Anda di halaman 1dari 12

III.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN
MANGROVE-TAMBAK

Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove dan Tambak di Kelurahan Gersik dan


Kariangau merupakan tindak lanjut dari implementasi Renstra Pengelolaan Terpadu Teluk
Balikpapan. Secara khusus, sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya hutan
mangrove secara lestari dan tambak produktif yang dapat dikelola secara berkelanjutan,
dalam upaya menunjang kehidupan dan kesejahteraan masyarakat dan lingkungannya.
Untuk itu dalam upaya mewujudkan sasaran tersebut perlu digali akar penyebab masalah
dan dianalisis serta dirumuskan solusi alternatifnya melalui upaya pengelolaan tambak dan
mangrove terpadu dan implikasi pengelolaannya.
Dengan merujuk profil kondisi terkini mangrove dan tambak di Kelurahan Gersik
dan Kariangau dapat diidentifikasi akar penyebab masalah kerusakan hutan mangrove yang
terkait dengan usaha pertambakan. Akar penyebab masalah tersebut antara lain sebagai
berikut:
1. Belum ada penataan ruang yang mengatur secara jelas mengenai pemanfaatan
mangrove untuk tambak dan berbagai peruntukan lainnya;
2. Lokasi pembangunan tambak dan bentukpemanfaatan lainnya tidak sesuai dengan
peruntukan penataan ruangnya (kasus Kariangau);
3. Mekanisme dan prosedur perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan
mangrove untuk pertambakan dan penggunaan lainnya tidak jelas;
4. Adanya spekulasi jual beli tanah yang terkait dengan kecenderungan penguasaan atau
kepemilikan terhadap lahan mangrove.
Kerusakan terhadap hutan mangrove akan berimplikasi pada:
1. Menurunnya produktivitas perairan terutama di sekitar hutan mangrove yang
berdampak pada berkurangnya stok bibit udang/ikan yang dibutuhkan petambak dan
menurunnya hasil tangkapan serta penghasilan nelayan;
2. Terjadinya abrasi dan intrusi air laut;
3. Terjadi polusi perairan baik berupa sedimentasi maupun polusi limbah berbahaya dan
beracun. Semua ini terjadi karena hutan mangrove yang berperan sebagai habitat
berpijah dan berbiak serta sebagai filter untuk meredam kadar racun pada konsentrasi
tertentu tidak dapat berfungsi lagi.
Berdasarkan akar permasalahan dan dampak terhadap kerusakan mangrove di atas,
perlu dirumuskan alternatif solusinya yang terkait dengan implikasi pengelolaannya,
sebagai berikut:
1. Kebijakan pengelolaan yang terkait dengan penataan ruang dan pembentukan zonasi
(darat dan perairan);
2. Kebijakan hukum, aturan dan peraturan termasuk mekanisme dan prosedur perizinan
yang praktis dan jelas;
3. Pengembangan institusi/kelembagaan;

Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak 9


4. Pengembangan sosial ekonomi melalui upaya pengelolaan perikanan tangkap,
pengembangan budidaya tambak dan budidaya laut serta usaha ekonomi lainnya.

A. Kebijakan Penataan Ruang dan Zonasi


1. Penataan Ruang
Kecenderungan rusaknya ekosistem hutan tropis, menurunnya keanekaragaman
hayati dan berkurangnya sumberdaya hutan di kawasan DAS Teluk Balikpapan semakin
meningkat. Hal itu terjadi karena karena pemanfataan ruang di kawasan DAS teluk
termasuk wilayah pesisirnya untuk berbagai kepentingan seperti pembangunan pusat-pusat
perkotaan dan pelayanan masyarakat, bisnis industri dan usaha ekonomi lainnya yang terus
bertambah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungannya serta dalam
pembangunannya kurang berwawasan lingkungan.

Tumpang tindih pemanfaatan ruang di areal mangrove

Berdasarkan Revisi RTRW Kota Balikpapan 1994 – 2004 disebutkan bahwa


keseluruhan areal mangrove di Kelurahan Kariangau merupakan kawasan perlindungan
bakau dan sebagian di Sungai Wain sebagai kawasan pengembangan perikanan. Namun
pada kenyataan di lapangan sebagian areal mangrove telah dibuka dan digarap untuk usaha
pertambakan, sedangkan pada kawasan yang dialokasikan untuk pengembangan perikanan
telah dibangun dok-dok kapal dan penggunaan lainnya. Penyebab ketidakkonsistenan
tersebut terutama karena terjadinya duplikasi dalam hal pemberian ijin usaha dari beberapa
institusi terkait yang menangani hal ini, kurangnya sosialisasi tata ruang yang ada serta
kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

10 Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak


Apabila kegiatan-kegiatan di atas dilakukan secara tidak rasional dan kurang
memperhatikan aspek kelestarian, tidak berwawasan lingkungan dan tidak transparan, serta
tidak dilakukan secara partisipatif, maka akan terjadi kerusakan dan pencemaran yang
tidak hanya terjadi di lingkungan daratan, bahkan juga dampak negatifnya akan sampai ke
wilayah pesisir dan laut melalui aliran-aliran sungai yang bermuara di Teluk Balikpapan.
Dalam upaya mengantisipasi permasalahan tersebut, penataan tidak hanya perlu
dilakukan di kawasan DAS teluk, melainkan juga pada wilayah perkotaan seperti Kota
Balikpapan. Dalam hal ini perlu adanya penyangga yang bersifat strategis berupa kawasan
hutan kota seperti Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) yang berfungsi sebagai filter yang
dapat meredam kadar polutan pada konsentrasi tertentu. Selain itu banyaknya kawasan
terbuka di wilayah perkotaan perlu dikelola dengan baik dan lebih dihijaukan untuk
mengantisipasi dampak negatif seperti terjadinya erosi dan sedimentasi.
Upaya-upaya rehabilitasi hutan di daerah hulu dan areal mangrove di daerah pesisir
pada saat ini banyak dilakukan oleh berbagai institusi teknis terutama Dinas Kehutanan
dan Bapedalda, baik pada tingkat propinsi, kota maupun kabupaten. Selain itu, LSM lokal
bersama dengan pihak swasta yang mempunyai program pemberdayaan masyarakat juga
turut berpartisipasi dan berperan aktif dalam program penghijauan lingkungan. Jika
dibandingkan dengan rehabilitasi hutan lainnya, maka rehabilitasi hutan mangrove dan
hutan sepadan sungai serta pantai sebenarnya kurang mendapat perhatian.Oleh karena itu,
upaya rehabilitasi hutan mangrove dan hutan sepadan sungai serta pantai perlu lebih
ditingkatkan di masa mendatang. Usaha rehabilitasi hutan mangrove perlu dilakukan
dengan teknik yang tepat guna, efektif dan efisien, melalui petunjuk praktis/pedoman dan
arahan yang menunjang pengelolaan yang profesional, baik dari segi teknis, sosial-
ekonomi maupun secara ekologis.
Kondisi-kondisi yang terjadi seperti tersebut di atas sebenarnya terkait dengan
rancangan penataan ruang DAS yang membutuhkan ruang-ruang alami yang lebih besar
bila dibandingkan dengan ruang-ruang terbuka yang direncanakan untuk pemanfaatannya.
Hal ini disebabkan karena ruang-ruang alami yang lebih luas akan mampu berperan
sebagai penyanggga untuk mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya alam
(tanah, air, udara) dibandingkan dengan ukuran pemanfaatan yang lebih luas.
Upaya penerapan pengelolaan terpadu yang didasarkan atas pendekatan sistem DAS,
dimaksudkan agar penataan ruang baik DAS-DAS Riko, Wain dan Somber, serta DAS
lainnya di kawasan Teluk Balikpapan merupakan satu kesatuan ekosistem DAS yang
lengkap, mulai dari bagian hulu DAS yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air
(catchment zone); melalui bagian tengah DAS yang berfungsi sebagai daerah transportasi
(transportation zone) sampai ke bagian hilir DAS yang berfungsi sebagai daerah
pengendapan (deposition zone). Dengan demikian, penataan ruang yang baik dan
proporsional di daerah hulu, tengah dan hilir, diyakini dapat mengurangi dampak negatif
pada daerah muara DAS, perairan pesisir dan laut.

2. Pembuatan Zonasi Kawasan Mangrove Kelurahan Gersik


Keanekaragaman hayati dan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang berasal dari
hutan mangrove di Kelurahan Gersik cenderung menyusut. Salah satu penyebab utamanya

Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak 11


adalah pembukaan lahan mangrove untuk kepentingan usaha pertambakan. Penyusutan
hutan mangrove akan berpengaruh terhadap produktivitas perairan dan hasil tangkapan.
Oleh karenanya, pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat dari Kelurahan Gersik
mempunyai tanggung jawab untuk mengelola hutan mangrove yang terintegrasi dengan
usaha tambak secara berkelanjutan.
Pemanfaatan sumberdaya perairan yang terkait dengan mangrove adalah perikanan
tangkap. Kegiatan perikanan tangkap menggunakan alat-alat tangkap yang beragam
jenisnya mulai dari yang pasif seperti belat, bagan, rengge, pancing, rakkang, tenang dan
anco sampai yang aktif seperti jala dan dogol. Namun pada kenyataan di lapangan lokasi
penempatan alat-alat tangkap ini belum diatur dengan baik, sehingga terjadi persaingan dan
dampak negatif dalam hal hasil tangkapan.
Untuk mempertahankan kelestarian hutan mangrove perlu dibuat zonasi yang
berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan pemanfaatan mangrove untuk
kepentingan pertambakan. Disamping itu zonasi hutan mangrove juga perlu diarahkan
sebagai kawasan kantong nelayan dimana masing-masing alat-alat tangkap pasif dan alat
tangkap yang aktif dipisahkan dalam ruang zona tertentu untuk menghindari tumpang
tindih dalam pengoperasiannya. Zonasi tersebut juga harus dapat mengakomodir dan
mengarahkan secara jelas mengenai daerah penangkapan ikan dan non ikan dan daerah
yang sensitif terhadap penangkapan seperti jalur ruaya, habitat berbiak dan daerah

pembesaran.

12 Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak


3. Pembuatan Zonasi Kawasan Mangrove Kelurahan Kariangau.
Hutan Mangrove Kariangau merupakan bagian dari kelompok hutan mangrove yang
terdapat di kawasan teluk yang terkait dengan sistem DAS Somber, DAS Wain serta
beberapa DAS yang berukuran kecil di Kelurahan Kariangau. Pemerintah, kalangan bisnis
dan masyarakat Kariangau juga mempunyai tanggung jawab dalam rangka pengelolaan
terpadu mangrove dan tambak.
Hutan mangrove yang terletak antara sistem DAS Somber dan DAS Wain
merupakan areal yang paling banyak dibuka untuk kegiatan pertambakan dan juga
dimanfatkan untuk kepentingan industri perkapalan seperti galangan kapal. Disamping itu
adanya kegiatan kapal ferry yang melayari Sungai Somber juga sangat mempengaruhi
areal pertambakan. Oleh karenanya keberadaan hutan mangrove di sepanjang sempadan
Sungai Somber sangat penting dan perlu dipertahankan dalam upaya melindungi kegiatan
pertambakan yang ada di Kelurahan Margomulyo dan Kariangau, disamping fungsi
alaminya sebagai penetralisir bahan beracun yang berbahaya.

Gambar 3. Peta Usulan Zonasi Kelurahan Gersik (Lihat juga Lampiran 2)

Gambar 4. Peta Usulan Rencana Gambar


Zonasi oleh Kelompok
4. Peta Usulan RMasyarakat Kelurahan Kariangau
(Lihat juga Lampiran 3.)
encana Zonasi oleh Kelompok Masyarakat Kelurahan Kariangau (Lihat juga Lampiran 3.)

Pada hari lingkungan hidup sedunia yang dirayakan di Balikpapan pada tanggal 22
Juni 2003, secara formal telah dicanangkan adanya kawasan mangrove yang dilindungi di
kelurahan Margomulyo. Melalui peristiwa ini dapat diartikan bahwa masyarakat dan

Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak 13


Pemerintah Kelurahan Margomulyo serta Pemerintah Kota Balikpapan telah bersepakat
untuk melakukan suatu upaya perlindungan hutan mangrove pada tingkat kelurahan di
wilayah Kota Balikpapan. Diharapkan hutan mangrove tersebut selanjutnya dapat
dipelihara dan dijaga kelestariannya untuk kepentingan bersama pemerintah dan
masyarakat. Kesepakatan ini dapat dijadikan model dan ditularkan pada kelurahan lainnya,
serta pada tingkat kecamatan dan juga pada tingkat Kota Balikpapan. Untuk Kelurahan
Kariangau, kawasan hutan mangrove yang dilindungi tersebut dapat diperluas menjadi satu
unit pengelolaan dengan kawasan lindung HLSW.
Seperti halnya di Kelurahan Gersik, zonasi hutan mangrove dan perairan sekitarnya
selain berfungsi sebagai zona kawasan lindung, untuk menjaga daerah pembesaran ikan,
udang dan biota perairan lainnya, juga mencakup zona pemanfaatan untuk kegiatan
perikanan (tambak, budidaya laut, penangkapan dengan alat aktif dan pasif) dan kantong
nelayan serta zona bebas penangkapan untuk daerah atau habitat yang sensitif atau rentan
gangguan.
Di sekitar perairan Kelurahan Kariangau termasuk perairan sekitar mangrove diduga
sudah banyak terjadi pencemaran, baik yang bersumber dari kegiatan industri maupun
yang berasal dari buangan limbah-limbah padat dan cair yang berbahaya. Perairan yang
berpotensi pencemaran tersebut perlu dibuatkan zonasi khusus yang memberikan
gambaran yang jelas tentang “daerah-daerah berbahaya”. Dengan adanya kawasan atau
zona khusus semacam ini, maka bagian perairan yang tercemar sebaiknya ditutup dan tidak
akan diperuntukkan bagi pemanfaatan sumberdaya perairan atau kegiatan perikanan.
Ekosistem mangrove juga berfungsi untuk melindungi padang lamun yang
merupakan habitat sensitif untuk beragam jenis ikan dan biota perairan yang unik seperti
duyung (Dugong dugon). Kawasan padang lamun di kawasan Teluk Balikpapan sudah
semakin terancam karena pengaruh pencemaran limbah minyak dan endapan sedimen.
Oleh karenanya perlu diusulkan adanya zonasi untuk perlindungan padang lamun.

B. Kebijakan Hukum dan Peraturan


Kebijakan hukum dan peraturan yang terkait dengan pengaturan pemanfaatan
sumberdaya pesisir, antara lain adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, dan UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (khususnya untuk hutan mangrove). Namun ketentuan ini
diidentifikasi oleh banyak pihak sebagai peraturan perundangan yang lebih bersifat
eksploitif untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, lebih berorientasi kepada pemodal besar,
manajemen pengelolaan ditangan negara dan bersifat sektoral. Sedangkan kepentingan
untuk perlindungan dan keberlanjutan sumberdaya alam, dan kepentingan masyarakat lokal
masih terabaikan dan belum diakomodir dengan baik.
Terbitnya berbagai ketentuan atau peraturan perundangan yang terkait dengan
sumberdaya alam dan lingkungannya seperti UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 68
Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, PP No. 19
Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Keppres No. 32
14 Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak
Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, ternyata masih belum menjawab
sepenuhnya kepentingan dan peranan masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya alam,
khususnya sumberdaya pesisir. Di lain pihak peraturan-peraturan ini masih
memperlihatkan banyak kelemahan yang cukup menonjol, antara lain dominansi
pemerintah, kegiatan yang masih bersifat sektoral yang dicirikan lemahnya koordinasi
antar sektor, kurangnya sikap keterbukaan, kurangnya akuntabilitas publik serta
pendekatan yang tidak holistik.
Di tingkat propinsi Keputusan Gunernur/Kepala Daerah Tk I Kalimantan Timur No
31 Tahun 1995 tentang Pedoman Penertiban Surat Keterangan Penguasaan dan Pemilikan
Bangunan/Tanaman di Atas Tanah Negara memberi peluang pada masyarakat untuk
membuka lahan mangrove Di tingkat kabupaten/kota, sekalipun telah ada dasar untuk
menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, akan tetapi belum ada satupun ketentuan atau peraturan yang secara
yuridis formal yang mengatur secara tegas mengenai pengelolaan sumberdaya pesisir
berbasis masyarakat (Community-based Coastal Resources Management/CBCRM). Untuk
kepentingan ini diperlukan adanya suatu lembaga di tingkat daerah yang menangani
program-program CBCRM. Implikasi pengelolaan pesisir khususnya yang terkait dengan
pengelolaan terpadu mangrove dan tambak untuk kedepannya perlu diatur melaluisistem
pengelolaan yang terpadu antara pemangku kepentingan, pemerintah-swasta-masyarakat,
dan juga perlu adanya koordinasi yang baik antar sektor terkait.
Untuk kedepannya dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, masih diperlukan
peraturan yang lebih relevan yang disesuaikan dengan dinamika perkembangan isu dan
kondisi setempat serta kebutuhan lokal. Namun untuk kondisi saat ini perlu diprioritaskan
adanya suatu peraturan daerah mengenai program pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis
masyarakat, yang terkait dengan mangrove dan tambak seperti kawasan lindung mangrove,
daerah perlindungan laut, kawasan perikanan tangkap dan kawasan budidaya tambak. Hal
tersebut perlu diatur melalui perencanaan yang baik dengan pelibatan para pihak, dan
ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan kelurahan yang mengatur pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat tersebut. Sedangkan di tingkat pemerintahan
kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan propinsi, diperlukan pengaturan tentang fungsi,
peran dan mekanisme suatu lembaga yang memfasilitasi terlaksananya program dan
kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir, yang pokoknya meliputi:
a. Penetapan lokasi kegiatan bersama masyarakat yang dalam pelaksanaannya atas dasar
prioritas, kebutuhan riil dan mendesak;
b. Menetapkan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir bersama masyarakat.
Dengan mekanisme yang demikian dapat dihindarkan terjadinya kewenangan
tunggal yang dapat merugikan masyarakat luas dan menguntungkan pihak tertentu dalam
melakukan bisnis usahanya, seperti kenyataan yang ada sekarang berupa kemudahan
untuk memperoleh izin garapan dan adanya penguasaan atas lahan mangrove dan spekulasi
jual beli lahan tersebut.
Setiap program berbasis masyarakat pada hakekatnya menempatkan masyarakat
sebagai pihak yang sangat penting untuk diikut sertakan dalam perencanaan, penyusunan,

Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak 15


pengelolaan maupun pengambilan keputusan-keputusan tentang pemanfaatan sumberdaya
alam. Dalam hal ini penting untuk menjadikan masyarakat pesisir sebagai pihak yang
terlibat aktif di dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Kegiatan pengelolaan pesisir dan laut
berbasis masyarakat perlu didasarkan atas konsep good resource management governance,
yaitu suatu pemerintahan yang menjalankan sistem manajemen pengelolaan sumberdaya
alam yang dilakukan melalui proses-proses perencanaan sampai dengan pengambilan
keputusan yang partisipatif, transparan dan akuntabel.
Selama ini belum ada kebijakan dari otorita pengelola yang berwewenang baik di
Kota Balikpapan maupun Kabupaten PPU yang secara khusus mengatur mengenai hak
pengelolaan yang berhubungan dengan masalah mangrove dan tambak. Untuk kasus
kepemilikan lahan mangrove di Kariangau dan di Gersik sampai tahun 1985, sebagian
masyarakat memiliki sertifikatnya melalui program PRONA. Selanjutnya mekanisme dan
prosedur untuk mendapatkan SPPT/Segel sebagai bukti kepemilikan yang sah sampai
dengan tahun 2000 diproses melalui peranan lurah setempat. Dalam perkembangan
selanjutnya prosedurnya dirubah yaitu SPPT diberikan oleh pihak kecamatan (tidak lagi
melalui lurah) dan sertifikat hak milik diproses melalui BPN (lihat Profil Kondisi Terkini
Mangrove dan Tambak Kelurahan Gersik dan Kariangau). Namun berdasarkan fakta di
lapangan, banyak kepemilikan lahan mangrove yang tidak melalui prosedur sebagaimana
yang diuraikan di atas. Kebanyakan prosedurnya hanya sampai tingkat RT, kelurahan atau
tanah digarap begitu saja tanpa melalui prosedur yang legal.
Berdasarkan peraturan/ketentuan yang mengatur masalah hak atas tanah (UUPA No.
5/60), setiap keluarga berhak untuk mendapatkan tanah garapan maksimal seluas 2 Ha.
Peraturan ini ternyata memberi peluang bagi sebagian masyarakat untuk mendapatkan
tanah garapan yang luas dengan semakin banyaknya keluarga yang dilibatkan, sehingga
pada akhirnya terdapat penguasaan atas tanah yang luas. Hal ini terjadi di Kelurahan
Gersik dan Kelurahan Kariangau dimana areal mangrove telah banyak dimiliki tanpa
digarap atau digarap untuk usaha pertambakan.
Kenyataannya usaha pertambakan ini tidak begitu menguntungkan untuk bisnis
jangka panjang. Disamping penanganan yang kurang serius dalam pengelolaannya, mereka
juga belum mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk pengelolaan
tambak yang baik. Salah satu contoh dapat dilihat dari dibangunnya tambak pada lahan
gambut yang tanahnya bersifat masam dan juga masih digunakannya pestisida yang
berpotensi mencemarkan tambak.
Pada hakekatnya masyarakat masih tetap ingin mengelola tambak yang kurang
produktif tersebut karena merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar
masyarakat di Gersik dan sebagian kecil di Kariangau. Pada beberapa kasus seperti di
Kariangau masyarakat bahkan mempertahankan tambak yang terlantar karena disinyalir
adanya unsur spekulasi dalam hal bisnis jual beli tanah melalui kepemilikan lahan untuk
usaha lainnya. Disamping itu ada informasi bahwa ada RT dalam kelurahan Gersik yang
juga memberikan izin penggarapan lahan mangrove kepada pihak luar tanpa melalui
persetujuan Lurah atau Tokoh Adat setempat. Hal ini akan memberikan dampak yang
merugikan terhadap penduduk lokal.

16 Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak


C. Pengembangan Institusi/Kelembagaan
Dewasa ini, keberlangsungan dan keberhasilan proses pembangunan tidak hanya
diukur dengan indikator kemajuan sosial, ekonomi dan fisik; tetapi juga mengindahkan
aspek kemandirian dan kelestarian. Pendekatan pengembangan institusi yang mengarah
pada kemandirian dan kelestarian secara teknis sulit dibakukan rumusannya, terlebih jika
pendekatan tersebut diterapkan pada ragam dan tingkat pembangunan yang berbeda
karakter daerahnya. Namun pendekatan pengembangan institusi, pada prinsipnya harus
mengandung hal-hal pokok sebagai berikut:
a. Pembangunan yang bertumpu pada peran serta aktif masyarakat;
b. Penerapan azas keterbukaan dalam pelaksanaan kegiatan;
c. Perlunya kerjasama terpadu dalam implementasinya.
Pembangunan yang bertumpu pada peran serta masyarakat, juga harus
mempertimbangkan dinamika budaya lokal, sehingga pendekatan pembangunan yang
dirancang selayaknya dapat membantu mendorong atau meningkatkan peran institusi atau
kelembagaan lokal.
Peran serta, keterbukaan dan kerjasama merupakan prinsip pokok pengembangan
institusi. Secara teknis hal ini dapat dilakukan dengan:
a. Membangun kebersamaan;
b. Membangkitkan gagasan-gagasan dan alternatif pemecahan;
c. Membangun dukungan dan kekuatan bersama;
d. Mengembangkan sinergi positif;
e. Mengembangkan tindakan bersama.
Dalam upaya pengembangan keswadayaan masyarakat, kegiatan optimalisasi fungsi
institusi merupakan kegiatan yang strategis. Seringkali terjadi upaya pengembangan
masyarakat mengalami kegagalan hanya karena kesalahan atau kurang tepat dalam
mengoptimalkan fungsi institusi di tingkat kelurahan/desa.
Secara umum kegiatan optimalisasi fungsi institusi dimaksudkan untuk menciptakan
kondisi suatu masyarakat yang siap mengembangkan dirinya melalui usaha pemecahan
masalahnya sendiri. Secara lebih khusus kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan
pendekatan kepada 4 komponen anatomi desa agar proses sosialisasi dapat dilakukan
dengan cepat. Komponen desa dimaksud adalah:
a. Pemerintah Desa/Kelurahan, yang dimaksud adalah semua perangkat desa/kelurahan
berupa organisasi-organisasi di desa/kelurahan yang dibentuk secara formal;
b. Tokoh Masyarakat, pada umumnya adalah orang yang dituakan, seperti dalam kalangan
punggawa, guru, ketua adat dan agama;
c. Petugas Teknis, semua petugas teknis termasuk unsur keamanan di desa/kelurahan;
d. Masyarakat, siapa saja yang bertempat tinggal di wilayah desa/kelurahan biasanya
berdomisili lebih dari 1 tahun.
Kesinambungan kegiatan suatu program/proyek di tingkat desa tergantung dari
sejauh mana partisipasi dan keterlibatan keempat komponen desa/kelurahan. Intensitas dan
ketepatan pendekatan dalam memproses keterbukaan komponen tersebut akan memberikan

Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak 17


akses kepada sejauh mana seseorang dapat melihat dan mengetahui kelemahan diri sendiri
serta kemauan untuk mengakui/menerima potensi orang lain.
Jika kita melihat realitas empirik, kadang kadang koordinasi tidak berjalan secara
efektif, termasuk koordinasi di tingkat kelurahan seperti di Gersik dan Kariangau. Persepsi
tentang peran dan fungsi masing-masing komponen atau institusi seringkali bias dari yang
sebenarnya, dan hal ini menyebabkan terjadinya ego sektoral. Selain itu ada beberapa
faktor internal lainnya yang juga membuat mekanisme koordinasi tidak berjalan optimal
yaitu kurangnya komunikasi dan rasa keterbukaan.
Di tingkat lokal, pola interaksi antar komponen anatomi desa/kelurahan cenderung
tidak berjalan harmonis dan bahkan pincang. Hal ini disebabkan karena posisi dan peran
dari salah satu komponen anatomi desa/kelurahan seperti aparat desa/lurah biasanya lebih
dominan, sehingga membatasi kreativitas masyarakat dan akses masyarakat terhadap
berbagai sumberdaya. Hal ini berimplikasi pada pola interaksi yang terjadi yang biasanya
cenderung satu arah, misalnya antara aparat desa dengan masyarakat, sehingga terkesan
bahwa aparat desa mendominasi masyarakatnya.
Untuk menjalin hubungan yang lebih sehat dan harmonis di masa depan, komponen-
komponen anatomi desa dan unsur yang terkait perlu berinteraksi satu dengan lainnya
melalui hubungan yang setara posisinya dalam mengemukakan pendapat dan gagasan, dan
saling bersikap terbuka satu sama lainnya. Dengan demikian dapat diciptakan suatu
kondisi yang lebih kondusif dan harmonis, sehingga koordinasi dapat dilakukan secara
demokrasi dan berjalan efektif. Dari proses demikian rasa memiliki serta tanggung jawab
dapat muncul dan pada gilirannya melahirkan partisipasi aktif dari semua unsur yang
terkait. Untuk itu peran dari kelompok petambak dan nelayan yang ada dapat difungsikan
dan dikoordinasikan oleh KKT dan LSM yang ada di Kelurahan Gersik dan Kariangau.

D. Pengembangan Sosial Ekonomi


1. Pengelolaan Perikanan Tangkap
Upaya penangkapan ikan dan udang di Kelurahan Gersik dan Kariangau dengan
menggunakan alat-alat tangkap dan teknologi yang sanggup diusahakan sendiri oleh
nelayan serta dapat mempertahankan keberlanjutan hasil tangkapan sangatlah dianjurkan.
Penggunaan jaring dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil (< 4 mm) tidak
diperkenankan karena bersifat eksploitatif yang dapat menguras sumberdaya perikanan.
Dari hasil-hasil perikanan tangkap diperkirakan bahwa kebanyakan jenis ikan yang
tertangkap memanfaatkan kondisi pasang-surut yang terkait dengan ekosistem hutan
mangrove. Ikan-ikan tersebut tertangkap atau terperangkap karena mengikuti arus pasang-
surut. Berdasarkan pengalaman nelayan, dengan sifat pasang-surut yang semidiurnal, maka
dapat diperoleh hasil tangkapan sebanyak dua kali dalam sehari. Untuk menghindari
penangkapan yang berlebihan perlu dikendalikan dan diatur mengenai frekuensi, macam
dan jumlah alat tangkap.
Kelestarian habitat dan ketersediaan stok benur juga penting untuk menunjang upaya
budidaya perikanan laut terutama tambak. Ada korelasi atau hubungan antara besar
populasi ketersediaan stok benur dengan ukuran hutan mangrove. Makin panjang dan luas

18 Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak


hutan mangrove, maka semakin besar pula ketersediaan stok benur. Oleh karenanya
kehilangan atau rusaknya hutan mangrove akan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan
stok benur. Kegiatan budidaya perikanan tambak pada saat ini sangat tergantung dari
ketersediaan stok benur yang berasal dari alam, yang kesediaannya juga tergantung dari
kesehatan hutan mangrove tersebut. Menurunnya stok benur di alam selain tergantung dari
kondisi hutan mangrove, juga dapat disebabkan oleh kegiatan perikanan tangkap yang
menggunakan alat-alat tangkap dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil seperti
lampara dasar atau mini trawl yang dapat merusak atau merubah habitatnya di dasar
perairan. Untuk itu perlu diatur kebijakan yang dapat melindungi perairan sebagai stok dan
habitat benur dalam bentuk reservat ikan atau kawasan perlindungan. Upaya lain adalah
dengan cara mengevaluasi status habitat dan produktivitasnya guna merancang zonasi
kawasan perairan mangrove yang dilindungi. Selain itu juga mempelajari pengaruh upaya
penangkapan terhadap ketersediaan stok benur dan nener, sehingga selanjutnya dapat
dirancang upaya pengelolaan untuk melindungi ketersediaan stok benur di alam.

2. Pengembangan Budidaya Perikanan


a. Tambak yang Berkelanjutan (Silvofishery)
Kualitas air merupakan faktor yang penting tidak saja untuk usaha budidaya
perikanan tambak, tetapi juga mempengaruhi habitat untuk pemijahan, berbiak dan
pembesaran udang di alam. Pembuangan limbah domestik, industri, dan termasuk kegiatan
budidaya tambak sendiri telah menyebabkan terjadinya pencemaran dan mengakibatkan
menurunnya kualitas perairan baik di sungai, estuari, maupun pesisir dan laut Teluk
Balikpapan.
Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat dan nelayan di Kelurahan Gersik dan
Kariangau diinformasikan adanya pencemaran di perairan dengan indikasi adanya
kematian massal maupun menurunnya pertumbuhan benur dan nener. Selain itu dari data
hasil studi hidro-oseanografi Teluk Balikpapan dan hasil diskusi dengan pengusaha
pembibitan benur di Manggar, dapat disimpulkan adanya kecenderungan peningkatan dan
penurunan jenis mikroalgae tertentu yang disebabkan adanya perubahan kualitas air.
Dalam hal ini tidak saja kesehatan biota dan ekosistem perairan yang dipengaruhi tetapi
juga akan berpengaruh pada kesehatan masyarakat yang memanfaatkan perairan tersebut
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu untuk pengembangan
hasil budidaya yang baik, perlu dibuat prioritas kegiatan untuk mendapatkan data-data
yang akurat mengenai parameter kualitas perairan yang relevan disertai dengan kandungan
fisik dan kimiawi dari buangan limbah yang berasal dari sumber-sumber pencemaran yang
dapat dilacak (point source pollution) pada lokasi yang tetap/permanen.
Kegiatan pemantauan kualitas air dapat dilakukan secara berkala (dianjurkan
beberapa kali dalam setiap musim selama 1 - 2 tahun) oleh kelompok masyarakat
kelurahan bersama dengan LSM, para pengusaha dan pemerintah daerah melalui peran
KKT di tingkat kabupaten/kota. Data-data hasil pemantauan dianalisis dan dievaluasi
sehingga dapat diperoleh data dasar kualitas perairan yang layak, relevan dan bermanfaat

Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak 19


untuk pengelolaan dan pengembangan budidaya perikanan pada umumnya dan usaha
pertambakan pada khususnya.
Budidaya perikanan tambak terus dilakukan oleh masyarakat di Kalimantan Timur
dengan sistem ekstensifikasi dan bukan secara semi-intensifikasi dan intensifikasi.
Dibandingkan dengan cara ekstensifikasi (kelangsungan usaha sekitar 20 tahun), semi-
intensifikasi (10-15 tahun), sistem intensifikasi (<5 tahun); sistem tambak secara
tradisional dapat bertahan lebih dari 20 tahun. Namun demikian produktivitas tambak
dengan sistem tradisional hasil produksinya sangat kecil bila dibandingkan dengan sistem
ekstensifikasi (3-4 ton/ha/tahun), semi-intensifikasi (5 ton/ha/tahun) dan sistem
intensifikasi (13-14 ton/ha/ tahun). Akan tetapi di Kelurahan Gersik ternyata masih
terdapat tambak yang diusahakan dengan cara tradisional sejak tahun 1958.
Usaha budidaya perikanan tambak sukar untuk bertahan secara terus-menerus atau
berkembang baik di kawasan Teluk Balikpapan. Hal ini disebabkan karena tekanan baik
yang berasal dari faktor lingkungan, kondisi sosial dan ekonomi. Namun di bagian tertentu
dari perairan Teluk Balikpapan, usaha tersebut mempunyai peluang untuk terus dilanjutkan
dan dikembangkan di masa depan. Dibandingkan dengan Kelurahan Kariangau, maka
Kelurahan Gersik yang mengelola tambak tradisional secara berkelanjutan saat ini,
mempunyai potensi dan peluang untuk pengembangan usaha budidayanya. Penerapan
teknologi dan pengelolaan sumberdaya mangrove, udang dan ikan yang besar dapat
ditingkatkan dalam bentuk usaha industri masyarakat. Penerapan teknologi yang dapat
diaplikasikan adalah suatu pengelolaan tambak berkelanjutan (silvofishery), dengan variasi
atau kombinasi berbagai komoditas tambak yang beragam jenisnya seperti udang, ikan,
kepiting dan biota perairannya lain, yang mungkin bisa dikembangkan serta dengan
penanaman mangrove.
Peningkatan produksi tambak tersebut perlu diimbangi dengan penyediaan benur
alami yang berkualitas dalam jumlah yang cukup, disertai sistem pembibitan dan teknik
pengelolaan yang baik terhadap ketersediaan stok induk udang di alam. Disamping itu
perlu dikembangkan sistem sertifikasi bagi produk tambak yang prospeknya baik di masa
mendatang dan mempunyai peluang untuk dikembangkan di pasaran ekspor.

b. Budidaya Laut dan Usaha Ekonomi Lain


Upaya budidaya non tambak antara lain adalah pengembangan usaha melalui
marikultur melalui usaha penggemukan kepiting yang sudah dicoba di Teluk Balikpapan.
Selain itu dapat dikembangkan alternatif mata pencaharian lainnya seperti usaha bahan
makanan yang diolah dari produk laut seperti tripang, agar-agar (rumput laut), kue ikan
bilis dan pembuatan krupuk udang dan kepiting; usaha pertanian dan peternakan, usaha
kerajinan tangan dan usaha pertukangan. Pengembangan alternatif pencaharian non tambak
selain untuk mengantisipasi kerusakan hutan mangrove yang dibuka untuk usaha
pertambakan, juga merupakan suatu peluang dan tantangan bahwa kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat dapat ditingkatkan dengan tidak hanya tergantung dari usaha tambak
semata-mata.

20 Rencana Pengelolaan Terpadu Mangrove-Tambak

Anda mungkin juga menyukai