Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Eksistensi bank sentral di suatu negara yang diatur dalam konstitusi pada
dasarnya menunjukkan pentingnya tugas otoritas di bidang moneter dan dan fungsi
lainnnya dari bank sentral. Sebagai institusi yang mempunyai wewenang untuk
mengelola moneter itulah, bank sentral wajar jika diberikan kedudukan yang
independen guna menjaga kredibilitasnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar
kebijakannya tidak dipengaruhi oleh institusi lainnya, agar fungsinya dapat dijalankan
sebagaimana mestinya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Dengan demikian,
tidak ada kepentingan apapun yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan
moneter yang diambil bank sentral atau kebijakan pemerintah/lembaga negara lainnya
tidak dapat mempengaruhi tugas bank sentral.
Di Indonesia, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 (UU BI) Bank Indonesia
berperan sebagai bank sentral yang mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga sistem pembayaran, serta mengatur dan
mengawasi bank (Pasal 8 UU BI).
Apabila dilihat dari kedudukannya di UUD 1945 Amandemen ke IV dan UU
BI, Bank Indonesia setara dengan lembaga negara dan berstatus badan hukum publik.
Dalam kedudukannya sebagai bank sentral, Bank Indonesia harus melepaskan fungsi
komersialnya seperti pelayanan jasa perbankan. Dilepaskannya pelayanan jasa
perbankan Bank Indonesia dimaksudkan agar bank sentral dapat berkonsentrasi pada
upaya menjaga stabilitas moneter dan memperkuat cadangan devisa negara. Dengan
dasar pemahaman tersebut, kebijakan dan tindakan Bank Indonesia dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan
penguatan ekonomi nasional. Dengan kata lain, kebijakan dan tindakan Bank
Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sama sekali tidak dapat
dikatagorikan sebagai tindakan komersial atau upaya memperoleh laba sebagai
layaknya subyek pajak.
Apabila mendasarkan pada Pasal 8 UU BI, ketiga tugas Bank Indonesia
tersebut harus dijalankan dan dilakukan dengan proses dan mekanisme yang tersistem
serta terbebas dari pengaruh manapun. Tugas sedemikian strategis dan penting
1

tersebut selayaknya dilakukan secara independen karena menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kebijakan nasional yang akan sangat mempengaruhi sistem
perekonomian nasional secara keseluruhan. Oleh sebab itu, kebijakan dan tujuan Bank
Indonesia yang diarahkan pada penguatan sektor moneter membutuhkan konsentrasi
yang tinggi agar stabilitas ekonomi yang bertumpu pada fundamental moneter yang
sehat tetap terjaga. Oleh sebab itu, Pemerintah dan lembaga negara manapun tidak
dapat mendistigmasi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan untuk mencapai
tujuannya, dengan kebijakan yang dibentuk oleh Bank Indonesia itu sendiri. Misalnya,
Pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal yang cenderung memperlemah tujuan
Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya, yang pada dasarnya juga merupakan
sebagian tugas negara.
Dalam konteks ini, semua lembaga negara perlu mendudukkan kebijakan
Bank Indonesia yang dijalankannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
kebijakan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, kebijakan lembaga negara dan peraturan
perundang-undangan tidak dapat mengesampingkan kebijakan dan peraturan
perundangundangan yang memungkinkan Bank Indonesia untuk secara konsisten dan
konsentrasi mencapai tujuannya mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Dengan pemahaman tersebut, jelas menegaskan Bank Indonesia dalam
mengambil kebijakan bidang moneter tidak dilaksanakan menurut kehendak dan
pertimbangan diri sendiri. Akan tetapi, segala tindakan dan kebijakan dalam urusan ini
bersandarkan pada pertimbangan makro-ekonomi. Dengan demikian, independensi
dalam menjalankan kebijakan tersebut sangat penting bagi Bank Indonesia untuk
memulihkan perekonomian secara keseluruhan. Hal ini mengingat Bank Indonesia
diberikan tugas yang tidak ringan dalam menjaga stabilitas makro perekonomian
nasional.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah kedudukan keuangan negara dalam bank Indonesia ?
2. Bagaimanakah sifat hukum keuangan dalam bank Indonesia ?
I.3. METODE PENULISAN
Dalam penyusunan paper ini penulis menggunakan metode penulisan studi
kepustakaan dengan menggunakan literatur-literatur yang tersedia sebagai bahan
acuan
2

BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Kedudukan Keuangan Negara dalam Bank Indonesia


Kedudukan keuangan

dalam Bank Indonesia tetap merupakan keuangan

negara. Konsepsi ini dapat dilihat dari kedudukan keuangan negara dalam Bank
Indonesia yang modalnyaberasal dari negara. Namun, berdasarkan aspek pengelolaan
dan pertanggungjawabannya, ada perbedaan mendasar pada risiko yang ditanamkan
oleh negara dalam Bank Indonesia. Dengan pembedaan ini, dapat terlihat kedudukan
keuangan negara dalam permodalan Bank Indonesia yang digunakan untuk
menghadapi risiko yang kemungkinan muncul dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang Bank Indonesia. Perlu dipahami penanaman modal negara mengandung
makna pemerintah menyisihkan kekayaan negara untuk menambah dan memperkuat
struktur permodalan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Konsekuensi logis adanya modal negara pada Bank Indonesia, pemerintah
sebagai representasi negara harus ikut menjaga agar Bank Indonesia tetap mempunyai
struktur modal yang kuat dan didukung dengan cadangan umum

yang mampu

menanggung risiko yang kemungkinan muncul dalam pelaksanaan tugas dan


wewenang Bank Indonesia. Dalam menanggung risiko tersebut, posisi Bank Indonesia
harus kuat dalam menjaga cadangan umumnya, sehingga menjadi kewajiban
pemerintah dalam turut menjaga posisi cadangan umum Bank Indonesia tetap pada
upayanya menjaga kestabilan perekonomian secara keseluruhan.
Dalam hal ini, pemerintah saat berhadapan dengan Bank Indonesia harus
memposisikan diri sebagai badan hukum publik yang harus mendukung Bank
Indonesia dalam menanggung risiko yang kemungkinan terjadi dalam pelaksanaan
tugas dan wewenangnya. Tugas dan wewenang Bank Indonesia tidak akan dapat
optimal

dan

maksimal

dijalankan

oleh

Bank

Indonesia,

jika

pemerintah

mengesampingkan prinsip pembedaan mendasar antara Bank Indonesia sebagai badan


hukum publik dengan bank umum sebagai badan hukum privat.
Sebagai konsekuensi logis dari adanya pembedaan tersebut, proses
penanaman modal tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang antara pemerintah dan
DPR dalam rangka mewujudkan Bank Indonesia yang kuat dalam menjalankan
fungsinya. Dalam proses penanaman modal tersebut, pemerintah menyatakan
3

persetujuannya untuk melakukan kewajiban yang tertera dalam Pasal 6 UU BI


tersebut. Dengan ketentuan jika modal Bank Indonesia berkurang, ada penegasan
pemerintah harus segera menutup kekurangan tersebut sesuai dengan jumlah
kekurangan yang ada, setelah mendapatkan persetujuan DPR.
Dibebankannya tanggung jawab pemenuhan modal Bank Indonesia dan
penutupan kekurangan modal Bank Indonesia kepada pemerintah disebabkan
kewenangan pengelolaan keuangan negara berada pada pemerintah sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Oleh sebab kewenangan itulah, tindakan menutup kekurangan
modal Bank Indonesia maupun menerima kelebihan surplus kegiatan Bank Indonesia
harus dipandang sebagai bagian dari kekuasaan pengelolaan keuangan negara.
Dengan demikian, kewenangan itu berada pada lingkup kewenangan publik serta
diambil berdasarkan pertimbangan agar pemenuhan kecukupan dana modal Bank
Indonesia dari kewajiban moneter tetap tercapai.
Oleh sebab itu, menjadi sangat jelas pemenuhan kecukupan modal Bank
Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai representasi negara agar
mewujudkan Bank Indonesia yang

kuat. Dengan mendasarkan pada pentingnya

kekuatan kecukupan dana tersebut, pemerintah dan DPR menyepakati surplus hasil
kegiatan Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan, sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 62 ayat (4) UU BI. Penetapan tidak kena pajak terhadap surplus Bank
Indonesia selain merupakan salah satu bentuk kebijakan jaminan pemerintah dan DPR
sebagai garansi politik (political guarantee) agar Bank Indonesia dapat menjalankan
tugas dan kewenangannya dengan baik. Hal ini secara integral merupakan fungsi dan
tanggung jawab pemerintah dan DPR dalam menjamin integritas Bank Indonesia
dalam menjaga perekonomian nasional.
II.1.1. Bank Indonesia sebagai Badan Hukum Publik
Dalam tatanan hukum saat ini, terdapat dua jenis badan hukum, ditinjau dari
sudut hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai subyek hukum, yaitu badan hukum
publik dan badan hukum perdata. Badan hukum publik dalam melakukan haknya
mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan publik yang dapat mengikat
umum. Sementara itu, badan hukum perdata tidak mempunyai kewenangan untuk
mengeluarkan kebijakan seperti itu.

Meski tidak dinyatakan atau tidak ada aturan tertulisnya, negara


dikatagorikan sebagai badan hukum publik dengan mensandarkan pada konstitusi.
Sebagai badan hukum publik secara derivatif, negara dapat mendirikan badan hukum
publik lain maupun badan hukum perdata.
UU BI, sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan dalam Pasal 23D
UUD 1945, menetapkan Bank Indonesia sebagai badan hukum (publik) (Pasal 4 ayat
(3)). Dalam hal ini, negara melalui konstitusi memberikan dasar bagi pembentukan
badan hukum publik yang mempunyai kewenangan di bidang moneter, sistem
pembayaran, dan perbankan.
Ada dua pengertian yang terkandung dari penetapan Bank Indonesia sebagai
badan hukum publik, yaitu, pertama, Bank Indonesia mempunyai kewenangan penuh
di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan, dan untuk melaksanakan
kewenangannya tersebut Bank Indonesia dapat membentuk peraturan yang mengikat
umum. Kedua, sebagai badan hukum, Bank Indonesia mempunyai kewenangan dalam
mengelola kekayaannya sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Pembahasan mengenai hubungan Bank Indonesia dan pemerintah setelah
berlakunya UU BI tidak lagi menempatkan Bank Indonesia sebagai bagian dari
lembaga yang setingkat dengan departemen pemerintahan. Kedudukannya sebagai
lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau
pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU BI. Campur
tangan yang dimaksud dalam UU BI adalah sebatas pada pengangkatan dan pemilihan
anggota Dewan Gubernur yang membutuhkan peran presiden dan DPR.
Mengenai hubungan dengan pemerintah, Bank Indonesia berposisi sebagai
pemegang kas pemerintah. Dalam hal ini Bank Indonesia menatausahakan rekening
yang dimiliki oleh pemerintah. Di samping itu, Bank Indonesia untuk dan atas nama
pemerintah menerima pinjaman luar negeri. Penerimaan pinjaman luar negeri
dilakukan Bank Indonesia dengan konsekuensi Bank Indonesia menatausahakan dan
menyelesaikan tagihan dan kewajiban pemerintah tersebut. Hal ini dilakukan
berdasarkan perjanjian yang telah dilakukan pemerintah dan pemberi pinjaman.
Dalam hal kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian, khususnya
perbankan dan keuangan yang terkait erat dengan tugas Bank Indonesia, pemerintah
harus mengundang Bank Indonesia pada saat sidang kabinet yang mengambil
kebijakan tersebut. Kehadiran Gubernur Bank Indonesia dalam sidang kabinet bukan
5

berarti masuknya kembali posisi Gubernur Bank Indonesia dalam kabinet


pemerintahan. Akan tetapi, lebih bersifat konsultatif di mana Gubernur Bank
Indonesia diberikan kesempatan memberikan pandangan dan pendapat mengenai
kebijakan perekonomian yang akan diambil pemerintah, yang akan terkait erat dengan
tugas dan wewenang Bank Indonesia.
Selanjutnya, dalam hal pengajuan Rancangan APBN, Bank Indonesia juga
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah. Pemerintah harus
memperhatikan sungguh-sungguh pertimbangan Bank Indonesia yang biasanya
dirumuskan dalam berbagai analisis moneter guna mendukung pelaksanaan APBN.
Pemberian pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan Rancangan
APBN merupakan bagian yang penting dalam rangka pelaksanaan APBN jika
disahkan DPR. Sementara itu, dalam hal penerbitan surat utang negara, Pemerintah
juga harus berkonsultasi dahulu dengan Bank Indonesia. Konsultasi ini diperlukan
agar, penerbitan surat utang negara tepat waktu dan tidak berakibat negatif terhadap
kebijakan moneter, sehingga pelaksanaan penjualan surat utang tersebut dapat
dilakukan dengan

persyaratan yang dapat diterima pasar serta menguntungkan

pemerintah.
Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan pendapat Bank
Indonesia, khususnya dalam rangka menjaga stabilitas moneter Indonesia.
Berdasarkan UU BI tersebut dapat terlihat hubungan Bank Indonesia dan Pemerintah
lebih bersifat konsultatif, dan tidak bersifat subordinatif. Hal demikian menunjukkan
independensi Bank Indonesia dalam dua hal pokok, yaitu pertama, bank sentral harus
bebas untuk memutuskan cara mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Kedua,
keputusan yang diambil itu harus merupakan hal yang sulit bagi bagian dari
pemerintahan untuk mempengaruhinya.
Dengan dasar hubungan dengan Pemerintah yang bersifat konsultatif, Bank
Indonesia akan terlepas dari kontrol dan pengaruh lembaga lain yang berupaya
menekannya dalam pengambilan keputusan. Namun, sifat independensi tersebut tidak
melepaskan tanggung jawab Bank Indonesia dalam menjalankan kinerjanya kepada
DPR. Hakikat yang diperoleh dari independensi Bank Indonesia adalah dimilikinya
kekuatan, kedaulatan, dan kekuasaan untuk merumuskan serta melaksanakan
kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan perbankan.

II.2. Sifat Hukum Keuangan dalam Bank Indonesia


Sebagai badan hukum, Bank Indonesia mempunyai kekayaan sendiri.
Berdasarkan Pasal 6 UU BI, modal Bank Indonesia ditetapkan berjumlah sekurangkurangnya Rp. 2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah). Modal tersebut harus
ditambah, sehingga menjadi paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh
kewajiban moneter, dengan dana yang berasal dari cadangan umum atau dari hasil
revaluasi aset.
Modal Bank Indonesia tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan
yang diperoleh dari penjumlahan dari modal, cadangan umum, cadangan tujuan dan
bagian dari laba yang belum dibagi menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968.
Sebagai kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN, terjadi pengalihan keuangan
negara ke Bank Indonesia selaku badan hukum publik. Dengan demikian, kekayaan
negara tersebut tidak lagi menjadi kewenangan negara untuk mengelolanya (dengan
kata lain tidak lagi termasuk dalam APBN), tetapi sudah menjadi kekayaan Bank
Indonesia dan menjadi kewenangan Bank Indonesia untuk mengelolanya. Sebagai
contoh, apabila Bank Indonesia melakukan pinjaman untuk memperkuat posisi neraca
pembayaran, kewajiban pengembalian utang tersebut menjadi tanggung jawab Bank
Indonesia.
Baik cadangan umum maupun cadangan tujuan berasal dari sebagian surplus
Bank Indonesia. Adapun yang membedakannya hanyalah tujuan penggunaannya.
Cadangan umum dipergunakan untuk menambah modal atau menutup defisit Bank
Indonesia. Sementara itu, cadangan tujuan dipergunakan, antara lain, untuk biaya
penggantian dan atau pembaruan harta tetap, pengadaan perlengkapan yang
diperlukan, dan pengembangan organisasi dan sumber daya manusia dalam
melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia serta penyertaan yang diperlukan
dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Surplus Bank Indonesia yang dimasukkan
sebagai cadangan tujuan adalah sebesar 30% (sepanjang tidak terjadi penyusutan
modal (kurang dari yang ditetapkan). Sementara itu, sisanya digunakan secara
bertahap untuk menambah cadangan umum. Apabila masih terdapat sisa lebih baru
diserahkan kepada pemerintah. Berarti surplus Bank Indonesia dimanfaatkan sebagai
cadangan untuk menutup defisit Bank Indonesia, bukan merupakan surplus yang
menambah kekayaan atau menambah kemampuan ekonomis maupun memupuk laba
Bank Indonesia.

Dengan demikian, dilihat dari fungsinya, secara yuridis dan makroekonomi,


Bank Indonesia sama halnya dengan negara tepat dikatagorikan sebagai badan hukum
nirlaba di mana surplus yang diperoleh tidak digunakan untuk menambah
kemampuan ekonomi. Akan tetapi, semata-mata digunakan untuk memperkuat
cadangan devisa negara dan dalam rangka mencapai, menjaga, dan memelihara
kestabilan nilai rupiah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU BI.
Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan (sustainable development) serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Jika dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya modal Bank Indonesia
mengalami penyusutan kurang dari yang ditetapkan, penutupan penyusutan modal
tersebut harus dilakukan melalui surplus tahun berjalan. Apabila cara tersebut belum
juga dapat menutup penyusutan, Pemerintah wajib menutupnya setelah mendapat
persetujuan DPR. Hal ini mengingat defisit keuangan Bank Indonesia yang
berkelanjutan akan berdampak signifikan terhadap perekonomian negara. Oleh karena
itu baik Bank Indonesia maupun Pemerintah mempunyai kewajiban bersama yang
bersifat komplementer untuk menjaga agar keuangan Bank Indonesia tidak
mengalami defisit. Kewajiban pemerintah tersebut menunjukkan bahwa negara
bertanggung jawab terhadap berkurangnya modal yang dialami Bank Indonesia
sebagai akibat pelaksanaan sebagian fungsi negara dalam bidang moneter.
Namun, di dalam UU BI, pengaturan bahwa surplus Bank Indonesia tidak
dikenakan pajak penghasilan tidak diatur secara tegas. Hal ini berarti ada indikasi
yang mengarah pada kemungkinan pengenaan pajak penghasilan terhadap surplus
Bank Indonesia. Asumsi yang dapat diajukan adalah karena Bank Indonesia
mendapatkan surplus dari kegiatannya. Bahkan pihak pemerintah mendapatkan bunga
dan/atau jasa giro atas dana yang disimpan pada Bank Indonesia. Dengan demikian,
Negara sebagai badan hukum publik pun wajar jika dijadikan objek pajak, meski
merupakan pendapatan negara/daerah. Padahal surplus Bank Indonesia hanya
merupakan dampak ikutan dari kegiatan Bank Indonesia dalam rangka menjaga dan
memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pada dasarnya, wacana pembebanan pajak penghasilan terhadap surplus
Bank Indonesia lebih merupakan upaya dari tindakan yang harus dilakukan
Pemerintah agar defisit APBN dapat dikurangi. Dalam kebijakan tersebut, ada dua
pertimbangan yang menjadikan surplus Bank Indonesia dijadikan obyek pajak
penghasilan, yaitu pertama, jumlah kelebihan (surplus) dalam hasil kegiatan Bank
8

Indonesia kemungkinan besar dapat mengurangi secara siginifikan defisit APBN; dan
kedua, Pemerintah dihadapkan pada keinginan untuk mewujudkan skema kebijakan
perpajakan yang tidak ada lagi obyek pajak yang digratiskan (free rider problem),
yang pada prinsipnya agar menguntungkan kemampuan negara dalam memajak, yang
ternyata justru sebaliknya.
Upaya tersebut dilakukan Pemerintah (Departemen Keuangan) dalam
perubahan konsep obyek perpajakan melalui perubahan UU Perpajakan. Proses
tersebut diikuti dengan pengklasifikasian obyek pajak penghasilan yang ditentukan
dalam rancangan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal ini, penilaian
surplus hasil kegiatan Bank Indonesia yang diklasifikasikan sebagai obyek pajak perlu
penelaahan yang mendalam mengingat statusnya sebagai badan hukum publik yang
dikecualikan sebagai subjek pajak.
Secara yuridis, surplus hasil kegiatan Bank Indonesia tidak dapat
dikatagorikan sebagai obyek pajak mengingat surplus tersebut bukan dimaksudkan
sebagai tambahan kemampuan ekonomis Bank Indonesia. Hal demikian disebabkan
surplus tersebut digunakan untuk 30 persen untuk cadangan tujuan dan sisanya
dipupuk sebagai cadangan umum dalam rangka menjaga fungsi dan wewenang Bank
Indonesia. Dengan demikian, surplus hasil kegiatan Bank Indonesia pada hakikatnya
termasuk ke dalam keuangan negara yang menurut Pasal 2 huruf c UU Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai, penerimaan negara. Surplus Bank
Indonesia merupakan bagian yang akan menjadi penerimaan negara, jika jumlahnya
telah melebihi modal cadangan umum Bank Indonesia.
Dengan demikian, pengenaan pajak penghasilan terhadap surplus Bank
Indonesia akan lebih menjadi tekanan terhadap keuangan negara, khususnya dalam
menjalankan kepentingan umum dibandingkan sebagai stimulasi fiskal dalam APBN.
Dengan dasar demikian, pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia yang juga
merupakan keuangan negara dapat dikatagorikan sebagai biaya administrasi
(administrative price) terhadap keuangan negara, khususnya dalam melaksanakan
kepentingan umum yang dijalankan Bank Indonesia.
Secara teoritis, pengenaan pajak terhadap keuangan negara yang ditujukan
kepentingan umum misalnya surplus Bank Indonesia hanya melahirkan pajak
bayangan (shadow taxes) yang kemungkinan pemanfaatannya kembali untuk
kepentingan umum sangat diragukan optimalisasinya. Dengan kata lain, pengenaan
pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia sebagai bagian dari keuangan
9

negara yang berupa pendapatan negara cenderung kontraproduktif terhadap kebijakan


fiskal secara menyeluruh, mengingat tujuan akhir kebijakan fiskal pada dasarnya
untuk meningkatkan kemampuan negara dalam membangun dan mengusahakan
kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan uraian tersebut, hakikat keuangan dalam Bank Indonesia tetap
merupakan keuangan negara yang diarahkan untuk penyelenggaraan kepentingan
umum. Pemerintah (Departemen Keuangan) perlu memberikan kepastian hukum
terhadap kemampuan memajak agar tidak menganggu komponen keuangan negara
lain di dalamnya. Kekeliruan memahami surplus Bank Indonesia sebagai bagian
integral keuangan negara akan mengakibatkan konsep keuangan negara tidak
mempunyai bentuk hukum yang pasti. Padahal, dengan adanya ketentuan yang pasti
mengenai surplus Bank Indonesia sebagai bagian dari keuangan negara dan
dikecualikan dalam pengenaan pajak penghasilan, akan

mampu mempengaruhi

jaminan keamanan (safety guarantee) dalam sistem perekonomian dan perbankan


nasional.
Dengan demikian, peranan surplus Bank Indonesia tidak saja mempunyai
pengertian normatif yuridis dengan cara memberikan dukungan terhadap tugas dan
wewenang Bank Indonesia, tetapi juga mengandung pengertian sosialekonomis.
Dalam pengertian ini titik berat peranan surplus Bank Indonesia lebih ditekankan
kepada kemanfaatan yang dikembalikan untuk tujuan lain yang sebesarbesarnya untuk
perekonomian nasional dalam koridor upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam kaitannya dengan rekening pemerintah di Bank Indonesia yang
memperoleh bunga, sebenarnya mengindikasikan Bank Indonesia bukanlah subyek
pajak. Asumsi pertama adalah Bank Indonesia telah memberikan penghasilan berupa
penerimaan yang dimasukkan dalam APBN kepada pemerintah dalam bentuk bunga.
Hal ini pada dasarnya sudah tepat mengindikasikan Bank Indonesia bukan sebagai
subyek pajak, karena bunga yang diperoleh maupun pajak adalah penerimaan negara.
Dengan demikian, jika pemerintah sudah memperoleh bunga, tidak dapat lagi
dikenakan pajak. Hal ini disebabkan untuk satu lembaga tidak dapat dikenakan
kewajiban ganda (bunga dan pajak) yang hanya memberatkan kegiatan usahanya.
Asumsi kedua, Bank Indonesia sebagai lembaga nonprofit telah memberikan
keuntungan bagi negara, sehingga negara tidak sepatutnya mengenakan pajak
terhadap lembaga tersebut.

10

II.2.1. Gagasan Arsitektur Keuangan Publik


Mendeskripsikan keuangan publik di Indonesia membutuhkan konsep
arsitektur yang mengandung kepastian hukum dan penghormatan terhadap doktrin
badan hukum. Oleh sebab itu, mendesain arsitektur keuangan publik memerlukan
analisis hukum yang mengandung prinsip kehatihatian yang luar biasa, terutama agar
negara tidak melalaikan kewajibannya, warga masyarakat tidak dirugikan haknya,
serta badan hukum tidak diingkari kedudukannya.
Namun, peraturan perundangundangan dan kebijakan yang mengatur
keuangan publik di Indonesia cenderung mengabaikan doktrin badan hukum.
Akibatnya, konsep keuangan publik menjadi tidak rasional karena peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang mengatur keuangan publik tidak sejalan
dengan teori hukum yang seharusnya. Bahkan, yang sangat memprihatinkan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan keuangan publik tidak mampu mendukung
praktik badan hukum untuk menjalankan hak dan kewajibannya. Dalam konteks
seperti itu, tidak diragukan lagi irasionalitas dalam pengaturan keuangan publik dalam
praktiknya akan merugikan kedudukan hukum setiap badan hukum. Hal demikian
terjadi karena tidak ada batas-batas untuk menentukan keuangan publik tersebut
apakah termasuk keuangan negara, keuangan daerah, keuangan badan usaha milik
negara, keuangan badan usaha milik daerah atau keuangan swasta.
Ketidakmampuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
mengatur keuangan publik untuk menentukan garis batas kepunyaannya (domain
limitative) merupakan pertanda reinkarnasi manajemen keuangan publik tradisional
yang bercirikan rentang kendali yang luas diterapkan di Indonesia. Padahal, sejak
abad ke- 19, kepunyaan badan hukum memiliki ketegasan batasan apakah termasuk
kepunyaan publik (domain public) atau kepunyaan privat (domain prive). Keduanya
tidak mungkin tunduk pada peraturan perundang-undangan yang sama, baik dalam
tata kelola dan tata tanggung jawabnya. Prinsip ini sejalan dengan doktrin badan
hukum yang mensyaratkan kekayaan/keuangan yang terpisah, sehingga badan hukum
tersebut absah sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.
Dengan demikian, sangat jelas dari perspektif hukum, arsitektur keuangan
publik harus sejalan dengan doktrin badan hukum. Kekayaan badan hukum yang lain
tidak dapat diklasifikasikan atau bagian dari milik badan hukum lainnya. Oleh sebab
itu, dalam mendesain arsitektur keuangan publik, keterkaitan antara teori hukum dan
hukum positif merupakan keterkaitan yang bersifat dialikatis. Hal demikian
11

disebabkan teori hukum yang merupakan teori gejala hukum positif (positieve
rechtsverschijnsel) dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dikesampingkan. Hal ini
berarti, desain arsitektur keuangan publik, khususnya pengaturan keuangan dalam
bank BUMN hendaknya tidak dipandang dari segi hukum positif saja, tetapi juga
dipandang dari segi teori hukumnya.
Dalam ilmu hukum, ada dua jenis badan hukum dipandang dari segi
kewenangan yang dimilikinya, yaitu:
1. badan hukum publik (personne morale) yang mempunyai kewenangan
mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum (misalnya UU
Perpajakan) dan yang tidak mengikat umum (misalnya UU APBN);
2. badan hukum privat (personne juridique) yang tidak mempunyai kewenangan
mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat umum.
Dengan pembedaan tersebut, negara dan daerah merupakan badan hukum
publik karena memiliki wewenang mengeluarkan kebijakan publik. Sementara itu,
badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan badan hukum
privat karena tidak memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan kebijakan publik.
Setiap badan hukum tersebut harus memiliki persyaratan sebagaimana diatur dalam
KUHPerdata, yaitu (1) memiliki kekayaan/keuangan terpisah, (2) memiliki tujuan
tertentu, dan (3) memiliki kepentingan tertentu. Dengan persyaratan tersebut, badan
hukum memiliki kekayaan/keuangan yang dipisahkan, sehingga status hukum
kekayaan/keuangannya tersebut menjadi milik badan hukum itu sendiri dan tidak
dapat dikatagorikan sebagai bagian atau milik badan hukum yang lain.
Dengan demikian, menjadi sangat berbahaya dan berisiko yang besar jika ada
yang menyatakan keuangan publik sebagai keuangan negara. Maksudnya, keuangan
publik yang ditujukan pada keuangan negara itu sendiri, keuangan daerah, keuangan
badan usaha milik negara, dan keuangan badan usaha milik daerah dinyatakan sebagai
keuangan negara. Apabila suatu negara mendesain konsep keuangan publiknya
sebagai keuangan negara, secara hukum negara wajib menanggung risiko apapun
yang terjadi dalam badan hukum itu. Selain itu, jika keuangan publik dinyatakan
sebagai keuangan negara, pengaturan tata kelola dan tata tanggung jawabnya harus
sesuai dengan aturan keuangan negara.
Kondisi itu yang terjadi di Indonesia dewasa ini sejalan dengan
ditetapkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

12

(UU Nomor 17 Tahun 2003). Dalam Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 dinyatakan:
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan
melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tuga s layanan umum pemerintahan
negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. penerimaan negara;
d. pengeluaran negara;
e. penerimaan daerah;
f. pengeluaran daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai
dengan

uang,

termasuk

kekayaan

yang

dipisahkan

pada

perusahaan

negara/perusahaan daerah;
h. kekayaan

pihak

lain

yang

dikuasai

oleh

pemerintah

dalam

rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;


i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.
Dengan demikian, secara prinsip UU Nomor 17 Tahun 2003 tidak
membedakan status hukum kekayaan/keuangan dalam suatu badan hukum, apakah itu
milik negara, milik daerah, milik badan usaha milik negara, milik badan usaha milik
daerah, atau milik swasta atau perseorangan. Pada dasarnya, Pasal 2 UU Nomor 17
Tahun 2003 menyalahi doktrin badan hukum dalam arsitektur keuangan publik yang
tegas membedakan kekayaan/keuangan milik setiap badan hukum yang terpisah.
Dalam perspektif hukum, keuangan/kepunyaan negara adalah yang ditentukan sebagai
milik negara dan disediakan (oleh negara) untuk dipakai kepentingan pelayanan
publik fungsi pemerintahan dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang
bersifat publik. Namun, negara sebagai badan hukum publik dapat berkedudukan
sebagai hukum privat yang tunduk pada ketentuan hukum perdata. Hal ini terjadi pada
saat negara memiliki sahamnya di suatu perusahaan, khususnya dalam badan usaha
milik negara. Dalam perusahaan tersebut, negara berkedudukan sama dengan pemilik
saham lainnya, dan tidak dapat mengeluarkan kebijakan yang bersifat publik dalam
perusahaan tersebut.

13

Dengan demikian, hukum telah menentukan pembedaan kedudukan negara


sebagai badan hukum publik yang tunduk pada peraturan perundang-undangan yang
bersifat publik dan negara sebagai badan hukum privat yang tunduk pada ketentuan
hukum privat. Negara tidak memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan wewenang
yang bersifat publik dalam pengelolaan perusahaan negara yang tata kelola dan tata
tanggung jawabnya tunduk pada ketentuan privat. Pembedaan ini merupakan konsep
hukum modern yang sangat membedakan imunitas publik dan imunitas privat dengan
maksud menjelaskan batas-batas keuangan/kekayaan yang

dimiliki setiap badan

hukum.
Contoh konkret adanya pembedaan yang tegas dalam arsitektur keuangan
publik adalah dalam pendirian perseroan terbatas, pemerintah tidak dapat bertindak
menggunakan kekuasaan dan kewenangan publiknya untuk me ngatur dan men gelola
perseroan. Hal demikian disebabkan keikutsertaan pemerintah dalam perseroan
bertindak

sebagai

badan hukum

privat, sehingga

tanggung

jawab dalam

pengelolaannya pun tidak dapat dibebankan pada pemerintah sebagai badan hukum
publik. Misalnya, beban pertanggungjawaban perseroan yang sahamnya antara lain
dimiliki negara, yang menyebabkan kerugian pada pihak lain tidak dapat dibebankan
kepada pemerintah sebagai badan hukum publik. Akan tetapi, dibebankan kepada
perseroan untuk menjalankan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan:
Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
Apabila tanggung jawab untuk mengganti rugi tersebut dibebankan kepada
pemerintah sebagai badan hukum publik dikhawatirkan pelayanan publik dalam
menjalankan fungsi pemerintahan akan terganggu. Demikian pula apabila pembedaan
kedudukan hukum (recht positie) pemerintah dalam perseroan terbatas tidak
dilakukan, selain kemandirian perseroan terbatas sebagai salah satu unsur good
corporate governance tidak terpenuhi, intervensi pemerintah sebagai badan hukum
publik dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan campur tangan
pemerintah yang terlalu dalam dan kepentingan pemerintah sebagai penguasa
cenderung akan mengabaikan pemegang saham lain, kreditor, dan pihak lain yang
terkait serta kepentingan perseroan itu sendiri.

14

BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dalam pembahasan diatas adalah, sudah
saatnya Indonesia memiliki aristektur keuangan publik untuk merefleksikan
penghormatan terhadap badan hukum, baik badan hukum publik maupun badan
hukum privat. Disamping itu, terwujudnya arsitektur keuangan publik menunjukkan
sensitivitas negara dalam menjaga posisi setiap masing-masing badan hukum dalam
menjalankan hak dan kewajibannya. Negara tidak mungkin dibebani risiko atau beban
apapun yang terjadi dalam badan hukum yang lain, demikian juga sebaliknya. Dengan
demikian, perlu ada konstruksi yuridis yang tepat untuk memahami status hukum
keuangan setiap badan hukum dalam bentuk arsitektur keuangan publik.
Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara telah menempatkan
posisinya yang khas dalam tata kelola dan tata tanggung jawab keuangannya yang
merupakan keuangan publik. Sebagai bagian dari negara sebagai badan hukum publik,
Bank Indonesia dilihat dari fungsinya, secara yuridis dan makroekonomi, Bank
Indonesia sama halnya dengan negara tepat dikatagorikan sebagai badan hukum
nirlaba.

15

Anda mungkin juga menyukai