Anda di halaman 1dari 4

Seringkali, orang kafir mencoba mengganggu iman kita dengan bertanya, mengapa Qur’an banyak

menggunakan kata KAMI untuk ALLAH? Bukankah kami itu banyak? Itu berarti Qur’an pun mengakui
“Tuhan” bapa, “Tuhan” anak & “Tuhan” roh!. Terkadang umat Islam sering tidak dapat menajwab
pertanyaan ini. Pertanyaan boleh sahaja bermula dari tidak tahu, namun banyak pula para kufar yg
berusaha untuk membodohi umat Islam yang tidak memahami dengan bahasa arab.

Pertanyaan seperti ini sering dijadikan senjata melawan umat Islam, mengelirukan,
menggoncangkan iman dengan mengatakan Tuhan Islam sama sahaja dengan Tuhan mereka dan
seterusnya memurtadkan umat Islam.Sebenarnya penggunaan kata KAMI ini terbahagi kepada
beberapa konteks…

Konteks Penggunaan Pertama

Yang utama harus diingat ialah, Bahasa Arab adalah bahasa yang paling sukar didunia (dan bahasa
paling sukar kedua adalah Bahasa China dan ada yang mengatakan bahasa Sanskrit).Hal ini
disebabkan dalam satu perkataan, bahasa arab bisa memiliki banyak makna. kandungan seni serta
balaghah dan fashohahnyaContohnya jantina@gender, dalam suatu daerah bisa bermakna lelaki,
tapi dalam daerah lain bisa bermakna perempuan.

Dalam tata bahasa Arab, ada kata ganti pertama singular (ana), dan ada kata ganti pertama plural
(nahnu). Ia sama dengan tata bahasa lainnya…Akan tetapi dalam bahasa Arab, kata ganti pertama
plural dapat dan sering, difungsikan sebagai singular. Dalam gramer (nahu@saraf) Arab hal ini
disebut “al-Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” , kata ganti pertama yang mengagungkan dirinya
sendiri. Ini kerana dhamir ‘NAHNU’ ialah dalam bentuk jamak yang berarti kita atau kami tetapi
dalam ilmu NAHU, maknanya tak cuma kami, tapi aku, saya dan lainnya.

Permasalahannya terjadi setelah al-Quran yang berbahasa Arab, dengan kekhususan


gramer@nahunya diterjemahkan ke dalam bahasa lain termasuk Indonesia, yang tak mengenal “al-
Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” tersebut. Akan tetapi, setelah mengetahui perbedaan gramer
ini, masalah kejanggalan ini segera dapat dimengerti dan dimaklumi.

Bagaimana mungkin aqidah Islam yang sangat logis dan kuat itu mau ditumbangkan cuma dengan
bekal logika bahasa yang setengah-setengah. Ertinya jika memang “KAMI” dalam Qur’an diartikan
sebagai lebih dari 1, lalu mengapa orang arab yg jauh lagi faham akan bahasa arab tidak menyembah
lebih dari 1 ALLAH? Seharusnya merekalah terlebig dahulu meninggalkan Islam dan al-Quran. Namun
ini tidak berlaku kerana mereka memang mengetahui istilah KAMI ini adalah hanya perbezaan “al-
Mutakallim al-Mu’adzdzim li Nafsih-i” ini…Ya memang al-Quran itu bahasa mereka sendiri.

Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa
adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi,
memiliki kiasan mendalam.
Selain kata ‘Nahnu”, ada juga kata ‘antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara
meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak). Secara rasa bahasa, bila kita
menyapa lawan bicara kita dengan panggilan ‘antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta
penghormatan ketimbang menggunakan sapaan ‘anta’.

Kata ‘Nahnu` tidak selalu bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari
dalam ilmu balaghah. Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna
tunggal. Misalnya seorang Kepala Sekolah dalam pidato sambutan berkata,”Kami sebagai kepala
sekolah berpesan . . . “ padahal Kepala Sekolah hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang
“Kami”. Lalu apakah kalimat itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau
hanya satu ?

Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan.
Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap@dihayati oleh orang asing yang tidak mengerti rasa
bahasa. Atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.

Kalau umat kristian tidak bisa faham rasa bahasa ini, harap maklum saja, karena alkitab bible mereka
memang telah kehilangan rasa bahasa. Bahkan bukan hanya kehilangan rasa bahasa, tapi juga
kehilangan kesucian sebuah kitab suci. Bahkan bahasa asal Ibrani sendiri tidak dikenal oleh majority
umat Kristen itu sendiri. Seperti yg sudah diketahui banyak orang, alkitab Kristiani merupakan
terjemahan dari terjemahan, yang telah diterjemahkan dari terjemahan sebelumnya. Ada sekian ribu
versi bible yang antara satu dan lainnya bukan saja tidak sama tapi juga bertolak belakang. Jadi wajar
bila alkitab christian mereka itu tidak punya balaghoh, logika, rasa dan gaya bahasa. Dia adalah
tulisan karya manusia yang kering dari nilai ilmiah.

Di dalam Al-Quran ada penggunaan yang kalau kita pahami secara harfiyah akan berbeda dengan
kenyataannya. Misalnya penggunaan kata ‘ummat’. Biasanya kita memahami bahwa makna ummat
adalah kumpulan dari orang-orang. Minimal menunjukkan sesuatu yang banyak. Namun Al-Quran
ketika menyebut Nabi Ibrahim yang saat itu hanya sendiri saja, tetap disebut dengan ummat.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah “UMMATAN” yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah
dan hanif . Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan” (An-Nahl 16:
120)

Konteks Penggunaan Kedua.

Kata “Kami” bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut, Allah melibatkan unsur-unsur
makhluk (selain diri-Nya sendiri):

1) Dalam kasus nuzulnya al-Qur’an, makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan
dinyatakan adalah malaikat, terutama Jibril;

2) Nabi sendiri 3)

3) Para pencatat/penulis wahyu

4) 4) Para huffadz (penghafal) dll.


Coba perhatikan baik-baik, kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Qur’an dalam
format kalimat aktif, Allah cenderung menggunakan kata Kami…

Contohnya Firman ALLah Taala bermaksud “Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Zikr [Al-Qur'an]
dan Kami yang menjaganya” (al-Hijr 15: 9)

Contoh lain, coba lihat ayat-ayat tentang mencari rezki. Dalam ayat-ayat tersebut. Allah sering
menggunakan kata Kami; artinya, rezki harus diusahakan oleh manusia itu sendiri, walaupun kita
juga yakin bahwa rezki sudah ditentukan oleh Allah.

Konteks Penggunaan Ketiga.

Ayat yang menggunakan kata Kami biasanya menceritakan sebuah peristiwa besar yang berada di
luar kemampuan jangkauan nalar manusia, seperti penciptaan Adam, penciptaan bumi, dan langit.
Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang nilai besar, Allah sendiri mengukuhkan pernyataan untuk
memberi kesan “Kemahaan-Nya” kepada manusia, agar manusia dapat menerima dan mengimani
segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar@rasio@akal manusia…

Contohnya “Sesungguhnya KAMI telah menciptakan kamu (Adam), lalu KAMI bentuk tubuhmu,
kemudian KAMI katakan kepada para malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam. Maka merekapun
bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud” (al-A’raf 7:11)
Maka dapat juga diambil kesimpulan, Kalimat AKU adalah untuk menunjukkan Keagungan ALLah
Taala dan kalimah KAMI untuk menunjukkan KekuasaanNya.

Maka jika ada orang kufar berani mengganggu iman Islam, maka katakanlah yg HAQ itu HAQ &
katakana pula yg BATHIL itu BATHIL. Sampaikanlah dengan hikmah & cara yg baik.

“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali
dengan orang-orang zalim di antara mereka…(al-Ankabut 29: 46).

Seringkali dalam perdebatan muncul syubhat tentang Al Quran, kenapa kadang kadang memakai
kata Aku (tunggal) dan kadang kadang memakai kata Kami (jamak),

dari Ibnu Taimiyyah -rahimahullahu ta’ala- , salah satu sebab turunnya ayat tersebut adalah
perdebatan orang-orang nashranimengenai yang kabur bagi mereka. Seperti FirmanNya ‫( أنا‬Ana =
Aku) dan ‫( نحن‬Nahnu = Kami).

Para Ulama mengetahui bahwa makna ‫( نحن‬Nahnu = Kami) disini adalah salah satu yang diagungkan
dan memiliki pembantu-pembantu.

Dia tidak memaksudkannya dengan makna tiga illah. Takwil kata ini yang merupakan penafsiran yang
sebenarnya, hanya diketahui oleh orang-orang yang mantap keilmuannya, yang bisa membedakan
antara siapa yang dimaksud dalam kata

ََّّ ِ‫( إ‬inna = sesungguhnya kami ),


‫( إِيَّا‬iyya = hanya kepada) dan siapa yang dimaksud dengan kata ‫ن‬
karena ikut sertanya para malaikat dalam tugas yang mereka diutus untuk menyampaikannya, sebab
mereka adalah para utusanNya.
Adapun berkenaan dengan satu-satunya illah yang berhak di ibadahi, maka berlaku bagi-Nya saja.

Karena itu Allahu ta’ala tidak pernah berfirman ‫ ( فإىّنَّفعبد‬faiyyana fa’budu = hanya kepada kami,
maka beribadahlah).

Setiap kali memerintahkan ibadah, takwa, takut dan tawakal, Dia menyebut diri Nya sendiri dengan
nama khususNya. Adapun bila menyebut perbuatan perbuatan yang dia mengutus para malaikat
untuk melakukannya maka Dia berfirman :

‫كَّفَتْ ًحاَّ ُمبِينًا‬


ََّ َ‫ِإنَّاَّفَتَحْ نَاَّل‬

sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata (Al Fath : 1)

dan…

ُ ‫فَإِذَاَّقَ َرأْنَاَّهَُّفَاتَّبِ َّْعَّقُ ْرآنَ َّه‬

Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaanya itu (Al Qiyamah : 18)

Ini, meskipun hakekat makna yang dikandungnya yaitu para malaikat, sifat-sifat mereka dan cara
cara Rabb mengutus mereka tidak diketahui kecuali oleh Allah ta’ala sebagaimana telah dijelaskan
ditempat lain………….

Anda mungkin juga menyukai