Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini dilaksanakan


dengan tujuan sebagai sebagai berikut:
1) melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta system
ekologisnya secara berkelanjutan.
2) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
3) memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan
keberkelanjutan.
4) meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran
serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil.

Bentuk Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


yang meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian
terhadap interaksi manusia dalam pemanfaaatan sumber daya pesisir secara
bekelanjutan, terdiri atas:
1) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RSWP-3K.
Sebagai bagian rencana yang tak terpisahkan dari rencana pembangunan
jangka panjang pemerintah ini memiliki jangka waktu pelaksanaan selama
20 tahun dan dapat di tinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
sekali.

9
2) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya
disebut RZWP-3K.
Merupkaan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi dan/atau pemerintah
kabupaten/kota, yang harus diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau
pemerintah kabupaten/kota. Memliki jangka waktu pelaksanaan selama 20
tahun dan dapat di tinjau kembali setiap 5 (lima) tahun sekali.
3) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RPWP-3-K.
Memuat kebijakan tentang pengaturan serta prosedur administrasi
penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang berlaku selama
5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang- kurangnya 1(satu)
kali.
4) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RAPWP-3-K.
Kebijakan ini dilakukan dengan mengarahkan Rencana Pengelolaan dan
Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis. Rencana ini
berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun.

2.2 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 16 Tahun 2013 Tentang
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2029
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jawa
Barat ini memiliki asas keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum,
kemitraan, pemerataan, peranserta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi,
akuntabilitas dan keadilan. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengarahkan
pemanfaatan pengalokasian penggunaan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil di Daerah, berdasarkan daya dukung lingkungan dan potensi sumberdaya
alam.
2.2.1 Kawasan Pemanfatan Umum
Didalam Kawasan pemanfaatan umum wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil Jawa Barat sesuai dengan karakteristik biogeofisik lingkungannya

10
direncanakan pemanfaatannya untuk zona pariwisata, zona pelabuhan, zona
pertambangan, zona perikanan tangkap, zona perikanan budidaya, zona
pergaraman, dan zona energi. Sedangkan untuk wilayah pesisir Kota
Palabuhanratu yang menjadi wilayah penelitian terdiri dari:
1. Zona Pariwisata (Pantai Citepus dan Pantai Palabuhanratu)
2. Zona Pelabuhan
- Pelabuhan Umum (Pelabuhan Regional Palabuhanratu)
- Pelabuhan Perikanan (PPN Palabuhanratu)
3. Zona Perikanan Tangkap
- Sub Zona Pelagis (KPU-PT-P-25) dan (KPU-PT-P-26)
- Sub Zona Pelagis Demersial (KPU-PT-PD-13), (KPU-PT-PD-14) dan
(KPU-PT-PD-15)
4. Zona Perikanan Budidaya
- Sub Zona Budidaya Laut Pantai Selatan Jawa (Pantai Palabuhanratu)
5. Zona Energi
- Sub Zona Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU Palabuhanratu)
2.2.2 Kawasan Konservasi
Kawasan koservasi yang berada di pesisir Provinsi Jawa Barat terdiri dari
Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kawasan Konservasi
Perairan, Kawasan Konservasi Maritim dan Kawasan lindung lainnya. Sedangkan
di Wilayah Pesisir Kota Palabuhanratu sendiri tidak terdapat Kawasan
Konservasi.
2.2.3 Alur Laut
Alur laut yang berada di pesisir Provinsi Jawa Barat terdiri Alur-Pelayaran
dan/atau Perlintasan yang selanjutnya, Pipa Bawah Laut , Kabel Bawah Laut dan
Migrasi Biota Laut. Sedangkan untuk alut laut yang berda di Pesisir Kota
Palabuhanratu adalah Pelabuhan Alur Pelayaran Nasional Palabuhanratu.

Untuk lebih jelasnya mengenai RZWP3K Provinsi Jawa Barat dan alokasi
ruang laut di wilayah pesisir Kota Palabuhanratu disajikan dalam bentuk pera
pada Gambar 2 berikut ini.

11
12
2.3 Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. 22 Tahun 2012 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Tahun 2012-2032
Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten adalah mewujudkan tata ruang
wilayah yang efisien, produktif, berkelanjutan dan berdaya saing di bidang
agribisnis, pariwisata dan industri menuju kabupaten yang maju dan
sejahtera.kebijakan struktur dan pola ruang Kabupaten Sukabumi dapat di
uraikan sebagai berikut:

2.3.1 Struktur Ruang


Dalam sistem pusat kegiatan dibagain sistem perkotaan, Kecamatan
Palabuhanratu termasuk ke dalam Pusat Kegitan Naisonal Provinsi (PKNp)
atau Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). Dengan memiliki fungsi utama sebagai
pusat bisnis kelautan dengan skala pelayanan nasional dan internasional, dan
fungsi penunjang sebagai kawasan pengembangan Pelabuhan Perikanan
Samudera dan minapolitan pada PKNp dan Kecamatan Palabuhanratu juga
memliki fungsi utama sebagai pusat pemerintahan kabupaten dan pariwisata,
serta fungsi penunjang sebagai kawasan permukiman, pertanian, perdagangan
dan jasa, perikanan, dan industri.
2.3.2 Pola Ruang
Dalam rencana pola ruang wilayah Kabupaten Sukabumi terdiri dari
kawasan lindung dan kawasan budi daya. Pada pola ruang kawasan lidung
Kecamatan Palabuhanratu termasuk dalam kawasan lindung yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahannya serta sub kawasan perlindungan
setempat, lebih tepatanya di sepadan pantai, sekitar waduk dan kawasan rawan
abrasi.
Pada rencana kawasan budi daya Kecamatan Palabuhanratu masuk dalam
kawasan peruntukan perikanan, yaitu meliputi:
a) peruntukan perikanan budidaya air tawar
b) peruntukan perikanan budidaya air laut
c) peruntukan perikanan tangkap
d) peruntukan minapolitan
e) peruntukan pengolahan perikanan
f) penyediaan prasarana perikanan

13
Sedangkan untuk kawasan peruntukan permukiman, Kecamatan
Palabuhanratu masuk ke dalam kawasan permukiman perkotaan. Kemudian
dalam peruntukan kawasan lainnya Palabuhanratu masuk dalam kawasan
pesisir dan laut dengan dengan arahan peruntukan untuk perikanan budidaya
tawar dan laut, perikanan tangkap, pariwisata, industri pengolahan ikan dan
konservasi.
2.3.3 Kawasan Strategis
Kawasan strategis yang ditetapkan di Kabupaten terdiri atas:
a) kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi.
b) kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup.
c) kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya
alam dan/atau teknologi tinggi.

Dari ke 3 (tiga) kategori kawasan strategsi di atas Kecamatan


Palabuhanratu masuk ke dalam semua kategori kecuali dari sudut kepentingan
sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, dan dalam kaitanya dengan
kasawan strategis ini kecamatan Palabuhanratu masuk ke dalam Kawasan
Strategis Kabupaten (KSK) Perkotaan Palabuhanratu.

2.4 Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor Tahun 2014 Tentang


Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi BWP
Palabuhanratu
Dalam RDTR Kecamatan Palabuhanratu disebutkan Bagian Wilayah
Perkotaan (BWP) yang ditentukan di Wilayah Perkotaan Kecamatan
Palabuhanratu memiliki tujuan untuk mewujudkan Kecamatan Palabuhanratu
menjadi Pusat Kegiatan Nasional dan Pusat Kegiatan Wilayah yang tertumpu
pada pembangunan berbasis pengembangan permukiman, perdagangan dan jasa,
perikanan, agribisnis, industri kelautan, pariwisata dan sarana pelayanan umum
dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan berkelanjutan

Sedangkan tujuan dari penataan BWP Palabuhanratu sendiri adalah


sebagai berikut:

14
1) Tujuan Penataan Bagian Wilayah Perencanaan adalah Kecamatan
Palabuhanratu yang lestari melalui pengembangan potensi agrowisata dan
wisata alam secara berdaya saing dan berwawasan lingkungan bagi
percepatan pembangunan Kabupaten Sukabumi.
2) Tujuan Penataan Bagian Wilayah Perencanaan sebagaimana dimaksud
dalam dijabarkan dalam sasaran penataan BWP Kecamatan Palabuhanratu
meliputi:
a) pengembangan sistem infrastruktur dalam mendukung perkembangan
wilayah selatan Kabupaten Sukabumi terutama untuk menghadirkan
kegiatan-kegiatan penarik/pemicu perekonomian.
b) tersedianya ruang-ruang perkotaan yang di dukung oleh lingkungan
dan didukung oleh pasar.
3) Sasaran penataan ruang dijabarkan dalam kebijakan penataan ruang BWP
Kecamatan Palabuhanratu meliputi:
a) menyempurnakan konektivitas jaringan di dalam wilayah selatan
Kabupaten Sukabumi dan didukung oleh sistem pengangkutan yang
baik.
b) kemudahan pencapaian pelayanan pada fasilitas sosial dan fasilitas
umum oleh seluruh penduduk.
c) pengembangan pelayanan infrastruktur.
d) memperkaya aktivitas penduduk.
e) meningkatkan Sumberdaya manusia agar memiliki daya saing yang
tinggi.

Selain di bentuk BWP Palabuhanratu, di dalamnya di bagi kembali


menjadi Sub BWP yang berjumlah 7 sub dengan satu fungsi dominan yang terdiri
dari:

1. Sub BWP A (Palabuhanratu dan Citepus)


2. Sub BWP B (Citepus)
3. Sub BWP C (Palabuhanratu dan Jayanti)
4. Sub BWP D (Citepus)
5. Sub BWP E (Palabuhanratu dan Jayanti)
6. Sub BWP F (Citarik dan Jayanti)

15
7. Sub BWP G (Palabuhanratu, Citarik dan Jayanti)

Berdasarkan data diatas, Kawasan Pesisir Kota Palabuhanratu yang


menjadi lokasi penelitian adalah Desa Citepus, Kelurahan Palabuhanratu dan Desa
Jayanti. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Gambar 3 berikut.

2.5 Ruang dan Pemanfaatan Ruang


Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara keberlangsungan hidupnya. Sedangkan menurut D.A
Tisna admidjaja, yang dimaksud dengan ruang adalah wujud fisik wilayah dalam
dimenasi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam
melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas kehidupan yang layak.

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,


pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang
dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta
pembiayaannya. Pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan aktifitas
pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk
mewujudkan rencana tata ruang.

2.5.1 Pemanfatan Ruang


Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam
rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara dan penatagunaan sumber daya alam lain,
antara lain adalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara dan
sumber daya alam lain melalui pengaturan yang terkait dengan pemanfaatan
tanah, air, udara dan sumber daya alam lain sebagai satu kesatuan sistem untuk
kepentingan masyarakat secara adil.

Menurut Iwan Kustiwan dan Melani A (2014) Pemanfaatan ruang dalam


arti lain dapat disebut sebagai rangkaian program pelaksanaan pembangunan yang
memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata

16
17
Ruang Wilayah (RTRW). Artinya segala bentuk pelaksanaan pembangun dalam
suatu wialayah atau ruang harus mengacu atau sesuai dengan rencana yang sudah
di bentuk sebelumnya.

Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk pada masa sekarang,


maka tekanan lingkungan terhadap wilayah pesisir , terutama konflik pemanfaatan
ruang dan sumber daya alam juga akan semakin kompleks dan membengkak.
Segala bentuk aktifitas manusia dalam menciptakan ruang-ruang terbangun pada
akhirnya akan meninggalakan masalah pada ekosistem pesisir. Sehingga perlu
adanya batasan kawasan terbangun seperti kawasan pesisir harus dilakukan.
Perkembangan pemukiman, serta fasilitas lain harus dibatasi melalui sistem
penataan ruang agar perkembangan ruang terbangun dapat terkendali dan arah
pengembangan kearah sepanjang pantai harus dicegah. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya lingkungan (permukiman) kumuh, kesenjangan sosial, erosi,
pencemaran, degradasi fisik habitat penting, over eksploitasi sumberdaya serta
konflik penggunaan ruang/tanah dan sumberdaya yang akhirnya mengancam
kelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.

2.5.2 Kawasan Terbangun


Kawasan terbangun adalah ruang dalam kawasan permukiman perkotaan
yang mempunyai ciri dominasi pernggunaan lahan secara terbangun atau
lingkungan binaan untuk mewadahi kegiatan perkotaan. Jenis pemanfaatan ruang
kawasan terbangun kota antara lain adalah kawasan perumahan, kawasan
pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, serta kawasan industri.

Ciri-ciri kawasan terbangun adalah ada batas-batas yang jelas,


dikategorikan berdasarkan fungsi ruang, berbentuk 3 dimensi serta dapat
dibedakan menjadi bangunan-bangunan kompak atau menyebar. Sedangakan
untuk pemanfaaatnya keragaman jenis pemanfaatan kawasan terbangun kota
tergantung pada fungsi kota tersebut dalam lingkup wilayah yang lebih luas.

a) Kawasan perumahan
merupakan kawasan yang luasannya paling mendominasi di kota (50-
60% dari luas kota). Di kota-kota di Indonesia, kawasan perumahan
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu perumahan formal/teratur/terencana

18
(seperti rumah susun, perumahan kolonial Belada dan perumahan
mewah) dan perumahan informal/tidak teratur (seperti perkampungan,
squater area dan slum area)
b) Kawasan perdagangan
Merupakan kawasan fungsional perkotaan yang dominan pada suatu
kota meskipun luasannya relative kecil. Hal ini terutama karena
kegiatan perdagangan dan jasa menjadi salah satu fungsi utama kota
dalam wilayah yang lebih luas, terkait fungsi kota sebagai pusat
koleksi dan distribusi bagi wilayah belakangnya. Di tinjau dari
distribusi lokasinya, struktur kegiatan perdagangan dapat berupa
centers, reibbons, atau specialized areas. Ditinjau dari skala
pelayanannya, hirarki pusat perdagangan (shopping center) terdiri dari
Conveience store, Neightborhood center. Community center, dan
Superregional center.
c) Kawasan perkantoran
kawasan perkantoran di kota-kota keberadaannya adalah untuk
mewadahi kegiatan sektor jasa:  transportasi, telekomunikasi, utilitas,
mewadahi perdagangan besar; finansial, asuransi, real estate; jasa
pribadi; jasa profesional dan administrasi publik. Pola lokasi
perkantoran jasa biasanya dipengaruhi oleh faktor komunikasi,
aksesibilitas, prestisius, lingkungan, tenaga kerja, dan daya tarik tapak.
d) Kawasan industri
Kawasan Industri (KI) dalam pengertian luas adalah tempat pemusatan
kelompok perusahaan industri dalam suatu areal tersendiri. Secara
rinci kawasan ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni Kawasan
Industri Non-manajemen dan Kawasan Industri ber-Manajemen.
Kawasan Industri bermanajemen terdiri dari Kawasan industri
(industrial estate), Kawasan Berikat (Export Processing Zone),
Kompleks Industri, Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK), Permukiman
Industri Kecil (PIK), dan Lingkungan Industri Kecil (LIK).
Kawasan Industri Non-manajemen terdiri dari Lahan peruntukan
industri, Kantong industri, dan Sentra industri kecil. Dalam konteks

19
perencanaan tata ruang kota, Sesuai dengan industri menurut RTRW;
(2) Aksesibilitas (bahan baku, bahan jadi, pemasok); 3) Aksesibilitas
ke pusat-pusat transportasi; (4) Topografi datar (kemudahan
pengembangan lahan); (5) Bebas dari rawan bencana alam; (6)
Berdekatan dengan kota-kota besar yang berpenduduk padat (pasar,
murah; dan (9) Keterkaitan industri hulu-hilir. (Iwan Kustiwan, 2013)

2.5.3 Bangunan
Bangunan sesungguhnya merupakan unsur perkotaan yang paling jelas
terlihat. Secara umum bangunan didirikan dengan menghindari kondisi fisik yang
akan memperbesar biaya konstruksi, misalnya kondisi geologi yang tidak stabil,
rawa-rawa atau daerah yang sering dilanda banjir. Sehingga ada penyataan
dilapangan bahwa bentuk bangunan kadang tidak beraturan karena mengikuti
bentuk geografis wilayah.

Dalam kaidah perencanaannya, Bangunan masuk dalam bentuk


implemenatsi dari penggunaan lahan budidaya. Bangunan sebagai bentuk
penggunaan budidaya ini sebagian besar masuk dalam penggunaan lahan
budidaya pada kategori permukiman, industri dan pariwisata.

Berdasarkan Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung yang


tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006,
menyampaikan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun
kegiatan khusus.

A. Fungsi Bangunan Gedung


Fungsi dan penetapan fungsi bangunan gedung
1) Fungsi hunian merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai
tempat tinggal manusia yang berupa:
a. Bangunan hunian tunggal
b. Bangunan hunian jamak
c. Bangunan hunian campuran

20
d. Bangunan hunian sementara
2) Fungsi keagamaan merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama
sebagai tempat manusia melakukan ibadah yang berupa:
a. Bangunan masjid termasuk mushola
b. Bangunan gereja termasuk kapel
c. Bangunan pura
d. Bangunan vihara
e. Bangunan kelenteng
3) Fungsi usaha merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai
tempat manusia melakukan kegiatan usaha yang terdiri dari:
a. Bangunan perkantoran : perkantoran pemerintah, perkantoran
niaga, dan sejenisnya
b. Bangunan perdagangan : pasar, pertokoan, pusat perbelajaan, mall
dan sejenisnya
c. Bangunan perindustrian : industri kecil, industri sedang, industri
besar/berat
d. Bangunan perhotelan: hotel, motel, hostel, penginapan, dan
sejenisnya
e. Bangunan wisata dan rekreasi: tempat rekreasi, bioskop, dan
sejenisnya
f. Bangunan terminal: stasiun kereta, terminal bus, terminal udara,
halte bus, pelabuhan laut;
g. Bangunan tempat penyimpanan: gudang, gedung tempat parkir,
dan sejenisnya
4) Fungsi sosial dan budaya merupakan bangunan gedung dengan fungsi
utama sebagai tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya yang
terdiri dari:
a. Bangunan pelayanan pendidikan: sekolah taman kanak-kanak,
sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah tinggi/universitas, sekolah
luar biasa
b. Bangunan pelayanan kesehatan: puskesmas, poliklinik, rumah
bersalin, rumah sakit klas A, B, C, dan sejenisnya

21
c. Bangunan kebudayaan: museum, gedung kesenian, dan sejenisnya
d. Bangunan laboratorium: laboratorium fisika, laboratorium kimia,
laboratorium biologi, laboratorium kebakaran
e. Bangunan pelayanan umum: stadion/hall untuk kepentingan
olahraga, dan sejenisnya
5) Fungsi khusus merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama
a. Tingkat kerahasiaan tinggi: bangunan kemiliteran, dan sejenisnya
b. Tingkat resiko bahaya tinggi: bangunan reaktor, dan sejenisnya

B. Klasifikasi Bangunan Gedung


1) Fungsi bangunan gedung diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat risiko kebakaran, zonasi gempa,
lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan.
2) Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas meliputi: bangunan gedung
sederhana, bangunan gedung tidak sederhana, dan bangunan gedung
khusus.
3) Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi meliputi: bangunan gedung
permanen, bangunan gedung semi permanen, dan bangunan gedung
darurat atau sementara.
4) Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran meliputi: bangunan
gedung tingkat risiko kebakaran tinggi, tingkat risiko kebakaran sedang,
dan tingkat risiko kebakaran rendah.
5) Klasifikasi berdasarkan zonasi gempa meliputi: tingkat zonasi gempa yang
ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
6) Klasifikasi berdasarkan lokasi meliputi: bangunan gedung di lokasi padat,
bangunan gedung di lokasi sedang, dan bangunan gedung dilokasi
renggang.
7) Klasifikasi berdasarkan ketinggian meliputi: bangunan gedung bertingkat
tinggi, bangunan gedung bertingkat sedang, dan bangunan gedung
bertingkat rendah.
8) Klasifikasi berdasarkan kepemilikan meliputi: bangunan gedung milik
negara, bangunan gedung milik badan usaha, dan bangunan gedung milik
perorangan.

22
Dari uraian yang ditulis diatas menyampailkan bahwa setiap bangunan
gedung sudah memiliki fungsi beserta klasifikasinya masing-masing.
Pengelompokan fungsi dan pengklasifikasian ini dilakukan untuk memudahkan
pengendalian dalam penggunaan lahan khususnya lahan terbangun yang masuk
dalam kategori lahan budidaya.

2.6 Lahan dan Pemanfaatan Lahan


2.6.1 Lahan
Menurut Sitorus (2001, dalam Puche 2012) lahan merupakan bagian dari
bentang alam yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim,
topografi, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Sedangkan menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi
penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk
secara alami maupun akibat pengaruh manusia.

2.6.2 Pemanfaatan Lahan


Pemanfaatan lahan adalah modifikasi yang dilakukan oleh manusia
terhadap lingkungan hidup menjadi lingkungan terbangun seperti lapangan,
pertanian, dan permukiman. Pemanfaatan lahan didefinisikan sebagai “sejumlah
pengaturan, ktivitas, dan input yang dilakukan manusia pada tanah tertentu"
(FAO, 1997). Pemanfaatan lahan memiliki efek samping yang buruk
seperti pembabatan hutan, erosi, degradasi tanah, pembentukan gurun, dan
peningkatan kadar garam pada tanah.

2.6.3 Kemampuan Lahan


Kemampuan lahan (land capability) adalah penilaian lahan secara
sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas
sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara
lestari. Kemampuan lahan didasarkan pada pertimbangan faktor biofisik lahan
dalam pengelolaannya sehingga tidak terjadi degradasi lahan selama digunakan.
Makin rumit pengelolaan yang diperlukan, makin rendah kemampuan lahan untuk

23
jenis penggunaan yang direncanakan. Menurut Notohadiprawiro dalam Trigus
Eko dan Rahayu (2012), kemampuan lahan menyiratkan daya dukung lahan,
sedangkan kesesuaian lahan menyiratkan kemanfaatan.

Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 17 Tahun 2009 tentang


Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang
Wilayah menyebutkan bahwa kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan
yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi
lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan
klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit
pengelolaan.

2.6.4 Kelas Kemampuan Lahan (KKL)


Pengelompokan kemampuan lahan dilakukan untuk membantu dalam
penggunaan dan interpretasi peta tanah. Kemampuan lahan sangat berkaitan
dengan tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam mengelola lahan. Dengan
demikian, apabila tingkat bahaya/risiko kerusakan dan hambatan penggunaan
meningkat, spektrum penggunaan lahan menurun.

Pembagian Kelas Kemampuan Lahan (KKL) disusun berdasarkan Permen


PU No. 20 Tahun 2007 yang mengasilkan 5 (lima) Kelas Kemampuan Lahan.
Pembagian tersebut di klasifikasi berdasarkan nilai hasil dari perhitungan Satuan
Kemampuan Lahan (SKL) yang telah di analisa. Pembagian tersebut diantaranya
adalah sebagei berikut:

1) Kelas A dengan nilai 32-58


2) Kelas B dengan nilai 59-83
3) Kelas C dengan nilai 84-109
4) Kelas D dengan nilai 110-134
5) Kelas E dengan nilai 135-160
Berdasarkan total nilai tersebut, dibuat beberapa kelas yang
memperhatikan nilai minimum dan maksimum total nilai. Nilai minimum yang
mungkin didapat adalah 32, sedangkan nilai maksimum yang mungkin didapat
adalah 160.

24
Nilai dari setiap kelas ini juga menunjukan klasifikasi lahan yang dapat
dikembangkan. Klasifikasi lahan ini dibagi menjadi 5 (lima) sesuai dengan
pembagian KKL. Kelas A dengan nilai total diantara 32-58 memilki kalsifikasi
kemampuan lahan yang sangat rendah. Sedangkan lahan dengan kemampuan
lahan untuk pengembangan sangat tinggi berada di kelas E dengan nilai 135-160.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel.1 dibawah ini.

Tabel. 1
Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan
Total Nilai KKL Klasifikasi Pengembangan
32-58 Kelas A Kemampuan Pengembangan Sangat Rendah
59-83 Kelas B Kemampuan Pengembangan Rendah
84-109 Kelas C Kemampuan Pengembangan Sedang
110-134 Kelas D Kemampuan Pengembangan Agak Tinggi
135-160 Kelas E Kemampuan Pengembangan Sangat Tinggi
Sumber: Permen PU No.20 Tahun 2007

2.6.5 Ketidaksesuaian Lahan


Ketidaksesuaian lahan adalah tingkat ketidakcocokan suatu bidang lahan
untuk suatu penggunaan tertentu. Artinya ketidaksesuaian ini adalah kondisi suatu
lahan pada suatu tempat secara administratif yang tidak sesuai dengan aturan yang
sudah ditetapkan dalam regulasi administrasinya.

Secara umum faktor yang menjadi penyebab proses perubahan


penggunaan lahan adalah faktor manusia, fisik kota dan bentang alam. Proses
perubahan ini tentunya tidak sedikit menjadi alasan adanya bentuk ketidak
sesuaian lahan. Menurut literatur Hariani (2011) dalam Sri Wahyuni dkk (2015)
menyatakan beberapa hal yang diduga sebagai penyebab proses perubahan
penggunaan lahan antara lain :
1) Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di
perdesaan.
2) Meningkatnya jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah hingga
atas di wilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan terhadap
permukiman (komplek-komplek perumahan).
3) Terjadinya transformasi di dalam struktur perekonomian yang pada gilirannya
akan mendepak kegiatan pertanian/lahan hijau khususnya di perkotaan.

25
4) Terjadinya fragmentasi pemilikan lahan menjadi satuan-satuan usaha dengan
ukuran yang secara ekonomi tidak efisien.
Harvey dan Kivell (1993) dalam Naraya (2013) mengemukakan bila
dilihat dari sisi permintaan lahan, ada tiga faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan lahan diperkotaan, yaitu aksesibilitas umum terhadap pusat kegiatan,
aksesibilitas khusus karena adanya aglomerasi, serta faktor pelengkap yang
mencakup faktor historis, topografis dan karakteristik tapak.

2.6.6 Pertimbangan Aspek Fisik Dasar Bagi Kriteria Daya Dukung Lahan
Pada setiap lahan tentunya memiliki kemampuan yang berbeda-beda,
kemampuan tersebut memilki nilai tergantung pada berbagai aspek fisik dasar
yang terdapat pada lahan itu sendiri. Menurut pendapat Legget (1973) dalam
Laiko (2010) menyatakan bahwa terdapat tujuh kriteria geologi yang dapat
membantu perencanaan wilayah dalam kaitannya dengan kemampuan lahan.
kriteria ini dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan suatu
lahan. Kriteria-kriteria tersebut adalah daerah buangan limbah, kondisi tanah
pondasi dan biaya penggalian, kegiatan gempa dan kehadiran sesar aktif, stabilitas
(kemantapan) lereng, ketersediaan bahan galian, bahaya banjir dan sumberdaya
air.
Hampir sependapat dengan pernyataan di atas, Sampurno (1986),
mengemukakan bahwa setidaknya terdapat 6 (enam) informasi geologi yang
diperlukan untuk perencanaan wilayah. Informasi tersebut adalah bentang alam,
karakteristik tanah dan batuan, air permukaan dan air bawah tanah, kestabilan
lereng, bencana alam, serta penyebaran tanah dan batuan. Berdasarkan dari kedua
pernyataan tersebut, maka aspek fisik yang dikaji dalam penelitian ini meliputi :

1) Sumberdaya air dan iklim


Air merupakan sumberdaya yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan
manusia, dimana untuk mendapatkannya dapat dilakukan secara konvensional
maupun menggunakan teknologi. Sumberdaya air secara garis besar dapat
dibedakan menjadi air permukaan dan air bawah permukaan.
Air permukaan merupakan air yang keberadaannya terletak di atas
permukaan tanah seperti air sungai, danau maupun mata air, sedangkan air bawah
permukaan (air tanah) merupakan kebalikam dari air permukaan. Menurut

26
Herlambang (1996) dalam Yulianti S. (2013) air tanah adalah air yang bergerak di
dalam tanah yang terdapat di dalam ruang antar butir-butir yang meresap ke dalam
tanah dan bergabung membentuk lapisan tanah yang disebut akifer. Air tanah
merupakan salah satu sumberdaya mineral yang terpenting yang dapat
dimanfaatkan dari bawah permukaan bumi. Pengambilan air tanah dalam yang
berlebihan pada kondisi lahan tertentu akan dapat menyebabkan terjadinya intrusi
air laut ke daratan dan kemungkinan amblesan pondasi konstruksi bangunan berat.
Tinggi rendahnya posisi muka air tanah akan tergantung kepada besarnya
masukan air baik secara alami, buatan maupun faktor-faktor lainnya. Air hujan
merupakan sumber yang penting bagi keberadaan air tanah. Intensitas curah hujan
yang tinggi, akan memungkinkan terjadinya peresapan air hujan kedalam tanah,
meskipun hal ini masih akan dipengaruhi oleh kondisi dan sifat tanah. Secara
tidak langsung keadaan ini menunjukan adanya hubungan yang erat antara
keberadaan sumberdaya air dan iklim. Intensitas curah hujan di Indonesia secara
umum dibagi dalam 5 (lima) kelompok yaitu intensitas sangat rendah, rendah,
sedang, tinggi dan sangat tinggi. Untuk lebih jelasnya mengenai intensitas curah
hujan rata-rata tahunan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2
Intensitas Curah Hujan Rata-rata Tahunan
Intensitas Hujan
No. Keterangan
(mm/tahun)
1 0 – 1500 Sangat Redah
2 2000 – 2500 Rendah
3 2500 – 3000 Sedang
4 3000 – 3500 Tinggi
5 >3500 Sangat Tinggi
Sumber: SK Menteri Pertanian No.833?KPTS/Um/11/1980 dan No.683/KPTS/Um/8/1981

2) Kemiringan Lereng dan Kestabilan Lereng


Kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk oleh bidang-bidang tanah
dengan bidang horizontal dan dihitung dalam bentuk persen (%) atau derajat (°),
Kemiringan suatu lereng sangat terkait dengan kestabilan dari lereng itu sendiri,
SK menteri pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980 dan No.683/Kpts/Um/8/1981
membagi karakteristik lereng berdasarkan kemiringannya dari bentuk dataran hingga
pegunungan pada Tabel 3.

27
Tabel 3
Penggolongan Satuan Peta Kemiringan Lereng
N
Sudut Lereng Keterangan
o
Datar. Cocok untuk pengembangan/perluasan
kota dan lahan pertanian. Dibeberapa tempat
1 0% - 8%
potensi untuk terjadinya banjir dan sistem
drainase yang kurang baik.
Landai. Kurang baik untuk lapangan terbang
atau industri berat. Cocok untuk pertanian
2 8% - 15%
kering dan untuk pengembangan permukiman.
Sistem drainase cukup baik.
Agak curam. Kurang baik jika digunakan untuk
pembudidayaan tanaman, erosi intrusif, dapat
3 15% - 25% digunakan untuk industri ringan, sekolah,
permukiman dan tempat rekreasi (tempat
terbatas).
Curam. Digunakan untuk permukiman yang
sangat terbatas dan tingkat kerapatannya
4 25% - 40% sangat rendah, baik untuk rekreasi,
perkebunan dan daerah penggembalaan
ternak.
Sangat Curam. Daerah ini terlalu terjal untuk
permukiman, namun sangat baik untuk
5 >40%
kawasan hutan lindung dan daerah
pengembalaan ternak terbatas.
Sumber : SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980 dan No.683/Kpts/Um/8/1981

Berdasarkan data tabel di atas, kemiringan suatu lereng berkaitan dengan


kestabilan lereng itu sendiri, semakin curam kemiringan lereng maka pada
umumnya kestabilan lereng akan semakin mudah bergerak atau labil yang
tentunya berpengaruh terhadap keutuhan konstruksi bangunan. Kondisi ini akan
menimbulkan keriskanan apabila pada lahan terhadap bangunan.
Lahan yang memiliki lereng curam tentu memiliki kecenderungan
longsor atau gerakan tanah, sedangkan lahan yang memiliki kemiringan lereng
yang relatif datar potensi keterjadian longsoran atau gerakan tanah kemungkinan
sedikit terjadi, Karakteristik lereng menjadi salah salah satu penentu keselamatan
pemanfaatan lahan dan juga mengurangi biaya perencanaan. Sebagai contohnya
pada lahan yang berbukit-bukit akan diperlukan biaya tambahan untuk pemapasan
dan penimbunan, sebaliknya pada lahan yang terlalu rata akan mengakibatkan
kurang baiknya sistem drainase.
3) Karakteristik Batuan dan Tanah

28
Batuan merupakan campuran dari berbagai mineral dan senyawa dengan
komposisi yang bervariasi. Berdasarkan proses keterjadiannya (genesa), batuan
dikelompokan menjadi tiga jenis yaitu batuan beku, batuan sedimen dan batuan
metamorf. Pemahaman informasi batuan sangat diperlukan untuk berbagai
keperluan, dalam hal ini pemahaman tentang batuan adalah untuk pertimbangan
pemanfaatan bahan pondasi, bahan bangunan dan pemanfaatan terhadap lahan.
Dari berbagai pertimbangan pemanfaatan tersebut tentunya menjadi salah
satu dasar pemilihan batuan untuk proses perencanaan atau pemabangunan.
Sehingga diperlukan jenis/kategori batuan atau jenis tanah yang akan digunakan.
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980 dan juga
No.683/Kpts/Um/8/1981 menggolongkan jenis tanah terhadap kepekaan dalam
mengahadapi erosi yang digunakan untuk pertimbangan pemanfaatan lahan. Lebih
jelasnya disajikan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4
Jenis Tanah Menurut Kepekaan Terhadap Erosi
N
o Jenis Tanah Keterangan
Aluvial, Gleisol, Planosol, Hidromorf
1 Tidak Peka
Kelabu dan Laterit Air Tanah
2 Latosol dan Kambisol Kurang Peka
Brown Forest Soil, Non Calcic
3 Agak Peka
Brown dan Mediteran
Andosol, Laterik, Grumusol, Podsol
4 Peka
dan Podsolik
Regosol, Litosol, Organosol dan
5 Sangat Peka
Rendzina
Sumber : SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980 dan No.683/Kpts/Um/8/1981

Tabel 5
Jenis Batuan Menurut Sifat Fisik Litologi Batuan Terhadap Daya Dukung
N
Jenis Batuan Sifat Batuan Keterangan
o
Tekstur halus sampai kasar,
sehingga memperlihatkan
Batuan Terobosan hubungan antar butir mineral Daya Dukung
1
(Batuan Beku) rapat, dengan demikian Tinggi
mempunyai sifat kekuatan yang
tinggi

29
N
Jenis Batuan Sifat Batuan Keterangan
o
Tekstur halus sampai sedang,
sehingga memperlihatkan
Batuan Malihan (Batuan hubungan antar butir mineral dari Daya Dukung
2
Metamorf) yang rapat hingga sedang, Cukup
dengan demikian mempunyai sifat
kekuatan kuat
Tekstur sedang sampai kasar,
sehingga memperlihatkan
hubungan antar butir mineral dari
Daya Dukung
3 Batuan Sedimen menengah sampai buruk,
Sedang
kerapatan tinggi, dengan
demikian mempunyai sifat
kekuatan menengah
Tekstur halus sampai kasar,
sehingga memperlihatkan
hubungan antar butir mineral dari Daya Dukung
4 Batuan Gunung Api
menengah sampai kasar, dengan Kurang
demikian mempunyai sifat
kekuatan kurang
Tekstur kasar, sehingga
memperlihatkan hubungan antar
Endapan Permukaan Daya Dukung
5 butir mineral buruk, dengan
(Batuan Aluvial) Rendah
demikian mempunyai sifat
kekuatan lemah
Sumber : SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980 dan No.683/Kpts/Um/8/1981

4) Kerentanan Terhadap Bencana Alam


Faktor bencana juga menjadi salah satu faktor yang menjadi pertimbangan
terhadap daya dukung lahan, berdasarkan UU No.24 Tentang Penanggulangan
Bencana menyampaikan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Namun berdasarkan data kebencanaan yang tersedia dari
BAPPEDA Kabupaten Sukabumi dalam penelitian ini penulis hanya menjelaskan
tentang bencana alam banjir, gerakan tanah, gempa bumi dan tsunami.

A. Bencana Banjir
Bencana banjir merupakan suatu peristiwa atau keadaan dimana
terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.
Bencana yang sebenarnya merupakan bencana alam paling dapat
diramalkan kedatangannya ini tentunya erat kaitannnya dengan curah
hujan dan daya dukung lahan. Banjir dapat terjadi oleh dua faktor seperti

30
kondisi alam dan atau karena telah adanya campur tangan manusia. Salah
satu bentuk campur tangan yang erat dengan kejadian banjir adalah
penggunaan lahan yang tidak baik.

Beberapa masyarakat yang terdampak bencana banjir pada


umumnya disebabkan karena ulahnya sendiri, seperti karena penggunaan
lahan pada sempadan sungai dan sempadan pantai atau penggunaan lahan
rawa sebagai lahan hunian. Hal ini tentunya akan mempengaruhi daya
dukung suatu lahan sehingga memerlukan pertimbangan terhadap
kerentanan terjadinya bencana banjir.
B. Bencana Gerakan Tanah
Erosi adalah proses hilangnya atau terangkutnya tanah di
permukaan. Penyebab utama erosi adalah air dan angin. Bisa dikatakan
bahwa erosi dalam sekala yang besar disebut tanah longsor atau gerakan
tanah. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, gerakan
tanah atau longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng, berupa
batuan, tanah, bahan timbunan dan material campuran yang bergerak ke
arah bawah dan keluar dari lereng. Proses terjadinya apabila air yang
meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut
menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir,
maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya akan bergerak
mengikuti lereng dan keluar lereng. Mengenai gerakan tanah lebih
jelasnya disajikan pada Tabel 6.
C. Bencana Gempa Bumi
Gempa merupakan kejadian suatu getaran atau guncangan yang
terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng
bumi, patahan aktif, aktivitas gunung api atau runtuhan batuan. Mengingat
Indonesia termasuk dalam Ring Of Fire dan menjadi bagian dari
pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia,
lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Sehingga menghasilkan Indonesia
memiliki potensi pergeseran lempeng bumi yang besar. Hal ini menjadi
salah satu faktor terjadinya bencana gempa di Indonesia begitu pula di
Kecamatan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi yang nantinya akan di

31
jadikan pertimbangan terhadap kemampuan lahan. Dalam skala ricther
gempa di klasifikasikan menjadi 13 bagian dengan ciri-ciri atau dampak
yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 6
Klasifikasi Daerah Berpotensi Bencana Gerakan Tanah
N
Gerakan Tanah Keterangan
o
Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan
Gerakan Tanah
1 sangat rendah untuk terkena gerakan tanah atau
Sangat Rendah
hampir tidak pernah terjadi gerakan tanah

Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan


rendah untuk terkena gerakan tanah. Umumnya
pada zona ini jarang terjadi gerakan tanah jika
2 Gerakan Tanah Rendah
tidak mengalami gangguan pada lereng dan jika
terdapat gerakan tanah lama, lereng telah
mantap kembali.
Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan
menengah untuk terkena gerakan tanah. Pada
zona ini dapat terjadi gerakan tanah terutama
pada daerah yang berbatasan dengan lembah
3 Gerakan Tanah Menengah
sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng
mengalami gangguan. Gerakan tanah lama
dapat aktif kembali akibat curah hujan yang
tinggi dan erosi kuat

Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan


4 Gerakan Tanah Tinggi tinggi untuk terkena gerakan tanah. Pada zona
ini sering terjadi gerakan tanah.
Sumber : Badan Geologi, Direktorat Vulakanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2008

Tabel 7
Klasifikasi Gempa Berdasarkan Ricther
No Skala Ricther Efek gempa
1 <2 Gempa Kecil, Tidak terasa
2 2 - 2,9 Tidak terasa, tapi terekam oleh alat
Seringkali terasa,namun jarang menimbulkan
3 3 - 3,9
kerusakan
Dapat diketahui dari bergetarnya perabot dalam
4 4 - 4,9 ruangan, suara gaduh bergetar. Kerusakan tidak
terlalu signifikan

Dapat menyebabkan kerusakan besar pada


bangunan pada area yang kecil. Umumya
5 5 - 5,9
kerusakan kecil pada bangunan yang didesain
dengan baik

6 6 - 6,9 Dapat merusak area hingga jarak sekitar 160 km

32
No Skala Ricther Efek gempa
Dapat menyebabkan kerusakan serius dalam
7 7 - 7,9
area lebih luas
Dapat menyebabkan kerusakan serius hingga
8 8 - 8,9
dalam area ratusan mil
9 9 - 9,9 Menghancurkan area ribuan mil
10 10 - 10,9 Terasa dan dapat menghancurkan sebuah benua

Dapat terasa di separuh sisi bumi. Biasanya


hanya terjadi akibat tumbukan meteorit raksasa.
11 11 - 11,9
Biasanya disertai dengan gemuruh. Contohnya
tumbukan meteorit di teluk Chesepeak.

Bisa terasa di seluruh dunia. Hanya terekam


sekali, saat tumbukan meteorit di semenanjung
12 12 - 12,9
Yucatan, 65 juta tahun yang lalu yang
membentuk kawah Chicxulub
13 >13 Belum pernah terekam
Sumber : Wikipedia Klasifikasi Skala Ricther, Tahun 2018

D. Bencana Tsunami
Merupakan serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang
timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. Berasal
dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan ("tsu" berarti
lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Bencana ini pada umumnya
terjadi karena adanya gempa pada dasar laut sehingga getarangannya atau
dampak dari longsoran yang terjadi di dasar laut mengakibatkan
gelombang dipermukaan sehinga dapat menerjang kawasan pesisir pantai
hingga daratan.
Mengingat penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir pantai
Kecamatan Palabuhanratu yang notabennya adalah kawasan sempadan
pantai. Sehingga daya dukung lahan perlu tinjauan terhadap kemungkinan
terjadinya bencana tsunami, walaupun tidak semua gempa yang terjadi di
dasar laut dapat mengakibatkan bencana tsunami. Tsunami dapat terjadi
apabila gempa memilki besaran sekitar 6 (enam) skala Ricther atau di
atasnya dan adanya gerakan kulit bumi kearah atas serta adanya gempa
dengan kedalaman gempa kurang dari 80 km. Selain karena adanya
gempa, tsunami juga dapat terjadi karena adanya letusan gunung berapi di
daerah dekat pantai atau di gunung api laut. Sebagai contoh bencana
tsunami pada Tahun 1883 terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh

33
letusan Gunung Krakatau yang dapak tsunaminya menimpa pulau jawa
dan Sumatera bahkan dilaporkan dalam Wikipedia dampak dari tsunami
mengakibatkan kapal- kapal berlayar hingga Afrika Selatan.

2.7 Kawasan Pesisir


Pengertian tentang pesisir sampai saat ini masih menjadi suatu
pembicaraan, terutama penjelasan tentang ruang lingkup wilayah pesisir yang
secara batasan wilayah masih belum jelas. Berikut ini adalah definisi dari
beberapa sumber mengenai wilayah pesisir.

Wilayah pesisir dan laut memiliki karakteristik yang berbeda dengan


wilayah daratan. Karakteristik khusus wilayah laut menyangkut sifat dinamis
sumber yang relatif sukar untuk diprediksi eksistensinya, apalagi jika dilihat
dalam kurun waktu tertentu, misalnya keberadaan ikan, mangrove, terumbu
karang, dll. Secara ekologis wilayah pesisir dan laut juga tidak bisa dibatasi secara
administratif (Diposaptono 2012)

Menurut Nontji (dalam Imas, 2013) wilayah pesisir adalah wilayah


pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat meliputi bagian daratan yang
masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi
garam, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses alami yang ada di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar serta daerah
yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan.

Suprihayono (2007: 14) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara


daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering
maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang
surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di
darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007, wilayah pesisir


adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut. Sedangkan Pengertian wilayah pesisir menurut

34
Soegiarto (Dahuri, dkk, 2001: 9) yang juga merupakan pengertian wilayah pesisir
yang dianut di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dimana
wilayah pesisir ke arah darat meliputi daratan, baik kering maupun terendam air
yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia
di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran.

Menurut Bengen (2002), hingga saat ini masih belum ada definisi wilayah
pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah
pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau
dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas
(boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang
tegak lurus garis pantai (cross shore).

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah
darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air,
yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia
di darat, Clark (dalam Baskoro R. dan Ibnu P., 2006).

Adapun definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah


wilayah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi
bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-
sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke
arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran (Aqilah, 2011).

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan
(ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami

35
ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir
antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun
10 (sea grass), pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi
baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain
berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri,
kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman (Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu,
2004).

Dari beberapa pengertian di atas dapat dibentuk sebuah simpulan bahwa


wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut atau wilayah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang unik karena wilayahnya dapat
berubah yang terpengaruhi kondisi fisik. Adanya kondisi seperti ini sangat
mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerah yang potensial dalam
pengembangan wilayah. Selain itu hal unik lainya dari kawasan pesisir yakni tidak
adanya garis batas nyata wilayah pesisir karena batasannya di tentukan oleh
kondisi fisik diwilayah masing-masing.

2.7.1 Karakteristik Kawasan Pesisir


Karakteristik khusus dari wilayah pesisir menurut Jan C. Post
dan Carl G. Lundin (1996) dalam Pricilia, 2017 antara lain:

a. Suatu wilayah yang dinamis yaitu seringkali terjadi perubahan sifat


biologis, kimiawi, dan geologis.
b. Mencakup ekosistem dan keanekaragaman hayatinya dengan produktivitas
yang tinggi yang memberikan tempat hidup penting buat beberapa jenis
biota laut.
c. Ciri-ciri khusus wilayah pesisir seperti adanya terumbu karang, hutan
bakau, pantai dan bukit pasir sebagai suatu sistem yang akan sangat
berguna secara alami untuk menahan atau menangkal badai, banjir, dan
erosi.
d. Ekosistem pesisir dapat digunakan untuk mengatasi akibat-akibat dari
pencemaran, khususnya yang berasal dari darat (sebagai contoh:
tanah basah dapat menyerap kelebihan bahan-bahan makanan, endapan,
dan limbah buangan)

36
Disamping itu kawasan pesisir juga dipengaruhi oleh cuaca, iklim dan
kegiatan-kegiatan manusia di daratan dengan dampak lanjutan adanya
peningkatan kepadatan penduduk, Fordham (dalam Ristianto, 2011 : 20). Dari
beberapa karakteristik pesisir diatas dapat dikelompokan menjadi:

a. Karakteristik fisik pesisir


Meliputi kondisi peraian (oceanografi) dan daratan. Kondisi peraiaran
meliputi gelombang, arus, pasang surut, angina, temperature, dan salinitas.
Sedangkan kondisi dataran meliputi tipe pantai, geomorfologi, tutupan
lahan, kelerengan, sedimentasi, aliran air tawar dan lain-lain.
b. Karakteristik sosial–ekonomi
Karakteristik ini berkaitan dengan kehidupan individu, komunitas dan
masyarakat pada umumnya. Sejak jaman kerajaan daerah pesisir
merupakan wilayah yang dinamis yang strategis, tidak hanya sebagai pasar
ekonomi tetapi juga sebagai pasar sosial budaya. Daerah pesisir memliki
potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk : permukiman, lahan
produksi, sarana jasa dan transportasi. Maka dari itu kawasan ini menjadi
tujuan bagi para pedagang atau kelompok masyarakat lainnya untuk
mengadu nasib dan mengembangkan usaha nya maupun menetap di
kawasan ini, sebagai konsekuensinya maka terjadi peningkatan jumlah dan
kepadatan penduduk.

Wilayah pesisir dan laut sebagai ekosistem yang dinamis memiliki


karakteristik yang sangat unik. Keunikan wilayah ini mengisyaratkan pentingnya
pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu dan bijaksana. Secara
biofisik wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik


antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir
dengan lahan atas (upland) dengan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada
suatu eksosistem pesisir, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung
akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika
pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan
lainlain) di lahan atas (upland) suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak

37
dilakukan secara bijaksana akan merusak tatanan dan fungsi ekologis
kawasan pesisir dan laut.
b. Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan
untuk kepentingan pembangunan. Terdapat keterkaitan langsung yang
sangat komplek antara proses-proses dan fungsi lingkungan dengan
pengguna sumberdaya alam.
c. Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu
kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlihan dan
kesenangan (preference) bekerja yang berbeda sebagai petani, nelayan,
petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan
kerajinan rumah tangga dan sebagainya. Pada hal sangat sukar atau hampir
tidak mungkin untuk mengubah kesenangan bekerja (profesi) sekelompok
orang yang sudah mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.
d. Baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu
kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan
terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada
kegagalan usaha. Misalnya suatu hamparan pesisir hanya digunakan untuk
satu peruntukan, seperti tambak, maka akan lebih rentan, jika hamparan
tersebut digunakan untuk beberapa peruntukan.
e. Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama
(common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang
(open access). Pada hal setiap sumberdaya pesisir biasanya berprinsip
memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran over
eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali
terjadi di kawasan ini, yang pada gilirannya dapat menimbulkan suatu
tragedi bersama (open tragedy).
f. Kawasan pesisir memiliki tiga habitat utama (vital) yakni mangrove,
padang lamun dan terumbu karang. Di antara ketiga habitat tersebut
terdapat hubungan dan interaksi yang saling mempengaruhi. Kerusakan
yang terjadi pada satu habitat akan mempengaruhi kehidupan biota pada

38
habitat lainnya, sehingga pengelolaan pada suatu habitat harus
mempertimbangkan kelangsungan habitat lainnya.

Sebagai daerah yang memiliki tiga unsur interaksi yaitu daratan, laut dan
atmosfer. Kondisi fisik ini memiliki ciri dengan kondisi hidro-oceanografi, yang
di gambarkan oleh terjadinya fenomena alam seperti terjadinya pasang surut, arus,
kondisi suhu dan salinitas. Dengan demikian kondisi hidro-oceanografi juga dapat
menggambarkan potensi yang dikembangkan di pesisir dan lautan.

2.7.2 Batas Wilayah Pesisir


Berbicara mengenai definisi yang belum menetapkan apa itu pesisir secara
baku, namun begitu sudah terdapat kesepakatan umum secara global bahwa
wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan darat dan laut. Jika di tinjau dari
garis pantai (coastaline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas
(boundaries), kedua batas tersebut adalah batas yang sejajar garis pantai
(longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore). Untuk
keperluan pengelolaan di wilayah pesisir, penetapan batas-batas wilayah pesisir
sejajar dengan garis pantai relative mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara
Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo.

Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus
terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan perkataan lain,
batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara ke negara lain. Hal ini dapat di
mengerti, karena setiap negara memiliki karateristik lingkungan, sumber daya dan
sistem pemerintahan tersendiri.

Di Indonesia, dalam Rapat Kerja Nasional Proyek MREP (Marine


Resource Evaluation dan Planning atau Perencanaan dan Evaluasi Sumber daya
Kelautan) di Manado yang dilaksanakan pada tanggal 1-3 Agustus 1994 yang di
kutip oleh Wahyu Hatomo (2004). Telah ditetapkan batas ke arah laut suatu
wilayah pesisir untuk keperluan praktis dalam proyek MREP adalah sesuai
dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)
dengan skala 1:50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) sedangkan batas ke arah darat adalah
mencakup batas administrasi seluruh desa pantai (sesuai dengan keputusan

39
Diretorat Jenderal Pemeritah Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam
Negeri) yang termasuk dalam wilayah pesisir MREP.

Menurut Kay & Alder (dalam Palua, 2008:34) menyatakan bahwa


terdapat 4 cara untuk menetapkan kawasan pesisir, Berikut adalah ulasannya:

1) Fixed distance definitions


Penentuan kawasan pesisir dihitung dari batas antara daratan dan laut,
biasanya perhitungan dilakukan dari batas territorial pemerintahan, contoh
dihitung dari batas teritoral laut.
2) Variable distance definitions
Penentuan batas kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan beberpa
perhitungan/ukuuran yang ada dikawasan pesisir, seperti diukur dari batas
air tertinggi. Namun batas kawasan tidak ditetapkan secara pasti, tetapi
juga tergantung pada varialbel-variabel tertentu yang ada dikawasan
tersebut, anatara lain: konstruksi tapal batas, tanda-tanda alam baik berupa
fisik maupun biologi, dan batas administratif.
3) Definion according to use
Penetapan kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan definisi apa yang akan
dipakai. Kadang-kadang suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan pesisir
berdasarkan masalah/issue apa yang akan dipecahkan. Cara ini biasanya
dipergunakan oleh Negara besar atau lembaga internasional tertentu.
4) Hybrid definition
Teknik ini mengadopsi lebih dari satu definisi atau mencampurkan lebih
dari dua tipe definisi dari kawsan pesisir. Konsep ini umum dipergunakan
oleh pemerintah, contoh pemerintah Amerika Serikat dan Australia
mengadopsi cara ini. Beberapa Negara bagian di Australia mengukur
kawsan pesisir 3 mil dari daris pantai, sedangkan beberapa Negara bagian
lainnya menetapkan kawasan pesisirnya termasuk kawsan yang berada
didarat.

2.7.3 Pemanfaatan Ruang Pesisir


Sebagai kawasan yang memiliki keunikan dari segi fisik, membuat
kawasan pesisir menjadi kawasan yang memiliki daya tarik yang besar. Hal ini

40
mengakibatkan pemanfaatan ruang dan pertumbuhan pembangunan di kawasan
pesisir akan semakin meningkat.

Ruang kawasan pesisir merupakan ruang wilayah diantara ruang


daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan adalah
ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk perairan
darat dan sisi darat dari garis terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di
atas dan di bawah permukaan laut dimulai sisi laut pada garis laut terendah,
termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Terdapat banyak pemanfaatan
ruang di pesisir pantai, baik ruang terbangun dan tidak terbangun. Berdasarkan
beberapa fungsinya dan berikut merupakan penggunaan lahan di kawasan pesisir.

Key dan alder (1998; 25) membagi penggunaan lahan pesisir menjadi
beberapa fungsi, yaitu:

a. Eksploitasi Sumber daya (perikanan, hutan, gas dan minyak serta


pertambangan) Sumber daya pesisir yang dapat diperbaharui adalah
eksploitasi primer dalam sektor perikanan komersial, penghidupan, dan
rekreasi perikanan serta industri budidaya air. Sedangkan yang dapat
diperbaharui adalah minyak dan pertambangan.
b. Infrastruktur (transportasi, pelabuhan sungai, pelabuhan laut, pertahanan,
dan program perlindungan garis pantai)
Pembangunan infrastruktur utama di pesisir meliputi : Pelabuhan sungai
dan laut, fasilitas yang mendukung untuk operasional dari sistem
transportasi yang bermacam-macam, jalan dan jembatan serta instalasi
pertahanan.
c. Pariwisata dan Rekreasi
Berkembangnya pariwisata merupakan sumber potensial bagi pendapatan
negara karena potensi pariwisata banyak menarik turis untuk berkunjung
sehingga dalam pengembangannya memerlukan faktor-faktor pariwisata
yang secara langsung berdampak pada penggunaan lahan.
d. Konservasi alam dan Perlindungan Sumber Daya Alam.
Hanya sedikit sumber daya alam di pesisir yang dikembangkan untuk
melindungi kawasan pesisir tersebut (Konservasi area sedikit).

41
Kegiatan pembangunan yang banyak dilakukan di kawasan pesisir
menurut Dahuri dkk (2001: 122) adalah :

a. Pembangunan kawasan permukiman.


Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan penduduk akan fasilitas
tempat tinggal. Namun pengembangan kawasan permukiman dilakukan
hanya dengan mempertimbangkan kepentingan jangka pendek tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan untuk masa mendatang. Dengan
adanya pengembangan kawasan permukiman ini, dampak lain yang
mungkin timbul adalah pencemaran perairan oleh limbah rumah tangga.
b. Kegiatan Industri
Pembangunan kawasan industri di kawasan pesisir pada dasarnya
ditujukan untuk meningkatkan atau memperkokoh program industrialisasi
dalam rangka mengantisipasi pergeseran struktur ekonomi nasional dari
dominan primary based industri menuju secondary based industri dan
tertiary based industri, menyediakan kawasan industri yang memiliki akses
yang baik terhadap bahan baku, air untuk proses produksi dan
pembuangan limbah dan transportasi untuk produksi maupun bahan baku.
Kawasan industri haruslah mempunyai luas yang cukup dan diletakan
pada zone yang sesuai untuk menghindari lingkungan sekeliling menjadi
buruk. Manajemen bertanggung jawab seterusnya untuk menjaga
hubungan yang sesuai antara kawasan industri dengan masyarakat
sekeliling dan sekaligus melindungi investasi yang telah dibuat, Hartshorn
Truman (dalam Betha, 2008:55).
c. Kegiatan rekreasi dan pariwisata bahari
Hal ini sekalian bertujuan untuk menciptakan kawasan lindung bagi biota
yang hidup pada ekosistem laut dalam cakupan pesisir.
d. Konversi hutan menjadi lahan pertambakan tanpa memperhatikan
terganggunya fungsi ekologis hutan mangrove terhadap lingkungan fisik
biologis.
Sehubungan dengan keanekaragaman dan produktivitas sumber daya alam
dan jasa-jasa lingkungan serta kemudahan (accessibility) yang pada umumnya

42
terdapat dikawasan pesisir, menjadikan kawasan pesisir menjadi tempat
berlangsung berbagai kegaiatan pembangunan yang cukup intensif.

2.7.4 Pola Perkembangan Daerah Terbangun di Kawasan Pesisir


Dalam perkembangan suatu kawasan, begitu pula pada kawasan pesisir
manusia serta dinamika perilaku dalam proses perkehidupannya telah
mengakibatkan terciptanya suatu pola-pola keruangan tertentu diwilayahhnya.
Ada empat pola perkembangan daerah terbangun (built up areas) di daerah pantai
(Sujarto dalam Pricilia J, 2017) , yaitu sebagai berikut:

1) Daerah Kota Pantai, kota pantai umumnya berkembang karena adanya


potensi ekonomi, strategi pertahanan dan sebagai pusat pemerintahan.
Daerah terbangun
berkembang
secara intensif
sepanjang pantai.
Penggunaan
lahan daerah
pantai lebih
berorientasi
ekonomis seperti untuk
pelabuhan,
pergudangan, dan industri. Adakalanya juga untuk kegiatan rekreasi yang
produktif. Daerah pesisir umumnya merupakan ”gerbang” kegiatan sosial
ekonomi, politik dan budaya bagi daerah belakangnya. Lebih jelasnya
disajikan pada Gambar 4 dibawah ini.

43
Gambar 4
Pola Perkembangan Daerah Terbangun di derah pantai
Sumber: Sujarto dalam Pricilia J. (2017)
2) Daerah Desa Pantai, perkembangan dan pertumbuhan dimulai oleh
terbentuknya kelompok masyarakat yang mata pencahariannya nelayan.
Pemukiman umumnya berorientasi ke arah laut karena usaha utama dari
hasil laut. Biasanya daerah terbangun terpencar-pencar di tepi pantai
sesuai dengan potensi kebutuhan masyarakat. Jadi, sifat perkembangan
fisik adalah ekstensif.
3) Pantai Pusat Kegiatan Rekreasi, yaitu suatu kawasan rekreasi yang
memanfaatkan potensi alam kawasan pesisir. Orientasi kegiatannya adalah
ke arah pantai dan sepanjang pantai serta memberikan pelayanan bagi
kebutuhan rekreasi regional di pedalaman. Dalam hubungan ini, peranan
jaringan perhubungan darat dengan daerah dan kota-kota lainnya di
pedalaman merupakan faktor yang sangat penting. Pantai untuk Kegiatan
Khusus, yaitu suatu penggunaan fungsi daerah pantai untuk kepentingan
kegiatan-kegiatan khusus bagi yang berorientasi kepada ekonomi dan
ataupun pemerintah.

2.7.5 Sempadan Pantai


UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, berjarak minimal
100m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Jarak bebas atau batas wilayah
pantai (sempadan pantai) tidak boleh dimanfaatkan untuk lahan budidaya atau
untuk didirikan bangunan. Sedangkan penetapan batas sempadan pantai dilakukan
dengan tujuan untuk melindungi dan menjaga:

1. Kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumber daya di wilayah pesisir


dan pulau-pulau kecil
2. Kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari
ancaman bencana alam

44
3. Alokasi ruang untuk akses public melewati pantai
4. Alokasi ruang untuk saluran air limbah

Perhitungan batas sempadan pantai harus disesuaikan dengan karakteristik


topografi, biofiosik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya
serta ketentuan lain yang terkait. Untuk kawasan Permukiman, terdiri dari 2 (dua)
tipe yaitu:

1. Bentuk pantai landai dengan gelombang <2m, lebar sempadan 30-75m.


2. Bentuk pantai landai dengan gelombang >2m, lebar sempadan 50-100m.

Sedangkan menurut Stefan Sutarjo (2011) mengenai kriteria penetapan lebar


sempadan pantai di klasifikasi menjadi dua bagian, yaitu berdasarkan kawasan
permukiman dan berdasarkan kawasan non permukiman. Adapun kriteria tersebut
disajikan pada Tabel 8 berikut:

Tabel 8
Kriteria Penetapan Lebar Sempadan Pantai
Lebar
No Jenis Aktivitas Bentuk Pantai Kondisi Fisik Pantai Sempadan
(m)
Stabil dengan
30
pengendapan
Stabil tanpa
50
Landai dengan pengendapan
gelombang <2m Labil dengan
50
pengendapan
Labil tanpa
75
Kawasan pengendapan
1
Permukiman Stabil dengan
50
pengendapan
Stabil tanpa
75
Landai dengan pengendapan
gelombang >2m Labil dengan
75
pengendapan
Labil tanpa
100
pengendapan
Stabil dengan
100
pengendapan
Stabil tanpa
150
Landai dengan pengendapan
Kawasan Non gelombang <2m
2 Labil dengan
Permukiman 150
pengendapan
Labil tanpa
200
pengendapan
Landai dengan Stabil dengan 150

45
Lebar
No Jenis Aktivitas Bentuk Pantai Kondisi Fisik Pantai Sempadan
(m)
pengendapan
Stabil tanpa
200
pengendapan
gelombang >2m Labil dengan
200
pengendapan
Labil tanpa
250
pengendapan
Curam dengan Stabil 200
gelombang < 2 m Labil 250
Curam dengan Stabil 250
gelombang > 2 m Labil 300
Sumber: Stefan Sutarjo/F 111 12 161, Tadulako University

46

Anda mungkin juga menyukai