TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan dua zat atau lebih dengan
menggunakan pelarut yang tidak saling campur. Berdasarkan fase yang terlibat,
terdapat dua jenis ekstraksi, yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair.
Pemindahan komponen dari padatan ke pelarut pada ekstraksi padat-cair melalui
tiga tahapan, yaitu difusi pelarut ke pori-pori padatan atau ke dinding sel, di dalam
dinding sel terjadi pelarutan padatan oleh pelarut, dan tahapan terakhir adalah
pemindahan larutan dari pori-pori menjadi larutan ekstrak. Ekstraksi padat-cair
dipengaruhi oleh waktu ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan, dan
banyaknya pelarut yang digunakan (Harborne 1987). Tingkat ekstraksi bahan
ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut. Bahan yang diekstrak sebaiknya
berukuran seragam untuk mempermudah kontak antara bahan dan pelarut
sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik (Sudarmadji & Suhardi 1996).
Terdapat dua macam ekstraksi padat-cair, yaitu dengan cara sokhlet dan
perkolasi dengan atau tanpa pemanasan (Sabel & Warren 1973 dalam Muchsony
1997). Menurut Brown (1950) dalam Muchsony (1997), metode lain yang lebih
sederhana dalam mengekstrak padatan adalah dengan mencampurkan seluruh
bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tak terlarut.
Menurut Harborne (1987), metode maserasi digunakan untuk mengekstrak
jaringan tanaman
yang belum
diketahui
kandungan senyawanya
yang
2.3 Kromatografi
Kromatografi
merupakan
suatu
metode
yang
digunakan
untuk
dengan menggunakan salah satu dari keempat metode tersebut atau gabungannya.
Pemilihan metode tergantung pada sifat-sifat senyawa yang digunakan.
Vacuum Liquid Chromatography (VLC) atau kromatografi vakum cair
merupakan pengembangan dari kromatografi kolom konvensional. Pada VLC,
elusi diaktivasi dengan menggunakan vakum. Elusi dilakukan dengan
menggunakan fase gerak dengan gradien polaritas dari polaritas paling rendah
sampai polaritas yang paling tinggi. Pemisahan senyawa pada VLC didasarkan
pada kelarutan senyawa yang dipisahkan dalam fase gerak yang digunakan. Fase
gerak dengan gradien polaritas diharapkan dapat memisahkan senyawa-senyawa
yang memiliki polaritas berbeda (Padmawinata 1995).
Pada kromatografi lapis tipis (KLT), fase diam berupa lapisan
pelarut yang terjerap pada lapisan tipis alumina, silika gel, atau balian serbuk
lainnya, dan fase geraknya berupa cairan. Prinsip KLT adalah sampel
diteteskan pada lapisan tipis kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi
fase gerak sehingga sampel tersebut terpisah menjadi komponen-komponennya
dengan laju tertentu yang dinyatakan dengan faktor retensi (Rf), yaitu
perbandingan antara jarak yang ditempuh komponen terhadap jarak yang
ditempuh fase gerak. Komponen yang mempunyai afinitas lebih besar dari fase
gerak atau afinitasnya lebih kecil dari fase diam akan bergerak lebih cepat dari
pada komponen yang mempunyai sifat sebaliknya (Gritter et al. 1991). Pada KLT,
sistem pengembangan yang digunakan berdasarkan prinsip like dissolves like,
yaitu memisahkan komponen bersifat polar menggunakan sistem pelarut yang
bersifat polar juga ataupun sebaliknya. Deteksi hasil kromatogram dilakukan di
bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm, serta dapat
dilakukan juga dengan pereaksi semprot (Santosa & Hertiani 2005).
dilakukan pada studi lingkungan, toksisitas dan penapisan senyawa bioaktif dari
jaringan tanaman. Uji ini merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas
farmakologi suatu senyawa. Adapun penerapan untuk sistem bioaktivitas dengan
menggunakan larva udang tersebut, antara lain untuk mengetahui residu pestisida,
anastetik lokal, senyawa turunan morpin, mikotoksin, karsinogenitas suatu
senyawa dan polutan untuk air laut serta sebagai alternatif metode yang murah
untuk uji sitotoksisitas (Hamburger & Hostettmann 1991). Senyawa aktif yang
memiliki
daya
bioaktivitas
tinggi
diketahui
berdasarkan
nilai
Lethal
Concentration 50% (LC50), yaitu suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi zat
toksik yang dapat menyebabkan kematian hewan uji sampai 50%. Data mortalitas
yang diperoleh kemudian diolah dengan analisis probit yang dirumuskan oleh
Finney (1971) untuk menentukan nilai LC50 pada derajat kepercayaan 95%.
Senyawa kimia memiliki potensi bioaktif jika mempunyai nilai LC50 kurang dari
1.000 g/ml (Meyer et al. 1982).
Uji BSLT dengan menggunakan larva udang A. salina dilakukan dengan
menetaskan telur-telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur A.
salina akan menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva A.
Salina yang baik digunakan untuk uji BSLT adalah yang berumur 48 jam sebab
jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian A. salina bukan disebabkan
toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan (Meyer et al.
1982). Kista ini berbentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan
dengan diameter berkisar 200-300 m. Kista berkualitas baik, apabila diinkubasi
dalam air berkadar garam 5-70 permil akan menetas sekitar 18-24 jam. A. salina
yang baru menetas disebut nauplius, berwarna orange, berbentuk bulat lonjong
dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 0,002 mg.
Nauplius berangsur-angsur mengalami perkembangan dan perubahan morfologis
dengan 15 kali pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Pada setiap pergantian
kulit disebut instar (Mudjiman 1995).
Keunggulan penggunaan larva udang A. salina untuk uji BSLT ini ialah
sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih cepat,
mudah dibiakkan dan harganya yang murah. Sifat peka A. salina kemungkinan
disebabkan oleh keadaan membran kulitnya yang sangat tipis sehingga