Anda di halaman 1dari 3

Echosounder untuk Deteksi Objek dan Klasifikasi Dasar Laut

Adhiana Mulawarman
12/330246/TK/39428

Abstract
Acoustic backscatter from dual-frequency single-beam echo-sounding systems (SBES) operable at 95 KHz
and 33/210 KHz, respectively, were used to study the distribution of sediment texture and benthic
macro-fauna along the central part of the western continental shelf of India (off Goa). To characterize the
continental shelf seafloor, single-beam backscatter signals were acquired along with grab sediment
samples. The relationships between processed acoustic backscatter strength, grain size, and benthic
macro-fauna abundance were demonstrated employing clustering technique (PCA) and Geographic
Information System (GIS) based mapping. The clustering analysis delineated that the backscatter values
at three frequencies are strongly correlated with both substrate type and faunal functional groups. The
preferences of deposit feeders (soft body benthic macro-fauna) for the fine-sediment regions and filter
feeders (hard body benthic macro- fauna) for coarse sediment regions were linked to the variations in
sediment granulometry as well as backscatter strengths in the study area. This study further demonstrates
the utility of high frequency backscatter data employing echo-sounding systems towards the interpretation
of seafloor sediments and benthic habitat characteristics across large areas of seafloor.
Keywords: backscatter strength, habitat mapping, single-beam

Pendahuluan
Penginderaan jauh berbasis kelautan adalah salah satu teknik yang konvensional dalam pengaplikasian di bidang
oseanografi. Banyak sekali unsur - unsur yang terdapat di lautan lepas dan pantai yang dapat dipetakan dan
dimonitor secara efektif menggunakan penginderaan jauh. Dengan mengaplikasikan penginderaan jauh akustik
menggunakan SBES berfrekwensi tinggi dapat menyediakan data yang berlimpah bagi berbagai disiplin ilmu
yang berkaitan dengan laut, seperti klasifikasi seabed dan penelitian habitat di zona benthic.
Dengan mengasumsikan bahwa aspek - aspek ekologikal habitat benthic berada di dasar laut, maka dibutuhkan
suatu metode yang murah namun efektif untuk meneliti penyebaran aspek - aspek ekologi tersebut dalam skala
spasial yang luas. Penelitian penyebaran habitat benthic biasanya dilakukan dengan pengambilan sampel dengan
cara diambil secara langsung atau dengan penyelaman untuk mengklasifikasikan spesies atau biomass yang ada,
meski metode tersebut dapat menyediakan representasi data yang akurat, akan tetapi metode tersebut memakan
waktu yang tidak sedikit serta hanya dapat menutupi area yang sempit (Quintino et al., 2009). Oleh sebab itu,
metode penginderaan jauh akustik untuk penelitian habitat benthic adalah metode yang sesuai seta biasa
digunakan untuk tujuan pemetaan. Diantara sistem akustik lainnya, SBES lebih murah dalam
pengaplikasiaannya. Telah banyak penelitian yang dilakukan di masa lalu menggunakan SBES (Anderson et al.,
2002; Freitas et al., 2003; Chakraborty et al., 2007; Quintino et al., 2009).
Biota bentos yang terdapat di dasar laut dapat dikategorikan kedalam dua bagian, mikroorganisme dan
makroorganisme. Hanya makroorganisme bentos saja yang dimasukkan dalam penelitian ini. Keberadaan
mereka akan akan nampak dalam pantulan SBES dengan berbagai cara : i) Dengan sifat tubuh fauna yang keras
seperti bivalvia dan gastropoda, yang dimana dengan tubuh kerasnya dapat menghamburkan gelombang akustik
dari transducer, dengan begitu akan menimbulkan perbedaan pantulan antara sedimen dasar laut dan bagian
tubuh biota tersebut (Jumars et al., 1996), ii) Organisme mikro benthic memproduksi gas yang biasanya
berbentuk gelembung-gelembung yang dimana gelembung tersebut akan terperangkap pada lapisan teratas
sedimen dasar laut, yang nantinya gelembung tersebut akan menghamburkan gelombang akustik yang
dipancarkan transducer sehingga akan menimbulkan perbedaan data gelombang akustik yang diterima
transducer.

Metodologi
Akuisisi Data Akustik
Backscatter dasar laut didapatkan dari lapisan teratas lumpur pasir habitat benthic menggunakan SBES
terkalibrasi. Dari sana dapat dianalisis efek antara sinyal akustik dengan makro fauna habitat benthic yang ada di
dasar laut. Dilakukan beberapa pemeruman untuk mengakuisisi data. Dengan dual-frekwensi (33 dan 210 KHz),
data gelombang pantulan didapatkan dengan menggunakan RESON-NS 420 SBES yang ditempakan di lambung
kapal Sagar Purvi pada Bulan Februaru 2007. Gelombang akustik dengan frekwensi 33 dan 210 KHz
didapatkan dengan mengtransmisikan pulsa dengan panjang pulsa 0.97 dan 0.61 ms, dengan masing-masing
lebar pancaran 20 and 9
Pemrosesan Data Single Beam
Tipikal rekaman echo (jejak voltase) mengandung transmisi pulsa refleksi dari dasar laut dan kolom air.
Fluktuasi voltase pada awal perekaman merepresentasikan transmisi pulsa dan fkuktuasi berikutnya
merepresentasikan refleksi langsung dari dasar laut. Refleksi tersebut terbagi kedalam dua bagian, bagian awal
dan bagian akhir. Pada bagian awal jejak pantulan adalah refleksi dari muka dasar laut dan pada bagian air
merepresentasikan backscatter dari volume sedimen. Karena kedua saluran frekwensi rendah (33KHz) dan
frekwensi tinggi (210 KHz) SBES akan didigitas, output mentah pada receiver transducer ditempelkan dan
dikoneksikan pada sebuah konverter PCL 1712L 12-bit A/D dengan sampling frekwensi 1 MHz. Lalu data
tersebut dikonversikan dari data biner ke data berformat ASCII dengan range -5 +5 V
Langkah pertama dalam praprosesing adalah memilah data (dengan distorsi minimum) dengan menghapus data
jenuh dan terpotong dengan mengeceknya secara visual, data jenuh dengan respons voltase 5 V dan data
dengan multipeaks juga dibuang. Sehingga data yang ideal untuk diproses lebih lanjut adalah data dengan
amplitudo antara 2.5 - 5 V.

Hasil dan Pembahasan


Ground-truth data
Presentase distribusi kompisisi sedimen berdasarkan klasifikasi Sheppard (Sheppard 1945) menunjukkan
macam jenis sedimen dasar laut : endapan lumpur, lumpur, endapan pasir dan pasir dengan variasi campuran dari
lumpur, pasir dan lempung. Tekstur sedimen yang kasar ( < 4) terdapat kedalaman (60 - 109 m). Sedimen
dengan tekstur yang cukup baik/halus ( > 4) terdapat pada kedalaman yang lebih dangkal (29 - 54 m).
Tabel 1. Distribusi lokasi tipe sedimen, biomass dan makroorganisme benthic
No

Tipev
Sedimen

Biomass
(.

2 )

Densita
s

(. 2 )

PHI
Benthic
(.

(. 2 )

2 )

6.66

Clayey-silt

0.35

271

271

00

6.42

Silt

2.18

198

132

66

6.50

Silt

2.21

32

308

44

4.02

Silty-sand

4.97

484

484

00

6.20

Silt

0.49

264

264

00

2.42

Sand

1.42

516

264

252

1.16

Sand

1.8

264

110

154

2.40

Silty-sand

2.18

397

176

221

10

1.99

Silty-sand

2.49

319

198

121

11

3.32

Silty-sand

0.57

44

00

44

12

2.07

Sand

1.20

304

78

226

Soft body organism


Hard body organism

dari tabel diatas maka silty-sand masuk kedalam kategori sedimen kasar serta claey-silt dan silt masuk kedalam
sedimen halus.
Kesimpulan
Dapat disiimpulkan bahwa data fauna, flora, jenis sedimen serta kedalaman dari habtat bentchic pada lautan
dapat diakuisis dengan mengungganan SBES dual frekwensi ( 33 dan 210 KHz). Serta pembuktian data tekstur
suatu sedimen dan data fauna makroorganisme dari habitat benthic dapat dilakukan dengan sampling secara
langsung.
Daftar Pustaka
Anderson, J.T., Gregory, R.S., Collins, W.T., 2002. Acoustic classification of marine habitats in coastal
Newfoundland. ICES Journal of Marine Science 59, 156-167.
Ansari, Z.A., Parulekar, A.H., Harkantra, S.N., Ayyappan, N., 1977. Shallow water macrobenthos of the
central west coast of India. Mahasagar-Bulletin National Institute of Oceanography 10, 123-127.
Brown, C.J., Blondel, P., 2009. Guest Editorial: The application of underwater acoustics to seabed
habitat mapping. Applied Acoustics 70, p.1241.
Chakraborty, B., Mahale, V., De Sousa, C., Das, P., 2004. Seafloor classification using echo-waveforms:
A method employing hybrid neural network architecture. IEEE Geoscience and Remote Sensing
Letters 1, 196-200.
De, C., Chakraborty, B., 2009. Acoustic characterization of seafloor sediment employing a hybrid
method of neural network architecture and fuzzy algorithm. IEEE Geoscience and Remote Sensing
Letters 6(4), 743-747.
De Falco, G., Tonielli, R., Martino, G.D., Innangi, S., Simeone, S., Parnum, I.M. 2010. Relationships
between multibeam backscatter, sediment grain size and Posidonia oceanic seagrass distribution.
Continental Shelf Research 30, 1941-1950.
Diaz, R.J., Cutter, G.R., Rhoads, D.C., 1994. The importance of bioturbation to continental slope
sediment structure and benthic processes. Deep-Sea Research II 41, 719-734.
Fernandes, W.A., Chakraborty, B., 2009. Multi-beam backscatter image data processing techniques
employed to EM 1002 system. In: Proceedings of the International Symposium on Ocean
Electronics, Kochi, India, pp. 93-99.
Ferrini, V.L., Flood, R.D., 2006. The effects of fine-scale surface roughness and grain size on 300 kHz
multibeam backscatter intensity in sandy marine sedimentary environments. Marine Geology 228,
153-172.

Anda mungkin juga menyukai