PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Eksistensi bank sentral di suatu negara yang diatur dalam konstitusi pada
dasarnya menunjukkan pentingnya tugas otoritas di bidang moneter dan dan fungsi
lainnnya dari bank sentral. Sebagai institusi yang mempunyai wewenang untuk
mengelola moneter itulah, bank sentral wajar jika diberikan kedudukan yang
independen guna menjaga kredibilitasnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar
kebijakannya tidak dipengaruhi oleh institusi lainnya, agar fungsinya dapat dijalankan
sebagaimana mestinya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Dengan demikian,
tidak ada kepentingan apapun yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan
moneter yang diambil bank sentral atau kebijakan pemerintah/lembaga negara lainnya
tidak dapat mempengaruhi tugas bank sentral.
Di Indonesia, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 (UU BI) Bank Indonesia
berperan sebagai bank sentral yang mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga sistem pembayaran, serta mengatur dan
mengawasi bank (Pasal 8 UU BI).
Apabila dilihat dari kedudukannya di UUD 1945 Amandemen ke IV dan UU
BI, Bank Indonesia setara dengan lembaga negara dan berstatus badan hukum publik.
Dalam kedudukannya sebagai bank sentral, Bank Indonesia harus melepaskan fungsi
komersialnya seperti pelayanan jasa perbankan. Dilepaskannya pelayanan jasa
perbankan Bank Indonesia dimaksudkan agar bank sentral dapat berkonsentrasi pada
upaya menjaga stabilitas moneter dan memperkuat cadangan devisa negara. Dengan
dasar pemahaman tersebut, kebijakan dan tindakan Bank Indonesia dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan
penguatan ekonomi nasional. Dengan kata lain, kebijakan dan tindakan Bank
Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sama sekali tidak dapat
dikatagorikan sebagai tindakan komersial atau upaya memperoleh laba sebagai
layaknya subyek pajak.
Apabila mendasarkan pada Pasal 8 UU BI, ketiga tugas Bank Indonesia
tersebut harus dijalankan dan dilakukan dengan proses dan mekanisme yang tersistem
serta terbebas dari pengaruh manapun. Tugas sedemikian strategis dan penting
1
tersebut selayaknya dilakukan secara independen karena menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kebijakan nasional yang akan sangat mempengaruhi sistem
perekonomian nasional secara keseluruhan. Oleh sebab itu, kebijakan dan tujuan Bank
Indonesia yang diarahkan pada penguatan sektor moneter membutuhkan konsentrasi
yang tinggi agar stabilitas ekonomi yang bertumpu pada fundamental moneter yang
sehat tetap terjaga. Oleh sebab itu, Pemerintah dan lembaga negara manapun tidak
dapat mendistigmasi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan untuk mencapai
tujuannya, dengan kebijakan yang dibentuk oleh Bank Indonesia itu sendiri. Misalnya,
Pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal yang cenderung memperlemah tujuan
Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya, yang pada dasarnya juga merupakan
sebagian tugas negara.
Dalam konteks ini, semua lembaga negara perlu mendudukkan kebijakan
Bank Indonesia yang dijalankannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
kebijakan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, kebijakan lembaga negara dan peraturan
perundang-undangan tidak dapat mengesampingkan kebijakan dan peraturan
perundangundangan yang memungkinkan Bank Indonesia untuk secara konsisten dan
konsentrasi mencapai tujuannya mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Dengan pemahaman tersebut, jelas menegaskan Bank Indonesia dalam
mengambil kebijakan bidang moneter tidak dilaksanakan menurut kehendak dan
pertimbangan diri sendiri. Akan tetapi, segala tindakan dan kebijakan dalam urusan ini
bersandarkan pada pertimbangan makro-ekonomi. Dengan demikian, independensi
dalam menjalankan kebijakan tersebut sangat penting bagi Bank Indonesia untuk
memulihkan perekonomian secara keseluruhan. Hal ini mengingat Bank Indonesia
diberikan tugas yang tidak ringan dalam menjaga stabilitas makro perekonomian
nasional.
I.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah kedudukan keuangan negara dalam bank Indonesia ?
2. Bagaimanakah sifat hukum keuangan dalam bank Indonesia ?
I.3. METODE PENULISAN
Dalam penyusunan paper ini penulis menggunakan metode penulisan studi
kepustakaan dengan menggunakan literatur-literatur yang tersedia sebagai bahan
acuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
negara. Konsepsi ini dapat dilihat dari kedudukan keuangan negara dalam Bank
Indonesia yang modalnyaberasal dari negara. Namun, berdasarkan aspek pengelolaan
dan pertanggungjawabannya, ada perbedaan mendasar pada risiko yang ditanamkan
oleh negara dalam Bank Indonesia. Dengan pembedaan ini, dapat terlihat kedudukan
keuangan negara dalam permodalan Bank Indonesia yang digunakan untuk
menghadapi risiko yang kemungkinan muncul dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang Bank Indonesia. Perlu dipahami penanaman modal negara mengandung
makna pemerintah menyisihkan kekayaan negara untuk menambah dan memperkuat
struktur permodalan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Konsekuensi logis adanya modal negara pada Bank Indonesia, pemerintah
sebagai representasi negara harus ikut menjaga agar Bank Indonesia tetap mempunyai
struktur modal yang kuat dan didukung dengan cadangan umum
yang mampu
dan
maksimal
dijalankan
oleh
Bank
Indonesia,
jika
pemerintah
kekuatan kecukupan dana tersebut, pemerintah dan DPR menyepakati surplus hasil
kegiatan Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan, sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 62 ayat (4) UU BI. Penetapan tidak kena pajak terhadap surplus Bank
Indonesia selain merupakan salah satu bentuk kebijakan jaminan pemerintah dan DPR
sebagai garansi politik (political guarantee) agar Bank Indonesia dapat menjalankan
tugas dan kewenangannya dengan baik. Hal ini secara integral merupakan fungsi dan
tanggung jawab pemerintah dan DPR dalam menjamin integritas Bank Indonesia
dalam menjaga perekonomian nasional.
II.1.1. Bank Indonesia sebagai Badan Hukum Publik
Dalam tatanan hukum saat ini, terdapat dua jenis badan hukum, ditinjau dari
sudut hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai subyek hukum, yaitu badan hukum
publik dan badan hukum perdata. Badan hukum publik dalam melakukan haknya
mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan publik yang dapat mengikat
umum. Sementara itu, badan hukum perdata tidak mempunyai kewenangan untuk
mengeluarkan kebijakan seperti itu.
pemerintah.
Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan pendapat Bank
Indonesia, khususnya dalam rangka menjaga stabilitas moneter Indonesia.
Berdasarkan UU BI tersebut dapat terlihat hubungan Bank Indonesia dan Pemerintah
lebih bersifat konsultatif, dan tidak bersifat subordinatif. Hal demikian menunjukkan
independensi Bank Indonesia dalam dua hal pokok, yaitu pertama, bank sentral harus
bebas untuk memutuskan cara mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Kedua,
keputusan yang diambil itu harus merupakan hal yang sulit bagi bagian dari
pemerintahan untuk mempengaruhinya.
Dengan dasar hubungan dengan Pemerintah yang bersifat konsultatif, Bank
Indonesia akan terlepas dari kontrol dan pengaruh lembaga lain yang berupaya
menekannya dalam pengambilan keputusan. Namun, sifat independensi tersebut tidak
melepaskan tanggung jawab Bank Indonesia dalam menjalankan kinerjanya kepada
DPR. Hakikat yang diperoleh dari independensi Bank Indonesia adalah dimilikinya
kekuatan, kedaulatan, dan kekuasaan untuk merumuskan serta melaksanakan
kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan perbankan.
Indonesia kemungkinan besar dapat mengurangi secara siginifikan defisit APBN; dan
kedua, Pemerintah dihadapkan pada keinginan untuk mewujudkan skema kebijakan
perpajakan yang tidak ada lagi obyek pajak yang digratiskan (free rider problem),
yang pada prinsipnya agar menguntungkan kemampuan negara dalam memajak, yang
ternyata justru sebaliknya.
Upaya tersebut dilakukan Pemerintah (Departemen Keuangan) dalam
perubahan konsep obyek perpajakan melalui perubahan UU Perpajakan. Proses
tersebut diikuti dengan pengklasifikasian obyek pajak penghasilan yang ditentukan
dalam rancangan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal ini, penilaian
surplus hasil kegiatan Bank Indonesia yang diklasifikasikan sebagai obyek pajak perlu
penelaahan yang mendalam mengingat statusnya sebagai badan hukum publik yang
dikecualikan sebagai subjek pajak.
Secara yuridis, surplus hasil kegiatan Bank Indonesia tidak dapat
dikatagorikan sebagai obyek pajak mengingat surplus tersebut bukan dimaksudkan
sebagai tambahan kemampuan ekonomis Bank Indonesia. Hal demikian disebabkan
surplus tersebut digunakan untuk 30 persen untuk cadangan tujuan dan sisanya
dipupuk sebagai cadangan umum dalam rangka menjaga fungsi dan wewenang Bank
Indonesia. Dengan demikian, surplus hasil kegiatan Bank Indonesia pada hakikatnya
termasuk ke dalam keuangan negara yang menurut Pasal 2 huruf c UU Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai, penerimaan negara. Surplus Bank
Indonesia merupakan bagian yang akan menjadi penerimaan negara, jika jumlahnya
telah melebihi modal cadangan umum Bank Indonesia.
Dengan demikian, pengenaan pajak penghasilan terhadap surplus Bank
Indonesia akan lebih menjadi tekanan terhadap keuangan negara, khususnya dalam
menjalankan kepentingan umum dibandingkan sebagai stimulasi fiskal dalam APBN.
Dengan dasar demikian, pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia yang juga
merupakan keuangan negara dapat dikatagorikan sebagai biaya administrasi
(administrative price) terhadap keuangan negara, khususnya dalam melaksanakan
kepentingan umum yang dijalankan Bank Indonesia.
Secara teoritis, pengenaan pajak terhadap keuangan negara yang ditujukan
kepentingan umum misalnya surplus Bank Indonesia hanya melahirkan pajak
bayangan (shadow taxes) yang kemungkinan pemanfaatannya kembali untuk
kepentingan umum sangat diragukan optimalisasinya. Dengan kata lain, pengenaan
pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia sebagai bagian dari keuangan
9
mampu mempengaruhi
10
disebabkan teori hukum yang merupakan teori gejala hukum positif (positieve
rechtsverschijnsel) dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dikesampingkan. Hal ini
berarti, desain arsitektur keuangan publik, khususnya pengaturan keuangan dalam
bank BUMN hendaknya tidak dipandang dari segi hukum positif saja, tetapi juga
dipandang dari segi teori hukumnya.
Dalam ilmu hukum, ada dua jenis badan hukum dipandang dari segi
kewenangan yang dimilikinya, yaitu:
1. badan hukum publik (personne morale) yang mempunyai kewenangan
mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum (misalnya UU
Perpajakan) dan yang tidak mengikat umum (misalnya UU APBN);
2. badan hukum privat (personne juridique) yang tidak mempunyai kewenangan
mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat umum.
Dengan pembedaan tersebut, negara dan daerah merupakan badan hukum
publik karena memiliki wewenang mengeluarkan kebijakan publik. Sementara itu,
badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan badan hukum
privat karena tidak memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan kebijakan publik.
Setiap badan hukum tersebut harus memiliki persyaratan sebagaimana diatur dalam
KUHPerdata, yaitu (1) memiliki kekayaan/keuangan terpisah, (2) memiliki tujuan
tertentu, dan (3) memiliki kepentingan tertentu. Dengan persyaratan tersebut, badan
hukum memiliki kekayaan/keuangan yang dipisahkan, sehingga status hukum
kekayaan/keuangannya tersebut menjadi milik badan hukum itu sendiri dan tidak
dapat dikatagorikan sebagai bagian atau milik badan hukum yang lain.
Dengan demikian, menjadi sangat berbahaya dan berisiko yang besar jika ada
yang menyatakan keuangan publik sebagai keuangan negara. Maksudnya, keuangan
publik yang ditujukan pada keuangan negara itu sendiri, keuangan daerah, keuangan
badan usaha milik negara, dan keuangan badan usaha milik daerah dinyatakan sebagai
keuangan negara. Apabila suatu negara mendesain konsep keuangan publiknya
sebagai keuangan negara, secara hukum negara wajib menanggung risiko apapun
yang terjadi dalam badan hukum itu. Selain itu, jika keuangan publik dinyatakan
sebagai keuangan negara, pengaturan tata kelola dan tata tanggung jawabnya harus
sesuai dengan aturan keuangan negara.
Kondisi itu yang terjadi di Indonesia dewasa ini sejalan dengan
ditetapkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
12
(UU Nomor 17 Tahun 2003). Dalam Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 dinyatakan:
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan
melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tuga s layanan umum pemerintahan
negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. penerimaan negara;
d. pengeluaran negara;
e. penerimaan daerah;
f. pengeluaran daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai
dengan
uang,
termasuk
kekayaan
yang
dipisahkan
pada
perusahaan
negara/perusahaan daerah;
h. kekayaan
pihak
lain
yang
dikuasai
oleh
pemerintah
dalam
rangka
13
hukum.
Contoh konkret adanya pembedaan yang tegas dalam arsitektur keuangan
publik adalah dalam pendirian perseroan terbatas, pemerintah tidak dapat bertindak
menggunakan kekuasaan dan kewenangan publiknya untuk me ngatur dan men gelola
perseroan. Hal demikian disebabkan keikutsertaan pemerintah dalam perseroan
bertindak
sebagai
badan hukum
privat, sehingga
tanggung
jawab dalam
pengelolaannya pun tidak dapat dibebankan pada pemerintah sebagai badan hukum
publik. Misalnya, beban pertanggungjawaban perseroan yang sahamnya antara lain
dimiliki negara, yang menyebabkan kerugian pada pihak lain tidak dapat dibebankan
kepada pemerintah sebagai badan hukum publik. Akan tetapi, dibebankan kepada
perseroan untuk menjalankan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan:
Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
Apabila tanggung jawab untuk mengganti rugi tersebut dibebankan kepada
pemerintah sebagai badan hukum publik dikhawatirkan pelayanan publik dalam
menjalankan fungsi pemerintahan akan terganggu. Demikian pula apabila pembedaan
kedudukan hukum (recht positie) pemerintah dalam perseroan terbatas tidak
dilakukan, selain kemandirian perseroan terbatas sebagai salah satu unsur good
corporate governance tidak terpenuhi, intervensi pemerintah sebagai badan hukum
publik dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan campur tangan
pemerintah yang terlalu dalam dan kepentingan pemerintah sebagai penguasa
cenderung akan mengabaikan pemegang saham lain, kreditor, dan pihak lain yang
terkait serta kepentingan perseroan itu sendiri.
14
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dalam pembahasan diatas adalah, sudah
saatnya Indonesia memiliki aristektur keuangan publik untuk merefleksikan
penghormatan terhadap badan hukum, baik badan hukum publik maupun badan
hukum privat. Disamping itu, terwujudnya arsitektur keuangan publik menunjukkan
sensitivitas negara dalam menjaga posisi setiap masing-masing badan hukum dalam
menjalankan hak dan kewajibannya. Negara tidak mungkin dibebani risiko atau beban
apapun yang terjadi dalam badan hukum yang lain, demikian juga sebaliknya. Dengan
demikian, perlu ada konstruksi yuridis yang tepat untuk memahami status hukum
keuangan setiap badan hukum dalam bentuk arsitektur keuangan publik.
Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara telah menempatkan
posisinya yang khas dalam tata kelola dan tata tanggung jawab keuangannya yang
merupakan keuangan publik. Sebagai bagian dari negara sebagai badan hukum publik,
Bank Indonesia dilihat dari fungsinya, secara yuridis dan makroekonomi, Bank
Indonesia sama halnya dengan negara tepat dikatagorikan sebagai badan hukum
nirlaba.
15