja melakukan pekerjaan yang tidak aman. Menurut Bridger
(1995) dalam Astuti (2007), sikap kerja yang salah, canggung, dan di luar
kebiasaan akan menambah resiko cidera pada bagian sistem muskuloskeletal.

Sikap kerja hendaknya diusahakan dalam posisi fisiologis seperti saat


duduk dan berdiri, sehingga tidak sampai menimbulkan sikap paksa yang
melewati kemampuan fisiologis tubuh (Grandjean & Kroemer, 2000; Manuaba,
1998 dalam Susetyo,dkk., 2008). Tujuannya mencegah kontraksi otot dan
peregangan tendo secara berlebihan (overuse). Sikap paksa dapat terjadi pada
berbagai sikap seperti saat memegang, angkat angkut, duduk, mengambil alat,
berdiri ataupun akibat ruang kerja yang tidak sesuai dengan pekerja (Adnyana,
2001; Chung,dkk., 2003; Dempsey, 2003; Ferreira, 2005; Fergusson,dkk., 2005;
Sutajaya, 2000 dalam Susetyo,dkk., 2008).
Perubahan sikap merupakan suatu adaptasi tubuh untuk mempertahankan
suatu gaya yang timbul pada saat berkontraksi untuk suatu sikap seperti saat
membungkuk, mengangkat beban, menahan beban dan lain sebagainya. Hal ini
dipengaruhi oleh penampang otot, posisi otot serta insersi tendo pada tulang.
Secara biomekanika hal ini bertujuan mempertahankan keseimbangan antara gaya
yang ditimbulkan oleh beban dan gaya yang dihasilkan oleh otot untuk
mempertahankan beban secara seimbang pada suatu titik tumpu. Oleh karena
perbandingan momen gaya beban dengan momen gaya otot harus seimbang.
Momen gaya merupakan hasil perkalian gaya beban / otot dengan jarak dari
beban/otot ke titik sumbu (Widjaya, 1998 dalam Susetyo,dkk., 2008).
1. Sikap Kerja Berdiri
Sikap kerja berdiri merupakan salah satu sikap kerja yang sering dilakukan
ketika melakukan sesuatu pekerjaan. Berat tubuh manusia akan ditopang oleh satu
ataupun kedua kaki ketika melakukan posisi berdiri. Aliran beban berat tubuh
mengalir pada kedua kaki menuju tanah. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya
gravitasi bumi. Kestabilan tubuh ketika posisi berdiri dipengaruhi posisi kedua
kaki. Kaki yang sejajar lurus dengan jarak sesuai dengan tulang pinggul akan
menjaga tubuh dari tergelincir. Selain itu perlu menjaga kelurusan antara anggota
bagian atas dengan anggota bagian bawah (Astutui, 2007).
2. Sikap Kerja Membungkuk

Salah satu sikap kerja yang tidak nyaman untuk diterapkan dalam pekerjaan
adalah membungkuk. Posisi ini tidak menjaga kestabilan tubuh ketika bekerja.
Pekerja mengalami keluhan nyeri pada bagian punggung bagian bawah bila
dilakukan secara berulang dan periode yang cukup lama. Sikap kerja
membungkuk dapat menyebabkan slipped disk, bila dibarengi dengan
pengangkatan beban berlebih. Prosesnya sama dengan sikap kerja membungkuk,
tetapi akibat tekanan yang berlebih menyebabkan ligamen pada sisi belakang
lumbar rusak dan penekanan pembuluh syaraf. Kerusakan ini disebabkan oleh
keluarnya material pada akibat desakan tulangbelakang bagian lumbar (Astuti,
2007).
3. Sikap Kerja Duduk Statis
Sikap kerja duduk di kursi menghadap meja kerja, dimana kerja dilakukan
dengan menggunakan tangan dan mata yang membutuhkan ketrampilan khusus
termasuk sikap kerja statis dalam waktu yang relatif lama dibandingkan sikap
kerja yang dinamis. Semua aktifitas kerja otot ini dilakukan oleh sekelompok otototot secara simultan yang dikoordinasikan oleh saraf baik saraf pusat maupun
perifer secara efisien dan menimbulkan keterampilan tertentu. Kekuatan
maksimum otot atau kelompok otot tergantung dari umur, jenis kelamin,
konstitusi tubuh, latihan dan motivasi. Beban statis pada otot merupakan sebab
utama nyeri dan lelah oleh karena itu tata ruang sikap kerja harus dibuat
sedemikian rupa sehingga beban kerja seminimal mungkin. Menurut Grandjean
(1998) dalam Susetyo,dkk. (2008), ada tujuh petunjuk ergonomis yang membuat
beban minimized adalah:
1) Mencegah semua bentuk sikap kerja yang tidak alamiah, misalnya badan
selalu membungkuk, kepala lebih banyak menoleh kesamping daripada ke depan.
2) Mencegah tangan atau lengan terlalu lama pada posisi ke depan atau ke
samping. Misalnya: operator yang mengoperasikan mesin yang sedang berjalan.
3) Kerja duduk yang terlalu lama.
4) Gerak satu tangan/lengan yang statis, merupakan beban otot.
5) Lingkungan kerja dengan meja. Jarak mata dengan pekerjaan harus baik,
jangan terlalu dekat.

6) Alat-alat yang dipakai kerja harus mudah dijangkau bila perlu. Jarak dengan
mata dan alat-alat tadi adalah 25-30 cm.
7) Kerja dengan tangan dapat dipergunakan penopang di bawah lengan dan
siku.
4. Pengangkatan Beban
Kegiatan ini menjadi penyumbang terbesar terjadinya kecelakaan kerja pada
bagian punggung. Pengangkatan beban yang melebihi kadar dari kekuatan
manusia menyebabkan penggunaan tenaga yang lebih besar pula atau over
exertion. Adapun pengangkatan beban akan berpengaruh pada tulang belakang
bagian lumbar. Pada wilayah ini terjadi penekanan pada bagian L5/SI (lempeng
antara lumbarke-5 dan sacral ke-1). Penekanan pada daerah ini mempunyai batas
tertentu untuk menahan tekanan. Invetebratal disc

pada bagian L5/S1 lebih

banyak menahan tekanan daripada tulang belakang. Bila pengangkatan yang


dilakukan melebihi kemampuan tubuh manusia, maka akan terjadi disc herniation
akibat lapisan pembungkus pada invertebratal disc bagian L5/S1 pecah (Astuti,
2007).
5. Membawa Beban
Terdapat perbedaan dalam menentukan beban normal yang dibawa oleh
manusia. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi dari pekerjaan yang dilakukan. Faktor
yang paling berpengaruh dari kegiatan membawa beban adalah jarak. Jarak yang
ditempuh semakin jauh akan menurunkan batasan beban yang dibawa (Astuti,
2007).
6. Kegiatan Mendoorng Beban
Hal yang penting menyangkut kegiatan mendorong beban adalah tinggi tangan
pendorong. Tinggi pegangan antara siku dan bahu selama mendorong beban
dianjurkan dalam kegiatan ini. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga
maksimal untuk mendorong beban berat dan menghindari kecelakaan kerja bagian
tangan dan bahu (Astuti, 2007).

7. Menarik Beban
Kegiatan ini biasanya tidak dianjurkan sebagai metode pemindahan beban,
karena beban sulit untuk dikendalikan dengan anggota tubuh. Beban dengan
mudah akan tergelincir keluar dan melukai pekerjanya. Kesulitan yang lain adalah
pengawasan beban yang dipindahkan serta perbedaan jalur yang dilintasi. Menarik
beban hanya dilakukan pada jarak yang pendek dan bila jarak yang ditempuh
lebih jauh biasanya beban didorong ke depan (Astuti, 2007).
Fisiologi Kerja
Fisiologi kerja adalah studi tentang fungsi organ manusia yang
dipengaruhi stress otot. Saat seseorang melakukan kerja fisik diperlukan gaya
otot, dan aktivitas otot ini memerlukan energi dimana suplai energi memberi
beban kepada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskular. Sistem pernafasan
dibebani oleh kerja fisik karena adanya peningkatan ventilation (inhalation
exhalation) untuk mensuplai kebutuhan oksigen pada otot yang melakukan
pekerjaan. Sedangkan pembebanan pada sistem kardiovaskular dikarenakan
jantung harus memompa lebih cepat untuk memberikan oksigen pada otot yang
terlibat melalui pembuluh darah. Kesimpulannya bahwa saat tubuh melakukan
kerja fisik akan terjadi perubahan pada kecepatan denyut jantung dan konsumsi
oksigen. Ketika seseorang mulai bekerja, denyut jantung dan tingkat konsumsi
oksigen meningkat sampai memenuhi kebutuhan. Peningkatan ini tidak terjadi
tiba-tiba, sehingga kebutuhan ini akan dipenuhi terlebih dahulu oleh energi yang
tersimpan di otot. Dengan cara yang sama, ketika seseorang berhenti bekerja,
kecepatan denyut jantung dan konsumsi oksigen akan menurun secara perlahanlahan sampai kondisi normal. Untuk melakukan penilaian beban fisik dalam
bekerja dengan metode fisiologi maka pengukuran harus dimulai sebelum pekerja
melakukan pekerjaannya. Pengukuran terus dilakukan selama waktu bekerja
sampai sebelum variablevariable fisiologi kembali ke level awal. Selain
mengukur secara langsung dengan mengetahui tingkat konsumsi oksigen, dapat
juga dilakukan pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan mengukur
kecepatan denyut jantung seseorang. Kecepatan denyut jantung akan meningkat
saat seseorang bekerja, karena jantung harus memompa lebih cepat untuk

memberikan oksigen pada otot yang terlibat melalui pembuluh darah (Astuti,
2007).
Performansi

kerja

dipengaruhi

oleh

beberapa

faktor

diantaranya

karakteristik manusia pekerja itu sendiri. Salah satunya adalah rentangan umur.
Rentangan umur ini merupakan rentangan umur yang produktif seperti yang
dinyatakan dalam Undang Undang Tenaga Kerja Indonesia bahwa usia produktif
tenaga kerja berkisar antara 15 60 tahun. Rentangan umur subyek tersebut sesuai
fisik optimal untuk melakukan pekerjaan. Grandjean (1988) dalam Susetyo,dkk.
(2008), mengatakan bahwa kondisi umur berpengaruh terhadap kemampuan kerja
fisik atau kekuatan otot seseorang. Kemampuan fisik maksimal seseorang dicapai
pada umur antara 25 39 tahun dan akan terus menurun seiring dengan
bertambahnya umur. Pengalaman kerja juga akan dapat membedakan pengaruh
kondisi kerja terhadap dampak yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri.
Lingkungan juga ikut berpengaruh, seperti suhu dan kelembapan. Batas
kenyamanan lingkungan kerja untuk di luar ruangan, suhu antara 22OC 28OC
dengan kelembaban relatif antara 70 80 % (Manuaba, 1992 dalam Susetyo,dkk.,
2008).
Daftar Pustaka :
Astuti, Rahmaniyah Dwi. 22007. Analisa Pengaruh Aktivitas Kerja dan Beban
Angkat Terhadap Kelelahan Muskuloskeletal. Jurnal Gema Teknik No. 2
Susetyo, Joko ; Titin Isna Oes & Suyasning Hastiko Indonesiani. 2008. Prevalensi
Keluhan Subyektif atau Kelelahan Karena Sikap Kerja yang Tidak
Ergonomis Pada Pengerajin Perak. Jurnal Teknologi, Volume. 1 Nomor 2 ,
Desember 2008, 141-149

Anda mungkin juga menyukai