Anda di halaman 1dari 5

Dihukum Tuhan Karena Tidak Bercelana Cingkrang

Hehehe ... ini adalah uneg uneg saya sebagai muslim dimana rasanya sudah lama
juga saya berkecimpung soal literatur dan kesadaran dalam dunia Islam,
terhitung sejak Allah memberi saya hidayah tahun 1993 hingga 2013 sekarang ini,
dimana sudah barang tentu ada pengalaman pengalaman yang unik, lucu,
mengharukan, menyedihkan, membahagiakan dsb. Dan kini di Facebook kali ini
saya akan bercerita soal pengalaman anatara pelaksanaan fikih (*hukum syariat)
dengan realita yang terjadi di masyarakat serta kesimpulan yang saya lakukan.
Sebenarnya cerita saya ini karena inbox dari seorang teman yang haus tentang
hukum syariat. Nah semoga ini bisa menjadi wacana kita untuk lebih menilai
lebih dalam tentang agama yang kita anut yaitu Islam.

Ini soal pakaian laki laki, dimana ada banyak hadis yang menyebutkan bila
pakaian laki laki itu adalah harus di atas mata kaki, bahkan bila itu dilanggar
maka di ancam dengan neraka. seperti hadis dibawah ini :
"Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di
Neraka." (Hr : Imam Ahmad dan Bukhari )
"Sarung seorang mukmin sebatas pertengahan kedua betisnya. Tidak mengapa
ia menurunkan dibawah itu selama tidak menutupi kedua mata kaki. Dan yang
berada dibawah mata kaki tempatnya di neraka. (HR Malik dalam Muwaththa'
,dan Abu Daud dengan sanad yang sahih).
Nah, dari hadis hadis semacam diatas, sayapun menjalankannya hingga celana
saya waktu itu semua cingkrang, sebab demikianlah tuntunan syariah, istilahnya
sekarang "Islami". Dimana mana saya berusaha tampil Islami, hingga suatu saat
akhirnya jadi cemoohan orang juga teman teman karena di anggap nyleneh.
Diejek macem macem, tetapi karena hal demikian saya anggap benar karena
tuntunan syariat, maka saya cuek saja, yang penting saya benar (*menurut saya).
Nah kondisi psikologis seperti ini sebenarnya pasti terjadi pada siapa saja ketika
mereka ingin menegakkan simbol simbol Islam, dimana semua harus beda,
karena Islam harus eksklusif, lain dari umat yang lain. Pada tingkat tertentu
prinsip Islam itu harus menyelisihi apapun yang ada, karena Islam adalah
kebenaran dari Allah.
Kembali ke soal pakaian, akhirnya saya berpikir, kenapa banyak orang kalau
ketemu saya mesti perhatikan celana saya yang Islami ini, dan tersenyum
melihatnya, akhirnya saya lama lama menjadi malu juga. Hingga akhirnya saya
merenung, kenapa urusan "Islami" ini harus melawan arus yang ada, iyalah
memang bila itu hal yang prinsip haruslah kita beramar ma'ruf nahi mungkar,
menegakkan kebenaran, jihad di jalan Allah dsb. Tetapi ini hal yang bukan prinsip
mendasar dari sistem keagamaan, kenapa harus di ancam sampai keneraka,
apakah Nabi salah bersabda, atau hadis itu palsu, atau sistem sosial yang ada dan
kebudayaan dimana saya tinggal ini adalah sistem kafir yang batil.

Maka terjadi dialektika dalam diri saya pada banyak hal, bukan soal busana Islami
saja, tetapi semua hal dalam keyakinan saya, saya pertanyakan ulang, bukan
untuk mengingkari tetapi untuk lebih punya padangan yang proposional dan
komprehensif.
Akhirnya saya mengambil kesimpulan, bila itu hal hal yang bukan prinsip utama
dan mendasar dari sistem Islam ini, maka tidaklah usah bertakaluf(*berlebih
lebihan), sepertilahnya dalam hal pakaian, jadi meski tidak seperti tertulis dalam
hadis hadis bila seorang laki laki muslim sunnah memakai surban, jubah,
kecingkrangan, memakai siwak dst, itu bukanlah artinya ditolak keislamannya,
sebab Islam adalah bermuara dari keyakinan yang mantap akan ke Esaan Tuhan
yang kemudian dipancarkan menjadi amal shaleh hablum minan naas.
Akhirnya saya tinggalkan atribut atribut keagamaan yang biasa disebut Islami
dan cenderung biasa biasa saja, dalam hal pakaian yang kita obrolkan ini saya
berpendapat bila yang dibakar neraka itu bukan karena pakaiannya tidak
cingkrang, tetapi kesombongan hati. Dulu orang orang Rumawi yang dikenal
zaman Rasulullah biasa mengenakan busana sampai nyeser ke tanah untuk
pengagungan diri, nah kesombongan inilah yang dimurkai Allah, dan kita juga
sudah tau kebencian Allah seperti yang direkam dalam Al Qur'an akan
kebencian_Nya pada orang sombong.
Nah, meski kita pakai atribut atribut agama tetapi tetap saja sombong dengan
keberadaan orang lain, suka menuduh, dan berperilaku keras dan lain
sebagainya, maka apakah ini bukan berarti keterbalikan cara berpikir kita?.
Maka kenapa Tuhan harus menghukum seseorang karena celana atau sarungnya
tidak cingkrang?. Baiklah untuk keadilan, silakan bila waktu shalat memakai
celana cingkrang dan atau atribut keagamaan yang lainnya, tetapi bila kita
sedang bersosialisasi jangan sampai kita membawa ketidak simpatikan dari
orang lain karena keyakinan kita. Artinya, bukanlah Islam itu ketidak simpatikan,
tetapi karena memang sistem itu berbeda beda, dan sebaiknya kita juga bisa
memiliki kelenturan untuk adaptasi dengan lingkungan. Ini bukan tentang
kemunafikan atau enggan berdakwah, tetapi kita juga tidak bisa main

sembarangan bila kita mau dihormati orang(*umat) lain. Maka berdakwah yang
berhasil itu adalah dengan simpati, bukan dengan arogansi, ya, demikianlah yan
dicontohkan oleh Rasulullah SAW meski konteks zamannya berbeda. Maka juga
jangan mengesampingkan konteks zaman.
Dan ternyata kesimpulan saya soal sarung tadi juga selaras dengan hadis :
"Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya
karena sombong". (Muttafaq 'alaihi)
Jadi bagaimana, apa anda tetap tidak bersedia mengeksplorasi lebih dalam
tentang naskah naskah agama kita lebih lanjut, dan juga tentang kesadaran
sebagai Muslim yang dinamis?, apa anda masih percaya bahwa pintu ijtihad itu
ditutup?, apa andamelupakan konteks kezamanan?, apa anda tetap saja
menganggap bahwa semua ini bukan evolusi keberumatan, dan itu dianggap
terlarang karena takut buahnya bukan taat?, tetapi sebenarnya siapa yang akan
ditaati disini?, apakah anda akan berpikir bila orang orang yang berpikir seperti
saya adalah orang munafiq?, maka saya bertanya :"Dimanakah batasan
kemunafikan dan kebijaksanaan?
Dan saya berserah diri dengan ke Islam an saya, sedang saya hanya bisa
mengklaim diri sebagai Muslim dan berusaha beramal sebagaimana diajarkan,
sedang penilaian dan penghargaan saya serahkan sepenuhnya kepada Allah.

Oleh : Kang Arya


https://www.facebook.com/kang.arya.1800
Kunjungi posting kami yang lain di Blogger The Journey
http://singularination.blogspot.com/
Kategori : Dialektika, Keberumatan umat Islam

Anda mungkin juga menyukai