Anda di halaman 1dari 24

Kaum Marginal Tetap Marginal

Dalam Agenda Pemilu 2004


Draft Hasil Survei Terhadap Kaum Marjinal di Enam Kota
(Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Makassar dan Medan)

Dipresentasikan pada:
Lokakarya Hasil Penelitian
Kebutuhan Media dan Publik dalam Pemilu 2004
Koalisi Media Untuk Pemilu 2004
Hotel Graha Santika Jakarta
Kamis, 16 Oktober 2003

Tim Peneliti:
Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta
Lembaga Studi Pers Indonesia (LSPI) Semarang
Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS) Surabaya
Kajian Informasi Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) Medan
Lembaga Studi Informasi dan Media Massa (LSIM) Makassar
Radio Maraghita Bandung
1

KAUM MARGINAL TETAP MARGINAL


DALAM AGENDA PEMILU 2004
(Hasil Survey Terhadap Kaum Marjinal di Enam Kota)
Berbicara tentang kelompok marginal dalam kehidupan politik di Indonesia.
sesungguhnya sang dilematis. Persoalannya adalah siapakah kelompok marginal itu? Dalam
sistem dan iklim politik yang masih berkarakter elitis. patriarkhis dan feodal, sulit untuk
mengidentifikasi kelompok mana yang bisa disebut Sebagai kelompok marginal. Beberapa
analisis melihat. kultur dan struktur politik warisan Orde Baru menyebabkan marginalisasi
terhadap masyarakat bawah secara keseluruhan dalam beherapa dekade terakhir. Maka dari
itu, dalam sistem politik yang represif dan top down. bisa dikatakan bahwa mayoritas
bangsa Indonesia secara politik sesungguhnya adalah mayoritas yang marginal.
Bagaimana kondisi-kondisi kelompok marginal itu menjelang Pemilu 2004? Secara
umum, kelompok marginat itu dapat dibedakan dalam beberapa kategori: kelompok
pemilih pemula. kelompok buruh, kelompok petani, eks tapol, perempuan, lanjut usia dan
lain-lain. Sebagai kelompok marginal, mereka mempunyai problem sendiri-sendiri
berkaitan dengan hak-hak politik sebagai warga negara. Namun ada juga problem-problem
umum yang ada pada setiap kelompok. Menjelang Pemilu 2004, menarik untuk diamati
problem-problem apa saja yang mereka hadapi sebagai pemegang hak pilih dan hak untuk
memilih. Apakah telah terjadi pergeseran-pergeseran yang positip dibandingkan dengan
pemilu-pemilu sebelumnya? Apakah terjadi perbaikan perbaikan berkaitan dengan akses
dan kapabilitas mereka dalam pemilu? Apakah ada upaya-upaya pemberdayaan terhadap
kelompok yang secara politik selama ini cukup terpinggirkan itu? Apakah ada perhatian
memadai dan kalangan pemerintah dan unsur- unsur civil society terhadap nasib mereka?
Koalisi NGO Media Untuk Pemilu 2004 mengadakan need assessment untuk
menjawah pertanyaan-pertanyaan tersebut. Need Assessment mengambil sampel tiga
kelompok: buruh, perempuan dan penyandang cacat. Assessment dilakukan di 6 kota:
Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar, pada pertengahan September
hingga awal Okiober 2003.

I. Metodologi
Metode yang digunakan adalab Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara
Mendalam (Indepth Interview) terhadap sumber-sumber kunci untuk masing-masing
kelompok. FGD diselenggarakan dengan mengundang pihak-pihak terkait, sementara
Wawancata Mendalam dilakukan untuk mengklarisfikasi dan melengkapi kesimpulankesimpulan FGD. Waktu, tempat dan narasumber FGD dan Wawancara Mendalam ada
dalam lampiran.

II. Temuan Umum:


Hingga satu tahun menjelang pelaksanaan Pemilu 2004, tidak terjadi perubahanperubahan signifikan dalam hal akses dan kapasitas politik kelompok marginal. Belum ada
upaya-upaya serius untuk memberikan pendidikan politik terhadap mereka. Tidak ada good
will dan pemerintah dan Parpol dalam hal ini. Sementara advokasi dan pemberdayaan yang
dilakukan unsur-unsur NGO lebih pada isu-isu sektoral non politik. Misalnya saja pada isu
perlindungan HAM pada buruh migran, pembentukan serikat pekerja, kenaikan upah
minimum untuk isu-isu buruh lokal. Pada isu-isu perempuan, dimensi-dimensi politik
memang cukup terangkat, misalnya dengan munculnya prinsip kuota perempuan dalam UU
Pemilu yang baru. Namun secara keseluruhan pendidikan dan pemberdayaan politik
terhadap perempuan masib kurang. Fokus advokasi NGO masih berkutat pada isu-isu
eksistensi dalam arti yang sangat umum.
Dan sisi pemerintah, relatif tidak ada kebijakan dan langkah-langkah yang
beremphati terhadap nasib kaum marginal. Tidak ada perubahan-perubahan yang secara
signifikans menguntungkan posisi politik kelompok marginal. Akibatnya, kelompok
marginal tidak begitu antusias menghadapi Pemilu 2004. Mereka bahkan cenderung apatis
dan antipati. Belajar dan pengalaman yang sudah-sudah, mereka menjadi sadar bahwa
pemilu tidak akan berpengaruh apapun terhadap nasib mereka. Mereka tidak mempunyai
sense of belonging dalam hal ni.

Bagaimana dengan peran media? Praktik jurnalistik day to day tidak cukup
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap eksistensi politik kelompok marginal.
Kelompok-kelompok marginal, media pertama-tama lebih berperan sebagai konsumen dan
dinamika isu dan peristiwa yang terjadi pada diri mereka. Media tak pernah menunjukkan
agenda yang jelas untuk membantu kelompok marginal untuk menegakkan eksistensinya.
Kepentingan dan prioritas utama media berkaitan dengan posisi kelompok marginal adalah
pada isu dan peristiwa yang punya magnitude besar dan mempunyai nilai berita. Bukan
pada aspek-aspek pemberdayaan.

III. Hasil Assessment Kelompok Buruk:


Kelompok buruh boleh dikata merupakan kelompok mayoritas dalam struktur sosial
di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat urban perkotaan. Namun mereka adalah
mayoritas yang tertindas dan tak berdaya.
Secara umum, kondisi kelompok pekerja di Indonesia masih memprihatinkan.
Dengan upah yang kurang menunjang untuk hidup sehari-hari, maka orientasi hidup
mereka adalah bagaimana bisa bertahan hidup. Pada titik inilah muncul sikap yang
cenderung anti-politik. Politik dianggap sebagat urusan, atau mainan kelompok elit
terpelajar. Kelompok buruh hanya memahami pemilu sebagai pesta, hura-hura limatahunan.
Inilah problem internal pada diri kelompok buruh.

a. Kendala-Kendala Pada Pemilu Sebelumnya


Problem eksternal ada beberapa macam. Pertama, tidak ada proses pemberdayaan
terhadap mereka. Pemerintah boleh dikata hampir sama sekali tidak melakukan pendidikan
politik terhadap ,mereka. Mereka adalah representasi paling kuat dan korban politik massa
mengmbang. Pasca 1998, pendidikan politik diperoleh secara tak langsung melalui media
massa. Akan tetapi, tidak memadai untuk proses pemberdayaan terhadap suatu kelompok
yang selama berpuluh-puluh tahun mengalami berbagai kekerasan struktural Orde Baru.

Media Massa berperan dalam menumbuhkan kesadaran politik kelompok buruh, namun
dibutuhkan agenda yang jelas untuk meningkatkannya menjadi sebuah pemberdayaan yang
lebih signifikan.
Faktor eksternal yang lain adalah, secara struktural kelompok buruh adalah
kelompok yang tak berdaya. Mereka dihadapkan pada gaji yang rendah, fasilitas yang
tidak memadai, peraturan perusahaan yang cenderung tidak manusiawi dan sikap
manajemen yang tidak mengenal kompromi. Manajemen perusahaan tidak memberikan
keleluasaan untuk mendirikan serikat buruh. apalagi untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan
sosial atau politik. Dalani wawancara mendalam dengan aktivis pendamping buruh di
Semarang juga terungkap titik rentan kaum buruh. Mereka tidak saja lemah dan segi
kualitas SDM, namun juga rendah tingkat solidaritasnya dengan sesama buruh.
Belajar dari pengalaman 1997 dan 1999, banyak perusahaan melakukan sinergi
partai tertentu. Karena jajaran manajemen dekat dengan Golkar, maka karyawankaryawan juga dimobilisasi untuk ikul kampaye. Untuk ikut kampanye Golkar. jika perlu
karyawan diliburkan. Tapi untuk ikut kampanye Parpol lain, misalnya seperti PDI,
karyawan dipersulit dengan harus mengurus izin yang berbelit-belit. Di Makassar
ditemukan kasus pengumpulan fotocopy KTP dan tandatangan buruh oleh pihak
manajemen salah satu perusahaan makanan ringan untuk mendukung partai politik dan
kandidat politik tertentu menjelang Pemilu 2004.
Pada Pemilu 1997, pelaksanaan coblosan banyak dilakukan pada hari kerja di
perusahaan masing-masing. Terjadilah berbagai bentuk rekayasa untuk memobilisasi suara
untuk mendukung Golkar. Di bilik suara, proses pencoblosan diatur sedemikian rupa
sehingga memaksa karyawan untuk memilih Golkar. Jika ada yang memilih partai lain,
akan ketahuan dan diberi peringatan keras, bahkan sanksi pemecatan.
Pelaksanaan Pemilu 1999 relatif lebih baik. Paksaan-paksaan untuk memilih Golkar
di perusahaan-perusahaan berkurang drastis. Kalangan bunuh mendapatkan kebebasan
untuk memilih 48 Parpol kontestan pemilu. Namun pola pilihan kalangan buruh pada
umumnya adalah bersifat primordial. Jika mereka dan kalangan NU, maka mereka akan
cenderung memilih PKB. jika dari kalangan Muhammadiyah akan cenderung memilih
PAN. jika abangan akan memilih PDIP.
5

Realitas yang belum banyak dibicarakan dalam hal ini adalah bagaimana nasib hak
pilih para buruh migran di berbagai negara. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa
buruknya kinerja

pemerintah dalam melindungi warga negaranya. Pemeintah sejak

beberapa tahun lalu melegalisasi dan bahkan mendukung proyek pengiriman tenaga kerja,
khususnya wanita ke berhagai negara. Belakangan bahkan ini menjadi program resmi
pemerintah. Namun pemerintah kurang memikirkan benar bagaimana perlindungan
terhadap nasib para buruh migran itu. Tidak terkecuali adalah bagaimana melindungi hakhak politiknya berkaitan dengan momentum pemilu.
Pengalaman Pemilu 1997 dan 1999 menunjukkan bahwa partai-partai melakukan
praktek jemput bola untuk memperebutkan suara para buruh migran. Praktek politik
uang dilakukan untuk menjaring suara mereka. Seperti yang terjadi pada Pemilu 1999, di
Malaysia. Khususnya di negara bagian Johor, terjadi mobilisasi massa oleh PDIP dengan
membagi-bagikan uang. Satu suara dihargai 50 ringgit Malaysia. Pada Pemilu 1997. Golkar
melakukan mobilisasi suara buruh migran di Singapura. Caranya dengan membagi-bagi
hadiah (baju, buku, uang saku) kepada buruh migran. Pihak KBRI turut berperan dalam hal
ini. dengan memaksa para majikan untuk mengijinkan para buruh migran mengikiiti proses
kampanye dan pencoblosan. Bisa keluar rumah adalah sesuatu yang mahal bagi buruh
migran. Namun pada masa pemilu, justru sebaliknya, majikan memberi ijin kepada mereka
untuk libur, bahkan menyerahkan paspor yang biasanya dipegang majikan.
Pihak KBRI melakukan berbagai cara agar para buruh migran memberikan
suaranya ke Golkar. Dari usaha-usaha persuasi hingga paksaan-paksaan diserati ancaman.
Misalnya saja jika ada buruh migran yang terbukti memilih Parpol lain, maka KBRI
mengancam akan mempersulit mereka jika berurusan dengan KBRI. Proses pemulangan
akan dipersulit, dan tidak akan mendapat perlindungan jika terjadi masalah dengan
majikan. Dan ketika saat pencoblosan tiba, rekayasa di bilik suara juga terjadi. Bukan
hanya KBRI Singapura yang melakukan hal ini.namun juga KBRI di Taiwan, Hongkong
dan Malaysia pada Pemilu 1997. Untuk TKW di Arab Saudi, aksi jemput bola dilakukan
oleh PPP.
Bukan hanya KBRI yang herperan merenggut kebebasan para buruh migran
sebagai pemegang hak suara. Namun juga pihak departemen tenaga kerja dan imigrasi.

Ketika calon buruh migran mengurus paspor dan perijinan yang lain sebelum berangkat ke
luar negeri, tekanan-tekanan untuk memilih Golkar sudah dilakukan. Para calon buruh
migran dipaksa untuk menandatangai surat kesetiaan terhdap Golkar. Jika tidak, mereka
akan dipersulit dalam mengurus paspor dan lain-lain.
Pendek kata. sejak dan proses pemberangkatan. para buruh migran menjadi korban
proses pemasungan hak-hak politik. Dan anehnya. pemerintah menjadi bagian dan
rekayasa-rekayasa yang terjadi. Alih-alih memberikan pendidikan politik yang memadai
bagi para buruh migran.
Sejak Pemilu 1999, para buruh migran menjadi rebutan antar Parpol. Hal ini
menimbulkan sejumlah dampak buruk. Misalnya saja yang terjadi Hongkong hingga saat
ini. TKW dan TKI terbagi-bagi menurut daerah asal yang juga menunjukkan afiliasi
politik. Mereka yang berasal dan daerah berhasis PDIP seperti Madiun Jawa Timur.
menggabungkna diri dalam satu blok. Mereka mempunyai tempat berkumpul sendiri.
Demikian juga dengan mereka yang berasal dan daerah berhasis NU/PKB atau Golkar.
Perkubuan ini adalah berkat ulah tidak bertanggung jawab kalangan Parpol pada Pemilu
1999. Hingga saat ini perkubuan ini sering meningkat menjadi perseteruan fisik.

b. Harapan Dan Proyeksi Menjelang Pemilu 2004


Bagaimana kondisi menjelang Pemilu 2004? Kalangan buruh lokal, sudah banyak
didekati kalangan Parpol. Misalnya yang terjadi di kantong buruh di wilayah Bogor, sentul
dan sekitarnya, unsur-unsur PKB secara intensif melakukan pendekatan. PAN, PDIP,
Golkar dan PKS juga aktif menjalin pendekatan di wilayah Jabotabek. Ngadina, seorang
buruh di Tangerang yang menjadi menjadi simbol perlawanan buruh terhadap majikan,
pernah hendak dicalonkan sebagai calon anggota DPR oleh unsur-unsur PAN. Ketua
Umum PAN Amien Rais, pernah melakukan kunjungan ke sekretariat FOBMI. Pendek
kata, begitu muncul kasus buruh yang menjadi besar karena pemberitaan media. simpati
dan kalangan Parpol akan segera berdatangan. Kalangan Parpol juga berlomba lomba
menunjukkan perhatiannya kepada nasib para buruh migran, sebagaimana diberitakan
media.

Namun bagaimana dengan sikap kalangan buruh sendiri? Suatu hal yang menarik
adalah, di kalangan buruh sendiri sudah mulai berkembang resistensi terhadap Parpol dan
pemilu. Paling tidak hal ini terlihat di kalangan buruh yang mengorganisir diri dalam
wadah-wadah tertentu, dan yang mempunyai akses ke komunitas NGO.
Muncul kesadaran, kalangan Parpol sebenannya tidak mempunyai perhatian yang
signifikan tehadap nasib buruh terutama yang dikaitkan dengan aspirasi politiknya.
Kalangan buruh merasa bahwa selama ini mereka telah dimanfaatkan oleh Parpol.
Kekecewaan terbesar adalah terhadap Golkar, karena partai inilah yang selama orde baru
terus-menerus memobilisasi suara kaum buruh. Untuk mengangkat harkat dan nasib
mereka, pada awalnya kalangan buruh banyak berharap pada Golkar, karena janji-janji
kampanye selalu dipenuhi dengan janj untuk memperbaiki kesejahteraan kelompok buruh.
Namun ke depan mereka tidak akan berharap kepada siapapun, kecuali pada diri mereka
sendiri. Demikian juga dengan Pemilu 2004, kelompok-kelompok buruh di Jabotabek
melihat tidak ada Parpol yang benar-benar bisa diharapkan dapat mengangkat aspirasi
kelompok buruh.
Kekecewaan besar juga terjadi terhadap PDIP. Pada Pemilu 1999, banyak
kalangan buruh yang menyalurkan suaranya kepada PDIP karena mereka percaya benar
bahwa Parpol ini adalah partainya wong cilik. Mereka terbuai oleh janji-janji kampanye
PDIP yang serba mengundang harapan bagi kaum miskin. tanpa terkecuali kaum buruh.
Namun komunitas buruh pada akhirnya merasa dikhianati. Tidak ada janji-janji kampanye
yang direalisasikan. Lebih mengecewakan lagi, sikap-sikap politik Megawati sangat tidak
aspiratif terhadap kelompok buruh. Kekecewaan itu mencapai puncaknya ketika
pemerintahan Megawati menandatangani UU PBHI yang bukan hanya merugikan. namun
juga sangat berbahaya bagi posisi kelompok buruh. sekali buat buruh. Dengan munculnya
undang-udang tersebut. semakin menipislah perlindungan hukum terhadap hak-hak dan
nasib kelompok buruh.
Dihadapkan pada tekanan demi tekanan, kekecewaan demi kekecewaan, pada
akhirnya muncul resistensi di kalangan kelompok buruh. Bahkan, beberapa komunitas
buruh berhasil merumuskan dalam bentuk seperti apakah resistensi itu akan dilakukan.
Dalam diskusi yang berlangsung, beberapa aktivis buruh melihat. Pemilu 2004 adalah

momen yang tepat bagi buruh lokal maupun buruh migran untuk melakukan bargain
terhadap kekuatan-kekualan Parpol dan pemerintah. Di kalangan buruh migran di
Hongkong misalnya, mereka akan menerima saja jika ada Parpol yang bagi-bagi uang atau
hadiah. Mereka juga akan hadir jika Parpol-Parpol melakukan kampanye dengan
menghadirkan artis-artis terkenal. Namun mereka sepakat bahwa pada saat nanti di bilik
suara. mereka akan memiIih Parpol sesuai dengan garis ideologi atau latar-belakang
masing-masing. Jika yang NU, maka dia akan memilih PKB, jika abangan akan memilih
PDIP atau Golkar dan seterusnya. Mereka juga sepakat akan memboikot pemilu jika ada
unsur-unsur paksaan dari KBRI. Keberadaan LSM buruh di sana, memudahkan kalangan
buruh migran untuk bergerak secara terorganisir. Aksi Boikot pemilu paling tidak telah
dideklarasikan oleh FOBMI (Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia).
Aksi boikot pemilu (baca Golput) yang lebih besar dan terorganisir tampaknya akan
terjadi di kalangan buruh lokal. Ini dianggap sebagai pilihan terbaik untuk mengeskpresikan
kekecewaan mereka terhadap Parpol dan pemerintah, serta ketidakpercayaan mereka
terhadap pemilu. KOBUMI. salah-satu organisasi buruh ternama. telah mempertimbangkan
untuk mengikuti jejak FOBMI untuk memboikot pemilu.
Mengapa harus memboikot pemilu? FOBMI menyadari bahwa golput adalah
pilihan yang bagi beberapa kalangan sangat tidak populer. Dari media massa, mereka juga
mendapatkan pemikiran bahwa boikot pemilu tidak menyelesaikan persoalan. Namun
mereka juga berpikir sebaliknya, apakah dengan ikut pemilu juga akan menyelesaikan
persoalan kaum buruh? FOBMI telah sampai pada tahap dimana tidak percaya sama sekali
terhadap institusi pemitu.

c. Persepsi dan Harapan Tentang Peran Media Massa


Dari FGD yang dilakukan di beberapa kota, ditemukan hasil bahwa komunitas
buruh tidak terlalu berharap banyak kepada media. dalam memperjuangkan dan
menyuarakan aspirasi-aspirasi mereka. Pada awalnya, kelompok buruh merasa terbantu
oleh pemberitaan-pemberitaan media terhadap kasus-kasus perburuhan. Namun pada
akhirnya mereka sadar bahwa media tidak mempunyai keseriusan untuk benar-benar

memperjuangkan nasib kelompok buruh. Kelompok- kelompok buruh. khususnya di Jakarta


merasa dieksploitasi oleh pemberitaan media. Menurut mereka, minat pers semata-mata
muncul jika memang ada kasus besar dan layak untuk diberitakan. Misalnya saja jika
terjadi demonstrasi buruh. ketika terjadi konflik antara manajemen dan karyawan di
perusahaan-perusahaan besar, jika terjadi kasus kekerasan terhadap buruh dan kasus-kasus
yang dianggap seksi oleh media. Pendek kata, terhadap kelompok buruh, media
mengedepankan prinsip bad news is good news
Di Medan, kaum buruh juga mengeluhkan tentang profesionalisme pers ketika
memberitakan tentang demonstrasi yang tengah diperjuangkan kaum buruh. Jurnalis
umumnya hanya memuat peristiwa demonstrasi mereka. menulis tuntutan-tuntutan
kenaikan upah yang dituntut kaum buruh. namun tidak pernah menggali latar belakang
kenapa kaum buruh sampai menuntut kenaikan upah. Bahkan terkadang para jurnalis sering
hanya meminta pernyataan sikap yang dibuat kaum buruh. dan menjadikannya sebagai
bahan berita mereka. Sementara jurnalis televisi hanya mau mengekspose aksi demonstrasi
buruh jika massanya lebih dari 100 orang.
Oleh karena itu kaum buruh di Medan Iebih banyak berharap dengan pemberitaan
radio. Lewat radio, selain bisa mengikuti perdebatan diantara narasumber, mereka juga bisa
ikut berinteraksi lewat pesawat telpon. Sikap skeptis memang diperlihatkan kaum buruh
terhadap peran media massa. Namun demikian kaum buruh di Medan misalnya masih
berharap agar media massa melakukan kegiatan untuk mengkritisi terhadap aktivis-aktivis
Parpol, terutama calon legislatif Termasuk mengulas visi dan misi Parpol.
Persoalan posisi media dalam Pemilu juga menjadi perhatian FGD Buruh di
Semarang. Bagi kalangan buruh di kota ini. menonton TV atau mendengar radio bukanlah
untuk mendapatkan informasi, tetapi sekadar mendapatkan hiburan pelepas lelah. Informasi
tentang Pemilu biasanya mereka dapatkan melalui pola komunikasi dari mulut ke mulut
di antara sesama buruh. Artinya. kalau sumber informasinya salah. persepsi mereka tentang
Pemilu juga cenderung keliru.
Dari FGD itu .juga muncul kritik terhadap kebiasaan media yang orientasi
tulisannya pada kalangan menengah atas. Bahasa media tidak diarahkan pada kaum buruh,
sehingga sulit dipahami.
10

IV. Hasil Assessment Kelompok Perempuan:


Kelompok perempuan, secara komparatif adalah kelompok mayoritas dalam
struktur sosial kita. Jumlah perempuan di Indonesia lebih besar dari laki-laki. Namun dalam
berhagai bidang terjadi kesenjangan antara peran dan eksistensi kelompok perempuan dan
kelompok laki-laki. Kelompok perempuan boleh dikata menjadi korban dan penindasan
dalam struktur dan kultur yang sangat patriakhis hingga kini. Pasca reformasi 1998,
memang upaya-upaya untuk memberdayakan kelompok perempuan semakin intensif.
Puncaknya barangkali ketika kuota 30 % terakomodasi dalam UU Pemilu yang baru.

a. Kendala-Kendala Pada Pemilu Sebelumnya:


Menurut para peserta diskusi, sejak Pemilu tahun 1955 hingga menjelang Pemilu
2004, bisa dikatakan bahwa perempuan perannya masih tetap marginal. Banyak kendala
yang membuat perempuan tidak punya ruang gerak yang memadai. salah satu kendala yang
paling penting itu adalah kultur di negeri ini yang tidak menguntungkan buat perempuan,
dalam hal ini adalah kultur patriakhis. Dalam kultur ini, perempuan ditempatkan sebagai
kalangan yang mengurusi hal-hal domestik saja, adapun peran politik dianggap wilayah
dari laki-laki, akibatnya banyak hal yang tidak menguntungkan buat perempuan. Hasil FGD
di Semarang menunjukkan bahwa keikutsertaan kaum perempuan perempuan dalam
Pemilu di wilayah Jawa Tengah sangat dipengaruhi suami atau orang tua. Hal ini tidak
lepas dan kultur Jawa yang masih menempatkan perempuan dalam hierarkhi bawah dalam
keluarga. Masyarakat secara umum juga masih kurang tertarik terhadap isu perempuan.
Pengalaman KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) di Semarang saat mengadakan Talkshow
di radio tidak mendapat respon dan pendengar.
Di sisi lain, problem-problem di tingkat kultur juga masih bertahan. Sebagai
contoh, upaya-upaya sebagian kelompok dalam parlemen untuk mengegolkan peraturanperaturan yang membatasi peran perempuan dalam perempuan atas nama agama masih
terus terjadi. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal yang bersifat patrakhis juga masih melekat

11

dalam kehidupan masyarakat di berbagai daerah, dan benar-benar menjadi kendala bagi
gerakan emansipasi.
Akibatnya. perempuan tetap berada dalam struktur yang rendah dalam kehidupan
sosial. Perempuan tetap ditempatkan sebagai warga kelas dua, kecuali pada komunitaskomunitas modern well educated tertentu. Perempuan secara umum masih terbelenggu oleh
persoalan-persoalan domestik-rumah tangga. Akibat lebih jauh. kesadaran politik wanita
masih eiidah. Sulit mengharapkan keterlibatan mereka pada kegiatan-kegiatan politik.
Hingga saat ini masih berkembang dalam masyarakat konstruksi sosial yang melihat bahwa
Pemilu, sebagaimana urusan politik yang lain, adalah urusan kaum laki-laki.
Khususnya dalam proses pemilihan umum, perempuan menghadapi berbagai
kendala, mulai dan masa kampanye sampai ke pemberian suara di TPS. Misalnya saat
pemberian suara di TPS, entah mengapa penyelenggara Pemilu tidak menyadari perempuan
itu membutuhkan keperluan tertentu yang berbeda sekali dengan kebutuhan Laki-laki.
Misalnya tidak pernah dibayangkan bahwa di antara sekian banyak perempuan itu ada yang
mengandung, ada yang menyusui, membawa bayi, dan lain-lain. Bagaimana mengantisipasi
perempuan yang sedang menyusui, sementara dia harus antri di depan bilik suara.
Bagaimana dengan perempuan yang sedang hamil, apakah dia juga harus berdiri antri
seperti yang lain? Bagaimana dengan ibu-ibu yang punya anak kecil dan tidak bisa di
tinggal di rumah, apakah ia juga harus antre?
Persoalan lain yang ditemukan adalah masih kuatnya stigmatisasi terhadap kaum
perempuan yang terjun ke politik praktis. Misalnya yang terjadi terhadap kaum perempuan
di wilayah Sumatra Utara, yang aktif menjadi pengurus partai politik, atau aktif melakukan
pendidikan-pendidikan politik. Mereka kerap dituduh sebagai Gerwani. Oleh karena itu
beberapa aktivis yang melakukan pendidikan politik sering mengalami hambatan. Misalnya
di Medan ada satu kelompok perempuan yang diusir oleh kepling (kepala lingkungan,
semacam Ketua RT di Jawa) gara-gara rumah kostnya dijadikan tempat pendidikan politik
untuk kaum buruh. Bahkan ada juga seorang aktivis perempuan yang bergabung dengan
sebuah Parpol mengalami perlakuan kekerasan (dipukul oleh suaminya sendiri). Selain
hambatan kultural. ada juga hambatan struktural, khususnya yang terjadi pada sebuah
organisasi wanita yang berafiliasi dengan agama Katholik. Pada tahun 1999, organisasi

12

Wanita Katholik misalnya melarang keterlibatan pengurusnya untuk terjun ke partal politik.
Mereka yang hendak menjadi caleg harus keluar dan organisasi. Namun peraturan tersebut
sekarang sudah berhasil direevisi karena adanya perlawanan dan sejumlah pengurus dan
organisasi tersebut.
Persoalan-persoalan di atas membuat kaum perempuan tidak bisa secara optimal
menyalurkan suaranya. Problem politik perempuan sangat kompleks. Dari problem sebagai
pemegang hak pilih hingga problem sebagai pemegang hak untuk dipilih. Lalu bagaimana
kondisi-kondisi menjelang Pemilu 2004? Benarkah kelompok perempuan secara politik
telah berada pada posisi yang lebih baik menjelang Pemitu 2004? Hasil Assessment Koalisi
NGO Media Untuk Pemilu 2004 menunjukkan, bahwa sesungguhnya belum terjadi
perubahan-perubahan signifikans dalam posisi perempuan menjelang Pemilu 2004.

b. Harapan dan Proyeksi Menjelang Pemilu 2004:


Pasca Pemilu l999 hingga menjelang 2004, praktis tidak ada pendidikan politik
terhadap perempuan yang memadai dari pemerintah. Pemerintah tidak menunjukkan
agenda atau strategi yang jelas untuk memberdayakan perempuan secara politik. Peranperan pemberdayaan telah secara serius dilakukan oleh unsur-unsur NGO. Namun ini hanya
menjangkau kalangan yang terbatas. Secara umum, struktur kekuasaan juga masih sangat
patriarkhis. Ketimpangan gender masih terjadi di seluruh level dan lini pemerintahan.
Memang. muncul pemimpin-pemimpin wanita baru, namun ia bisa dianggap sebagal
sesuatu yang fenomenal.
Bagaimana dengan kuota 30% perempuan dalam UU Pemilu yang baru? Banyak
kaum perempuan yang tidak memahami apa makna kuota perempuan itu bagi mereka.
Pemahaman dan diskursus tentang kouta itu hanya muncul pada kelompok spesifik tertentu,
para aktivis dan intelektual perempuan. Dan kenyataannya. kuota 30% itu sesungguhnya
juga belum tentu akan bermakna banyak bagi emansipasi perempuan. Ada banyak
kemungkinan tafsir hukum atas klausul tersebut. Apakah itu berarti 30% dari anggota
parlemen harus perempuan. atau 30% calon anggora parlemen harus perempuan?

13

Hasil diskusi di sejumlah kota menunjukkan. kuota 30% perempuan itu bukan
otomatis menggambarkan bahwa posisi perempuan mulai dihargai sehingga juga
mendapatkan porsi yang sama dengan laki-laki. Yang dikhawatirkan adalah kuota 30%
tersebul hanya menjadi media untuk memperdagangkan perempuan saja. Apakah
dengan kuota 30% ini mampu merepresentasikan tuntutan politik perempuan ataukah kuota
ini hanya sekedar menempatkan perempuan di parlemen saja? Partai-partai besar bukannya
tak mungkin asal-asalan saja dalam memenuhi kuota tersebut. tanpa memperhatikan soal
kualitas dan komitmen. Apakah ada jaminan bahwa perempuan- perempuan itu setelah
menjadi pemimpin akan menjadi peduli terhadap nasib perempuan? Jangan-jangan mereka
pada akhirnya menjadi perempuan yang berideologi laki-laki?
Komunitas aktivis perempuan, misalnya kecewa terhadap figur Megawati. Sebagai
pemimpin perempuan, dia dianggap tidak punya sifat dan kepedulian sebagai perempuan.
Megawati dianggap gagal dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, dan tidak layak
untuk dijadikan medium kampanye bagi kaum perempuan. FGD di Jakarta melihat bahwa
unsur-unsur perempuan yang kini berada di parlemen juga tidak berdaya. Mereka tidak bisa
melakukan affirmative action karena berbagai keterbatasan yang ada. Apakah kuota
perempuan 30% akan bisa mengubah hal ini? Para peserta diskusi pesimis. Kecuali jika
kuota itu dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai. Tanpa adanya infrastruktur
pendukung, kuota itu bisa-bisa justru menjadi pukulan balik bagi kaum perempuan.
Hal ini paralel dengan hasil FGD di Semarang. Sebagai sebuah gerakan, kaum
perempuan masih terkotak-kotak. Pengamatan peserta FGD atas kaum perempuan yang
mencalonkandiri sebagai anggota DPD di KPUD Jateng, sejumlah kaum perempuan ini
tidak mencoha melakukan koordinasi untuk kepentingan perempuan, tapi lebih berpikir
kelompoknya. 60% anggota KPUD Jawa Tengah adalah kaum perempuan. Namun mereka
belum secara optimal berhasil menyuarakan kepentingan kaum perempuan menjelang
Pemilu 2004.

c. Persepsi dan Harapan Tentang Peran Media Massa

14

Bagaimana dengan peran media dalam memperjuangkan aspirasi kaum perempuan,


khususnya menjelang Pemilu 2004? Kesan dominan yang muncul tentang hal ini adalah.
peran media selama ini adalah lebih banyak mengeksploitasi perempuan daripada
memberdayakannya. Khususnya media televisi, lebih banyak menampilkan perempuan
sebagai obyek eksploitasi untuk menarik perhatian khalayak permirsa. yang celakanya
oleh media televisi notabene juga dikonstruksi sebagai kaum laki-laki. Dunia televisi
dikonstruksi sebagai dunianya laki-laki untuk melihat perempuan yang dikemas dan
disajikan.
Aneka rupa tayangan hiburan, iklan dan informasi benar-benar mengandung bias
gender. Perempuan lebih banyak ditampilkan sebagai obyek, dan laki-laki adalah
subyeknya. Dalam layar kaca televisi, perempuan pertama-tama dan terutama adalah soal
sensualitas. Media tak banyak dilihat dan sisi lain, meskipun pada diri perempuan ada
banyak potensi dan aspek, bukan sekedar daya tarik fisik. Para narasumber FGD dan
wawancara mendalam mengeluh, tidak banyak media yang benar-henar secara sengaja
mempunyai kepedulian terhadap persoalan gender. Dari yang sedikit itu, dan terlepas dari
soal kualitas, Kompas adalah media yang secara rutin menampilkan laporan dan tulisan
soal perempuan.
Dalam kaitan dengan media, media pun sampai sekarang belum memberi porsi
yang cukup memadai untuk pensosialisasian agenda-agenda politik buat kaum perempuan.
Belajar dan pengalaman 1999, yang dilakukan media hanya melaporkan jalannya
kampanye. Siapa saja caleg dari partai itu, apa ada perempuannya tidak diperhatikan. Tidak
pernah diberitakan misalnya apakah partai itu punya agenda yang berperpesktif perempuan,
apakah mereka memberi tempat buat caleg perempuan dan seterusnya ?
Ketika anggota dewan memutuskan untuk menolak kuota 30% untuk anggota
parlemen perempuan, misalnya, media massa kurang menjadikan masalah tersebut sebagai
bahan diskusi publik. Apalagi media massa di daerah. Wacana tentang pentingnya
affirmative action bagi kaum perempuan. sama sekali tidak memperoleh perhatian dalam
pemberitaan mereka. Nasib yang sama dirasakan peserta FGD kaum perempuan di Medan
ketika pentas politik diramaikan oleh bursa pencalonan anggota DPD (Dewan Perwakilan
Daerah). Ada sekitar 4 calon anggola DPD yang berasal dari kalangan aktivis perempuan di

15

Sumut dari 53 calon. Namun menurut mereka, media massa seperti tak menganggap
keikutsertaan mereka. Jarang sekali aktivitas sosial dan politik serta gagasan-gagasan
mereka muncul dalam pemberitaan media massa.
Media massa lebih banyak menampilkan wawancara dengan para calon DPD yang
berasal dari kaum laki-laki. Terkait dengan harapan tentang peran yang dilakukan media
massa, muncul harapan agar media massa mampu mensosialisasikan Parpol-Parpol yang
bersikap akomodatif terhadap pemenuhan kuota perempuan. Di sisi lain media massa juga
diharapkan mampu mensosialsasikan kontrak politik-kontrak politik yang tengah dirintis
sejumlah aktivis perempuan dengan Parpol yang akomodatif terhadap persoalan afirmatif
action.
Menarik untuk disimak yang terjadi di Semarang. Informasi tentang Pemilu lebih
banyak diterima dari kegiatan PKK atau kelurahan. Peserta FGD mengakui, iklan layanan
masyarakat di TV cukup membantu pengetahuan perempuan tentang Pemilu. Sejumlah
media massa juga memang sudah memberi porsi besar terhadap pemberitaan Pemilu.
Namun. yang dimuat media itu tidak terlalu menarik bagi kaum perempuan kebanyakan.
Persoalan perempuan yang diangkat di media massa cenderung bersifat akademis dan
kurang memenuhi persoalan perempuan di tiingkat grassroot. Acara-acara talk.show di TV
cuma menghadirkan perempuan dan kalangan akademis. Pikiran mereka sangat jauh
berbeda dan sulit dicerna oleh kaum perempuan kebanyakan, terutama di daerah-daerrah.
Berpijak pada pengalaman Pemilu 1999. iklan layanan masyarakat di TV sangat
membantu. Pada Pemilu mendatang iklan-iklan layanan semacam itu sebaiknya
diperbanyak frekuensinya. Informasi Pemilu di media massa sebaiknya memperhatikan
persoalan perempuan di tingkat grassroot ini.
Unsur NGO Perempuan ini di sisi lain dihadapkan pada problem betapa mahalnya
tarif iklan dan airtime di media. Akibatnya. sulit untuk mengampanyekan pesan-pesan
gender ke kalangan lebih luas. Sementara kalangan pengelola media sendiri tidak melihat
kampanye gender sebagai prioritas. sehingga mereka tidak memberikan peluang-peluang
tertentu. Memang banyak ditemukan media-media khusus perempuan seperti Femina dan
Nova. Namun onientasi mereka lebih pada life style dan mode. Masih dibutuhkan waktu

16

lebih panjang untuk meyakinkan para pengelola media perempuan itu untuk juga
memperhatikan aspek-aspek pemberdayaan kaum perempuan dalam media mereka

V. Hasil Assessment Kelompok Diffable:


a. Kendala-Kendala Pada Pemilu Sebelumnya
Para

penyandang

cacat

boleh

dibilang

sebagai

kelompok

yang

paling

termarginalkan dalam pelaksanaan PemiIu yang sudah-sudah. Hasil FGD di Semarang


menyimpulkan, pada level kultural, ada kendala di mana sebagian masyarakat masih
menganggap kaum diffable sebagai kaum yang tidak sehat secara jasmaniah. Padahal
kaum ini tetap sehat, hanya memiliki anggola tubuh dan kemampuan yang berbeda
(different abilities) dari warga masyarakat pada umumnya. Di masyarakat juga masih
muncul persepsi tentang kaum diffable sebagai kaum yang bisanya meminta-minta dan
butuh belas kasihan.
Kendala yang dialami kelompok penyandang cacat (diffable) juga terkait jenis
kecacatan seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa. dan tunalaras. Secara
kultural, kelompok diffable mengalami kendala psikologis berupa rasa minder dari diri
sendiri dan/atau keluarga mereka untuk bergaul dengan orang normal saat di tempat
pemungutan suara. Akibatnya akses yang diperoleh juga terbatas. Sementara kendalakendala kultural antara lain masih adanya budaya minder di kalangan penyandang cacat
untuk menggunakan hak pilihnya. Hasil FGD di Makassar menemukan, perasaan minder
ini umumnya banyak dijumpai penyandang cacat yang ada di luar panti dan di daerahdaerah luar kota Makassar. Mereka lebih cenderung memilih tinggal di rumah daripada
harus menanggung malu karena menjadi pusat perhatian orang banyak. Para orang tua
penyandang juga merasa malu kalau anaknya yang cacat itu dilihat orang banyak. Oleh
sebab itu para oraing tua lebih menginginkan kalau anaknya tinggal saja di rumah biar
orangtuanya saja yang wakili memilih daripada harus repot-repot datang ke TPS.
Dengan kata lain, bagi kaum diffable, datang ke tempat bilik pencoblosan saja sudah
merupakan beban tersendiri. Untuk menyalurkan suaranya, mereka butuh bantuan orang
lain, terutama keluarga. Bagi mereka yang tidak punya keluarga. akan mengalami kesulitan.

17

Bagi kebanyakan kaum tuna netra, kerahasiaan memilih pada akhirnya menjadi sesuatu
yang hampir mustahil. Di sisi lain. kesulitan teknis dan rasa minder yang dihadapi kaum
diffable, membuat tingkat golput di kalangan ini menjadi cukup besar pada Pemilu 1999.
Hal ini paling tidak terungkap pada FGD di Semarang.
Persoalan lain, secara umum memang tidak terlihat komitmen pemerintah untuk
melindungi hak-hak penyandang cacat sebagai warga negara. Bisa dilihat misalnya, sulit
sekali menemukan sarana-sarana khusus untuk kelompok penyandang cacat. Sebagai
bagian dari publik secara keseluruhan, tampaknya eksistensi mereka tidak cukup
diperhatikan. Inilah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara maju. Di negaranegara maju, fasilitas-fasilitas untuk penyandang cacat bisa ditemukan di tempat-tempat
umum, semisal di trotoar, di pusat perbelanjaan dan lain-lain.
Paralel dengan kondisi umum tersebut adalah minimnya sarana bagi para
penyandang cacat untuk menampilkan aspirasi politiknya. Dari pemilu ke Pemilu, selalu
muncul kendala-kendala teknis yang itu-itu juga.

Misalnya saja kendala teknis saat

pendaftaran. Dalam FGD Surabaya teridentifikasi bahwa Petugas P4B (Panitia Pendaftaran
Peserta Pemilu Berkelanjutan) ternyata jarang sekali yang mempunyai inisiatif untuk
menanyakan dengan rinci jenis kecacatan kelompok diffable yang di data. Akibatnya, tidak
teridentifikasi dengan jelas, apakah kebutaan yang dialami calon pemilih bersifat total atau
hanya low vision (masih bisa melihat tapi samar). Hal ini akan mempengaruhi data tentang
jumlah dan jenis kelompok diffable yang ada di tiap-tiap tempat pemungutan suara (TPS).
Selain itu. terjadi generalisasi pada pemilih kaum diffable, tanpa memperhatikan kondisi
spesifik masing-masing.
Dan FGD dan wawancara mendalam kelompok diffable di Semarang, juga
ditemukan beberapa kendala-kendala teknis kaum penyandang cacat pada Pemilu-Pemilu
yang lalu:
o Tidak adanya aksesbilitas di TPS, seperti TPS yang berbatu, berumput tebal, di
gedung/taman yang bertangga, bilik dan pintunya yang terlalu sempit, tidak adanya
ran atau landaian, peletakan kotak suara yang terlalu tinggi bagi pengguna kursi
roda, dll.

18

o Tidak adanya informasi Pemilu yang dapat diakses sesuai dengan kecacatan seperti
tuna netra dalam bentuk Braille atau kaset.
o Tidak adanya akses untuk didaftar guna memberikan suara dikarenakan
eksistensinya yang tidak diakui seperti adanya isolasi, marjinalisasi, dan penolakan
sebagai akibat stigma dan budaya.
Pertanyaan yang relevans untuk diajukan dalam konteks ini adalah, apakah pemerintah dan
kalangan Parpol cukup memikirkan akses kaum penyandang cacat terhadap momentum
kampanye politik Parpol menjelang Pemilu? Apakah pemerintah dan kalangan Parpol telah
cukup memikirkan format kampanye politik yang bisa diakses oleh penyandang tuna netra
misalnya? Model-model kampanye dengan pengerahan seperti yang lazim dilakukan
parpol selama ini, sangat tidak familier bagi para penyandang cacat.
Pemerintah semestinya mempunyai kepedulian terhadap hal ini. Namun
kenyataannya, bukan hanya pemerintah yang tidak peduli, namun juga kalangan civil
society. Kalangan pers misalnya. tidak cukup memberi perhatian terhadap nasib dan
aspirasi kelompok penyandang cacat. Kelemahan media kita memang. membiarkan
pemberitaan mengalir sesuai dengan perkembangan isu dan situasi, tanpa ada desain atau
agenda untuk mengangkat dan memersoalkan sisi-sisi tertentu dari sebuah penyelenggaraan
Pemilu.
Hasil FGD di Semarang mengungkap satu fakta yang cukup menjegutkan.
Pemerintah tidak mempunyai data pasti tentang jumlah, kondisi dan tempat tinggal
penyandang cacat. Tidak pastinya data ini membuat pelaksanaan Pemilu sering
mengabaikan keberadaan mereka. Pada tingkat selanjutnya, tidak cukup terlihat kebijakankebijakan untuk memberikan fasilitas memadai bagi kaum diffable untuk mengakses tahaptahap Pemilu. Tidak pastinya data tentang jumlah kaum diffable sering diipakai pejabat
untuk

mengabaikan

kepentingan

mereka

dalam

Pemilu.

Akibatnya,

kebutuhan

prasarana/alat bantu Pemilu bagi kaum diffable juga terabaikan.


Bukan hanya itu, pemerintah dan pihak-pihak lain sering beranggapan bahwa
keberadaan kaum diffable hanya di panti-panti penyandang Cacat atau YPAC. Bagaimana
dengan kaum diffable di luar panti-panti tersebut. Bisa jadi mereka lebih besar, jauh lebih

19

termarginalkan, namun tidak mendapatkan pemberdayaan sebagaimana yang diterima


rekan-rekannya di panti-panti penyandang cacat.
Hasil Assessment di Makkasar menunjukkan, pengetahuan dan kesadaran yang
cukup tentang sistem, tahapan dan mekanisme Pemilu di kalangan penyandang cacat yang
berada di luar panti, yang tinggal di wilayah pedesaan jauh lebih memprihatinkan. Mereka
umumnya hanya tahu bahwa pemilihan presiden pada Pemilu 2004 akan bersifat langsung
memilih orangnya. Hal in tentu berbeda dengan penyandang cacat yang tinggal di panti
umumnya sudah menyadari betul hak-hak politik mereka khususnya menyangkut hak
mereka Sebagai pemilih dalam Pemilu. Bahkan ada sejumlah penyandang cacat yang
tinggal di panti tersebut sudah pernah mengikuti simulasi Pemilu yang diadakan CETRO.
Meskipun mereka telah mengikuti simulasi Pemilu 2004 yang diadakan CETRO toh
mereka mengaku masih bingung karena banyaknya partai peserta Pemilu serta rumitnya
sistem dan mekanisime Pemilu itu sendiri.
Pada titik ini, sekali lagi perlu dipertanyakan sikap dan kebijakan pemerintah untuk
terhadap kaum diffable. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk memberdayakan kaum
diffiable sebagai warga negara. Mungkin BPS bisa memulainya dengan melakukan
pendataan ulang terhadap keberadaan kaum diffable di Indonesia. Pendataan ulang ini
sangat menentukan bagi aspirasi kaum diffable pada Pemilu 2004. Terbentuknya PPUA,
sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah 9 Januari 2003. merupakan harapan bagi kaum
diffable di Jawa Tengah untuk mewujudkan hak pilihnya dalam Pemilu mendatang.
MelaIui PPUA diharapkan kaum diffable mendapat kesempalan mendapatkan voter
education.
Rendahnya pengetahuan dan kesadaran para penyandang cacat terhadap sistem,
tahapan dan mekanisme Pemilu antara lain disebabkan kurangnya sosialisasi tentang
sistem, tahapan dan mekanisme Pemilu yang menerpa mereka. Pemerintah dan lembaga
lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga yang memang bertanggungjawab melakukan
sosialisasi justru belum pernah secara langsung melakukan sosialisasi kepada kelompokkelompok penyandang cacat. Sementara pihak LSM/NGO yang melakukan sosialisasi
kepada kelompok cacat juga masih sangat terbatas yaitu baru dilakukan oleh CETRO.

20

Itupun hanya terhatas pada penyandang cacal tertentu dalam panti dan materi hanya hanya
menyangkut prosedur memilih secara umum.
Rendahnya pengetahuan tentang Pemilu akibat kurangnya sosialisasi baik dan
instansi pemerintah/LSM maupun dan media massa sebagaimana diuraikan di atas makin
diperparah oleh kendala-kendala yang sifatnya teknis dan kultural. Kendala-kendala teknis
tersebut umumnya berdasarkan pengalaman mereka pada Pemilu-Pemilu sebelunya antara
lain: sempitnya pintu TPS sehingga sulit diakses oleh mereka yang menggunakan kursi
roda, penempatan TPS yang jauh dari lokasi tinggal/panti mereka serta tidak tersedianya
fasilitas kertas suara atau template yang khusus bagi tunanetra (seperti terjadi di Kabupaten
Maros Sulawesi Selatan).
Hasil Assessment di Medan menyimpulkan, melihat marginalisasirealitas politik
kaum diffable (tuna rungu, daksa dan wicara) dari sudut pandang yang lain. Berkaca pada
pengalaman-pengalaman Pemilu sebelum tahun 1999, mereka adalah sekedar angka
statistik yang dibutuhkan Parpol untuk kepentingan menamhah jumlah suara. Ketika rezim
Orde Baru Soeharto berkuasa, situasi represi politik dan pola hubungan paternalistik yang
terjadi pada panti-panti atau institusi pan penyandang cacat, membuat mereka harus
mematuhi pilihan politik yang digariskan pihak pengurus, dalam hal ini mereka harus
mencoblos Golkar.
Pada saat itu, khususnya yang terjadi di Sumatra Utara, hak berpolitik dipahami
semata sebagai dukungan terhadap Golkar. Dan itu artinya. ketika pemilihan berlangsung,
mencoblos tanda gambar Golkar. Realitas politik seperti itu tampaknya belum beranjak
ketika rezim Orde Baru Soeharto dilengserkan oleh kekuatan reformasi. Pada Pemilu 1999,
kaum diffable tanpa sempat memperoleh bekal pendidikan politik tentang arti penting
Pemilu, kembali memperoleh gerilya politik ala Orde Baru, namun dengan aktor-aktor yang
berbeda. Namun intinya sebenarnya sama: Pemilu = memberikan suara bagi Megawati.
Tujuan = Megawati menjadi presiden, alasan = Megawati pernah datang ke panti mereka
dan memberikan sumbangan.

b. Harapan dan Proyeksi Menjelang Pemilu 2004:

21

Belajar dan fakta-fakta di atas, dapat dilihat betapa masih mininmnnya persiapan
don proyeksi-proyeksi buat kaum diffable mcnghadapi Pemilu 2004. Di tingkat pemahaman
tentang seluk-beluk Pemilu, kesadaran politik sebagai pemegang hak pilih (dan apalagi hak
untuk dipilih), hingga aspek-aspek teknis pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Bagaimana
kemungkinan-kemungkinan pada Pemilu 2004? Dari hasil FGD di Medan misalnya
ditemukan bahwa sejumlah partai politik sudah mulai melakukan gerilya politik dengan
membawa mereka ke acana-acara perayaan yang diadakan partai politik. Mereka diberi
janji-janji politik jika memilih Parpol bersangkutan. Selain itu, mereka juga diberi cindera
mata berupa kaos dan uang transportasi.
Parpol-parpol yang aktif melakukan gerilya politik terhadap kaum diffable, kembali
mengulang politik gaya Orde Baru, menjadikan mereka hanya mesin pendukung suara.
Sementara pendidikan politik tentang arti Pemilu, sistem Pemilu 2004, prosedur pemilihan,
tidak disentuh sama sekali. Pemerintah, dalam hal ini KPU juga setali tiga uang.
Sosialisasi tentang Sisitem Pemilu 2004 masih dipandang kebutuhan mewah.
Sejumlah harapan memang dialamatkan ke penyelenggara Pemilu. KPU misalnya
diharapkan dapat membuat berbagai brosur tentang sistem Pemilu 2004 yang memudahkan
kaum diffable untuk memahaminya. Pada tingkat teknis pelaksanaan hari pencoblosan,
sebuah TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk kaum diffable diharapkan juga dapat
difasilitasi KPU. Dengan adanya TPS khusus, yang memang disediakan untuk mereka,
diharapkan berbagai perlakuan diskriminatif yang mereka terima selama ini bisa dihindari.
Misalnya bagi kaum tuna netra yang sudah lama ikut antri melakukan pencoblosan, tiba
giliran mereka, panitia tiba-tiba mengalihkan giliran tersebut kepada calon lainnya yang
normal. Sedangkan tuna wicara mengharapkan agar panitia menyediakan seorang
penterjemah yang dapat memberikan keterangan tentang mekanisme pencoblosan. Hal ini
penting. terutama bagi kaum tuna wicara yang tidak targebung dalam organisasi, tapi
hendak menggunakan hak pilihnya. Tentu saja mereka membutuhkan penjelasan dan
panitia.
Para peserta FGD di Semarang menyampaikan harapan-harapan tentang Pemilu
2004 berkaitan dengan kondisi kaum diffable sebagai berikut:

22

Pada tiap bilik suara perlu diberi alat bantu yang memudahkan kaum Diffable
atau kalau perlu disediakan bilik akses bagi kaum Diffable.
Perlunya ketepatan dalam mendata jumlah kaum Diffable.
Pihak BPBI (Balai Penerbit Braile Indonesia) sebaiknya menerbitkan Buku UU
Pemilu yang ditulis dalam huruf Braile, walaupun dengan jumlah yang terbatas.
Mengingat jumlah kontestan Pemilu banyak, diperlukan simulasi pencoblosan
bagi kaum Diffable.

c. Persepsi dan Harapan Tentang Peran Media


Para peserta FGD dan narasumber wawancara mendalam di Medan mempunyai
pandangan yang sama bahwa Media massa tidak banyak berperan dalam sekali
memberikan informasi tentang Pemilu sesuai dengan karakteristik kecacatan fisik mereka.
Misalnya bagi kaum tuna wicara, media televisi sebagai satu-satunya media yang
diharapkan dapat memberikan informasi tentan Pemilu, kurang memperhatikan soal runing
teks. Acara-acara dialog interaktif tentang politik dan Pemilu menurut mereka mestinya
disertai dengan runing teks (dengan huruf yang cukup besar) terhadap setiap ucapan
narasumber. Mereka juga berharap, media elektronik menyediakan jasa penterjemah bahasa
isyarat. Untuk media cetak, ada harapan agar dapat memuat informasi tentang Pemilu
dalam bentuk karikatur dan komik yang mudah dipahami kaum tuna wicara yang umumnya
memiliki keterbatasan intelektual tersebut.
Kesimpulan Assessment di Medan di atas, paralel dengan hasil FGD dan
wawancara mendalam di Semarang dan Makasar. Bagi kaum diffable di Semarang,
infomasi tentang Pemilu di media massa yang dapat akseskaum diffable terasa sangat
minim. Media elektronik lebih banyak menyajikan konflik para politikus ketimbang
informasi yang berguna bagi kaum diffable. Ada slogan di kalangan kaum diffable:
semakin membaca koran semakin bingung & semakin dengar/nonton TV semakin
bingung. Sulit memastikan mana yang benar dan mana yang cuma gosip. Pemberitaan
tentang perlu atau tidaknya wakil Kaum Diffable di badan legislatif belum muncul di media

23

massaKecenderungan media massa menyiarkan konflik internal partai dewasa ini justru
membingungkan Kaum Diffable untuk memilih partai. Media massa mestinya juga
memperhatikan kebutuhan informasi Kaum Diffable agar memiliki pemahaman yang benar
tentang Pemilu mendatang.
Narasumber Assesment di Makkasar mengeluhkan. media massa lebih cenderung
memberitakan masalah pertikaian dan konflik antar partai dan elit politik ketimbang sistem
dan mekanisme Pemilu itu sendiri. Kendala cacat fisik khususnya kelompok tunanetra juga
menjadi salah satu faktor yang mcnghambat mereka mengakses informasi Pemilu yang
disajikan melalui media massa cetak. Oleh karena itu kelompok tunanetra ini lebih
mengandalkan radio dan tv sebagai sumber informasi utama bagi mereka. Meskipun
demikian bukan berarti bahwa mereka tak dapat sama sekali mengakses media cetak. Di
kalangan kelompok tunanetra khususnya yang ada di panti sebenarnya ada juga media cetak
yang khsusus bagi tunanetra yaitu majalah Gema Braile. Sayangnya media ini hanya bisa
dibaca oleh mereka yang sudah bisa baca huruf Braile dan informasinya pun bersifat umum
dan nasional. Padahal mereka sangat membutuhkan informasi-informasi politik yang
bersifat lokal khususnya informasi tentang kandidat parati lokal dan DPD dari Sul-Sel.

24

Anda mungkin juga menyukai