Makalah Fiswan Kelompok 5
Makalah Fiswan Kelompok 5
SEMESTER GENAP
TAHUN AJARAN 2013/2014
KELOMPOK 5
TARWINIH (140410120001)
ANNISA MARYANI (140410120012)
AUFA AULIA KANZA (140410120019)
FIRDA LATIFATUL AULIA (140410120033)
FITRI KAMILAWATI (140410120036)
NOVIYANTI SOLEHA (140410120059)
ANNISA ABDIWIJAYA QAROMAH (140410120064)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
KATA PENGANTAR
Pertama-tama puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang
masih memberikan nikmat dan rahmatNya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Kelelahan dan Kelainan pada Otot Rangka, dalam mata
kuliah Fisiologi Hewan.
Makalah ini berisi penjelasan mengenai kelelahan otot rangka dan faktor yang
menyebabkannya. Selain itu dalam makalah ini juga dijelaskan mengenai definisi otot
rangka dan cara mengatasi kelelahan pada otot rangka
Kami berharap, dengan adanya makalah ini dapat memberikan penjelasan
mengenai beberapa jenis kelelahan dan kelainan pada otot rangka. Kami juga
berharap agar pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah yang telah disusun ini.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah
Fisiologi Hewan, Ibu Desak Made Malini, yang telah memberikan tugas dan
memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tentunya makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dalam penyempurnaan makalah ini.
Jatinangor, Mei 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem muskular (otot) terdiri dari sejumlah besar otot yang bertanggung
jawab atas gerakan tubuh. Terdapat tiga jenis yaitu: otot polos, otot jantung, dan otot
rangka. Dari ketiga otot tersebut, otot yang memiliki andil besar dalam pergerakan
tubuh manusia adalah otot rangka. Otot rangka yang bekerja dibawah pengaruh saraf.
Otot rangka akan melakukan mekanisme gerak otot yaitu kontraksi dan relaksasi.
Otot dapat mengalami kelelahan dan bisa terjadi karena kerja otot secara
maksimal.
Kelelahan
otot
adalah
suatu
keadaan
yang
ditandai
dengan
Pada teori jembatan silang dijelaskan bahwa kontraksi otot disebabkan karena
adanya interaksi dari dua protein kontraktil aktin dan miosin. Miosin memiliki suatu
bagian pada strukturnya yang dapat berhubungan langsung dengan aktin, dimana
siklus ini terjadi karena adanya hidrolisis dari satu molekul ATP (Herzog et
al.,2008).
dan jaringan non kontraktil. Pemanjangan terjadi pada sarkomer otot (jaringan
kontraktil) serta jaringan fibrous pembungkus otot (perimyesium, epimyesium, dan
endomyesium) dan tendon (nonkontraktil). Pemanjangan tersebut secara langsung
akan menghasilkan peningkatan lingkup gerak sendi (LGS) cervical (Utami, 2012).
Gerakan otot lurik tentu dibawah komando atau suatu kontrol yang disebut
impuls saraf motor. Sebuah impuls saraf yang tiba pada sebuah persambungan
neuromuskular (= sambungan antara neuron dan otot) akan dihantar langsung kepada
tiap-tiap sarkomer oleh sebuah sistem tubula transversal/T. Tubula tersebut
merupakan pembungkus-pembungkus semacam saraf pada membran plasma fiber.
Tubula tersebut mengelilingi tiap miofibril pada disk Z masing-masing. Sarkomer
pada sebuah otot akan menerima sinyal untuk berkontraksi sehingga otot dapat
berkontraksi sebagai satu kesatuan utuh. Sinyal elektrik itu dihantar (dengan proses
yang belum begitu dimengerti) menuju retikulum sarkoplasmik (SR). SR merupakan
suatu sistem dari vesicles (saluran yang mengandung air di dalamnya) yang pipih,
bersifat membran, dan berasal dari retikulum endoplasma. Sistem tersebut
membungkus tiap-tiap miofibril hampir seperti rajutan kain. Membran SR yang secara
normal non-permeabel terhadap Ca2+ itu mengandung sebuah transmembran Ca2+ATPase yang memompa Ca2+ kedalam SR untuk mempertahankan konsentrasi
[Ca2+] bagi otot rileks. Kemampuan SR untuk dapat menyimpan Ca2+ ditingkatkan
lagi oleh adanya protein yang bersifat amat asam yaitu kalsequestrin (memiliki situs
lebih dari 40 untuk berikatan dengan Ca2+). Kedatangan impuls saraf membuat SR
menjadi permeabel terhadap Ca2+.Akibatnya, Ca2+ berdifusi melalui saluran-saluran
Ca2+ khusus menuju interior miofibril, dan konsentrasi internal [Ca2+] akan
bertambah. Peningkatan konsentrasi Ca2+ ini cukup untuk memicu perubahan
konformasional dalam troponin dan tropomiosin. Akhirnya, kontraksi otot terjadi
(Gunawan, 2001).
Kelelahan Otot Lurik
Kelelahan pada otot dibagi menjadi dua jenis, yaitu sentral dan perifer. Pada
kelelahan sentral terjadi karena hilangnya pengerahan dari unit motor dengan ambang
batas yang tinggi, selanjutnya terjadi penurunan kontraksi karena masuknya inhibitor
inter neuron ke dalam korteks motor dalam jumlah yang banyak. Setelah itu terjadi
pengeluaran motor neuron atau demieleniasi yang menimbulkan blok konduksi
sentral. Hal ini meningkatkan umpan balik negatif dari otot afferen tipe III dan neuron
sensorik tipe IV bersamaan dengan hilangnya umpan balik positif dari spindel otot
tipe I afferen sensorik (Davis et al.,2010).
Mekanisme kelelahan perifer pertama-tama terjadi karena kehilangan
konduksi elektrikal dari membran otot ke sistem tubula, selanjutnya terjadi gangguan
pelepasan ion kalsium dari retikulum sarkoplasmik (SR) dimana akan menimbulkan
gangguan dalam interaksi antara aktin dan miosin selama siklus the cross bridge
(jembatan silang). Gangguan juga terjadi pada proses pengambilan/penyerapan
kembali ion kalsium karena kegagalan dalam glikolisis, posforilasi oksidatif, maupun
keduanya (Davis et al.,2010).
2.2 Kelainan Pada Otot Rangka Akibat Lama, Aktivitas dan Sikap Kerja
Beban sikap tubuh statis yang lama menjadi faktor yang utama dalam
kehidupan modern, yang menjadi penyebab nyeri otot rangka akibat kerja
(Chavalitsakulchai & Shahnavas,1992 dalam Susetyo,dkk., 2008). Sikap tubuh
seseorang pada waktu menjalankan tugas ditentukan oleh hubungan antara dimensi
berbagai objek kerja dan ruang kerja. Ketidakserasian ini selain akan menyebabkan
nyeri otot-otot rangka juga akan menyebabkan kelelahan. Di Amerika Serikat keluhan
nyeri otot-otot rangka merupakan salah satu penyakit akibat kerja sehingga
menyebabkan penderitaan tenaga kerja, penurunan produktivitas dan kerugian
ekonomi, penyebab kerja yang tidak alamiah sebagai akibat tidak betulnya design
tempat kerja (kursi dan meja) menyebabkan hampir sebagian besar tenaga kerja
menderita Musculosketal Disorder dan Low Back Pain (Manuaba, 1995 dalam
Susetyo,dkk., 2008).
Sistem kerja yang baik tidak terlepas dari work place (tempat kerja) maupun
langkah-langkah operasional tugas yang harus dilakukan dalam suatu pekerjaan.
Penataan tempat kerja beserta perlengkapan atau peralatan yang digunakan maupun
posisi tubuh pada saat bekerja akan sangat berpengaruh dalam menciptakan suatu
sistem kerja yang terintegrasi dengan baik. Melalui perbaikan yang dilakukan, akan
menjadikan suatu industri bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Meskipun
perkembangan industri di dunia sudah maju dan segala sesuatunya serba otomatis,
tetapi penggunaan tenaga manusia secara manual masih belum bisa dihindari secara
keseluruhan. Dunia industri di Indonesia juga masih banyak yang menggunakan
tenaga manusia dalam hal penanganan material. Kelebihan MMH (Manual Material
Handling) bila dibandingkan dengan penanganan material menggunakan alat bantu
adalah fleksibilitas gerakan yang dapat dilakukan untuk beban-beban ringan. Akan
tetapi, aktivitas MMH diidentifikasi berisiko besar sebagai penyebab utama penyakit
tulang belakang (Low Back Pain) (Astuti, 2007).
Menurut Luopajarvi (1990) dalam Astuti (2007), beban kerja yang berat,
postur kerja yang salah dan perulangan gerakan yang tinggi, serta adanya getaran
terhadap keseluruhan tubuh merupakan keadaan yang memperburuk penyakit
tersebut. Kondisi manusia dikatakan tidak aman bila kesehatan dan keselamatan
pekerja mulai terganggu. Dengan adanya kelelahan dan keluhan muskuloskeletal
merupakan salah satu indikasi adanya gangguan kesehatan dan keselamatan pekerja.
Pekerja sering mengeluh tubuh merasa nyeri atau sakit saat bekerja maupun setelah
bekerja. Studi tentang MSDs menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan
adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari,
punggung, pinggang dan otot bagian bawah (Astuti, 2007).
Proses kerja secara manual akan memerlukan penggunaan tenaga otot sebagai
tenaga utama. Kekuatan otot ditentukan oleh sifat dari sel otot itu sendiri. Sel otot
skeletal ada 2 tipe yaitu otot merah dan otot putih. Kontraksi otot merah berlangsung
lambat dan dalam waktu lama, karena memiliki pembuluh intramuskular lebih banyak
dibandingkan dengan otot putih yang mampu berkontraksi cepat dalam waktu singkat
(Guyton & Hall, 2000; Silverthorn, 2001 dalam Susetyo,dkk., 2008). Kontraksi otot
memerlukan energi dan menghasilkan zat sisa metabolisme (Cummings, 2003 dalam
Susetyo,dkk., 2008).
Kontraksi otot timbul akibat eksitasi akson terminal ke sel otot, melalui
eksositosis asetilkolin pra sinaps. Kontak asetilkolin dengan reseptor pasca sinaps
merangsang aliran ion natrium ekstrasel ke intrasel sehingga terjadi potensial aksi di
dalam sel otot seperti di sarkolema, tubulus transversalis, tubulus longitudinalis dan
sisterna. Potensial aksi di sisterna akan merangsang sekresi kalsium sisterna ke dalam
miofilamen otot skeletal sehingga terjadi ikatan kalsium tranponin C. Ikatan
troponin C kalsium akan merangsang terjadinya kontak aktin dan miosin sehingga
terjadi pergeseran aktin di atas miosin (sliding mechanism) dan timbul kontraksi otot
(Guyton & Hall, 2000 dalam Susetyo,dkk., 2008).
Selama proses kontraksi otot akan diperlukan ATP untuk menjamin terjadinya:
(1) pergeseran aktin di atas miosin, (2) pelepasan kontak aktin dan miosin serta (3)
mengembalikan ion kalsium ke sisterna dengan pompa kalsium. Ketersediaan energi
ini tergantung pada ketersediaan oksigen dan zat makanan yang dihantarkan oleh
Kelelahan umum dapat diakibatkan oleh efek dari berbagai stress berupa
monotony, intensitas atau durasi dari beban kerja mental atau mental dan fisik, iklim
lingkungan termasuk penerangan dan kebisingan, penyebab mental berupa tanggung
jawab, kekhawatiran dan konflik-konflik, penyakit dan perasaan sakit dan faktor
nutrisi yang dialami sepanjang hari kerja berakumulasi pada organisme dan secara
bertahap meningkatkan perasaan lelah dimana perasaan lelah ini merupakan keadaan
yang dapat dihilangkan dengan berbaring dan istirahat (Susetyo,dkk., 2008).
Kondisi kelelahan pada pekerja perlu diukur agar dapat dilakukan upayaupaya penanggulangan secara dini dan lebih rasional. Dengan mengetahui lebih awal
kondisi kelelahan pada pekerja mengalami fatigue accumulation maupun kelelahan
kronis yang dapat terjadi akibat pemulihan tidak memadai. Dari beberapa literatur
dikatakan bahwa sampai saat ini tidak ada suatu campuran yang dapat mengukur
secara langsung suatu kelelahan itu sendiri. Untuk membuat interpretasi dari hasilhasil pemeriksaan agar lebih reliabel, saat ini dalam beberapa studi dapat dipakai
kombinasi dari bebrapa indikatordari kelelahan (Susetyo,dkk., 2008).
Menurut Susetyo,dkk. (2008), ada beberapa cara yang saat ini dipakai untuk
mengetahui kelelahan, yang sifatnya hanya mengukur manifestasi-manifestasi atau
indikator-indikator kelelahan yaitu :
a. Kualitas dan kuantitas dari penampilan kerja
b. Mencatat persepsi subyektif dari kelelahan
c. EEG (Electroencepalhography)
d. Uji flicker fusion
e. The Blink Apparatus
f. Tes Psikomotor. Tes ini mengukur fungsi-fungsi yang melibatkan persepsi,
interpretasi dan reaksi motorik: simple dan selektif reaction times test,
tachistoscopic test.
g. Tes mental : aritmatic problem, tes konsentrasi misalnya tes Bourdon wiersma.
Meskipun ada banyak macam alat ukur untuk mengevaluasi kelelahan seperti
disebutkan diatas, jenis alat ukur (tes) yang mudah untuk dilakukan adalah kuesioner
yang mencatat persepsi subyektif dari kelelahan umum (the subyektif sysmtoms test
yang terdiri dari 30 item gejala kelelahan umum). Kuesioner 30-an item gejala
kelelahan umum diadopsi dari IFRC (Industrial Fatigue Research Commitee Of
Japanese Association Of Industrial Health) yang dibuat pada tahun 1967.
Disosialisasikan dan dimuat dalam Prosiding Symposium on Methodology of Fatgue
Assesment. Symposium ini diadakan di Kyoto Jepang pada tahun 1969. Sepuluh item
pertama mengindikasikan adanya pelemahan aktifitas, 10 item kedua pelemahan
motifasi kerja dan 10 item ketiga atau terakhir mengindikasikan kelelahan fisik atau
kelelahan pada bagian tubuh (Susetyo,dkk., 2008).
Semakin tinggi frekuensi gejala kelelahan muncul dapat diartikan semakin
besar pula tingkat kelelahan. Dikatakan bahwa kelemahan dari kuesioner ini adalah
tidak dilakukannya evaluasi terhadap setiap item pertanyaan secara tersendiri.
Kuesioner ini kemudian dikembangkan dimana jawaban jawaban kuesioner diskoring
sesuai empat skala Likert. Interpretasi dibuat berdasrkan skor yang akan didapat.
Kategori tidak lelah ditentukan jika skor yang diperoleh lebih kecil dari 40. Kategori
lelah ditentukan dari skor total lebih besar atau sama dengan 40. Dalam studi-studi
eksperimen interpretasi biasanya dibuat hanya berdasarkan adanya perbedaan skor
sebelum dan sesudah suatu perlakuan (Susetyo,dkk., 2008).
Faktor Resiko Sikap Kerja Terhadap Gangguan Muskuloskeletal
Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan pekerjaan
antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan, dan lain-lain. Sikap kerja
tersebut dilakukan tergantung dari kondisi dari sistem kerja yang ada. Jika kondisi
sistem kerjanya yang tidak sehat akan menyebabkan kecelakaan kerja, karena pekerja
melakukan pekerjaan yang tidak aman. Menurut Bridger (1995) dalam Astuti (2007),
sikap kerja yang salah, canggung, dan di luar kebiasaan akan menambah resiko cidera
pada bagian sistem muskuloskeletal.
Sikap kerja hendaknya diusahakan dalam posisi fisiologis seperti saat duduk
dan berdiri, sehingga tidak sampai menimbulkan sikap paksa yang melewati
kemampuan fisiologis tubuh (Grandjean & Kroemer, 2000; Manuaba, 1998 dalam
Susetyo,dkk., 2008). Tujuannya mencegah kontraksi otot dan peregangan tendo secara
berlebihan (overuse). Sikap paksa dapat terjadi pada berbagai sikap seperti saat
memegang, angkat angkut, duduk, mengambil alat, berdiri ataupun akibat ruang kerja
yang tidak sesuai dengan pekerja (Adnyana, 2001; Chung,dkk., 2003; Dempsey,
2003; Ferreira, 2005; Fergusson,dkk., 2005; Sutajaya, 2000 dalam Susetyo,dkk.,
2008).
Perubahan sikap merupakan suatu adaptasi tubuh untuk mempertahankan
suatu gaya yang timbul pada saat berkontraksi untuk suatu sikap seperti saat
membungkuk, mengangkat beban, menahan beban dan lain sebagainya. Hal ini
dipengaruhi oleh penampang otot, posisi otot serta insersi tendo pada tulang. Secara
itu tata ruang sikap kerja harus dibuat sedemikian rupa sehingga beban kerja
seminimal mungkin. Menurut Grandjean (1998) dalam Susetyo,dkk. (2008), ada tujuh
petunjuk ergonomis yang membuat beban minimized adalah :
1) Mencegah semua bentuk sikap kerja yang tidak alamiah, misalnya badan selalu
membungkuk, kepala lebih banyak menoleh kesamping daripada ke depan.
2) Mencegah tangan atau lengan terlalu lama pada posisi ke depan atau ke
samping. Misalnya: operator yang mengoperasikan mesin yang sedang berjalan.
3) Kerja duduk yang terlalu lama.
4) Gerak satu tangan/lengan yang statis, merupakan beban otot.
5) Lingkungan kerja dengan meja. Jarak mata dengan pekerjaan harus baik,
jangan terlalu dekat.
6) Alat-alat yang dipakai kerja harus mudah dijangkau bila perlu. Jarak dengan
mata dan alat-alat tadi adalah 25-30 cm.
7) Kerja dengan tangan dapat dipergunakan penopang di bawah lengan dan siku.
4. Pengangkatan Beban
Kegiatan ini menjadi penyumbang terbesar terjadinya kecelakaan kerja pada
bagian punggung. Pengangkatan beban yang melebihi kadar dari kekuatan manusia
menyebabkan penggunaan tenaga yang lebih besar pula atau over exertion. Adapun
pengangkatan beban akan berpengaruh pada tulang belakang bagian lumbar. Pada
wilayah ini terjadi penekanan pada bagian L5/SI (lempeng antara lumbarke-5 dan
sacral ke-1). Penekanan pada daerah ini mempunyai batas tertentu untuk menahan
tekanan. Invetebratal disc
Hal yang penting menyangkut kegiatan mendorong beban adalah tinggi tangan
pendorong. Tinggi pegangan antara siku dan bahu selama mendorong beban
dianjurkan dalam kegiatan ini. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga
maksimal untuk mendorong beban berat dan menghindari kecelakaan kerja bagian
tangan dan bahu (Astuti, 2007).
7. Menarik Beban
Kegiatan ini biasanya tidak dianjurkan sebagai metode pemindahan beban, karena
beban sulit untuk dikendalikan dengan anggota tubuh. Beban dengan mudah akan
tergelincir keluar dan melukai pekerjanya. Kesulitan yang lain adalah pengawasan
beban yang dipindahkan serta perbedaan jalur yang dilintasi. Menarik beban hanya
dilakukan pada jarak yang pendek dan bila jarak yang ditempuh lebih jauh biasanya
beban didorong ke depan (Astuti, 2007).
Fisiologi Kerja
Fisiologi kerja adalah studi tentang fungsi organ manusia yang dipengaruhi
stress otot. Saat seseorang melakukan kerja fisik diperlukan gaya otot, dan aktivitas
otot ini memerlukan energi dimana suplai energi memberi beban kepada sistem
pernafasan dan sistem kardiovaskular. Sistem pernafasan dibebani oleh kerja fisik
karena adanya peningkatan ventilation (inhalation exhalation) untuk mensuplai
kebutuhan oksigen pada otot yang melakukan pekerjaan. Sedangkan pembebanan
pada sistem kardiovaskular dikarenakan jantung harus memompa lebih cepat untuk
memberikan oksigen pada otot yang terlibat melalui pembuluh darah. Kesimpulannya
bahwa saat tubuh melakukan kerja fisik akan terjadi perubahan pada kecepatan denyut
jantung dan konsumsi oksigen. Ketika seseorang mulai bekerja, denyut jantung dan
tingkat konsumsi oksigen meningkat sampai memenuhi kebutuhan. Peningkatan ini
tidak terjadi tiba-tiba, sehingga kebutuhan ini akan dipenuhi terlebih dahulu oleh
energi yang tersimpan di otot. Dengan cara yang sama, ketika seseorang berhenti
bekerja, kecepatan denyut jantung dan konsumsi oksigen akan menurun secara
perlahan-lahan sampai kondisi normal. Untuk melakukan penilaian beban fisik dalam
bekerja dengan metode fisiologi maka pengukuran harus dimulai sebelum pekerja
melakukan pekerjaannya. Pengukuran terus dilakukan selama waktu bekerja sampai
sebelum variabelvariabel fisiologi kembali ke level awal. Selain mengukur secara
langsung dengan mengetahui tingkat konsumsi oksigen, dapat juga dilakukan
pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan mengukur kecepatan denyut jantung
seseorang. Kecepatan denyut jantung akan meningkat saat seseorang bekerja, karena
jantung harus memompa lebih cepat untuk memberikan oksigen pada otot yang
terlibat melalui pembuluh darah (Astuti, 2007).
Terjadi penurunan kadar asam laktat darah setelah latihan submaksimal. Fox
(1993) membuktikan bahwa kadar asam laktat darah untuk kembali kondisi awal
sebelum latihan submaksimal membutuhkan pemulihan 60 menit. Studi lainnya dari
Golnick (1986) mengatakan butuh 30-40 menit dan Glesson (1998) menyatakan 30120 menit waktu pemulihan. Wilmore (2008) menyatakan bahwa seorang atlet bisa
melanjutkan melakukan latihan pada intensitas yang relatif tinggi dalam kondisi asam
laktat 6-7 mMol/L. Oleh karena itu dengan nilai rerata kadar asam laktat penelitian
sebesar 3,109 mMol/L, seseorang dapat melakukan latihan lagi dengan resiko terjadi
kelelahan yang kecil (Purnomo, 2011).
Untuk membersihkan kadar asam laktat darah dalam tubuh lebih cepat dengan
melakukan aktivitas ringan daripada tidak melakukan aktivitas apapun (Venom,
2007). Pemulihan dengan aktif berlari secara kontinyu dengan ritme yang ditentukan
sendiri akan lebih cepat menurunkan kadar asam laktat dari pada pemulihan pasif
(Fox, 1993). Pada penelitian ini pemulihan yang dilakukan termasuk pemulihan pasif
sehingga penurunan kadar asam laktat tidak begitu cepat serta belum sepenuhnya
kembali ke kondisi awal sebelum latihan submaskimal. Pemusnahan asam laktat
darah terjadi melalui oksidasi dalam serabut otot, laktat yang tidak teroksidasi akan
berdifusi dari otot yang aktif ke dalam kapiler dan akan menuju hati. Melalui siklus
Cori laktat dapat diubah menjadi piruvat, jika ada oksigen akan diubah menjadi
glukosa. Glukosa ini dapat dimetabolisme oleh otot yang aktif atau disimpan dalam
otot sebagai glikogen untuk digunakan kemudian (Sport Advisor, 2007). Tetapi
menurut Petersen (2005), ada bukti bahwa bukan organ hati saja yang bisa mengubah
asam laktat darah melalui siklus Cori, tetapi jaringan otot merah, jantung, dan otak
secara langsung dapat mengoksidasi asam laktat sehinggan bisa digunakan menjadi
energi (Purnomo, 2011)
Menurut Haliwell antioksidan yang terdapat dalam tubuh kita dapat dibagi
menjadi dua yaitu : antioksidan yang terletak didalam sel atau antioksidan enzimatik
dan antioksidan yang terletak diluar sel atau antioksidan non enzimatik. SOD adalah
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mencegah pembentukan
senyawa radikal atau reaksi antara senyawa radikal atau oksidan lain dengan molekul
tubuh (Harjanto, 2003). Hasil analisis pada variabel aktivitas SOD eritrosit sebelum
olahraga submaksimal diperoleh nilai rerata sebesar 70,727 %. Dalam kondisi normal,
tubuh akan memproduksi antioksidan sebagai sistem pertahan tubuh akibat
meningkatnya jumlah produksi dari radikal bebas ( Reall dalam indah, 2001). Jadi
produksi antioksidan ini mutlak diperlukan sebagai salah satu sistem proteksi dari
tingkat seluler (Purnomo, 2011).
Tidak seimbangnya antara pertahanan antioksidan tubuh dan radikal bebas
menyebabkan stres oksidatif. Intensitas dan durasi latihan berpengaruh terhadap
tingkat stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan terganggunya integritas
membran, terjadinya apoptosis, tidak bekerjanya enzim ( salah satunya SOD), dan
kerusakan DNA (Niess dkk, 1999 dalam Purnomo, 2011).
SOD eritrosit merupakan antioksidan primer yang berfungsi untuk mencegah
terjadinya peroksidasi lemak dengan mengubah O2 0 menjadi hydrogen peroksida.
Pada penelitian ini istirahat yang dilakukan dengan istirahat pasif konsumsi oksigen
yang cukup merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan produksi
SOD eritrosit. Penelitian Andiana (2008) dalam Purnomo (2011), menyatakan bahwa
terjadi peningkatan aktivitas SOD eritrosit yang lebih tinggi pada latihan interval
istirahat pasif dari pada latihan interval istirahat aktif.
2.4 Pengaruh Pemberian Kopi terhadap Kelelahan Otot
Kopi merupakan minuman yang dewasa ini sering dikonsumsi sebelum latihan
untuk meningkatkan performa dan menghambat terjadinya kelelahan otot. Komponen
utamanya yang berupa kafein berperan dalam transport ion Ca2+ kontraksi otot serta
meningkatkan ketersediaan asam lemak bebas untuk dioksidasi menjadi energi dan
menunda oksidasi karbohidrat, sehingga dapat menunda deplesi glikogen yang
menyebebkan kelelahan otot. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya,
bahwa kopi dapat meningkatkan performa latihan masih menjadi hal yang
kontroversial sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh
konsumsi kopi sebelum latihan terhadap kelelahan otot dengan parameter anaerob
berupa anaerobic fatigue(AF) dan aerob berupa VO2Max (Utama, 2010).
Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Yoghi Prawira Utama, Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro, dilakukan dengan menggunakan metode post
test only controlled group design. Subyek penelitian adalah 48 orang laki-laki usia 1921 tahun mahasiswa FK UNDIP yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi yang
telah ditentukan ,dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok kontrol dan perlakuan.
Kelompok perlakuan diberikan segelas kopi terdiri dari 15 gram kopi dan 200 ml air
60 menit sebelum dilakukan tes. Pengukuran menggunakan tes Wingate untuk menilai
kelelahan otot pada fase anaerob , dan tes ergometer sepeda untuk menilai parameter
kelelahan otot pada fase aerob.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan pengukuran dengan tes Wingate,
didapatkan proporsi terjadinya kelelahan berdasar nilai AF pada kelompok perlakuan
lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan uji Chi Square didapatkan
nilai p= 0,119, sehingga dikatakan tidak bermakna. Pengukuran dengan tes ergometer
sepeda didapatkan perbedaan rerata nilai VO2Max dari kelompok kontrol dan
perlakuan di mana rerata nilai VO2Max kelompok kontrol lebih rendah daripada
kelompok perlakuan. Berdasarkan uji T-tidak berpasangan didapatkan nilai p= 0,071,
sehingga perbedaan dikatakan tidak bermakna.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu tidak ada pengaruh yang
signifikan dari pemberian kopi sebelum latihan terhadap kelelahan otot baik pada fase
anaerob maupun fase aerob. Menurut teori, kafein yang merupakan zat utama dalam
kopi memiliki 3 mekanisme utama yang menjelaskan efek ergogeniknya dalam
latihan. Mekanisme pertama yaitu suatu efek langsung terhadap suatu bagian dalam
sistem saraf pusat yang mempengaruhi persepsi kemampuan dan nyeri kelelahan serta
aktivasi neural dari kontraksi otot.` Mekanisme kedua yaitu efek langsung dari kafein
transport ion (termasuk transport ion Ca2+ ) dan efek langsung terhadap enzim
regulasi utama , termasuk enzim-enzim yang mengatur pelepasan glikogen .
Mekanisme ketiga yaitu peningkatan ketersediaan asam lemak bebas meningkatkan
oksidasi lemak dalam otot dan menurunkan oksidasi karbohidrat (fase aerob),
sehingga meningkatkan performa latihan dan mengurangi kelelahan otot yang akan
dialami setelah kadar timbunan karbohidrat (glikogen) yang merupakan substrat
pembentukan energi mencapai kadar yang rendah. Hasil negatif dari penelitian ini
dapat disebabkan oleh karena efek kafein yang terhambat akibat komponenkomponen lain yang terkandung dalam kopi seperti dijelaskan dalam penelitian oleh
Graham dkk yang menyatakan bahwa kafein dalam sediaan kopi tidak menimbulkan
efek ergogenik terhadap otot. Metabolisme, toleransi dan respon tubuh terhadap
kafein serta beberapa faktor seperti usia, keadaan latihan , komposisi tubuh serta
asupan sebelum latihan yang bervariasi pada tiap individu juga dapat berpengaruh
terhadap hasil penelitian ini (Utama, 2010).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya oleh Michael
Roberts dkk yang menyatakan bahwa meminum kopi tidak berpengaruh terhadap
anaerobic capacity (AC) yang merupakan salah satu parameter kelelahan pada fase
anaerob. Penelitian lain oleh Sikiru Lamina dkk tentang pengaruh kafein dalam
sediaan kopi terhadap kapasitas aerobik maksimal (VO2max) 20 orang subjek
penelitian menyatakan bahwa kopi tidak berpengaruh signifikan terhadap kapasitas
aerobik maksimal (VO2Max). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut dapat
dikatakan bahwa kopi tidak berpengaruh terhadap kelelahan otot baik pada fase
anaerob maupun aerob (Utama, 2010).
2.5 Pengaruh Pemberian Tablet Kombinasi B1,B6 dan B12 terhadap Kelelahan
Otot
Vitamin B1, B6, dan B12 merupakan kandungan yang ada pada hampir
seluruh suplemen minuman yang dewasa ini sering dikonsumsi sebelum latihan untuk
meningkatkan performa dan menghambat terjadinya kelelahan otot. Vitamin B1
bermanfaat dalam membantu mengatasi gejala kelelahan karena vitamin tersebut
dapat memperbaiki metabolisme karbohidrat yang digunakan untuk menghasilkan
energi dan dapat mengurangi penumpukan asam laktat pada otot yang mengalami
kelelahan. Vitamin B6 juga berperan penting dalam mencegah kelelahan otot dengan
berperan dalam metabolisme protein, dimana koenzim vitamin B6 diperlukan untuk
membantu pelepasan glikogen dari hati dan otot yang dapat berfungsi sebagai sumber
energi pada saat melakukan akitivitas, sedangkan vitamin B12 dapat membantu
pembentukan sel darah merah, yang akan digunakan untuk menghasilkan oksigen
yang akan diberikan ke seluruh otot, sehingga akan menghambat terjadinya hipoksia
otot. Kombinasi vitamin B1, B6 dan B12 dengan dosis 60 200 x RDA juga dapat
mempengaruhi pembentukan serotonin, dimana serotonin ini terlibat dalam proses
relaksasi. Sehingga hasilnya, orang yang mengkonsumsinya dalam jumlah cukup akan
merasa fit atau tidak cepat lesu lantaran kurang energi dan penumpukan asam laktat.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh konsumsi kombinasi vitamin
B1, B6, dan B12 terhadap kelelahan otot yang akan diberikan dalam bentuk tablet,dan
dikonsumsi 8 jam sebelum latihan, dengan parameter anaerob berupa anaerobic
fatigue(AF) dan aerob berupa VO2Max (Sudjadi, 20101).
Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Clarissa Valencia Sudjadi,
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, dilakukan dengan menggunakan
metode post test only controlled group design. Subyek penelitian adalah 48 orang
laki-laki usia 19-21 tahun mahasiswa FK UNDIP yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi yang telah ditentukan, dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok kontrol dan
perlakuan. Kelompok perlakuan diberikan 100 mg B1, 200 mg B6, dan 200 mcg B12
selama 8 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian dilihat perbandingan proporsi
kategori kelelahan berdasarkan nilai anaerobic fatigue (AF) dan perbandingan rerata
nilai VO2Max antara kedua kelompok tersebut.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan pengukuran dengan tes wingate
didapatkan didapatkan proporsi terjadinya kelelahan berdasar nilai AF pada kelompok
perlakukan lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan uji Chi Square
didapatkan nilai p = 0,035, sehingga dikatakan bermakna. Pengukuran dengan tes
ergometer sepeda didapatkan perbedaan rerata nilai VO2Max dari kelompok kontrol
dan perlakuan di mana rerata nilai VO2Max kelompok kontrol lebih rendah daripada
kelompok perlakuan. Berdasarkan uji T- tidak berpasangan didapatkan nilai p= 0,016,
sehingga perbedaan tersebut dikatakan bermakna.
Pada penelitian yang penulis lakukan, didapatkan 2 hasil antara lain pada fase
anaerob, adanya pengaruh pemberian tablet kombinasi vitamin B1, B6, dan B12
terhadap terjadinya kelelahan otot, sedangkan pada fase aerob terdapat perbedaan
VO2 max yang bermakna dari kelompok kontrol dan perlakuan dimana rerata nilai
VO2 max kelompok kontrol lebih rendah daripada kelompok perlakuan. Hal ini sesuai
dengan yang diharapkan pada penelitian ini. Berdasarkan teori, vitamin B1 membantu
dalam proses metabolisme anaerob dan aerob, dimana vitamin B1 berperan dalam
metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi dan mengurangi penumpukan
asam laktat pada otot yang mengalami kelelahan. Pembentukan energi didapat dari
pemecahan karbohidrat menjadi adenosine trifosfat (ATP). Dalam senyawa ini terikat
dua gugus fosfat tambahan yang diikat oleh ikatan kaya energi. Dalam proses
metabolism selanjutnya gugus fosfat itu dilepas serta dihasilkan adenosine difosfat
(ADP) dan energi. Energi inilah yang digunakan tubuh untuk melakukan aktivitas.
Fungsi vitamin B1 berperan dalam mengikat gugus fosfat dari ATP sehingga terbentuk
koenzim thiamin pirofosfat (TPP). Koenzim ini diperlukan dalam proses pemecahan
glukosa menjadi asam piruvat dan selanjutnya menjadi asetilkoenzim A. TPP juga
berperan dalam mencegah penimbunan asam laktat dalam sel tubuh yang
menyebabkan kelelahan (Sudjadi, 2010).
Vitamin B6 atau pyridoxin diketahui juga berperan penting di dalam
mencegah kelelahan otot dengan berperan dalam metabolisme protein, 8 dimana
koenzim vitamin B6 yang berupa PLP diperlukan untuk perubahan triptofan menjadi
niasin, yang mana niasin digunakan sebagai koenzim untuk fosforilase dan membantu
pelepasan glikogen dari hati dan otot yang dapat berfungsi sebagai sumber energi
pada saat melakukan akitivitas. Vitamin B12 berperan dalam pembentukan sel darah
merah. Sel darah merah ini yang akan digunakan untuk menghasilkan oksigen yang
akan diberikan ke seluruh otot, sehingga akan menghambat terjadinya hipoksia otot
dan membantu dalam proses metabolism aerob. Dengan demikian hasil penelitian ini
sesuai dengan teori yang telah ada (Sudjadi, 2010).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian - penelitian sebelumnya, oleh
Suzuki M, dkk yang menyatakan bahwa pemberian vitamin B1 berpengaruh pada
penurunan dari glukosa darah dan penurunan keluhan subjektif setelah latihan.
Penelitian oleh Rokitzki L, dkk menyatakan bahwa pemberian vitamin B6 tidak
meningkatkan kapasitas aerobik bila diberikan secara tunggal, dan penelitian oleh
Montoye HJ dkk, menyatakan bahwa vitamin B12 kurang mempunyai efek yang kuat
pada kekuatan genggaman, pemulihan nadi dan VO2 dalam tes ergometer bila
diberikan secara tunggal9, walaupun menurut beberapa penelitian terdahulu
pemberian vitamin B6 secara tunggal, kurang meningkatkan aktivitas aerobik dan
pemberian vitamin B12 secara tunggal, kurang berefek pada peningkatan VO2 max,
pada penelitian ini terbukti dengan pemberian secara kombinasi dapat berpengaruh
terhadap ketahanan otot dan peningkatan VO2 max, selain itu dari penelitian lain yang
dilakukan oleh Melvin H William,dkk menyatakan bahwa kombinasi vitamin B1, B6,
dan B12 dengan dosis 60 200 x RDA dapat mempengaruhi pembetukan serotonin,
suatu neurotransmiter penting yang terlibat dalam proses relaksasi dan dapat
meningkatkan fungsi control motorik halus (Sudjadi, 2010).
2.6 Pengaruh Pemberian Suplemen Besi terhadap Kelelahan Otot
Zat besi diketahui memiliki fungsi yang penting dalam metabolism energi,
karena besi berperan dalam mentransport oksigen yang dibutuhkan untuk
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak untuk menghasilkan energi(ATP). ATP
diperlukan untuk kontraksi otot. Dalam keadaan ketersedian oksigen dalam tubuh,
akan terjadi metabolisme anaerob dimana hasil dari metabolisme ini adalah asam
laktat. Penumpukan asam laktat diketahui dapat menyebabkan terjadinya kelelahan
otot. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan tes wingate untuk mengetahui
kelelahan otot yang terjadi pada fase anaerob dengan menilai parameter anerobic
fatigue (AF) dan tes ergometer sepeda pada fase aerob dengan menilai perbandingan
rerata nilai V02Max (Cynthia, 2010).
orang yang habis melakukan akivitas yang berat akan lebih mudah lelah dibandingkan
yang tidak. Hereditas juga berpengaruh terhadap VO2Max, seseorang bisa
mempunyai potensi lebih besar dari orang lain untuk mengkomsumsi oksigen yang
lebih tinggi dan mempunyai suplai pembuluh darah kapiler lebih baik terhadap otot
otot, mempunyai kapasitas paru yang lebih besar, dapat mensuplai hemoglobin dan sel
darah merah yang lebih banyak dan jantung lebih kuat. Hal lain yang mempengaruhi
VO2Max seseorang yaitu status gizi, seseorang akan memiliki daya tahan lebih tinggi
bila mengkomsumsi tinggi karbohidrat, diet tinggi protein terutama untuk
memperbesar otot dan untuk olahraga yang memerlukan kekuatan otot yang besar.
Rokok juga berpengaruh, kadar CO yang terhisap mengurangi nilai VO2Max, yang
berpengaruh terhadap daya tahan. Pengaruh pemberian suplemen besi pada kelelahan
otot fase anaerob juga memberikan hasil yang tidak bermakna. Hal ini juga
disebabkan faktor ketaatan setiap probandus dalam komsumsi suplemen besi selama
seminggu sebelum latihan dan kondisi fisik seseorang yang berbeda satu sama lain.
Aktivitas sebelum dilakukan penelitian juga mempengaruhi hasil selain dari pada
intensitas olahraga itu sendiri (Cynthia, 2010).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh McLane et al didapatkan bahwa
bahwa tikus yang mengalami defisiensi besi mengalami kelelahan otot secara
signifikan lebih cepat dibanding yang tidak mengalami defisiensi besi, di mana
menurut penelitian tersebut disebutkan bahwa tikus yang mengalami defisiensi besi
mengalami peningkatan LDH sehingga terjadi penimbunan asam laktat dalam otot.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Brutsaert T, dkk menyebutkan terdapat perbedaan
ketahanan terhadap kelelahan yang pada otot extensor kaki perempuan yang diberikan
suplemen besi (Cynthia, 2010).
2.7 Pengaruh Pemberian Tablet Asam Amino terhadap Kelelahan Otot
Asam amino merupakan suplemen yang dewasa ini sering dikonsumsi
sebelum latihan untuk meningkatkan performa dan menghambat terjadinya kelelahan
otot. Komponen utamanya yang berupa BCAA yang dibentuk oleh asam amino
leucine, isoleucine dan valin. Suplementasi BCAA sebelum latihan membantu
mencegah katabolisme protein yang disebabkan menurunnya kadar glikogen di otot.
Creatin yang merupakan kombinasi dari asam amino glysine dan argynine juga
memiliki peran penting dalam sistem energy tubuh dan sintesis protein. Pemberian
creatin sebelum latihan dapat menambah energi saat latihan dan mempercepat
sesuai dengan yang diharapkan pada peneltian ini. Berdasarkan teori, Asam amino
yang memiliki peran penting dalam mekanisme kontraksi otot adalah branched-chain
amino acid (BCAA). BCAA dibentuk oleh asam amino leucine, isoleucine dan valin.
Suplementasi BCAA sebelum latihan membantu mencegah katabolisme protein yang
disebabkan menurunnya kadar glikogen di otot (fase anaerob). Creatin yang
merupakan kombinasi dari asam amino glysine dan argynine juga memiliki peran
penting dalam sistem energi tubuh dan sintesis protein (fase aerob). Pemberian creatin
sebelum latihan dapat menambah energi saat latihan dan mempercepat pemulihan
antar set. Dengan demikian hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang telah ada
(Setiawan, 2010).
Proporsi subyek penelitian yang mengalami kelelahan otot lebih kecil pada
kelompok yang menerima tablet asam amino dibandingkan dengan yang tidak
menerima tablet asam amino. Pada penelitian sebelumnya, pemberian BCAA per oral
sebesar 60 mg/kg BB sebelum melakukan aktivitas dapat menurunkan rasio freetryptofan/BCAA yang dapat menunda terjadinya kelelahan otot. Sedangkan pada
penelitian lainnya, Pemberian 2 tablet ( 4gram) asam amino sebelum olah raga dapat
mencegah terjadinya kelelahan otot 20% lebih banyak dibandingkan placebo.
Pemberian 3,6 gram kombinasi asam amino leucine, isoleucine, dan valine pada pagi
dan sore hari juga dapat meningkatkan kadar sel darah merah, hemoglobin, dan CPK
sebesar 13%, 5%, dan 6%.Dari penelitian-penelitian tersebut diketahui adanya
pengaruh pemberian asam amino baik pada fase aerob maupun anerob (Setiawan,
2010).
BAB III
KESIMPULAN
1. Sistem muskular (otot) terdiri dari sejumlah besar otot yang bertanggung
jawab atas gerakan tubuh. Otot rangka yang bekerja dibawah pengaruh saraf.
Otot rangka akan melakukan mekanisme gerak otot yaitu kontraksi dan
relaksasi.
2. Kelelahan otot adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ketidakmampuan
otot untuk berkontraksi akibat menurunnya ATP serta peningkatan
penimbunan asam laktat dalam darah. Kelelahan otot terjadi apabila otot yang
beraktifitas tidak lagi dapat berespon terhadap rangsangan dengan tingkat
aktivitas kontraktil yang setara.
3. Kelelahan sentral otot lurik terjadi karena hilangnya pengerahan dari unit
motor dengan ambang batas yang tinggi, selanjutnya terjadi penurunan
kontraksi karena masuknya inhibitor inter neuron ke dalam korteks motor
dalam jumlah yang banyak. Setelah itu terjadi pengeluaran motor neuron atau
demieleniasi yang menimbulkan blok konduksi sentral.
4. Kelelahan perifer otot lurik terjadi karena kehilangan konduksi elektrikal dari
membran otot ke sistem tubula, selanjutnya terjadi gangguan pelepasan ion
kalsium dari retikulum sarkoplasmik (SR) dimana akan menimbulkan
gangguan dalam interaksi antara aktin dan miosin selama siklus the cross
bridge (jembatan silang).
5. Sikap tubuh seseorang pada waktu menjalankan tugas ditentukan oleh
hubungan
antara
dimensi
berbagai
objek
kerja
dan
ruang
kerja.
Ketidakserasian ini selain akan menyebabkan nyeri otot-otot rangka juga akan
menyebabkan kelelahan.
6. Asam laktat merupakan produk akhir dan diproduksi dari sistem glikolisis
anaerobik sebagai akibat pemecahan glukosa yang tidak sempurna. tubuh,
asam laktat diproduksi secara terus menerus dalam sitoplasma Meskipun
demikian jumlah asam laktat dalam tubuh relatif tetap.
7. SOD adalah merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mencegah
pembentukan senyawa radikal atau reaksi antara senyawa radikal atau oksidan
lain dengan molekul. Tidak seimbangnya antara pertahanan antioksidan tubuh
dan radikal bebas menyebabkan stres oksidatif. SOD eritrosit merupakan
antioksidan primer yang berfungsi untuk mencegah terjadinya peroksidasi
lemak dengan mengubah O2 menjadi hydrogen peroksida.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Rahmaniyah Dwi. 22007. Analisa Pengaruh Aktivitas Kerja dan Beban Angkat
Terhadap Kelelahan Muskuloskeletal. Jurnal Gema Teknik No. 2
Cynthia. 2010. Pengaruh Pemberian Suplemen Besi Terhadap Kelelahan Otot.
Program Pendidikan Sarjana Kedokteran. Fakultas Kedokteran. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Davis et al.,2010. Mechanisms of Fatigue. The Journal of SupporTive oncology. Vol.
8 (4) : 164-174).
Gunawan, A., 2001. Mekanisme dan Mekanika Pergerakan Otot. INTEGRAL. Vol.6
(2) : 58-70.
Harimbawa.,2014. Pengaruh Pelatihan Knee Tuck Jump dan Split Jump Terhadap
Peningkatan
Kelentukan
dan
26 : 1-13.
Purnomo, Mochamad. 2011. Asam Laktat dan Aktivitas SOD Eritrosit pada Fase
Pemulihan Setelah Latihan Submaksimal. Universitas Negeri Semarang.
Semarang. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia. Volume 1. Edisi 2.
Desember 2011. ISSN: 2088-6802.
Setiawan, Jeffri Purnomo. 2010. Pengaruh Pemberian Tablet Asam Amino Terhadap
Kelelahan
Otot.
Program
Pendidikan
Sarjana
Kedokteran.
Fakultas