Anda di halaman 1dari 4

Matematika Dan Mistisisme Agama

Anda menganggap bila matamatika itu ilmu sulit?. Padahal bahasan moral itu
lebih rumit ketimbang matematika. Matematika hanya dua dimensi panjang kali
lebar di atas kertas, sedangkan bahasan moral itu multidimensi tertaut kesana
kemari, dan juga ditambah dengan standart ganda pula. Bila anda merasa sulit
dengan matematika itu dikarenakan hanya tidak terlatih saja. Tetapi soal moral
benar benar aneh, meski benar bisa saja salah, meski salah bisa saja benar, dan
itu belum termasuk perspektif yang muncul sejumlah manusia penghuni planet
bumi ini yang berlainan.
Cintailah matematika, itu inti kebenaran walau dianggap bukan kebenaran.
Selama ini kebenaran dinisbatkan pada Al Qur'an dan tidak boleh ditawar,
padahal para penyampai Al Qur'an itu tidak ada kesepakatan dikarenakan basik
filosofi keilmuan masing masing. Filsafat adalah buah logika, dan logika adalah
buah dari penalaran akal, sedangkan akal bersumber dari matematika.
Pada sisi lain, matematika menggambarkan bentuk alam itu sendiri dalam
bahasan kosmologi, karena inilah ada bentuk hitungan dan rumus tertentu. Dan
dari sini juga membentuk rumusan fisika dan yang terbaru adalah fisika kuantum.

Agama berintikan moral, dan moral adalah bentuk tertentu juga. Dan dari sini
pula dalam syariah ada hitungan tertentu dan susunan hirarki dalam sistem
masyarakat yang dikehendaki sebagai suatu tatanan. Meski hal demikian
tidaklah nampak nyata sebagai matematika, tetapi basiknya tetaplah
matematika. Atau bisa dikatakan bahwa moral dan kosmologi adalah pemadatan
atau kompresi dari aneka macam rumus matematika.
Bila ada kebenaran, pasti ada penyimpangan. Lalu apakah penyimpangan itu.
Penyimpangan adalah semisal 3+2=1. Penjelasannya adalah, bila di alam ini
memang ada kudrat yang tidak bisa dibantah, dan dalam bahasa agama di sebut
sebagai fitrah. Kemutlaqan ini hal yang sangat lembut, tetapi sekaligus selalu
menjadi dasar bagi segala realita, jadi penyimpangan adalah ketidaksesuaian
dengan kudrat itu tadi. Lalu, bisakah kudrat itu dipahami?. Jawabnya adalah bisa.
Dan hal itu sebenarnya tertanam disegala ciptaan sudah ada begitu saja tanpa
ada campur tangan kemauan manusia. Nah, kemauan manusia inilah yang
kadang kadang menyalahi kudrat. Kenapa bisa begitu?. Karena manusia adalah
makhluk multidimensi paling sempurna bila dipahami dari sisi kosmologi.
Seperti contoh sederhana di atas, bila 3+2, secara fitrah atau qudrat 5 adalah
bilangan angka yang benar sebagai jawaban. Tetapi bisa saja tidak berlalu dalam
jagad kemanusiaan. Misal, 3 Pizza ditambah 2 orang anak, maka jawabnya bisa
menjadi probabilitas, maka bisa jadi nol, atau satu, atau dua, atau tiga semuanya
serba mungkin dan itu tergantung kehendak dua orang anak tadi terhadap pizza
apakah mereka akan memakan, tidak memakan, berbagi makanan, atau berebut
makanan.
Lalu bila ditanyakan :"Apakah manusia itu salah?", secara pemahaman semua
agama menjawab :"Iya, manusia adalah makhluk bersalah". Oke, kita sedang
tidak membicarakan agama, tetapi berusaha memahami kosmologi. Bisa saja
dianggap manusia itu bersalah karena manusia terlalu multidimensi seperti yang
saya katakan di atas tadi, dan manusia sebagai kompresi dari aneka rumus
hukum alam yang maujud menjadi sesosok individu. Dan karena ini juga Allah
dalam Al Qur'an menyatakan sebagai sebaik baik ciptaan karena kerumitannya

tadi, ibarat super komputer yang sangat canggih, dan memiliki akses tak
terbatas.
Maka, ke-multidimensi-an yang super itu seolah bagai totalitas gambaran dari
alam semesta itu sendiri menjelma sebagai seorang manusia, karena itu manusia
begitu dihargai oleh Tuhan walau dianggap punya kesalahan. Tentu ini
dikarenakan Tuhan memiliki cara pandang akan semua dimensi. Dan dalam
ungkapan personifikasi dikatakan bila Tuhan mencipta Adam dengan gambarNya, artinya manusia itu makhluk totalitas, dia memiliki nilai lahut. Dan juga
sebaliknya Tuhan mengatributkan diri dalam jagad nasut. Demikianlah seperti
dalam bahasan mistisisme agama.
Dan bila ada pertanyaan :"Tetapi kenapa manusia itu tidak sama seperti satu
cetak biru bagai robot yang diproduksi dari satu pabrik?". Maka jawaban yang
tepat untuk ini bukanlah filosofis lagi tetapi teknis. Tentu saja saya bukan anda,
demikian generasi sebelumnya, dan meskipun mungkin diantara dua orang ada
kemiripan, tetapi tidak ada yang benar benar sama sebagai robot, ini di
karenakan multidimensi yang merealita dalam jagad kemanusiaan sebagai
manusia itu sendiri, belum ditambah pula berkelindannya aneka rumus yang
rumit membutuhkan penelitian yang intensif dalam sejarah peradaban
kemanusiaan itu sendiri.
Tentu anda bisa membedakan antara selembar kertas dan sebuah kardus dan
membandingkan dengan bayangan dari kertas dan kardus itu atau anda
hadapkan pada sebuah cermin sehingga terlihat benda itu di cermin.
Demikianlah dimensi-dimensi berbeda, semua punya dimensi masing-masing.
Lalu apakah hidup itu?. Maka untuk hal ini saya menjawab bila hidup adalah bila
anda masih mempertanyakannya. Dan bila ditanyakan lagi :"Maka apakah
kemandegan itu kematian?", mungkin jawabnya adalah :"Iya", tetapi jangan lupa
bila manusia itu mutidimensi yang hebat luar biasa, suatu kemandegan bukanlah
semuanya, karena inilah kematian secara klinis-medis bukanlah berhentinya
hidup suatu kesadaran, hanya saja pindah dimensi.

Lalu berapa jumlah dimensi yang mentaut sesosok manusia?. Saya menjawab
:"Saya juga tidak tau pasti". Yang jelas bilangan itu ada. Dan bila ditanya pula
:"Kenapa Tuhan itu satu?", maka saya menjawab :"Satu karena sebagai bentuk
bahasa yang dipahami sebagai inti kemutlakan itu sendiri, padahal Tuhan tidak
menggunakan atribut angka yang menujukkan jumlah tertentu, sebab, bila Dia
masih menggunakan bilangan jumlah tentu dia termasuk alam itu sendiri yang
dipahami sebagai matematika".

Oleh : Kang Arya


https://www.facebook.com/kang.arya.1800
Kunjungi posting kami yang lain di Blogger The Journey
http://singularination.blogspot.com/
Kategori : Kosmologi, Keberumatan umat Islam, Sufistik

Anda mungkin juga menyukai