Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH DISKUSI FISIOLOGI HEWAN

SEMESTER GENAP
TAHUN AJARAN 2013/2014

KELELAHAN DAN KELAINAN PADA OTOT RANGKA

KELOMPOK 5
TARWINIH (140410120001)
ANNISA MARYANI (140410120012)
AUFA AULIA KANZA (140410120019)
FIRDA LATIFATUL AULIA (140410120033)
FITRI KAMILAWATI (140410120036)
NOVIYANTI SOLEHA (140410120059)
ANNISA ABDIWIJAYA QAROMAH (140410120064)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR

KATA PENGANTAR
Pertama-tama puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang
masih memberikan nikmat dan rahmatNya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Kelelahan dan Kelainan pada Otot Rangka, dalam mata
kuliah Fisiologi Hewan.
Makalah ini berisi penjelasan mengenai kelelahan otot rangka dan faktor yang
menyebabkannya. Selain itu dalam makalah ini juga dijelaskan mengenai definisi otot
rangka dan cara mengatasi kelelahan pada otot rangka
Kami berharap, dengan adanya makalah ini dapat memberikan penjelasan
mengenai beberapa jenis kelelahan dan kelainan pada otot rangka. Kami juga
berharap agar pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah yang telah disusun ini.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah
Fisiologi Hewan, Ibu Desak Made Malini, yang telah memberikan tugas dan
memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tentunya makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dalam penyempurnaan makalah ini.
Jatinangor, Mei 2014

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sistem muskular (otot) terdiri dari sejumlah besar otot yang bertanggung
jawab atas gerakan tubuh. Terdapat tiga jenis yaitu: otot polos, otot jantung, dan otot
rangka. Dari ketiga otot tersebut, otot yang memiliki andil besar dalam pergerakan
tubuh manusia adalah otot rangka. Otot rangka yang bekerja dibawah pengaruh saraf.
Otot rangka akan melakukan mekanisme gerak otot yaitu kontraksi dan relaksasi.
Otot dapat mengalami kelelahan dan bisa terjadi karena kerja otot secara
maksimal.

Kelelahan

otot

adalah

suatu

keadaan

yang

ditandai

dengan

ketidakmampuan otot untuk berkontraksi akibat menurunnya ATP serta peningkatan


penimbunan asam laktat dalam darah. Kelelahan otot terjadi apabila otot yang
beraktifitas tidak lagi dapat berespon terhadap rangsangan dengan tingkat aktivitas
kontraktil yang setara (Suhartono, 2005).
Gangguan otot rangka ini dapat terjadi pada berbagai bagian tubuh seperti
bagian tubuh seperti pinggang, leher, bahu, siku, lengan, kaki, dan pergelangan
tangan. Kelelahan otot dapat menimbulkan keluhan nyeri otot-otot rangka. Hal ini
merupakan salah satu penyakit akibat kerja terutama bagi para pekerja sehingga dapat
menyebabkan kerugian seperti penderitaan tenaga kerja, penurunan produktivitas dan
kerugian ekonomi penyebab kerja. Kelelahan otot tersebut dapat terjadi dikarenakan
penumpukan asam laktat karena misalnya waktu istirahat yang kurang, kerja otot yang
berat, kerja enzim maupun sumber energi yang berkurang, dan kerja otot yang
berulang, bahkan bisa diakibatkan oleh konsumsi obat-obatan dan asupan kedalam
tubuh.
1.2 Identifikasi masalah
1. Bagaimana struktur otot rangka dan mekanismenya
2. Apa yang dimaksud dengan kelelahan otot
3. Bagaimana kelelahan otot dapat terjadi
1.3 Tujuan
1. Mengetahui struktur otot rangka dan mekanismenya.
2. Mengetahui kelelahan otot dan faktor yang menyebabkannya.
BAB II
ISI

2.1 Otot Lurik


Otot pengisi atau otot yang menempel pada sebagian besar tulang kita
(skeletal) tampak bergaris-garis atau berlurik-lurik jika dilihat melalui mikroskop.
Otot tersebut terdiri dari banyak kumpulan (bundel) serabut paralel panjang dengan
diameter penampang 20-100m yang disebut serat otot. Panjang serat otot ini mampu
mencapai panjang otot itu sendiri dan merupakan sel-sel berinti jamak (multinucleated
cells). Serat otot sendiri tersusun dari kumpulan-kumpulan paralel seribu miofibril
yang berdiameter 1-2m dan memanjang sepanjang sebuah serat otot (Gunawan,
2001).
Pola-pola dalam otot lurik itu berepetisi dengan teratur sehingga tiap satu unit
pola dinamakan sarkomer. Sarkomer memiliki panjang 2.5 - 3.0 m pada otot yang
rileks dan akan memendek saat otot berkontraksi. Antara sarkomer satu dengan
lainnya, terdapatlah lapisan gelap disebut disk Z (=piringan Z). Lurik A terpusat pada
daerah terang yang dinamakan daerah H yang peusatnya terletak pada lurik / disk M
(Gunawan, 2001).
Filamen-filamen tebal pada vertebrata (makhluk hidup bertulang belakang)
hampir sebagian besar tersusun dari sejenis protein yang disebut Miosin. Molekul
miosin terdiri dari enam rantai polipeptida yang disebut rantai berat dan dua pasang
rantai ringan yang berbeda (disebut rantai ringan esensial dan regulatori, ELC dan
RLC). Miosin termasuk protein yang khusus karena memiliki sifat berserat (=fibrous)
dan globular (Gunawan, 2001).
Komponen penyusun utama filamen tipis ialah Aktin. Aktin merupakan
protein eukariotik yang umum, banyak jumlahnya, dan mudah didapati. Aktin didapati
dalam wujud monomer-monomer bilobal globular yang disebut G-aktin yang secara
normal mengikat satu molekul ATP untuk tiap-tiap monomer. G-aktin itu nantinya
akan berpolimerisasi untuk membentuk fiber-fiber yang disebut F-aktin. Polimerisasi
ini merupakan suatu proses yang menghidrolisis ATP menjadi ADP dengan ADP yang
nantinya terikat pada unit monomer F-aktin (Gunawan, 2001).

Mekanisme Kerja Otot Lurik :


1. The Cross Bridge Theory (Teori Jembatan Silang)

Pada teori jembatan silang dijelaskan bahwa kontraksi otot disebabkan karena
adanya interaksi dari dua protein kontraktil aktin dan miosin. Miosin memiliki suatu
bagian pada strukturnya yang dapat berhubungan langsung dengan aktin, dimana
siklus ini terjadi karena adanya hidrolisis dari satu molekul ATP (Herzog et
al.,2008).

Gambar 1. Teori Jembatan Silang


Sumber : (Herzog et al.,2008).
Pada gambar sebelah kiri dari tiga teratas terlihat bahwa kontraksi diawali dari
adanya ikatan yang lemah antara aktin dan miosin. Jembatan silang menekuk ke
dalam kearah pusat filamen tebal. Ini disebut power stroke (gerakan mengayun
yang kuat). Gerakan ini menarik filamen tipis ke arah dalam. Pada akhir gerakan
mengayun, ikatan antara jembatan silang miosin dan molekul aktin terputus. Jembatan
silang dilepas dan kembali ke konformasinya semula.
2. The Sarcomere Length Nonuniformity Theory (Teori Keseragaman
Pemanjangan Sarkomer)
Otot rangka memiliki sifat elastis dimana akan terjadi penambahan panjang
yang biasanya dihasilkan dari pertambahan sarkomer (unit mendasar dari serabut otot)
pada serat otot, terutama pada daerah myotendinnous junction (daerah pertemuan otot
dengan tendon). Jika unit tendon-otot renggang, sarkomer tambahan akan
ditambahkan secara khas pada daerah tersebut. Perpanjangan sarkomer dapat
meningkatkan kelentukan seseorang (Harimbawa, 2014).
Dalam mekanisme inverse stretch refleks atau autogenic inhibisi dijelaskan
bahwa proses kontraksi maksimal akan diikuti dengan relaksasi (Kisner, 2007 dalam
Utami, 2012 ). Jika terjadi relaksasi pada serabut otot maka otot akan lebih mudah di
stretching. Efek stretching dapat menghasilkan pemanjangan pada jaringan kontraktil

dan jaringan non kontraktil. Pemanjangan terjadi pada sarkomer otot (jaringan
kontraktil) serta jaringan fibrous pembungkus otot (perimyesium, epimyesium, dan
endomyesium) dan tendon (nonkontraktil). Pemanjangan tersebut secara langsung
akan menghasilkan peningkatan lingkup gerak sendi (LGS) cervical (Utami, 2012).
Gerakan otot lurik tentu dibawah komando atau suatu kontrol yang disebut
impuls saraf motor. Sebuah impuls saraf yang tiba pada sebuah persambungan
neuromuskular (= sambungan antara neuron dan otot) akan dihantar langsung kepada
tiap-tiap sarkomer oleh sebuah sistem tubula transversal/T. Tubula tersebut
merupakan pembungkus-pembungkus semacam saraf pada membran plasma fiber.
Tubula tersebut mengelilingi tiap miofibril pada disk Z masing-masing. Sarkomer
pada sebuah otot akan menerima sinyal untuk berkontraksi sehingga otot dapat
berkontraksi sebagai satu kesatuan utuh. Sinyal elektrik itu dihantar (dengan proses
yang belum begitu dimengerti) menuju retikulum sarkoplasmik (SR). SR merupakan
suatu sistem dari vesicles (saluran yang mengandung air di dalamnya) yang pipih,
bersifat membran, dan berasal dari retikulum endoplasma. Sistem tersebut
membungkus tiap-tiap miofibril hampir seperti rajutan kain. Membran SR yang secara
normal non-permeabel terhadap Ca2+ itu mengandung sebuah transmembran Ca2+ATPase yang memompa Ca2+ kedalam SR untuk mempertahankan konsentrasi
[Ca2+] bagi otot rileks. Kemampuan SR untuk dapat menyimpan Ca2+ ditingkatkan
lagi oleh adanya protein yang bersifat amat asam yaitu kalsequestrin (memiliki situs
lebih dari 40 untuk berikatan dengan Ca2+). Kedatangan impuls saraf membuat SR
menjadi permeabel terhadap Ca2+.Akibatnya, Ca2+ berdifusi melalui saluran-saluran
Ca2+ khusus menuju interior miofibril, dan konsentrasi internal [Ca2+] akan
bertambah. Peningkatan konsentrasi Ca2+ ini cukup untuk memicu perubahan
konformasional dalam troponin dan tropomiosin. Akhirnya, kontraksi otot terjadi
(Gunawan, 2001).
Kelelahan Otot Lurik
Kelelahan pada otot dibagi menjadi dua jenis, yaitu sentral dan perifer. Pada
kelelahan sentral terjadi karena hilangnya pengerahan dari unit motor dengan ambang
batas yang tinggi, selanjutnya terjadi penurunan kontraksi karena masuknya inhibitor
inter neuron ke dalam korteks motor dalam jumlah yang banyak. Setelah itu terjadi
pengeluaran motor neuron atau demieleniasi yang menimbulkan blok konduksi
sentral. Hal ini meningkatkan umpan balik negatif dari otot afferen tipe III dan neuron

sensorik tipe IV bersamaan dengan hilangnya umpan balik positif dari spindel otot
tipe I afferen sensorik (Davis et al.,2010).
Mekanisme kelelahan perifer pertama-tama terjadi karena kehilangan
konduksi elektrikal dari membran otot ke sistem tubula, selanjutnya terjadi gangguan
pelepasan ion kalsium dari retikulum sarkoplasmik (SR) dimana akan menimbulkan
gangguan dalam interaksi antara aktin dan miosin selama siklus the cross bridge
(jembatan silang). Gangguan juga terjadi pada proses pengambilan/penyerapan
kembali ion kalsium karena kegagalan dalam glikolisis, posforilasi oksidatif, maupun
keduanya (Davis et al.,2010).
2.2 Kelainan Pada Otot Rangka Akibat Lama, Aktivitas dan Sikap Kerja
Beban sikap tubuh statis yang lama menjadi faktor yang utama dalam
kehidupan modern, yang menjadi penyebab nyeri otot rangka akibat kerja
(Chavalitsakulchai & Shahnavas,1992 dalam Susetyo,dkk., 2008). Sikap tubuh
seseorang pada waktu menjalankan tugas ditentukan oleh hubungan antara dimensi
berbagai objek kerja dan ruang kerja. Ketidakserasian ini selain akan menyebabkan
nyeri otot-otot rangka juga akan menyebabkan kelelahan. Di Amerika Serikat keluhan
nyeri otot-otot rangka merupakan salah satu penyakit akibat kerja sehingga
menyebabkan penderitaan tenaga kerja, penurunan produktivitas dan kerugian
ekonomi, penyebab kerja yang tidak alamiah sebagai akibat tidak betulnya design
tempat kerja (kursi dan meja) menyebabkan hampir sebagian besar tenaga kerja
menderita Musculosketal Disorder dan Low Back Pain (Manuaba, 1995 dalam
Susetyo,dkk., 2008).
Sistem kerja yang baik tidak terlepas dari work place (tempat kerja) maupun
langkah-langkah operasional tugas yang harus dilakukan dalam suatu pekerjaan.
Penataan tempat kerja beserta perlengkapan atau peralatan yang digunakan maupun
posisi tubuh pada saat bekerja akan sangat berpengaruh dalam menciptakan suatu
sistem kerja yang terintegrasi dengan baik. Melalui perbaikan yang dilakukan, akan
menjadikan suatu industri bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Meskipun
perkembangan industri di dunia sudah maju dan segala sesuatunya serba otomatis,
tetapi penggunaan tenaga manusia secara manual masih belum bisa dihindari secara
keseluruhan. Dunia industri di Indonesia juga masih banyak yang menggunakan
tenaga manusia dalam hal penanganan material. Kelebihan MMH (Manual Material
Handling) bila dibandingkan dengan penanganan material menggunakan alat bantu

adalah fleksibilitas gerakan yang dapat dilakukan untuk beban-beban ringan. Akan
tetapi, aktivitas MMH diidentifikasi berisiko besar sebagai penyebab utama penyakit
tulang belakang (Low Back Pain) (Astuti, 2007).
Menurut Luopajarvi (1990) dalam Astuti (2007), beban kerja yang berat,
postur kerja yang salah dan perulangan gerakan yang tinggi, serta adanya getaran
terhadap keseluruhan tubuh merupakan keadaan yang memperburuk penyakit
tersebut. Kondisi manusia dikatakan tidak aman bila kesehatan dan keselamatan
pekerja mulai terganggu. Dengan adanya kelelahan dan keluhan muskuloskeletal
merupakan salah satu indikasi adanya gangguan kesehatan dan keselamatan pekerja.
Pekerja sering mengeluh tubuh merasa nyeri atau sakit saat bekerja maupun setelah
bekerja. Studi tentang MSDs menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan
adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari,
punggung, pinggang dan otot bagian bawah (Astuti, 2007).
Proses kerja secara manual akan memerlukan penggunaan tenaga otot sebagai
tenaga utama. Kekuatan otot ditentukan oleh sifat dari sel otot itu sendiri. Sel otot
skeletal ada 2 tipe yaitu otot merah dan otot putih. Kontraksi otot merah berlangsung
lambat dan dalam waktu lama, karena memiliki pembuluh intramuskular lebih banyak
dibandingkan dengan otot putih yang mampu berkontraksi cepat dalam waktu singkat
(Guyton & Hall, 2000; Silverthorn, 2001 dalam Susetyo,dkk., 2008). Kontraksi otot
memerlukan energi dan menghasilkan zat sisa metabolisme (Cummings, 2003 dalam
Susetyo,dkk., 2008).
Kontraksi otot timbul akibat eksitasi akson terminal ke sel otot, melalui
eksositosis asetilkolin pra sinaps. Kontak asetilkolin dengan reseptor pasca sinaps
merangsang aliran ion natrium ekstrasel ke intrasel sehingga terjadi potensial aksi di
dalam sel otot seperti di sarkolema, tubulus transversalis, tubulus longitudinalis dan
sisterna. Potensial aksi di sisterna akan merangsang sekresi kalsium sisterna ke dalam
miofilamen otot skeletal sehingga terjadi ikatan kalsium tranponin C. Ikatan
troponin C kalsium akan merangsang terjadinya kontak aktin dan miosin sehingga
terjadi pergeseran aktin di atas miosin (sliding mechanism) dan timbul kontraksi otot
(Guyton & Hall, 2000 dalam Susetyo,dkk., 2008).
Selama proses kontraksi otot akan diperlukan ATP untuk menjamin terjadinya:
(1) pergeseran aktin di atas miosin, (2) pelepasan kontak aktin dan miosin serta (3)
mengembalikan ion kalsium ke sisterna dengan pompa kalsium. Ketersediaan energi
ini tergantung pada ketersediaan oksigen dan zat makanan yang dihantarkan oleh

sirkulasi intramuskular. Kontraksi kontinyu dan monoton akan menyebabkan oklusi


intramuskular sehingga mengurangi produksi ATP menjadi 2 mol dan terbentuk asam
laktat akibat metabolisme anaerobik. Penurunan energi dan akumulasi asam laktat
akan mempercepat timbulnya kelelahan dan rasa nyeri (Guyton & Hall, 2000;
Grandjean & Kroemer, 2000; Cummings, 2003 dalam Susetyo,dkk., 2008).
Oleh karena itu otot yang berkontraksi perlu mendapat relaksasi optimal,
sehingga oklusi dapat dihindari dan sirkulasi intramuskular kembali optimal. Hal ini
akan mengembalikan metabolisme sel menjadi metabolisme aerobik. Dengan
demikian asam laktat dapat dikonversi kembali dan ATP yang terbentuk menjadi 36
ATP, sehingga kontraksi otot dapat berlangsung lebih lama (Susetyo,dkk., 2008).
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar
dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Istilah
kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu,
tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja
serta ketahanan tubuh. Kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu kelelahan
otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot adalah merupakan tremor pada
otot/perasaan nyeri pada otot. Sedang kelelahan umum biasanya ditandai dengan
berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni,
intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status
kesehatan dan keadaan gizi (Grandjean, 1993 dalam Astuti, 2007).
Secara umum kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai
perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subyektif biasanya terjadi pada akhir
jam kerja, apabila rata-rata beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga aerobik
maksimal (Astrand & Rodahl, 1977 ; Pulat, 1992 dalam Astuti, 2007). Keluhan
muskuloskeletal adalah keluhan pada bagianbagian otot skeletal yang dirasakan oleh
seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot
menerima beban statis secara berulang dan waktu yang lama, akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan
hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan muskuloskelatal
disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskelatal (Grandjean, 1993 dalam
Astuti, 2007). Penyebab cepat timbulnya kelelahan selain faktor tersebut di atas juga
karena faktor-faktor antara lain umur, jenis kelamin, ukuran anthropometri, kesegaran
jasmani, sosial dan mental (Susetyo,dkk., 2008).

Kelelahan umum dapat diakibatkan oleh efek dari berbagai stress berupa
monotony, intensitas atau durasi dari beban kerja mental atau mental dan fisik, iklim
lingkungan termasuk penerangan dan kebisingan, penyebab mental berupa tanggung
jawab, kekhawatiran dan konflik-konflik, penyakit dan perasaan sakit dan faktor
nutrisi yang dialami sepanjang hari kerja berakumulasi pada organisme dan secara
bertahap meningkatkan perasaan lelah dimana perasaan lelah ini merupakan keadaan
yang dapat dihilangkan dengan berbaring dan istirahat (Susetyo,dkk., 2008).
Kondisi kelelahan pada pekerja perlu diukur agar dapat dilakukan upayaupaya penanggulangan secara dini dan lebih rasional. Dengan mengetahui lebih awal
kondisi kelelahan pada pekerja mengalami fatigue accumulation maupun kelelahan
kronis yang dapat terjadi akibat pemulihan tidak memadai. Dari beberapa literatur
dikatakan bahwa sampai saat ini tidak ada suatu campuran yang dapat mengukur
secara langsung suatu kelelahan itu sendiri. Untuk membuat interpretasi dari hasilhasil pemeriksaan agar lebih reliabel, saat ini dalam beberapa studi dapat dipakai
kombinasi dari bebrapa indikatordari kelelahan (Susetyo,dkk., 2008).
Menurut Susetyo,dkk. (2008), ada beberapa cara yang saat ini dipakai untuk
mengetahui kelelahan, yang sifatnya hanya mengukur manifestasi-manifestasi atau
indikator-indikator kelelahan yaitu :
a. Kualitas dan kuantitas dari penampilan kerja
b. Mencatat persepsi subyektif dari kelelahan
c. EEG (Electroencepalhography)
d. Uji flicker fusion
e. The Blink Apparatus
f. Tes Psikomotor. Tes ini mengukur fungsi-fungsi yang melibatkan persepsi,
interpretasi dan reaksi motorik: simple dan selektif reaction times test,
tachistoscopic test.
g. Tes mental : aritmatic problem, tes konsentrasi misalnya tes Bourdon wiersma.
Meskipun ada banyak macam alat ukur untuk mengevaluasi kelelahan seperti
disebutkan diatas, jenis alat ukur (tes) yang mudah untuk dilakukan adalah kuesioner
yang mencatat persepsi subyektif dari kelelahan umum (the subyektif sysmtoms test
yang terdiri dari 30 item gejala kelelahan umum). Kuesioner 30-an item gejala
kelelahan umum diadopsi dari IFRC (Industrial Fatigue Research Commitee Of
Japanese Association Of Industrial Health) yang dibuat pada tahun 1967.
Disosialisasikan dan dimuat dalam Prosiding Symposium on Methodology of Fatgue

Assesment. Symposium ini diadakan di Kyoto Jepang pada tahun 1969. Sepuluh item
pertama mengindikasikan adanya pelemahan aktifitas, 10 item kedua pelemahan
motifasi kerja dan 10 item ketiga atau terakhir mengindikasikan kelelahan fisik atau
kelelahan pada bagian tubuh (Susetyo,dkk., 2008).
Semakin tinggi frekuensi gejala kelelahan muncul dapat diartikan semakin
besar pula tingkat kelelahan. Dikatakan bahwa kelemahan dari kuesioner ini adalah
tidak dilakukannya evaluasi terhadap setiap item pertanyaan secara tersendiri.
Kuesioner ini kemudian dikembangkan dimana jawaban jawaban kuesioner diskoring
sesuai empat skala Likert. Interpretasi dibuat berdasrkan skor yang akan didapat.
Kategori tidak lelah ditentukan jika skor yang diperoleh lebih kecil dari 40. Kategori
lelah ditentukan dari skor total lebih besar atau sama dengan 40. Dalam studi-studi
eksperimen interpretasi biasanya dibuat hanya berdasarkan adanya perbedaan skor
sebelum dan sesudah suatu perlakuan (Susetyo,dkk., 2008).
Faktor Resiko Sikap Kerja Terhadap Gangguan Muskuloskeletal
Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan pekerjaan
antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan, dan lain-lain. Sikap kerja
tersebut dilakukan tergantung dari kondisi dari sistem kerja yang ada. Jika kondisi
sistem kerjanya yang tidak sehat akan menyebabkan kecelakaan kerja, karena pekerja
melakukan pekerjaan yang tidak aman. Menurut Bridger (1995) dalam Astuti (2007),
sikap kerja yang salah, canggung, dan di luar kebiasaan akan menambah resiko cidera
pada bagian sistem muskuloskeletal.
Sikap kerja hendaknya diusahakan dalam posisi fisiologis seperti saat duduk
dan berdiri, sehingga tidak sampai menimbulkan sikap paksa yang melewati
kemampuan fisiologis tubuh (Grandjean & Kroemer, 2000; Manuaba, 1998 dalam
Susetyo,dkk., 2008). Tujuannya mencegah kontraksi otot dan peregangan tendo secara
berlebihan (overuse). Sikap paksa dapat terjadi pada berbagai sikap seperti saat
memegang, angkat angkut, duduk, mengambil alat, berdiri ataupun akibat ruang kerja
yang tidak sesuai dengan pekerja (Adnyana, 2001; Chung,dkk., 2003; Dempsey,
2003; Ferreira, 2005; Fergusson,dkk., 2005; Sutajaya, 2000 dalam Susetyo,dkk.,
2008).
Perubahan sikap merupakan suatu adaptasi tubuh untuk mempertahankan
suatu gaya yang timbul pada saat berkontraksi untuk suatu sikap seperti saat
membungkuk, mengangkat beban, menahan beban dan lain sebagainya. Hal ini
dipengaruhi oleh penampang otot, posisi otot serta insersi tendo pada tulang. Secara

biomekanika hal ini bertujuan mempertahankan keseimbangan antara gaya yang


ditimbulkan oleh beban dan gaya yang dihasilkan oleh otot untuk mempertahankan
beban secara seimbang pada suatu titik tumpu. Oleh karena perbandingan momen
gaya beban dengan momen gaya otot harus seimbang. Momen gaya merupakan hasil
perkalian gaya beban / otot dengan jarak dari beban/otot ke titik sumbu (Widjaya,
1998 dalam Susetyo,dkk., 2008).
1. Sikap Kerja Berdiri
Sikap kerja berdiri merupakan salah satu sikap kerja yang sering dilakukan ketika
melakukan sesuatu pekerjaan. Berat tubuh manusia akan ditopang oleh satu ataupun
kedua kaki ketika melakukan posisi berdiri. Aliran beban berat tubuh mengalir pada
kedua kaki menuju tanah. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya gravitasi bumi.
Kestabilan tubuh ketika posisi berdiri dipengaruhi posisi kedua kaki. Kaki yang
sejajar lurus dengan jarak sesuai dengan tulang pinggul akan menjaga tubuh dari
tergelincir. Selain itu perlu menjaga kelurusan antara anggota bagian atas dengan
anggota bagian bawah (Astuti, 2007).
2. Sikap Kerja Membungkuk
Salah satu sikap kerja yang tidak nyaman untuk diterapkan dalam pekerjaan
adalah membungkuk. Posisi ini tidak menjaga kestabilan tubuh ketika bekerja.
Pekerja mengalami keluhan nyeri pada bagian punggung bagian bawah bila dilakukan
secara berulang dan periode yang cukup lama. Sikap kerja membungkuk dapat
menyebabkan slipped disk, bila dibarengi dengan pengangkatan beban berlebih.
Prosesnya sama dengan sikap kerja membungkuk, tetapi akibat tekanan yang berlebih
menyebabkan ligamen pada sisi belakang lumbar rusak dan penekanan pembuluh
syaraf. Kerusakan ini disebabkan oleh keluarnya material pada akibat desakan
tulangbelakang bagian lumbar (Astuti, 2007).
3. Sikap Kerja Duduk Statis
Sikap kerja duduk di kursi menghadap meja kerja, dimana kerja dilakukan dengan
menggunakan tangan dan mata yang membutuhkan ketrampilan khusus termasuk
sikap kerja statis dalam waktu yang relatif lama dibandingkan sikap kerja yang
dinamis. Semua aktifitas kerja otot ini dilakukan oleh sekelompok otot-otot secara
simultan yang dikoordinasikan oleh saraf baik saraf pusat maupun perifer secara
efisien dan menimbulkan keterampilan tertentu. Kekuatan maksimum otot atau
kelompok otot tergantung dari umur, jenis kelamin, konstitusi tubuh, latihan dan
motivasi. Beban statis pada otot merupakan sebab utama nyeri dan lelah oleh karena

itu tata ruang sikap kerja harus dibuat sedemikian rupa sehingga beban kerja
seminimal mungkin. Menurut Grandjean (1998) dalam Susetyo,dkk. (2008), ada tujuh
petunjuk ergonomis yang membuat beban minimized adalah :
1) Mencegah semua bentuk sikap kerja yang tidak alamiah, misalnya badan selalu
membungkuk, kepala lebih banyak menoleh kesamping daripada ke depan.
2) Mencegah tangan atau lengan terlalu lama pada posisi ke depan atau ke
samping. Misalnya: operator yang mengoperasikan mesin yang sedang berjalan.
3) Kerja duduk yang terlalu lama.
4) Gerak satu tangan/lengan yang statis, merupakan beban otot.
5) Lingkungan kerja dengan meja. Jarak mata dengan pekerjaan harus baik,
jangan terlalu dekat.
6) Alat-alat yang dipakai kerja harus mudah dijangkau bila perlu. Jarak dengan
mata dan alat-alat tadi adalah 25-30 cm.
7) Kerja dengan tangan dapat dipergunakan penopang di bawah lengan dan siku.
4. Pengangkatan Beban
Kegiatan ini menjadi penyumbang terbesar terjadinya kecelakaan kerja pada
bagian punggung. Pengangkatan beban yang melebihi kadar dari kekuatan manusia
menyebabkan penggunaan tenaga yang lebih besar pula atau over exertion. Adapun
pengangkatan beban akan berpengaruh pada tulang belakang bagian lumbar. Pada
wilayah ini terjadi penekanan pada bagian L5/SI (lempeng antara lumbarke-5 dan
sacral ke-1). Penekanan pada daerah ini mempunyai batas tertentu untuk menahan
tekanan. Invetebratal disc

pada bagian L5/S1 lebih banyak menahan tekanan

daripada tulang belakang. Bila pengangkatan yang dilakukan melebihi kemampuan


tubuh manusia, maka akan terjadi disc herniation akibat lapisan pembungkus pada
invertebratal disc bagian L5/S1 pecah (Astuti, 2007).
5. Membawa Beban
Terdapat perbedaan dalam menentukan beban normal yang dibawa oleh
manusia. Hal ini dipengaruhi oleh frekuensi dari pekerjaan yang dilakukan. Faktor
yang paling berpengaruh dari kegiatan membawa beban adalah jarak. Jarak yang
ditempuh semakin jauh akan menurunkan batasan beban yang dibawa (Astuti, 2007).
6. Kegiatan Mendorong Beban

Hal yang penting menyangkut kegiatan mendorong beban adalah tinggi tangan
pendorong. Tinggi pegangan antara siku dan bahu selama mendorong beban
dianjurkan dalam kegiatan ini. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga

maksimal untuk mendorong beban berat dan menghindari kecelakaan kerja bagian
tangan dan bahu (Astuti, 2007).
7. Menarik Beban
Kegiatan ini biasanya tidak dianjurkan sebagai metode pemindahan beban, karena
beban sulit untuk dikendalikan dengan anggota tubuh. Beban dengan mudah akan
tergelincir keluar dan melukai pekerjanya. Kesulitan yang lain adalah pengawasan
beban yang dipindahkan serta perbedaan jalur yang dilintasi. Menarik beban hanya
dilakukan pada jarak yang pendek dan bila jarak yang ditempuh lebih jauh biasanya
beban didorong ke depan (Astuti, 2007).
Fisiologi Kerja
Fisiologi kerja adalah studi tentang fungsi organ manusia yang dipengaruhi
stress otot. Saat seseorang melakukan kerja fisik diperlukan gaya otot, dan aktivitas
otot ini memerlukan energi dimana suplai energi memberi beban kepada sistem
pernafasan dan sistem kardiovaskular. Sistem pernafasan dibebani oleh kerja fisik
karena adanya peningkatan ventilation (inhalation exhalation) untuk mensuplai
kebutuhan oksigen pada otot yang melakukan pekerjaan. Sedangkan pembebanan
pada sistem kardiovaskular dikarenakan jantung harus memompa lebih cepat untuk
memberikan oksigen pada otot yang terlibat melalui pembuluh darah. Kesimpulannya
bahwa saat tubuh melakukan kerja fisik akan terjadi perubahan pada kecepatan denyut
jantung dan konsumsi oksigen. Ketika seseorang mulai bekerja, denyut jantung dan
tingkat konsumsi oksigen meningkat sampai memenuhi kebutuhan. Peningkatan ini
tidak terjadi tiba-tiba, sehingga kebutuhan ini akan dipenuhi terlebih dahulu oleh
energi yang tersimpan di otot. Dengan cara yang sama, ketika seseorang berhenti
bekerja, kecepatan denyut jantung dan konsumsi oksigen akan menurun secara
perlahan-lahan sampai kondisi normal. Untuk melakukan penilaian beban fisik dalam
bekerja dengan metode fisiologi maka pengukuran harus dimulai sebelum pekerja
melakukan pekerjaannya. Pengukuran terus dilakukan selama waktu bekerja sampai
sebelum variabelvariabel fisiologi kembali ke level awal. Selain mengukur secara
langsung dengan mengetahui tingkat konsumsi oksigen, dapat juga dilakukan
pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan mengukur kecepatan denyut jantung
seseorang. Kecepatan denyut jantung akan meningkat saat seseorang bekerja, karena
jantung harus memompa lebih cepat untuk memberikan oksigen pada otot yang
terlibat melalui pembuluh darah (Astuti, 2007).

Performansi kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik


manusia pekerja itu sendiri. Salah satunya adalah rentangan umur. Rentangan umur
ini merupakan rentangan umur yang produktif seperti yang dinyatakan dalam Undang
Undang Tenaga Kerja Indonesia bahwa usia produktif tenaga kerja berkisar antara 15
60 tahun. Rentangan umur subyek tersebut sesuai fisik optimal untuk melakukan
pekerjaan. Grandjean (1988) dalam Susetyo,dkk. (2008), mengatakan bahwa kondisi
umur berpengaruh terhadap kemampuan kerja fisik atau kekuatan otot seseorang.
Kemampuan fisik maksimal seseorang dicapai pada umur antara 25 39 tahun dan
akan terus menurun seiring dengan bertambahnya umur. Pengalaman kerja juga akan
dapat membedakan pengaruh kondisi kerja terhadap dampak yang mungkin timbul
terhadap dirinya sendiri. Lingkungan juga ikut berpengaruh, seperti suhu dan
kelembapan. Batas kenyamanan lingkungan kerja untuk di luar ruangan, suhu antara
22OC 28OC dengan kelembaban relatif antara 70 80 % (Manuaba, 1992 dalam
Susetyo,dkk., 2008).
2.3 Asam Laktat dan SOD
Asam laktat merupakan produk akhir dan diproduksi dari sistem glikolisis
anaerobik sebagai akibat pemecahan glukosa yang tidak sempurna. Akumulasi asam
laktat dapat terjadi selama melakukan latihan dengan intensitas yang tinggi dalam
waktu yang singkat, hal ini disebabkan karena produksi asam laktat lebih tinggi dari
pada pemusnahannya (Fox, 1993; Brooks, 1984 dalam Purnomo, 2011).
Dalam tubuh, asam laktat diproduksi secara terus menerus dalam sitoplasma
Meskipun demikian jumlah asam laktat dalam tubuh relatif tetap. Pada orang sehat
dalam keadaan sedang istirahat, jumlah asam laktat sekitar 1-2 mM/l, 1- 1,8 mM/l
(Fox, 1993 dalam Purnomo, 2011).
Batas toleransi terhadap ketinggian konsentrasi asam laktat pada otot dan
darah selama melakukan aktivitas latihan fisik tidak diketahui secara pasti. Namun
demikian, toleransi kadar asam laktat pada manusia diperkirakan mencapai diatas 20
mM/l darah dan 25 mM/l kg berat otot basah, dan bahkan bisa mencapai diatas 30
mM/l pada latihan dinamis dengan intensitas tinggi (Purnomo, 2011).
Efek dari latihan yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama secara pasti
meningkatkan aktivitas enzim antioksidan di otot rangka terutama superoxide
dismutase dan glutathion peroksidase di mitokondria. Mitokondria merupakan tempat
utama dari sel yang memproduksi radikal bebas. Secara umum latihan tidak

mempengaruhi sistem antioksidan di jantung dan hati sebanyak pengaruhnya di otot


rangka, tetapi vigorous training latihan yang dilakukan dengan giat menunjukkan
peningkatan superoxide dismutase di ventrikel kiri. Akibat dari luasnya peningkatan
senyawa oksigen reaktif akan menstimulasi sintesis enzim antioksidan. Penelitian
Patellongi dan Badriah (2003) dalam Purnomo (2011) juga mendukung bahwa
intensitas dari latihan berpengaruh terhadap kerusakan jaringan yang berarti
berpengaruh pada peranan enzim antioksidan dalam menetralisir radikal bebas.
Selama latihan aerobik terjadi peningkatan radikal bebas karena meningkatnya
metabolisme aerobik. Tubuh secara alami memiliki sistem pertahanan terhadap
serangan radikal bebas yaitu sistem pertahanan antioksidan. Leeuwenburgh dan
Heinecke (2001) dalam Purnomo (2011), menyebutkan bahwa latihan daya tahan
yang dilakukan secara teratur menurunkan tingkat hidrogen peroksida di mitokondria,
hal ini secara potensial akan mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan sistem
pertahanan antioksidan. Hal tersebut didukung oleh Clarkson dan Thompson (2000)
dalam Purnomo (2011), yang menyatakan bahwa latihan kronik meningkatkan
pertahanan antioksidan.
Berdasarkan penelitian Sen dan Ji dalam Gul, (2003) menyatakan latihan
aerobik yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan pertahanan antioksidan.
Pernyataan tersebut didukung oleh Sen (1995) yaitu latihan fisik yang sudah menjadi
kebiasaan sangat penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kapasitas natural
antioksidan untuk bertahan dari serangan oksigen reaktif. Pada individu yang
melakukan latihan secara teratur terjadi peningkatan antioksidan yang lebih besar
daripada radikal bebas sehingga stres oksidatif akan menurun. Kapasitas aerobik yang
tinggi secara signifikan meningkatkan aktivitas katalase dan superoksida dismutase di
otot (Sen, 1995 dalam Purnomo, 2011).
Latihan daya tahan yang melelahkan pada individu yang tidak terlatih
menyebabkan terjadi peningkatan produksi oksidan pada otot yang aktif (McArdle,
2001 dalam Purnomo, 2011). Clarkson dan Thompson (2000) dalam Purnomo (2011),
menemukan bahwa pada pelari terlatih kadar aktivitas enzim eritrosit (superoksida
dismutase, glutation peroksidasi, dan katalase) lebih tinggi daripada subjek yang
tidak terlatih. Latihan yang dilakukan secara tidak teratur menyebabkan peningkatan
oksidan yang lebih besar daripada antioksidannya sehingga terjadi peningkatan stres
oksidatif.

Terjadi penurunan kadar asam laktat darah setelah latihan submaksimal. Fox
(1993) membuktikan bahwa kadar asam laktat darah untuk kembali kondisi awal
sebelum latihan submaksimal membutuhkan pemulihan 60 menit. Studi lainnya dari
Golnick (1986) mengatakan butuh 30-40 menit dan Glesson (1998) menyatakan 30120 menit waktu pemulihan. Wilmore (2008) menyatakan bahwa seorang atlet bisa
melanjutkan melakukan latihan pada intensitas yang relatif tinggi dalam kondisi asam
laktat 6-7 mMol/L. Oleh karena itu dengan nilai rerata kadar asam laktat penelitian
sebesar 3,109 mMol/L, seseorang dapat melakukan latihan lagi dengan resiko terjadi
kelelahan yang kecil (Purnomo, 2011).
Untuk membersihkan kadar asam laktat darah dalam tubuh lebih cepat dengan
melakukan aktivitas ringan daripada tidak melakukan aktivitas apapun (Venom,
2007). Pemulihan dengan aktif berlari secara kontinyu dengan ritme yang ditentukan
sendiri akan lebih cepat menurunkan kadar asam laktat dari pada pemulihan pasif
(Fox, 1993). Pada penelitian ini pemulihan yang dilakukan termasuk pemulihan pasif
sehingga penurunan kadar asam laktat tidak begitu cepat serta belum sepenuhnya
kembali ke kondisi awal sebelum latihan submaskimal. Pemusnahan asam laktat
darah terjadi melalui oksidasi dalam serabut otot, laktat yang tidak teroksidasi akan
berdifusi dari otot yang aktif ke dalam kapiler dan akan menuju hati. Melalui siklus
Cori laktat dapat diubah menjadi piruvat, jika ada oksigen akan diubah menjadi
glukosa. Glukosa ini dapat dimetabolisme oleh otot yang aktif atau disimpan dalam
otot sebagai glikogen untuk digunakan kemudian (Sport Advisor, 2007). Tetapi
menurut Petersen (2005), ada bukti bahwa bukan organ hati saja yang bisa mengubah
asam laktat darah melalui siklus Cori, tetapi jaringan otot merah, jantung, dan otak
secara langsung dapat mengoksidasi asam laktat sehinggan bisa digunakan menjadi
energi (Purnomo, 2011)
Menurut Haliwell antioksidan yang terdapat dalam tubuh kita dapat dibagi
menjadi dua yaitu : antioksidan yang terletak didalam sel atau antioksidan enzimatik
dan antioksidan yang terletak diluar sel atau antioksidan non enzimatik. SOD adalah
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mencegah pembentukan
senyawa radikal atau reaksi antara senyawa radikal atau oksidan lain dengan molekul
tubuh (Harjanto, 2003). Hasil analisis pada variabel aktivitas SOD eritrosit sebelum
olahraga submaksimal diperoleh nilai rerata sebesar 70,727 %. Dalam kondisi normal,
tubuh akan memproduksi antioksidan sebagai sistem pertahan tubuh akibat
meningkatnya jumlah produksi dari radikal bebas ( Reall dalam indah, 2001). Jadi

produksi antioksidan ini mutlak diperlukan sebagai salah satu sistem proteksi dari
tingkat seluler (Purnomo, 2011).
Tidak seimbangnya antara pertahanan antioksidan tubuh dan radikal bebas
menyebabkan stres oksidatif. Intensitas dan durasi latihan berpengaruh terhadap
tingkat stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan terganggunya integritas
membran, terjadinya apoptosis, tidak bekerjanya enzim ( salah satunya SOD), dan
kerusakan DNA (Niess dkk, 1999 dalam Purnomo, 2011).
SOD eritrosit merupakan antioksidan primer yang berfungsi untuk mencegah
terjadinya peroksidasi lemak dengan mengubah O2 0 menjadi hydrogen peroksida.
Pada penelitian ini istirahat yang dilakukan dengan istirahat pasif konsumsi oksigen
yang cukup merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan produksi
SOD eritrosit. Penelitian Andiana (2008) dalam Purnomo (2011), menyatakan bahwa
terjadi peningkatan aktivitas SOD eritrosit yang lebih tinggi pada latihan interval
istirahat pasif dari pada latihan interval istirahat aktif.
2.4 Pengaruh Pemberian Kopi terhadap Kelelahan Otot
Kopi merupakan minuman yang dewasa ini sering dikonsumsi sebelum latihan
untuk meningkatkan performa dan menghambat terjadinya kelelahan otot. Komponen
utamanya yang berupa kafein berperan dalam transport ion Ca2+ kontraksi otot serta
meningkatkan ketersediaan asam lemak bebas untuk dioksidasi menjadi energi dan
menunda oksidasi karbohidrat, sehingga dapat menunda deplesi glikogen yang
menyebebkan kelelahan otot. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya,
bahwa kopi dapat meningkatkan performa latihan masih menjadi hal yang
kontroversial sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh
konsumsi kopi sebelum latihan terhadap kelelahan otot dengan parameter anaerob
berupa anaerobic fatigue(AF) dan aerob berupa VO2Max (Utama, 2010).
Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Yoghi Prawira Utama, Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro, dilakukan dengan menggunakan metode post
test only controlled group design. Subyek penelitian adalah 48 orang laki-laki usia 1921 tahun mahasiswa FK UNDIP yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi yang
telah ditentukan ,dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok kontrol dan perlakuan.
Kelompok perlakuan diberikan segelas kopi terdiri dari 15 gram kopi dan 200 ml air
60 menit sebelum dilakukan tes. Pengukuran menggunakan tes Wingate untuk menilai

kelelahan otot pada fase anaerob , dan tes ergometer sepeda untuk menilai parameter
kelelahan otot pada fase aerob.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan pengukuran dengan tes Wingate,
didapatkan proporsi terjadinya kelelahan berdasar nilai AF pada kelompok perlakuan
lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan uji Chi Square didapatkan
nilai p= 0,119, sehingga dikatakan tidak bermakna. Pengukuran dengan tes ergometer
sepeda didapatkan perbedaan rerata nilai VO2Max dari kelompok kontrol dan
perlakuan di mana rerata nilai VO2Max kelompok kontrol lebih rendah daripada
kelompok perlakuan. Berdasarkan uji T-tidak berpasangan didapatkan nilai p= 0,071,
sehingga perbedaan dikatakan tidak bermakna.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu tidak ada pengaruh yang
signifikan dari pemberian kopi sebelum latihan terhadap kelelahan otot baik pada fase
anaerob maupun fase aerob. Menurut teori, kafein yang merupakan zat utama dalam
kopi memiliki 3 mekanisme utama yang menjelaskan efek ergogeniknya dalam
latihan. Mekanisme pertama yaitu suatu efek langsung terhadap suatu bagian dalam
sistem saraf pusat yang mempengaruhi persepsi kemampuan dan nyeri kelelahan serta
aktivasi neural dari kontraksi otot.` Mekanisme kedua yaitu efek langsung dari kafein
transport ion (termasuk transport ion Ca2+ ) dan efek langsung terhadap enzim
regulasi utama , termasuk enzim-enzim yang mengatur pelepasan glikogen .
Mekanisme ketiga yaitu peningkatan ketersediaan asam lemak bebas meningkatkan
oksidasi lemak dalam otot dan menurunkan oksidasi karbohidrat (fase aerob),
sehingga meningkatkan performa latihan dan mengurangi kelelahan otot yang akan
dialami setelah kadar timbunan karbohidrat (glikogen) yang merupakan substrat
pembentukan energi mencapai kadar yang rendah. Hasil negatif dari penelitian ini
dapat disebabkan oleh karena efek kafein yang terhambat akibat komponenkomponen lain yang terkandung dalam kopi seperti dijelaskan dalam penelitian oleh
Graham dkk yang menyatakan bahwa kafein dalam sediaan kopi tidak menimbulkan
efek ergogenik terhadap otot. Metabolisme, toleransi dan respon tubuh terhadap
kafein serta beberapa faktor seperti usia, keadaan latihan , komposisi tubuh serta
asupan sebelum latihan yang bervariasi pada tiap individu juga dapat berpengaruh
terhadap hasil penelitian ini (Utama, 2010).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya oleh Michael
Roberts dkk yang menyatakan bahwa meminum kopi tidak berpengaruh terhadap
anaerobic capacity (AC) yang merupakan salah satu parameter kelelahan pada fase

anaerob. Penelitian lain oleh Sikiru Lamina dkk tentang pengaruh kafein dalam
sediaan kopi terhadap kapasitas aerobik maksimal (VO2max) 20 orang subjek
penelitian menyatakan bahwa kopi tidak berpengaruh signifikan terhadap kapasitas
aerobik maksimal (VO2Max). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut dapat
dikatakan bahwa kopi tidak berpengaruh terhadap kelelahan otot baik pada fase
anaerob maupun aerob (Utama, 2010).
2.5 Pengaruh Pemberian Tablet Kombinasi B1,B6 dan B12 terhadap Kelelahan
Otot
Vitamin B1, B6, dan B12 merupakan kandungan yang ada pada hampir
seluruh suplemen minuman yang dewasa ini sering dikonsumsi sebelum latihan untuk
meningkatkan performa dan menghambat terjadinya kelelahan otot. Vitamin B1
bermanfaat dalam membantu mengatasi gejala kelelahan karena vitamin tersebut
dapat memperbaiki metabolisme karbohidrat yang digunakan untuk menghasilkan
energi dan dapat mengurangi penumpukan asam laktat pada otot yang mengalami
kelelahan. Vitamin B6 juga berperan penting dalam mencegah kelelahan otot dengan
berperan dalam metabolisme protein, dimana koenzim vitamin B6 diperlukan untuk
membantu pelepasan glikogen dari hati dan otot yang dapat berfungsi sebagai sumber
energi pada saat melakukan akitivitas, sedangkan vitamin B12 dapat membantu
pembentukan sel darah merah, yang akan digunakan untuk menghasilkan oksigen
yang akan diberikan ke seluruh otot, sehingga akan menghambat terjadinya hipoksia
otot. Kombinasi vitamin B1, B6 dan B12 dengan dosis 60 200 x RDA juga dapat
mempengaruhi pembentukan serotonin, dimana serotonin ini terlibat dalam proses
relaksasi. Sehingga hasilnya, orang yang mengkonsumsinya dalam jumlah cukup akan
merasa fit atau tidak cepat lesu lantaran kurang energi dan penumpukan asam laktat.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh konsumsi kombinasi vitamin
B1, B6, dan B12 terhadap kelelahan otot yang akan diberikan dalam bentuk tablet,dan
dikonsumsi 8 jam sebelum latihan, dengan parameter anaerob berupa anaerobic
fatigue(AF) dan aerob berupa VO2Max (Sudjadi, 20101).
Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Clarissa Valencia Sudjadi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, dilakukan dengan menggunakan
metode post test only controlled group design. Subyek penelitian adalah 48 orang
laki-laki usia 19-21 tahun mahasiswa FK UNDIP yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi yang telah ditentukan, dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok kontrol dan

perlakuan. Kelompok perlakuan diberikan 100 mg B1, 200 mg B6, dan 200 mcg B12
selama 8 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian dilihat perbandingan proporsi
kategori kelelahan berdasarkan nilai anaerobic fatigue (AF) dan perbandingan rerata
nilai VO2Max antara kedua kelompok tersebut.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan pengukuran dengan tes wingate
didapatkan didapatkan proporsi terjadinya kelelahan berdasar nilai AF pada kelompok
perlakukan lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan uji Chi Square
didapatkan nilai p = 0,035, sehingga dikatakan bermakna. Pengukuran dengan tes
ergometer sepeda didapatkan perbedaan rerata nilai VO2Max dari kelompok kontrol
dan perlakuan di mana rerata nilai VO2Max kelompok kontrol lebih rendah daripada
kelompok perlakuan. Berdasarkan uji T- tidak berpasangan didapatkan nilai p= 0,016,
sehingga perbedaan tersebut dikatakan bermakna.
Pada penelitian yang penulis lakukan, didapatkan 2 hasil antara lain pada fase
anaerob, adanya pengaruh pemberian tablet kombinasi vitamin B1, B6, dan B12
terhadap terjadinya kelelahan otot, sedangkan pada fase aerob terdapat perbedaan
VO2 max yang bermakna dari kelompok kontrol dan perlakuan dimana rerata nilai
VO2 max kelompok kontrol lebih rendah daripada kelompok perlakuan. Hal ini sesuai
dengan yang diharapkan pada penelitian ini. Berdasarkan teori, vitamin B1 membantu
dalam proses metabolisme anaerob dan aerob, dimana vitamin B1 berperan dalam
metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi dan mengurangi penumpukan
asam laktat pada otot yang mengalami kelelahan. Pembentukan energi didapat dari
pemecahan karbohidrat menjadi adenosine trifosfat (ATP). Dalam senyawa ini terikat
dua gugus fosfat tambahan yang diikat oleh ikatan kaya energi. Dalam proses
metabolism selanjutnya gugus fosfat itu dilepas serta dihasilkan adenosine difosfat
(ADP) dan energi. Energi inilah yang digunakan tubuh untuk melakukan aktivitas.
Fungsi vitamin B1 berperan dalam mengikat gugus fosfat dari ATP sehingga terbentuk
koenzim thiamin pirofosfat (TPP). Koenzim ini diperlukan dalam proses pemecahan
glukosa menjadi asam piruvat dan selanjutnya menjadi asetilkoenzim A. TPP juga
berperan dalam mencegah penimbunan asam laktat dalam sel tubuh yang
menyebabkan kelelahan (Sudjadi, 2010).
Vitamin B6 atau pyridoxin diketahui juga berperan penting di dalam
mencegah kelelahan otot dengan berperan dalam metabolisme protein, 8 dimana
koenzim vitamin B6 yang berupa PLP diperlukan untuk perubahan triptofan menjadi
niasin, yang mana niasin digunakan sebagai koenzim untuk fosforilase dan membantu

pelepasan glikogen dari hati dan otot yang dapat berfungsi sebagai sumber energi
pada saat melakukan akitivitas. Vitamin B12 berperan dalam pembentukan sel darah
merah. Sel darah merah ini yang akan digunakan untuk menghasilkan oksigen yang
akan diberikan ke seluruh otot, sehingga akan menghambat terjadinya hipoksia otot
dan membantu dalam proses metabolism aerob. Dengan demikian hasil penelitian ini
sesuai dengan teori yang telah ada (Sudjadi, 2010).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian - penelitian sebelumnya, oleh
Suzuki M, dkk yang menyatakan bahwa pemberian vitamin B1 berpengaruh pada
penurunan dari glukosa darah dan penurunan keluhan subjektif setelah latihan.
Penelitian oleh Rokitzki L, dkk menyatakan bahwa pemberian vitamin B6 tidak
meningkatkan kapasitas aerobik bila diberikan secara tunggal, dan penelitian oleh
Montoye HJ dkk, menyatakan bahwa vitamin B12 kurang mempunyai efek yang kuat
pada kekuatan genggaman, pemulihan nadi dan VO2 dalam tes ergometer bila
diberikan secara tunggal9, walaupun menurut beberapa penelitian terdahulu
pemberian vitamin B6 secara tunggal, kurang meningkatkan aktivitas aerobik dan
pemberian vitamin B12 secara tunggal, kurang berefek pada peningkatan VO2 max,
pada penelitian ini terbukti dengan pemberian secara kombinasi dapat berpengaruh
terhadap ketahanan otot dan peningkatan VO2 max, selain itu dari penelitian lain yang
dilakukan oleh Melvin H William,dkk menyatakan bahwa kombinasi vitamin B1, B6,
dan B12 dengan dosis 60 200 x RDA dapat mempengaruhi pembetukan serotonin,
suatu neurotransmiter penting yang terlibat dalam proses relaksasi dan dapat
meningkatkan fungsi control motorik halus (Sudjadi, 2010).
2.6 Pengaruh Pemberian Suplemen Besi terhadap Kelelahan Otot
Zat besi diketahui memiliki fungsi yang penting dalam metabolism energi,
karena besi berperan dalam mentransport oksigen yang dibutuhkan untuk
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak untuk menghasilkan energi(ATP). ATP
diperlukan untuk kontraksi otot. Dalam keadaan ketersedian oksigen dalam tubuh,
akan terjadi metabolisme anaerob dimana hasil dari metabolisme ini adalah asam
laktat. Penumpukan asam laktat diketahui dapat menyebabkan terjadinya kelelahan
otot. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan tes wingate untuk mengetahui
kelelahan otot yang terjadi pada fase anaerob dengan menilai parameter anerobic
fatigue (AF) dan tes ergometer sepeda pada fase aerob dengan menilai perbandingan
rerata nilai V02Max (Cynthia, 2010).

Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Cynthia, Fakultas Kedokteran,


Universitas Diponegoro, dilakukan dengan menggunakan metode post test only
controlled group design. Subyek penelitian adalah 48 orang laki-laki usia 19-21 tahun
mahasiswa FK UNDIP yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi yang telah
ditentukan, dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan perlakuan.
Kelompok perlakuan diberi suplemen besi seminggu sebelum dilakukan tes.
Pengukuran dengan menggunakan tes wingate untuk menilai kelelahan otot pada fase
anaerob dan tes ergometer sepeda untuk menilai kelelahan pada fase aerob.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan pengukuran pada tes wingate,
didapatkan proporsi terjadinya kelelahan berdasarkan nilai AF pada kelompok
perlakuan lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Bedasarkan uji Chi Square
diperoleh nilai signifikansi (p) 0,119 sehingga dinyatakan tidak bermakna.
Pengukuran dengan tes ergometer sepeda, didapatkan perbedaan rerata nilai VO2Max
dari kelompok kontrol dan perlakuan dimana nilai rerata VO2max kelompok kontrol
lebih rendah daripada kelompok perlakuan. Bedasarkan uji t tidak berpasangan
didapatkan nilai p = 0,061 sehingga perbedaan tersebut dinyatakan tidak bermakna.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, tidak ada pengaruh pemberian
suplemen besi terhadap kelelahan otot pada fase anaerob dan aerob. Salah satu faktor
penyebabnya adalah tingkat kepatuhan setiap probandus dalam mengkonsumsi
suplemen besi yang diberikan dalam waktu seminggu yang mempengaruhi hasil
penelitian. Penyerapan zat besi itu sendiri dipengaruhi oleh kadar keasaman lambung,
fungsi usus yang terganggu misalnya diare maupun makanan dan minuman yang
dikomsumsi seperti tanin dalam teh, kopi dan beberapa jenis sayuran (Cynthia, 2010).
Menurut teori, zat besi berperan dalam transport oksigen yang dibutuhkan
dalam metabolisme karbohidrat, protein, lemak untuk menghasilkan energi. Diketahui
apabila ketersediaan oksigen terbatas dalam tubuh, akan terjadi penumpukan asam
laktat yang dapat menyebabkan kelelahan otot. Ini yang dikenal dengan metabolisme
anaerob (Cynthia, 2010).
Pengukuran pada tes ergometer sepeda, nilai VO2Max sendiri berbeda pada
tiap individu, di mana kondisi fisik seseorang mempengaruhi besarnya konsumsi
oksigen maksimal. Seorang atlet yang sering berlatih akan memiliki nilai VO2Max
lebih tinggi dibandingkan yang tidak pernah berolahraga. Hal ini dapat diartikan
bahwa intensitas latihan seseorang mempengaruhi hasil nilai VO2Max ini. Aktivitas
sebelum dilakukan latihan tiap individu berbeda satu sama lain juga mempengaruhi,

orang yang habis melakukan akivitas yang berat akan lebih mudah lelah dibandingkan
yang tidak. Hereditas juga berpengaruh terhadap VO2Max, seseorang bisa
mempunyai potensi lebih besar dari orang lain untuk mengkomsumsi oksigen yang
lebih tinggi dan mempunyai suplai pembuluh darah kapiler lebih baik terhadap otot
otot, mempunyai kapasitas paru yang lebih besar, dapat mensuplai hemoglobin dan sel
darah merah yang lebih banyak dan jantung lebih kuat. Hal lain yang mempengaruhi
VO2Max seseorang yaitu status gizi, seseorang akan memiliki daya tahan lebih tinggi
bila mengkomsumsi tinggi karbohidrat, diet tinggi protein terutama untuk
memperbesar otot dan untuk olahraga yang memerlukan kekuatan otot yang besar.
Rokok juga berpengaruh, kadar CO yang terhisap mengurangi nilai VO2Max, yang
berpengaruh terhadap daya tahan. Pengaruh pemberian suplemen besi pada kelelahan
otot fase anaerob juga memberikan hasil yang tidak bermakna. Hal ini juga
disebabkan faktor ketaatan setiap probandus dalam komsumsi suplemen besi selama
seminggu sebelum latihan dan kondisi fisik seseorang yang berbeda satu sama lain.
Aktivitas sebelum dilakukan penelitian juga mempengaruhi hasil selain dari pada
intensitas olahraga itu sendiri (Cynthia, 2010).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh McLane et al didapatkan bahwa
bahwa tikus yang mengalami defisiensi besi mengalami kelelahan otot secara
signifikan lebih cepat dibanding yang tidak mengalami defisiensi besi, di mana
menurut penelitian tersebut disebutkan bahwa tikus yang mengalami defisiensi besi
mengalami peningkatan LDH sehingga terjadi penimbunan asam laktat dalam otot.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Brutsaert T, dkk menyebutkan terdapat perbedaan
ketahanan terhadap kelelahan yang pada otot extensor kaki perempuan yang diberikan
suplemen besi (Cynthia, 2010).
2.7 Pengaruh Pemberian Tablet Asam Amino terhadap Kelelahan Otot
Asam amino merupakan suplemen yang dewasa ini sering dikonsumsi
sebelum latihan untuk meningkatkan performa dan menghambat terjadinya kelelahan
otot. Komponen utamanya yang berupa BCAA yang dibentuk oleh asam amino
leucine, isoleucine dan valin. Suplementasi BCAA sebelum latihan membantu
mencegah katabolisme protein yang disebabkan menurunnya kadar glikogen di otot.
Creatin yang merupakan kombinasi dari asam amino glysine dan argynine juga
memiliki peran penting dalam sistem energy tubuh dan sintesis protein. Pemberian
creatin sebelum latihan dapat menambah energi saat latihan dan mempercepat

pemulihan antar set.Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa asam


amino dapat meningkatkan performa latihan masih memerlukan penelitina lebih
lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh konsumsi tablet asam
amino sebelum latihan terhadap kelelahan otot dengan parameter anaerob berupa
anaerobic fatigue(AF) dan aerob berupa VO2Max (Setiawan, 2010).
Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Jeffri Purnomo Setiawan,
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, dilakukan dengan menggunakan
metode post test only controlled group design. Subyek penelitian adalah 48 orang
laki-laki usia 19-21 tahun mahasiswa FK UNDIP yang memenuhi criteria inklusi dan
eksklusi yang telah ditentukan ,dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok kontrol dan
perlakuan. Kelompok perlakuan diberi satu tablet asam amino 2,2 gram 30 menit
sebelum dilakukan tes. Pengukuran menggunakan tes Wingate untuk menilai
kelelahan otot pada fase anaerob , dan tes ergometer sepeda untuk menilai parameter
kelelahan otot pada fase aerob.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan Uji Chi-Square didapatkan proporsi
terjadinya kelelahan berdasar nilai AF pada kelompok perlakukan lebih sedikit
dibandingkan kelompok kontrol secara bermakna ( p=0,017). Uji t-tidak berpasangan
didapatkan perbedaan rerata nilai VO2Max yang bermakna (p=0,020) dari kelompok
kontrol dan perlakuan di mana rerata nilai VO2Max kelompok kontrol lebih rendah
daripada kelompok perlakuan.
Penelitian ini membuktikan pengaruh pemberian tablet asam amino terhadap
terjadinya kelelahan otot baik yang terjadi pada fase anaerob maupun aerob. Oleh
karena itu, penulis menggunakan Wingate test untuk mengetahui kelelahan otot yang
terjadi pada fase anaerob dan tes ergometer sepeda pada fase aerob. Pada wingate test,
penulis menghitung jumlah putaran roda selama 30 detik yang dibagi menjadi enam
fase sehingga didapat hitungan selama 5 detik. Variabel yang digunakan adalah
anerobic fatigue (AF) yang didapatkan dari selisih jumlah putaran tertinggi dan
putaran terendah yang dinyatakan dalam persen. Sedangkan pada tes ergometer
sepeda, penulis menghitung VO2max probandus yang dilihat dari denyut jantung dan
beban selama tes berlangsung. Kedua hasil tersebut diukur menggunakan nomogram
astrand sehinga diperoleh nilai VO2max. Tes ini berlangsung sampai dicapai nadi
submaksimal yaitu 187 melalui hasil pengukuran EKG (Setiawan, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan asam amino terbukti memiliki pengaruh
terhadap terjadinya kelelahan otot baik pada fase anaerob maupun aerob. Hal ini

sesuai dengan yang diharapkan pada peneltian ini. Berdasarkan teori, Asam amino
yang memiliki peran penting dalam mekanisme kontraksi otot adalah branched-chain
amino acid (BCAA). BCAA dibentuk oleh asam amino leucine, isoleucine dan valin.
Suplementasi BCAA sebelum latihan membantu mencegah katabolisme protein yang
disebabkan menurunnya kadar glikogen di otot (fase anaerob). Creatin yang
merupakan kombinasi dari asam amino glysine dan argynine juga memiliki peran
penting dalam sistem energi tubuh dan sintesis protein (fase aerob). Pemberian creatin
sebelum latihan dapat menambah energi saat latihan dan mempercepat pemulihan
antar set. Dengan demikian hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang telah ada
(Setiawan, 2010).
Proporsi subyek penelitian yang mengalami kelelahan otot lebih kecil pada
kelompok yang menerima tablet asam amino dibandingkan dengan yang tidak
menerima tablet asam amino. Pada penelitian sebelumnya, pemberian BCAA per oral
sebesar 60 mg/kg BB sebelum melakukan aktivitas dapat menurunkan rasio freetryptofan/BCAA yang dapat menunda terjadinya kelelahan otot. Sedangkan pada
penelitian lainnya, Pemberian 2 tablet ( 4gram) asam amino sebelum olah raga dapat
mencegah terjadinya kelelahan otot 20% lebih banyak dibandingkan placebo.
Pemberian 3,6 gram kombinasi asam amino leucine, isoleucine, dan valine pada pagi
dan sore hari juga dapat meningkatkan kadar sel darah merah, hemoglobin, dan CPK
sebesar 13%, 5%, dan 6%.Dari penelitian-penelitian tersebut diketahui adanya
pengaruh pemberian asam amino baik pada fase aerob maupun anerob (Setiawan,
2010).

BAB III
KESIMPULAN

1. Sistem muskular (otot) terdiri dari sejumlah besar otot yang bertanggung
jawab atas gerakan tubuh. Otot rangka yang bekerja dibawah pengaruh saraf.
Otot rangka akan melakukan mekanisme gerak otot yaitu kontraksi dan
relaksasi.
2. Kelelahan otot adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ketidakmampuan
otot untuk berkontraksi akibat menurunnya ATP serta peningkatan
penimbunan asam laktat dalam darah. Kelelahan otot terjadi apabila otot yang
beraktifitas tidak lagi dapat berespon terhadap rangsangan dengan tingkat
aktivitas kontraktil yang setara.
3. Kelelahan sentral otot lurik terjadi karena hilangnya pengerahan dari unit
motor dengan ambang batas yang tinggi, selanjutnya terjadi penurunan
kontraksi karena masuknya inhibitor inter neuron ke dalam korteks motor
dalam jumlah yang banyak. Setelah itu terjadi pengeluaran motor neuron atau
demieleniasi yang menimbulkan blok konduksi sentral.
4. Kelelahan perifer otot lurik terjadi karena kehilangan konduksi elektrikal dari
membran otot ke sistem tubula, selanjutnya terjadi gangguan pelepasan ion
kalsium dari retikulum sarkoplasmik (SR) dimana akan menimbulkan
gangguan dalam interaksi antara aktin dan miosin selama siklus the cross
bridge (jembatan silang).
5. Sikap tubuh seseorang pada waktu menjalankan tugas ditentukan oleh
hubungan

antara

dimensi

berbagai

objek

kerja

dan

ruang

kerja.

Ketidakserasian ini selain akan menyebabkan nyeri otot-otot rangka juga akan
menyebabkan kelelahan.
6. Asam laktat merupakan produk akhir dan diproduksi dari sistem glikolisis
anaerobik sebagai akibat pemecahan glukosa yang tidak sempurna. tubuh,
asam laktat diproduksi secara terus menerus dalam sitoplasma Meskipun
demikian jumlah asam laktat dalam tubuh relatif tetap.
7. SOD adalah merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mencegah
pembentukan senyawa radikal atau reaksi antara senyawa radikal atau oksidan
lain dengan molekul. Tidak seimbangnya antara pertahanan antioksidan tubuh
dan radikal bebas menyebabkan stres oksidatif. SOD eritrosit merupakan
antioksidan primer yang berfungsi untuk mencegah terjadinya peroksidasi
lemak dengan mengubah O2 menjadi hydrogen peroksida.

8. Pemberian kopi 60 menit sebelum latihan tidak berpengaruh terhadap


kelelahan otot fase anaerob yang dinyatakan dalam nilai AF dan kelelahan otot
fase aerob yang dinyatakan dalam nilai VO2max .
9. Pemberian tablet kombinasi vitamin B1, B6, dan B12, 8 jam sebelum latihan
berpengaruh terhadap kelelahan otot fase anaerob yang dinyatakan dalam nilai
AF dan kelelahan otot fase aerob yang dinyatakan dalam nilai VO2max .
10. Pemberian suplemen besi 1 minggu sebelum latihan tidak berpengaruh
terhadap kelelahan otot fase anaerob yang dinyatakan dalam nilai AF dan
kelelahan otot fase aerob yang dinyatakan dalam nilai VO2max .
11. Pemberian tablet asam amino 30 menit sebelum latihan berpengaruh secara
bermakna terhadap terjadinya kelelahan otot pada fase aerob maupun
anerob.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Rahmaniyah Dwi. 22007. Analisa Pengaruh Aktivitas Kerja dan Beban Angkat
Terhadap Kelelahan Muskuloskeletal. Jurnal Gema Teknik No. 2
Cynthia. 2010. Pengaruh Pemberian Suplemen Besi Terhadap Kelelahan Otot.
Program Pendidikan Sarjana Kedokteran. Fakultas Kedokteran. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Davis et al.,2010. Mechanisms of Fatigue. The Journal of SupporTive oncology. Vol.
8 (4) : 164-174).
Gunawan, A., 2001. Mekanisme dan Mekanika Pergerakan Otot. INTEGRAL. Vol.6
(2) : 58-70.
Harimbawa.,2014. Pengaruh Pelatihan Knee Tuck Jump dan Split Jump Terhadap
Peningkatan

Kelentukan

dan

Power Otot Tungkai. e-Journal IKOR

Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 1.


Herzog et al.,2008. Mysteries of Muscle Contraction. Journal of Applied
Biomechanics. Vol.

26 : 1-13.

Purnomo, Mochamad. 2011. Asam Laktat dan Aktivitas SOD Eritrosit pada Fase
Pemulihan Setelah Latihan Submaksimal. Universitas Negeri Semarang.
Semarang. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia. Volume 1. Edisi 2.
Desember 2011. ISSN: 2088-6802.
Setiawan, Jeffri Purnomo. 2010. Pengaruh Pemberian Tablet Asam Amino Terhadap
Kelelahan

Otot.

Program

Pendidikan

Sarjana

Kedokteran.

Fakultas

Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.


Sudjadi, Clarissa Valencia. 2010. Pengaruh Pemberian Tablet Kombinasi Vitamin B1,
B6, dan B12 Terhadap Kelelahan Otot. Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.
Suhartono. 2005. Pengaruh Kelelahan Otot Anggota Gerak Bawah Terhadap
Keseimbangan Postural Pada Subyek Sehat. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, Semarang.
Susetyo, Joko ; Titin Isna Oes & Suyasning Hastiko Indonesiani. 2008. Prevalensi
Keluhan Subyektif atau Kelelahan Karena Sikap Kerja yang Tidak Ergonomis
Pada Pengerajin Perak. Jurnal Teknologi, Volume. 1 Nomor 2 , Desember
2008, 141-149.
Utama, Yoghi Prawira. 2010. Pengaruh Pemberian Kopi Terhadap Kelelahan Otot.
Program Pendidikan Sarjana Kedokteran. Fakultas Kedokteran. Universitas
Diponegoro. Semarang.

Utami R.,2012. Penambahan Stretching Exercise Pada Intervensi Micro Wave


Diathermi, Transcutaneous Electical Nerve Stimulation dan Massage Dapat
Lebih Mengurangi Nyeri Penderita Spondylosis Cervicalis. Jurnal Skripsi 1-7.

Anda mungkin juga menyukai