Anda di halaman 1dari 15

DEMAM TIFOID

DISUSUN OLEH:

Chaty A.W

(2012-11-006)

Finisha Putri

(2012-11-012)

Margareta E Solin

(2012-11-020)

Maria Rosalin Sea

(2012-11-024)

Melianti

(2012-11-027)

Stanislaus Galih P

(2012-11-037)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SINT CAROLUS


JAKARTA
2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkatNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini menyajikan tentang
laporan pendahuluan serta asuhan keperawatan dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
III yang berjudul Demam Tifoid.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
penyusunan makalah ini, yaitu:
1. Ibu Asnet Leo Bunga, SKp., M.Kes selaku Ketua STIK Sint Carolus
2. Ibu Ns. Justina Purwarini, MKep.,Sp.Mat selaku Ketua Program Studi S-1 Keperawatan
3. Ibu Fransiska Dewi Prabawati, M.A.N. selaku koordinator mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah III
4. Teman-teman S-1 Keperawatan jalur A semester IV
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, sehingga kami
membutuhkan kritik dan masukan dari para pembaca agar kami dapat membuat makalah yang
lebih baik lagi.

Jakarta, 16 Mei 2014

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada iklim,
tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini
disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu yang
kurang baik.
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat
seporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus
pada orang-orang serumah. Demam tifoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden
tertinggi didapatkan pada anak-anak dan tidak ada perbedaan yang nyata anatra insidensi
demam tifoid pada wanita dan pria.
Dari semua serotipe Sallmonella, hanya S. typhi dan S. paratyphi yang patogen secara
khusus pada manusia yang menyebabkan penyakit demam tifoid. Penyakit ini termasuk
penyakit multisistemik berat yang karakteristiknya berupa demam yang berkepanjangan,
bakteremia menetap tanpa keikutsertaan endotelial ataupun endokardial, dan invasi serta
perkembangbiakan bakterinya terjadi di sel fagosit mononuklear pada hati, lien, nodus limfe
dan pacth peyer. Demam tifoid dapat fatal bila tidak mendapatkan perawatan.
Peran perawat yang lebih optimal sangat diharapkan dalam menangani pasien dengan
masalah tifoid. Diantaranya peran perawat dari aspek prefentif, kuratif dan promotif.

2. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui secara mendalam tentang etiologi penyakit demam tifoid
b. Mengetahui proses perjalanan penyakit dan penatalaksanaan untuk pasien dengan demam
tifoid
c. Menyusun asuhan keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien dengan demam tifoid

3. Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode
kepustakaan.

4. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Tujuan Penulisan
3. Metode Penulisan
4. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN TEORITIS
1. Definisi
2. Etiologi
3. Manifestasi Klinis
4. Pemeriksaan Diagnostik
5. Penatalaksanaan Medis
6. Komplikasi
7. Pengkajian Keperawatan
8. Diagnosa Keperawatan
9. Rencana Keperawatan
10. Discharge Planning
PATOFLOWDIAGRAM (terlampir)

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

1. Definisi
Demam tifoid atau sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut
pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan
oleh Salmonella typhi (Muttaqin & Sari, 2011).
2. Etiologi
Etiologi utama adalah kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
parathypi) yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang penularannya dikenal dengan 5F
yaitu Food (makanan), Fingers (jari-jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat) dan
Feses (kotoran manusia).
Kotoran manusia atau muntahan yang dibuang sembarangan dan mengandung kuman
Salmonella typhi akan dihinggapi oleh lalat sebagai perantara. Kemudian lalat akan hinggap
di makanan yang tidak dijaga kebersihannya dan akan termakan oleh manusia yang tidak
menjaga kebersihan kuku atau tidak mencuci tangan sebelum makan.

3. Manifestasi klinis
Masa bakteremia I pada demam tifoid dengan masa inkubasi antara 10-14 hari gejalagejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat dari asimptomatik
hingga gambaran penyakit yang khas di sertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu
pertama gejala klinis penyakit ini di temukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut pada umumnya yaitu: demam intermiten (suhu yang tinggi, naik turun, dan
turunnya dapat mencapai normal) khususnya suhu akan naik pada malam hari dan akan
menurun menjelang pagi hari.
Di samping peningkatan suhu tubuh, juga akan terjadi nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Setelah
kuman melewati fase awal intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda
5

peningkatan suhu tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada RES seperti nyeri
perut kanan atas, splenomegali, dan hepatomegali.
Minggu selanjutnya pada fase bakteremia II dimana infeksi fokal intestinal terjadi dengan
gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam yang tetap tinggi dan kontinu, brakikardia
relatif (peningkatan suhu 1OC tidak di ikuti peningkatan denyut nadi 8x/mnt), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), penurunan peristaltik,
gangguan digesti dan absorpsi sehingga akan terjadi distensi, diare dan pasien merasa tidak
nyaman. Pada masa ini dapat terjadi perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda
distensi abdomen berat, peristaltik menurun bahkan hilang, melena, syok, dan penurunan
kesadaran.

4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan rutin
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering di temukan leukopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa
disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat di temukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan
SGPT sering kali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

b. Uji Widal
Dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi tujuannya untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Antigen
yang digunakan pada uji Widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium.
a)

Aglutinin O (dari tubuh kuman)

b)

Aglutinin H (Flagela kuman) dan

c)

Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

c. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai
berikut :
a)

Telah mendapatkan terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendpatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif.

b) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif.
c) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif.
d) Jiks pengambilan darah dilakukan setelah minggu pertama, maka aglutinin saat itu
semakin meningkat.

5. Penatalaksanaan medis
a. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah
baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, BAK dan
BAB akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu
sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang di pakai. Posisi
pasien perlu di awasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
b. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita
akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Diet makanan harus
mengandung tinggi kalori, dan tinggi protein (TKTP). Bahan makanan tidak boleh
7

mengandung banyak serat, tidak merangsang, dan tidak menimbulkan banyak gas.
Pemberian bubur saring ditujukan untuk menghidari komplikasi pendarahan saluran
cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Setelah pemberian bubur saring akan diganti dengan pemberian bubur
biasa, kemudian bertahap diganti menjadi nasi tim sampai akhirnya pasien dapat
memakan nasi biasa. Buah yang dianjurkan adalah pisang.
c. Pemberian antimikroba
a)

Kloramfemikol

b)

Tiamfenikol

c)

Ampisilin dan Amoksisilin

d)

Sefalosporin Generasi Ketiga

e)

Golongan Fluorokuinolon

f)

Kombinasi obat antimikroba

g)

Kortikosteroid

6. Komplikasi
Komplikasi tifoid dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Komplikasi intestinal

Perdarahan intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukak atau luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembulu darah maka terjadi pendarahan.
Selanjutnya, bila tukak menembus dinding usus maka perporasi dapat terjadi. Selain
karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah.

Perforasi usus
Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat juga terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama pada daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya
8

adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat shock. Leukositosis dengan
pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.
b) Komplikasi ekstraintestinal

Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, hipofribino-genemia, peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin
degradation product sampai koagulasi intravascular diseminata (KID) dapat
ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia sering dijumpai,
hal ini terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sum-sum tulang selama
proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial.
Obat-obatan juga memegang peranan. Penyebab KID pada demam tifoid belumlah
jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa
sistem biologi, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan
histamin menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya

mengakibatkan

perangsangan

mekanisme

koagulasi;

baik

KID

kompensata maupun dekompensata.

Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam
tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. tyhpi daripada S. parathypi. Pada demam
tifoid kenaikan enzim tranaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin
(untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi
pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang.

Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri
dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat
farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta USG atau CT-Scan dapat
membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.

Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid. Pasien dengan miokarditis
biasanya yanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal
jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik.
9

7. Pengkajian keperawatan
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Hygiene lingkungan dan individu yang buruk.

Pernah menderita tifoid

Sumber air minum yang tidak sehat

Kebiasaan menggunting kuku

Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah BAB

b. Pola nutrisi metabolik

Demam

Anoreksia, mual, muntah

Lidah kotor

Pengolahan makan yang kurang baik

c. Pola eliminasi

Diare

Retensi urine

Hipoperistaltik

Melena

d. Pola aktivitas dan latihan

Nyeri otot, lemah dan lesu.

Pusing, sakit kepala

Nyeri perut

Bradikardi.

e. Pola tidur dan istirahat

Kurang tidur karena malam demam

f. Pola persepsi dan kognitif

Delirium/struppor

Nyeri otot, nyeri tekan abdomen

Perasaan tidak enak pada abdomen

10

8. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi Salmonella thypi.
b. Risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
pemasukan yang kurang akibat mual, muntah, dan anoreksia.
c. Risiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif
akibat hipertermia dan muntah.
d. Perubahan pola eliminasi: diare berhubungan dengan proses peradangan pada dinding
usus.
e. Nyeri berhubungan dengan iritasi saluran gastrointestinal
f. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penekanan setempat, tirah baring
lama, kelemahan fisik umum
g. Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit, misinterpretasi informasi
h. Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidakadekuatan informasi penatalaksanaan
pengobatan dan perawatan

9. Rencana Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi Salmonella thypi.
Tujuan: terjadi penurunan suhu tubuh
Kriteria hasil: suhu tubuh stabil 37OC, denyut nadi radialis 60-100 x/mnt, tidak ada tandatanda dehidrasi, dan pasien akan berkeringat saat panas.
Intervensi:
1) Evaluasi TTV pada setiap pergantian jadwal kerja atau setiap ada keluhan dari pasien.
Rasional: sebagai pengawasan terhadap adanya perubahan keadaan umum pasien
sehingga dapat dilakaukan penanganan dan perawatan secara cepat dan
tepat
2) Lakukan tirah baring total
Rasional: penurunan aktivitas akan menurunkan laju metabolisme yang tinggi pada
fase akut, dengan demikian membantu menurunkan suhu tubuh
3) Beri kompres dengan air hangat (air biasa) pada daerah aksila, lipat paha, dan
temporal bila terjadi panas
11

Rasional: kompres air hangat (air biasa) merupakan teknik penurunan suhu tubuh
dengan memvasodilatasi pembuluh darah
4) Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti
katun
Rasional: pakaian yang mudah menyerap keringat sangat efektif meningkatkan efek
dari evaporasi
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik
Rasional: antipiretik bertujuan untuk memblok respon panas sehingga suhu tubuh
pasien dapat lebih cepat menurun
6) Ajarkan pasien dan keluarga pasien cara mengukur suhu tubuh yang benar dan tepat
Rasional: memantau jika ada perubahan suhu secara mandiri

b. Risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi inadekuat akibat mual, muntah, dan anoreksia
Tujuan: pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekut
Kriteria hasil: menunjukan peningkatan berat badan, mempertahankan massa tubuh dan
berat badan dalam batas normal, memiliki nilai laboratorium (mis.
Transferin, albumin dan elektrolit) dalam batas normal.
Intervensi:
1) Kaji status nutrisi pasien sesuai BB, TB, pola makan yang lalu, makanan yang
disukai, tidak disukai serta kaji faktor-faktor penyebab pemasukan yang kurang
antara lain bunyi usus, adanya kembung, mual, muntah, kurang nafsu makan.
Rasional: membantu atau menyediakan asupan makanan dan cairan diet seimbang
2) Beri makanan yang tidak merangsang saluran cerna dalam porsi kecil, hangat,
frekuensi 5-6 x/hari serta ditata menarik.
Rasional: Dengan porsi kecil diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi tanpa
memperberat beban kerja saluran gastrointestinal yang terluka serta
meningkatkan selera makan.
3) Anjurkan napas panjang saat mual.
Rasional: Menarik napas dalam dapat merelaksasikan otot-otot diafragma sehingga
dapat mengurangi mual.
12

4) Kolaborasi dengan dokter untuk terapi antiemetik.


Rasional: mengurangi mual dan muntah

c. Risiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif
akibat hipertermia dan muntah.
Tujuan: kebutuhan cairan klien terpenuhi
Kriteria hasil: Pasien tidak mengalami kekurangan cairan yang ditandai dengan tanda
vital stabil dalam batas normal, turgor kulit elastis, mukosa mulut tidak
kering, hematokrit dalam batas normal, masukan dan keluaran cairan
seimbang.
Intervensi:
1) Observasi tanda dan gejala kekurangan cairan: turgor kulit dan membran mukosa
kering, rasa haus, nadi lemah dan cepat serta BB yang menurun kg/hari.
Rasional: deteksi dini tanda-tanda dehidrasi dan mencegah syok hipovolemik
2) Anjurkan pasien untuk minum sebanyak 2-3 liter/24 jam, letakkan minuman dekat
pasien dan bila perlu bantu pasien untuk minum sedikit tetapi sering
Rasional: untuk mengganti cairan yang hilang
3) Jelaskan tujuan meningkatkan jumlah cairan yang masuk kepada pasien
Rasional: Memenuhi kebutuhan pasien sehingga tidak terjadi kekurangan cairan.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian cairan tambahan melalui parenteral sesuai
indikasi
Rasional: membantu memenuhi kebutuhan volume cairan pasien
5) Pantau intake dan output cairan pasien selama 24 jam
Rasional: mengumpulkan data pasien untuk mengatur keseimbangan cairan

10. Discharge Planning


a. Anjurkan pasien untuk meminum air yang higienis dan sudah matang atau air
kemasan jika berpergian ke tempat yang lingkungannya kurang bersih
b. Anjurkan pasien untuk menutup makanan dengan tudung saji agar tidak dihinggapi
lalat
13

c. Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan vaksinasi Chotipa (cholera-tifoidparatifoid) setiap 1 tahun sekali
d. Anjurkan pasien untuk tidak membeli makanan di pinggir jalan
e. Anjurkan pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan di rumah sendiri terutama
tempat pembuangan sampah
f. Anjurkan pasien dan keluarga untuk selalu mencuci tangan jika hendak
mempersiapkan atau memakan makanan dan setelah BAK atau BAB
g. Anjurkan pasien dan keluarga untuk mencuci peralatan makanan dengan air yang
bersih
h. Beritahu pasien bahwa dirinya adalah seorang karier yang dapat menularkan kuman
S. typhi ke orang lain sehingga pasien dapat memperhatikan kebersihan dirinya
sendiri terutama saat BAB
i. Anjurkan pasien untuk tetap tirah baring selama 2 minggu setelah pulang dari Rumah
Sakit
j. Anjurkan pasien untuk tidak memakan makanan yang dapat merangsang lambung
atau menimbulkan gas serta memperhatikan intake cairan 2-3 liter per hari

14

Bibliography
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA International. (2011). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth (8th
ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K., M. S., & Setiati, S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (4th
ed.). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi
NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.
Wilson, D. D. (2008). McGraw-Hill's Manual of Laboratory& Diagnostic Tests. United Stated of America:
The McGraw-Hill Companoes, Inc.

15

Anda mungkin juga menyukai