syarat
produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan tersebut tidak hanya ditujukan
untuk pasaran dalam negeri, tetapi lebih banyak ditujukan untuk ekspor (pasaran
luar negeri). Jenis barang yang dihasilkan industri dalam negeri setiap tahun
menunjukkan peningkatan baik jenis maupun nilai ekspor sebagaimana dapat
dilihat perkembangannya.
Sejak Repelita I, penerimaan dalam negeri yang bersumber dari penerimaan
nonmigas jauh lebih tinggi dari penerimaan migas. Namun, setelah investor
asing menanamkan modal di sektor perminyakan sekitar tahun 1969/1970
(Repelita II) mulai terlihat hasil ekspor migas telah meningkat lebih tinggi daripada
penerimaan ekspor nonmigas (perpajakan dan bukan pajak). Hingga tahun
1985/1986 (tahun kedua Repelita IV), penerimaan dalam negeri sangat
bertumpu pada hasil ekspor migas. Namun, saat terjadi krisis ekonomi yang
melanda dunia di tahun 1980-an, maka hal tersebut telah berdampak negatif
terhadap tingkat harga minyak bumi di pasaran dunia. Pasaran harga minyak
bumi sejak terjadinya krisis ekonomi dunia tidak lagi dapat diharapkan. Sejak
itu harga minyak bumi telah anjlok dari 25,13 dolar Amerika per barel dalam
bulan Januari 1986 turun menjadi 9,83 dolar Amerika per barel dalam bulan
Agustus 1986. Anjloknya harga minyak bumi di pasaran dunia telah
memengaruhi penerimaan dalam negeri.
Dalam upaya memperbaiki keadaan ekonomi dan keuangan negara, menteri
keuangan RI pada tanggal 12 September 1986, telah mengambil tindakan
devaluasi rupiah terhadap nilai mata uang asing dan segera mengubah struktur
penerimaan dalam negeri dari ketergantungan pada penerimaan migas beralih
kepada penerimaan nonmigas. Dengan devaluasi ini diharapkan komoditas
nonmigas Indonesia akan meningkat karena dengan perhitungan sederhana,
devaluasi sebesar 45% barang (komoditas) Indonesia akan lebih murah 45%
bila dibeli dengan dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, barang-barang
ekspor nonmigas Indonesia akan mempunyai daya saing lebih kuat di pasaran
internasional. Untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dari sektor
nonmigas, pemerintah telah mengambil langkah-langkah khusus untuk
menaikkan penerimaan dari ekspor nonmigas, seperti kebijaksanaan deregulasi
dan debirokratisasi.
Sebaliknya, dengan devaluasi 45% ini berarti barang-barang impor akan
meningkat harganya 45% jika dibeli dengan rupiah. Berdasarkan gambaran
perhitungan sederhana ini, maka dampak devaluasi yang bisa diharapkan adalah
di satu pihak ekspor nonmigas akan meningkat, di lain pihak impor akan
berkurang. Dengan demikian, neraca pembayaran Indonesia akan dapat
dipertahankan pada tingkat yang sehat.
g. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) telah
mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara nasional yang diukur dengan
Produksi Domestik Bruto (PDB). Tingkat pertumbuhan PDB selama periode
19691989 yang diukur atas dasar harga yang berlaku maupun menurut harga
konstan menunjukkan adanya peningkatan. Sejak tahun 1969 sampai dengan
tahun 1983 yang merupakan tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertumbuhannya
sebesar 7,2% per tahun. Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan
ekonomi selama Pelita IV yang diukur dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2%
per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata laju pertumbuhan ekonomi
per tahun yang direncanakan dalam Repelita IV sebesar 5,0%. Sementara itu,
tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang merupakan tahun pertama
pelaksanaan Pelita V (1989/19901993/1994) adalah 7,4%, dan tahun 1990
sebesar 7,4% (tahun kedua). Dalam tahun-tahun berikutnya menunjukkan laju
pertumbuhannya adalah tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun 1992 sebesar 6,3%,
dan tahun 1993 yang merupakan tahun terakhir pelaksanaan Pelita V sebesar
6,0%. Jadi, pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata adalah 6,9% per tahun.
Berarti lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yang
direncanakan dalam Repelita V sebesar 5,0%.
Repelita VI (1994/19951998/1999) yang merupakan tahapan pembangunan
lima tahun pertama dalam periode 25 tahun kedua Pembangunan