Anda di halaman 1dari 21

1

Sebuah SMA yang terletak dipinggir kota kondisi mutunya tergolong rendah
Pemerintah dengan persetujuan Kepala sekolah, komite sekolah, guru-guru dan tokoh
masyarakat sangat sepakat untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan menunjuk
sekolah itu sebagai sekolah unggul di kota tersebut. Kondisi sekolah saat ini dapat
dilukiskan sebagai berikut:
1. Sistem administrasi dan manajemen kurang kondusif sebagai sekolah unggul
2. Pola pembelajaran yang kurang menantang siswa untuk belajar
3. Jumlah guru cukup untuk semua bidang studi
4. Kurikulumnya sudah modern (2013)
5. Sarana dan prasarana lengkap tetapi sarana pendukung kurang kondusif
6. Partisipasi masyarakat baik
7. Kondisi sosial ekonomi orang tua siswa menengah ke atas.
Jika anda diminta untuk menjadi kepala sekolah, aspek apa yang pertama anda
inovasikan guna untuk meningkatkan mutu pendidikan, ? Berikan deskripsi singkat !
1. Kemukakan alasan mengapa komponen itu anda utamakan ?
2. Gambarkan secara singkat strategi inovasi yang akan anda tempuh ?
3. Perkirakan outcome yang dapat anda raih melalui inovasi tersebut !

Jawaban:
Jika saya menjadi kepala sekolah
Langkah yang harus saya tempuh adalah berinovasi.
Adapun dari uraian diatas dapat diidentifikasikan permasalahannya adalah
1. Sistem administrasi dan manajemen kurang kondusif sebagai sekolah unggul.
Alasan saya mengutamakan komponen ini karena sistem administrasi dan
manajemen sekolah belum menggambarkan sebagai suatu system pendidikan yang
menyokong sebagai sekolah unggul

2. Pola pembelajaran yang kurang menantang siswa untuk belajar. Alasan saya
mengutamakan komponen ini karena pola pembelajaran yang kurang menantang
bagi kebutuhan siswa sehingga mengakibatkan pembelajaran bukan menjadi
kebutuhan dan kesadaran siswa namun suatu paksaan dari guru,
a. Keadaan guru
Guru merupakan ujung tobak dari pendidikan, pencapaian dan keberhasilan
kurikulum sangat ditentukan oleh kompetensi guru, oleh karena itu system tata
kelola guru, rekruitmen guru perlu diperbaiki dengan selalu meningkatkan
kompetensinya
b. Pola pembelajaran yang belum menantang siswa dalam belajar, hal ini terkait
dengan kemampuan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran dengan
menggunakan berbagai macam model, metode, strategi serta pendekatan
pembelajaran yang kesemuanya itu merupakan cara guru mengantarkan siswa
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan kurikulum,
oleh karena itu perbaikan pola pembelajaran guru perlu dilakukan.
Untuk memperbaiki mutu disekolah tersebut maka sesuai dengan permasalahan yang
telah di identifikasikan diatas maka Inovasi yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Permasalahan: Sistem administrasi dan manajemen kurang kondusif sebagai
sekolah unggul.
Inovasi Sistem administrasi dan manajemen, yakni:
Membina dan merevisi system administrasi dan manajemen sekolah yang kurang
kondusif, dengan cara meningkatkan mutu pelayanan administrasi dan mengontrol
manajemen sekolah. Adapun upaya peningkatan mutu administrasi yang sebaiknya
saya lakukan adalah:
a. Administrasi program pengajaran
Sebagai kepala sekolah, saya akan mengarahkan dan mengawasi jadwal
pelajaran sekolah, jadwal pelajaran sekolah, daftar pembagian tugas mengajar
bagi guru, daftar pemeriksaan tugas mengajar bagi guru, daftar hasil evaluasi
belajar tahap akhir, rekapitulasi kenaikan kelas / kelulusan, daftar penyerahan
sttb kepada lulusan, rekapitulasi pelaksanaan supervisi kelas, program

bimbingan, pencapaian target dan daya serap kurikulum, daftar penyerahan


raport.
b. Administrasi kesiswaan
Sebagai kepala sekolah, saya akan merencanakan, mengarahkan dan mengawasi
pembukuan atau pendataan penerimaan siswa baru, penyusun data siswa, dan
pelaksanaan ujian akhir.
c. Administrasi kepegawaian
menyusun perencanaan dan mengawasi rencana kebutuhan pegawai / guru, usul
pengadaan pegawai / guru, usul pengangkatan calon pegawai negeri sipil, buku
catatan penilaian pegawai negeri sipil, daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan
(dp3) pegawai negeri sipil, daftar usul pengangkatan pegawai negeri sipil (duk),
buku cuti pegawai /guru, daftar hadir/tidak hadir pegawai/guru dan data
kepegawaian.
d. Administrasi keuangan
Merencanakan dan mengawasi Perencanaan anggaran tahunan sekolah,
mengawasi Ketata usahaan keuangan sekolah, dan mengontrol manajemen
keuangan sekolah supaya tidak ada yang melakukan korupsi dana sekolah.
e. Administrasi pengelolaan perlengkapan/inventarisasi.
Mengawasi dan merevisi pengelolaan perlengkapan/inventarisasi secara baik
dan benar.
f. Administrasi tata lingkungan
Menyusun perencanaan tata ruang, dan mengarahkan tata tertib sekolah serta
mengawasi jadwal kebersihan sekolah.
Selain itu, inovasi manajemen sekolah yang akan saya lakukan, yakni menerapkan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang terdiri dari tiga pilar:
1. Manajemen
2. Peran Serta Masyarakat
3. Pembelajaran Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM)
A. Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah dalam wacana pengelolaan
pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari konteks gerakan restrukturisasi dan

reformasi sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi


yang lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan oleh
beberapa konsep pengelolaan sekolah, seperti :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.
Konsep-konsep tersebut menjelaskan bahwa sekolah ditargetkan untuk
melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berada
pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for
excellence) dan effective schools.
Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan
terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus
menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya
adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan
melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan
peningkatan mutu sekolah atau untuk mancapai tujuan pendidikan nasional.
Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata yaitu
manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber
daya efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti
dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar dan mengajar serta
tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal
tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai penggunaan
sumber daya yang berdasarkan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau
pembelajaran.
Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman menjelaskan bahwa pada hakekatnya,
manajemen berbasis sekolah berpijak pada Self Determination Theory. Teori ini
menyatakan bahwa apabila seseorang atau sekelompok orang memiliki kepuasan untuk

mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok orang tersebut akan memiliki
tanggung jawab yang besar untuk melakukan apa yang telah diputuskan.
Menurut Wohlstetter dan Mohrman, dkk. (1997), terdapat empat kewenangan
dan tiga prasyarat yang bersifat organisasional yang seharusnya dimiliki sekolah dalam
mengimplementasikan MBS. Empat kewenangan tersebut adalah: (1) kekuasaan
(power) untuk mengambil keputusan, (2) mekanisme penghargaan atas prestasi
(reward), (3) panduan instruksional (pembelajaran), seperti rumusan visi dan misi
sekolah yang menfokuskan pada peningkatan mutu pembelajaran, (4) kepemimpinan
yang mengupayakan kekompakan (kohesif) dan fokus pada upaya perbaikan atau
perubahan. Sedangkan tiga prasyarat yang dimaksudkan adalah: (1) pengetahuan dan
keterampilan, termasuk untuk mengambil keputusan yang baik dan pengelolaan secara
profesional, (2) informasi yang diperlukan oleh sekolah untuk mengambil keputusan,
serta (3) sumber daya yang mendukung. Di samping itu, penerapan MBS di sekolah
juga perlu memperhatikan karakteristik dari MBS, baik dilihat dari aspek input, proses
dan output. Pemahaman terhadap prinsip MBS dan karaketeristik MBS akan membawa
sekolah kepada penerapan MBS yang lebih baik. Pada akhirnya mutu pendidikan yang
diharapkan dapat tercapai dan dipertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya
dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Menurut Slamet P.H (2001), pelaksanaan MBS merupakan proses yang
berlangsung secara terus-menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab
dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, strategi utama yang
perlu ditempuh dalam melaksanakan MBS adalah sebagai berikut.
Pertama, mensosialiasikan konsep MBS. Sosialisasi dilakukan kepada seluruh
warga sekolah, yaitu guru, siswa, wakil kepala sekolah, konselor, tenaga kependidikan
dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, dan sebagainya) melalui
seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media masa dengan memperhatikan sistem, budaya,
dan sumber daya sekolah.
Kedua, melakukan analisis situasi. Analisis sistuasi akan menghasilkan
tantangan nyata, yang harus dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah kesenjangan
antara keadaan sekarang dan keadaan yang diharapkan. Karena itu, besar kecilnya
ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan
(idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan yang ada.

Ketiga, merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai melalui pelaksanaan


MBS, berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi. Kriteria kesiapan setiap fungsi dan
faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria ini digunakan sebagai standar atau kriteria untuk
mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
Keempat, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai
tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai
tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana
yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti
tingkat

kesiapannya.

Fungsi-fungsi

yang

dimaksud

di

antaranya

meliputi

pengembangan: kurikulum, tenaga kependidikan dan nonkependidikan, siswa, iklim


akademik sekolah, hubungan sekolah-masyarakat, fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
Kelima, menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui
analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT
dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan
fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan.
Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing
faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap
keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun
eksternal. Tingkat kesiapan setiap fungsi harus memadai. Paling tidak memenuhi ukuran
kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai
kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal, serta peluang, bagi faktor yang tergolong
faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak
memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan sebagai kelemahan, bagi faktor yang tergolong
faktor internal, dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.
Keenam, memilih langkah-langkah pemecahan masalah atau tantangan, yakni
tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang
siap. Agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang
mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya
disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakikatnya merupakan tindakan
mengatasi kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang. Hal
itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor kekuatan dan/atau
peluang.

Ketujuh, membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang,


berikut program-program untuk merealisasikan rencana tersebut. Perencanaan itu
dilakukan secara partisipatif dan berdasarkan pada pemecahan masalah. Sekolah tidak
selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis
sekolah, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk rencana jangka pendek, menengah,
dan panjang.
Kedelapan, melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana
jangka pendek manajemen berbasis sekolah.
Kesembilan, melakukan pemantauan serta evaluasi proses hasil MBS. Hasil
pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan.
Sementara hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan
situasional yang telah dirumuskan. Nurkholis (2003:132) mengemukakan sembilan
strategi keberhasilan implementasi MBS.
Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya
otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan
ketrampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian, serta
pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa (2005: 41)
menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah kebijakan pengembangan
kurikulum yang mengacu kepada standar kompetensi, kompetensi dasar, dan standar isi,
serta pembelajaran beserta sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah,
yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan masyarakat yang dilakukan secara
fleksibel. Dengan demikian, otonomi sekolah yang dilakukan secara benar dalam
kerangka implementasi MBS diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah.
Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan,
proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan pembelajaran dan nonpembelajaran. Menurutnya, sekolah harus lebih banyak mengajak lingkungan dalam
mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat secara
luas. Wujud dari partisipasi masyarakat dan orang tua siswa bukan hanya sebatas dalam
bantuan dana, tetapi lebih dari itu dalam memikirkan peningkatan kualitas sekolah.
Misalnya, partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan mengembangkan programprogram pendidikan.

Ketiga,

adanya

kepemimpinan

sekolah

yang

kuat

sehingga

mampu

menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala
sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah
secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan sebagai designer, motivator,
fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan
atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan, dan bukan lagi didasarkan atas jenjang
kepangkatan. Menurut Mulyasa (2005:98), Kepala Sekolah merupakan sosok kunci
(the key person) keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dalam
kerangka implementasi MBS. Oleh karena itu, dalam implementasi MBS kepala sekolah
harus memiliki visi, misi, dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta
kemampuan profesional dalam mewujudkannya melalui perencanaan, kepemimpinan,
manajerial, dan supervisi pendidikan. Kepala sekolah juga dituntut untuk menjalin
kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program
pendidikan di sekolah. Singkatnya, dalam implementasi MBS, kepala sekolah harus
mempu berperan sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader,
innovator dan motivator.
Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam
kehidupan dewan sekolah yang efektif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah
harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah.
Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orangtuanya, serta
masyarakat dan para guru.
Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara
sungguh-sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing
harus ada sosialisasi tentang konsep MBS.
Keenam, adanya panduan (guidelines) dari Departemen Pendidikan sehingga
mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Dengan
dasar hukum pelaksanaan MBS yang tertuang adalam UU No. 25 Tahun 2000, dan UU
No. 20 Tahun 2003, Departemen Pendidikan diharapkan memberikan panduan sebagai
rambu-rambu dalam pelaksanaan MBS yang sifatnya tidak mengekang dan
membelenggu sekolah.
Ketujuh, sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan
dalam laporan pertanggungjawaban tahunan. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung

jawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu, sekolah harus dikelola secara
transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada
setiap pihak terkait.
Kedelapan, penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah,
khususnya pada peningkatan prestasi belajar siswa.
Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi
peran masing-masing, pembangunan kelembagaan (capacity building), pengadaan
pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran,
monitoring dan evaluasi, serta melakukan perbaikan. Di samping itu, pelaksanaan MBS
perlu didukung oleh iklim sekolah yang memadai, yaitu iklim sekolah yang kondusif
bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib, sehingga proses pembelajaran
dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyable learning). Iklim
sekolah akan mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang efektif, yang lebih
menekankan pada learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live
together. Untuk mendukung semua itu, sekolah perlu dilengkapi oleh sarana dan
prasarana pendidikan, serta sumber-sumber belajar yang memadai.

B. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah


(MBS)
Kajian yang dirumuskan oleh BPPN dan Bank Dunia merumuskan beberapa
faktor yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) dintaranya adalah:
1. Kewajiban Sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang menawarkan keleluasaan pengelolaan
sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan
pengelola sisitem pendidikan profesional. Oleh karena itu pelaksanaannya harus disertai
seperangkat kebijakan, serta monitoring dan tuntutan pertangungjawaban (akuntabel)
yang relatif tinggi, untuk menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi juga
mempunyai kebijakan melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan
masyarkat sekolah. Dengan demikian, sekolah dituntut mampu menampilkan
pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli dan tanggung

10

jawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka meningkatkan


kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
2. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan
kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan
program peningkatan melek huruf dan angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu,
dan pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal tersebut, sekolah tidak diperbolehkan untuk
belajar sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Agar prioritas-prioritas pemerintah dilakukan oleh sekolah dan semua aktivitas
ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik sehingga dapat belajar
dengan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman tentang pelaksanaan
MBS. Pedoman-pedoman tersebut, terutama ditujukan untuk menjamin bahwa hasil
pendidikan (student outcomes) terevalusi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah
dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam rangka yang disetujui
pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
3. Peranan Orang Tua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk
membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas
daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang
tumpang tindih. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyaraka dan hal
ini merupakan salah satu aspek penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Melalui dewan sekolah (school council), orang tua dan masyarakat dapat berpartisipasi
dalam pembuatan berbagai keputusan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih
memahami, serta mengawasi dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk
kegiatan belajar-mengajar. Besarnya partisipasi masyarakat dalam pengeloaan sekolah
tersebut mungkin dapat menimbulkan rancunya kepentingan antar sekolah, orang tua,
dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan bentuk partisipasi
(pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.

11

4. Peranan Profesionalisme dan Manajerial


Manajemen berbasis sekolah (MBS) menuntut perubahan-perubahan tingkah
laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah.
Pelaksanaan MBS berpotensi meningkatkan gesekan pranata yang bersifat profesional
dan manajerial. Untuk memenuhi persayaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru,
tenaga administrasi harus memiliki kedua sifat tersebut yaitu profesional dan manjerial.
Mereka harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang peserta didik dan prinsipprinsip pendidikan untuk menjamin bahwa keputusan penting yang dibuat oleh sekolah,
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah khususnya,
perlu mempelajari dengan teliti, baik kebijakan dan prioritas pemerintah maupun
prioritas sekolah sendiri. Untuk kepentingan tersebut, kepala sekolah harus:
a. Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar
sekolah;
b. Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan
pembelajaran;
c. Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi sekarang
berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa
depan berdasarkan situasi sekarang;
d. Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan
yang berkaitan dengan efektivitas pendidikan di sekolah;
e. Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tantangan sebagai peluang,
serta mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.
Pemahaman terhadap sifat profesional dan manjerial tersebut sangat penting
agar peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan serta supervisi dan monitoring yang
direnacanakan sekolah betul-betul untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan
kerangka kebijakan pemerintah dan tujuan sekolah.
5. Pengembangan Profesi
Dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) pemerintah harus manjamin bahwa
semua unsur penting tentang kependidikan (sumber manusia) menerima pengembangan
profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif. Agar sekolah dapat

12

mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu dikembangkan adanya pusat


pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga
kependidikan untuk MBS. Selain itu, penting untuk dicatat sebaik-baiknya sekolah dan
masyarakat perlu dilibatkan dalam proses MBS sedini mungkin. Mereka tidak perlu
hanya menunggu, tetapi melibatkan diri dalam diskusi-diskusi tentang MBS dan
berinisiatif untuk menyelenggarakan tentang aspek-aspek yang terkait.

C. Strategi Inovasi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah


Pada dasarnya, mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi
manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan one-shot and quick-fix, akan tetapi
merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur
yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Oleh karena
itu, strategi inovasi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen
berbasis sekolah adalah sebagai berikut:
1. Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah ke seluruh warga sekolah,
yaitu guru, siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur
terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, dan instansi terkait) melalui seminar,
diskusi, forum ilmiah, dan media masa. Dalam sosialisasi ini hendaknya juga dibaca
dan dipahami sistem, budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermatcermatnya dan direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya
yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah.
2. Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan
nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen
berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih
(ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang (manajemen berbasis pusat) dan keadaan
yang diharapkan (manajemen berbasis sekolah). Karena itu, besar kecilnya
ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan
(idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).
3. Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen
berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi. Segera setelah tujuan

13

situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya


ditetapkan. Kriteria inilah yang akan digunakan sebagai standar atau kriteria untuk
mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan
situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai
tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi
mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu
diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain:
pengembangan

kurikulum,

pengembangan

tenaga

kependidikan

dan

nonkependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah,


pengembangan hubungan sekolah-masyarakat, pengembangan fasilitas, dan fungsifungsi lain.
5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis
SWOT, yang dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi
dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang
telah ditetapkan. Analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam
setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. yang dinyatakan
sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang
tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya
tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor
yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor
eksternal.
6. Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang
diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap.
Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi,
maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu,
agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah
ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut
langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan
mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau

14

peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna


kekuatan dan/atau peluang.
7. Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama
dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah,
dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut.
Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan
manajemen berbasis sekolah idealnya, sehingga perlu dibuat sekala prioritas jangka
pendek, menengah, dan panjang.
8. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek
manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang diperlukan
untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus siap.
Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai.
Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan,
pengelolaan program, dan pengelolaan proses belajar mengajar.
Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis
sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik
bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur
tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini
dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah
dapat dioptimalkan.

2. Permasalahan: Pola pembelajaran yang kurang menantang bagi kebutuhan


siswa sehingga mengakibatkan pembelajaran bukan menjadi kebutuhan dan
kesadaran siswa namun suatu paksaan dari guru,
a. Permasalahan: keadaan guru
Guru merupakan ujung tobak dari pendidikan, pencapaian dan
keberhasilan kurikulum sangat ditentukan oleh kompetensi guru, oleh
karena itu system tata kelola, rekruitmen, penghargaan guru perlu
diperbaiki dengan selalu meningkatkan kompetensinya. Perlu adanya
inovasi tenaga pendidik guru.

15

Inovasi Tenaga Pendidik Guru:


Upaya pengembangan guru menurut Mulyasa (2003:43) pengembangan guru
dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in service training. Upaya yang
sering dilakukan dalam pengembangan profesional guru menurut Udin Sayefudin
(2009: 103) cara yang populer untuk pengembangan kemampuan profsional guru adalah
dengan melakukan penataran (in service training) baik dalam rangka penyegaran
(refresing) maupun peningkatan kemmapuan (up-grading).
Beberapa pengembangan profesional guru menurut Udin Syaefuddin (2009):
1. Pengembangan profesional selama dalam prajabatan
2. Pengembangan profesional selama dalam jabatan
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional (2005) menyebutkna beberapa alternatif Program Pengembangan Profesional
Guru, sebagai berikut:
1. Program peningkatan kualifikasi guru
2. Program penyetaraan dan sertifikasi
3. Program Terintegrasi Berbasis Kompetensi
4. Program Supervisi Pendidikan
5. Program pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran)
6. Simposium Guru
7. Program Pelatihan tradisional lainnya
8. Membaca dan menulis jurnal ilmiah lainnya
9. Berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah
10. Melaksanakan PTK
11. Magang bagi guru pemula
12. Mengikuti berita aktual dari pemberitaan
13. Berpartisipasi dan aktif dalam organisasi
14. Menggalang kerja sama dengan teman sejawat
Dari berbagai upaya yang telah di program secara terencana namun berbagai
kendala masih terjadi dilapangan, contoh bergulirnya kebijakan sertifikasi guru yang

16

bertujuan peningkatan profesionalitas guru dan peningkatan kesejahteraan guru, namun


berbagai penelitian yang telah dilakukan hal ini belum terlihat dampak signifikan
terhadap peningkatan kualitas pendidikan guru itu sendiri. Berbagai kebijakan dilakukan
pemerintah secara top-down namun implementasi dilapangan bagai mati ditengah jalan,
hal ini bagi penulis sendiri memandang perlunya trobosan dan inovasi pada peningkatan
kualitas guru. Sebaik apapun kurikulum dan perencanaan program kebijakan dalam
pendidikan tampa diiringi kualitas guru maka tidak sejalan dengan peningkatan kualitas
pendidikan itu sendiri. Menurut saya, beberapa trobosan dan inovasi yang dapat
dilakukan adalah:
1. Penjaminan kesejahteraan guru sejalan dengan kualitas guru tersebut
Kesejahteraan merupakan modalitas guru dalam bekerja profesional. Pada
kebijakan tentang sertifikasi guru meningkatkan kesejahteraan 2 kali dari gaji pokok,
terlihat untuk golongan tertinggi guru memperoleh gaji Rp.+/-2.400.000,00- dengan
masa kerja puluhan tahun ditambah dengan sertifikasi dalam satu tahun 2 kali
pengambilan gaji sertifikasi, berdasarkan keterangan wawancara pada guru (kutipan dari
buku analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi daerah) gaji sebesar demikan
hanya cukup +/- 10 hari biaya hidup yang layak. Oleh karena itu perlunya peningkatan
gaji 400% dari jumlah yang ada sehingga pekerjaan guru menjadi idaman setiap orang.
2. Pencarian Bakat Calon Guru melalui Sekolah Model dan LPTK Model
Melihat keberhasilan Atlet elit olahragawan internasional seperti David Becham,
Leoni Messi, C. Ronaldo merupakan orang-orang tersukses di dunia dengan pendapat
diatas presiden suatu negara besar hal ini dapat menjadi adopsi dalam dunia pendidikan.
Kesuksesan tersebut tidak terlepas dari perencanaan program pembinaan sejak dini
dengan melihat bakat-bakat pada calon atlet tersebut, karena terlihat jelas masa depan
gemilang dari pekerjaan tersebut.
Namun dalam dunia pendidikan khususnya guru tidak mesti demikian, kita dapat
mengadopsi cara yang dilakukan dalam mempersiapkan calon guru tersebut. Pekerjaan
guru bukan menjadi pilihan terakhir namun menjadi dambaan semua orang. Cara yang
dapat kita lakukan adalah Sekolah Model calon guru. Pada sekolah menengah atas
khusus bagi calon guru. dalam kebijakan mengenai kesejahtaraan dan penghasilan guru

17

harus menggiurkan sehingga menjadi dambaan bagi pelajar untuk sekolah di Sekolah
model tersebut, sehingga dari banyak nya peminat maka kualitas calon guru yang
berkeinginan sekolah merupakan putra-putri terbaik bangsa. Dengan demikian standar
minimal kompetensi guru dapat diterapkan, kompetensi yang ada menjadi kepribadian
bagi calon guru bukan hanya suatu formalitas, namun kepribadian kompetensi tersebut
telah melekat pada dirinya, orang-orang mulia yang menjadi teladan memperbaiki
kualitas bangsa nantinya. Sekolah Model ini menjadi pilot project bagi reformasi
Lembaga penghasil tenaga guru dalam menghasilan lulusan guru yang berkualitas.
Tenaga pengajar Sekolah Model ini merupakan ahli-ahli dalam bidang pendidikan,
Tenaga Pendidik pada Sekolah ini minimal berkualifikasi Magester pendidikan,
sehingga dengan demikian calon-calon lulusan Sekolah Model ini dapat melanjutkan ke
LPTK yang bekualitas juga.
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yang disingkat LPTK Model
menghasilkan lulusan calon guru jenjang Sarjana. Tidak berbeda jauh dengan Sekolah
Model, LPTK model mendidik dan mempersiapkan calon guru pada jenjang Strata 1
(S1), pendidikan yang di program ini harus bersih dari pengaruh-pengaruh kepentingan
berbagai pihak, menjunjung tinggi pengembangan keilmuan mempersiapkan berbagai
kompetensi yang telah ditetapkan syarat calon guru kelak.
3. Penerimaan Calon Guru
Berkenaan dengan penerimaan calon guru mesti memehi kriteria penerimaan
calon guru dengan syarat tes kompetensi calon guru yang telah ditetapkan, antaranya
Kompetensi Pedagogi, Kompetensi Profesional, Kompetensi Kepribadian dan
Kompetensi Sosial. Tampa ada kepentingan politik dan kepentingan hal lainnya
sehingga penerimaan guru harus benar-benar sesuai dengan kemampuannya dan dapat
dipertanggung jawabkan.
4. Pengembangan Profesional Selama dalam Jabatan dan Prajabatan
Teori-teori pengembangan profesional guru telah dipaparkan pada bagian atas
pembahasan

ini,

maksud

dari

pengembangan

profesionalitas

ini

merupakan

memutakhirkan kemampuan guru agar selalu memperbaiki diri memalui penelitian,


pelatihan-pelatihan, workshop, seminar dan lain-lain.

18

5. Penghargaan dan Hukuman


Penghargaan guru dalam karya nya mengabdi dalam bidang pendidikan perlu
mendapatkan penghargaaan atas prestasi yang diperoleh. Demikian juga dengan
hukuman, guru-guru yang melanggar kode etik dan menyalahi aturan dalam
profesionalitasnya juga harus mendapatkan hukuman yang adil sesuai dengan
kesalahannya.
6. Guru Pamong
Guru pamong berrfungsi sebagai syarat untuk kenaikan pangkat, setiap kenaikan
pangkat guru harus menjadi guru pamong minimal membimbing 10 guru dibawah
kepangkatannya, dengan demikian guru pamong dan guru dibawah bimbingannya akan
menunjukkan tanggung jawab untuk belajar membimbing dan mengayomi serta menjadi
teladan bagi guru dibawah bimbingannya. Dengan kata lain adanya sistem guru pamong
maka semakin tinggi pangkat dan golongan guru di iringi dengan tingkat kesejahteraan
yang tinggi juga serta semakin luas keilmuan yang harus dimiliki sehingga akan
menjadi lebih profesional menjadi teladan bagi guru-guru yang lain, namun sebaliknya
jika guru tersebut tidak mampu membimbing menjadi guru pamong maka kepangkatan
dan kesejahteraan tidak meningkat dengan kata lain guru-guru akan berlomba
meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya sebagai tenaga pendidik.

b. Permasalahan: Pola pembelajaran yang belum menantang siswa dalam


belajar, hal ini terkait dengan kemampuan guru dalam mencapai tujuan
pembelajaran dengan menggunakan berbagai macam model, metode, strategi
serta pendekatan pembelajaran yang kesemuanya itu merupakan cara guru
mengantarkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan
sesuai dengan kurikulum, oleh karena itu perbaikan pola pembelajaran guru
perlu dilakukan. Inovasi yang perlu dilakukan adalah dengan pembudayaan
kegiatan team teaching meningkatkan kolegalitas melalui Lesson Study
Inovasi peningkatan profesionalisme guru melalui lesson study

19

Kegiatan lesson study didasari kebutuhan akan pendekatan pengembangan


profesional yang holistik, terintegrasi dan berkelanjutan dalam rangka menunjang
implementasi dari UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No.
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU No. 14/2005 tentang Guru dan
Dosen. Peraturan tersebut menekankan pada peningkatan mutu pengajaran dan
pembelajaran dan peningkatan kompetensi dan profesionalitas guru dan dosen. Lesson
Study merupakan suatu pendekatan peningkatan kualitas pembelajaran yang awalnya
berasal dari Jepang, disebut Jugyokenkyu (Yoshida, 1999 dalam Lewis.C, 2002).
Lesson study menurut (Burghes, D. & Robinson D. 2009:7) Lesson Study is a
professional learning process. It works because it focuses on the learning and progress
made by children as their teachers develop specific pedagogic techniques designed to
improve a particular aspect of teaching and learning that they have identified within
their subject area. Selanjutnya (Lewis et al., 2006,). Menjelaskan Lesson study
tergantung pada kolaborasi yang dilakukan oleh kelompok guru melakukan pengamatan
aktivitas pembelajaran dan menganalisanya. Lewis. C (2002) Lesson study
menyediakan metode berkelanjutan untuk meningkatkan pembelajaran berdasarkan
pengamatan siswa dan hasil kerja siswa dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya (Hendayana, dkk 2007; Herawati Susilo (2012) Lesson Study adalah
suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara
kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual
learning untuk membangun komunitas belajar. Dapat dipahami bahwa Lesson Study
merupakan kegiatan kolaborasi antara guru/dosen bersama koleganya yang betujuan
untuk meningkatkan proses pembelajaran melalui kegiatan plan, do, see, yang memiliki
prinsip-prinsip dalam menjalankannya sehingga peningkatan pembelajaran tersebut
berdampak pada perbaikan pembelajaran yang dikaukan secara bersama-sama.
Pada tahap perencanaan, guru-guru berdiskusi dalam hal penyusunan dan
pembuatan teaching materials berbasis hand-on dan mind-on activity serta daily life.
Tahap pelaksanaan dihadiri oleh para observer yang bertugas memperhatikan proses
belajar siswa saat pembelajaran berlangsung. Dan tahap terakhir dari Lesson Study
adalah refleksi. Melalui kegiatan refleksi inilah dapat diperoleh masukan berharga dari
para observer. Masukan itu berupa pendapat-pendapat dari pemikiran-pemikiran yang
berbeda tentang proses belajar siswa, sehingga dengan penemuan tersebut diharapkan

20

akan terjadi perbaikan terus menerus dalam pembelajaran dalam ruang kelas pada
pembelajaran selanjutnya.

OUT COME yang diharapkan dari Inovasi yang dilakukan:


1. Outcome yang diharapkan melalui inovasi manajemen berbasis sekolah, dengan ada
keterbukaan system manajerial arah pengembangan sekolah didasari dengan
kebutuhan sekolah dengan didukung system manajerial yang baik maka dengan
adanya perbaikan manajemen akan berdampak pada perubahan tata kelola sekolah
yang berakibat pada peningkatan mutu, yang didasari oleh perencanaan yang
matang dan evaluasi kerja yang terukur.
2. Outcome yang diharapkan dari inovasi pendidik adalah diharapkan dengan adanya
sosok guru yang ideal dengan kriteria kompetensi guru dan profesionalisme guru
dengan tingkat kesejahteraan yang terjamin maka guru menjadi focus dalam
mengembangkan karir dan menjelankan tugas sebagai pendidik dengan demikian
guru memiliki peran utama dalam pencapaian tujuan pendidikan dan sebagai actor
dalam pencapaian kurikulum sehingga dengan adanya guru yang professional
peningkatan layanan pendidikan dapat dilakukan seiring dengan peningkatan mutu
sekolah tersebut.
3. Outcome yang diharapkan dari inovasi peningakatan profesioanalisme guru melalui
kegiatan Lesson Studi adalah guru senantiasa dapat belajar dari pembelajaran yang
telah dilakukan, sesuai dengan prinsip belajar sepanjang hayat, prinsip kolegalitas
dengan team teaching dilakukan bersama-sama dalam 3 tahapan, yaitu plan, do,
refleksi, Plan artinya merencanakan, do melaksanakan dan reflesi, mengkaji
pembelajaran yang telah dilaksanakan dengan melihat aktivitas belajar siswa (bukan
menyalahkan guru).
o Pada kegiatan plan (perencanaan) pembelajaran guru model dapat bekerja
sama dengan tim mengajarnya dengan jumlah yang tidak terbatas, dengan
demikian pencapaian tujuan pembelajaran yang dirancang mendapat masukan
dari guru-guru yang lain dan efek sebaliknya guru-guru lain tersebut yang
mengikuti proses plan terinspirasi dan belajar bagaimana menjalankan
pembelajaran yang baik untuk mencapai tujuan pembelajaran,

21

o Tahapan

berikutnya

adalah

do

artinya

rancangan

pembelajaran

di

implementasikan didalam kelas, kelas tersebut dapat diobservasi oleh banyak


guru, dengan syarat observer tidak mengganggu jalannya pembelajaran, focus
observer adalah mengamati dengan teliti aktivitas pembelajaran yang
dilakukan siswa didalam kelas secara detail, cermat, sebagai pengamat dapat
melatih sensitivitas dalam memahami cara belajar anak, sehingga kesadaran
tentang pentingnya membuat siswa belajar dapat dirasakan oleh guru
pengamat tersebut semakin banyak pengamat maka semakin bagus. Aktivitas
pengamatan tersebut disampaikan pada tahapan refleksi, bagi guru model
sendiri pengalaman mengajar yang diobservasi menjadi pelajaran baru untuk
meningkatkan profesionalisme guru.
o Tahapan

terakhir

adalah

refleksi,

refleksi

ini

dilaksanakan

setelah

pembelajaran selesai, seluruh observer dapat menyampaikan hasil pengamatan


aktivitas belajar siswa yang telah dilakukan. Aktivitas belajar siswa yang
positif disampaikan demikian juga aktivitas belajar siswa yang negative juga
disampaikan tanpa menyinggung kegiatan belajar yang dilakukan guru,
seluruh obesever dapat menyampaikan hasil pengematannya dalam refleksi
tersebut, dengan tidak mengkaji dari sisi cara guru mengajar, maka guru tidak
merasa minder dan malu, dengan demikian budaya memperbaiki diri melalui
amatan kegiatan siswa dalam belajar dengan mendengar masukan dari
observer maka pembelajaran kedepan dapat terus diperbaiki, jika lesson study
menjadi budaya pada sekolah tersebut maka tingkat kekompakan guru dengan
mengenyampingkan egoism, dapat meningkatkan kolegalitas antar sesama
guru dalam belajar lewat pembelajaran yang diterapkan sehingga jika
pembelajaran selalu diperbaiki maka akan meningkat mutu pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai