Tuhan bukanlah Allah. Moral bukanlah Akhlaq. dsb. Secara semantik hal
demikian adalah boleh. Tetapi coba kalau hal ini kita balik (bila alasannya hal
semantik), maka menjadi, Allah bukanlah Tuhan. Akhlaq bukanlah moral, dsb.
Pemahaman hal kebahasaan demikian seringkali menjadi hal sensitif yang saya
katakan termasuk dibesar besarkan dalam Islam. Yang demikian dikarenakan
rasa eksklusif yang selalu menjadi kerangka pikir dalam Islam. Bila Islam itu
"Tinggi" seharusnya bisa memberikan bukti, bukan sekedar teori yang punya
tujuan menafikan yang selain Islam. Ayat kuntum khaira umatin sebenarnya
tidak bermakna eksklusif, akan tetapi ekselen (*excellent) yaitu unggul, Mungkin
seperti ungkapan pepatah orang kuno :"Menang tanpa harus merendahkan"
Demikian juga dalam pemahaman dalam hal kepolitikan yang menjadi inti
pertikaian antara Islam dengan ide selain Islam. Yaitu kata "Demokrasi".
Demokrasi dianggap bukan "Syura". Padahal bentuk bentuk demokrasi benar
benar sama dengan syura. Dari sinilah muncul pertentangan pertentangan yang
persoalannya terkonsentrasi pada kata "Khilafah". Konsep konsep khilafah yang
berbasik syura seperti yang terdapat dalam Al Qur'an, sehingga banyak penteori
yang sensitif dengan peristilahan ini menentang konsep demokrasi. Dan hal
demikian berlanjut pada tahqiq dimana demokrasi memang sudah ada sebelum
Islam hadir (di kebudayaan Yunani), dari sinilah demokrasi dianggap rival Islam,
demokrasi adalah kafir, hukum buatan manusia, dst. Memang betul bila hukum
hukum syariah berbeda dengan hukum positif yang umum digunakan. Akan
tetapi yang saya maksudkan di sini adalah dalam konteks "Ideologi". Karena hal
ini (yang diawali dari soal peristilahan) sebagian ulama Islam ada yang
membolehkan demokrasi meski dengan catatan adanya penyesuaian dengan
aturan aturan yang ada dalam Al Qur'an.
Kembali pada hal semantik. Kadang hal seperti itu benar benar alasan yang
mengada ada. Seperti ungkapan Tuhan bukanlah Allah, karena itu orang Islam
dilarang menggunakan kata "Tuhan" dalam penyebutan bagi Pencipta semesta
alam, sebab yang demikian seperti kebiasaan orang orang kafir Ahlul Kitab.
Wahai, yang demikian sungguh keterlaluan. Demikian terjadi dikarenakan
kerangka pikir yang tidak ada atau belum sampai pada subyek pembicara. Orang
Islam yang dangkal ilmunya, terlebih sangat terbatas dengan syariah, dan
terlebih dia hanya tau soal khilafah, Hizbut Tahrir, dsb, tentu mereka di doktrin
hanya mengkonsumsi literatur dari kalangan mereka sendiri, mereka dilarang
mencari informasi selain yang telah dibakukan, atau setidaknya dilarang mencari
pemahaman selain syariah, sebab selain syariah dalah sesat, kafir, tidak ada
dalam Al Qur'an, dan bukan ajaran Rasulullah s.a.w.
Secara logika dualitas akan sah bila dikatakan, bila Tuhan bukanlah Allah, tentu
Allah bukanlah Tuhan. Tetapi orang orang jahil seperti itu pasti akan menolak
pernyataan yang kedua. Nah, jadi inti persoalannya adalah pada jenis komunikasi
yang digunakan hanyalah searah, jadi tentu hal demikian sebenarnya hal yang
" Orang-orang Arab Badwi itu berkata: 'Kami telah beriman'. Katakanlah [kepada
mereka]: 'Kamu belum beriman', tetapi katakanlah: 'Kami telah berislam', karena
iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun [pahala] amalanmu;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang " - Qs : Al Hujurat :14
Demikian juga dalam ayat 14 itu Allah mengajarkan berdialektika dengan
peristilahan, betapa anggapan orang Islam (dalam asbabun nuzul ayat itu) yang
menyatakan diri sebagai orang beriman akan tetapi Allah belum menganggap
demikian. Sebenarnya hal ini adalah tamparan yang keras. Dalam hal Ini Iman
bukanlah Islam, meski kedua kata ini ada keterkaitannya, akan tetapi Tuhan
mengajak pada pendalaman makna (dari konteks peristilahan) dan anggapan
(*pemaksaan) tahqiq semantik tekstual telah dimentahkan oleh Allah sendiri.