Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di dalam UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) telah disebutkan bahwa pelaksanaan
penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dapat dikuasakan kepada daerah. Walaupun ketentuan ini memungkinkan daerah
turut serta menyelenggarakan hak menguasai oleh Negara atas bumi, air dan
kekayaan alam di dalamnya, tetapi tidak cukup jelas terutama mengenai makna
dikuasakan. Hal ini baru nampak jelas dalam UU No.11 Tahun 1967 (Ketentuan
Ketentuan Pokok Pertambangan/UUPP yang telah diganti dengan UU No.4 tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara). Dalam undang-undang ini
disebutkan :
a. Terhadap bahan galian golongan c pelaksanaan, penguasaan Negara dan
pengaturannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I;
b. Terhadap bahan galian golongan b dapat diserahkan kepada. Pemerintah Daerah
Tingkat I
Pemerintah Daerah Tingkat I. Pemerintah daerah Klungkung pada tahun 2002,
mengambil suatu kebijakan terkait penutupan penambangan galian golongan C. Hal
itu di lakukan karena telah terjadi kerusakan lingkungan yang parah akibat aktivitas
penambangan di tiga lokasi yaitu Desa Gunaksa, Desa Tangkas dan Desa Jumpai.
Kebijakan yang di lakukan oleh pemerintah daerah Klungkung tersebut di tuangkan
dalam bentuk Instruksi Bupati No. 3 Tahun 2002 tentang Penutupan Penambangan
Galian Golongan C. Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan, tepatnya Pasal 2 huruf a menentukan : bahan galian

adalah unsur-unsur kimia mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan


termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam.
Pengertian Galian Golongan C, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
Undang-Undang No.11 Tahun 1967 adalah Golongan bahan galian yang tidak
termasuk sebagai golongan bahan galian strategis (golongan galian A) dan golongan
galian Vital (golongan galian B). Dapat dicontohkan Golongan C adalah bahan yang
tidak dianggap langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak, contohnya garam,
pasir, marmer, batu kapur dan asbes.
Penambangan galian C di Klungkung merupakan aktivitas penggalian pasir.
Kondisi penambangan galian C tersebut sudah sangat memprihatinkan karena dapat
berakibat tenggelamnya Desa Jumpai, Desa Tangkas dan Desa Gunaksa sebab
gulanganya sudah sampai di bawah permukaan laut.1 Meskipun penutupan galian C
berdampak pada kurangnya retribusi terhadap pendapatan daerah, akan tetapi
menurut pemerintah daerah sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Dengan di keluarkannya Instruksi Bupati No.3 Tahun 2002 tentang
Penutupan Penambangan Galian Golongan C, ternyata masih ada sejumlah pengusaha
yang membandel dengan melakukan pelanggaran.2 Untuk itu diperlukan tindakan
represif terhadap oknum-oknum tersebut. Meskipun kebijakan penutupan galian C
tersebut berdampak pada 732 warga lokal terancam kehilangan sumber mata
pencaharian namun upaya penutupan tetap dilakukan. Mengingat kondisi yang sangat
1

www.klungkungkab.go.id, Galian C Ditutup Total, 28 Juli 2004, diakses pada


http://www.klungkungkab.go.id/index.php/baca-berita/4867/Galian-C-Ditutup-Total
2
www.balipost.co.id, Bekas Galian C Gunaksa Berpotensi Mengancam Keselamatan Jiwa,
Senin, 3 November 2003, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/10/23/b10.htm

memprihatinkan terjadi saat musim hujan, lubang-lubang galian tersebut berubah


menjadi danau.3
Ketua Komisi A DPRD Klungkung saat itu, Drs. I Wayan Mastra, mengkritisi
kebijakan pemerintah oleh karena Instruksi Bupati No.3 Tahun 2002 dikeluarkan 24
Desember 2002, namun sosialisasi baru dilakukan 14 Januari 2003. Sedangkan
lokasi galian C harus sudah bebas alat berat paling lambat 1 Februari 2003, sehingga
wajar bila pengusaha kelabakan.4
Mengingat masih banyaknya pengusaha yang melanggar Instruksi Bupati
tersebut, maka diterbitkan lagi Instruksi Bupati Klungkung No.14 Tahun 2003
tentang Zona Pelarangan Penggunaan Alat Berat di Alur Sungai Undah Desa
Tangkas, Cek Dam, dan Sempadan Pantai.5 Hal ini di karenakan pula pengawasan
Satpol PP yang kurang Optimal.

1.2. Rumusan Masalah


Dari uraian yang telah dideskripsikan pada halaman sebelumnya, maka dapat
dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perspektif galian C ditinjau dari asas-asas hukum lingkungan?
2. Bagaimana kajian Galian C di tinjau dari peraturan yang ada?

Ibid
www.balipost.co.id, Deadline Penutupan Alat Berat Molor Bupati Klungkung Tidak
Pede, Kamis 16 Januari 2003, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/16/b1.htm
5
www.balipost.co.id, Fraksi PDIP Pertanyakan Peran Satpol PP, Kamis 23 oktober 2003,
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/10/23/b10.htm
4

1.3. Landasan Teoritis


Terkait dengan permasalahan Kerusakan Lingkungan hidup akibat penambangan
galian C yang dikaji dalam paper ini, maka teori-teori, konsep-konsep, dan asas-asas
serta pandangan para sarjana yang relevan dengan kajian tersebut diantaranya;
1. Teori Kewenangan
Relevansi teori ini dengan obyek penelitian, bahwa kewenangan atau wewenang
berkaitan dengan kekuasaan/legal yaitu yang bersumber dari ketentuan-ketentuan
hukum, dan kewenangan selalu berkenaan dengan hukum publik. Hal ini terkait
pula dengan kewenangan pemerintah Daerah dalam pemberian izin.
Terkait pengertian kewenangan, Indroharto6 mengemukakan Dalam arti
yuridis wewenang dapat dilukiskan sebagai suatu kemampuan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibatakibat hukum. Tentu apabila dikaitkan dengan salah satu tindakan hukum
pemerintah (rechthandelingen), yakni dalam mengeluarkan ijin.
Sedangkan mengenai sumber kewenangan dalam membuat keputusan
menurut Philipus M. Hadjon7 dapat diperoleh melalui dua cara yaitu atribusi atau
dengan dengan delegasi. Kita berbicara tentang atribusi dalam hal ada pemberian
suatu kewenangan yang baru. Kita berbicara tentang delegasi, dalam hal ada
6

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang PTUN, Pustaka Sinar Harapan,


Jakarta, 1991, h. 68
7
Philipus M. Hadjon et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University
Press, cetakan pertama, 1993, h.128

pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada. Dengan demikian atribusi


dan delegasi merupakan alat pembantu untuk memeriksa suatu badan memiliki
atau tidak memiliki kewenangan.
Dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau
pengalihtanganan kewenangan.8

Dalam kaitannya dengan urusan

wajib

pengendalian lingkungan hidup, Pemerintah Kabupaten Klungkung memiliki


kewenangan atribusi sebagaimana diatur secara yuridis dalam pasal 14 ayat (1)
pada huruf J Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemberian kewenangan terhadap daerah, dalam pengendalian lingkungan hidup.
2. Konsep Negara Hukum
Secara konstitusional Indonesia meruapakan negara hukum, sebagaimana
tertuang dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Adapun pandangan sarjana yang mengemukakan konsep negara
hukum dengan mengeksplanasikan unsur-unsurnya sebagai berikut:
Friedrich Julius Stahl mengemukakan Konsep Negara Hukum (Rechtstaat),
diantaranya;
1. Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang (Legalitas)
2. Perlindungan HAM,
3. Pemisahan Kekuasaan,
8

ibid

4. adanya peradilan administrasi9.


Sedangkan konsep negara hukum pada penganut konsep Rule of Law
yang digunakan oleh sistem hukum Anglo Saxon. Hal tersebut tertuang pada
pemikiran A.V Dicey mengenai unsur-unsur konsep Rule of law, yakni;
-

Supremasi Hukum

Equality Before the Law

Perlindungan HAM 10
Dari paparan kedua sarjana tersebut diatas, dua hal persamaan yang dapat

ditarik benang merah yakni asas legalitas dan perlindungan HAM. Sehingga yang
terkait dengan persoalan dalam paper ini adalah terkait asas legalitas dan
perlindungan HAM. Secara normatif mengenai konsep HAM, dalam pasal 1
angka 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, menentukan; Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Hak atas mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat secara
normatif terdapat dalam pasal 28 H ayat (1) Undang-undang Dasar Negara

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1993, h.28

10

Subawa et.all, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan, Denpasar,

2005, h. 56

Republik Indonesia tahun 1945 dan pasal 9 ayat (3) Undang-undang No. 39 tahun
1999 tentang HAM.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asas-asas dalam Undang-Undang Hukum Lingkungan dikaitkan dengan


pertambangan galian C Klungkung.
Perlindungan masyarakat khususnya di Desa Gunaksa, Desa Tangkas, dan
Desa Jumpai, merupakan bentuk jaminan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM)
oleh pemerintah daerah Klungkung. Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI
Tahun 1945 menentukan Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Ketentuan Pasal tersebut memberikan jaminan
bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
Pemberian izin terhadap aktivitas penambangan galian C pada 3 Desa itu, oleh
pemerintah daerah Klungkung sebelum terbitnya Instruksi Bupati No. 3 Tahun 2002
tentang Penutupan Penambangan Galian Golongan C, yang berdampak pada
kerusakan lingkungan hidup. Oleh karenanya pihak pemerintah daerah saat itu telah
melanggar HAM masyarakat setempat untuk memperoleh lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Pasal 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menentukan; Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
8

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.

tanggung jawab negara;


kelestarian dan keberlanjutan;
keserasian dan keseimbangan;
keterpaduan;
manfaat;
kehati-hatian;
keadilan;
ekoregion;
keanekaragaman hayati;
pencemar membayar;
partisipatif;
kearifan lokal;
tata kelola pemerintahan yang baik; dan
otonomi daerah.

Dalam bagian penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 menjelaskan


asas tanggung jawab negara adalah:
a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik
generasi masa kini maupun generasi masa depan.
b. negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
c. negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Kemudian asas kelestarian dan keberlanjutan adalah bahwa setiap orang
memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung
ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Asas keserasian dan
keseimbangan adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan
berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta
pelestarian ekosistem.

Asas keterpaduan adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai
komponen terkait. Sedangkan asas manfaat adalah bahwa segala usaha dan/atau
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya
alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat
manusia selaras dengan lingkungannya. Untuk asas kehati-hatian adalah bahwa
ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda
langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap Pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Asas keadilan adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik
lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender. Yang dimaksud dengan asas
ekoregion adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya
masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Asas keanekaragaman hayati adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu
untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam
hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang
bersama dengan unsure nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk
ekosistem.

10

Asas pencemar membayar adalah bahwa setiap penanggung jawab yang


usaha

dan/atau

kegiatannya

menimbulkan

pencemaran

dan/atau

kerusakan

lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. Yang dimaksud


dengan asas partisipatif adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk
berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Asas kearifan lokal adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat. Asas tata kelola pemerintahan yang baik adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. Yang dimaksud dengan asas
otonomi daerah adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari 14 asas tersebut terdapat 11 asas yang dapat di jadikan alasan kritis untuk
mengkaji pemberian ijin yang diberikan oleh pemerintah daerah Klungkung terhadap
pertambangan galian C. Asas-Asas tersebut diantaranya :
a. Asas tanggung jawab negara
Hal ini di karenakan pemberian ijin pertambangan galian C oleh pemerintah
daerah tidak memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan
mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Selain itu
11

tidak adanya jaminan hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Akibat timbulnya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
b. Asas kelestarian dan berkelanjutan
Hal ini dikarenakan kebijakan pemberian ijin bertentangan upaya pelestarian
ekosistem dan lingkungan hidup demi generasi mendatang.
c. Asas keserasian dan keseimbangan
bahwa kebijakan pemberian ijin terhadap pertambangan galian C hanya lebih
mengutamakan kepentingan ekonomi dalam peningkatan pendapatan asli daerah
(PAD) kabupaten Klungkung. Sebagaimana di kutip dalam www.balipost.co.id
pendapatan dari pertambangan galian C sebesar 11% dari total PAD.11
d. Asas manfaat
meskipun pertambanga galian C dapat meningkatan kesejahteraan masyarakat
dan terbukti dari 732 orang yang mendapatkan pekerjaan. Tetapi tidak selaras dengan
lingkungannya yang rusak.
e. Asas kehati-hatian
pemerintah daerah kabupaten Klungkung tidak cermat dalam mengeluarkan
kebijakan yang membolehkan usaha pertambangan galian C.
f. Asas keadilan
bahwa kebijakan pertambangan galian C ini hanya menguntungkan pihak
pengusaha tanpa memperhatikan keadlian bagi masyarakat setempat.

11

loc.cit, www.balipost.co.id, Bekas Galian C Gunaksa Berpotensi Mengancam Keselamatan Jiwa

12

g. Asas ekoregion
bahwa kebijakan pertambangan galian C, kurang memperhatikan karakteristik
sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan
kearifan lokal.
h. Asas pencemar membayar
bahwa kebijakan pertambangan galian C, yang di timbulkan oleh pemerintah
berdampak pada kerusakan lingkungan maka pengusaha penambang maupun
pemerintah daerah wajib untuk memulihkan lingkungan terserbut.
i. Asas kearifan lokal
bahwa kebijakan tersebut berdampak pada kerusakan alam, yang mana alam
merupakan nilai-nilai luhur bagi masyarakat Bali dengan falsafah Tri Hita Karana
j. Asas tata kelola pemerintahan yang baik
bahwa kebijakan tersebut tidak dijiwai oleh prinsip transparansi yang
berdampak merusak lingkungan masyarakat setempat.
k. Asas otonomi daerah
bahwa pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan
tidak memperhatikan keragaman lingkungan dsekitar daerah pertambangan.
2.2

Kajian Tentang Pengaturan Pengelolaan Pertambangan Galian C.


Sebagai sumber hukum tertinggi dalam melakukan pengelolaan dan

pengusahaan terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia adalah Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945. Di dalam pasal tersebut diirumuskan bahwa Bumi dan air dan

13

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mengenai rumusan di muka tidak
pernah ada penjelasan atau kejelasan resmi tentang makna dikuasai oleh negara
Namun satu hal yang telah disepakati bahwa dikuasai oleh negara tidak sama dengan
dimiliki negara. Kesepakatan ini bertalian dengan atau suatu bentuk reaksi dari
system atau konsep domein yang dipergunakan pada masa kolonial

Hindia

Belanda.
Konsep atau lebih dikenal dengan asas domein , mengandung pengertian
kepemilikan (ownership). Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu memiliki
segala wewenang melakukan tindakan yang bersifat kepemilikan (eigensdaad). 12
UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria (UUPA) merumuskan
makna hak menguasai negara sebagai wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang agkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai bumi, air dan
ruang angkasa. 13
Selanjutnya disebutkan wewenang menguasai tersebut digunakan untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah dan masyarakat hukum adat.14 Dalam penjelasan umum lebih ditegaskan
bahwa negara tidak memiliki , melainkan bertindak selaku pemegang kekuasaan. Jadi
bersifat publik atau kepemerintahan belaka (bestuursdaad). Yang seringkali dilupakan
12

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta : Pusat Studi Hukum UII, 2004),
hlm.230.
13
UU No.5 Tahun 1960 Pasal 2 Ayat (2).
14
Ibid , Ayat (3) dan Ayat (4).

14

adalah tujuan dari dikuasai Negara. Baik dalam UUD 1945 maupun UUPA
ditegaskan bahwa hak menguasai oleh Negara adalah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Berdasarkan tujuan tersebut, setidak-tidaknya ada laranganlarangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu :
a. Apabila dengan itikad baik tanah-tanah telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh
rakyat, maka kenyataan itu harus dihormati dan dilindungi. Keberadaan rakyat di
tanah-tanah tersebut merupakan salah satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran
rakyat. Rakyat harus mendapat hak didahulukan dari pada occupant baru yang
menyalahgunakan formalitas-formalitas hukum yang berlaku;
b. Tanah yang dikuasai Negara tetapi telah dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik
(ter geode trouw) hanya dapat dicabut atau diasingkan dari mereka, semata-mata
untuk kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan sosial dan atau kepentingan
Negara;15
c. Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau hubungan konkrit yang
diduduki atau dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik, harus dijamin tidak akan
menurunkan status atau kualitas hidup mereka karena hubungan mereka dengan
tanah tersebut.
Berdasarkan logika di atas, maka semestinya makna dikuasai oleh Negara
mengandung arti :
1. Hak (Negara) itu harus dilihat sebagai antitesis dari asas domein yang memberi
wewenang kepada Negara untuk melakukan tindakan kepemilikan yang
bertentangan dengan asas kepunyaan menurut adat istiadat. Hak kepunyaan
didasarkan pada asas komunal dan penguasa hanya sebagai pengatur belaka;
2. Hak menguasai oleh Negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan yaitu demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara harus memberikan hak terdahulu

15

kepada rakyat yang telah secara nyata dan dengan itikad baik memanfaatkan
tanah.
Bahan galian tambang merupakan salah satu kekayaan yang terkandung dalam
bumi dan dalam air. Dalam bumi diartikan sebagai dipermukaan atau dibawah bumi.
Di dalam air diartikan berada di bawah air yaitu di atas atau di bawah bumi yang
berair (sungai, danau, laut , rawa). Bahan galian tambang untuk sebagian didapati di
atas permukaan bumi atau bagian permukaan bumi yang berada di bawah air. Oleh
karena itu pengertian bahan galian harus diartikan baik yang diperoleh dengan
menggali maupun dengan cara-cara mengambil di bagian permukaan bumi termasuk
permukaan bumi yang ada di bawah air.

a. OTONOMI DAERAH DAN PENGUASAAN DAERAH ATAS BAHAN


GALIAN
Menurut UU No.11 Tahun 1967 (Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan/UUPP
yang telah diganti dengan UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara). Dalam undang-undang ini disebutkan :
a. Terhadap bahan galian golongan c pelaksanaan, penguasaan Negara dan
pengaturannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I;
b. Terhadap bahan galian golongan b dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah
Tingkat I.
Ketentuan di atas menunjukkan :
(1) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian golongan c sepenuhnya
diserahkan kepada daerah (dalam hal ini Daerah Tingkat I);

16

(2) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian golongan b dapat


dilakukan pusat atau daerah. Wewenang daerah tergantung pada kebijakan pusat.
Bagaimanakah keadaan setelah ada UU No.32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah ? Sejak berlakunya undangundang tersebut, pemberian otonomi kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota
secara luas (penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004) telah dipersepsikan secara
keliru bahwa semua kewenangan pertambangan secara otomatis menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Dalam konteks otonomi daerah, tidak serta merta kewenangan
dan urusan pertambangan dapat diserahkan seluruhnya kepada pemerintah daerah
secara otomatis. Tugas-tugas pengelolaan di bidang pertambangan bukanlah tugas
yang bersifat kedaerahan, sehingga tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah.
Urusan yang dapat diserahkan kepada daerah adalah urusan yang bersifat lokal,
artinya mempunyai nilai yang bersifat kedaerahan, sesuai dengan kondisi daerah dan
tidak menyangkut kepentingan nasional.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 didapati ketentuan sebagai berikut:
(1) Kewenangan

daerah

meliputi

seluruh

kewenangan

bidang

pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan,


keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.

Di dalam Pasal 10 dinyatakan :


Ayat (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
Ayat (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi :

17

a.
b.
c.
d.
e.
f.

politik luar negeri;


pertahanan;
keamanan;
yustisi;
moneter dan fiskal nasional; dan
agama.

Memperhatikan ketentuan di atas, secara a contrario maka pada asasnya


urusan pemerintahan di bidang bahan galian tambang mesti masuk menjadi urusan
rumah tangga daerah. Akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 13, kewenangan
urusan pertambangan bukan merupakan kewenangan wajib yang dilakukan oleh
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Bidang urusan pertambangan
termasuk dalam urusan yang bersifat pilihan , yaitu urusan yang secara nyata ada
dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan

dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu,

kewenangan di bidang pertambangan semestinya dibagi dalam kewenangan yang


bersifat mengatur (regelen), mengurus (besturen) dan mengawasi (toezichthouden).
Dalam konteks penerapan hak penguasaan Negara (HPN) atas bahan galian,
tidak berarti negara sebagai pemilik. Namun apabila dilihat dari hak eksklusif yang
melekat pada negara, maka HPN harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban
negara yang mengandung pengertian bahwa negara diberi kewenangan penuh
(volldige bevoegheid) untuk menentukan kebijaksanaan yang diperlukan semata-mata
dalam bentuk ketiga kewenangan di atas (regelen, besturen, toezichthouden).terhadap
kegiatan pengusahaan pertambangan.
Di sinilah keterkaitan dengan pembentukan kebijakan yang menyangkut
kerjasama pengusahaan di bidang pertambangan di mana paradigma telah berubah
secara tajam. Namun harus tetap melihat karakter lokalitas dari daerah yang
bersangkutan yang menerima kewenangan urusan pertambangan

18

Oleh karena itu pemegang hak milik atas kekayaan alam berupa aneka
ragam bahan galian yang terkandung di dalam bumi dan air di wilayah hukum
(pertambangan) Indonesia adalah hak milik bangsa Indonesia (mineral right). Bangsa
Indonesia sebagai pemilik bahan galian tersebut memberikan kekuasaan kepada
Negara untuk mengatur dan mengurus serta memanfaatkan kekayaan alam tersebut
dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini berarti pula Negara
diberikan hak penguasaan (authority right) atas kekayaan alam milik bangsa
Indonesia, agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemudian untuk penyelenggaraan selanjutnya, mengingat Negara tidak mungkin
menyelenggarakan sendiri, maka HPN ini dilaksanakan oleh pemerintah sebagai
penyelenggara pemerintahan sehari-hari. Jadi pemerintah sebagai pemegang kuasa
pertambangan (KP). Selanjutnya dalam penyelenggaraan atas penguasaan kekayaan
alam tersebut , sesuai dengan kewenangan pemerintah, menurut Soepomo (dikutip
oleh Ismail Suny, 2005), maka melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya dapat
melakukan kerjasama pengusahaan pertambangan dengan pihak lain (investor)
sebagai pelaksana pengusahaan pertambangan (mining right). Konstruksi demikian
dapat digambarkan dalam skema berikut :

19

Dalam pelaksanaannya di era otonomi daerah saat ini, persepsi tentang konsep
penguasaan dan pengusahaan sering bercampur aduk dalam penafsiran yang
salah. Ada pemerintah daerah yang memiliki persepsi bahwa bahan galian atau
sumber daya alam yang terdapat di daerahnya seolah-olah adalah milik rakyat di
daerah tersebut. Padahal seharusnya pengertiaannya adalah dimanapun bahan galian
tersebut berada adalah milik seluruh rakyat Indonesia secara bersama-sama. Hal ini
yang dalam pelaksanaannya akhirnya sering menjadi permasalahan dalam kaitannya
dengan pemberian perijinan di bidang pertambangan.

20

(2) Penerimaan daerah dari penerimaan negara

di sektor pertambangan diperoleh

melalui dana perimbangan,


Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, pembagian
besarnya penerimaan dari sektor pertambangan antara Pemerintah dan pemerintah
daerah adalah :
a. Sektor Pertambangan Umum (iuran tetap/land-rent & iuran eksplorasi dan
eksploitasi/royalty) : pemerintah 20 % dan daerah 80 %.
*) Penerimaan iuran tetap (land-rent) : pemerintah 20 % dan daerah 80 %
(provinsi 16 % dan kabupaten/kota penghasil 64 %)
*) Penerimaan iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty) : pemerintah 20 % dan
daerah 80 % (provinsi 16 %, daerah penghasil 32 % dan 32 % sisanya untuk
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Lihat lebih lanjut Pasal 14 huruf c, Pasal 17 Ayat (1), (2), (3) UU No.33 Tahun
2004.
b. Sektor pertambangan Minyak Bumi : pemerintah 84,5 % dan daerah 15.5 %
(provinsi 3 %, kabupaten/kota penghasil 6 %, 6 % sisanya untuk kabupaten/kota
lainnya yang berada dalam provinsi yang bersangkutan; 0,5 % untuk menambah
anggaran pendidikan dasar)
Lihat lebih lanjut Pasal

14 huruf e, Pasal 19 Ayat (2), Pasal 20 Ayat (1) UU

No.33 Tahun 2004.


c. Sektor pertambangan Gas Bumi : pemerintah 69,5 % dan daerah 30,5 %
(provinsi 6 %, kabupaten/kota penghasil 12 %, 12 % sisanya untuk
kabupaten/kota lainnya yang ada dalam provinsi yang bersangkutan; 0,5 % untuk
menambah anggaran pendidikan dasar).

21

Lihat lebih lanjut Pasal 14 huruf f, Pasal 19 Ayat (3), Pasal 20 Ayat (1) UU
No.33 Tahun 2004.
Berdasarkan deskripsi pembagian atas hasil pertambangan di atas, maka dapat
digarisbawahi bahwa meskipun daerah memiliki kekayaan alam yang melimpah,
tetapi daerah yang bersangkutan tidak bisa menampakkan diri kepada daerah lainnya
sebagai daerah yang kaya. Hal ini dikarenakan undang-undang telah mengatur adanya
pembagian hasil yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam tersebut. Di sisi
lain undang-undang telah menempatkan posisi pemerintah memperoleh pembagian
hasil yang besar. Ini berarti diperlukan adanya campur tangan pemerintah di sektor
pertambangan untuk tujuan kepentingan nasional, sehingga hasil yang diperoleh dari
pengelolaaan sektor pertambangan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia dan
bukan semata-mata oleh daerah yang didapati memiliki kekayaan sumber daya alam.

1. PERGANTIAN UU No.11 TAHUN 1967 (UUPP) OLEH UU N0.4 TAHUN


2009 (UU MINERBA).
Dinamika lingkungan yang berubah, termasuk diterapkannya otonomi daerah
merupakan konteks yang melatarbelakangi lahirnya sejumlah perubahan dalam UU
Minerba yang baru (disahkan pada 12 Januari 2009 dan sebelumnya pada 16
Desember 2008 telah disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah). Jika
dibandingkan dengan UU No.11 Tahun 1967, UU Minerba memang telah memuat
beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang penting diantaranya adalah
dihapuskannya sistem kontrak karya (KK) bagi pengusahaan pertambangan dan
diganti dengan sistem ijin usaha pertambangan (IUP). Namun demikian, meski telah
memuat beberapa perubahan UU Minerba dapat dikatakan masih sangat minim dalam
hal yang berkaitan dengan kejelasan perencanaan, pengelolaan, kebijakan dan strategi
pertambangan nasional yang akan dituju. Dalam banyak aspek, UU Minerba
cenderung masih memuat ketentuan yang bersifat sangat umum sehingga tidak
22

operasional. Indikasi dari hal tersebut , dari 175 pasal yang terdapat dalam UU
Minerba, setidaknya 22 pasal menyebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
pasal ini, akan diatur dengan peraturan pemerintah, dan 3 pasal menyebutkan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal ini, akan diatur dengan peraturan
daerah, provinsi/kabupaten/kota.
Hal tersebut berarti bagaimana nanti implementasi yang lebih pasti dari UU
Minerba ini dan bagimana arah serta gambaran pengelolaan sektor pertambangan ke
depan yang lebih pasti, akan sangat tergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan
pengambil kebijakan pada saat peraturan pemerintah (PP) dan Perda dibuat. Di
samping itu UU Minerba juga mewajibkan pemerintah untuk menetapkan tata ruang
nasional wilayah pertambangan dengan ditunjang data geologis secara tepat. Ini
berarti sejauh penetapan itu belum dilakukan, maka tidak boleh ada pengeluaran ijin
penambangan oleh pemerintah daerah sehingga bisa terjadi moratorium

(jeda)

tambang sampai ditetapkan tata ruang nasional pertambangan.


Implementasi UU Minerba juga tidak berdiri sendiri tetapi harus dikaitkan
dengan undang-undang lainnya seperti UU Kehutanan dan UU Lingkungan hidup
yang

berlaku.

Penerapan

undang-undang

lainnya

terkait

dengan

masalah

perlindungan masyarakat korban yang terkena dampak usaha tambang. Berikut ini
akan diperbandingkan sisi perubahan yang terkandung dalam undang-undang baru.
TABEL 1
Perbandingan UU No.11/1967 dan UU No.4/2009
No

Materi Pokok

UU No.11 Tahun 1967

UU No.4 Tahun 2009

Judul

Ketentuan Ketentuan Pokok


Pertambangan

Pertambangan Mineral dan


Batubara

Prinsip Hak Pengua-

Penguasaan Bahan Galian


diselenggarakan Negara

* Penguasaan Minerba oleh


Negara, diselenggarakan
oleh Pemerintah dan atau

saan Negara/HPN

23

Pemda (Pasal 4)

(Pasal 1)

* Pemerintah dan DPR


menetapkan kebijakan
pengutamaan minerba
bagi kepentingan
nasional (Pasal 5)
3

Penggolongan/Pengelo
mpokan

Penggolongan bahan galian strategis,


vital, bukan strattegis bukan vital
(Pasal 3)

* Pengelompokan usaha
pertambangan : mineral
dan batubara
* Penggolongan tambang
mineral : radioaktif,
logam, bukan logam,
batuan (Pasal 34)

Kewenangan
Pengelolaan

* Bahan galian strategis (gol.A) dan


vital (gol.B) oleh Pemerintah

* 21 kewenangan berada di
tangan Pusat

* Bahan galian non strategis non vital


(gol C) oleh Pemda Tkt.I /Provinsi
(Pasal 4)

* 14 kewenangan berada di
tangan provinsi
* 12 kewenangan berada di
tangan kabupaten/kota
(Pasal 6-8)

Wilayah Pertambangan

Secara terinci tidak diatur, kecuali


bahwa usaha pertambangan tidak
berlokasi di tempat suci, kuburan,
bangunan, dll (Pasal 16 ayat 3)

* Wilayah pertambangan
adalah bagian dari tata
ruang nasional,
ditetapkan pemerintah
setelah koordinasi
dengan Pemda dan DPR
(Pasal 10)
* Wilayah pertambangan
tdr : wilayah usaha
pertambangan (WUP),
wilayah pertambangan
rakyat (WPR) dan
wilayah pencadangan
nasional (WPN) Pasal
14 s/d 33

24

Legalitas Usaha

Sistem/Rezim Kontrak (Pasal 10, 15),


terdiri atas :

Sistem/Rezim Perijinan
(Pasal 35), terdiri atas :

* Kontrak Karya (KK)

* Ijin Usaha Pertambangan


(IUP)

* Kuasa Pertambangan (KP)


* Surat Ijin Pertambangan Daerah
(SIPD)
* Surat Ijin Pertambangan Rakyat
(SIPR)
7

Tahapan Usaha

Terdiri 6 tahapan yang


berkonsekuensi pada adanya 6 jenis
kuasa pertambangan : penyelidikan
umum, eksplorasi, eksploitasi,
pengolahan & pemurnian,
pengangkutan, penjualan (Pasal 14)

* Ijin Pertambangan Rakyat


(IPR)
* Ijin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK)
Terdiri 2 tahapan yang
berkonse-kuensi pada
adanya 2 tingkatan
perijinan :
* Eksplorasi yang meliputi
: penyelidikan umum,
eksplorasi, studi
kelayakan
* Operasi produksi, yang
meliputi : konstruksi,
penambangan,
pengolahan &
pemurnian,
pengangkutan dan
penjualan (Pasal 36)

Klasifikasi Investor &


Jenis Legalitas Usaha

* Investor Nasional/domestic
(PMDN), berupa : KP, SIPD,
PKP2B

* IUP bagi badan usaha


(PMA/PMDN) ,
koperasi, perseorangan
(Pasal 38)

* Investor Asing (PMA), berupa : KK,


PKP2B
* IPR bagi penduduk local,
koperasi (Pasal 67)
* IUPK, bagi badan usaha
berbadan hukum
Indonesia dengan
prioritas pada
BUMN/BUMD (Pasal

25

75)
9

Kewajiban Pelaku
Usaha

* Kewajiban keuangan bagi Negara :


- KP sesuai aturan yang berlaku :
iuran tetap & royalty (merujuk PP
No.45/2003 Ttg PNBP DESDM)
- KK/PKP2B sesuai kontrak : untuk
KK iuran tetap & royalty; untuk
PKP2B : iuran tetap & DIIPB
(merujuk pada Keppres No.75/1996
Ttg Ketentuan PKP2B)

* Kewajiban keuangan bagi


Negara: pajak dan
PNBP. Tambahan bagi
IUPK pembayaran 10 %
dari keuntungan bersih
* Pemeliharaa lingkungan :
konservasi, reklamasi
(Pasal 96 s/d 100)
* kepentingan nasional :
pengolahan dan
pemurnian di dalam
negeri (Pasal 103-104)

* Minimal, bahkan tdk diatur


kewajiban soal lingku-ngan ,
kemitraan dgn usaha lokal,
pemanfaatan tenaga kerja setempat, * Pemanfaatan tenaga kerja
program pengembangan masyarakat
setempat, partisipasi
pengusaha lokal pada
tahap produksi , program
pengembangan
masyarakat (Pasal 106108)
* Penggunaan perusahaan
jasa pertambangan local
dan/atau nasional (Pasal
124)
10

Pembinaan &
Pengawasan

Terpusat di tangan pemerintah atas


pemegang KK, KP , PKP2B

* Pusat : terhadap provinsi


dan kabupaten/kota terkait
penyeleng-garaan
pengelolaan pertambangan
*
Pust,
provinsi,
kabupaten/kota
sesuai
kewenang-an
terhadp
pemegang IUP dilakukan
* Kabupaten/Kota terhadap
IPR (Pasal 139-142)

26

11

Ketentuan Peralihan
(terkait status hukum
investasi existing

Palal 35 : Semua hak pertambangan Pasal 169, pada saat UU ini


dan KP perusahaan Negara , swasta, mulai berlaku :
badan
lain
atau
perseorangan
berdasarkan peraturan yang ada a. KK & PKP2B yang
telah
ada
sebelum
sebelum saat berlakunya UU ini, tetap
berlakunya
UU
ini
tetap
dijalankan sampai sejauh masa
diberlakukan
sampai
berlakunya, kecuali ada penetapan
jangka
waktu
lain menurut PP yang dikeluarkan
berakhirnya kontrak /
berdasarkan UU ini .
perjanjian
b.

Ketentuan
yang
tercantum dalam pasal
KK
dan
PKP2B
dimaksud disesuaikan
selambat-lambatnya 1
tahun sejak UU ini
diundang-kan , kecuali
mengenai peneri-maan
Negara.

Berdasarkan sejumlah perbedaan di atas, tampak substansi UU No.4 Tahun 2009


berusaha menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan
prinsip kepentingan nasional (national interest) , kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan
berusaha , desentralisasi pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good
mining practies). Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam terjemahannya pada
tingkat konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point maju meski disertai dengan cukup
banyaknya klausul yang masih membutuhkan klarifikasi.
Menguatnya Hak Penguasaan Negara (HPN), termasuk penguasaan SDA,
Pemerintah menyelenggarakan asas tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus dan
mengawasi pengelolaan usaha tambang. Untuk itu dimulai dari perubahan sistem/rezim
kontrak menjadi sistem/rezim perijinan. Dalam sistem/rezim kontrak sebagaimana
diterapkan selama ini berdasarkan UU No.11 Tahun 1967, posisi pemerintah tidak saja
mendua yaitu sebagai regulator dan pihak yang melakukan kontrak, tetapi secara mendasar
juga merendahkan posisi Negara setara (level) kontraktor. Oleh sebab itu implikasi hukum

27

perubahan sistem/rezim dalam undang-undang yang baru (UU Minerba) ini adalah
mengembalikan asas HPN pada posisi secara ketatanegaraan. Hal ini bisa dilihat pada tabel
di bawah ini.
TABEL 2
Perbandingan Sistem /rezim Perijinan Dan Sistem/rezim Kontrak

Subyek
1. Hubungan Hukum

Sistem/rezim Perijinan

Sistem/rezim Kontrak

Bersifat publik, instrumen hukum


Bersifat perdata
administrasi negara

2. Penerapan Hukum

Oleh Pemerintah

3. Pilihan Hukum

Tidak Berlaku Pilihan Hukum Berlaku Pilihan Hukum

4. Akibat Hukum

Sepihak

Kesepakatan Dua Belah Pihak

5.Penyelesaian sengketa

PTUN

Arbitrase

6. Kepastian Hukum

Lebih Terjamin

Kesepakatan Dua Belah Pihak

7. Hak Dan Kewajiban

Hakdan Kewajiban PemerintahHak dan Kewajiban relatif setara


Lebih Besar

Oleh Kedua belah pihak

Antar
Pihak

8. Sumber Hukum

Peraturan Perundang-undanganKontrak/Perjanjian itu sendiri

Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009 (UU Minerba)
dapat dikatakan sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan.
Sebagian ruang bagi peran daerah (provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi
dalam undang-undang ini. Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar

28

pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU No.32 tahun 2004
yang menjadi landasan dalam penyusunan UU No.4 tahun 2009, maka substansi yang
terkandung dalam UU No.4 Thun 2009 menggariskan kewenangan eksklusif
pemerintah (pusat) dalam hal sebagai berikut :
a. Penetapan kebijakan nasional;
b. Pembuatan peraturan perundang-undangan;
c. Penetapan standard, pedoman dan kriteria;
d. Penetapan sistem perijinan pertambangan minerba nasional;
e. Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan Pemda dan
DPR.
Di luar hal-hal tersebut di atas, jenis-jenis kewenangan terutama perijinan antar pusat,
provinsi dan kabupaten/kota bersubstansi sama dan hanya berbeda dalam skala
cakupan wililayah. Sebagai rincian dalam hal pembagian kewenangan antara pusat,
provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat pada table di bawah ini.
TABEL 3
Kewenangan Pengelolaan Minerba
No.
1

Kewenangan Pusat

Kewenangan Provinsi

Kewenangan Kab./Kota

Pemberian
IUP,
pembinaan, penyelesaian
konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan yang berada pada
lintas wilayah provinsi dan
atau wilayah laut lebih dari
12 mil dari garis pantai

Pemberian IUP,
pembinaan, penye-lesaian
konflik masyarakat dan pengawasan usaha
pertambangan pa-da lintas
wilayah kab./kota dan atau
wilayah laut 4 mil sampai
dengan 12 mil

Pemberian IUP dan ijin


pertam-bangan
rakyat
(IPR),
pembinaan,
penyelesaian
konflik
masyarakat
dan
pengawasan
usaha
pertambangan di wilayah
kab/kota
dan
atau
wilayah laut sampai
dengan 4 mil

Pemberian

IUP,

29

pembinaan, penye-lesaian
konflik masyarakat dan pengawasan
usaha
pertambangan yg lokasi
penambangannya berada
pa-da
batas
wilayah
provinsi dan atau wilayah
laut lebih dari 12 mil dari
garis pantai

Pemberian
IUP,
pembinaan, penye-lesaian
konflik masyarakat dan pengawasan
usaha
pertambangan
operasi
produksi yang berdampak
lingkungan langsung lintas
provinsi dan atau dalam
wilayah laut lebih dari 12
mil dari garis pantai.

Pemberian
IUP,
pembinaan, penye-lesaian
konflik masyarakat dan pengawasan
usaha
pertambangan
operasi
produksi yang kegiatannya
berada pada lintas wilayah
kab/kota dan atau wilayah
laut 4 mil sampai dengan
12 mil

Pemberian IUP dan IPR,


pembi-naan,
penyelesaian
konflik
masyarakat
dan
pengawasan
usaha
pertambangan
operasi
produksi
yang
kegiatannya berada di
wilayah kab/kota dan
atau wilayah laut sampai
dengan 4 mil.

Pemberian
IUP,
pembinaan, penye-lesaian
konflik masyarakat dan
pengawasan
usaha
pertambangan
yang
berdampak
lingkungan
lang-sung lintas kab/kota
dan atau wila-yah laut 4
mil sampai dengan 12 mil

dikemukakan beberapa kelemahan/ keku-rangan yang terkandung dalam UU No.4


Tahun 2009 dan mungkin akan menjadi permasalahan dalam implementasinya
sebagai berikut :
1. Dalam penetapan wilayah usaha pertambangan (WUP), kewenangan menetapkan
hanya sampai pada level provinsi sementara kabupaten/kota tidak dilibatkan. Hal
ini jelas berseberangan dengan semangat otonomi daerah (Pasal 15).
2. Pengaturan besarnya luas ijin usaha pertambangan (IUP) dengan penetapan
minimal 5.000 hektar akan bertentangan dengan kebijakan daerah yang memiliki
lahan terbatas (Pasal 52-62).

30

3. Kewenangan melakukan riset bidang pertambangan hanya sampai pada provinsi,


padahal wilayah usaha pertambangan dan bahan tambang ada pada wilayah
kabupaten/kota (Pasal 87)
4. Adanya pengaturan bahwa pemegang ijin usaha pertambangan (IUP) dan ijin usaha
pertambangan khusus (IUPK), dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum
untuk keperluan pertambangan (Pasal 91). Hal ini jelas merugikan masyarakat,
sebab dibebaskannya perusahaan tambang dalam menggunakan sarana publik akan
merugikan masyarakat maupun pemerintah daerah sendiri. Pengoperasian dalam
usaha pertambangan senantiasa menggunakan sarana alat dan transportasi berat
(Pasal 91). Dalam banyak kasus yang terjadi di Kalimantan, 27 % jalan-jalan yang
dilewati oleh trukmengalami rusak berat, belum lagi efek pemakaian jalan tersebut
bisa menimbulkan kecelakaan atau infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Artinya
undang-undang ini memberi ruang terhadap keburukan-keburukan dan yang
menanggung biaya adalah masyarakat local dan APBD.
5.Adanya pengaturan bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan
usaha pertambangan diancam dengan sanksi pidana kurungan paling lama 1 tahun
atau denda paling banyak Rp 100.000.000, jelas akan menghalangi masyarakat
dalam memperjuangkan hak-haknya akibat adanya kegiatan usaha pertambangan
(Pasal 162).
Ha-hal yang dikemukan di atas merupakan contoh dari sekian banyak
kelemahan yang dikandung dalam UU No.4 tahun 2009. Hal yang perlu untuk
diperhatikan adalah bahwa pemberian otonomi

kepada daerah tidak mengalami

distorsi tujuan. Otonomi tidak semata-mata hanya dipersepsikan sebagai kewenangan


saja tetapi juga tanggung jawab yang harus dijalankan. Untuk itu penataan
kelembagaan dan kinerja lembaga

(structure) dalam pemerintahan daerah,

pembenahan regulasi (substance), sebaiknya dilakukan secara terpadu (integrated)


walaupun bertahap (incremental). Di samping itu pemahaman HPN terhadap

31

pertambangan Minerba perlu dijadikan referensi untuk meluruskan primordialisme


dalam menumbuhkan budaya hukum (legal culture) yang mencerminkan NKRI.

2.3

Pemanfaatan Eks. Pertambangan Galian C.

Galian C Gunaksa saat ini oleh pemerintah kabupaten klungkung telah ditutup
melalui peraturan bupati kabupaten klungkung nomor 2 Tahun 2011 tentang rencana
rinci tata ruang kawasan strategis eks pertambangan bahan galian golongan C.
Dengan adanya peraturan bupati tersebut dapat dikatakan kegiatan pertambangan
galian C yang ada di klungkung saat ini sudah tidak diizinkan lagi, dan setiap
kegiatan pertambangan di kawasan tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan
yang illegal. Selanjutnya melalui Peraturan Bupati Nomor 2 Tahun 2011 tentang
rencana rinci tata ruang kawasan strategis eks pertambangan bahan galian golongan c,
kawasan galian C di dorong perkembangannya sebagai kawasan daya tarik wisata
baru yang terintegrasi dan bersinergi dengan kawasan sekitar dan kawasan lainnya di
Bali. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 huruf b Perbub nomor 2 tahun 2011.
Kemudian rencana untuk mewujudkan kawasan daya tarik wisata baru di eks galian
C dalam pasal 2 huruf d diberikan landasan untuk memberikan pedoman penyusunan
Detail Engineering Design bagi beberapa proyek pembangunan fisik dan alat
pengendalian pemanfaatan ruang yang lebih detail dan operasional. Wilayah yang
masuk dalam perencanaan Rencana tata ruang kawasan strategis eks Pertambangan
bahan galian C, yang secara administrasi meliputi 5 (lima) desa, yaitu:
a. Desa Gelgel
b. Desa Tangkas
c. Desa Jumpai
d. Desa sampalan klod
e. Desa Gunaksa

32

Konsep pengembangan Galian C kedepannya dalam Perbub nomor 2 Tahun 2011


telah disebutkan dalam pasal 8 bahwa konsep pengembangan struktur galian c dibagi
menjadi ruang makro dan mikro, untuk konsep pengembangna ruang makro di
kembangkan galian C di kembangkan menjadi , kawasan pelabuhan, estuary dam,
daya tarik wisata alternative di Bali yang terintegrasi.

Sedangkan untuk

pengembawangan kasawan mikro pengembangan kawasan galian C terorientasi


dengan berpedoman pada konsep Tri Hita Karana dan dikembangakan sebagai
kawasan mitigasi bencana sebagai prasyarat pengembangan kawasan berupa
normalisasi sungai. Pengembangan

funsi Eks galian C tersebut dalam

pengembangannya tetatap emmperhatikan keperluan konservasi dan pencegahan


kerusakan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

33

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Bahwa pemberian ijin pertambangan galian C di Desa Gunaksa, Desa
Tangkas dan Desa Jumpai oleh pemerintah daerah Kabupaten Klungkung
bertentangan dengan Pasal 2 UU yakni Asas tanggung jawab negara, Asas
kelestarian dan berkelanjutan, Asas keserasian dan keseimbangan, Asas
manfaat, Asas kehati-hatian, Asas keadilan, Asas ekoregion, Asas pencemar
membayar, Asas kearifan lokal, Asas tata kelola pemerintahan yang baik,
Asas tata kelola pemerintahan yang baik, dan Asas otonomi daerah. Serta
Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Oleh karenanya dari tinjauan konsep negara hukum, maka pemberian ijin
tersebut telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.
2. Dengan adanya peraturan bupati bupati kabupaten klungkung nomor 2 Tahun
2011 tentang rencana rinci tata ruang kawasan strategis eks pertambangan
bahan galian golongan C dapat dikatakan kegiatan pertambangan galian C
yang ada di klungkung saat ini sudah tidak diizinkan lagi, dan setiap kegiatan
pertambangan di kawasan tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang
illegal. Selanjutnya melalui Peraturan Bupati Nomor 2 Tahun 2011 tentang
rencana rinci tata ruang kawasan strategis eks pertambangan bahan galian
golongan c, kawasan galian C di dorong perkembangannya sebagai kawasan
34

daya tarik wisata baru yang terintegrasi dan bersinergi dengan kawasan sekitar
dan kawasan lainnya di Bali.
3.2. Saran
1. Agar tindakan pemerintah daerah Kabupaten Klungkung atau lainnya,
menjadikan asas-asas Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup
sebagai pedoman untuk mengeluarkan kebijakan.
2. Pengelolaan kawasan berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Klungkung
No. 2 Tahun 2011 agar segera ditindaklanjuti dalam proses pemulihan
wilayah eks. Galian C.

35

Daftar Bacaan

Buku Literatur :
Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta.
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Menurut
UUD1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII,
Yogyakarta.
Boedi Harsono, 1995, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan , Isi Dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
De Haan, Paul, 1986, Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, deel 1, KluwerDeventer.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang PTUN, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1991.
Pound, Roscoe, 1966, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University
Press, New Haven.
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1993
Philipus M. Hadjon et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, cetakan pertama, 1993.
Subawa et.all, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan,
Denpasar, 2005.

Internet :
www.klungkungkab.go.id, Galian C Ditutup Total, 28 Juli 2004, diakses pada
http://www.klungkungkab.go.id/index.php/baca-berita/4867/Galian-CDitutup-Total
www.balipost.co.id, Bekas Galian C Gunaksa Berpotensi Mengancam Keselamatan
Jiwa, Senin, 3 November 2003,
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/10/23/b10.htmwww.balipost.co.id,
Deadline Penutupan Alat Berat Molor Bupati Klungkung Tidak Pede,
Kamis
16
Januari
2003,
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/16/b1.htm
www.balipost.co.id, Fraksi PDIP Pertanyakan Peran Satpol PP, Kamis 23 oktober

36

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
UNDANG UNDANG DASAR NKRI 1945
Undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok
Pertambangan
UUndang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah dan Pemeritahan Daerah
Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan Bupati Klungkung No 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Eks Pertambangan Bahan Galian Golongan C

37

Anda mungkin juga menyukai