Anda di halaman 1dari 19

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Kelompok 1

Abdurasyid Ridoh ( 05041282025052 )


Siti Jahara ( 05041280025034 )
M. Padil ( 05041282025068 )

Dosen Pengampu : Dr. Apriyanti, M.Pd.I


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
Kata Pengantar

Puja dan puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang sudah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah- Nya sehingga kami bisa menyusun Tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam ini dengan baik serta tepat waktu. Shalawat besertakan salam
kami haturkan kepadaNabi Muhammad shallallahu ‘alalihi wasallam, yang telah membawa
pedoman hidup manusia yakni Al- Qur’an dan Sunnah. Seperti yang sudah kita tahu pantun
merupakan budaya yang sudah sangat melekat di nusantara, dalam praktiknya pantun menjadi
budaya yang dijadikan pelengkap ataupun pemanis dalam bergaul di daerah Melayu
terdahulu.
Di dalam makalah ini kami memberikan ringkasan tentang Konsep Ketuhanan dalam
Islam. Mudah- mudahan makalah yang kami buat ini bisa menolong menaikkan pengetahuan
kita jadi lebih luas lagi. Kami menyadari kalau masih banyak kekurangan dalam menyusun
makalah ini.
Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
guna kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Apriyanti,
M. Pd. I. Sebagai dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Kepada teman-teman yang
sudah menolong turut dan dalam penyelesaian makalah ini. Atas perhatian serta waktunya,
kami sampaikan banyak terima kasih.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam yang harus
dipenuhi sebagai nilai tambah yang sudah ditentukan oleh pengajar. Disamping itu, makalah
ini sangat bermanfaat bagi pembaca, karena pada makalah ini terdapat ilmu yang dapat
diambil sebagai pengetahuan dan penambah wawasan.
Saat ini banyak sekali dari kalangan awam yang tidak mengenal apa itu Tauhid,
Aqidah, dan lain sebagainya. Padahal Aqidah adalah dasar atau pondasi kita dalam beragam
Islam, tidak lupa bahwa Menuntut ilmu Agama merupakan wajib bagi setiap muslim dan
muslimah, sebagai orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka kita harus
memiliki pondasi yang kuat dalam menjalankan agama ini.
Solusi dari masalah yang cukup signifikan ini adalah memperkenalkan kembali ilmu
tentang Tauhid dan Aqidah agar kita lebih dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
paham apa yang kita amalkan saat ini. Dengan izin Allah semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca sebagai pengetahuan mengenai konsep Ketuhanan dalam Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Kami sudah menyusun sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah
ini. Adapun permasalahan yang hendak dibahas dalam karya tulis ini antara lain:
1. Bagaimana hakikat ketuhanan dalam Islam?
2. Apa itu Tauhid?
3. Apa itu Tauhid Rububiyyah?
4. Apa itu Tauhid Uluhiyyah?
5. Apa itu Tauhid Asma' wa Shifat?
6. Apa pengertian Aqidah?
7. Apa saja objek kajian Aqidah?
8. Bagaimana penamaan Aqidah Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
1.3 Tujuan Pembahasan
Bersumber pada rumusan permasalahan yang sudah kami susun di atas, hingga tujuan
dalam penyusunan makalah ini sebagai berikut:
1.Dapat mengetahui hakikat ketuhanan dalam Islam.
2. Mengetahui makna Tauhid.
3. Dapat memahami Tauhid Rububiyyah.
4. Memahami maksud dari Tauhid Uluhiyyah.
5. Dapat memahami apa yang dimaksud dengan Tauhid Asma wa Shifat.
6. Paham yang dimaksud dengan Aqidah.
7. Mengetahui objek kajian Aqidah.
8. Mengenal penamaan Aqidah Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Ketuhanan Dalam Islam
Di dalam surat al-Ikhals Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
‫ و لم يكن له كفوا أحد‬،‫ لم يلد ولم يولد‬،‫ هللا الصمد‬،‫قل هو هللا أحد‬
“Katakanlah (Muhammad) Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat meminta segala
sesuatu, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara
dengan Dia”.
Dari isi Qur’an surat al-Ikhlas tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam
Islam yang disebut/dianggap Tuhan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu Dialah Allah
yang Maha Esa (satu/tunggal). Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni: Dia Yang
pertama dan Esa, tidak ada tandingan dan pembantu, tidak ada yang setara dan tidak ada yang
berhubungan-Nya, dan tidak ada yang sebanding (dengan-Nya). Kata ini tidak digunakan
untuk menetapkan pada pihak selain pada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia Maha
Sempurna dalam seluruh sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya ”. [Tafsir Ibnu Katsir]
Allah mejadi satu-satunya tempat bergantung bagi umat manusia dari segala sesuatu
dan tidak ada sesuatupun yang sebanding dengan-Nya, (Rabb) Yang segala sesuatu
menghadapinya dalam memenuhi semua kebutuhan dan permintaan mereka. Ini pendapat
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ikrimah dan Allah sebagai Ilah/Tuhan tidaklah
beranak dan diperanakkan. Di dalam Islam, Allah Subhanahu wa Ta’ala beranak dan
diperanakkan. Banyak sekali bantahan Allâh Azza wa Jalla di dalam kitab suci-Nya terhadap
orang-orang yang beranggapan bahwa Allâh memiliki anak, antara lain firman Allâh
Subhanahu wa Ta’ala:
‫احب‬
ِ ‫ص‬َ ُ‫ض ۖ أَنَّ ٰى يَ ُكونُ لَهُ َولَ ٌد َولَ ْم تَ ُك ْن لَه‬
ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
ِ ‫َ بَ ِدي ُع ال َّس َما َوا‬
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak
mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia melihat segala sesuatu. [Al-
An’am / 6: 101].
Maksudnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah pemilik dan pencipta segala sesuatu,
maka bagaimana mungkin ada di antara makhluk-Nya yang menandingi-Nya. Allâh Maha
Tinggi dan Maha Suci dari anggapan mereka itu. Sesungguhnya beranggapan bahwa Allâh
memiliki anak merupakan manusia celaan kepada Allâh Yang Maha Kuasa, padahal mereka
sangat tidak pantas mencela-Nya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫تمه‬ss‫ا ش‬ss‫قال هللا كذبني ابن آدم ولم يكن له ذلك وشتمني ولم يكن له ذلك أما تكذيبه إياي أن يقول إني لن أعيده كما بدأته وأم‬
‫إياي أن يقول اتخذ هللا ولدا وأنا الصمد الذي لم ألد ولم أولد ولم يكن لي كفؤا أحد‬
Allâh berkata: “Anak Adam mendustakanKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Dia
juga mencelaKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Pendustaannya kepadaKu adalah
perkataannya bahwa Aku tidak akan menghidupkannya kembali ‘Aku telah memulai
alirannya. Sedangkan celaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku memiliki anak,
padahal Aku adalah Ash-Shamad, Aku tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak
ada seorangpun yang setara denganKu. ” [HR. Bukhori, no. 4975].
Karena sangat dosa keyakinan Allâh Azza wa Jalla memiliki anak, maka hampir-hampir
dunia ini hancur berantakan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
) ‫دا‬ss‫ال ه‬s‫ر الجب‬s‫ق األرض وتخ‬ss‫ه وتنش‬ss‫رن من‬ss‫ماوات يتفط‬ss‫( تكاد الس‬89) ‫( لقد جئتم شيئا إدا‬88) ‫وقالوا اتخذ الرحمن ولدا‬
‫( أن دعوا للرحمن ولدا‬90
Dan mereka menyatakan, “Rabb yang Maha Pemurah mempunyai anak”.
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir
hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh,
karena mereka menda’wakan bahwa Allâh yang Maha Pemurah mempunyai anak.
[Maryam / 19: 88-91].
Namun demikian meskipun demikian besar dosa manusia itu, tetapi Allâh Subhanahu
wa Ta’ala Maha Sabar. Bahkan Dia tetap memberikan rizqi dan kesehatan sementara di dunia
ini kepada orang-orang yang sangat lancang tersebut.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫رزقهم‬ss‫افيهم وي‬ss‫ه ليع‬ss‫دا وإن‬ss‫ه ول‬ss‫دعون ل‬ss‫معه من هللا إنهم لي‬ss‫بر على أذى س‬ss‫يء أص‬ss‫د أو ليس ش‬ss‫ ليس أح‬Tidak ada
seorangpun yang lebih sabar terhadap Allâh terhadap gangguan yang dia dengarkan.
Sebagian manusia menganggap Semua memiliki anak, namun Dia tetap memberikan
keselamatan / kesehatan dan memberi rizqi kepada mereka. [HR. Al-Bukhâri, no. 6099;
Muslim, tidak. 2804].

2.2 Tauhid
Berbicara tentang Ketuhanan maka tentu merujuk kepada tauhid, dalam konsep Islam
tauhid adalah konsep dalam akidah Islam yang menyatakan keesaan Allah. Islam
mengajarkan bahwa Allah Esa (satu) tidak dari segi bilangan. Melainkan dari segi bahwa
Allah tidak mempunyai sekutu atau serupa. Allah satu dari segi Dzatnya, dengan makna
bahwa tidak ada dzat yang serupa dengan Dzat Allah. Karena Dzat Allah bukanlah benda dan
tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karena Allah-lah yang menciptakan seluruh benda
beserta segenap sifat-sifatnya. Allah sudah ada sebelum seluruh ciptaan ini ada. Allah tidak
dapat dibayangkan karena bayangan benak manusia hanya bisa menjangkau hal-hal yang
biasa dijumpai, dilihat, didengar, atau dirasakannya dengan panca indera. Dan Allah tidaklah
serupa dengan hal-hal demikian. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan
konsekuensi dari kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim.
Ulama-ulama terdahulu semejak mempelajari dalil-dalil tentang tauhid, pada akhirnya
para ulama tersebut menyimpulkan bahwa tauhid dijabarkan menjadi 3 bagian, 1) Rububiyah,
2) Uluhiyah 3)Asma was sifat.
2.2.1 Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dilakukan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta
bahwasanya Dia adalah Raja, Penguasa, dan Yang mengatur segala sesuatu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ‫ك هَّللا ُ َربُّ ْال َعالَ ِمين‬ َ َ‫ق َواأْل َ ْم ُر ۗ تَب‬
َ ‫ار‬ ُ ‫أَاَل لَهُ ْال َخ ْل‬
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb
semesta alam.” [Al-A’raaf: 54].
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman:
‫ير‬
ٍ ‫ط ِم‬ ُ ‫ٰ َذلِ ُك ُم هَّللا ُ َربُّ ُك ْم لَهُ ْال ُم ْل‬
ْ ِ‫ك ۚ َوالَّ ِذينَ تَ ْد ُعونَ ِم ْن دُونِ ِه َما يَ ْملِ ُكونَ ِم ْن ق‬

“…Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah Rabb-mu, milik- Nya-lah kerajaan. Dan orang-
orang yang kamu seru (sembah) selain Allah, tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis
kulit ari.” [Faathir: 13].
Allah Ta’ala berfirman:
ُ ِ‫هَّللا ُ خَال‬
‫ق ُكلِّ َش ْي ٍء‬
“Allah yang menciptakan segala sesuatu.” [Az-Zumar: 62].
Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:

ِ ْ‫َو َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِي اأْل َر‬


‫ض ِإاَّل َعلَى هَّللا ِ ِر ْزقُهَا‬
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rizkinya.” [Huud: 6].
Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat dan
menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu,
Pengatur adanya siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Allah
menyatakan pula tentang keesaan-Nya dalam Rububiyyah-Nya atas segala alam semesta.
Firman Allah Ta’ala:
َ‫ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمين‬
“Segala puji bagi Allah Rabb (Penguasa) semesta alam.” [Al-Faatihah :2].
Allah menciptakan seluruh makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap Rububiyyah-Nya.
Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah pun mengakui keesaan
dan sifat Rububiyyah-Nya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

َ sُ‫ ْي ٍء َوه‬s‫وت ُكلِّ َش‬


. ‫ي ُر َواَل‬ss‫و ي ُِج‬s ُ ‫ش ْال َع ِظ ِيم َسيَقُولُونَ هَّلِل ِ ۚ قُلْ أَفَاَل تَتَّقُونَ قُلْ َم ْن بِيَ ِد ِه َملَ ُك‬
ِ ْ‫ت ال َّسب ِْع َو َربُّ ْال َعر‬
ِ ‫قُلْ َم ْن َربُّ ال َّس َما َوا‬
َ‫ْحرُون‬ َ ‫يُ َجا ُر َعلَ ْي ِه إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمونَ َسيَقُولُونَ هَّلِل ِ ۚ قُلْ فَأَنَّ ٰى تُس‬
“Katakanlah, ‘Siapakah Rabb langit yang tujuh dan Rabb ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan
menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah , ‘Maka mengapa kamu tidak bertaqwa?’
Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia
melindungi dan tidak ada yang dapat dilindungi dari-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka
menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian) maka dari jalan manakah
kamu ditipu?” [Al-Mu’-minun: 86-89].
Firman Allah Ta’ala:
‫ ِر ُج ْال َميِّتَ ِمنَ ْال َح ِّي َو َم ْن‬s‫ت َوي ُْخ‬ ِ ِّ‫ي ِمنَ ْال َمي‬ َّ ‫ْصا َر َو َم ْن ي ُْخ ِر ُج ْال َح‬ َ ‫ك ال َّس ْم َع َواأْل َب‬ُ ِ‫ض أَ َّم ْن يَ ْمل‬ِ ْ‫قُلْ َم ْن يَرْ ُزقُ ُك ْم ِمنَ ال َّس َما ِء َواأْل َر‬
ُ َ
َ‫ضاَل ُل ۖ فَأنَّ ٰى تُصْ َرفون‬ َّ ‫ق إِ ال‬‫اَّل‬ ْ
ِّ ‫ق ۖ فَ َما َذا بَ ْع َد ال َح‬ ْ ‫هَّللا‬ ٰ
ُّ ‫يُ َدبِّ ُر اأْل َ ْم َر ۚ فَ َسيَقُولونَ ُ ۚ فَقلْ أفَاَل تَتَّقونَ فَ َذلِ ُك ُم ُ َربُّ ُك ُم ال َح‬
ُ َ ُ ‫هَّللا‬ ُ

“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah
yang kuasa (menciptakan) pen-dengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati, dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah
yang mengatur segala urusan.’ Maka mereka menjawab: ‘Allah.’ Maka katakanlah:
‘Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?’ Maka, (yang demikian) itu adalah Allah
Rabb-mu yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.
Maka, bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” [Yunus: 31-32].
Juga firman-Nya:
‫ض لَيَقُولُ َّن خَ لَقَه َُّن ْال َع ِزي ُز ْال َعلِي ُم‬
َ ْ‫ت َواأْل َر‬ َ َ‫َولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن َخل‬
َ ‫ق ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab: ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi
Mahamengetahui.’” [Az-Zukhruuf: 9].
Kaum musyrikin mengakui bahwasanya hanya Allah sajalah Pencipta segala sesuatu,
Pemberi rizki, Pemilik langit dan bumi dan Pengatur alam semesta, namun mereka juga
menetapkan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai penolong, yang mereka
bertawassul dengan berhala tersebut dan menjadikan mereka pemberi syafa’at, sebagaimana
yang disebutkan dalam beberapa ayat.
Dengan perbuatan tersebut, maka mereka tetap dalam ke-adaan musyrik, sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla : َ‫“ َو َما ي ُْؤ ِمنُ أَ ْكثَ ُرهُ ْم بِاهَّلل ِ إِاَّل َوهُ ْم ُم ْش ِر ُكون‬Dan tidaklah sebagian besar dari
mereka beriman kepada Allah, melainkan (mereka) dalam keadaan mempersekutukan Allah
(dengan sembahan-sembahan lain ).” [Yusuf: 106]
Sebagian ulama Salaf berkata: “Jika kalian tanyakan pada mereka: ‘Siapa yang
menciptakan langit, bumi dan gunung-gunung?’ Mereka pasti menjawab: ‘Allah.’ Walaupun
demikian mereka tetap saja menyembah kepada selain-Nya.” Jadi, tauhid Rububiyyah ini
diakui semua orang. Tidak ada ummat manapun yang menyangkalnya. Bahkan hati manusia
sudah difitrahkan untuk mengakui-Nya, melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lain-Nya.
Sebagaimana perkataan para Rasul yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ِ ْ‫ت َواأْل َر‬


‫ض‬ ِ ‫اوا‬ ٌّ ‫ت رُ ُسلُهُ ْم أَفِي هَّللا ِ َش‬
َّ ‫ا ِط ِر‬sَ‫ك ف‬
َ ‫ َم‬s‫الس‬ ْ َ‫“ قَال‬Berkata rasul-rasul mereka, ‘Apakah ada keragu-
raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?’…” [Ibrahim: 10] Adapun orang yang
paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di hatinya masih tetap
meyakini keberadaan Allah.
Sebagaimana perkataan Musa Alaihissallam kepadanya:
‫ك يَا فِرْ عَوْ نُ َم ْثبُورًا‬
َ ُّ‫صائِ َر َوإِنِّي أَل َظُن‬ ِ ‫قَا َل لَقَ ْد َعلِ ْمتَ َما أَ ْن َز َل ٰهَؤُاَل ِء إِاَّل َربُّ ال َّس َما َوا‬
ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
َ َ‫ض ب‬
“Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tidak ada yang menurunkan
mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti
yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, wahai Fir’aun, adalah seorang yang akan
binasa.’” [Al-Israa:102]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya: ‫ا‬ssَ‫ دُوا بِه‬s‫َو َج َح‬
‫“ َوا ْستَ ْيقَنَ ْتهَا أَ ْنفُ ُسهُ ْم ظُ ْل ًما َو ُعلُ ًّوا‬Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan ke-sombongan
(mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya…” [An-Naml: 14]
Tauhid Rububiyyah ini tidak bermanfaat bagi seseorang yang mengimaninya, kecuali
dia diberi petunjuk untuk beriman kepada dua macam tauhid lainnya, yaitu tauhid Uluhiyyah
dan tauhid al-Asma’ wash Shifat. Karena Allah telah memberitakan kepada kita bahwa
orang-orang musyrikin telah mengenal tauhid Rububiyyah yang dimiliki Allah, namun
demikian tidak memberikan manfaat kepada mereka, sebab mereka tidak mengesakan-Nya
dalam beribadah. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Seandainya keimanan kepada
tauhid Rububiyyah ini saja dapat menyelamatkan, tentunya orang-orang musyrik telah
diselamatkan. Akan tetapi urusan yang amat penting dan menjadi penentu adalah keimanan
kepada tauhid Uluhiyyah yang merupakan pembeda antara orang-orang musyrikin dan orang-
orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala.” [4.
2.2.2 Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah dikatakan juga Tauhiidul ‘Ibaadah yang berarti mentauhidkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka
dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apabila hal itu disyari’atkan
oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh
(penyembelihan), bernadzar, isti’anah (meminta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan
di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan), dan segala apa yang disyari’atkan dan
diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-
Nya, dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah.
Sungguh, Allah tidak akan ridha jika dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Apabila
ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada syirkun akbar
(syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya. [Lihat QS. An-Nisaa: 48, 116].
Al-ilaah artinya al-ma’luuh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta
pengagungan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

ِ ‫اح ٌد ۖ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل ه َُو الرَّحْ ٰ َمنُ الر‬


‫َّحي ُم‬ ِ ‫َوإِ ٰلَهُ ُك ْم إِ ٰلَهٌ َو‬
“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang diibadahi dengan
benar melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 163].
Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (wafat th. 1376
H) berkata: “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan
perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, maupun
Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang
setara, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta
ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk
diibadahi. Dia (Allah) tidak boleh disekutu-kan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ْط ۚ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل ه َُو ْال َع ِزي ُز ْال َح ِكي ُم‬
ِ ‫َش ِه َد هَّللا ُ أَنَّهُ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل هُ َو َو ْال َماَل ئِ َكةُ َوأُولُو ْال ِع ْل ِم قَائِ ًما بِ ْالقِس‬
“Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain
Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan demikian). Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain-
Nya, Yang Maha Perkasa lagi Mahabijak-sana.” [Ali ‘Imran: 18].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai Lata, ‘Uzza dan Manat yang disebut sebagai
tuhan oleh kaum Musyrikin:
‫ان‬َ ‫إِ ْن ِه َي إِاَّل أَ ْس َما ٌء َس َّم ْيتُ ُموهَا أَ ْنتُ ْم َوآبَا ُؤ ُك ْم َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ بِهَا ِم ْن س ُْل‬
ٍ ‫ط‬
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu mengada-adakannya,
Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya…” [An-Najm: 23].
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bathil, dalilnya
adalah firman Allah Azza wa Jalla:
‫ق َوأَ َّن َما يَ ْد ُعونَ ِم ْن دُونِ ِه ه َُو ْالبَا ِط ُل َوأَ َّن هَّللا َ ه َُو ْال َعلِ ُّي ْال َكبِي ُر‬ َ ِ‫ٰ َذل‬
ُّ ‫ك بِأ َ َّن هَّللا َ ه َُو ْال َح‬
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang bathil, dan
sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” [Al-Hajj: 62].
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf Alaihissallam, yang berkata kepada
kedua temannya di penjara:
‫زَ َل‬ss‫اح ُد ْالقَهَّا ُر َما تَ ْعبُ ُدونَ ِم ْن دُونِ ِه إِاَّل أَ ْس َما ًء َس َّم ْيتُ ُموهَا أَ ْنتُ ْم َوآبَا ُؤ ُك ْم َما أَ ْن‬
ِ ‫صا ِحبَ ِي السِّجْ ِن أَأَرْ بَابٌ ُمتَفَ ِّرقُونَ َخ ْي ٌر أَ ِم هَّللا ُ ْال َو‬
َ ‫يَا‬
َ ْ
ٍ ‫ُ بِهَا ِم ْن سُلط‬
‫ان‬ ‫هَّللا‬

“Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam
itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah selain Allah,
kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-
buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu…” [Yusuf:
39-40].
Tauhid Uluhiyyah merupakan inti dakwah para Nabi dan Rasul ‫صالَةُ َوال َّسالَ ُم‬
َّ ‫ َعلَ ْي ِه ُم ال‬, dari Rasul
yang pertama hingga Rasul terakhir, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ‫َولَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِي ُك ِّل أُ َّم ٍة َر ُسواًل أَ ِن ا ْعبُدُوا هَّللا َ َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغوت‬
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan):
‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu…’” [An-Nahl: 36].
Dan firman-Nya:
ٰ
ِ ‫ك ِم ْن َرسُو ٍل إِاَّل نُو ِحي إِلَ ْي ِه أَنَّهُ اَل ِإلَهَ إِاَّل أَنَا فَا ْعبُد‬
‫ُون‬ َ ِ‫َو َما أَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبل‬
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) selain
Aku, maka ibadahilah olehmu sekalian akan Aku.’” [Al-Anbiyaa’: 25].
َّ ‫الَةُ َو‬s‫الص‬
Semua Rasul ‫الَ ُم‬s‫الس‬ َّ ‫ َعلَ ْي ِه ُم‬memulai dakwah mereka kepada kaumnya dengan tauhid
Uluhiyyah, agar kaum mereka beribadah dengan benar hanya kepada Allah Subahanahu wa
Ta’ala saja. Seluruh Rasul berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala
: َ‫فَأَرْ َس ْلنَا فِي ِه ْم َر ُسواًل ِم ْنهُ ْم أَ ِن ا ْعبُدُوا هَّللا َ َما لَ ُك ْم ِم ْن إِ ٰلَ ٍه َغ ْي ُرهُ ۖ أَفَاَل تَتَّقُون‬
“Lalu Kami utus kepada mereka, seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata):
‘Sembahlah Allah olehmu sekalian, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq selain-Nya.
Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?’” [Al-Mukminuun: 32].
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil
sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan
pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dua bukti: Bukti pertama: Tuhan-tuhan yang diambil itu
tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak
dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, serta
tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ ‫َواتَّ َخ ُذوا ِم ْن دُونِ ِه آلِهَةً اَل يَ ْخلُقُونَ َش ْيئًا َوهُ ْم ي ُْخلَقُونَ َواَل يَ ْملِ ُكونَ أِل َ ْنفُ ِس ِه ْم‬
‫ض ًّرا َواَل نَ ْفعًا َواَل يَ ْملِ ُكونَ َموْ تًا َواَل َحيَاةً َواَل نُ ُشورًا‬
“Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu
tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk
(menolak) suatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu
kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula)
membangkitkan.” [Al-Furqaan: 3].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ُ‫ه‬sَ‫ا ل‬ss‫ك َو َم‬ ٍ ْ‫ر‬s‫ا ِم ْن ِش‬ss‫ا لَهُ ْم فِي ِه َم‬ss‫ض َو َم‬ ِ ْ‫ت َواَل فِي اأْل َر‬ ِ ‫اوا‬ َ َ‫قُ ِل ا ْدعُوا الَّ ِذينَ زَ َع ْمتُ ْم ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ ۖ اَل يَ ْملِ ُكونَ ِم ْثق‬
َّ ‫ال َذ َّر ٍة فِي‬
َ ‫ َم‬s‫الس‬
ُ‫ير َواَل تَ ْنفَ ُع ال َّشفَا َعةُ ِع ْن َدهُ إِاَّل ِل َم ْن أَ ِذنَ لَه‬
ٍ ‫ِم ْنهُ ْم ِم ْن ظَ ِه‬
“Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak
mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di
antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’ Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah,
melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at…” [Saba’: 22-23].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ُ ‫ق َش ْيئًا َوهُ ْم ي ُْخلَقُونَ َواَل يَ ْستَ ِطيعُونَ لَهُ ْم نَصْ رًا َواَل أَ ْنفُ َسهُ ْم يَ ْن‬
َ‫صرُون‬ ُ ُ‫أَيُ ْش ِر ُكونَ َما اَل يَ ْخل‬
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak dapat
menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri adalah buatan manusia. Dan
berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya
dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” [Al-
A’raaf: 191-192].
Apabila keadaan tuhan-tuhan itu demikian, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan
zhalim apabila menjadikan mereka sebagai ilah (sesembahan) dan tempat meminta
pertolongan. Bukti kedua: Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, Yang di tangan-Nya kekuasaan
segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat melindungi dan tidak
ada yang dapat melindungi dari adzab-Nya. Ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah
(penghambaan) sebagaimana mereka mengesakan Rububiyyah (ketuhanan) Allah. Tauhid
Rububiyyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyyah
(beribadah hanya kepada Allah saja).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
َ‫ َز َل ِمن‬s‫ا ًء َوأَ ْن‬ssَ‫ َما َء بِن‬s‫الس‬ َّ ‫ض فِ َرا ًشا َو‬ َ ْ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ ا ْعبُدُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي خَ لَقَ ُك ْم َوالَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُونَ الَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ُم اأْل َر‬
َ‫ت ِر ْزقًا لَ ُك ْم ۖ فَاَل تَجْ َعلُوا هَّلِل ِ أَ ْندَادًا َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
ِ ‫ال َّس َما ِء َما ًء فَأ َ ْخ َر َج بِ ِه ِمنَ الثَّ َم َرا‬
“Wahai manusia, baribadahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [Al-
Baqarah: 21-22].
Tauhid Rububiyyah mengharuskan adanya tauhid Uluhiyyah. Allah memerintahkan
kita untuk bertauhid Uluhiyyah, yaitu menyembah dan beribadah hanya kepada-Nya. Dia
Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid Rububiyyah, yaitu
penciptaan-Nya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit
dan bumi serta seisinya, diturunkannya hujan, ditumbuhkannya tumbuh-tumbuhan,
dikeluarkannya buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba. Maka, sangat tidak pantas
bagi kita jika menyekutukan Allah dengan selain-Nya; dari benda-benda ataupun orang-orang
yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut
di atas dan lainnya.
Maka, jalan fitrah untuk menetapkan tauhid Uluhiyyah adalah berdasarkan tauhid
Rububiyyah. Karena manusia pertama kalinya sangat bergantung kepada asal kejadiannya,
sumber kemanfaatan dan kemudharatannya. Setelah itu berpindah kepada cara-cara
bertaqarrub kepada-Nya, cara-cara yang bisa membuat Allah ridha serta menguatkan
hubungan antara dirinya dengan Rabb-nya. Maka, tauhid Rububiyyah adalah pintu gerbang
dari tauhid Uluhiyyah. Karena itu Allah berhujjah atas orang-orang musyrik dengan cara ini.
Allah Ta’ala berfirman:
ُ ِ‫ ال‬sَ‫ َو ۖ خ‬sُ‫ هَ إِاَّل ه‬sَ‫(“ ٰ َذلِ ُك ُم هَّللا ُ َربُّ ُك ْم ۖ اَل إِ ٰل‬Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu
ُ‫دُوه‬sُ‫ ْي ٍء فَا ْعب‬s‫لِّ َش‬ss‫ق ُك‬
adalah Allah, Rabb-mu; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia;
Pencipta segala sesuatu, maka beribadahlah kepada-Nya …” [Al-An’aam: 102] .
Dia berdalil dengan tauhid Rububiyyah-Nya atas hak-Nya untuk disembah. Tauhid
Uluhiyyah inilah yang menjadi tujuan dari penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman:
َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬
‫س إِاَّل لِيَ ْعبُدُو ِن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” [Adz-Dzaariyaat: 56].
Arti ‫ ُدوْ ِن‬ssُ‫“ لِيَ ْعب‬Agar mereka menyembah-Ku,” adalah: “Mentauhidkan-Ku dalam ibadah.”
Seorang hamba tidaklah menjadi Muwahhid hanya dengan mengakui tauhid Rububiyyah
semata, tetapi ia harus mengakui tauhid Uluhiyyah serta mengamalkannya. Kalau tidak, maka
sesungguhnya orang musyrik pun mengakui tahuid Rububiyyah, tetapi hal ini tidak membuat
mereka masuk dalam Islam, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi
mereka. Padahal mereka mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang
menghidupkan dan mematikan.
Di antara kekhususan Ilahiyah adalah kesempurnaan-Nya yang mutlak dalam segala
segi, tidak ada cela atau kekurangan sedikit pun. Ini mengharuskan semua ibadah mesti
tertuju kepada-Nya; pengagungan, penghormatan, rasa takut, do’a, pengharapan, taubat,
tawakkal, minta pertolongan dan penghambaan dengan rasa cinta yang paling dalam, semua
itu wajib secara akal, syara’ dan fitrah agar ditujukan khusus hanya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala semata, tidak kepada selain-Nya.
2.2.3 Tauhid Asma’Wa Sifat
Sesungguhnya, termasuk yang penting bagi seorang pencari kebenaran, sebelum
mempelajari sisi-sisi tauhid yang rinci dan mendetail dari Asma’ dan Sifat, hendaklah ia
mengerti pentingnya tauhid ini, kedudukan, peranannya secara khusus dan dalam seluruh sisi
agama ini secara umum.
Pembentukan pemahaman tentang penting dan agungnya kedudukan tauhid Asma’ wa
Sifat dalam benak seorang muslim, dengan izin Allah, manfaatnya akan kembali kepada diri
seorang muslim dalam mengimani Allah Azza wa Jalla. Sehingga dapat menekuni sisi ini
sesuai dengan proporsi kepentingan yang semestinya. Demikian pula dapat menambah
kesenangannya untuk mempelajari, menekuni dan membahas masalah Asma’ wa Sifat
dengan segala cabangcabangnya, dimana seorang pencari kebenaran yang bersemangat
meningkatkan ilmunya yang bermanfaat, tidak dapat mengabaikan persoalan tauhid Asma’
wa Sifat.
Hanya saja sangat disesalkan, sebagian orang mempunyai pandangan meremehkan
ketika melihat urgensi dan kedudukan tauhid ini. Mereka menyangka bahwa membahas
masalah ini, tidak lebih dari (sekedar) menyebutkan perbedaan pendapat yang saling
bertentangan tentang mana di antara nama dan sifat-sifat Allah yang di akui adanya atau tidak
diakui. (Menurut mereka), perkaranya tidak melebihi hal itu dan tidak akan keluar darinya.
Perkataan dan pendapat demikian tidak akan lahir, kecuali dari salah satu di antara
dua jenis manusia. Mungkin dari orang bodoh (jahil) yang tidak mengetahui bahwa dalam
pembahasan ini terdapat masalah-masalah bermanfaat dan memiliki tingkat kepentingan yang
untuk memahami permasalahannya tidak bisa diabaikan oleh seorang muslim atau mungkin,
dari orang yang menyimpang aqidahnya. Ia menyangka bahwa perkara ini tidak bertentangan
dengan yang diyakini ahli bathil, yang (mereka itu), dalam permasalahan ini atau masalah
lain tidak bernaung di bawah terangnya cahaya Al Qur’an dan Sunnah. Sebagai akibatnya,
ketika mereka berbicara masalah (Asma’ wa Sifat) ini, (pembicaraan mereka) tidak keluar
dari kerangka caci makian terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah, serta membuat keragu-
raguan tentang Asma’ dan Sifat tersebut atau tentang sebagian besar darinya. Oleh karena itu
mereka enggan untuk memahaminya. Apalagi menerangkan pembahasan yang terdapat
disana, berupa peran dan kedudukannya dalam aqidah seorang muslim dan keimanannya
terhadap Allah.
Dalam rangka membimbing pencari kebenaran dan mengajari orang-orang bodoh
yang lalai, serta mengajak orang-orang yang menyimpang, juga sebagai pengingat kembali
bagi orang alim, maka kami tulis bahasan ini, yang mengisyaratkan sebagian dari yang
terdapat dalam tauhid ini, yaitu berupa faidah dan keistimewaan-keistimewaannya. Semoga
Allah memberi manfaat dengan tulisan ini kepada orang yang sudi mentelaah serta
mengkajinya.
Maka dengan taufiq Allah, dan hanya kepada-Nya saya memohon pertolongan serta
kebenaran, saya ketengahkan secara ringkas apa yang ingin saya sampaikan pada poin-poin
berikut:
Tauhid Asma’ wa Sifat adalah sepseparuh bab iman kepada Allah bagi seorang
muslim, sungguh sangat jelas pentingnya iman kepada Allah. Karena, rukun tersebut
merupakan rukun iman pertama, bahkan terbesar. Rukun-rukun selainnya mengikut
kepadanya dan cabang dari padanya. Itulah tujuan diciptakan makhluk, diturunkan kitab-
kitab, diutus dan rasul-rasul, serta agama ini dibangun di atasnya. Jadi, iman kepada Allah
merupakan asas segala kebajikan dan sumber hidayah serta sebab segala kebahagiaan yang
demikian itu, karena manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan dipelihara, segala ilmu
dan amalnya kembali (tergantung) kepada pencipta dan pemeliharanya. DariNya-lah
petunjuk, untukNya beramal, dan kepadaNya akan dikembalikan. Manusia tidak bisa bebas
dariNya. Berpaling dariNya, berarti kebinasaan dan kehancuran itu sendiri.
Seorang hamba tidak akan mendapat kebaikan dan tidak pula kebahagiaan, kecuali
dengan mengenal Rabb-nya dan beribadah kepadaNya. Bila ia melakukan yang demikian itu,
maka itulah puncak yang dikehendakiNya, yaitu untukNya ia diciptakan. Adapun selain itu,
mungkin suatu yang utama dan bermanfaat, atau keutamaan yang tidak ada manfaatnya, atau
suatu tambahan yang membahayakan. Oleh karena itulah, dakwah para rasul kepada
ummatnya adalah (menyeru) untuk beriman kepada Allah dan beribadah kepadaNya. Setiap
rasul memulai dakwahnya dari hal itu, sebagaimana (dapat) diketahui dari sejarah dakwah
para rasul yang diterangkan dalam Al Qur’an.
Untuk memiliki kebahagiaan dan keselamatan serta keberuntungan, yaitu dengan
merealisasikan tauhid yang dibangun di atas keimanan kepada Allah. Dan untuk mewujudkan
keduanya, (maka) Allah mengutus utusanNya. Itulah yang didakwahkan para rasul, dari yang
pertama (Nuh) hingga yang terakhir (Muhammad).
Pertama : Yaitu tauhid ‘ilmi khabari al i’tiqadi. Meliputi penetapan sifat-sifat
kesempurnaan Allah dan menyucikanNya dari segala penyerupaan dan penyamaan, serta
mensucikan dari sifat-sifat tercela.
Kedua : Yaitu beribadah kepadaNya saja, tidak menyekutukanNya dan memurnikan
kecintaan kepadaNya, serta mengikhlaskan kepadaNya perasaan khauf, raja’, tawakal
kepadaNya dan ridha terhadapNya sebagai Rabb, ilah dan wali. Tidak menjadikan untukNya
tandingan dalam perkara apapun.
Allah telah mengumpulkan kedua jenis tauhid ini dalam surat Al Ikhlas dan Al Kafirun. Surat
Al Kafirun mencakup ilmi khabari iradi dan surat Al Ikhlash juga mencakup tauhid ilmi
khabari.
Di dalam surat Al Ikhlash terdapat keterangan yang wajib dimiliki Allah, yaitu berupa
sifat-sifat sempurna. Juga menegaskan apa-apa yang wajib disucikan dariNya, yaitu berupa
sifat-sifat tercela dan penyerupaan. Adapun surat Al Kafirun, menerangkan wajibnya
beribadah hanya kepadaNya, tidak menyekutukanNya dan berlepas diri dari segala
peribadatan kepada selainNya.
Salah satu dari dua tauhid diatas tidak akan terjadi, kecuali bila disertai tauhid yang satunya
lagi. Oleh karena itu, Nabi sering membaca dua surat ini dalam shalat sunnah Fajar, Maghrib
dan Witir. Karena kedua kedua surat itu merupakan pembuka amal dan penutup amal.
Sehingga permulaan siang harinya (dimulai) dengan tauhid dan ditutup dengan tauhid.
Jadi, separuh (sebagian) tauhid yang dituntut dari seorang hamba, dan separuhnya adalah
tauhid Asma’ wa Sifat.
Tauhid Asma’ dan Sifat, secara mutlak adalah ilmu yang mulia dan penting.
Sesungguhnya mulianya suatu ilmu, tergantung pada isi ilmu itu sendiri, karena tingkat
kepercayan seseorang pada dalil-dalil serta bukti-bukti tentang adanya. Disamping isi ilmu itu
amat perlu difahami dan sangat besar manfaatnya bila difahami. Tidak diragukan, bahwa
sesuatu yang paling agung, paling mulia dan paling besar untuk diketahui adalah tentang
Allah. Dzat yang tidak ada sesuatupun berhak diibadahi kecuali Dia, Rabb alam semesta,
Pemelihara langit, Maha Raja Yang Haq, yang disifati dengan semua sifat sempurna. Dzat
yang Maha Suci dari segala kekurangan dan cela, Maha Suci dari keserupaan serta kesamaan
dalam kesempurnaanNya. Maka tidak diragukan bahwa mengilmui nama-nama dan sifat-sifat
serta perbuatan-perbuatanNya merupakan pengetahuan paling agung dan paling utama.
Bila dikatakan bahwa ilmu adalah sarana bagi amal, ia dimaksudkan untuk diamalkan, dan
amal adalah tujuan ilmu. Padahal telah diketahui, tujuan lebih utama dari sarana. Dengan
demikian, bagaimana sarana lebih diutamakan daripada tujuannya?
Perlu dijawab, masingmasing ilmu maupun amal dibagi menjadi dua. Diantaranya ada yang
menjadi sarana (wasilah), dan diantaranya ada yang menjadi tujuan (ghayah). Jadi, tidak
seluruh ilmu adalah sarana untuk mendapatkan yang lainnya. Karena sesungguhnya ilmu
tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifatNya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak.
Jadi ilmu ini adalah ilmu yang dituntut dan kehendaki itu sendiri.
Allah berfirman:
ِّ‫ض ِم ْثلَه َُّن يَتَنَ َّز ُل ْاألَ ْم ُر بَ ْينَه َُّن لِتَ ْعلَ ُموا أَ َّن هللاَ َعلَى ُكلِّ َش ْى ٍء قَ ِدي ٌر َوأَ َّن هللاَ قَ ْد أَ َحاطَ بِ ُكل‬
ِ ْ‫ت َو ِمنَ ْاألَر‬ َ َ‫هللاُ الَّ ِذي َخل‬
ٍ ‫ق َس ْب َع َس َما َوا‬
ْ
‫َش ْى ٍء ِعل ًما‬
Allah yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan bumi semisalnya. PerintahNya berlaku
padanya. Agar kamu mengetahui, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan
sesungguhnya Allah, ilmuNya benar-benar meliputi segala sesuatu. [Ath Thalaq : 12].
Allah telah mengabarkan, bahwa Dia menciptakan langit dan bumi, dan memberlakukan
perintahNya kepadanya, supaya hamba-hambaNya mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu. Jadi, ilmu ini sebagai puncak (tujuan) penciptaan yang dituntut (untuk
diketahui). Allah berfirman:
ُ‫هَ إِالَّهللا‬s َ‫ا ْعلَ ْم أَنَّهُ آلإِل‬ssَ‫ ف‬Ketahuilah, bahwasanya tidak ada yang diibadahi dengan benar, kecuali
Allah. [Muhammad : 19].
Jadi, mengilmui ke-Maha-Esaan Allah menjadi keharusan, dan tidak cukup dengan itu saja,
tetapi harus disertai dengan beribadah kepadaNya semata, tidak menyekutukanNya dengan
sesuatu apapun. Keduanya adalah dua perkara yang dituntut.
Pertama, untuk mengenal Allah dengan namanama, sifat-sifat, perbuatanperbuatan dan
hukumhukumnya. Kedua, untuk beribadah sebagai konsekwensi dan kewajibannya. Jadi,
mengilmui ke-Maha Esaan Allah menjadi keharuasan, dan tidak cukup dengan itu saja, tetapi
harus disertai dengan beribadah kepadaNya semata, tidak menyekutukanNya dengan sesuatu
apapun. Keduanya adalah dua perkara yang dituntut. Pertama, untuk mengenal Allah dengan
nama-nama, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan hukum-hukumnya. Kedua, untuk beribadah
sebagai konsekwensi dan kewajibannya. Jadi seperti halnya beribadah kepadaNya itu dituntut
dan dikehendaki, demikian pula mengilmui tentangNya, karena sesungguhnya ilmu termasuk
seutama-utama ibadah.
Tauhid Asma’ dan Sifat adalah dasar ilmu agamaTauhid asma’, sifat dan af’al, adalah
ilmu yang paling agung, paling mulia dan paling mulia dan paling besar, yang merupakan
ashlu (prinsip) agama. Semua ilmu mengikut pada ilmu ini dan sangat membutuhkannya.
Sehingga mengilmui tentangnya termasuk prinsip keilmuan dan permulaannya. Karena,
barangsiapa mengenal Allah, maka akan mengenal yang lainnya. Dan barangsiapa yang tidak
mengenal Rabb-nya, maka terhadap yang lainnya (pun) dia tidak lebih mengetahui.
Allah berfirman:

ِ َ‫َوالَتَ ُكونُوا َكالَّ ِذينَ نَسُوا هللاَ فَأَن َساهُ ْم أَنفُ َسهُ ْم أُوْ لَئِكَ هُ ُم ْالف‬
َ‫اسقُون‬
Dan janganlah engkau menjadi seperti orang-orang yang melalaikan Allah, lalu mereka
melalaikan diri mereka sendiri. [Al Hasyr : 19].
Amatilah ayat ini, engkau akan mendapatkan makna yang mulia dan agung. Yaitu,
barangsiapa yang melalaikan diri dan pribadinya, sehingga ia tidak mengetahui hakikat
dirinya dan tidak pula (mengetahui) kemaslahatan dirinya. Bahkan melalaikan kemaslahatan
dan kebahagiaan dirinya di dunia dan di akhirat. Karena ia (telah) keluar dari fitrah, yang
untuk itu ia diciptakan. Sehingga, karena ia melalaikan Rabb-nya, maka dilalaikanlah dia dari
dirinya, sifatnya, (dilalaikan dari) apa saja yang dapat menyempurnakan diri dan
membersihkan dirinya, serta apa saja yang dapat membahagiakan dirinya dalam kehidupan
dunia dan akhiratnya.
Allah berfirman:
‫َوالَتُ ِط ْع َم ْن أَ ْغفَ ْلنَا قَ ْلبَهُ ع َْن ِذ ْك ِرنَا َواتَّبَ َع هَ َواهُ َو َكانَ أَ ْم ُرهُ فُ ُرطًا‬
Dan janganlah engkau mentaati orang-orang yang Kami lalaikan hatinya dari mengingat
Kami dan mengikuti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya melewati batas. [Al Kahfi:28].
Jadi, lalai dari mengingat Rabb-nya akan mengakibatkan persoalan diri dan hatinya melampui
batas. Sehingga ia terpalingkan dari menadapatkan kemaslahatan, kesempurnaan, dan apa
yang dapat membersihkan jiwa dan hatinya. Bahkan yang demikian itu (dapat) mencabik-
cabik hati dan menghancurkannya, membingungkannya dan tidak mengetahui jalan.
Begitulah, ilmu tentang Allah adalah pangkal semua ilmu. Dan ilmu ini merupakan pangkal
ilmu pengetahuan seorang hamba tentang kebahagiaannya, kesempurnaanya, kemaslahatan
dunia dan akhiratnya. Sedangkan tidak berilmu tentang Allah, akan mengakibatkan
kebodohan terhadap dirinya, kemaslahatannya, kesempurnaannya, dan apa saja yang dapat
membersihkan serta membahagiakan dirinya. Maka memahami Allah, berarti kebahagiaan
bagi seorang hamba. Dan bodoh terhadapNya berarti pangkal kebinasaan baginya.

2.3 Aqidah
2.3.1 Definisi Aqidah
Aqidah (ُ‫ )اَ ْل َعقِ ْي َدة‬menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (ُ‫)ال َع ْقد‬
ْ yang
berarti ikatan, at-tautsiiqu (ُ‫ )التَّوْ ثِ ْيق‬yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ih‫م‬
ْ yang artinya mengokohkan (definisi), dan ar-rabthu biquw-wah ( ‫ )ال َّر ْبطُ بِقُ َّو ٍة‬yang
amu (‫)ا ِإلح‬
berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman
yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya,
beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab- kitab-Nya, hari Akhir,
takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-
prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi
ijma ‘(konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara
ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah
yang shahih serta ijma ‘Salafush Shalih.
2.3.2 Objek kajian ilmu Aqidah
Aqidah jika dilihat dari sudut pandang ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal
Jama’ah- termasuk topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib),
kenabian , takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-
dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula
sanggahan terhadap ahlul ahwa ‘wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua
aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka. Disiplin
ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut
berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.
2.3.3 Penamaan ‘Aqidah Menurut Ahlus Sunnah
a. Al-Iman
Aqidah disebut juga dengan al-Iman mengarahkan yang arus dalam Al-Qur-an dan
hadits-hadits Nabi Shallallahu’ alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang
enam dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam
sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama
Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.
b. ‘Aqidah (I’tiqaad dan’ Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah’ Aqidah Salaf:
‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.
c. Dinamakan Tauhid
Aqidah dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau
pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid
merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utama. Oleh karena
ilmu ini disebut ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.
d. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya
mengikuti jalan yang dicapai oleh Rasulullah Shallallahu’ alaihi wa sallam dan para Sahabat
Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur
(populer) pada tiga generasi pertama.
e. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i
serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.
f. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu
kumpulan hukum-hukum ijtihadi.
g. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin
(masalah-masalah ‘aqidah).
Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya
kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan’ aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai
oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli
hadits dari kalangan mereka.
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah diuraikan secara jelas dari makalah ini, kami dapat
menuliskan sebuah kesimpulan bahwa Konsep ketuhanan dalam Islam merujuk kepada
tauhid,yang mana tauhid adalah konsep dalam akidah Islam yang menyatakan keesaan Allah
dan hanya Allah Rabb yang harus disembah oleh semua makhluk, tidak ilah yang berhak
diibadahi melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah yang menciptakan kita, yang
memberi rizki, menghidupkan dan mematikan.
Selain kesimpulan di atas, kami juga memberikan saran kepada pembaca untuk terus
menuntut ilmu Agama, mempraktikkan, dan mendakwahkan ilmu yang didapat di kehidupan
sehari-hari agar kita dapat bermanfaat bagi orang lain dan juga semoga kita tidak menjadi
orang pandai ilmu duniawi tapi jahil dalam ilmu agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. "Tafsir Ibnu Katsir". Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. "Madaarijus Saalikiin". Jakarta: Pustaka al-kautsar.
Almanhaj. "Tauhid Rububiyyah". https://almanhaj.or.id/3265-tauhid-rububiyyah.html
(diakses tanggal 29 Januari 2021)
Almanhaj. "Tauhid Uluhiyyah". https://almanhaj.or.id/3264-tauhid-uluhiyyah.html
(diakses tanggal 29 Januari 2021)
Almanhaj. "Tauhid Asma 'Dan Sifat". https://almanhaj.or.id/3027-pentingnya-tauhid-
asma-dan-sifat.html (diakses tanggal 29 Januari 2021)
Almanhaj. "Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah".
https://almanhaj.or.id/3429-pengertian-aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html(diakses tanggal
1 February 2021)
Hanifah, Abu. " Fiqhul Akbar". Bandung: Pustaka 1988.
Muhammad. "Syarah Ushuulil Iimaan". Jakarta: Pustaka Mutiara.
Muhammad. 2004. "PENTINGNYA TAUHID ASMA 'DAN SIFAT". Surakarta:
Yayasan Lajnah Istiqomah.
Shalih. " 'Aqiidatut Tauhiid". Jakarta: Ummur Qura.
Yazid, 2006. "Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah" Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi'i.
Yazid. 2006. "Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah" Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi'i.

Anda mungkin juga menyukai