Anda di halaman 1dari 33

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Sidang Paripurna
Tanggal Sidang 23-24 September 2008
Agenda Sidang No. 3

Sif.ed.: UMUM
Keputusan Sidang
Paripurna Komnas HAM
Nomor: 033/SP/IX/2008

Kajian
HUKUMAN MATI
DALAM PANDANG AN HAK ASASI MANUSIA
(Laporan Kajian Sekretaris Subkomisi Pengkajian dan
Penelitian, Roichatul Aswidah)

DAFTAR ISI
paragraf
BAB I PENDAHULUAN

1-7

hal.
3-4

BAB II
HUKUMAN MATI
DARI SISI HAK ASASI MANUSIA
A. Pengaturan Hukuman Mati dalam Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik
A.1. Ketentuan Hak Hidup dan Hukuman Mati dalam
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

8-22

A.2. Pembatasan-Pembatasan Hukuman Mati dalam


Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

23- 34

11-15

35-37

15-16

38-43

17-19

B. Kesesuaian Ketentuan Hukum Nasional tentang Hukuman


Mati dan Pelaksanaan Hukuman mati di Indonesia dengan
Ketentuan Internasional
44-58

19-28

B. Apakah Hukuman Mati Merupakan Pelanggaran


Hak Hidup dan/atau Merupakan Perlakuan atau
Penghukuman yang Keji, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan

5-11

BAB III
HAK HIDUP DAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA
A. Ketentuan Hak Hidup dalam Hukum Nasional Indonesia

BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A.Kesimpulan

59-71

29-31

B.Rekomendasi

72-75

31

DAFTAR PUSTAKA

32-34

BAB I
PENDAHULUAN
1. Indonesia masih menganut adanya hukuman mati sebagaimana diatur di dalam
beberapa peraturan perundang-undangan. Hingga akhir 2006 terdapat setidaktidaknya 10 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih
mengandung ancaman hukuman mati. Beberapa peraturan perundangundangan yang masih mengatur hukuman mati antara lain Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
(KUPM), Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.1
2. Walaupun hukuman mati masih diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan di Indonesia, namun dapat dinyatakan telah ada moratorium selama
bertahun-tahun mengingat sedikitnya eksekusi yang dilakukan. Sejak 1945
sampai dengan 2003 tercatat hanya 15 orang yang dieksekusi.2 Jumlah ini
kecil bila dibandingkan dengan periode 10 tahun terakhir (1998-2008) yang
berjumlah 17 orang.3 Eksekusi hukuman mati mempunyai kecenderungan
meningkat pada tahun-tahun terakhir. Pada periode Januari-Juli 2008 telah
ada 6 terpidana mati yang dieksekusi. Pada periode 18-19 Juli 2008 eksekusi
terjadi dengan jarak waktu yang sangat pendek yaitu tidak lebih dari satu jam. 4
3. Dapat diduga kuat bahwa kembalinya hukuman
mati didorong oleh
perdagangan obat-obatan terlarang daripada oleh meningkatnya violent crime.5
Dugaan tersebut benar bila kita melihat data terakhir. Untuk periode 19982008, kasus narkotika dan psikotropika adalah kasus yang paling banyak
divonis hukuman mati yaitu sebanyak 68 kasus dan kemudian disusul 32 kasus
pembunuhan. 6

Lihat Kontras , Praktik Hukuman Mati di Indonesia,


http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf, diakases
pada 17 September 2008. Dalam data Kontras terdapat 11 peraturan perundang-undangan. Namun
salah satunya, yaitu UU No. 11/Pnps/1963 telah dicabut pada 1999.
2 William Schabas, makalah disampaikan dalam seminar internasional, Discussion on Death PenaltyContemporary Challenges, Delegation of European Commission and Departemen of Philosofy Faculty of
Humanities University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember 2004
3 Ibid
4 Lihat Imparsial, Deskripsi data Hukuman Mati Sejak 1998-2008. Updated hingga Juli 2008. Tulisan
diberikan saat datang ke Komnas HAM. Menurut Catatan Imparsial, Tubagus Maulana Yusuf divoinis
mati pada 10 Maret 2008 oleh Pengadilan Negeri rangkasbitung, Lebak, banten. Tubagus dieksekusi
pada 18 Juli pukul 23.30. Sementara itu Sumiasih dan Sugeng yang divinis mati oleh Pengadilan Negeri
Surabaya tahun 1988, dieksekusi pada 19 Juli 2008 pukul 00.20 di lapangan Tembak Polda Jawab
Timur.
5 Lihat Schabas, op.cit (note 2)
6 Lihat, Imparsial Deskripsi Data Hukuman Mati sejak 1998-2008, updated hinggal Juli 2008
1

4. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencermati dengan


seksama kecenderungan dan masalah di atas. Komnas HAM telah pula
menerima beberapa pengaduan berkaitan dengan hukuman mati dan
kecenderungan meningkatnya jumlah pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana
mati. 7
5. Komnas HAM memandang perlu melakukan telaahan hukuman mati dari
perspekif hak asasi manusia. Komnas HAM memiliki wewenang dan mandat
untuk melakukan kajian sebagaimana diamanatkan Pasal 89 ayat 2 poin b UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sidang Peripurna Komnas
HAM dalam sidangnya pada 15-16 Juli 2008 kemudian memutuskan untuk
menugaskan Subkomisi Pengkajian dan Penelitian melakukan tugas kerja yang
sesuai dengan lingkup kerjanya berkaitan denga penerapan hukuman mati di
Indonesia. Menindaklanjuti keputusan tersebut, Subkomisi Pengkajian dan
Penelitian kemudian melakukan telaahan atas hukuman mati dari sisi pandang
hak asasi manusia. Telaahan dan laporan telaahan hukuman mati dari sisi
pandang hak asasi manusia dilakukan dan disiapkan oleh Sekretaris Subkomisi
Pengkajian dan Penelitian Roichatul Aswidah. Hasil telaahan ini selanjutnya
diserahkan kepada Sidang Paripurna Komnas HAM untuk mendapatkan
pengesahan dan penentuan kebijakan selanjutnya
6. Telaahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan mengenai hukuman mati
dalam instrumen internasional hak asasi manusia khususnya ketentuan dalam
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Dengan menggunakan ketentuan
internasional tersebut, kemudian dilakukan telaahan terhadap hukum dan
praktik pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Selanjutnya, laporan telaahan
ditulis dengan alur sistematika sebagai berikut: a. pendahuluan; b. ketentuan
mengenai hukuman mati dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik; c.
hukuman mati dalam norma hukum dan praktik pelaksanaannya di Indonesia;
d. kesimpulan dan rekomendasi.
7. Dalam hal ini harus diingat bahwa Indonesia telah mengesahkan Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik pada 2005 tanpa reservasi.8 Dengan
demikian, Indonesia telah menjadi negara pihak dan terikat secara hukum
dengan ketentuan tersebut. Oleh karena Indonesia mengesahkan Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik tanpa reservasi, maka seluruh ketentuan
yang termuat di dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengikat
Indonesia secara hukum.

Datang ke Komnas HAM antara lain Gerakan Anti Hukuman Mati yang diterima oleh Komnas HAM
pada 7 Agustus 2008. Dalam hal ini Gerakan Anti Hukuman Mati meminta perhatian Komnas HAM
mengenai meningkatnya eksekusi hukuman mati. Gerakan tersebut juga meminta Komnas HAM untuk
meminta Negara agar melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati dan pada akhirnya
menghapus hukuman mati.
8 Indonesia mengesahkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politi melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Indonesia tidak melakukan reservasi namun melakukan deklarasi atas pasal 1 Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik (lihat pasal 1 UU No. 12 Tahun 2005).
7

BAB II
HUKUMAN MATI DARI SISI HAK ASASI MANUSIA
A. Pengaturan hukuman mati dalam Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik.
A.1. Ketentuan Hak Hidup dan Hukuman Mati dalam Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik
8. Ketentuan mengenai hukuman mati terdapat dalam Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik Pasal 6 yang memuat ketentuan mengenai hak hidup (right to
life). Ketentuan Pasal 6 tersebut memuat ketentuan yang amat penting
berkaitan dengan hak hidup serta hukuman mati.
9. Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan
mengenai hak hidup sebagai berikut: Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup
yang melekat pada dirinya. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun
dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang/Every human being has the
inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitralily
deprived of his life. Terlihat dari rumusan tersebut, hak hidup mempunyai

kekhususan. Kekhususan dari hak hidup dapat dilihat dari kata sifat melekat
(inherent), yang dalam seluruh Kovenan Internasional hak Sipil dan Politik
hanya digunakan dalam ketentuan ini. Istilah inherent yang digunakan
menekankan sifat melekat hak tersebut pada diri manusia. Kekhususan penting
lain dapat dilihat dalam penggunaan kata keterangan waktu sekarang (present
tense) has dan bukan shall have. Rumusan ini menekankan bahwa hak hidup
ada begitu manusia ada seiring dengan kodrat manusia. Rumusan ini
menekankan dan mengakui sifat hak hidup sebagai karunia Tuhan yang bersifat
kodrati.9 Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kata melekat (inherent)
dan penekanan sifat kodrati hak hidup dalam ketentuan ini menekankan sifat
hak hidup sebagai karunia Tuhan yang tak dapat dicabut oleh manusia.
10. Selain itu, Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan
hak hidup sebagai supreme human rights, yaitu bahwa tanpa pemenuhan hak
hidup, hak-hak asasi manusian lain tidak akan mempunyai arti apa-apa.10
Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, pengaturan hak hidup
menempati pengaturan paling depan dalam ketentuan yang mengatur hak
substantif dimana hak hidup ditempatkan sebagai hak substantif pertama yang
diatur baru kemudian disusul oleh hak-hak lainnya. 11

Nowak, M. (2005), U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, 2nd revised edition, N.P.
Engel, Publishers, hal. 122. Pandangan ini menegaskan sifat natural rights hak hidup.
10 Ibid, hal. 121
11
Ibid, hal. 121-122
9

11. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik juga
memuat ketentuan larangan adanya pengurangan terhadap beberapa hak salah
satunya adalah hak hidup (right to life).12 Dengan demikian, hak hidup
termasuk hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non
derogable rights) bahkan dalam keadaan darurat yang membahayakan
kehidupan bangsa sekalipun. 13 Bahwa hak hidup merupakan hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights) dikuatkan oleh
Komite Hak Asasi Manusia melalui Komentar Umum Nomor 6 yang
menyatakan bahwa [h]ak ini [dibaca hidup] merupakan hak absolut yang tidak
boleh dikurangi bahkan dalam kondisi darurat publik yang mengancam
kehidupan bangsa (pasal 4/ICCPR/pen). 14
12. Namun demikian ketentuan tentang hak hidup yang termuat dalam pasal 6 ayat
(1) tidak memuat secara eksplisit larangan hukuman mati.15
Hal ini
menimbulkan pertanyaan apakah Pasal 6 Kovenan Internasioal Hak Sipil dan
Politik memuat larangan hukuman mati.
13. Pertanyaan apakah pasal 6 melarang hukuman mati juga dapat dilacak dari
kalimat ketiga dalam pasal 6 ayat (1) yaitu Tidak seorang pun dapat dirampas
hak hidupnya secara sewenang-wenang. Frasa ini mencerminkan inti dari
kewajiban negara untuk menghormati hak hidup dengan tidak melakukan
intervensi. Namun menurut ahli hukum dan pelapor khusus PBB untuk
penyiksaan, Manfred Nowak, kewajiban ini bersifat tidak absolut. Dalam hal ini
hanya pencabutan/perampasan hidup secara sewenang-wenang yang
dipandang melanggar pasal 6. Bahwa hukuman mati dapat dinyatakan sesuai
dengan ketentuan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik apabila
diatur oleh hukum nasional.16 Namun demikian, menurut Nowak, kata
keterangan secara sewenang-wenang/arbitrarily juga harus dimaknai lebih
jauh. Bahwa arbitrarily
deprivation of life mengandung unsur
ketidaksahan/unlawfulness dan tidak adil/injustice.17 Hukum nasional yang
memuat ketentuan hukuman mati dengan demikian harus pula memenuhi
ketentuan tersebut dan tidak mengandung unsur-unsur ketidaksahan dan
bersifat tidak adil. Dengan demikian, frasa tidak seorang pun dapat dirampas
hidupnya secara sewenang-wenang dalam pasal 6 Kovenan menunjukkan
adanya maksud bahwa sewenang-wenang/arbitrarily bermakna baik secara

Selain pasal 6 (hak hidup), beberapa hak yang juga dilarang untuk dikurangi (non-derogable) adalah
Pasal 7 (hak untuk tidak disiksa), Pasal 8 (ayat 1 dan 2/hak tidak diperbudak) ), Pasal 11 (hak untuk
tidak dipenjara karena semata-mata tidak dapat memenuhi kewajiban kontraknya), Pasal 15 (hak untuk
tidak dihukum berdasarkan hukum yang berlaku surut), Pasal 16 (hak untuk diakui sebagai pribadi di
depan hukum) dan Pasal 18 (bebas berpikir, berkeyakinan, beragama)
ICCPR, 1966. Lihat pasal 4 ayat (2), Kovenan Internasional Hal Sipil dan Politik, 1966
13
Lihat Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politi, pasal 4 dan Nowak, hal. 122
14 General Comment No. 06: The right to life (art. 6) : . 30/04/82. CCPR General Comment No. 6,
para 1
15 Sir Nigel Rodley, The United Nations Work in the Field of the Death Penalty dalam the Death
Penalty Beyond Abolition, Council of Europe Publishing, 2004, hal. 128
16 Ibid, hal. 135
17
Nowak, M., op.cit (note 9), hal. 128
12

tidak sah/illegally maupun tidak adil/unjustly. 18 Ditegaskan pula bahwa frasa


tersebut meminta pula tidak adanya unsur tak dapat dijadikan pegangan
(capriciousness)
dan ketakmasukaakalan (unreasonableness). 19 Dengan
demikian, sekalipun hukuman mati diperbolehkan asalkan diatur berdasarkan
hukum nasional, namun hukum tersebut haruslah sah (legal), adil (just), dapat
dijadukan pegangan dan masuk akal (reasonable)
14. Oleh karena itu, ketentuan tentang hak hidup yang termuat dalam pasal 6 ayat
(1) tersebut tidak dapat ditafsir begitu saja sebagai larangan hukuman mati.
Menurut ketentuan ini, hukuman mati sebagai pencabutan hak hidup masih
diakui adanya, hanya dan hanya jika, diatur melalui hukum nasional yang adil,
sah, dapat dipegang dan juga masuk akal.
15. Bahwa Pasal 6 masih mengakui hukuman mati juga mengingat adanya
ketentuan-ketentuan yang mengikutinya yang mengatur pembatasan terhadap
hukum mati.20 Ketentuan-ketentuan yang mengikuti pasal 6 ayat (1), yaitu
pasal 6 ayat (2) s.d. (6) adalah:
(2) Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan
hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan yang paling
berat sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya
kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan ini
dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan
Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan
akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang (competent).
(4) Siapapun yang dijatuhi hukum mati mempunyai hak untuk mendapatkan
pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan atau
pengurangan hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
(5) Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang dibawah usia delapan belas tahun, dan tidak dapat
dilaksanakan pada perempuan yang tengah mengandung.
(6) Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang dapat digunakan untuk menunda
atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara-negara Pihak
pada Kovenan ini.21
16. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak melarang hukuman mati, namun
meletakkan sejumlah pembatasan pada penerapannya.22 Akan tetapi,
ketentuan-ketentuan tentang pembatasan-pembatasan terhadap hukuman mati
tersebut diawali oleh ketentuan tentang penghapusan hukuman mati. Frasa
18

Rodley, N., op.cit (note 15), hal. 137


Nowak, M.., op.cit (note 9), hal. 128
20
Rodley, N., op.cit (note 15), hal. 128
21 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, 1966
22 Baderin, Mashood, A., International Human Rights and Islamic Law, Oxford University Press, 2003
19

yang mengawali ketentuan pasal 6 (2) yaitu Di negara-negara yang belum


menghapuskan hukuman mati.., mempunyai arti penting khusus yaitu
menyetujui adanya penghapusan hukuman mati. Setelah ketentuan pembatasan
pada Pasal 6 ayat (2) sampai (5), ketentuan pasal 6 (6) menguatkan
penghapusan hukuman mati dengan menyatakan Tidak ada satupun dalam
Pasal ini yang dapat digunakan untuk menunda atau mencegah penghapusan
hukuman mati oleh Negara-negara Pihak pada Kovenan ini.23 Dengan
demikian, walaupun Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tidak secara
khusus memuat larangan hukuman mati, namun ketentuan tersebut memuat
dan meminta penghapusannya. Lagi, ketentuan yang tidak melarang namun
membatasi hukuman mati tersebut, juga tidak menghapus ketentuan bahwa
hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
17. Penegasan tentang tafsir bahwa ketentuan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik tersebut memang meminta adanya penghapusan hukuman
mati dikukuhkan oleh Komite Hak Asasi Manusia sebagai berikut:
Pasal ini juga merujuk pada penghapusan yang sangat disarankan (ayat 2
butir (2) dan butir (6)) bahwa penghapusan hukuman mati adalah sangat
diinginkan. Komite menyimpulkan bahwa semua langkah penghapusan harus
dianggap sebagai perkembangan dalam penikmatan hak hidup.....24

18. Selanjutnya, dapat dinyatakan bahwa membaca rumusan pasal 6 (6), Tidak ada

satupun dalam Pasal ini yang dapat digunakan untuk menunda atau mencegah
penghapusan hukuman mati oleh Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, secara
bersama dengan Pasal 6(2) di negara yang belum menghapus hukuman mati..

menyimpulkan bahwa pemberlakuan kembali hukuman mati (reintroduction


of the death penalty) tidak sejalan (incompatible) dengan Kovenan.
Kesimpulan ini memang tidak terdapat dalam rumusan ekplisit pasal 6 atau
pun travaux preparatoires, namun kesimpulan tersebut dipastikan sesuai
dengan maksud dan tujuan Kovenan.25 Oleh karena itu, semua langkah
penghapusan hukuman mati merupakan kemajuan penikmatan hak hidup. 26
Komite HAM PBB secara implisit berpandangan bahwa negara pihak pada
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah menghapus hukuman
mati tidak dapat menggunakan pembatasan yang ada pada Pasal 6 ayat (2) s.d.
(6) dan oleh karena itu secara hukum dicegah untuk memberlakukan kembali
hukuman mati. 27
19. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 6 memang tidak
secara eksplisit memuat larangan terhadap hukuman mati. Akan tetapi
ketentuan tersebut mengakui bahwa hak hidup merupakan hak yang bersifat
melekat dan merupakan karunia Tuhan. Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik maka harus ditegaskan bahwa hak
Rodey, N., op.cit (note 15), hal. 128
General Comment No. 06: The right to life (art. 6) : . 30/04/82, paragraf 6. Lihat juga idem, hal. 129
25 Nowak, M., op.cit (note 9), hal. 136
26 Ibid
27 Ibid
23

24

hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (nonderogable rights) bahkan dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan
bangsa. Lebih jauh Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
meminta penghapusan hukuman mati.
Selanjutnya Kovenan mengatur
pembatasan yang ketat terhadap pemberlakukan hukuman mati bagi negara
yang belum menghapus hukuman mati. Dinyatakan pula bahwa pemberlakukan
kembali hukuman mati merupakan pelanggaran atas pasal 6 Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa
pada prinsipnya hak hidup tidak dapat dikurangi. Walaupun ketentuan
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tidak secara ekplisit memuat
larangan terhadap hukuman mati, namun hal tersebut tidak dapat dibaca
bahwa ketentuan tersebut memperbolehkan demikian saja pemberlakukan
hukuman mati. Ketentuan tersebut justru meminta penghapusan hukuman
mati. Pembatasan yang ada diberlakukan hanya terhadap negara yang belum
menghapus hukuman mati yang terus dituntut untuk menghapusnya.
20. Dalam hal ini, haruslah diingat seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui
Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia kepada negara-negara anggota PBB untuk:
(a) Secara bertahap membatasi jumlah tindak kejahatan yang diancam hukuman mati
(progressively to restrict the number of offences for which the death penalty may be
imposed);
(b) Menetapkan adanya moratorium bagi eksekusi, dengan tetap mempertimbangkan
penghapusan total hukuman mati (to establish a moratorium on executions, with a view
to completely abolishing the death penalty);
(c) Dimungkinkan tersedianya informasi publik berkaitan dengan penjatuhan hukuman
mati (to make available to the public information with regard to the imposition of the
death penalty);
(d) Menyediakan informasi berkaitan dengan penggunaan hukuman mati dan ketaatan
perlidungan yang menjamin perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi ancaman
hukuman mati sesuai dengan yang termuat dalam Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial
1984/50 (to provide to the Secretary-General and relevant United Nations bodies
information relating to the use of capital punishment and the observance of the
safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty as
contained in Economic and Social Council resolution 1984/50). 28
21. Dapat ditegaskan bahwa Resolusi tersebut mengakui adanya hukuman mati
yang masih diberlakukan oleh negara-negara di dunia. Namun demikian, sama
seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Resolusi tersebut meminta
penghapusan hukuman mati. Resolusi menekankan bahwa penghapusan
The question of the death penalty, Commission on Human Rights resolution 2002/77,
http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/0/e93443efabf7a6c4c1256bab00500ef6?Opendocume
nt,diakses pada 17 September, paragraf 5
28

hukuman mati membutuhkan waktu dan proses yang kemudian harus


dilakukan secara bertahap dengan membatasi jenis kejahatan yang diancam
hukuman mati dan lebih jauh menetapkan adanya moratorium pelaksanaan
hukuman mati.
22. Bacaan Resolusi tersebut bersama dengan ketentuan Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik Pasal 6, membawa kita pada beberapa kesimpulan awal.
Bahwa hukuman mati diminta untuk dihapus. Namun penghapusannya
membutuhkan waktu. Pembatasan yang ada dalam ketentuan Kovenan Hak
Sipil dan Politik dengan demikian diberlakukan kepada negara yang belum
menghapus hukuman mati yang dalam hal ini diminta untuk menghapusnya.
Jadi pembatasan tersebut diberlakukan untuk pelaksanaan hukuman mati
yang diharuskan dihapus. Dengan demikian, dalam hal ini ketentuan
pembatasan yang termuat dalam Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik tidak dapat dibaca dan ditafsir memperbolehkan pemberlakukan
hukuman mati secara terus menerus.
A.2. Pembatasan-Pembatasan Hukuman Mati dalam Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik
23. Sementara itu berkaitan dengan pembatasan-pembatasan yang termuat dalam
pasal 6 ayat (2) s.d. ayat (6) haruslah diperjelas bagaimana pembatasanpembatasan tersebut ditafsir dan bagaimana seharusnya pelaksanaannya.
24. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi:
(2) Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati
hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan yang paling berat sesuai dengan hukum
yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan
ketentuan Kovenan ini dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan
Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan akhir yang
dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang (comnpetent).

ada beberapa frasa yang harus dibaca secara hati-hati, setidak-tidaknya, frasa
kejahatan yang paling berat/the most serious crime, tidak bertentangan
dengan ketentuan Kovenan ini... serta frasa hukuman ini hanya dapat
dilaksanakan atas dasar putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang
berwenang (competent).
25. Tentang frasa kejahatan yang paling berat (the most serious crime). Perlu
digarisbawahi bahwa frasa ini tidak mudah didefinisikan serta mengandung
kekurangan presisi (lack of precision) atas maknanya.29 Namun demikian,
Komite Hak asasi Manusia PBB menyatakan bahwa kejahatan yang paling
berat/the most serious crime harus ditafsir secara terbatas/sempit dan
mengakui pemberlakuan hukuman mati hanya sebagai langkah yang khusus.
Hukuman mati tidak dapat diberlakukan untuk tindak kejahatan seperti
kejahatan properti, kejahatan ekonomi, kejahatan politik atau tindakan
29

Rodely, N., op.cit (note 15), hal. 136

10

perlawanan yang tidak menggunakan kekerasan. 30 Selanjutnya Pelapor


Khusus untuk Eksekusi di Luar Hukum, Sewenang-wenang atau Kilat
menyatakan bahwa hukuman mati harus dibatasi untuk kejahatan ekonomi,
dan kejahatan yang berkaitan dengan obat-obatan. 31 Komisi Hak Asasi
Manusia PBB juga menyatakan bahwa hukuman mati haruslah tidak melebihi
kejahatan berencana (intentional crime) dengan konsekwensi sangat besar dan
mematikan. Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan untuk kejahatan nonkekerasan seperti keuangan atau pun praktik keagamaan serta ekpresi
keyakinan yang tanpa kekerasan atau pun hubungan seksual antara orangorang dewasa.32 Keputusan Komite Hak Asasi Manusia PBB melalui
mekanisme pelaporan negara menyatakan bahwa istilah kejahatan yang paling
serius/the most serious crime dalam Pasal 6 ayat (2) dibatasi hanya pada
pembunuhan terencana dan tindakan terencana yang menyebabkan
penderitaan jasmaniah yang memilukan (grievous bodily harm). 33
26. Tentang frasa tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan.... Ketentuan
ini merupakan persyaratan lain serta memasukkan adanya pembatasan bagi
pemberlakuan hukuman mati yaitu bahwa hukuman mati tidak boleh
didasarkan pada hukum yang tidak adil (unjust laws).34 Lebih jauh ketentuan
ini haruslah ditafsir bahwa hukum yang menjatuhkan hukuman mati haruslah
secara substantif konsisten dengan rule of law yang disuarakan oleh isi
Kovenan secara keseluruhan.35 Frasa tidak bertentangan dengan ketentuan
Kovenan ini juga mencegah pemberlakukan hukuman mati bagi beberapa
tindak kejahatan dimana beberapa negara memberlakukan hukuman mati
terhadapnya, misal mereka yang menentang pemerintahan namun dilakukan
dengan cara damai atau pun berserikat dan berkumpul secara damai. 36 Jelas
bahwa apabila ada pemerintah yang bertindak represif dan kemudian
memberlakukan hukuman mati sebagai kelanjutan dari kebijakan represifnya,
maka hal tersebut merupakan pelanggaran Pasal 6 Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik. Dalam hal ini Pemerintah tidak dapat menggunakan
ketentuan pasal 4 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang
memperbolehkan adanya pengurangan hak saat keadaaan darurat yang
mengancam kehidupan bangsa untuk memberlakukan hukuman mati. 37
27. Tentang pertanyaan apakah hukuman mati melanggar ketentuan Pasal 7
Kovenan, dinyatakan bahwa bagi mereka yang berpandangan hukuman mati
tidak melanggar pasal tersebut harus ditegaskan bahwa ketentuan Pasal itu
mensyaratkan eksekusi hukuman mati tidak menyebabkan penderitaan fisik
dan psikis. Beberapa metode eksekusi hukuman mati yang dianggap keji dan
Nowak, M., op.cit (note 9), 141
Rodley, N., op.cit (note 15), hal. 137
32 The question of the death penalty, Commission on Human Rights resolution 2002/77, op.cit (note
28), para 4 (c), dan ibid, hal. 137
30
31

Nowak, M., op.cit (note 9), hal 142


Ibid, hal. 139
35 Nowak, M., op.cit (note 9), hal. 139
36 Rodley, N., op.cit (note 15), hal. 137
37 Ibid
33

34

11

dipandang menyebabkan penderitaan fisik dan psikis misalnya hukum rajam


(dilempar batu),
dibuat kelaparan (starvation), dipotong-potong (jadi
empat/quartering), dll. Namun demikian sangatlah sulit untuk menyatakan
metode apa yang merupakan pelanggaran Pasal 7 Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik. Dalm hal ini, Komite Hak Asasi Manusia PBB menegaskan
bahwa hukuman mati harus dilaksanakan dengan cara yang menyebabkan
kemungkinan timbulkan penderitaan fisik dan psikis yang paling ringan. 38
Namun dari dua orang anggota Komite Hak Asasi Manusia yang berbeda
pendapat diketahui bahwa titik penting hal ini terletak pada niat (intention).
Seperti dikutip Prof. Nigel Rodley, pendapat mereka berbunyi: metode
eksekusi seperti dilempar batu sampai mati (rajam), yang dimaksudkan dan
secara nyata memang menimbulkan luka dan penderitaan yang panjang. 39
Dengan demikian, unsur niat penting apakah metode tersebut dimaksudkan
untuk menimbulkan penderitaan yang fisik dan psikis.
28. Tentang frasa Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan akhir
yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang (competent). Oleh karena
Pasal 6 ayat (2) juga memuat ketentuan yang menyatakan hukuman mati
dilarang melanggar ketentuan lain dari kovenan atau konvensi lain maka frasa
ini harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 14, 15, 2 dan 26 . Dengan demikian,
frasa ini harus dibaca bahwa putusan hukuman mati hanya dapat diberlakukan
oleh sebuah pengadilan yang adil, berwenang (kompeten/competent), mandiri,
dan tidak memihak yang diatur berdasarkan hukum dan melalui proses yang
tidak diskriminatif, berdasarkan asas praduga tak bersalah dan adanya jaminan
minimum hak para tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (3) ICCPR. 40
29. Hal tersebut di atas ditegaskan pula dalam Resolusi-Resolusi Majelis Umum
PBB. Resolusi pertama berkaitan dengan hal itu adalah Resolusi 2393 (XXIII)
26 November 1968 tentang Hukuman Mati yang menyerukan negara-negara
PBB untuk menjamin prosedur hukum yang paling hati-hati (the most careful
legal procedure) dan perlindungan yang paling mungkin terhadap tersangka
hukuman mati.41 Selain itu kaitan antara Pasal 6 dengan pasal lain dalam
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik ditegaskan Resolusi PBB 35/1972
15 Desember 1980 yang juga menjelaskan makna dari prosedur hukum yang
paling hati-hati (the most careful legal procedure) dan menyerukan negaranegara PBB agar melaksanakannya:
[U]ntuk menghormati standard minimum isi ketentuan Pasal 6, 14 dan 15
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan apabila perlu mengkaji
kembali hukum mereka serta praktik-pratik yang ada sehingga dapat menjamin
adanya prosedur hukum yang paling hati-hati serta kemungkinan yang paling
besar adanya perlindungan bagi tersangka hukuman mati. 42
Ibid, hal. 148-149
Ibid, , hal. 150
40 Nowak, M., op.cit (note 9), hal. 142
41 Lihat Resolusi MU PBB 2393 (XXIII) tentang Hukuman mati paragraf 8. Lihat juga Rodely, N., op.cit
(note 15), hal.. 141
42
Ibid
38

39

12

30. Komite Hak Asasi Manusia PBB juga melakukan pendekatan yang merupakan
pelaksanaan cara pandang dikaitkannya Pasal 6 dengan pasal 14 seperti terlihat
dalam penanganan Kasus Monguya Mbenge et al v Zaire (16/1977).43 Dalam hal
ini Prof. Nigel Rodley menyimpulkan bahwa Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik memberlakukan persyaratan adanya pengadilan yang adil (fair
trial) bagi kasus dengan hukuman mati. 44
31. Tentang pembatasan Pasal 6 ayat (4) dan(5). Ketentuan-ketentuan ini
menyatakan bahwa siapapun yang dijatuhi hukum mati mempunyai hak untuk
mendapatkan
pengampunan
atau
keringanan hukuman.
Amnesti,
pengampunan atau pengurangan hukuman mati dapat diberikan dalam semua
kasus serta tidak diperbolehkannya hukuman mati dijatuhkan atas kejahatan
yang dilakukan oleh seseorang dibawah usia delapan belas tahun, dan tidak
dapat dilaksanakan pada perempuan yang tengah mengandung.
32. Berkaitan dengan ketentuan orang yang dijatuhi hukuman mati mempunyai
hak untuk mendapatkan pengampunan atau keringanan hukuman. Dengan
demikian, walaupun berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (2), hukuman mati
dapat dilaksanakan hanya berdasarkan putusan akhir oleh lembaga yang
berwenang (competent), namun pelaksanaan hukuman mati tidak dapat
Dalam hal ini si
dilaksanakan segera setelah putusan akhir dijatuhkan.45
terhukum masih mempunyai hak adanya pengampunan atau pun keringanan
hukuman. Ditegaskan bahwa kalimat kedua dalam ketentuan pasal 6 ayat (4)
merupakan persyaratan agar hukum nasional menyediakan peraturan atau pun
prosedur untuk dimungkinkannya amnesty, pengampunan atau pengurangan
hukuman untuk putusan-putusan pengadilan termasuk kasus hukuman mati. 46
33. Terkait dengan adanya pembatasan pemberlakuan hukuman mati dijatuhkan
bagi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia 18 tahun,
dijelaskan bahwa secara nyata terlihat makna ketentuan ini adalah merujuk
pada usia di bawah 18 tahun saat melakukan kejahatan. Dengan demikian,
apabila seseorang melakukan kejahatan saat yang bersangkutan di bawah 18
tahun namun disidangkan pada usia 18 atau lebih, orang tersebut masih tetap
dalam lingkup perlindungan ketentuan ini. 47
34. Berkaitan dengan ketentuan hukuman mati tidak dapat dilaksanakan bagi
perempuan hamil, ada satu hal yang harus diperjelas. Bahwa ada perbedaan
ketentuan berkaitan dengan ketentuan tentang perempuan yang sedang hamil
dibandingkan ketentuan bagi anak di bawah 18 tahun. Rumusan yang dipakai
dalam ketentuan anak di bawah 18 tahun adalah tidak boleh dijatuhkan (shall
not be imposed) sementara pada ketentuan tentang larangan hukuman bagi
perempuan hamil adalah tidak boleh dilaksanakan (shall no be carried out) .
Ibid
Ibid, hal. 144
45 Nowak, M., op.cit (note 9), hal. 146
46 Ibid
47 Rodley, N., op.cit (note 15), hal. 151
43

44

13

Rumusan tidak boleh dijatuhkan (shall not be imposed) untuk kejahatan yang
dilakukan anak di bawah usia 18 tahun dan tidak boleh dilaksanakan (shall not
be carried out) untuk perempuan hamil mengandung perbedaan yang harus
dimaknai bahwa tidak segera setelah seorang perempuan melahirkan, eksekusi
hukuman mati dapat dilaksanakan. Ketentuan itu harus ditafsir secara luas
yaitu ketentuan tersebut juga harus dibaca bukan hanya melindungi perempuan
hamil namun memfasilitasi pula secara manusiawi anak yang baru
dilahirkannya. Dengan demikian, ketentuan itu meminta adanya perlindungan
bagi perempuan hamil dan anak yang dilahirkannya dan dengan demikian
eksekusi tidak demikian saja dilakukan segera setelah sang ibu melahirkan. 48
B. Apakah Hukuman Mati merupakan Pelanggaran Hak Hidup
dan/atau merupakan Perlakuan atau Penghukuman yang Keji,
Tidak manusiawi dan Merendahkan?
35. Walaupun Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tidak secara tersurat
menyatakan bahwa hukuman mati melanggar hak hidup atau pun hak yang
lain, namun sebagian ahli dan beberapa pengadilan menyatakan bahwa
hukuman mati melanggar hak hidup. Saat ini berkembang argumen yang
dikuatkan pula oleh putusan beberapa pengadilan bahwa hukuman mati,
melanggar hak hidup. Beberapa putusan juga menyatakan bahwa hukuman
mati merupakan pelanggaran hak untuk tidak diperlakukan atau dihukum
secara keji, tidak manusiawi dan merendahkan.
36. Argumen bahwa hukuman mati melanggar hak hidup dan/atau hak untuk tidak
dikenakan inhuman and degrading treatment or punishment diperkuat oleh
putusan mahkamah konstitusi beberapa negara. Pada 24 Oktober 1990
Mahkamah Konstitusi Hongaria menyatakan bahwa hukuman mati melanggar
the inherent right to life and human dignity seperti diatur dalam Pasal 54 dari
konstitusi negara tersebut.49 Pada 9 Juni 1995, Mahkamah Konstitusi Afrika
Selatan juga menyatakan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan larangan
perlakukan atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi dan
merendahkan/cruel, inhuman and degrading treatment or punishment di
bawah konstitusi interim negara tersebut. Delapan dari sembilan hakim juga
Mahkamah tersebut menyatakan bahwa hukuman mati melanggar hak hidup.50
Padal 9 Desember 1998, Mahkamah Konstitusi
Republik Lithuania
menyatakan bahwa kitab hukum pidana negara tersebut bertentangan dengan
ketentuan konstitusi Republik Lithuania yang menyatakan bahwa hak hidup
harus dilindungi oleh hukum. Dinyatakan bahwa hukuman mati bertentangan
dengan larangan penyiksaan, injury, merendahkan/degradation dan

Ibid, , hal. 152 dan Nowak, M., op.cit (note 9), hal. 147
Lihat Eric Prokosch, the Death Penalty Versus Human Rights dalam Death Penalty Beyond
Abolition, Cpuncil of Europe Publishing, 2004, hal. 31 . Putusan ini telah mempengarhui penghapusan
hukuman mati bagi semua jenis tindak pidana di Hongaria.
50 Ibid, hal 31. Putusan ini telah mempengaruhi penghapusan hukuman mati bagi jenis kejahatan
pembunuhan di Negara tersebut.
48

49

14

maltreatment serta penetapan hukuman semacam itu.51 Pada 29 Desember


1999 Mahkamah Konstitusi Ukraina juga menyatakan bahwa hukuman mati
yang diatur dalam hukum domestik negara tersebut adalah inskonstitusional
dan peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman tersebut harus
tidak berlaku lagi. Mahkamah tersebut menyatakan bahwa hukuman mati tidak
sejalan dengan pasal-pasal yang ada dalam Konstitusi Ukraina
yang
menyatakan bahwa hak hidup dan larangan untuk penyiksaan dan tindakan
atau penghukuman yang keji, tidak manusiawi dan merendahkan melanggar
martabat manusia. Dalam hal ini memang harus diperhatikan bahwa tidak
seperti ICCPR, Konstitusi Ukraina tidak secara eksplisit memperbolehkan
hukuman mati sebagai pengecualian hak hidup.52
37. Putusan-putusan di atas menyatakan bahwa hukuman mati melanggar hak
hidup dan/atau larangan penyiksaan dan tindakan atau penghukuman yang
keji, tidak manusiawi dan merendahkan.

51
52

Ibid
Ibid

15

Bab III
HAK HIDUP DAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA
A. Ketentuan Hak Hidup dalam Hukum Nasional Indonesia
38. Undang-Undang Dasar 1945 adalah sumber hukum tertinggi dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Konstitusi Indonesia mengatur
ketentuan tentang hak hidup. Pasal 28 A Konstitusi Indonesia melindungi hak
hidup dan menyatakan bahwa [s]etiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Dengan demikian, hak hidup
merupakan hak konstitusional.
39. Konstitusi Indonesia menyatakan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Pasal 28 ayat 1
menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun".
40. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat
ketentuan tentang hak hidup. Pasal 9 UU No. 39/1999 menyatakan bahwa [s]etiap
orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya. Pasal Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia menyebutkan : Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun.
41. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hak hidup dilindungi oleh hukum
nasional. Hukum nasional Indonesia menegaskan hak hidup sebagai hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Hal ini
sejalan dengan ketentuan internasional yang mengatur ketentuan serupa. Apakah
dengan demikian, hak hidup bersifat mutlak dalam hukum Indonesia? Apakah
pemberlakuan dan ketentuan hukuman mati yang diatur oleh beberapa undangundang melanggar Konstitusi?
42. Melalui Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi Indonesia
berpendirian bahwa hak hidup tidak bersifat mutlak dan bahwa pemberlakukan
hukuman mati dalam UU Narkotika No. 27 Tahun 1997 sepanjang yang
menyangkut ancaman pidana mati tidak melanggar UUD 1945.53 Pendirian
Mahkamah Konstitusi didasarkan pada beberapa pendapat yaitu bahwa semua hak
yang ada dalam konstitusi keberlakuannya dapat dibatasi termasuk hak hidup.
Selain itu, Mahkamah Konsitusi berpendapat bahwa ditempatkannya pasal 28 J
sebagai pasal penutup memberi tafsir bahwa Pasal 28 A-I yang mendahuluihya
53

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, hal. 432

16

tunduk pada ketentuan pembatasan hak yang dimuat dalam Pasal 28 J Konstitusi
Indonesia.54 Pendirian Mahkamah Konstitusi ini konsisten dengan pendirian
Mahkamah Konstitusi sebelumnya dalam Perkara Abilio Soares. 55 Bahwa,
menurut Mahkamah Konstitusi, hak hidup bersifat tidak mutlak juga mendasarkan
pada argumen bahwa instrumen internasional memuat pula ketidakmutlakan hak
hidup di antaranya Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang memuat
ketentuan tentang pelaksanaan hukuman mati namun dengan pembatasanpembatasan tertentu.56 Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pemberlakukan hukuman mati terhadap kejahatan narkotika tidak menyalahi
ketentuan pembatasan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
mengenai pemberlakukan hukuman mati yang diperuntukkan hanya pada
kejahatan yang paling serius (the most serious crimes). Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa frasa kejahatan yang paling serius haruslah dibaca dengan
frasa berikutnya sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan
dilakukan (in accordance with the law in force at the time of the commission of the
crime). Dalam hal ini kemudian Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa apakah
ketentuan-ketentuan yang memuat kejahatan dengan ancaman pidana mati dalam
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika masuk dalam kejahatan yang paling
serius haruslah dikaitkan dengan hukum yang berlaku terhadap kejahatankejahatan tersebut baik nasional maupun internasional. Mahkamah Konstitusi
kemudian menyatakan bahwa di tingkat internasional hukum yang berlaku adalah
UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Pschotropic
Substances 1988 (Konvensi Narkotika dan Psikotropika) dimana Indonesia
merupakan pihak dari Konvensi tersebut. Konvensi tersebut menyatakan bahwa
kejahatan narkotika termasuk dalam kejahatan yang paling serius (particularly
serious). Dengan mendasarkan pada ketentuan Konvensi itu, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa kejahatan narkotika yang dinyatakan sebagai
kejahatan yang sangat serius (particularly serious) dalam Konvensi tersebut dapat
disetarakan dengan kejahatan yang paling serius (the most serious crimes)
menurut ketentuan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa tidak ada kewajiban
internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan hukuman
mati dalam UU Narkotika. 57
43. Dengan demikian, berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi beberapa negara
lain, menurut Mahkamah Konstitusi Indonesia, hak hidup bersifat tidak mutlak
dan dapat dibatasi. Hukuman mati tidak melanggar UUD 1945. Ketentuan
hukuman mati dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dengan demikian,
menurut Mahkamah Konstitusi juga tidak melanggar ketentuan mengenai hak
hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dalam
Konstitusi Indonesia. Dalam hal ini adalah penting pula untuk mengingat bahwa
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, hal. 413-414
Abilio Soares memohon uji materi atas ketentuan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan hak Asasi manusia, dan diputuskan oleh MK melalui Putusan No. 065/PUU-II/2004 .
Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi juga berpendirian bahwa hak untuk tidak dituntut oleh
hukum yang berlaku surut , yang juga merupakan bagian dari hak yang tudak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun (non-derogable rights) juga tidak bersifat mutlak.
56 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi, op.cit (note 53), hal. 416-419
57 Ibid, hal. 420-427
54
55

17

tafsir Mahkamah Konstitusi atas kejahatan yang paling serius dalam Putusan
tersebut berbeda dengan tafsir menurut Kovenan dan Komite yang tidak
memasukkan kejahatan obat-obatan sebagai kejahatan yang paling serius (the most
serious crimes).
B. Kesesuaian Ketentuan Hukum Nasional tentang Hukuman Mati dan
praktik pelaksanan hukuman mati dengan Instruman Internasional
44. Sebagaimana dinyatakan pada awal tulisan, Indonesia belum menghapus hukuman
mati. Perlu diingat, seperti telah disebutkan sebelumnya pula bahwa Indonesia
telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tanpa reservasi.
Dengan demikian, Indonesia terikat secara hukum terhadap semua ketentuan yang
ada dalam Kovenan tersebut. Seperti disebutkan sebelumnya, bacaan atas
ketentuan Pasal 6 secara menyeluruh, menyatakan bahwa Kovenan tersebut pada
intinya meminta adanya penghapusan hukuman mati. Hal yang harus dijawab
adalah apakah Indonesia berada dalam upaya untuk menghapus hukuman mati
dan dengan demikian berada di jalan pemenuhan kewajibannya sebagai negara
pihak untuk memenuhi kewajibannya menghapus hukuman mati, ataukah
sebaliknya?
45. Dari 10 daftar peraturan perundang-undangan yang memuat hukuman mati,
terlihat lima peraturan yang memuat ketentuan hukuman mati diundangkan dalam
waktu sepuluh tahun terakhir. Sejak 1997 tercatat ada lima undang-undang baru
yang mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidananya yaitu: a). UU No,
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; b). UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c). UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi; d). UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM; dan e). UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 58 Undang-undang tersebut adalah
peraturan perundang-undangan yang memuat ancaman pidana hukuman mati
yang dibuat oleh Indonesia dalam masa kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Peraturan perundang-undangan yang terakhir yang memuat hukuman mati
sebelum peraturan perundang-undangan sebelumnya adalah UU No. 4 Tahun
1976 tentang Perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP bertalian
dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan
perkembangan dan kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/pra
sarana penerbangan. Dengan demikian, dalam kurun waktu dua puluh tahun
kemudian, baru Indonesia menambah undang-undang yang memuat ancaman
hukuman mati. Dan dalam sepuluh tahun, Indonesia mengundangkan lima
peraturan perundang-undangan. Lima peraturan perundang-undangan tersebut
kesemuanya memuat tindak kejahatan dengan jenis baru yang diancam hukuman
mati. Dari sisi jumlah undang-undang dan kurun tahun pengesahan terlihat
Indonesia justru memperbanyak hukuman mati dan tidak mempunyai
kecenderungan untuk menghapus hukuman mati. Selain itu, Indonesia justru
memperbanyak jenis kejahatan yang diancam hukuman mati. Pidana-pidana yang
diancam pun justru yang tidak masuk dalam kelompok kejahatan yang paling
serius (the most serious crimes) menurut Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik. Di sini kemudian dapat dinyatakan bahwa, tidak ada petunjuk Indonesia
58

Lihat, Kontras, Praktik Hukuman Mati di Indonesia, op.cit (note 1), hal. 8

18

menghapus hukuman mati atau pun melakukan upaya pembatasan jenis kejahatan
yang diancam hukuman mati.
46. Satu Undang-undang yang memuat hukuman mati memang telah dicabut yaitu UU
No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Undang-undang ini
memuat ancaman hukuman mati untuk pidana subversif. Namun demikian, harus
dicatat bahwa
pencabutan ini tidak dilandasi semangat langsung untuk
pengurangan ancaman hukuman mati bagi jenia kejahatan tertentu. Butir-butir
menimbang UU No. 26 Tahun 1999 menyatakan:
a. bahwa hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati
melekat pada diri manusia, meliputi antara lain hak memperoleh kepastian hukum dan
persamaan kedudukan di dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak mengeluarkan
pendapat, berserikat, dan berkumpul serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan


Kegiatan Subversi bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang
berdasarkan atas hukum serta menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga dalam
penerapannya menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di dalam masyarakat;59

Dari bagian menimbang UU tersebut, terlihat bahwa pencabutan Undangundang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi melalui
UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963 lebih
dilandasi oleh semangat untuk meningkatkan kepastian hukum dan
perlindungan hak asasi manusia secara umum dan tidak untuk pengurangan
pemberlakukan hukuman mati dalam jenis kejahatan tertentu atau pun dalam
rangka penghapusan hukuman mati.
47. Seperti disebutkan sebelumnya, terjadi peningkatan eksekusi hukuman mati
selama sepuluh tahun terakhir. Kecenderungan ini juga memperlihatkan bahwa
Indonesia tidak berada di jalan untuk menghapus hukuman mati. Lebih khusus,
kecenderungan ini juga tidak memperlihatkan adanya indikasi Indonesia (akan)
memberlakukan moratorium pelaksanaaan hukuman mati seperti diserukan oleh
PBB.
48. Telah disebutkan sebelumnya ada
setidaknya 1o peraturan yang memuat
ketentuan hukuman mati sebagai ancaman pemidanaan. Dalam hal ini adalah
perlu untuk melihat apakah norma hukum dan praktik pelaksanaan hukuman mati
memenuhi persyaratan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik serta apakah norma hukum dan praktik
pelaksanaan hukuman mati yang berlaku di Indonesia telah mencerminkan
ketentuan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
49. Berkaitan dengan pembatasan hukuman mati hanya untuk kejahatan yang paling
berat (the most serious crime). Tentang frasa kejahatan yang paling berat (the most
serious crime). Seperti disebutkan di atas, bahwa dalam hal ini hukuman mati
tidak dapat diberlakukan untuk tindak kejahatan seperti kejahatan properti,
59

UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan Kegiayan Subversi,
http://ilmea.depperin.go.id/sk/uu199926.htm, diakses pada 17 september 2008

19

kejahatan ekonomi, kejahatan politik atau tindakan perlawanan yang tidak


menggunakan kekerasan serta harus dihapuskan pula untuk kejahatan yang
berkaitan dengan obat-obatan. Komisi Hak Asasi Manusia PBB juga menyatakan
bahwa hukuman mati haruslah tidak dapat diberlakukan untuk kejahatan yang
tidak menggunakan kekerasan misalnya kejahatan keuangan atau pun praktik
keagamaan serta ekpresi keyakinan yang dilakukan tanpa kekerasan. Seperti
disebutkan di atas keputusan Komite Hak Asasi Manusia PBB melalui mekanisme
pelaporan negara menyatakan bahwa istilah kejahatan yang paling serius/the
most serious crime dalam Pasal 6 ayat (2) dibatasi hanya pada pembunuhan
terencana dan tindakan terencana yang menyebabkan penderitaan jasmaniah yang
memilukan.
50. Berbagai Undang-Undang yang memuat hukuman mati adalah sebagai berikut:

Tabel perundang-undangan RI
yang memuat ketentuan ancaman hukuman mati
No.

Judul
Undang

1.

KUHP

2.
3.

4.
5.
6.

60

Undang- Keterangan

Makar
Mengajak atau menghasut negara lain untuk
menyerang RI
Membunuh kepala negara sahabat
Pembunuhan berencana
Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau
lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak
rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau
mati
Pembajakan di laut, di tepat laut, di sungai sehingga
ada orang yang mati
Menganjurkan pemberontakan atau huru hara pada
buruh terhadap perusahaan pertahanan negara waktu
perang
Pemerasan dengan kekerasan
UU Darurat No. 12 Tahun Senjata Api
1951
Penetapan Presiden No. 5 Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam
Tahun 1959
hal memperberat ancaman hukuman mati terhadap
tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan
perlengkapan sandang pangan
Pepu No. 21 Tahun 1959
Memperberat ancaman hukuman terhadap tindak
pidana ekonomi
UU No. 11/PNPS/1963
Pemberantasan kegiatan subversif 60
UU No. 4 Tahun 1976
Perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam
KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya
ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan
perkembangan dan kejahatan penerbangan dan

Telah dicabut melalui UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963

20

7.
UU No. 5 Tahun 1997
8.
UU No. 22 Tahun 1997
9.
UU No. 31 Tahun 1999
10.
UU No. 26 Tahun 2000
11.
UU No. 15 tahun 2003
Sumber: Litbang Kontras61

kejahatan terhadap sarana/pra sarana penerbangan


Psikotropika
Narkotika
Pemberantasan Korupsi
Pengadilan HAM
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

51. Terlihat dari peraturan perundang-undangan tersebut bahwa hukuman mati menjadi
ancaman pidana bagi berbagai kejahatan tidak saja bagi kejahatan yang paling serius
(the most serious crimes) dalam definisi internasional seperti yang telah dijelaskan di
atas. Terlihat hukuman mati diberlakukan juga untuk kejahatan ekonomi, politik
maupun kejahatan berkaitan dengan obat-obatan terlarang. Kejahatan-kejahatan ini
tidak dapat dimasukkan dalam kelompok kejahatan yang paling serius (the most
serious crimes) dan dengan demikian seharusnya tidak diberlakukan hukuman mati
sebagai ancaman pidananya. Dapat dinyatakan bahwa beberapa peraturan perundangundangan memuat ketentuan yang memberi ancaman hukuman mati bagi kejahatankejahatan yang bukan kejahatan serius (the most serious crimes) tidak sesuai dengan
pembatasan sebagaimana dinyatakan oleh Pasal ayat (2). Sementara itu praktik dan
kecenderungan yang terjadi dimana vonis hukuman mati tertinggi dalam sepuluh
tahun terakhir yaitu terhadap kasus narkotika telah berlainan arah pula dengan
maksud dan tujuan ketentuan tersebut.
52. Sedikit kemajuan dapat dilihat dalam pemberlakukan ancaman hukuman pidana mati
dalam Rancangan Kitab Undang-Undangn Hukum Pidana (RUUKUHPidana).
Hukuman mati memang masih menjadi ancaman pidana dalam Rancangan tersebut.
Namun demikian, hukuman mati dalam rancangan ini tidak lagi menjadi pidana
pokok tetapi ditempatkan dalam rumusan pidana bersifat khusus dan diancamkan
secara alternatif dan tidak lagi mutlak.62 Diatur pula kemungkinan pidana diatur
bersyarat yang membuka kemungkinan adanya pertobatan yang lebih jauh memberi
kemungkinan tidak dilaksanakannya hukuman mati bagi terhukum. 63 RKUHPidana
memuat ketentuan dapat ditundanya pelaksanaan hukuman mati dengan masa
percobaan 10 tahun bagi terhukum hukuman mati. Hal ini diberlakukan dengan
syarat-syarat sebagai berikut: a). reaksi masyarakat tidak terlalu besar; b). terpidana
menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c). kedudukan
terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; d). ada alasan yang
meringankan.64 Namun demikian, ketentuan ini masih belum cukup untuk
mengupayakan penghapusan hukuman mati. Seharusnya pidana hukuman mati tidak
lagi menjadi ancaman pidana. Indonesia telah menjadi nagara pihak dari Kovenan
Hak Sipil dan Politi dan berada dalam posisi untuk melakukan langkah-langkah
penghapusan hukuman mati.

Lihat Praktik Hukuman Mati di Indonesia, Kontras , op.cit (note 1), 2008, hal. 8
Lihat Kajian Perlindungan Hak Asasi Manuisa dalam RUKHPidana, Komnas HAM 2006, hal. 92
63 Lihat Romli Atmasasmita, Hukuman Mati bagi Koruptor, Kompas 8 September 2008
64 Lihat Kajian Komnas HAM, op.cit (note 61), hal. 93
61

62

21

TABEL 2: Tindak Pidana yang Diancam Hukuman Mati dalam RUU KUHPIDANA

No

Pasal

Tindak Pidana

Keterangan

242

Terorisme

244

Terorisme Menggunakan
Bahan Kimia

Bahan-

Menggunakan bahan-bahan kimia, senjata biologis,


radiologi,
mikro-organisme,
radioaktif
atau
komponennya untuk melakukan terorisme.

247

Penggerakan, Pemberian Bantuan


dan Kemudahan untuk Terorisme

Merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain


untuk
melakukan
tindak
pidana
terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 sampai
dengan Pasal 244, Pasal 245, dan Pasal 246.

249

Terorisme

Setiap orang di luar wilayah Negara Republik


Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan,
sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak
pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama
sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 242 sampai dengan Pasal 244, Pasal
245, dan Pasal 246.

250

Perluasan Pidana Terorisme

Dipidana karena terorisme setiap orang yang


melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 258 dengan pidana mati. Pasal 258
adalah pasal tentang Perusakan Pesawat Udara yang
Mengakibatkan Matinya Orang atau Hancurnya
Pesawat.

251

Terorisme

Permufakatan jahat, persiapan, atau percobaan dan


pembantuan melakukan terorisme sebagai dimaksud
Pasal 242, Pasal 243 dan Pasal 244 dan Pasal 250
dipidana sesuai dengan ketentuan pasal-pasal
tersebut.

262 ayat (2)

Perbuatan yang Membahayakan


Kesalamatan Penerbangan

Tindak pidana Pasal 262 ayat (1) mengakibatkan


matinya orang
atau hancurnya pesawat udara
tersebut.

269 ayat (2)

Makar terhadap
Sahabat

Jika makar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


yaitu melakukan makar dengan maksud membunuh
atau
merampas kemerdekaan kepala negara
sahabat, mengakibatkan kepala negara mati.

504

Penyalahgunaan Narkotika

Tanpa hak dan melawan hukum memproduksi atau


menyediakan narkotika.

10

506

Penyalahgunaan Narkotika

Tanpa hak dan melawan hukum mengimpor,


mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika.

11

511

Penyalahgunaan Narkotika di luar


Wilayah Negara Indonesia

Setiap orang yang melakukan tindak pidana narkotika


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 503 ayat (1),
Pasal 504 sampai dengan Pasal 506 di luar wilayah
Negara Republik Indonesia diberlakukan pula
ketentuan Undang-Undang ini.

Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan


menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap objek-objek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas umum atau fasilitas
internasional.

Kepala

Negara

22

12

513

Penyalahgunaan Psikotropika

Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses


produksi psikotropika, mengedarkan, mengimpor, atau
mengekspor psikotropika.

13

518

Penyalahgunaan Psikotropika di luar


Wilayah Negara Indonesia

Setiap orang yang melakukan tindak pidana


psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 513
ayat (1) dan Pasal 514 di luar wilayah Negara
Republik Indonesia diberlakukan pula ketentuan
Undang-Undang ini.

14

521

Penyalahgunaan Psikotropika

Permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana


psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 513
ayat (1), Pasal 514 sampai dengan Pasal 519
dipidana.

15

574

Pembunuhan Berencana

Dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa


orang lain, diancam karena pembunuhan berencana.

Sumber: Kajian Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam RUU KHUPidana, Komnas HAM, 2006

53. Dari tabel di atas terlihat juga bahwa dalam RKUHPidana ancaman pidana mati
diberlakukan terhadap berbagai jenis tindak pidana termasuk tindak pidana yang
tidak termasuk dalam kategori kejahatan yang paling serius ( the most serious crime)
di antaranya berkaitan dengan obat-obatan terlarang. Dalam hal ini Komnas HAM
juga mencatat bahwa dalam menetapkan tindak pidana yang diancam hukuman mati
tidak jelas indikator penetapannya, apakah berdasarkan dampak kejahatan atau
melihat tingkat keseriusan kejahatan (gravity of the crimes). Komnas HAM juga
melihat tidak adanya konsistensi dalam menentukan kategori penetapan kejahatan
yang ancaman hukuman mati. 65
54. Berkaitan dengan pembatasan frasa tidak bertentangan dengan Kovenan. Seperti
dinyatakan di atas frasa ini pada intinya mengatur bahwa putusan hukuman mati
harus didasarkan pada hukum nasional yang adil dan berdasarkan rule of law.
Hukuman mati tidak diperkenankan berdasarkan hukum yang tidak adil (unjust
laws). Seperti dipaparkan di atas pula, ketentuan ini juga membatasi bahwa hukuman
mati tidak dimanfaatkan oleh pemerintah yang represif sebagai bagian dari represinya.
Dari daftar tindak kejahatan yang dipaparkan di atas, hukuman mati juga dikenakan
terhadap kejahatan politik antara lain makar. Dapat dinyatakan bahwa kegiatan ini
bersifat politis dan sangat terbuka untuk adanya kemungkinan dipakai oleh
pemerintahan untuk melakukan represi. Ketentuan pasal 104 KUHP yang mengatur
kejahatan makar adalah warisan Belanda yang dahulu dimanfaatkan oleh Pemerintah
Belanda untuk melanggengkan politik represi di daerah pendudukan.66 Dapat diduga
bahwa ketentuan ini membuka kemungkinan dimanfaatkan oleh penguasa untuk
melakukan represinya dan dengan demikian tidak dilandasi semangat rule of law.
Dapat dinyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak sejalan dengan ketentuan pasal 6
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
55. Seperti dipaparkan di atas, dalam hal ini harus pula diingat bahwa sebuah hukuman
mati dapat dinyatakan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik apabila diatur oleh hukum nasional. Bahwa hukum nasional
65
66

Ibid, hal. 87
Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Hukuman Mati, Imparsial, 2006, hal. 10

23

tersebut haruslah sah/legal dan juga adil/just yang tidak mengandung unsur
capricousness dan unreasonableness. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, maka
hukuman mati yang diatur oleh hukum nasional yang tidak memenuhi hal tersebut
dapat dimasukkan dalam golongan pembunuhan secara sewenang-wenang.
Berdasarkan ketentuan ini, berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan makar yang memberi ancaman hukuman mati dapat pula diduga merupakan
pelanggaran atas pasal 6 ini.
56. Frasa tidak bertentangan dengan Kovenan juga mensyaratkan metode hukuman mati
tidak boleh menimbulkan penderitana fisik dan psikis. Metode yang menimbulkan
penderitaan fisik dan psikis merupakan pelanggaran Pasal 7 Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik. Ketentuan tentang pelaksanaan hukuman mati di Indonesia
diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964. Ketentuan ini menyatakan bahwa hukuman mati
dilaksanakan dengan menembak mati terhukum. Undang-Undang menyatakan bahwa
cara menembak adalah dengan menembak jantung terhukum. Apabila belum
meninggal, kemudian terhukum ditembak di kepalanya.67 Sementara itu RKUHPidana
mengatur ketentuan pelaksanaan hukuman mati yang menyatakan bahwa
pelaksanakan hukuman mati dilakukan dengan menembak terpidana sampai mati
oleh regu tembak dan tidak dilaksanakan di muka umum. 68 Pelaksanaan hukuman
mati dengan ditembak memang tidak termasuk metode yang menimbulkan
penderitaan fisik dan psikis. Namun demikian, hal ini tergantung pula dari metode
penembakan dan ketepatan penembakan pada sasaran. Dalam sidang pengujian UU
No. 2/Pnps/1964, terungkap dalam keterangan saksi ahli dan saksi fakta bahwa
hukuman mati telah membuat terpidana menderita selama 7-10 menit karena
pelaksanaan penembakan seringkali tidak tepat sasaran yaitu jantung terhukum.69
Kesaksian ini memberi petunjuk tentang kemungkinan terlanggarnya ketentuan Pasal
7 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Dengan demikian, walaupun metode
dengan cara menembak mati tidak termasuk dalam metode yang menimbulkan fisik
dan psikis, namun pelaksanaan penembakan yang tidak akurat membuka
kemungkinan timbulnya penderitaan tersebut. Dapat dinyatakan, diperlukan adanya
perbaikan tata cara hukuman mati yang benar-benar menjamin tidak ditimbulkannya
penderitaa disik dan psikis .
57. Tentang frasa Hukuman mati hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan akhir
yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang (competent). Seperti ditegaskan di
atas, oleh karena Pasal 6 ayat (2) juga memuat ketentuan yang menyatakan hukuman
mati dilarang melanggar ketentuan lain dari kovenan atau konvensi lain maka frasa
ini harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 14, 15, 2 dan 26 . Dengan demikian, frasa
ini harus dibaca bahwa putusan hukuman mati hanya dapat diberlakukan oleh sebuah
pengadilan yang adil, berwenang (kompeten/competent), mandiri, dan tidak memihak
yang diatur berdasarkan hukum dan melalui proses yang tidak diskriminatif,
berdasarkan asas praduga tak bersalah dan adanya jaminan minimum hak para
Lihat Kompas, Menhuk dan HAM ; Hukuman Mati Bukan Penyiksaan, Jumat, 12 September 2008.
UU No. 2 Pnps/1964 berkaitan dengan ketentuan tembak mati, dimohonkan uji materinya kepada
Mahkamah Konstitusi.
68 Lihat pula Kajian Perlindungan Hak Asasi mansuia dalam RKUHPIdana, op.cit (note 61), , hal. 88
69 Lihat Tembak Mati Membuat Terpidana Tersiksa, Kompas, Jumat, 19 September 2008.
67

24

tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (3) ICCPR. 70 Pertanyaan yang paling
mendasar berkaitan dengan ketentuan ini adalah apakah proses hukum Indonesia
telah mencerminkan dipenuhinya ketentuan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan
itu, adalah relevan untuk mengingat kasus-kasus penting:

No.

Kasus

Tuduhan

Hukuman

Keterangan

1.

Kasus
Sengkon
dan Karta
(Petani/
1974)71

Dituduh
merampok
dan
membunuh
suami istri
SulaemanSiti Haya

Sengkon
dan
Karta diputus
bersalah
oleh
PN
Bekasi.
Sengkon
dipidana
12
tahun
dan
Karta 7 tahun.

Manjalani
tahun.

Keduanya
dihukum
Cipinang.

hukuman

selama

enam

Dipenjara Sengkon sakit (TBC).


Pembunuh
asli
karena
kasihan
kemudian mengaku bahwa dirinyalah
yang membunuh Sulaeman-Siti Haya.

Sengkon dan Karta menghiduplan


lembaga Peninjauan Kembali (PK) dan
di kemudian dibebaskan melalui PK.
Sengkon dan Karta menjadi jatuh
miskin.
Sengkon dan Karta mencoba menuntut
ganti rugi kepada Pemerintah melalui
berbagai upaya hukum (PN, PT dan
kasasi), namun gagal. Kasasi terakhir
pun gagal dengan alasan keterlambatan
masuknya permohonan.

2.

Budi
Harjono
(mahasiswa
/ 2002)72

Dituduh
membunuh
ayah
kandungnya
sendiri, Ali
Harta
Winata

Dalam
masa
penutuntutan
(dituntut
12
tahun penjara).
Pembunuh asli
mengaku.
Diputus bebas
murni
oleh
Pengadilan
Negeri Bekasi.

Ditahan oleh
Polres Metropolitan
Bekasi dan Polsek Pondok Gede Bekasi.
Menjalani masa tahanan selama enam
bulan. Dalam pemeriksaan mendapat
tekanan dan ancaman.

Nowak, M., op.cit (note 9), hal. 142


Majalah Berita Mingguan, TEMPO, Akhir Legenda Sengkon-Karta, 22 September 2008,
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/09/29/HK/mbm.19840929.HK43184.id.html,
diakses pada 22 September 2008
72 Sinar Harapan, Kasus Sengkon dan Karta, kembali terulang, Kamis, 06 Juli 2006,
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/06/jab02.html
70
71

25

3.

4.

Kasus
Risman
Lakoro dan
Rostin
Mahaji
(petani
pengarap/2
002)73

Dituduh
menbunuh
anaknya
Alta. Lima
tahun
kemudianAl
ta muncul

Kasus Devid Dituduh


Eko Prianto, membunuh
Imam
Asrori
Hambali
dan Maman
Sugianto
(pekerja
salon,
pemilik
salon/2008
)74

Diadili
dan
dihukum
tiga
tahun penjara
oleh Pengadilan
Negeri
Tilamuta.

Dalam proses hukum tidak didampingi


pengacara

Devid
dan
Imam Hambali
telah
divonis
bersalah,
masing-masing
hukuman
penjara
12
tahun dan 17
tahun oleh PN
Jombang.
Sementara
persidangan
Maman masih
berlangsung.

Devid mengaku dipukul dan diancam


dengan pistol selama pemeriksaan di
kepolisian

Terjadi penyiksaan dalam proses


hukum
dan
dipaksa
mengaku
melakukan pembunuhan.
Sudah menjalani hukuman sesuai
putusan pengadilan

Polisi mendapatkan temuan baru


berdasarkan
uji
DNA
yang
membuktikan bahwa jenazah Asrori
adalah yang ditemukan di belakanga
rumah Very Idam Henyasnyah.
Polisi
kemudian
melakukan
pemeriksaan
jenazah
dengan
melakukan
pemeriksaan
yang
menghasilkan
kesimpulan
bahwa
jenazah yang dijadikan yang semula
disangka Asrori adaalah jennazah
Fauzin Suyanto.
Polisi menyatakan bahwa polisi salah
identifikasi
Polisi mengaku salah tangkap

58. Dari paparan di atas dapat dinyatakan beberapa hal: a). Yang menjadi korban dari
kasus-kasus yang salah tangkap dan/atau tidak sesuai dengan proses hukum di atas
adalah mereka yang berasal dari kelompok ekonomi lemah; b). Terjadi praktik
kekerasan yang dapat diduga merupakan penyiksaan saat pemeriksaan dan/atau pun
dalam proses hukum selanjutnya; c). Para Korban tidak mendapatkan hak sebagai
tersangka. Berdasarkan hal ini, adalah sulit untuk mengatakan bahwa proses hukum di
Indonesia memenuhi ketentuan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Kasuskasus di atas diambil secara acak dari kasus yang muncul untuk pembunuhan. Namun
demikian dapat diduga kuat bahwa proses hukum yang tidak memenuhi ketentuan
Lihat Antara News, Tragedi Sengkon Karta, Gorontalo, Kado Buruk, HUT, Bhayangkara, 10 Juli
2007
74 Lihat Kompas, Dari Bui, Devid Menuliskan Bukti..., Kompas, Minggu, 31 Agustus, 2008, lihat juga
Kasus Asrori, Kejaksaan Bersikeras Tak salah Mendakwa, Kompas Sabtu, 30 Agustus 2008 dan
Propam Akui Identifikasi Polisi Tak Cermat, Kompas, 19 September 2008 serta Koran Tempo Polisi
Akui Lalai Idnetifikasi Mayat Asrori, 22 September 2008,
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/08/29/headline/krn.20080829.140956.id.ht
ml
73

26

tersebut juga terjadi di kasus-kasus lain. Dalam hal ini dapat diambil kesimpulan awal
bahwa proses hukum di Indonesia tidaklah memenuhi ketentuan Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik. Hukuman mati yang dihasilkan oleh proses
hukum seperti ini juga tidak memenuhi ketentuan bahwa [h]ukuman mati hanya dapat
dilaksanakan atas dasar putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang
(competent )dan Pasal 6 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang

meminta bahwa hukuman mati tidak diperkenankan melanggar ketentuan lain dalam
Kovenan Intedrnasional Hak Sipil dan Politik. Paparan di atas juga menunjukkan
adanya petunjuk tidak adanya jaminan prosedur hukum yang paling hati-hati (the
most careful legal procedure) dan perlindungan yang paling mungkin terhadap
tersangka hukuman mati.

27

BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
59. Hak hidup adalah hak bersifat melekat (inherent) yang merupakan karunia Tuhan
Yang maha Esa. Hak hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (nonderogable rights), bahkan dalam keadaan yang mengancam kehidupan bangsa.
60. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik meminta penghapusan hukuman mati
bagi negara-negara pihak. Pemberlakukan kembali hukuman mati merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengatur pembatasan yang ketat
terhadap pemberlakukan hukuman mati bagi negara yang belum menghapus
hukuman mati.
61. Ketentuan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tidak secara ekpolisit memuat
larangan terhadap hukuman mati, namun hal tersebut tidak dapat dibaca bahwa
ketentuan tersebut memperbolehkan demikian saja pemberlakukan hukuman mati.
Ketentuan tersebut justru meminta penghapusan hukuman mati. Pembatasan yang
ada diberlakukan hanya terhadap negara yang belum menghapus hukuman mati yang
terus dituntut untuk menghapusnya.
62. Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengakui adanya hukuman mati yang masih
diberlakukan oleh negara-negara di dunia. Namun demikian, sama seperti Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik, Resolusi tersebut meminta penghapusan hukuman
mati. Resolusi menekankan bahwa penghapusan hukuman mati membutuhkan waktu
dan proses yang kemudian harus dilakukan secara bertahap dengan membatasi jenis
kejahatan yang diancam hukuman mati dan lebih jauh menetapkan adanya
moratorium pelaksanaan hukuman mati.
63. Bacaan Resolusi tersebut bersama dengan ketentuan Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik Pasal 6 menyimpulkan bahwa hukuman mati diminta untuk dihapus.
Namun penghapusannya membutuhkan waktu. Pembatasan yang ada dalam
ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Politik dengan demikian diberlakukan kepada
negara yang belum menghapus hukuman mati yang dalam hal ini diminta untuk
menghapusnya. Jadi pembatasan tersebut diberlakukan untuk pelaksanaan hukuman
mati yang diharuskan dihapus. Dalam hal ini ketentuan pembatasan yang termuat
dalam Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tidak dapat dibaca dan
ditafsir memperbolehkan pemberlakukan hukuman mati secara terus menerus.
Namun, ketentuan pembatasan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
haruslah dibaca bahwa sementara negara melakukan upayanya untuk menghapus
hukuman mati, hukuman mati hanya dibolehkan dengan syarat-syarat yang ketat
sesuai Kovenan.
28

64. Hak hidup dilindungi oleh hukum nasional Indonesia. Hukum nasional Indonesia
termasuk Konstitusi Indonesia, menegaskan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights).
65. Lima dari sepuluh peraturan perundang-undangan yang memuat hukuman mati
diundangkan oleh Indonesia dalam waktu sepuluh tahun terakhir. Lima peraturan
perundang-undangan tersebut kesemuanya merupakan tindak kejahatan dengan jenis
baru yang diancam hukuman mati. Dari sisi jumlah dan tahun pengesahan terlihat
Indonesia justru memperbanyak hukuman mati dan tidak mempunyai kecenderungan
untuk menghapus hukuman mati.
Indonesia juga justru memperbanyak jenis
kejahatan yang diancam hukuman mati. Pidana-pidana yang diancam pun tidak
masuk dalam kelompok kejahatan yang paling serius (the most serious crimes)
menurut Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Dalam hal ini, dapat
dinyatakan bahwa tidak ada petunjuk Indonesia berada dalam jalam untuk
menghapus hukuman mati atau pun melakukan upaya pembatasan jenis kejahatan
yang diancam hukuman mati.
66. Terjadi peningkatan eksekusi hukuman mati selama sepuluh tahun terakhir.
Kecenderungan ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia tidak berada di jalan untuk
menghapus hukuman mati. Kecenderungan ini juga tidak memperlihatkan adanya
indikasi Indonesia akan memberlakukan moratorium pelaksanaaan hukuman mati
seperti diserukan oleh PBB.
67. Dapat dinyatakan bahwa beberapa peraturan perundang-undangan memuat ketentuan
yang memberi ancaman hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan yang bukan
kejahatan serius (the most serious crimes) menurut Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik. Hal itu tidak sesuai dengan pembatasan sebagaimana dinyatakan oleh
Pasal ayat (2) Kovena tersebut. Sementara itu praktik dan kecenderungan yang terjadi
dimana vonis hukuman mati tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir yaitu terhadap
kasus narkotika telah berlainan arah pula dengan maksud dan tujuan ketentuan
Kovenan Hak Sipil dan Polituk.
68. Sedikit kemajuan dapat dilihat dalam pemberlakukan ancaman hukuman pidana mati
dalam Rancangan Kitab Undang-Undangn Hukum Pidana (RUUKUHPidana) dimana
hukuman mati tidak lagi menjadi pidana pokok tetapi ditempatkan dalam rumusan
pidana bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif dan tidak lagi mutlak. Namun
demikian , dalam RKUHPidana ancaman pidana mati diberlakukan terhadap berbagai
jenis tindak pidana termasuk tindak pidana yang tidak termasuk dalam kategori
kajatan yang paling serius ( the most serious crime) di antaranya berkaitan dengan
obat-obatan terlarang.
69. Mendasarkan pada berbagai jenis kejahatan yang diancam hukuman mati dalam
peraturan perundang-undangan, terutama berkaitan dengan kejahatan makar, dapat
diduga bahwa ketentuan-ketentuan membuka kemungikan dimanfaatkan oleh
penguasa untuk melakukan represinya dan dengan demikian tidak dilandasi semangat

29

rule of law. Dapat dinyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak sejalan dengan
ketentuan pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
70. Sesuai ketentuan UU No. 2/Pnps/1964, tata cara pelaksanaan hukuman mati dengan
menembak mati memang tidak termasuk dalam metode yang menimbulkan fisik dan
psikis, namun pelaksanaan penembakan yang tidak akurat membuka kemungkinan
timbulnya penderitaan tersebut. Dapat dinyatakan, diperlukan adanya perbaikan tata
cara hukuman mati yang benar-benar menjamin tidak ditimbulkannya penderitaan
fisik dan psikis.
71. Berdasarkan beberapa kasus yang muncul diantaranya terjadinya salah tangkap
dan/atau penyiksaan atau pun kekerasan, serta kecenderungan terjadinya hal tersebut
kepada mereka yang berasalah dari kelompok ekonomi bawah, dapat diambil
kesimpulan awal bahwa proses hukum di Indonesia tidaklah memenuhi ketentuan
Kovenan Internasional hak Sipil dan Politik pasal 14 dan juga Pasal 15, 2 dan 26.
Bahwa proses hukum di Indonesia belum memenuhi ketentuan adanya sebuah
pengadilan yang adil, berwenang (kompeten/competent), mandiri, dan tidak memihak
yang diatur berdasarkan hukum dan melalui proses yang tidak diskriminatif,
berdasarkan asas praduga tak bersalah dan adanya jaminan minimum hak para
tersangka. Hukuman mati yang dihasilkan oleh proses hukum seperti ini juga tidak
memenuhi ketentuan bahwa [h]ukuman mati hanya dapat dilaksanakan atas dasar
putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang (competent ) dan Pasal 6
ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang meminta bahwa hukuman
mati tidak diperkenankan melanggar ketentuan lain dalam Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik.
B. Rekomendasi
72. Indonesia segera melakukan upaya untuk menghapus hukuman mati dalam hukum
nasional dengan mulai membatasi jenis kejahatan yang diancam hukuman mati.
Selanjutnya Indonesia harus secara bertahap dan terencana melakukan upaya untuk
menghapus hukuman mati.
73. Sementara dalam proses penghapusan hukuman mati secara bertahap dan terencana
tersebut, Indonesia dalam hal ini kemudian juga harus mengkaji kembali hukum
nasional yang ada serta praktik-pratik yang ada sehingga dapat menjamin adanya
prosedur hukum yang paling hati-hati (the most careful procedure) serta
kemungkinan yang paling besar adanya perlindungan bagi tersangka hukuman mati
sesuai Resolusi Umum PBB. Lebih jauh hendaknya Indonesia memberlakukan
moratorium bagi pelaksanaan hukuman mati.
74. Indonesia segara melakukan pengesahan Protokol Opsional Kedua pada Kovena
Internasional Hak Sipil dan Politik yang Ditujukan untuk Penghapusan Hukuman
Mati Tahun 1989.

30

DAFTAR PUSTAKA
Buku/Artikel:
Eric Prokosch, the Death Penalty Versus Human Rights dalam Death Penalty Beyond
Abolition, Council of Europe Publishing, 2004, hal. 31 .
Baderin, Mashood, A., International Human Rights and Islamic Law, Oxford
University Press, 2003
Nowak, M. (2005), U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary,
2nd revised edition, N.P. Engel, Publishers, hal. 122. Pandangan ini
menegaskan sifat natural rights hak hidup.
Romli Atmasasmita, Hukuman Mati bagi Koruptor, Kompas 8 September 2008
Imparsial, Jalan Panjang Menghapus Hukuman Mati, Imparsial, 2006, hal. 10
Sir Nigel Rodley, The United Nations Work in the Field of the Death Penalty dalam
the Death Penalty Beyond Abolition, Council of Europe Publishing,
2004, hal. 128
William Schabas, makalah disampaikan dalam seminar internasional, Discussion on
Death Penalty-Contemporary Challenges, Delegation of European
Commission and Departemen of Philosofy Faculty of Humanities
University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember 2004
Tulisan/Dokumen Kelembagaan:
Imparsial, Deskripsi data Hukuman Mati Sejak 1998-2008. Updated hingga Juli
2008. Tulisan diberikan saat datang ke Komnas HAM.
Imparsial Deskripsi Data Hukuman Mati sejak 1998-2008, updated hinggal Juli 2008
Komnas HAM, Kajian Perlindungan Hak Asasi Manuisa dalam RUKHPidana, Komnas
HAM 2006
Kontras , Praktik Hukuman Mati di Indonesia,
http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_
Mati_di_Indonesia.pdf, diakases pada 17 September 2008.

31

Peraturan Perundang-undangan/Instrumen:
UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 mengenai Pengesahan Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik
Kovenan Internasional Hal Sipil dan Politik, 1966
Komentar Umum/Resolusi/Putusan:
General Comment No. 06: The right to life (art. 6) : . 30/04/82. CCPR General
Comment No. 6, para 1
The question of the death penalty, Commission on Human Rights resolution 2002/77,
http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/0/e93443efabf7a6c4c
1256bab00500ef6?Opendocument,diakses pada 17 September,
paragraf 5
Resolusi MU PBB 2393 (XXIII) tentang Hukuman mati paragraf 8. Lihat juga Rodely,
N., op.cit (note 15), hal.. 141
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, hal. 432
Artikel Media Massa:
Antara News, Tragedi Sengkon Karta, Gorontalo, Kado Buruk, HUT, Bhayangkara,
10 Juli 2007
Kompas, Menhuk dan HAM ; Hukuman Mati Bukan Penyiksaan, Jumat, 12
September 2008.
Kompas, Tembak Mati Membuat Terpidana Tersiksa, Jumat, 19 September 2008.
Kompas, Dari Bui, Devid Menuliskan Bukti..., Minggu, 31 Agustus, 2008 dan
Kompas, Kasus Asrori, Kejaksaan Bersikeras Tak salah Mendakwa, Sabtu, 30
Agustus 2008
Kompas, Propam Akui Identifikasi Polisi Tak Cermat, Kompas, 19 September 2008

32

Koran Tempo Polisi Akui Lalai Idnetifikasi Mayat Asrori, 22 September 2008,
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/08/29/he
adline/krn.20080829.140956.id.html
Majalah Berita Mingguan, TEMPO, Akhir Legenda Sengkon-Karta, 22 September
2008,
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/09/29/HK/mb
m.19840929.HK43184.id.html, diakses pada 22 September 2008
Sinar Harapan, Kasus Sengkon dan Karta, kembali terulang, Kamis, 06 Juli 2006

*****

33

Anda mungkin juga menyukai