Anda di halaman 1dari 32

STRATEGI PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT

PESISIR DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR


DAN LAUT SECARA TERPADU

OLEH :
ANISA ULMURSIDA
26020112120005

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
paper ini dengan baik. Dalam menyelesaikan penulisan paper ini, penulis banyak
mendapat bantuan dan perhatian dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan
ini, penulis dengan ikhlas menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Agus Indarjo HS, MPhil sebagai dosen pengampu mata
kuliah Manajemen Sumber Daya Pesisir dan Laut yang telah
mendorong, menuntun dan memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan penulisan paper ini.
2. Rekan-rekan seangkatan yang tak dapat penulis menyebutkan satu
persatu yang dengan caranya sendiri telah memberikan bantuan dan
dorongan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan paper ini.
3. Adi Triawan, sebagai teman dekat penulis yang tak henti-hentinya
memberikan

semangat

dan

motivasi

kepada

penulis

dalam

menyelesaikan penulisan paper ini.


Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi isi maupun teknis penulisan, oleh karena itu dengan
rendah hati penulis bersedia menerima sumbangan pemikiran dalam rangka
penyempurnaan. Atas kerelaan semua pihak dalam memberikan saran-saran
perbaikan penulis menyampaikan banyak terima kasih. Semoga paper ini dapat
menambah wawasan penulisdan wacana umun mahasiswa dalam memahami
karakteristik sumber daya pesisir dan laut. Amin.

Semarang, 20 November 2014


Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................1
DAFTAR ISI ............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
BAB III PEMBAHASAN .....................................................................................19
BAB IV KESIMPULAN .......................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................31

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam,
wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh,
wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut
pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di
wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif
serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan
dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosialekonomi, nilai wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan
terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik
pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah
pesisir.
Sudah menjadi suatu mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat
bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya
maupun non hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu dibuktikan dengan
penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif. Terlepas dari mitos tersebut,
kenyataannya Indonesia adalah negara maritim dengan 70% wilayahnya adalah
laut, namun sangatlah ironis sejak 32 tahun yang lalu kebijakan pembangunan
perikanan tidak pernah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
Implikasi dari tidak adanya prioritas kebijakan pembangunan perikanan
tersebut, mengakibatkan sangat minimnya prasarana perikanan di wilayah pesisir,
terjadinya abrasi wilayah pesisir dan pantai, pengrusakan ekosistim laut dan
terumbuh karang, serta belum teroptimalkannya pemanfaatan sumber daya
perikanan dan kelautan.
Pengelolaan Sumberdaya alam pesisir pada hakekatnya adalah suatu
proses pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir
agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan
mengindahkan

kaidah

kelestarian

lingkungan.

Sedangkan

pemberdayaan

masyarakat sebenarnya mengacu pada kata empowerment yaitu sebagai upaya


untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian tentunya diharapkan
memberikan peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku
(aktor) yang menentukan hidup mereka.
Masyarakat nelayan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang
dianggap miskin bahkan paling miskin di antara penduduk miskin. Namun
demikian, data yang pasti tentang jumlah nelayan miskin di Indonesia sampai saat
ini tidak pernah tersedia. Masyarakat nelayan merupakan bagian dari masyarakat
yang tinggal di wilayah pesisir. Wilayah pesisir diketahui memiliki karakteristik
yang unik dan memiliki keragaman potensi sumberdaya alam baik hayati maupun
nonhayati yang sangat tinggi. Potensi sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan
oleh penduduk yang tinggal di wilayah tersebut untuk mencapai kesejahteraan.
Ironisnya, sebanyak 32,14% dari 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir masih hidup
di bawah garis kemiskinan dengan indikator pendapatan US$ 1 per hari
(Muflikhati et al., 2010).
Berbagai program pengentasan kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan
masyarakat telah banyak diluncurkan. Demikian pula yang menyentuh masyarakat
nelayan dan masyarakat pesisir lainnya. Namun, hasilnya belum sesuai dengan
harapan. Salah satu penyebabnya adalah kurang tepatnya sasaran program karena
indikator yang digunakan dalam menentukan sasaran kurang akurat. Oleh
karenanya, penggunaan indikator penetapan sasaran yang tepat yaitu sesuai
dengan tujuan program sangat diperlukan untuk menentukan sasaran program.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk memberikan deskripsi secara
umum mengenai pengelolaan sumber daya pesisir dan laut melalui pemberdayaan
ekonimi masyarakat di wilayah pesisir. Serta menganalisis sejauhmana peluang
pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat dipertahankan dan dimanfaatkan dalam
perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut.

1.3 Permasalahan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Sumber Daya Pesisir dan Laut


2.1.1 Pengertian Wilayah Pesisir dan Laut
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan
laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir
memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu : batas yang sejajar garis
pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore). Seacara fisiologi didefenisikan sebagai wilayah antara garis pantai
hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan
lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta dibentuk
oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya
berupa kerikil. Ruang kawasan pesisir merupakan ruang wilayah diantara
ruang daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan
adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk
perairan darat dan sisi darat dari garis terendah. Ruang lautan adalah ruang
yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai sisi laut pada garis
laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya (Stanis,
2005).
Menurut Darajati (2004) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan
antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan,
baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah
laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran.
Definisi dan batas wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia
adalah wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut, batas di daratan
meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin
laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang

dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan


mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh
kegiatan-kegiatan manusia di daratan merupakan unit fungsional komponen
hayati (biotik) dan nir-hayati (abiotik). Berbagai sumberdaya hayati serta
lingkungan di wilayah pesisir relatif lebih rentan terhadap kerusakan,
dibandingkan dengan wilayah-wilayah atau ekosistem-ekosistem lainnya.
Dari seluruh tipe ekosistem yang ada, biasanya ekosistem pesisir merupakan
wilayah yang mendapatkan tekanan lingkungan yang paling berat. Ekosistem
wilayah pesisir dan lautan dipandang dari dimensi ekologis memiliki 4
fungsi/peran pokok bagi kehidupan umat manusia yaitu sebagai penyedia
sumberdaya alam sebagaimana dinyatakan diatas, penerima limbah, penyedia
jasa-jasa pendukung kehidupan manusia (life support services), dan penyedia
jasa-jasa kenyamanan (amenity services) (Darajati, 2004).

2.1.2 Potensi Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut


Laut dikenal sebagai salah satu sumber daya alam yang paling
penting dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena laut
mempunyai potensi sumberdaya baik sumberdaya yang dapat pulih,
sumberdaya yang tidak dapat pulih, sumber energi, dan jasa-jasa Iingkungan
yang berguna untuk menunjang kehidupan. Kesulitan dalam pembatasan dan
pengaturannya membuat laut sebagai sumber daya yang terbuka untuk
dieksploitasi oleh siapa saja, untuk itu perlu dilakukan pembatasan dalam
pengelolaan secara berkelanjutan. Sumber daya pesisir dan lautan merupakan
potensi penting dalam pembangunan masa depan, mengingat luas wilayah
laut Indonesia adalah 62% dari luas wilayah nasional, belum termasuk Zona
Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km persegi. Dengan berbagai kekayaan
keanekaragaman hayati dan jasa-jasa lingkungan yang diberikan, sumber
daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi
(Darajati, 2004).
Pada masa lalu, laut dipandang hanya sebagai sumber produksi
dengan keragaman biologi primer dan sekunder, kepentingan laut siklus
materi dan energi global, dan sekarang laut mulai diapresiasikan pada tujuan

yang lebih baik. Model gabungan dan sistem biosfer bumi-atmosfer-laut


menghasilkan peranan kritis dan laut pada perubahan gas dan iklim laut serta
sebagai daur ulang air, nutrisi dan limbah. Estimasi baru nilai ekonomi dan
pelayanan ekosistem pasar dan non-pasar dan laut mengindikasikan
kontribusi yang sangat besar bagi kesejahteraan manusia. Dengan demikian,
sektor kelautan perlu dikembangkan sehingga dapat meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Tambelangi dan Darius, 2010).
Wilayah pesisir dan laut sebagai ekosistem yang dinamis memiliki
karakteristik yang sangat unik. Keunikan wilayah ini mengisyaratkan
pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu dan
bijaksana. Secara biofisik wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai
berikut :
a. Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik
antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir
dengan lahan atas (upland) dengan laut lepas. Perubahan yang terjadi
pada suatu eksosistem pesisir, cepat atau lambat, langsung atau tidak
langsung akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika
pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan
lain-lain) di lahan atas (upland) suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak
dilakukan secara bijaksana akan merusak tatanan dan fungsi ekologis
kawasan pesisir dan laut.
b. Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan
untuk kepentingan pembangunan. Terdapat keterkaitan langsung yang
sangat komplek antara proses-proses dan fungsi lingkungan dengan
pengguna sumberdaya alam.
c. Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu
kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlihan dan
kesenangan (preference) bekerja yang berbeda sebagai petani, nelayan,
petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan
kerajinan rumah tangga dan sebagainya. Pada hal sangat sukar atau
hampir tidak mungkin untuk mengubah kesenangan bekerja (profesi)

sekelompok orang yang sudah mentradisi menekuni suatu bidang


pekerjaan.
d. Baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu
kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan
terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada
kegagalan usaha. Misalnya suatu hamparan pesisir hanya digunakan
untuk satu peruntukan, seperti tambak, maka akan lebih rentan, jika
hamparan tersebut digunakan untuk beberapa peruntukan.
e. Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama
(common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang
(open access). Pada hal setiap sumberdaya pesisir biasanya berprinsip
memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran
over eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang
seringkali terjadi di kawasan ini, yang pada gilirannya dapat
menimbulkan suatu tragedi bersama (open tragedy).
(Tambelangi dan Darius, 2010)
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan oleh bangsa Indonesia
telah dilakukan sejak berabad-abad lamanya, sebagai salah satu sumber bahan
makanan utama, khususnya protein hewani. Sementara itu, kekayaan minyak
bumi, gas alam dan mineral lainnya yang terdapat di wilayah ini telah
dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional sejak awal
Pelita I. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan sudah selayaknya
dikelola dengan baik dan optimal untuk menunjang pembangunan ekonomi
nasional dalam rangka mengatarkan bangsa ini menjadi makmur, adil dan
sejahtera (Tambelangi dan Darius, 2010).
Dalam

kaitannya

dengan

sumberdaya

pesisir

dan

lautan,

pemerintah dan bangsa Indonesia di era reformasi mulai sadar untuk


menjadikan pembangunan berbasis kelautan menjadi pijakan yang kuat dan
strategis. Ini tercermin dalam GBHN 1999 yang menyatakan bahwa
pembangunan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan
teknologi dengan membangun keunggulan komperatif sebagai negara

kelautan dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan daerah dan
berbasis sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM). Arti
strategis ini dilandasi empat hipotesa pokok, yaitu :
a. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia memiliki
sebanyak 17.508 pulau (pulau besar dan kecil) dengan kekayaan lautan
yang luar biasa besar dan beragam, maka sudah seharusnya arus utama
pembangunan berbasis pesisir dan lautan akan memberikan manfaat bagi
kemajuan dan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan.
b. Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk,
serta semakin menipisnya sumberdaya alam daratan, maka sumberdaya
pesisir dan lautan akan menjadi tumpuan harapan bagi kesinambungan
pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang.
c. Dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan merupakan
prioritas utama untuk pusat pengembangan industri, pariwisata, agribisnis,
agroindustri pemukiman, transportasi dan pelabuhan. Kondisi demikian
bagi kota-kota yang terletak di wilayah industri terus dikembangkan
menuju tata ekonomi baru dan industrialisasi. Tidak mengherankan bila
sekitar 65% penduduk Indonesia bermukim di sekitar wilayah pesisir.
d. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (UU No. 22 Tahun 1999 dan
UU No. 25 Tahun 1999), tentang pemerintah daerah dan tentang
perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, maka dengan propinsi
dengan otonomi terbatas dan kabupaten, mempunyai peluang besar untuk
memanfaatkan, mengelola dan melindungi wilayah pesisir dan laut untu
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam batas kewenangan wilayah
laut propinsi 12 mil laut diukur dari garis pantai, dan kewenangan
kabupaten sejauh sepertiga dari kewenangan propinsi. Pengelolaan
wilayah pesisir dan laut oleh daerah tidak terlepas dari misi dan visi
secara nasional dan komitmen bangsa dalam melindungi wilayah pesisir
dan laut, pendekatan pemanfaatan dan konservasi perlu dilakukan dengan
kehati-hatian agar tidak mengurangi peluang generasi yang akan datang
juga menikmati kehidupan yang lebih baik dari sekarang.
(Tambelangi dan Darius, 2010)

10

2.2 Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut merupakan satu upaya yang
menyatukan antara pemerintahan dengan komunitas, ilmu pengetahuan dengan
manajemen, dan antara kepentingan sektoral dengan kepentingan masyarakat
dalam mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan terpadu bagi perlindungan
dan pengembangan ekosistem pesisir dan sumberdayanya. Tujuan akhir dari
pengelolaan ini adalah meningkatkan kualitas hidup dari komunitas masyarakat
yang menggantungkan hidupnya dari sumberdaya yang terkandung di wilayah
pesisir dan pada saat yang bersamaan juga menjaga keanekaragaman hayati dan
produktifitas dari ekosistem pesisir tersebut. Sehingga untuk mencapainya
diperlukan suatu perencanaan yang komprehensif dan realistis. Proses
perencanaan suatu program pengelolaan serta kemudian implementasi dari apa
yang direncanakan tersebut merupakan satu siklus yang berkesinambungan
(Darmawan, 2001).
Pengelolaan sumberdaya alam adalah usaha manusia dalam mengubah
ekosistem untuk memperoleh manfaat maksimal, dengan mengupayakan
kesinambungan produksi dan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut.
Pengelolaan perikanan yang baik dan bertanggung jawab terutama perikanan
tangkap haruslah benar-benar memperhatikan daya dukung sumberdaya perikanan
di wilayah perairan Indonesia. Secara eksplisit mengungkapkan bahwa apabila
sumberdaya ikan laut yang hidup dalam wilayah perairan Indonesia dimanfaatkan
secara benar dan bertanggungjawab yaitu tidak melebihi daya dukungnya,
sumberdaya tersebut akan dapat mengahasilkan produksi maksimum lestari
sekitar 6,4 juta ton pertahun. Selain itu masyarakat Indonesia juga memiliki
peluang untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high sea).
Sebaliknya bila sumberdaya ikan tersebut dimanfaatkan melebihi daya
dukungnya, kelestarian sumberdaya ikan akan terancam dan produksinya akan
menurun (Darajati, 2004).
Ketersediaan (stock) sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan
(fishing ground) di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya
dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa spesies ikan bahkan
dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris hilang dari perairan Indonesia

11

(Purwanto, 2003). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa ancaman ini diperkirakan
akan meningkat pada dekade ini, karena terjadi pergeseran daerah penangkapan
armada perikanan dunia ke daerah yang masih potensial, termasuk perairan
Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Pengelolaan Sumberdaya alam pesisir
pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau
masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat
dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan
(Darajati, 2004).
Dalam pengelolaan lingkungan sumberdaya alam pesisir tidaklah bersifat
serta merta atau latah, namun kita perlu mengkaji secara mendalam isu dan
permasalahan mengenai sumberdaya yang hendak dilakukan pengelolaan. Penting
atau tidaknya sumberdaya alam yang ada, potensi dan komponen sumberdaya
mana yang perlu dilakukan pengelolaan dan apakah terdapat potensi dampak
perusakan lingkungan, serta untung atau tidaknya sumberdaya tersebut bagi
masyarakat merupakan pertimbangan penting dalam pengelolaan (Tambelangi dan
Darius, 2010).
Pengelolaan sumberdaya alam yang beranekaragam, baik di daratan
maupun di lautan perlu dilakukan secara terpadu dengan sumberdaya manusia dan
sumberdaya buatan dalam pola pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan
sumberdaya alam pesisir dilakukan dengan mengembangkan tata ruang dalam
satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian
kemampuan dan daya dukung lingkungan yang tersedia. Secara ideal pemanfaatan
sumberdaya

ikan

dan

lingkungan

hidupnya

harus

mampu

menjamin

keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha perikanan


pantai yang ekonomis dan produktif. Keberlanjutan fungsi ekologis akan
menjamin eksistensi sumberdaya serta lingkungan hidup ikan (Tambelangi dan
Darius, 2010).
Menurut Darajati (2004), beberapa pertimbangan dalam pengelolaan
sumberdaya alam kawasan pesisir yakni meliputi pertimbangan ekonomis,
pertimbangan

dari

aspek

lingkungan

danpertimbangan

sosial

budaya.

Pertimbangan ekonomis menyangkut penting tidaknya untuk kebutuhan


masyarakat sehari-hari, penghasil barang-barang yang dapat dipasarkan,

12

merupakan aset lokal, nasional atau internasional serta merupakan aset pariwisata
yang dapat mengahasil uang selain berupa barang.
Pertimbangan lingkungan menyangkut stabilitas fisik pantai, lingkungan
masyarakat yang unik, penyediaan stok hewan dan tumbuhan termasuk yang
mempunyai potensi untuk dimanfaatkan, pelestarian plasma nutfah, estetika dan
indentitas budaya, serta apakah terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan
oleh sedimentasi, konstruksi, pertanian, penebangan, penambangan, penangkapan
berlebihan (overfishing), yutrofikasi karena buangan limbah yang mengandung
nutrien, dan kontaminasi oleh berbagai macam limbah. Sedangkan pertimbangan
sosial budaya meliputi pengakuan tradisi, nilai sosial budaya, mempertahankan
tradisi generasi yang akan datang, sasaran keagamaan (Darajati. 2004).
Proses perencanaan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan
oleh Dahuri (2002), dapat dilihat pada illustrasi berikut.

Gambar 1. Proses Perencanaan pembanguan wilayah pesisir secara berkelanjutan


(Sumber : Dahuri, 2002)

13

Pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan secara berkelanjutan (sustainable)


harus dilakukan secara bertanggung jawab (responsible), sehingga diperlukan
perencanaan pengelolaan yang sangat hati-hati. Dewasa ini, sayangnya,
pengetahuan yang memadai mengenai proses-proses yang terjadi di kawasan
pesisir dan lautan Indonensia belum tersedia secara memadai untuk suatu tujuan
pemanfaatan yang rasional. Sebagai akibatnya adalah konsep dan teknik
pengelolaan perikanan kawasan pesisir dan lautan sebagian besar belum teruji.
Selain degradasi lingkungan, beberapa isu penting lainnya adalah lemah atau
masih rendahnya partisipasi masyarakat, sistem hukum dan penegakannya,
keamanan di laut, pencurian ikan oleh kapal-kapal asing (Darajati, 2004).

2.3 Tinjauan Pemberdayaan dan Ekonomi Masyarakat Pesisir


2.3.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Pemberdayaan

masyarakat

sebenarnya

mengacu

pada

kata

empowerment yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang


sudah dimiliki oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat
dalam pengembangan masyarakat pesisir dan nelayan adalah penekanan pada
pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (selffreliant communities), sebagai
suatu sistem

yang mengorganisir diri

mereka sendiri.

Pendekatan

pemberdayaan masyarakat yang demikian tentunya diharapkan memberikan


peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku (aktor)
yang menentukan hidup mereka (Wahyudin, 2004).
Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang bepusat pada manusia
(people-centered development) ini kemudian melandasi wawasan pengelolaan
sumberdaya

lokal

(communitybased

management),

yang

merupakan

mekanisme perencanaan people-centered development yang menekankan


pada teknologi pembelajaran sosial (social learning) dan strategi perumusan
program. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan
kemapuan masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya (empowerment).
Ciri-ciri pendekatan pengelolaan sumberdaya lokal yang berbasis masyarakat,
yang meliputi :

14

a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat


dibuat di tingkat lokal, oleh masyarakat yang memiliki identitas yang
diakui peranannya sebagai partisipan dalam proses pengambilan
keputusan.
b. Fokus utama pengelolaan sumberdaya lokal adalah memperkuat
kemampuan masyarakat miskin dalam mengarahkan asset-asset yang ada
dalam mayarakat setempat, untuk memenuhi kebutuhannya.
c. Toleransi yang besar terhadap adanya variasi. Oleh karena itu mengakui
makna pilihan individual, dan mengakui proses pengambilan keputusan
yang desentralistis.
d. Budaya kelembagaannya ditandai oleh adanya organisasi-organisasi yang
otonom dan mandiri, yang saling berinteraksi memberikan umpan balik
pelaksanaan untuk mengoreksi diri pada setiap jenjang organisasi.
e. Adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara pelaku dan organisasi
lokal yang otonom dan mandiri, yang mencakup kelompok penerima
manfaat, pemerintah lokal, bank lokal dan sebagainya yang menjadi dasar
bagi semua kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat pengawasan dan
penguasaan masyarakat atas berbagai sumber yang ada, serta kemampuan
masyarakat untuk mengelola sumberdaya setempat.
(Wahyudin, 2004)
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut CommunityBased Management, merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam
yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal
sebagai dasar pengelolaanya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya
yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion)
(Tambelangi dan Darius, 2010).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberdayaan
masyarakat terletak pada proses pengambilan keputusan sendiri untuk
mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan
sosial. Oleh sebab itu, pemahaman mengenai proses adaptasi masyarakat
nelayan terhadap lingkungannya merupakan informasi penting dalam

15

pembangunan

yang

berorientasi

pada

manusia

(people

centered

devolopment), yang melandasi wawasan pengelolaan sumberdaya local


(community-based resource management). Pentingnya memperhatikan aspek
strategi adaptasi nelayan dalam kegiatan pemberdayaan tersebut adalah
karena strategi adaptasi yang dikembangkan memungkinkan nelayan
mengatur daya tahan (resilience) terhadap persoalan-persoalan spesifik yang
berhubungan pesisir dan nelayan seperti fluktuasi, ketidakpastrian hasil
tangkapan, musim, dan menurunnya sumberdaya perikanan (Tambelangi dan
Darius, 2010).

2.3.2 Ekonomi Masyarakat Pesisir


Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang
tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung
secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi
inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang
yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan
pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya,
pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan.
Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa
pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang
memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong
kehidupannya (Muflikhati et al., 2010).
Namun untuk lebih operasional, definisi masyarakat pesisir yang
luas ini tidak seluruhnya diambil tetapi hanya difokuskan pada kelompok
nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok
ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan
melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang
mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai
pulau-pulau besar dan kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini adalah
pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang
bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk

16

menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga


hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat
pendek (Nikijuluw, 2001).
Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin
diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa
menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor
tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap
ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat
pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan
besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak
dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak
(Muflikhati et al., 2010).
Nikijuluw (2001) menyatakan bahwa kemiskinan yang merupakan
indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan paling tidak oleh
tiga hal utama, yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan
kemiskinan kultural.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena
pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu. Variabel-variabel
tersebut adalah struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau
disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan
teknologi,

dan

ketersediaan

sumberdaya

pembangunan

khususnya

sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan


umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan
kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Khusus
untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan
lebih sulit ditentukan. Yang jelas bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat
yang terjadi di sekitar atau di lingkup nelayan menentukan kemiskinan dan
kesejahteraan mereka (Nikijuluw, 2001).
Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan
karena variabelvariabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak
pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel

superstruktur tersebut

diantaranya adanya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum

17

dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan


dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan superstruktural ini
sangat sulit diatasi bila saja tidak disertai keinginan dan kemauan secara tulus
dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan
karena kompetisi antar sektor, antar daerah, serta antar institusi yang
membuat sehingga adanya ketimpangan dan kesenjangan pembangunan.
Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa diatasi apabila pemerintah, baik
tingkat pusat maupun daerah, memiliki komitmen khusus dalam bentuk
tindakan-tindakan yang bias bagi kepentingan masyarakat miskin. Dengan
kata lain affirmative actions, perlu dilaksanakan oleh pemerintah pusat
maupun daerah (Nikijuluw, 2001).
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena
variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu.
Akibatnya sulit untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu
karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan.
Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan,
pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandanganpandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan secara
struktural ini sulit untuk diatasi. Umumnya pengaruh panutan (patron) baik
yang bersifat formal, informal, maupun asli (indigenous) sangat menentukan
keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural ini. Penelitian di
beberapa negara Asia yang masyarakatnya terdiri dari beberapa golongan
agama menunjukkan juga bahwa agama serta nilai-nilai kepercayaan
masyarakat memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap status sosial
ekonomi masyarakat dan keluarga (Nikijuluw, 2001).
Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat
pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor
sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang
digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap
dalam kemiskinannya (Muflikhati et al., 2010).

18

III. PEMBAHASAN

3.1 Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Laut


Berdasarkan konsep pembanguanan masyarakat yang menekankan
pada pemberdayaan maka diformulasikan sasaran pemberdayaan masyarakat
pesisir, khususnya nelayan dan petani ikan yang tinggal di kawasan pesisir
pulau kecil dan besar, yang adalah sebagai berikut :
a. Tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari
sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
b. Tersedianya

prasarana

dan

sarana

produksi

secara

lokal

yang

memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah


dan kualitas yang baik.
c. Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi
kolektif (collective action) untuk mencapai tujuan-tujuan individu.
d. Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang
memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource-based), memiliki
pasar yang jelas (market-based), dilakukan secara berkelanjutan dengan
memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental-based), dimiliki
dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal (local societybased), dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal
dari proses pengkajian dan penelitian (scientific-based).
e. Terciptanya hubungan transportasi dan komunikasi sebagai basis atau
dasar hubungan ekonomi antar kawasan pesisir serta antara pesisir dan
pedalaman.
f. Terwujudnya struktur ekonomi Indonesia yang berbasis pada kegiatan
ekonomi di wilayah pesisir dan laut sebagai wujud pemanfaatan dan
pendayagunaan sumberdaya alam laut.

3.2 Tanggung Jawab Stakeholders dalam Pemberdayaan


Tanggung jawab pemberdayaan masyarakat pesisisr seolah-olah hanya
ada pada Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal ini tentu saja tidak benar
karena instansi pemerintah lainnya memiliki juga tanggung jawab di kawasan

19

pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan memang menjalankan kegiatan


pembangunan yang berfokus pada pembangunan perikanan, penataan wilayah
dan ruang pesisir, pembangunan nelayan dan pembudidaya ikan, serta
eksplorasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Tetapi tugas-tugas
pembangunan lainnya yang memang masih banyak seperti pengembangan
prasarana

wilayah,

pendidikan,

kesehatan,

pembangunan

pertanian,

pembangunan industri dan jasa, perhubungan, transportasi, komunikasi, serta


pembangunan sosial dalam arti yang luas bukan berada di bawah tanggung
jawab Departemen Kelautan dan Perikanan.
Keberhasilan pembangunan atau pemberdayaan masyarakat adalah
resultan

dari

semua

upaya

pembangunan

yang

dilaksanakan

atau

diprogramkan oleh setiap instansi. Hal ini perlu diperjelas dan dipahami oleh
semua pihak. Dengan istilah yang lebih populer, hal ini menuntut adanya
sinergitas dan koordinasi yang benar-benar terjalin antara berbagai instansi
pemerintah. Bila ini bisa diwujudkan maka pembangunan atau pemberdayaan
masyarakat pesisir dapat dilaksanakan secara lebih komprehensif, terpadu,
menyangkut berbagai aspek pembangunan, bukan saja teknis tetapi juga
sosial budaya.
Tanggung jawab pembangunan masyarakat lebih banyak berada pada
pundak pemerintah daerah, dan bukan didominasi oleh pemerintah pusat. Hal
ini disebabkan karena pemerintah daerahlah yang lebih mengenal
masyarakatnya, memahami masalah-masalah yang dihadapi mereka. Selama
ini, meskipun pada era desentralisasi dan otonomi daerah sekarang ini, ada
kesan bahwa pengembangan masyarakat dilepaskan dan diserahkan kepada
pemerintah pusat. Penyerahan tanggung jawab ini karena memang tugastugas pembangunan masyarakat termasuk berat untuk dilaksanakan. Dengan
adanya desentralisasi kegiatan pembangunan, selayaknya dan sepatutnya
pemerintah daerah lebih banyak memberikan prioritas pada pembangunan
yang berbasis pada masyarakat.
Tanggung jawab pembangunan masyarakat pesisir bukan saja berada
pada tangan pemerintah tetapi juga pihak-pihak non-pemerintah yaitu
masyarakat sendiri, pengusaha swasta, usaha milik negara, dan lembaga

20

swadaya masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemerintah tidak harus berupaya
sendiri karena hasilnya tidak akan optimal. Kemampuan pemerintah sangat
terbatas, karena itu kemampuan yang dimiliki pemerintah harus dipadukan
dengan apa yang dimiliki oleh nonpemerintah.
Tangggung

jawab

membangun

masyarakat

pada

hekekatnya

merupakan tanggung jawab utama masyarakat itu sendiri. Selama ini,


masyarakat semata-mata menjadi objek pembangunan. Dalam hubungan ini,
masyarakat didekati, didatangi, diprogramkan, dan diarahkan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang nantinya membawa manfaat kepada
mereka. Tentu saja hal ini kurang begitu tepat karena apa yang dilakukan
dengan pendekatakan ini berkesan dipaksakan dan masyarakat sendiri terlibat
pada lapisan permukaan saja. Mereka tidak masuk lebih dalam pada kegiatankegiatan pembangunan dengan pendekatan ini yang akhirnya membuat
ketidak-berhasilan.
Supaya pembangunan masyarakat berlangsung dengan tepat maka
pemerintah hanya mempersiapkan dan memfasilitasi lingkungan yang sehat
bagi peningkatan, perluasan, serta pendalaman kegiatan-kegiatan yang telah
dimiliki oleh masyarakat sendiri. Hal ini merupakan makna pemberdayaan
yaitu mengembangkan apa yang telah ada pada masyarakat menjadi lebih
besar skalanya, lebih ekonomis, dan lebih berdaya guna dan berhasil guna.

3.3 Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir


3.3.1 Mengembangkan Mata Pencaharian Alternatif
Pengembangan mata pencaharian alternatif dilaksanakan dengan
pertimbangan bahwa sumber-daya pesisir secara umum dan perikanan
tangkap secara khusus telah banyak mengalami tekanan dan degradasi. Data
empiris

menunjukkan

bahwa

sudah

terlalu

banyak

nelayan

yang

berkonsentrasi di perairan tertentu. Malahan secara nasional, tampaknya


jumlah nelayan juga sudah berlebihan. Potensi ikan laut yang tersedia, kalau
memang benar estimasinya, sudah tidak mampu dijadikan andalan bagi
peningkatan kesejahteraan. Kalau jumlah ikan yang diperbolehkan ditangkap

21

betul-betul diambil semuanya maka berdasarkan perhitungan kasar secara


rata-rata, nelayan sangat sulit untuk sejahtera.
Ada banyak alasan yang mendasari terlalu banyaknya jumlah
nelayan, yang diperhadapkan dengan jumlah ikan yang terbatas yang
diperkirakan sekitar 6,2 juta ton per tahun potensi lestari. Pengembangan
mata pencaharian alternatif bagi nelayan adalah suatu keharusan. Pengembangan mata pencaharian alternatif ini diarahkan untuk mengalihkan profesi
nelayan atau sebagai tambahan pendapatan. Dengan kata lain, program
diversifikasi pendapatan nelayan untuk dikembangkan, yang dapat diarahkan
bukan saja untuk nelayan tetapi juga untuk anggota keluarganya, teristimewa
istri atau anak perempuan nelayan yang memang besar potensinya.
Pengembangan mata pencaharian alternatif bukan saja dalam bidang
perikanan, seperti pengolahan, pemasaran, atau budidaya ikan, tetapi patut
diarahkan ke kegiatan non-perikanan.

3.3.2 Akses Terhadap Modal


Elemen yang kedua dalam strategi pemberdayaan nelayan adalah
pengembangan akses modal. Strategi ini sangat penting karena pada dasarnya
saat ini masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan sangat
sulit untuk memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang musiman,
ketidakpastian serta resiko tinggi sering menjadi alasan keengganan bank
menyediakan modal bagi bisnis ini. Sifat bisnis perikanan seperti ini yang
disertai dengan status nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu
secara ekonomi membuat mereka sulit untuk memenuhi syarat-syarat
perbankan yang selayaknya diberlakukan.
Dengan memperhatikan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat
pesisir akan modal ini maka salah satu alternatif adalah mengembangkan
mekanisme pendanaan diri sendiri (self-financing mechanism). Bentuk dari
sistem ini tidak lain adalah pengembangan lembaga keuangan mikro, dan
nantinya makro, yang dikhususkan dalam bidang usaha di pesisir, utamanya
bidang perikanan. Meskipun masih dalam tahapan konsep, wacana, dan uji
coba, saat ini telah dirintis dan dimulai pengembangan mekanisme pendanaan

22

oleh diri sendiri yang dikenal dengan nama Lembaga Mikro Mitra Mina
(M3), Mina Ventura dan Asuransi Nelayan.

3.3.3 Akses Terhadap Teknologi


Teknologi yang digunakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan,
pada umumnya masih bersifat tradisional. Karena itu maka produktivitas
rendah dan akhirnya pendapatan rendah. Upaya meningkatkan pendapatan
dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari teknologi produksi hingga
pasca produksi dan pemasaran. Berkaitan dengan teknologi yang digunakan,
terdapat juga sifat masyarakat (nelayan) yang menentukan atau ditentukan
oleh penggunaan teknologi tersebut.
Untuk itu maka upaya pemberdayaan masyarakat melalui
perbaikan teknologi harus juga mempertimbangkan sifat dan karakteristik
masyarakat. Upaya-upaya peningkatan akses masyarakat terhadap teknologi
belum banyak dilakukan. Hal ini karena adanya kesulitan untuk
mengindentifikasi jenis dan tipe teknologi yang dibutuhkan masyarakat.
Seringkali, justru masyarakatlah yang lebih maju dalam mencari dan
mengadopsi teknologi yang diinginkan. Sehingga kadang-kadang pemerintah
tertinggal. Dengan kata lain, dalam hal teknologi masyarakat lebih maju dari
pemerintah. Kesulitan lain dalam hal akses teknologi yaitu kurangnya atau
tidak adanya penyuluh atau mereka yang berfungsi sebagai fasilitator dan
katalisator. Pada awalnya memang ada penyuluh perikanan yang memerankan
tugas ini. Namun dengan DKP sebagai suatu lembaga baru, konsolidasi yang
dilakukan untuk memfungsikan penyuluh perikanan dalam menyediakan
akses teknologi bagi masyarakat belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

3.3.4 Akses Terhadap Pasar


Pasar adalah faktor penarik dan bisa menjadi salah kendala utama
bila pasar tidak berkembang. Karena itu maka membuka akses pasar adalah
cara untuk mengembangkan usaha karena bila tidak ada pasar maka usaha
sangat terhambat perkembangannya. Untuk mengembangkan pasar bagi
produk-produk yang dihasilkan masyarakat pesisir maka upaya yang

23

dilakukan adalah mendekatkan masyarakat dengan perusahaanperusahaan


besar yang juga adalah eksportir komoditas perikanan. Untuk itu maka
kontrak penjualan produk antara masyarakat nelayan dengan perusahaan ini
dilaksanakan. Keuntungan dari hubungan seperti ini yaitu masyarakat
mendapat jaminan pasar dan harga, pembinaan terhadap masyarakat terutama
dalam hal kualitas barang bisa dilaksanakan, serta sering kali masyarakat
mendapat juga bantuan modal bagi pengembangan usaha.
Meskipun hubungan seperti ini sudah ada, secara umum boleh
dikatakan bahwa masyarakat masih menghadapi pasar yang tidak sempurna
strukturnya, monopoli ketika masyarakat membeli faktor produksi serta
monopsoni ketika masyarakat menjual produk yang dihasilkan. Struktur pasar
yang tidak menguntungkan masyarakat ini disebabkan karena informasi yang
kurang mengenai harga, komoditas, kualitas, kuantitas serta kontinyutas
produk. Kelangkaan informasi ini begitu rupa sehingga umumnya masyarakat
hanya menghasilkan produk-produk yang serupa sehingga akhirnya membuat
kelebihan pemasokan dan kejatuhan harga.

3.3.5 Pengembangan Aksi Kolektif


Pemberdayaan melalui pengembangan aksi kolektif sama artinya
dengan pengembangan koperasi atau kelompok usaha bersama. Hanya di sini
istilah yang digunakan adalah aksi kolektif yaitu untuk membuka kesempatan
kepada masyarakat membentuk kelompok-kelompok yang diinginkannya
yang tidak semata-mata koperasi atau kelompok usaha bersama. Aksi kolektif
merupakan suatu aksi bersama yang bermuara pada kesejahteraan setiap
anggota secara individu.
Upaya pengembangan aksi kolektif yang dilakukan selama ini
yaitu melalui pengembangan kelompok yang berbasis agama seperti koperasi
pondok pesantren. Juga dikembangkan kelompok-kelompok yang beraliansi
dengan LSM tertentu yang memang memiliki staf dan dana untuk
pembangunan masyarakat pesisir. Kelompok yang juga mendapat perhatian
adalah kelompok wanita atau perempuan. Untuk itu juga sedang dicari suatu
format pemberdayaan perempuan dengan penekanan pada peranan mereka

24

dalam usaha meningkatkan ekonomi keluarga. Pengembangan aksi kolektif


ini masih sangat prematur dan memerlukan kajian untuk mencari bentukbentuknya yang sungguh-sungguh berguna bagi masyarakat. Beberapa aksi
kolektif yang pernah berkembang memang tidak begitu murni sebagai ide dan
gagasan masyarakat. Akhirnya aksi kolektif atau semi-kolektif seperti
perikanan inti rakyat serta kemitraan usaha antara masyarakat dan pengusaha
besar hanya membawa ketidakpuasan kepada masyarakat dan berhenti di
tengah jalan.

3.4 Internalisasi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya


Pesisir Secara Terpadu
Pemberdayaan masyarakat secara khusus dan eksistensi masyarakat
secara umum perlu diinternalisasikan dalam pengembangan, perencanaan,
serta pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu. Beberapa
aspek yang berkenan dengan masyarakat adalah kekuatan penentu status dan
eksistensi suatu kawasan pesisir. Kekuatan tersebut perlu dilibatkan atau
diperhitungkan dalam menyusun konsep pengelolaan sumberdaya secara
terpadu. Kekuatan-kekuatan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Jumlah penduduk pesisir yang cenderung bertambah dengan tingkat
pertumbuhan yang tinggi.
b. Kemiskinan yang diperburuk oleh sumberdaya alam yang menurun,
degradasi habitat, serta kelangkaan mata pencaharian alternatif.
c. Adanya usaha skala besar, menghasilkan keuntungan dengan segera, dan
usaha komersial yang menurunkan kualitas sumberdaya dan sering
menyebabkan konflik kepentingan dengan penduduk lokal.
d. Kurang sadar dan pengertian di pihak masyarakat serta pemerintahan lokal
tentang pentingnya keberlanjutan sumberdaya bagi kepentingan manusia.
e. Kurang pengertian di pihak masyarakat tentang kontribusi dan pentingnya
sumberdaya pesisir bagi masyarakat.
f. Kurang pengertian pemerintahan lokal tentang tindak lanjut dan
keberlanjutan kegiatan pemberdayaan masyarakat.

25

g. Faktor budaya yang berkaitan langsung pengelolaan dan pemanfaatan


kawasan pesisir secara terpadu.

3.4.1 Program PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir)


Program PEMP ini bisa dikatakan sebagai suatu program usaha
perikanan terpadu, mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan hingga
evaluasi. Keterpaduan juga terwujud dalam hal kegiatan ekonomi
produktif yang dilakukan masyarakat yang memang tidak terfokus pada
kegiatan tertentu namun tersebar ke dalam kelompok kegiatan yang
saling terkait. Demikian pula keterpaduan diwujudkan melalui pelibatan
stakeholder yang berasal dari berbagai pihak, instansi pemerintah,
masyarakat dan swasta.
Tujuan PEMP adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui penciptaan sistem produksi serta kelangsungan usaha perikanan
yang berbasis masyarakat. PEMP memiliki 4 kegiatan utama yaitu :
1. Pengembangan lembaga keuangan mikro di tingkat masyarakat yang
bernama lembaga Mikro Mitra Mina (M3). Lembaga ini pada
awalnya adalah lembaga informal yang didirikan sendiri oleh
masyarakat serta dijalankan atau diorganisir oleh mereka sendiri.
2. Pengembangan usaha ekonomi produktif oleh kelompok-kelompok
kecil yang memiliki kesamaan usaha, aspirasi dan tujuan. kegiatan
ekonomi produktis yang dilakukan tentu saja berdasarkan atas
potensi sumerdaya alam yang tersedia, peluang pasar, kemampuan
dan penguasaan teknologi oleh masyarakat, serta dukungan adat dan
budaya. Bentuk-bentuk kegiatan ekonomi produktif meliputi usaha
budidaya ikan, penangkapan ikan, pengolahan ikan, pemasaran ikan,
serta usaha jasa yang mendukung seperti perbengkelan atau
penyediaan sarana produksi lainnya.
3. Pelatihan dan pengembangan kapasitas kelembagaan masyarakat
lokal. Kegiatan ini dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat
menjalankan program yang dilaksanakan. Agenda pelatihan lebih
banyak

bermuatan

non-teknis

seperti

peningkatan

motivasi,

26

kerjasama kelompok, serta bagaimana merumuskan masalah dan


menyampaikan pendapatan secara tertulis maupun tidak tertulis.
4. Pengembangan model pemberdayaan pasca program yang diarahkan
pada pengembangan jaringan usaha antara masyarakat sasaran
dengan kelompok lain, LSM, swasta, serta pemerintah daerah.
Prinsip-prinsip pengelolaan dan pengembangan Program PEMP
adalah sebagai berikut :
a. Pilihan kegiatan berdasarkan musyawarah sehingga memperoleh
dukungan masyarakat (acceptability).
b. Pengelolaan kegiatan dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh
masyarakat (transparancy).
c. Pengelolaan kegiatan harus dipertanggung jawabkan kepada
masyarakat (accountability).
d. Pengelolaan

kegiatan

dapat

memberikan

manfaat

kepada

masyarakat secara berkelanjutan (sustainability).


e. Kegiatan dilaksanakan sebagai bentuk kepedulian atas beban
penduduk miskin (responsiveness).
f. Penyampaian bantuan kepada masyarakat sasaran secara cepat
(Quick Disbursement).
g. Proses pemilihan peserta dan kegiatan PEMP dilakukan secara
musyawarah (Democracy).
h. Pemberian kesempatan kepada kelompok lain yang belum
memperoleh kesempatan, agar semua masyarakat merasakan
manfaat langsung (Equality).
i. Setiap ketentuan dalam pemanfaatan Dana Ekonomi Produktif
masyarakat diharapkan dapat mendorong terciptanya kompetisi
yang sehat dan jujur dalam mengajukan usulan kegiatan yang layak
(Competitiveness).

Pemberdayaan adalah sebuah konsep yang lahir dari pemikiran


yang bertumpu pada paradigrna pembangunan berpusat pada rakyat
atau masyarakat.Dalam pemberdayaan masyarakat, peranan pihak-

27

pihak yang terlibat (stakeholder) akan sangat berpengaruh terhadap


keberhasilan suatu proses pemberdayaan termasuk didalamnya peranan
pemerintah. Dengan mempertimbangkan sifat dan potensi daerah maka
beberapa varian pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pesisir
atau nelayan adalah :
a. Pemberdayaan perempuan nelayan.
b. Pemberdayaan masyarakat yang tergabung dalam organisasi
keagamaan.
c. Pemberdayaan pemuda nelayan.
d. Pemberdayaan LSM nelayan.
e. Pengembangan akses pasar ke daerah yang memiliki kesamaan
komoditas.
f. Pengembangan

usaha

non-perikanan

sebagai

bagian

dari

diversifikasi kegiatan ekonomi masyarakat pesisir.

Pemerintah bersama masyarakat desa menentukan kelompok


sasaran program PEMP ini. Mereka yang mungkin merupakan sasaran
kelompok ini adalah mereka yang paling rentan kegiatan ekonominya
akibat memburuknya situasi ekonomi negara pada akhir-akhir ini.
Pertimbangan lain adalah mereka yang memiliki kemauan untuk
memperbaiki diri sehingga bisa keluar dari kesulitan dan kemiskinan
yang dialaminya.
Masyarakatlah yang juga menentukan kegiatan ekonomi yang
mungkin dikembangkannya. Dalam hal ini masyarakat dibantu atau
difasilitasi oleh LSM atau konsultan lokal yang ditunjuk sebagai
pendamping masyarakat. LSM atau konsultan lokal ini dibiayai oleh
program PEMP, namun mereka diminta untuk bekerja di luar batasbatas proyek, terutama pada pasca program nanti. Karena itu maka
LSM dan konsultan lokal diprioritaskan. Masyarakat terlibat penuh
pada pengadaan sarana dan prasarana produksi. Untuk itu, merekalah
yang menentukan dimana harus membeli barang-barang yang
dibutuhkan mereka. Demikian juga mereka berhak menjual barang yang

28

dihasilkan. Keterlibatan stakeholder perikanan yaitu sejak perencanaan


hingga evaluasi dan pengembangan program. Stakeholder utama adalah
nelayan atau masyarakat. Stakeholder lainnya adalah LSM, konsultan,
swasta lokal, serta instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

29

IV.

KESIMPULAN

Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pantai dilakukan untuk


meningkatkan

kualitas

hidup

dari

komunitas

masyarakat

yang

menggantungkan hidupnya dari sumberdaya yang terkandung di wilayah


pesisir dan pada saat yang bersamaan juga menjaga keanekaragaman hayati
dan produktifitas dari ekosistem pesisir tersebut.

Untuk mencapai pengelolaan tersebut diperlukan suatu perencanaan yang


komprehensif dan realistis. Salah satu program pengelolaan sumber daya
pesisir dan laut adalah PEMP, yaitu Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui penciptaan sistem produksi serta kelangsungan usaha perikanan yang
berbasis masyarakat.

30

DAFTAR PUSTAKA

31

Anda mungkin juga menyukai