Anda di halaman 1dari 206

Gema Kebangkitan

Catatan Harapan Anak Bangsa

Komite Hope For Indonesia


Perhimpunan Pelajar Indonesia di Singapura

Buku ini merupakan antologi harapan yang diterbitkan oleh Perhimpunan


Pelajar Indonesia di Singapura (PPI Singapura) dan Komite Hope For
Indonesia (HFI) untuk memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Indonesia, yang diperingati pada tanggal 20 Mei 2008.
Opini-opini yang tersajikan dalam artikel-artikel di buku ini merupakan
opini pribadi para penulis dan bukan opini Komite Hope For Indonesia
atau Perhimpunan Pelajar Indonesia di Singapura.

h~ \wx|t
Selamat Hari Kebangkitan Nasional yang Ke-100

Ucapan Terima Kasih


Komite Hope for Indonesia (HFI) mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang
setinggi-tingginya atas dukungan dan bantuan semua pihak dalam penerbitan
buku Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa ini. Komite HFI terutama
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Tuhan Yang Maha Esa
Kedutaan Besar Republik Indonesia Singapura (KBRI Singapura)
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Singapura (PPI Singapura)
Dharma Wanita Persatuan KBRI Singapura
Sekolah Indonesia Singapura (SIS)
Pertamina Energy Services Pte Ltd
Bank Indonesia (Kantor Perwakilan di Singapura)
Pacific Sports Pte Ltd
PT Indosat Tbk (Singapore Branch)
Indonesian Business Centre (IBC)
Phoenix Renewable Holdings Pte Ltd
Asiawide Print Holdings
YDM-Mulyadi Foundation
U.D. Mukti Mandiri (Industrial Safety Equipment Supplier)

Mengenai PPI Singapura


Perhimpunan Pelajar Indonesia di Singapura, atau
PPI Singapura, adalah organisasi mahasiswa
Indonesia di Singapura yang diakui oleh Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Singapura (KBRI
Singapura). PPI Singapura bertujuan untuk
membangun rasa solidaritas dan kebersamaan
antara mahasiswa Indonesia di Singapura, dan bersama memberikan
kontribusi nyata kepada Indonesia. Saat ini PPI Singapura menjalani tahun
ketiga kepengurusannya dan memiliki organisasi anggota dari berbagai
universitas, seperti NUS, NTU, SMU, SIM, PSB Academy, dan TMC.
Informasi mengenai PPI Singapura dapat dilihat di www.ppisingapura.org.

Mengenai Komite HFI


Komite Hope For Indonesia (HFI) adalah penerbit buku Gema Kebangkitan:
Catatan Harapan Anak Bangsa yang bernaung di bawah PPI Singapura.
Komite ini terdiri dari mahasiswa dan alumni Indonesia dari berbagai
universitas di Singapura. Mereka ingin memberikan suatu kontribusi
kepada Indonesia berupa untaian harapan dari Singapura untuk menjadi
inspirasi bagi bangsa Indonesia. Harapan-harapan
harapan inilah yang menjadi
dasar antusiasme mereka dan juga identitass komite ini, bahkan sebelum
mereka menemukan judul yang tepat untuk buku ini. Komite ini
mempersembahkan buku Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak
Bangsa kepada setiap anak bangsa, dan terlebih lagi, kepada Indonesia.

SUSUNAN KOMITE HOPE FOR INDONESIA


PENANGGUNG JAWAB Fariz Setyadi (Presiden PPI Singapura 2008/09)
KETUA Haslim Mulyadi
WAKIL KETUA Yohanest Chandra
EDITOR Kristia Davina Sianipar, Alvin Amadeo Witirto, Radon Dhelika,
Reginald Sumalong, Krishna Rinaldi Worotikan, Aulia Tegar Wicaksono,
Megawati Wijaya
DESAIN Vidyana Ombo Putra, W. Magha Paritranaya Dharmawan
SPONSORSHIP Lina Marogan, Antony Simon
PUBLIKASI Farid Arrisyad
ACARA PELUNCURAN Erlina Santoso

ii

Kata Pengantar
oleh Duta Besar RI untuk Singapura

Tanggal 20 Mei merupakan salah satu hari yang bersejarah bagi bangsa
Indonesia karena merupakan hari lahir organisasi Boedi Oetomo, sebuah
organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Lahirnya Boedi
Oetomo merupakan tonggak pergerakan nasional yang menjadi simbol
kebangkitan generasi muda Indonesia memasuki era baru perjuangan
melawan penjajahan. Oleh sebab itu sangat tepat apabila tanggal 20 Mei
diperingati bangsa Indonesia sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Peringatan hari Kebangkitan Nasional pada tahun ini mempunyai arti
khusus karena merupakan peringatan Kebangkitan Nasional yang ke-100.
Dan sebagai bangsa yang menghargai jasa para pendiri bangsa, peringatan
100 tahun momen Kebangkitan Nasional sudah semestinya menjadi
momentum kebangkitan nasional untuk membawa Indonesia menuju
masyarakat adil dan makmur sebagaimana dicita-citakan para pendiri
bangsa.
Dalam kaitan ini, proyek buku Gema Kebangkitan: Catatan Harapan
Anak Bangsa yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di
Singapura (PPI Singapura) merupakan salah satu wujud konkret
kebangkitan pemuda Indonesia yang ingin memberikan kontribusi kepada
negaranya. Dalam proyek penerbitan buku ini, PPI Singapura
mengumpulkan artikel dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia yang
ada di Singapura untuk menyampaikan harapan dan sumbang saran bagi
perbaikan Indonesia. Hal ini merupakan inisiatif yang membanggakan dan
patut mendapat dukungan dari kita semua.

iii

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Selanjutnya, pada kesempatan ini saya ingin sekali lagi
menyampaikan rasa bangga dan penghargaan kepada PPI Singapura
S
yang
telah berinisiatif dan berhasil menyelesaikan proyek buku Gema
Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa ini dengan baik. Saya juga
ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya
besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu terlaksananya proyek buku ini. Semoga buku
ini memberikan manfaat dan inspirasi kepada para pembacanya serta
lebih jauh lagi dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa dan
negara Indonesia.

Singapura, 2 Mei 2008

Wardana
Duta Besar RI LB-B
BP

iv

Kata Pengantar
oleh Presiden PPI Singapura

Assalamualaikum Wr. Wb.,


hargailah sejarah karena di tangan sejarah itulah
bertumpu masa depan kalian
Ketika tiba masa peringatan 100 tahun sebuah peristiwa penting dan
bersejarah seperti Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, berbagai
renungan dan pemikiran kita sebagai bangsa Indonesia akan muncul.
Sudahkan momentum penting dalam sejarah Indonesia ini menjadi titik
tolak kebangkitan bangsa?
Generasi muda memegang peranan penting dalam pembangunan,
karena di tangan merekalah nantinya masa depan Indonesia akan
ditentukan. Berangkat dari 100 tahun peringatan Harkitnas tahun 2008,
generasi muda Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar
Indonesia di Singapura (PPI Singapura) mengumpulkan tulisan karya anak
bangsa dari berbagai latar belakang tentang harapan untuk memajukan
Indonesia di masa depan.
PPI Singapura mengemban visi dan misi untuk menjadi wadah
persatuan seluruh pelajar dan generasi muda Indonesia di Singapura
untuk mengembangkan diri agar dapat memberikan kontribusi sebesarbesarnya kepada Indonesia. Besar harapan kami agar penyusunan buku
tersebut dapat menjadi awal dari berbagai bentuk sumbangsih kita kepada
bangsa dan negara Indonesia.

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Akhir kata, rasa syukur kepada Tuhan YME patut kita haturkan atas
keberhasilan penerbitan buku ini. Rasa bangga dan terimakasih yang
besar juga saya sampaikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam
penyusunan buku ini. Semoga seluruh harapan yang tertuang di buku ini
dapat tercapai, demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa
depan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Singapura, 2 Mei 2008

Fariz Setyadi
Presiden PPI Singapura
Periode Kepengurusan 2008/09

vi

Kata Pengantar
oleh Ketua Komite HFI

Indonesia, my beloved motherland, was once one of the much-envied


nations in the world. The country was born with golden spoon in her
mouthall the richness, natural abundance is readily bestowed upon her
land. It is still fresh in my mindall those memories from my primary
school days when I had to memorize the places in Indonesia with her
richness in natural resources. The list went as follows: PapuaTembaga
& Emas, MalukuMutiara & Rempah-rempah, RiauMinyak Bumi,
Bangka BelitungBijih Timah, ...
When Asia was hit by a monetary crisis in 1997, Indonesia was not
merely infected by a cold virus, but suffered a high fever. It is perhaps not
an understatement to say that the country received the heaviest blow. The
then-ruling government collapsed along with its distorted economy.
Plagued by booming inflation and widespread unemployment, the
ordinary people on the streets suffered a great deal. The worlds
perception about Indonesia has also greatly changed since then.
The whole ordeal may have brought some positive winds of change
(Democracy, anyone?). Ten years after the crisis, the country has also
been slowly but surely climbing up the abyss to restore its place in the
worlds forum. Yet, we have been left too far behindwe still have much
work to do, and we still have a long way to catch up.
Hope For Indonesia (HFI) Committee was formed with the aspiration
of bringing Indonesia to greater heights. We have hopes in our hearts, and
we want to bring forth these hopes into a more tangible formand this
book is one such small way.

vii

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa is an anthology of


inspirations from Indonesian community in Singapore. The essays you will
read in this book share common aspirationsall
all towards a better
Indonesia. Through this book, we aim to convey the messages of hope,
care, and best wishes for our country.
When my committee first started this book, we felt the excitement of
hope, visions, and dreams for our country and the restoration of its past
glory. As the book was near to the completion, we have been exposed to
fellow Indonesians
ndonesians who are willing and daring to dream and hope for a
better Indonesia. The overwhelming responses give us an even greater
pleasure in the making of this book. We are thrilled. And we are very
touched.
I would like to take this opportunity to thank the Indonesian
Embassy (HE Wardanaa and the Social and Cultural Department)
Department for their
support and endorsement, honorable sponsors who have put their faith in
us, articles contributors for sharing their inspiring thoughts, as well as my
committee members who
o have worked extremely hard in the past few
months to make this dream comes true.
With clear vision, perseverance, and one united people, lets keep the
faith!

Singapore, 5 May 2008

Haslim Mulyadi
HFI Committee, President

viii

Prakata

Tanggal 20 Mei 2008 ini Indonesia akan merayakan seratus tahun


Kebangkitan Nasional. Iya, sudah satu abad lamanya kita mengenal bangsa
Indonesia ini. Seratus tahun yang lalu rakyat negeri ini seakan terbangun
dari kelelapan perpecahan dan individualisme, dan sadar bahwa mereka
ini satu dan samasama-sama terjajah, sama-sama ingin merdeka.
Sumpah Pemuda, Proklamasike mana bara perjuangan yang dahulu
begitu menyala? Layaknya teriakan keras yang lepas di pegunungan, bara
itu sepertinya padam, hilang perlahan bagaikan gema yang ditelan kakikaki gunung. Setelah sumpah persatuan diserukan dan kemerdekaan
dinyatakan, apa yang kita telah cicipi selama beberapa dekade menjadi
bangsa yang merdeka?
Saya sendiri sering mendengar cacian dan ungkapan kecewa dari
mulut putra-putri bangsa. Baru-baru ini seorang teman saya menyatakan
betapa ia merasa tidak aman ataupun nyaman tinggal di Indonesia karena
menurutnya masih ada diskriminasi terhadap golongan-golongan tertentu.
Ada pula yang menggerutui birokrasi pemerintah yang berbelit-belit,
jalanan Jakarta yang semakin macet, atau harga-harga yang semakin naik.
Di antara keluh kesah ini, adakah harapan untuk bangsa Indonesia ini?
Tulisan-tulisan dalam buku Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak
Bangsa mengatakan bahwa, iya, ada harapan untuk Indonesia, dan
harapan itu lahir dari bangsa Indonesia itu sendiri. Seperti yang Yenny
Effendy tuangkan dalam puisinya, Apakah Harapanku untuk Indonesia?,
di buku ini, jawaban untuk segala pertanyaan mengenai permasalahan
bangsa Indonesia sudah sepantasnya lahir dari bangsa itu sendiri.
Lalu jawaban seperti apakah yang dapat kita temui dari diri kita
masing-masing?

ix

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Irena Josoeb, seorang Indonesia yang telah tinggal di Singapura
begitu lamanya, menceritakan bagaimana ia masih memegang paspor
hijau Indonesia walaupun lebih mudah baginya untuk memegang paspor
Singapura. Alasannya sederhana, karena ia masih merasa sebagai seorang
Indonesiabukan karena ia mengenal Indonesia atau lebih menyukai
makanan Indonesia, akan tetapi karena di dalam dirinya masih terdengar
gema ke-Indonesia-an itu. Megawati Wijaya yang juga seorang etnis
Tionghoa mengucapkan hal yang senada, bahwa ia adalah seorang
Indonesia, apapun rasnya. Haslim Mulyadi yang dalam artikelnya
menyinggung mengenai Viet-Kieu juga mengatakan bahwa kesetiaan dan
cinta kepada suatu negara itu lebih daripada kewarganegaraan seseorang.
Hal ini sepertinya abstrak, tetapi justru hal yang begitu penting. Kecintaan,
kebanggaan, dan rasa memiliki adalah hal-hal yang tidak dapat diukur
tetapi merupakan dasar pengharapan itu sendiri. Jika kita tidak mencintai
Indonesia, buat apa pula kita peduli dan berharap banyak darinya?
Mungkin seperti menginginkan sesuatu yang kita sayangi menjadi
lebih baik, kita seringkali menjadi lebih pedas mengkritik Indonesia
tercintakata orang, ini teguran kasih. Antony Simon mengkritik
demokrasi Indonesia yang menurutnya masih prematurkebebasan
demokrasi yang tidak diiringi tanggung jawab. Krishna Rinaldi Worotikan
mencibir masyarakat muda Indonesia yang sok menggunakan bahasa
Inggris dengan salah. Lain lagi dengan Vida Junita yang mengkritik
Indonesia yang seringkali malu dan mencoba menutupi kejelekan masa
lalunya dan mengagung-agungkan kepahlawanan yang salah dan timpang.
Memang, ada yang salah dengan negara kita, rakyat kita, diri kitadan
kita harus berani melihat dan mengakuinya sebelum kita bisa menjadi
lebih baik.
Andi Soemarli Rasak menyadari pentingnya mengetahui sejarah demi
mengembangkan rasa nasionalisme, tetapi nasionalisme ini harus
merupakan nasionalisme yang benaratau seperti menurut Imam
Kartasasmita, nasionalisme yang luas dan bukan sempit.

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Rasa nasionalisme itu pun terkadang bagai angin, cepat datang dan
pergi. Hasyim Widhiarto menunjukkan bagaimana kita bisa bersatu
sebagai bangsa Indonesia ketika mendukung tim nasional tetapi berpecah
kembali ketika pertandingan internasional berakhir. Atau ketika tragedi
menimpa baru kita menjadi saling peduli, seperti ketika bencana tsunami
menyerang Aceh. Perlukah suatu bencana untuk membawa negeri ini
bersatu?
Perlu jugakah seseorang untuk meninggalkan Indonesia untuk dapat
menghargai Indonesia itu sendiri? Cynthia Chandramuljana menceritakan
bagaimana ia dan teman-temannya jadi lebih mengenal budaya Indonesia
setelah mereka menetap di Singapura. Ironisnya, terkadang orang asing
yang mengajarkan mereka mengenai budaya Indonesia itu sendiri.
Pantaskah ini? Nino Susanto dan Hardhono Susantosepasang anak dan
ayahmengatakan bahwa adalah penting untuk mengajarkan anak akan
budaya Indonesia semenjak keciljika sang anak suka menari, ajarkanlah
tari Bali; jika ia suka menyanyi, ajarkanlah lagu Yamko Rambe Yamko.
Pendidikan seringkali dikatakan sebagai kunci permasalahan
Indonesia, seperti yang Ronn Goei sampaikan melalui artikelnya. Chandra
Gunawan menekankan pentingnya pendidikan, khususnya pendidikan
Teknologi Informatika (TI) untuk orang tua. Maulana Bachtiar
mengatakan bahwa pendidikan saja tidak cukup, tetapi seseorang perlu
memiliki karakter yang baikyang tidak suka telat, disiplin, dan
sebagainyadan membentuk budaya yang developed. Kendrick Winoto
juga menunjukkan dampak negatif pendidikan yang salahmisalnya
ketika seorang menjadi terlalu fokus terhadap nilai dan menjadi yang
tidak mengenal dunia luar. Kita juga harus sadar bahwa pendidikan dapat
berupa berbagai macam bentuk. Jaenny Chandra mengusulkan agar dunia
perfilman Indonesia lebih dibentuk karena film adalah bentuk pendidikan
jugajika otak kita dipenuhi oleh cerita-cerita tidak bermutu, maka bisa
jadi tidak bermutu pulalah pemikiran kita.
Ketika kita bicara mengenai pendidikan, maka kita dapat merujuk ke
Singapura, yang notabene negeri pelajar ini. Tetapi tidak hanya itu,

xi

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


kekayaannya pun luar biasa. Sebagai negara, ia bisa dikatakan cukup
sukses. Agung Wicaksono mengusulkan agar Indonesia belajar dari
Singapura dan Temasek Holdings-nya dalam mengatur BUMN. Memang,
terkadang kita suka takjub melihat bagaimana Singapura yang begitu kecil
dan lebih muda daripada Indonesia bisa begitu kaya dan sukses, padahal
Indonesia memiliki jauh lebih banyak sumber daya alam dan sumber daya
manusia.
Fitron Nur Ikhsan menyalahkan lemahnyaatau mungkin tidak
adanyavisi Indonesia sebagai salah satu penyebab mengapa Indonesia
bisa terpuruk seperti inipara pemimpin dikatakan tidak memiliki visi
yang jelas; hendak dibawa ke mana Indonesia ini?
Indonesia memiliki begitu banyak kekayaan. Seharusnya, Indonesia
tidak kekurangan pilihan akan ke mana ia mau pergi. Fatwa Firdaus Abdi
dan I Made Riko dalam artikel mereka mengupas mengenai besarnya
potensi industri semikonduktor di Indonesia, Sandhi Eko Bramono
menceritakan mengenai kekayaan alam kita yang dapat dijadikan objek
ecotourism, dan Yovan Rizaldy membahas besarnya potensi renewable
energy di Indonesia.
Indonesia begitu kaya!
Herannya, kenapa masih begitu banyak orang kelaparan di negeri ini?
Dahulu Indonesia bisa swasembada pangan, tetapi kini? Syahrial bin
Dahler dan Derry Tanti Wijaya menceritakan kisah suram para petani.
Kebanyakan penduduk Indonesia merupakan petani, tetapi mereka
memiliki gaji terendah dibanding sektor-sektor lain; hidup mereka pun
begitu susah.
Mungkin kita kurang menghargai nasi yang tersedia di meja makan
kita. Mungkin kita kurang menghargai para petani kita. Mungkin kita
kurang menghargai teman-teman kita sesama warga Indonesiasesama
manusia. Muzalimah Suradi juga mengatakan bahwa sebagai seorang
PLRT, salah satu hal yang paling menyesakkan hatinya adalah bagaimana
kebanyakan orang masih memandang rendah PLRTPLRT adalah
manusia juga yang memiliki harapan dan impian. Ketika kita mengkritik

xii

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


pemerintah, para birokrat, dan lainnya, mungkin kita juga harus melihat
ke diri kita sendirimanusia seperti apakah kita, dan bagaimanakah kita
memperlakukan manusia-manusia lainnya di sekitar kita?
Indonesia memiliki begitu banyaknya manusia dan talenta, tetapi
mungkin kurang menghargainya. Benny Pandowo dalam artikelnya
menyesali menurunnya performa badminton Indonesia di laga
internasional, dan menunjuk kepada kurangnya penghargaan kepada atlet
badminton sebagai salah satu alasannya.
Begitu banyak kritikan memang dalam artikel-artikel ini. Tetapi di
setiap sudut kritikan ini terdapat harapan dari masing-masing penulisnya.
Ketika kita berseru, Itu tidak benar!, maka kita juga memiliki
pengharapan bahwa, Kami ingin yang benar!. Ketika kita menunjuk, Itu
salah!, itu karena kita ingin melihat yang benar. Di setiap artikel ini, di
dalam setiap diri penulis ini, terdapat secercah harapan, yang mungkin
dapat redup, tetapi dapat juga menerangi langit malam.
Lalu bagaimana kita mulai berangkat dari melihat ketimpanganketimpangan ke mewujudkan pengharapan-pengharapan yang kita miliki?
Radon Dhelika mengusulkan agar kita mulai melihat sisi baik dari negeri
tercinta kita ini. Ketika kita melihat demokrasi negara kita masih prematur,
bersukalah kita karena demokrasi itu sudah mulaitidak sempurna,
memang, tetapi dari menyadari ketidaksempurnaan itu dan juga bahwa
ada yang bisa kita lakukan untuk mengatasi ketidaksempurnaan itu, maka
kita masih memiliki harapan.
63 tahun yang lalu Indonesia masih dijajah. Jika saat itu pendahulu
kita hanya mengecam penjajah tanpa berbuat apa-apa, di manakah kita
akan berada sekarang? Kami dari komite Hope For Indonesia dan juga
penulis menyadari adanya kekurangan dalam diri Indonesia ini, tetapi
kami juga percaya bahwa negeri ini tidak kehilangan harapan.
Kenyataan bahwa buku ini ditulis oleh generasi muda juga
memberikan suatu harapan. Setidaknya di generasi ini masih ada orangorang yang berpengharapan.

xiii

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Gema kebangkitan nasional yang dimulai oleh Boedi Oetomo
mungkin sudah begitu lemah sekaranggema itu telah melalui seratus
tahun kehidupan bangsa Indonesia, tentu habis suaranya. Sayup-sayup
kita dapat mendengar seruan-seruan harapan itu, seruan-seruan
perjuangan itukami putera-puteri Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya

Maka dari itu kami dari komite HFI, pemuda-pemudi Indonesia di


Singapura, ingin menyerukan kembali aspirasi-aspirasi dan harapanharapan para pendahulu kami, yang dahulu adalah pemuda-pemudi
zamannya. Mari kita serukan kembali, KAMI INI SATU TANAH AIR, SATU
BANGSA, SATU BAHASA. KAMI INI SATU INDONESIA DAN KAMI INI
BANGSA YANG MERDEKA!
Dan biarlah teriakan kami menggantikan seruan para pendiri bangsa
itu. Biarlah seruan kami ini menjadi gema yang menggantikan gema
mereka. Biarlah gema yang baru ini bertahan 100 tahun lagiTidak!
1,000 tahun lagi. Bukankah seperti kata Chairil Anwar, kita masih mau
hidup seribu tahun lagi?
INDONESIA BANGKIT!

Singapura, 6 Mei 2008


Kristia Davina Sianipar
Komite HFI, Editor

xiv

Daftar Isi

Mengenai PPI Singapura


Mengenai Komite HFI
Susunan Komite Hope For Indonesia
Kata Pengantar oleh Duta Besar RI untuk Singapura
Kata Pengantar oleh Presiden PPI Singapura
Kata Pengantar oleh Ketua Komite HFI

i
i
ii
iii
v
vii

Prakata

ix

Apa Harapanku untuk Indonesia?


Yenny Effendy

The Worth of that Green Passport


Irena Josoeb

Berbaik Sangka Kepada Indonesia


Radon Dhelika

13

Belajar dari Temasek Holdings Menjadi Singapore, Inc.:


Membangun Holding Company untuk BUMN Menuju
Indonesia, Inc.
Agung Wicaksono

19

Indonesia: Perjalanan Bangsa dan Pelajaran


Haslim Mulyadi

33

xv

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Apakah Kita Perlu Mengoreksi Sejarah Kita?
Vida Junita

39

A Note from a Distant Land


Cynthia Chandramuljana

45

Hope or Mope for Indonesia?


From Cinta Laura to Tukul Arwana and Nadine Chandrawinata
Krishna Rinaldi Worotikan

49

Budaya dalam Diri Generasi Muda Bangsa: Pendidikan


Nino Susanto & Hardhono Susanto

55

Analyzing Indonesian Pop Culture and Film Scenes


through a Peephole
Jaenny Chandra

61

Ketika Dia Bilang Gong Xi Fa Cai


Megawati Wijaya

65

Pentingnya Pengenalan Sejarah dalam Memperkokoh


Nasionalisme Pemuda-Pemudi Indonesia di Era Globalisasi
Andi Soemarli Rasak

73

Yang Muda yang Tak Berdaya


Fitron Nur Ikhsan

81

Accusations on Democracy
Antony Simon

87

Dengung Nasionalisme di Tengah Pluralisme Global


Imam Kartasasmita

91

Nasionalisme dalam Tragedi dan Lapangan Hijau


Hasyim Widhiarto

97

Dear, Can We Have More Susi Susanti? Please


Benny Pandowo

xvi

101

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Untaian Kata Seorang Penata Laksana Rumah Tangga
Muzalimah Suradi

107

Kunci Kebangkitan Indonesia


Ronn Goei

115

Pendidikan yang Membodohkan


Kendrick Winoto

121

A Developed Person for a Developing Nation


Maulana Bachtiar

131

The Indonesian Elderly and IT: A Complex Marriage


Chandra Gunawan

137

Semiconducting Indonesia: Indonesia in a Smaller View


Fatwa Firdaus Abdi & I Made Riko

145

A Farmers Hope for Indonesia


Syahrial bin Dahler & Derry Tanti Wijaya

149

Energy Security of Indonesia: Renewable Energy Development


Yovan Rizaldy

155

Indonesian Ecotourism: A Hidden Treasure


Sandhi Eko Bramono

159

Daftar Pustaka

169

xvii

Gong perjuangan dihantam,


Berteriak nyaring,
Menyerbu
dan berlalu

OOONNNGGGGG
OOOonnggg
oonngg

Seratus tahun sudah


Begitu lemahnya suaramu kini

Bergemalah kembali
Wahai, gong perjuangan,
Timbulkan kembali di hati kami
Api menggebu-gebu

Apa Harapanku
untuk Indonesia?
Yenny Effendy
Aku bahagia.. hidup sejahtera di khatulistiwa..
Benarkah itu?
Mari kita tanya beberapa kalangan orang..
Aku berdiri di tepi pantai membawa sekerat ikan
Hasil peluh untuk makan anak-anakku
Tak banyak memang, tapi kuyakin bisa membuat mereka tersenyum saat
ku pulang ke rumah
Andai bisa kubawakan mereka santapan yang lebih nikmat
Yang bisa mengukir tawa di wajah mereka
Andai ikan bisa kujual semahal mutiara
Kan kusekolahkan mereka setinggi langit
Kini aku pun tak yakin mereka bisa punya pengetahuan yang cukup untuk
masa depan..
Kalau ditanya harapanku untuk tanah air..
Aku hanya ingin subsidi yang lebih banyak dan merata di bidang
pendidikan
Supaya mereka bisa jadi orang..
Kau sering dengar tidur beratapkan langit
Itu yang kualami.. yang takkan pernah kalian rasakan
Meskipun begitu aku tidak menyesal
Satu hal yang kudapat, kebebasan tidaklah murah

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Aku tak perlu dikawal, aku takkan diganggu orang ataupun dirampok
Aku hidup untuk diriku sendiri, tiada menanggung beban orang lain
Hah.. siapa yang minta dilahirkan jadi orang susah
Uang, kekuasaan, dan pujian bahkan berpaling saat mereka melihatku
Tapi jadi orang susah bukan berarti aku tak mampu berkarya
Suatu hari aku juga bisa duduk di bangku pejabat dan kepala daerah
Suatu hari kalau ada kesempatan pasti kan kugapai..
Bagiku, omong kosong dengan kebijaksanaan pemerintah!
Asal jangan janji palsu, bantuan apapun pasti akan rakyat terima dengan
senang hati!
40 tahun sudah, Kerawang-Jatinegara setiap pagi hingga petang
Akulah pemegang kesempatan emas
Mengamati bagaimana manusia bertingkah laku di tengah matahari
Walau hanya dari kereta beroda empat ku ini
Kadang ada yang memaki dan berteriak.. yang tak sadar kalau tutur kata
mencerminkan intelektualitas
Ada pula yang mencari nafkah dengan menghalalkan segala cara
Jutaan yang taat lalu lintas, jutaan pula yang melanggar.. lalu untuk apa
peraturan ada?
Menjelang malam otot-ototku serasa meraung
Tapi yang penting gaji yang kudapat adalah hasil keringatku sendiri
Menurutku ini pekerjaan yang kusuka dan bisa kunikmati
Namun aku takkan punya waktu untuk turun dan menasihati anak-anak
itu supaya tidak tawuran
Aku takkan punya nyali untuk jadi pembela kebenaran ibu-ibu yang
ditodong
Aku akan tetap jadi seorang saksi buta demi kedamaian..
Satu hal, aku benar-benar rindu setiap orang punya mental yang kuat
supaya negeri kita bisa aman..

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Indonesia..
Dahulu semua indah, dahulu terasa bergelora..
Mungkin begitulah dirinya jika harus kurangkum dalam sebuah kalimat
Jujur aku kecewa kalau dengar pelancong-pelancong enggan datang sejak
ledakan di Bali
Terus terang aku tersinggung kalau para pemimpin terkemuka kuatir
untuk datang konferensi dengan alasan security
Namun..
Berapa banyak dalam seminggu aku tergerak untuk mengetahui
keadaannya?
Sibuk tiap hari tiap malam untuk mengejar prestasi dan bekerja sambilan
Mana aku ada waktu untuk memikirkan negeri, toh aku bukanlah kepala
negara
Apalagi menyuarakan kebenaran, toh aku bukanlah pahlawan
Para pengunjuk rasa yang terlalu berintegritas pun berakhir di liang
kubur..
Selesai lulus dan cari asam garam di negeri orang, haruskah kukembali ke
tanah air?
Kebersihan, keamanan, seni dan bakat-bakat yang lebih terpelihara di
negeri orang
Pemikiran yang lebih sophisticated dan terbuka..
Adakah kebahagiaanku di tangan Indonesia?
Politisi yang memang bijak dalam mengumpulkan fakta dan berargumen,
namun adalah fakta pula kalau kata-kata mereka hanyalah sebatas buah
bibir
Penduduk yang mendiskriminasi kaum minoritas
Yang asal gerebek kalau ada yang teriak maling
Yang gemar demonstrasi tanpa alasan yang valid..
Adakah guna ku menghargai abdi berbagai kaum yang berpeluh melawan
kolonialis berabad-abad lalu?
Jika ditanya mengenai harapan untuk Indonesia, aku sungguh tak tahu
harus jawab apa.. bukankah semua yang kubilang sudah cukup jelas?

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

Papa, untuk apa lampu warna-warni itu dipasang di dekat pagar rumah
kita?
Ini untuk memperingati 50 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, anakku.
Papa, kenapa lomba balap karung dan makan kerupuk jarang-jarang ada?
Karena ini untuk memperingati hari kemerdekaan yang cuma setahun
sekali, jawab papa.
Waktu kecil kita sangat asing dengan makna kemerdekaan. Dan sepertinya
karakter itu masih terus melekat hingga kita dewasa. Banyak orang akan
selamanya ingat kalau Perang Diponegoro itu dari tahun 1825 sampai
1830. Tapi signifikansinya?
Flashback ke masa lalu, Indonesia adalah semerbak harum bunga yang
digandrungi lebah-lebah Eropa. Pengorbanan darah dan semangat para
pahlawan telah membawa Indonesia meraih kemerdekaan puluhan tahun
silam. Hama PKI dan krisis moneter sempat menerjang, belum lagi
penyakit KKN dari dalam tubuh bangsa. Namun nyatanya Indonesia masih
bertahan hingga kini. Masih ada harapan.
Keempat kalangan orang di atas memiliki dua kesamaan. Mereka samasama orang Indonesia, dan mereka sama-sama punya harapan yang
tidaksetidaknya belumterealisasikan. Sebaliknya, mereka
terperangkap dalam realita hidup sehari-hari dan sepertinya bayangan
mereka tentang Indonesia sangat jauh di depan mata. Layaknya ayah dan
anak yang tidak akrab.
Lantas bisakah mereka bangga jadi warga negara Indonesia? Pertanyaan
yang sama juga berlaku untuk kita tentunya.
Karena Indonesia dipandang buruk maka masyarakat tidak bisa berharap
banyak, atau karena masyarakat tidak mau berharap maka Indonesia akan
jadi semakin buruk?
Jawabannya ada di tangan kita, bangsa Indonesia..

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


YENNY EFFENDY adalah seorang pelajar di Singapore Management
University. Ia mewakili kalangan mahasiswa yang disebutkan dalam cerita
di atas, yang ingin semangat nasionalisme lebih tertanam di dalam dirinya.
Ia mendedikasikan tulisan ini untuk satu nama, Indonesia.

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

The Worth of that


Green Passport
Irena Josoeb
One may not be able to choose who we want as our family members, but in
todays globalised worlds, we certainly have been given the option of being
the citizens of another country, regardless of our race and religion, other
than the one that our ancestors were of.
The question of national identity (together with cultural identity and
roots) has been an on-going debate in my life for the past decades, ever
since I came to Singapore in 1985, namely because I happen to be of
Chinese descent, born to Indonesian national parents but have lived 85%
of my life in another countrySingapore.
The question of citizenship choice, however, has trailed me upon my
graduation from Nanyang Technological University in 2001. Indonesians
and Singaporeans alike love to question my choiceor more specifically
my strange and impractical choiceof remaining an Indonesian even
though some of my previously-Indo family members and friends have
already chosen to convert to be Singaporeans.
In addition, I have to travel quite a bit for my job well maybe a bit
is an understatement because my family members have since nicknamed
me the air stewardess due to my travel schedules; I can do so much
flying that I could very well be in three different countries in three weeks
consecutively.
For one whole month late last year, I had even lived literally out of
my luggage and my toiletries bag even when I was in my Singapore home,
simply because it was too tiring to pack and unpack for the next trip that
would occur in every five days.

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


So imagine the frustration one faces, whenever a Singaporean
colleague would just breeze through any need for travel visa applications,
whereas for this holder of a certain green passport, the other embassies
would require:
1. extra forms: other nationalities need ONE form, Indonesians
need TWO.
2. extra processing time: other nationalities may need only max 5
days, Indonesians could need up to 15 days.
3. extra fees: other nationalities pay $x, Indonesians pay $1.5-2x.
4. and sometimes, even extra documents to ensure/prove/
guarantee that, yeah we are not going to do anything
detrimental while we are in that country. Duh.
And take it this way: no Indonesian who when they first met me
would have realised I am Indonesian anyway, especially if they dont know
my name. Then again, my name or surname is not that Indonesian to begin
with.
The irony was, Singaporeans themselves would have not
acknowledged me as totally Singaporean either, even though I know the
history of Singapore better than I do Indonesia, and can even give a deft
tour to all my overseas friends here in Singapore for the first time. Even if
my best language is first English, then Mandarin, then thereafter
Indonesian. And even if I know the Singapore national songs better than I
do Indo pop songs! Why dont they, you wonder?
It is summed up in one simple phrase by the Singaporeans: You look
so Indo tai-tai (rich lady) lorh, they said, pointing to my dressed down
version of Indo dressing and totally misunderstanding it as the full Indo
tai tai garb. Surely they have no idea what they are talking about.
So what then keeps me holding on this green book then, one wonders?
Is it because I still prefer Bakmi Gajah Mada to hor fun, am not as
kiasu as Singaporeans as they are typically known to be (or so I hope)?
Where do I choose to be, amidst my mixed histories that have been
bestowed to me? While I do not have a choice to born Indonesian, I have a

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


choice as to whether I want to remain so.
Sometimes despite my being an editor by profession and journalist
by training, there are still things that not even a thousand words can
express. What does Indonesia, this country I barely knew, mean to me,
really? It even appears that other countries probably can offer better
practical benefits, in terms of travel and convenience, in terms of
transparency and stability in governance, in terms of how I am used to
living (systematically, not randomly).
But a few years ago, whereas my friends were predominantly
Singaporean, something in me got restless and sought to connect with my
roots and the country I had left almost 25 years ago, to try to get to know
more about its people and history and culture. At leastI think to
myselfif I were to make my choice, I need to make an informed one.
Thats what Singapore taught me: to think logically to produce a system
that works.
So I made an effort to make new friends who are Indonesians; they
ended up being some of my best friends today. I read up Indonesian
historical books from the Singapore National Library and today I even
know more about Indonesia than I ever did before in my whole life. Now,
even most Indonesians would admit (and not just grudgingly!) that
whereas my Bahasa Indonesia will never compare to those who have been
living and breathing in the language for up till SMU (high school), I have a
much better grasp of the language than many others of similar background
to me.
And what this journey has taught me is that while I am never ever
going to fully belong to one particular country, I have learnt to appreciate
the richness and differences of both cultures and historiesthe strengths
and weaknesses of both systems, histories, cultures mentalities and
attitudes, and to learn from the best but sieving out the ones that have
failed.
It is with this that I realise that why I choose to remain Indonesian, at
least for this point in time. Not because I have not been tempted to chance

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


for the sake of convenience that comes in many formsfrom having to
bypass travel visa applications, to having to fight my way through illogical
systems that seem to plague many bureaucracies when I go meet the
world as an Indonesian, and even when encountering that many times in
my own home countrybut because at the end of the day, I take this stand
that choosing a nationality is not about doing a CBA (cost and benefit
analysis); the benefits a particular country vs. the negatives of another. For
the simple reason that all these are based on impermanent systems and
on the ruling parties of the day. And more importantly: because I have so
much more to learn and understand about this country of mine.
Unfortunately choosing a nationality is not going to be as easy as
applying and getting a job for the short term; its very much about where
you want to develop your future in the long run. Its not just about who
offers the better letter of offer but ultimately a question of where you
know you belong.
While I dont think that I fully belong neither to Indonesia nor to
Singapore, asking me to make my choice now is like asking a child to make
her choice of following a particular parent when her parents go their
separate ways. I am a product of both countries and the choice is too
heart-rending and difficult to make still.
At this point, I have so far managed to learn to adapt myself to both
systems as I need to be when I cross geographical boundaries, and I do
realise that being in such a predicament has molded me to be who I am: to
be more flexible when encountering different systemsa skill that is
borne out of necessity and certainly something that would stand me in
good stead for the longest term.
It is thus my hope to see the nation that I have been borne to, to
continue to have the mentality of can-do spirit that I had been learnt
throughout my education in Singapore: we were taught nothing can stop
us, if only we try. And even if we fail, that failure is worth facing, only
because we have tried to our last drop. There is always such a sense of
purpose, even if taken to an extreme at times, in this place I grew up in.

10

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


For this, a nation needs their one unifying goal to fight for. We used to fight
for independence against the many external parties who were eyeing this
land of plenty, then for economic progress among other rising nations.
Today, what is our greatest enemy? It is unfortunate, that it turns out to be
ourselves!
It is thus my hope to see fellow Indonesians to value the promises
they make and the words they saylike the one I write noware not
mere consolation to poor hopes broken, but are recognised of being
worthy of remembrance. Trust, as they say, takes a lifetime to build but a
second to break. Often, it is very much a lack of understanding of how they
are communicating to their environment, rather than the lack of intention,
that is the crux. Communication is sadly such an underrated skill not solely
restricted to just a single entity. However, given our culture of not
speaking our minds and maybe even saying things we dont meanfor
whatever reason: lack of guts, lack of power, lack of time to communicate
sincerelythis situation is further exacerbated to point that we have
earned a reputation for talk only, no action even among ourselves! What
worth are then our promises to the rest of the world?
And finally, it is my hope for my fellow countrymen to remember
wherever they are, to continue to be conscious of their environments. Too
many times I have seen nationalities of different countries wanting to just
mix with their own people in the comforts of their own languages and
foods and music, and insisting of transplanting a whole intact
cultural/working system right into the place they are in, but without
trying very much to learn from where they are and bringing back the best
of that society they now have the precious opportunity to be immersed in.
In fact, they take pains to shun those who are different from them: people
who dont speak their language with the same accent as they do, people
who dont relish the same foods, etc.
I think this is silliness that only defeats the very purpose of stepping
out in the first place. We as a nation must have the heart for learning and
never believe ourselves as either too inferior or too good to learn from

11

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


other cultures, no matter at what level of developments or status they are
at. While it is too much to expect humans to accept changes all at one go, it
is also too much to expect that one can continue to hide in his or her own
tortoise shell forever. Unless, of course, our lifes sole and greatest purpose
is just to make ourselves as comfortable, without change, without
adjustments, and for as long as possible. If human progress could be made
with such a hope and attitude I would certainly be extremely astounded,
for histories of the worlds prove us otherwise.
I have worked well as an Indonesian studying, working and living in
Singapore, and so far, it has also afforded me other unexpected and
alternative opportunities, and much priceless life views that I would not
have obtained had I remained solely Indonesian or solely Singaporean.
Change me to a Singaporean today, and I think, I will have lost half of who I
am. I am not yet ready to give up this national identity that I have fought to
define for myself all these years.
Such an identity, while sometimes is not easy to live through and live
with everyday, is still something that surpasses all other black-and-white
tangible benefits.

IRENA JOSOEB was born in Singapore, raised in Jakarta, but was wholly
educated in Singapore. She majored in Journalism and graduated from the
Wee Kim Wee School of Communication and Information, Nanyang
Technological University and is currently an editor for a regional business
trade magazine.

12

Berbaik Sangka
Kepada Indonesia
Radon Dhelika
Saya pernah berbincang dengan teman saya dari Vietnam, Vietnam itu
seperti apa sih?
Dia membalas, Apa yang kamu tahu tentang Vietnam?
Tidak banyak, timpal saya. Hanya Hanoi dan Ho Chi Minh City saja.
Ya, itulah Vietnam, katanya.
Dia kemudian bercerita panjang lebar tentang Vietnam dan
pembangunan yang tidak merata. Bahwa di antara dua kota besar itu
boleh dibilang masih membentang hutan-hutan yang masih lebat. Bahwa
masyarakatnya tidak teratur. Bahwa pendidikannya pun masih acakacakan.
Lalu, di kesempatan lain, saat saya tanya keadaan India ke teman
India saya, jawaban dia pun setali tiga uang dengan orang Vietnam. Lebih
kurang ceritanya berkisar dari transportasi publik yang sistemnya
amburadul, korupsi yang merajalela, dan sebagainya. Uniknya, India
sekarang ini adalah termasuk negara yang pertumbuhan ekonominya
paling pesat selain Cina. Sehingga, banyak orang percaya bahwa politik
dan bisnis itu hal yang tidak ada sangkut pautnya di India. Politik boleh
seperti kapal pecah, tapi bisnis jalan terus, begitu kata mereka.
Lalu, bagaimana dengan orang Indonesia ketika ditanya tentang
negaranya? Ya, hampir sama, boleh dibilang. Termasuk saya yang biasanya
menjawab, Ya seperti yang Anda lihat di koran atau TVmasih sama.
Perspektif Arus Utama
Saya masih berpikir bahwa itu jawaban yang paling bijaksana sampai

13

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


saya mengobrol dengan seorang mahasiswa Nanyang MBA sekitar dua
tahun lalu. Sebut saja namanya Pak Iwan. Saat itu saya berbicara ngalor
ngidul dengan beliau, termasuk keadaan Indonesia sekarang, khususnya
Jakarta. Sesekali saya tersentak oleh pandangan-pandangan beliau yang
sedikit keluar dari arus utama. Ada poin-poin menarik yang menjadi
bahan pemikiran saya setelahnya.
Saya ingat beberapa kesempatan saat obrolan kantin ataupun
obrolan sambil lalu dengan teman-teman tiba-tiba berubah agak serius
dengan membahas tentang Indonesia. Ada yang berkembang seperti ini:
A:

Eh, aku kemarin baru dari Sentosa lo, nonton Song of


the Sea. Wuih, keren banget ternyata.
B: Emang pariwisata Singapore hebat ya. Padahal kan itu
pulau buatan.
A: Benar, nggak kayak Indonesia. Ada Visit Indonesia 2008,
tapi Jakarta malah banjir.
B: Emang payah. Banjir ini tahunan, tapi masih aja. Lebih
hebat Belanda ya. Mereka kan yang dulu sudah prediksi
Jakarta rawan banjir sampai mereka bangun pintu air
Manggarai.
(dan obrolan berlanjut)
Atau belum lama saya terlibat di obrolan seperti ini:
A:
B:

C:

A:

14

Eh, kamu mau kerja atau lanjutin sekolah?


Hmm, kayaknya mau kerja dulu deh. Soalnya bingung
juga kalau mau ngelanjutin PhD mau ke mana
bidangnya.
Ke Bio Engineering aja. Sekarang lagi benar-benar
booming lo di Singapore. Sekarang banyak pakar-pakar
di Bio Engineering yang datang ke Singapore.
Wuih, pemerintah Singapore hebat juga ya. Ini kan
sudah jadi tujuan jangka panjang mereka ya kalau
nggak salah, ingin menjadikan Singapura sebagai Biohub.

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


B:

Dan memang dengar-dengar pemerintah mengeluarkan


dana banyak untuk pembiayaan riset, beasiswa PhD,
membangun fasilitas-fasilitas riset.
A: Sayang ya Indonesia nggak punya target spesifik riset
di masa depan.
C: Ya iyalah, lha wong UI sama ITB aja masih belum bisa
dikategorikan sebagai universitas riset.
B: Memang harusnya sistem pendidikan kita diperbaiki.
(dan obrolan berlanjut)
Ada satu hal yang menarikternyata pola obrolan-obrolan itu sama.
Biasanya diawali dari topik obrolan yang santai, lalu bergeser ke
pembahasan suatu negara, perbandingan dengan Indonesia, dan
dipungkas dengan pembahasan kebobrokan Indonesia. Ini pola yang
sepertinya kita semua cukup familiar.
Tidak heran kalau saya lebih banyak tersentaknya ketika mengobrol
dengan Pak Iwan. Kok pola obrolannya beda? Yang keluar dari mulut Pak
Iwan saat saya angkat topik Indonesia secara umum agak lain. Padahal
Indonesia sekarang sudah membaik lo, beliau mengawali. Gerakan
antikorupsi setidaknya sudah tampak hasilnya walaupun belum seberapa;
Busway pun cukup nyaman sebagai sarana transportasi umum; belum lagi
rencana pembangunan MRT.
Saya jadi berpikir, tampaknya kita terlalu fasih kalau bicara ranking
korupsi Indonesia; terlalu banyak bahan untuk bicara masalah mutu
pendidikan Indonesia. Bahkan sudah menjadi sarapan sehari-hari untuk
bicara buruknya birokrasi, suap-menyuap di perusahaan, skandal-skandal
politik, dan lainnya. Kenapa kita tidak bilang, Indonesia sudah mulai
membaik lo ke teman-teman kita? masih menurut beliau.
Teman saya yang lain menimpali, Teori yang menarik. Bisa jadi kalau
sekarang kita disodori selembar kertas dan disuruh menulis sebanyakbanyaknya keburukan dan kebaikan Indonesia, kita akan lebih lancar
menulis keburukannya satu persatu sampai ujung bawah kertas.

15

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Pengaruh Media Dalam Pembentukan Opini
Media mempunyai peran yang tidak sedikit dalam pembentukan
opini arus utama orang Indonesia saat ini.
Mari kita coba bahas tentang reformasi. Gaung reformasi sudah
terdengar sejak 1998 lalukita tahu itu. Dengan kata lain, sudah satu
dekade lamanya proses perubahan di Indonesia dilaksanakan. Kita bisa
berkomentar bahwa reformasi jalan di tempat. Secara politik boleh
dibilang masih belum stabil. Para politikus hanya gontok-gontokan
memperjuangkan kepentingan masing-masing di gedung DPR. Tingkat
kesejahteraan masyarakat tidak tampak ada peningkatan secara signifikan.
Malah, bencana muncul di mana-mana dan ada beberapa yang bahkan
belum tahu bagaimana penyelesaiannya, seperti kasus lumpur Lapindo.
Dan paragraf tentang keburukan reformasi ini bisa sampai beberapa
halaman kalau kita lanjutkan.
Tetapi seutas pertanyaan terselip: apakah memang tidak ada
kebaikan sama sekali selama reformasi sepuluh tahun ini?
Sebuah teori yang sederhana, menurut saya. Kalau kita terlalu banyak
membaca Pos Kota, maka cara berpikir kita bisa jadi akan seperti cara
berpikir Pos Kota. Namun, beda kalau kita baca Kompas atau harian
lainnya. Tapi tunggu dulumemang saya akui Kompas atau harian lainnya
pun sekarang sudah sedikit banyak mirip dengan Pos Kota. Hanya saja,
Pos Kota skala besar. Pemerkosaan di Pos Kota, pemerkosaan APBN di
Kompas. Maling kompleks perumahan di Pos Kota, maling hutan di
Kompas. Ya, tidak sepenuhnya salah media dalam hal ini. Bagi mereka,
good news is no news. Hal ini membuat saya tidak lagi heran kalau ada
banyak orang yang membicarakan reformasi Indonesia dengan nada
pesimistis seperti paragraf di atas.
Padahal Banyak yang Bisa Dibanggakan
Sekarang, kita kesampingkan sejenak perspektif Pos Kota kita dan
mencoba memakai perspektif yang lebih luas.
Di tengah carut-marutnya kondisi pendidikan Indonesia, kita masih

16

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


selalu dihibur oleh capaian-capaian TOFI (Tim Olimpiade Fisika Indonesia)
setiap tahunnya. Terakhir, mereka meraih 3 emas di Olimpiade Fisika Asia
di Mongolia atas nama Adam Badra Cahaya, Rudy Handoko Tanin, dan
Kevin Winata(1). Penghargaan lebih patut diberikan mengingat prestasi 3
emas itu menempatkan Indonesia di posisi 2 di bawah China.
Masih tentang pendidikan, di saat uang sekolah semakin meroket dan
ada banyak pelajar yang kesulitan melanjutkan sekolah, kita juga terhibur
dan tersemangati oleh keberhasilan Kutai Kartanegara (Kaltim)(2), Musi
Banyuasin (Sumsel)(3), dan Jembrana (Bali)(4) menggratiskan uang
sekolah dari SD sampai SMA. Di saat pemerintah pusat masih sibuk
mendiskusikan peluang menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20%,
tiga kabupaten ini adalah kisah sukses yang patut dijadikan teladan.
Kabupaten Musi Banyuasin per 2008 berhasil mengalokasikan anggaran
pendidikannya sejumlah 24,23% dari total APBD. Jembrana lebih ekstrim
lagi; anggaran pendidikannya bahkan mencapai 34,27%.
Dari ranah pelayanan publik, kita semua sudah tahu tentang repotnya
mengurus dokumen-dokumen seperti SIM atau KTP; tidak hanya di satu
daerah, tapi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Dalam hal ini, kita jelas
perlu bangga dengan Sragen, Batam, dan Kebumen yang secara inovatif
menerapkan kebijakan pelayanan satu atap(5). Dengan sistem ini, segala
jenis surat atau dokumen semisal izin usaha atau KTP dapat diurus di satu
tempat dengan sistem yang terbuka, mengurangi peluang korupsi.
Dari dunia politik, kita terhibur dengan beberapa keberhasilan KPK
menjaring tersangka-tersangka korupsi. Justru di saat pemilihan ketua
KPK yang baru disinyalir penuh dengan muatan politis, KPK malah
berhasil mengungkap kasus Jaksa Urip dengan 600 ribu dollarnya(6). Dari
sini setidaknya kita bisa yakin bahwa gerakan antikorupsi tidak sedang
jalan di tempat.
Dari dunia Teknologi Informasi (TI), kita juga patut bangga dengan
keberhasilan anak bangsa mengembangkan WiMAX (worldwide
interoperability maximum access)standar teknis koneksi broadband
melalui wirelessversi Indonesia(7). Direncanakan akan diluncurkan Mei

17

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


2008(8), teknologi ini diharapkan akan menurunkan tarif seluler dan
mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap teknologi luar.
Tugas kita di Luar Negeri
Kita yang di luar negeri memang tidak pernah terlibat secara
langsung dengan pengambilan kebijakan Indonesia. Namun, bukan berarti
peran kita terhadap Indonesia nihil. Seperti yang kemudian dilanjutkan
Pak Iwan, Kita yang di luar negeri ini duta Indonesia. Kalau bukan kita
yang menceritakan hal-hal yang baik tentang Indonesia ke orang luar,
siapa lagi?
Akhirnya, memang ngomong saja tidak menyelesaikan masalah. Saya
belajar banyak dari seorang teman yang memiliki passion yang luar biasa
untuk budaya dan pariwisata Indonesia. Dia tidak banyak menggerutu
tentang program Visit Indonesia 2008 yang menurutnya tidak efektif.
Sebagai gantinya, dalam beberapa kesempatan dia selalu mempromosikan
Indonesia ke orang-orang luar dengan caranya sendiri. Bahkan beberapa
bulan lalu dia mengajak temannya, orang Malaysia dan orang Singapura,
untuk mengunjungi Bali bersama dia.
Jadi, bagaimana kondisi Indonesia sekarang menurut Anda?
Singapura,
Sabtu, 3 Mei 2008
Tulisan ini disunting dari tulisan berjudul serupa dari blog penulis.

RADON DHELIKA adalah mahasiswa Electrical and Electronic


Engineering di Nanyang Technological University. Presiden PPI Singapura
periode 2007/2008 ini akan menyelesaikan studinya pada Juni 2008.
Tulisan-tulisannya dapat dibaca di http://selembarkertas.blogspot.com.

18

Belajar dari Temasek Holdings


Menjadi Singapore, Inc.:
Membangun Holding Company untuk BUMN1
Menuju Indonesia, Inc.

Agung Wicaksono
Hubungan Indonesia dengan Singapuraseperti layaknya hubungan antar
tetanggaterkadang bisa dilihat sebagai sebuah love hate relationship.
Keputusan KPPU (Komite Pengawas Persaingan Usaha) yang menyatakan
bahwa Temasek Holdings terlibat praktek monopoli dalam industri
telekomunikasi di Indonesia melalui kepemilikan silang di Telkomsel dan
Indosat telah menguak kembali perdebatan publik atas perusahaan
investasi milik pemerintah Singapura ini. Sebelumnya, sejak tahun 2002
ketika Temasek pertama kali menuai kontroversi dalam proses divestasi
Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia (STT) sebagai salah
satu anak perusahaannya, Temasek juga acapkali menjadi buah bibir (dan
terkadang kambing hitam) di kalangan komunitas bisnis dan elite politik.
Jika kita tengok Thailand, sebagai sesama negara tetangga ASEAN lain
di tahun 2006, kasus akuisisi perusahaan telekomunikasi Shin Corp yang
dibeli dari mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra menjadi salah
satu cerita yang paling sering muncul di media di kawasan Asia. Hal ini
terutama karena implikasi politik akibat akuisisi Shin Corp tersebut
dianggap menjadi salah satu pemicu munculnya demonstrasi menentang
kepemimpinan Thaksin, berlanjut kepada krisis politik di Thailand, dan
berujung pada naiknya junta diktator militer mengambil alih kekuasaan
Thaksin hingga saat ini. Resistensi berlandaskan sentimen economic
1

Badan Umum Milik Negara

19

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


nationalism terhadap aktivitas investasi lintas batas adalah sesuatu yang
terjadi tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di ekonomi negara
maju(9). Misalnya, kita masih ingat dengan resistensi Kongres Amerika
Serikat ketika CNOOC, perusahaan minyak raksasa milik pemerintah Cina,
berencana untuk mengambil alih Unocal. Akhirnya Chevron sebagai
perusahaan Amerika juga yang diizinkan mengakuisisi Unocal.
Namun demikian, di balik hingar bingar putusan KPPU tersebut,
sedikit terlupakan dalam benak kita bahwa keberadaan Temasek tidak
melulu disorot hanya dari aspek kontroversialnya. Terlepas dari aktivitas
investasi ekspansif yang menimbulkan resistensi dan kontroversi,
pengelolaan aset negara lewat sebuah struktur investasi holding company
seperti Temasek adalah sebuah trend global. Di Asia Tenggara sendiri
selain Temasek, Khazanah Nasional Berhad (KNB) di Malaysia dan State
Capital Investment Corporation (SCIC) di Vietnam adalah holding
company yang mengelola state-owned enterprises (SOEs) di bawah satu
atap. Mereka juga berperan sebagai sovereign wealth fund melakukan
investasi lintas batas ke berbagai sektor dan wilayah, seperti investasi
Khazanah di perbankan Indonesia lewat LippoBank dan Bank Niaga, dan
telekomunikasi lewat Excelcomindo.
Untuk itu, menjadi menarik untuk mencermati landasan, logika, dan
strategi Temasek dalam upaya ekspansi bisnisnya, terutama dalam crossborder investment yang menjadi syarat mutlak bagi Temasek dan ekonomi
Singapura untuk tumbuh. Dengan memahami hal ini, pelaku bisnis,
pengambil kebijakan, dan masyarakat luas akan menyadari bahwa
ekspansi bisnis Temasek adalah sebuah keniscayaan yang harus siap
dihadapi dan diantisipasi, terutama dengan guliran bola salju globalisasi
ekonomi yang semakin kencang.
Temasek Holdings:
Singapura

Membangun

Sayap

Eksternal

Ekonomi

Temasek Holdings didirikan oleh pemerintah Singapura pada tahun


1974 sebagai sebuah perseroan terbatas untuk mengelola investasi yang

20

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


sebelumnya diatur oleh Ministry of Finance, Inc., sebuah entitas milik
Departemen Keuangan pemerintah Singapura. Saat ini, Temasek telah
bermetamorfosis menjadi sebuah investment house dengan portofolio
tersebar terutama di berbagai negara Asia yang ekonominya sedang
tumbuh pesat dengan return yang tinggi(10)(11). Nilai total portofolio
Temasek tahun 2006 diestimasikan telah mencapai 164 milliar SGD.
Bandingkan dengan nilai portofolio awal yang hanya sebesar 354 juta SGD
saat didirikan tahun 1974 (12).
Orang sering mengaitkan ekspansi bisnis Temasek dengan naiknya
Ho Ching ke tampuk kepemimpinan Temasek pada tahun 2002. Apalagi
keberadaannya sebagai istri Perdana Menteri Lee Hsien Loong, dengan
demikian juga berarti menantu dari Minister Mentor (MM) Lee Kuan Yew
sebagai founding father Singapura yang masih sangat berperan dalam
politik Singapura hingga sekarang, membuat anggapan bahwa Temasek
berada di bawah kendali elite Singapura menjadi sulit dielakkan.
Terminologi Singapore, Inc. menjadi sering dialamatkan kepada Temasek,
yang menyiratkan bahwa setiap kebijakan bisnis Temasek dikendalikan
atau dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah Singapura.
Namun sesungguhnya, ekspansi bisnis internasional Temasek sudah
menjadi mandat sejak dekade 80an ketika Singapura dipimpin oleh
Perdana Menteri (sekarang Senior Minister) Goh Chok Tong. Dalam visi
pemerintah Singapura, Temasek dan para TLC-nya (Temasek-linked
companies, anak-anak perusahaan Temasek) harus berperan membangun
sayap luar (external wing) ekonomi Singapura(13). Dengan keterbatasan
luas wilayah, jumlah penduduk dan sumber daya alam, strategi ini menjadi
mutlak bagi ekonomi Singapura untuk dapat tumbuh dan memberi
kesejahteraan bagi rakyatnya. Tidak terdapat ruang gerak yang cukup lagi
bagi Singapura untuk dapat mengembangkan ekonominya secara internal
melalui konsumsi domestik, bahkan aliran investasi asing lewat FDI
(foreign direct investment) ke Singapura pun memiliki keterbatasannya
dalam perannya menjadi motor penggerak ekonomi Singapura. Singapura
harus terbang ke luar kandang untuk mendapat ruang gerak yang cukup,

21

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


dan Temasek menjadi sayapnya.
Hal ini diindikasikan terutama dengan terus berkurangnya proporsi
portofolio domestik Temasek dan meningkat secara berlipat gandanya
portofolio Temasek di emerging markets Asia seperti Asia Selatan
(terutama India), Asia Utara (terutama China) dan ASEAN (di antaranya
Indonesia, namun yang paling signifikan adalah di Vietnam) seperti bisa
dilihat dalam diagram berikut.

Diagram 1: Trend investasi Temasek 2004-2007,


2007, terbang meninggalkan
kandang, mencari wilayah pertumbuhan dengan imbal hasil yang tinggi(12)
tinggi

Secara nyata bisa dilihat bahwa hanya dalam jangka waktu 3 tahun,
proporsi investasi domestik Temasek di Singapura menurun drastis dari
52% di tahun 2004 menjadi 38% di tahun 2007. Demikian juga dengan
investasinya di negara-negara
negara maju anggota OECD (Organization
(Organ
for
Economic Cooperation Development), suatu hal yang wajar karena
ekonomi di negara-negara
negara tersebut sudah mulai mengalami maturitas.
Sebaliknya, proporsi cross-border investment-nya
nya meningkat tajam bahkan
berlipat ganda. Di Asia bagian utara misalnya
nya (sebagian besar di China),
dari hanya 6% di tahun 2004 menjadi 24% di tahun 2007, berlipat 4

22

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


hanya dalam kurang dari 4 tahun. Trend multiplikasi yang sama terjadi
pada investasi Temasek di Asia bagian selatan, yang didominasi oleh
investasi di India. Seperti kita ketahui bersama, kedua negara tersebut
yang sering dikenal dengan duo Chindia adalah sumber pertumbuhan
ekonomi dunia di masa datang.
Yang menarik adalah di kawasan ASEAN di mana Singapura berada,
proporsi investasi Temasek tumbuh tidak sepesat di China dan India.
Selain faktor pertumbuhan ekonomi ASEAN yang tidak setinggi China dan
India, ditengarai ada faktor politik berlandaskan sentimen nasionalisme di
negara tetangga yang dapat mempengaruhi hubungan bilateral, seperti
pada kasus ShinCorp di Thailand dan industri telekomunikasi di Indonesia.
Dalam hal ini nampaknya Temasek di tahun 2007 memilih untuk lebih
memfokuskan diri pada Vietnam sebagai negara ASEAN dengan
pertumbuhan ekonomi tertinggi dan terutama, memiliki situasi politik
yang lebih terkendali di tangan pemerintahan sosialis dengan kebijakan
yang pro-pasar. Representative office yang dimiliki Temasek selain di China
dan India adalah di Ho Chi Minh City, menunjukkan pentingnya Vietnam di
mata Temasek.
Indonesia, Inc.: Mengelola Aset Berbendera Merah Putih Di Bawah
Satu Atap
Pemerintah Indonesia sendiri menyadari bahwa struktur holding
company adalah yang paling tepat untuk mengelola Badan Usaha Milik
Negara (BUMN)-nya, dan telah menyiapkan masterplan untuk membentuk
sectoral holding company untuk memayungi BUMN-BUMN pada sektor
yang sejenis, seperti holding company untuk seluruh PTPN sebagai BUMN
perkebunan; pembentukan IRC (Integrated Resources Company) sebagai
holding company sektor pertambangan untuk PT. Aneka Tambang, PT.
Tambang Batubara Bukit Asam dan PT. Timah; atau kemungkinan
membentuk holding bank BUMN untuk menyikapi kebijakan Bank
Indonesia tentang single presence policy. Target akhirnya adalah
membentuk sebuah superholding company ala Temasek untuk

23

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


menginduki seluruh holding company sektoral tersebut. Jika Temasek
lekat dengan julukan Singapore, Inc. di kalangan bisnis internasional
karena perilaku bisnisnya yang ditengarai sangat kuat dikendalikan oleh
pemerintah Singapura, maka cita-cita pembentukan holding company
BUMN adalah untuk mewujudkan Indonesia, Inc.
Logika bisnis pengelolaan holding company didasarkan pada
economies of scale (kekuatan skala ekonomi lewat penggabungan
beberapa usaha sejenis sehingga menguatkan daya saing) dan economies
of scope (kekuatan lingkup ekonomi hasil integrasi vertikal beberapa
perusahaan dalam sektor yang sama tetapi dengan posisi berbeda pada
rantai nilai sehingga membawa efek sinergi). Keduanya bisa dicapai
dengan mengumpulkan aset milik negara di bawah satu perusahaan induk.
Berdasarkan logika bisnis skala dan lingkup ekonomi ini, memang
pembentukan holding company BUMN menjadi sebuah keniscayaan demi
mewujudkan daya saing bisnis(14).

Diagram 2: Berbagai cara parental value creation oleh holding company (15)

Dari perspektif corporate governance, Goold et al. (1994) (15)


mengungkapkan bahwa penciptaan nilai oleh induk perusahaan (parental

24

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


value creation) bisa dilakukan melalui 4 cara: stand-alone influence
(meningkatkan kinerja masing-masing anak perusahaan), linkage influence
(meningkatkan nilai dari hubungan antar anak perusahaan), corporate
development (meningkatkan nilai dengan mengubah portofolio anak
perusahaan) atau central functions and services (mencapai sinergi dengan
shared services).
Pembentukan holding company BUMN juga merupakan salah satu
rencana pemerintah dalam rangka program rightsizingpenyederhanaan
untuk mendapatkan ukuran yang tepat atas kepemilikan negara terhadap
badan usahasebagai keniscayaan dari logika bisnis core competence.
Namun demikian, tidak serta merta program rightsizing dan pembentukan
holding company layaknya Temasek di Singapura dipastikan berjalan
lancar di Indonesia. Untuk itu, kajian kritis atas Rencana Strategis BUMN
2008, terutama tantangan yang dihadapi dalam realisasinya menjadi
sangat penting. Terutama dalam membangun superholding company
untuk BUMN Indonesia sebagai target akhir program rightsizing, perlu
diperhatikan juga perbandingan situasi yang ada antara Indonesia,
Malaysia, dan Singapura. Karena walaupun sebuah institusi berjalan
dengan sukses di Singapura dan Malaysia, belum tentu penerapan institusi
serupa di Indonesia akan berhasil.
Rencana Strategis BUMN 2008: Ambisi Besar Untuk Menuju Sebuah
Keniscayaan
Pembentukan holding company akan menjadi pilar penting upaya
rightsizing jumlah BUMN dari 139 BUMN pada tahun 2007, menjadi 69
BUMN pada tahun 2009, hingga target finalnya menjadi sekitar 25 BUMN
pada tahun 2015. Selain pembentukan holding company (bagi beberapa
perusahaan dalam sektor yang sama/sinergis), rightsizing ini akan dicapai
juga dengan melakukan merger (bagi perusahaan dengan usaha yang
sejenis), divestasi kepemilikan negara (baik lewat pasar modal maupun
mitra strategis), atau bahkan likuidasi perusahaan yang usahanya tidak
prospektif dan terus merugi.

25

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Logika bisnis yang penting dalam hal ini adalah kapabilitas
manajerial dan alokasi resources yang dimiliki negara dalam mengelola
ekonominya. Organisasi apapun akan memiliki keterbatasan dalam
kemampuan mengelola, sehingga perlunya alokasi sumber daya yang
difokuskan secara cermat pada sektor prioritas menjadi sangat penting.
Untuk itu, rightsizing BUMN dilakukan dengan prinsip bahwa negara perlu
memiliki secara mayoritas sebuah badan usaha hanya pada sektor-sektor
dengan kriteria: diharuskan oleh Undang-Undang, mengemban public
service obligation (PSO) yang signifikan, terkait erat dengan keamanan
negara, melakukan konservasi alam/budaya, berbasis sumber daya alam,
dan penting bagi stabilitas ekonomi. Yang menjadi pertanyaan adalah:
realistiskah rencana rightsizing 139 BUMN yang ada menuju jumlah 25
BUMN pada tahun 2015? Dalam jangka pendek, realistiskah Rencana
Strategis BUMN 2008 yang menargetkan untuk membentuk 6 holding
company, melakukan 7 merger perusahaan, dan melepas saham 28
perusahaan ke publik, semuanya dalam jangka waktu 1 tahun?

Diagram 3: Skenario Rightsizing BUMN 2007-2015(16)

Tantangan Terbesar Mengelola BUMN: Its The Political Intervention,


Stupid
Selain dibutuhkan kerja keras dengan beban administratif yang
massif, eksekusi Rencana Strategis BUMN 2008 akan menghadapi

26

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


tantangan utama dari kompleksitas lingkungan internal maupun eksternal
dari para stakeholders BUMN. Seiring dengan gencarnya Good Corporate
Governance (GCG) didengungkan oleh Kementerian BUMN sebagai kriteria
mendasar penilaian kinerja (KPI/key performance indicator) BUMN,
keseimbangan antara memberikan value kepada shareholders dan
memenuhi ekspektasi stakeholders sesungguhnya adalah tantangan utama
yang dihadapi perusahaan dalam konteks GCG.
Bagi BUMN sendiri, menentukan value apa yang paling utama harus
diberikan kepada shareholders pun sudah cukup rumit. Karena dengan
hakikat mendasar bahwa shareholder sesungguhnya adalah rakyat
Indonesia, cukup sulit untuk mendefinisikan pencapaian nilai macam apa
yang seharusnya diberikan BUMN bagi rakyat Indonesia. Dalam konteks
Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia sebagai investment
holding company, kerumitan tersebut tidak dijumpai. Hal ini dikarenakan
Temasek misalkan, memiliki misi yang jelas yaitu menjadi investor yang
aktif dengan tujuan memberikan sebesar-besarnya keuntungan bagi
shareholders, dalam hal ini pemerintah Singapura. Misi tersebut
menyederhanakan permasalahan bahwa sesungguhnya dengan memenuhi
tujuan bisnisnya untuk maksimasi profit, maka rakyat Singapura secara
keseluruhan sebagai shareholders Temasek sesungguhnya akan
mendapatkan value yang maksimal dari investasi Temasek.
Mungkinkan misi tersebut diterapkan untuk BUMN Indonesia?
Dengan keunikan status sebagai badan usaha yang seringkali harus
memenuhi banyak tujuan sosial, ekonomi danyang paling
menyulitkanpolitis di samping tujuan maksimalisasi profit, dampak dan
ekspektasi stakeholders dalam konteks pengelolaan BUMN menjadi sangat
penting. Selain stakeholders internal seperti karyawan BUMN dengan
mobilisasi dari serikat pekerja dan manajemen senior BUMN yang
khawatir posisinya terancam dengan berbagai perubahan struktur yang
ada, tantangan terbesar akan muncul dari stakeholder eksternal BUMN.
Siapakah para stakeholders eksternal BUMN tersebut? Salah seorang
mantan Menteri Negara BUMN pernah mengatakan dalam sebuah

27

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


pembicaraan, bahwa di Indonesia banyak stakeholders BUMN merasa
dirinya adalah shareholders. Para stakeholders eksternal BUMN tersebut
adalah para pemangku kepentingan politik yang mendapatkan manfaat
manfa
dari inefisiensi pengelolaan BUMN sebagai sapi perah untuk mereka.
Dengan perilaku tersebut, para stakeholders berkepentingan politis
tersebut bertindak seolah-olah mereka adalah shareholders dengan
menikmati hasil dari BUMN tersebut, yang seharusnya adalah
ad
untuk
rakyat banyak sebagai shareholders sesungguhnya.

Kepentingan
Politik

Pemegang
Saham

Institusi
Keuangan

Pemerintah

LSM

Perusahaan

Pemasok

Konsumen

Lembaga
Konsumen

Pesaing

Asosiasi
Pengusaha

Serikat
Buruh
Karyawan

Diagram 4: Konsep Stakeholder Dalam Pengelolaan Perusahaan (17)

Tanpa kemampuan holding company BUMN yang terbentuk nantinya


untuk mensterilisasi BUMN dari intervensii politik, akan sulit bagi Rencana
Strategis BUMN 2008 dan skenario rightsizing jangka panjang BUMN
untuk menghasilkan Indonesia, Inc. yang kuat, profitable, ekspansif dan
membawa manfaat sebesar-besarnya
besarnya bagi rakyat sebagai shareholders.
Jika Bill Clinton dalam Pemilu Presiden AS tahun 1993 tampil dengan

28

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


slogan Its the economy, stupid sebagai kunci kemenangan, maka cukup
jelas pula bagi kita bahwa kunci utama pengelolaan BUMN di Indonesia
adalah Its the political intervention, stupid..
Holding Company BUMN:
Singapura dan Malaysia

Perbandingan

Konteks

Indonesia,

Pada akhirnya, sebelum kita menarik kesimpulan bahwa holding


company BUMN Indonesia akan dapat meraih sukses dengan menjalankan
model holding company seperti Temasek di Singapura dan Khazanah di
Malaysia, perlu dipahami bahwa kunci sukses kedua negara tersebut
bukan semata pada strukturnya, melainkan pada spirit yang terdapat di
dalamnya. Jika holding company sebagai struktur diibaratkan sebagai
hardware yang digunakan untuk menjalankan operasi berbagai
perusahaan, maka sesungguhnya dibutuhkan juga sebuah software bagi
holding company tersebut yang berperan sebagai operating system
pengendalinya. Spirit yang terdapat dalam operating system software
inilah yang menjadi kunci penting sukses tidaknya struktur holding
company tersebut.
Dalam konteks Singapura seperti diuraikan di atas, software tersebut
adalah pembangunan sayap eksternal ekonomi Singapura sebagai
landasan ekonomi politik aktivitas pemerintah Singapura dalam
melakukan bisnis. Pembangunan sayap eksternal ini perlu dilakukan
mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki Singapura. Akibatnya,
pertumbuhan harus dilakukan dengan mengepakkan sayap eksternal
tersebut secara ekspansif agar memperoleh imbal hasil investasi yang
tinggi bagi pendapatan negara. Untuk itu, efisiensi dan penerapan Good
Corporate Governance (GCG) menjadi mutlak untuk menjamin agar nilai
yang diciptakan dari investasi tidak disalahgunakan.
Selain itu, peran pemerintah yang kuat dalam mengelola bisnis juga
menjadi jiwa bagi Temasek seperti terungkap dalam Temasek Charter
(2002) (18) sebagai berikut:
Temasek would retain control of companies it deemed critical to the

29

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


economysuch as airport, seaport and utilitiesbut will divest in
companies which have no potential to grow beyond Singapore. It also
underlines that: Government needs to own and control companies for
various reasons. These include critical resourceswhere ownership of a
resource is critical to Singapores security or economic well-being.
Government also needs to have a controlling stake in companies that
enabled the government to achieve specific policy objectives by providing
services for the public good.
Jika kita menengok Malaysia yang memiliki Khazanah sebagai holding
company untuk mengelola government-linked companies (GLC)-nya, kunci
suksesnya pun terletak pada konsistensinya menjalankan agenda ekonomi
politik nasional lewat Khazanah. Bagi Khazanah, program transformasi
GLC merupakan alat untuk menjalankan kebijakan New Economic Policy
(NEP) yang bertujuan memberikan akses kepemilikan modal bagi
golongan yang sering disebut Bumiputera di Malaysia, yaitu etnik Melayu.
Walaupun kebijakan ini kontroversial hingga saat ini, namun para pelaku
bisnis dan pengambil kebijakan di Malaysia meyakini bahwa Khazanah
bisa berperan dengan baik sebagai holding company bagi para GLC karena
sejalan dengan agenda NEP ini. Hal ini tentu akan terus mengalami
dinamika, sejalan dengan perubahan politik Malaysia akhir-akhir ini yang
nampaknya menghendaki perubahan. Tetapi yang jelas, privatisasi dan
pengelolaan GLC di Malaysia selalu ditempatkan dalam konteks NEP
seperti diungkapkan dalam Rencana Pembangunan Malaysia ke-9 (9th
Malaysia Plan: 227, 10.13) sebagai berikut: Privatization is a principal
vehicle to enhance Bumiputera participation in the corporate sector,
particularly through equity participation seperti diulas oleh Khoo
(2007)(19).
Dalam konteks pengelolaan BUMN Indonesia lewat sebuah holding
company, tidak berarti bahwa kebijakan afirmatif seperti NEP di Malaysia
atau perilaku ekspansi bisnis ala sovereign wealth fund di Singapura yang
harus diterapkan. Tentunya konteks yang berbeda antara Singapura,
Malaysia dan Indonesia membuat operating system yang menjiwai holding

30

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


company bagi BUMN-nya tidaklah sama.
Untuk mencari software yang tepat bagi operating system untuk
holding company BUMN Indonesia itu, semangat dasarnya adalah amanat
para pendiri bangsa kita pada pasal 33 UUD 1945, ayat 2 yang mengatur
bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan ayat 3 yang mengatur
bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Menjadi tanggung jawab pengambil kebijakan untuk
menerjemahkan semangat pada UUD45 tersebut ke dalam kebijakan yang
akan menjadi operating system bagi holding company BUMN.
Dengan demikian bendera Indonesia, Inc. akan dapat berkibar,
sehingga rakyat Indonesia bisa turut menikmati globalisasi ekonomi,
seperti juga rakyat Singapura menikmatinya lewat Temasek Holdings,
sang Singapore, Inc.

Agung Wicaksono (agungw@iseas.edu.sg) menyelesaikan disertasi


doktor dari Universitt St. Gallen (Swiss) tentang corporate governance
BUMN Asia Tenggara sebagai peneliti Institute of Southeast Asian Studies
(ISEAS) Singapura dan saat ini mengajar Sekolah Bisnis & Manajemen
Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB). Sebelumnya konsultan manajemen
di Ernst&Young dan AT Kearney setelah S2 di Jerman, dan aktivis gerakan
mahasiswa 1998 saat S1 di ITB.

31

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

32

Indonesia:
Perjalanan Bangsa dan Pelajaran
Haslim Mulyadi
Reformasi dan Krisis
Gerakan reformasi di tahun 1998 yang dipelopori mahasiswa
berhasil menjatuhkan suatu tatanan order dan rezim yang sangat
berkuasa di Indonesia pada waktu itu. Keberhasilan gerakan reformasi
menjadi momentum awal kebangkitan demokrasi di Indonesia. Demokrasi
yang selama 32 tahun terakhir hanya menjadi cerita manis di buku-buku
pelajaran SMP, seolah-olah mempunyai nafas baru dalam sejarah
perjalanan bangsa Indonesia di abad ke-20 ini.
Dalam kurun waktu 10 tahun ini (1998-2008), kita pun telah sukses
menggelar 2 kali pemilihan umum, dimana pada tahun 2004 bangsa
Indonesia berhasil menggelar pemilihan presiden secara langsung.
Euforia berdemokrasi, khususnya berpartai, menjadi warna baru
dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Menjelang Pemilu 1999,
banyak sekali parpol (partai politik) terbentuk dan menawarkan berbagai
macam ideologi, visi, dan misi. Begitu juga pada Pemilu 2004 yang lalu,
kita disodorkan dengan banyak pilihan parpol yang seolah-olah
mencerminkan kedewasaan berdemokrasi di tanah air atau, janganjangan, fenomena menjamurnya parpol di Indonesia menunjukkan
mentalitas kita yang mengalami sindrom craving for power (haus akan
kekuasaan). Craving for power syndrome adalah ketika setiap orang
merasa mampu dan kompeten untuk memimpin bangsa ini,
mengeksploitasi nilai-nilai demokrasi untuk kepentingan pribadi, dan
melupakan bahwa pilar-pilar utama demokrasi adalah rakyat dan
kejujuran (integritas).

33

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Sementara kita boleh berbangga hati karena bangsa ini menunjukkan
perkembangan yang luar biasa dalam hal demokrasidari pemilihan
presiden sampai kepala daerah, masalah kesejahteraan rakyat masih
jauh dari perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Efek dari pasca krisis
moneter 1998 masih dirasakan oleh sebagian dari masyarakat kita.
Persoalan-persoalan baru seperti bencana alam juga makin memperburuk
kondisi bangsa Indonesia saat ini. Belum lagi di awal tahun 2008, subprime
crisis, inflasi, dan kekurangan pangan dunia (world food shortage) yang
mempengaruhi dunia global termasuk Indonesia akan menambah deretan
krisis yang menimpa bangsa ini.
Tingkat kemiskinan penduduk Indonesia, menurut tolok ukur yang
digunakan Badan Pusat Statistik pada tahun 2007, turun dari 17% (2006)
menjadi 16.58 %. Berdasarkan angka tersebut, maka 1 dari 6 penduduk
Indonesia masih berada dibawah garis kemiskinan. Sedangkan laporan
dari World Bank menunjukkan angka yang cukup tinggi dimana angka
kemiskinan penduduk Indonesia mencapai 50%2.
Indonesia di Asia Tenggara
Pada tahun 1965, Singapura adalah negara baru dengan berbagai
keterbatasan termasuk sumber daya alam, dengan GDP per capita $527.
Dalam kurun waktu 43 tahun, Singapura telah mengalami kemajuan yang
sangat pesat dengan GDP per kapita mencapai $35,165 pada tahun 2007.
Angka investasi asing yang masuk ke Singapura juga cukup fantastis, yaitu
mencapai $20 miliar pada tahun 2005. Sebagai perbandingan, investasi
asing yang masuk ke Indonesia pada tahun yang sama berkisar $8.9 miliar.
Vietnam adalah the rising star di Asia Tenggara. Negara yang baru
saja keluar dari krisis peperangan di tahun 1973, dalam kurun waktu 20
tahun telah mengalami kemajuan yang relatif pesat, khususnya dalam
bidang pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan GDP Vietnam pada tahun
2006 merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara dengan angka 8.17%.
World Bank mendefinisikan moderate poverty dengan standar hidup kurang
dari US$2 per hari.

34

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Angka tersebut adalah kedua tertinggi di Asia Timur setelah Cina.
Pada tahun 2006, banyak investor asing yang melirik Vietnam
sehingga jumlah investasi mencapai $10.2 miliar. Sementara pada tahun
yang sama, investasi asing di Indonesia turun menjadi $5.9 miliar. Dari
proyek-proyek investasi asing yang masuk ke Vietnam pada tahun 2006,
investasi dari Intel sebesar $1 miliar adalah yang paling berpengaruh dan
berhasil mengangkat nama Vietnam di kancah global, khususnya dalam
industri semikondutor dan mikroelektronik.
Jika pada tahun 1970 sampai1980-an adalah era dimana Indonesia
yang menentukan kesuksesan dan memegang peranan penting untuk
wilayah Asia Tenggara, maka pada saat ini peranan Indonesia telah
menjadi jauh lebih kecil. Bahkan negara baru seperti Vietnam mampu
memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi investasi asing di Asia
Tenggara.
Indonesia dan Generasi Muda
Pengharapan akan kualitas pendidikan dan standar kualitas hidup
yang lebih baik seringkali menjadi salah satu motivasi terbesar bagi
banyak generasi muda di negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk
memilih melanjutkan pendidikan atau bekerja di negara lain yang pada
umumnya lebih maju. Hal ini menjadi salah satu trigger point eksodusnya
generasi muda dari negara berkembang yang kemudian menetap dan
menjadi warga negara lain. Hal ini mengakibatkan terjadinya fenomena
brain drain di negara asal.
Tidak sedikit kita menemukan generasi muda Indonesia yang
akhirnya memilih untuk menjadi warga negara lain, dengan berbagai
alasan dan latar belakang mereka. Kita tidak bisa menyalahkan begitu saja
keputusan mereka atau mempertanyakan nasionalisme mereka. Adalah
hak setiap orang untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, dan
nasionalisme harus dipandang dari sudut yang lebih luas.
Ada satu observasi menarik yang bisa kita pelajari dari bagaimana
proses Intel memutuskan untuk investasi di Vietnam. Selain daripada

35

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


faktor-faktor seperti infrastruktur, stabilitas politik, keamanan, biaya
produksi, dan lain sebagainya yang mendukung, ada satu faktor
tersembunyi yang semakin menyakinkan para eksekutif Intel bahwa
Vietnam adalah pilihan yang terbaik. Faktor itu adalah lobi dari Viet-Kieu.
Viet-Kieu adalah sebutan untuk orang Vietnam yang berdomisili di luar
Vietnam. Sebagian besar dari mereka telah melepaskan kewarganegaraan
Vietnam namun masih memiliki emotional attachment dan rasa
kepedulian yang amat besar terhadap negara asalnya.
Dalam era globalisasi, membicarakan masalah brain drain tidaklah
begitu relevan lagi. Pada tahun 1950 sampai1980-an banyak sekali
generasi muda Cina yang meninggalkan Cina dengan negara tujuan utama
Amerika Serikat. Kita bisa melihat arus atau tren sebaliknya yang terjadi
sekarang ini. Para generasi muda yang dulunya meninggalkan Cina
sekarang berbondong-bondong kembali ke Cina (tentunya dengan
kemampuan dan keahlian yang didapat selama masa perantauan) dan ikut
membangun Cina. Begitu juga yang terjadi pada India.
Menurut saya, fenomena yang terjadi pada India dan Cina akan
terjadi pada Indonesia. Indonesia adalah negara dengan potensi ekonomi
yang sangat menjanjikan. Sejak kecil, di sekolah kita sering disuruh untuk
menghafalkan daftar propinsi Indonesia beserta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Sumber daya alam yang kita punya membuat
negara kita kaya secara material (tangible tetapi non-renewable). Selain
kekayaan alam, populasi penduduk Indonesia yang sekitar 230 juta jiwa
adalah salah satu potensi ekonomi pasar yang besar. Sumber daya
manusia yang kita miliki adalah potensi untuk merealisasikan segala
kekayaan alam yang kita miliki untuk memakmurkan rakyat dan
memajukan bangsa.
Menilik pendapat dimana brain drain lebih didasari oleh keputusan
ekonomi untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, maka jika kita
tinjau kembali, kita akan menemukan bahwa Indonesia masih merupakan
pilihan yang lebih baik. Kembali ke tanah air adalah keputusan yang lebih
baik dan merupakan privilege kita sebagai warga negara Indonesia. Selain

36

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


itu, Indonesia adalah salah satu di antara 11 negara yang diprediksikan
oleh Goldman Sachs sebagai the Next-Eleven yang memiliki outlook
ekonomi yang menjanjikan.
Saya percaya dalam 5 sampai 10 tahun mendatang (2014-2020),
Indonesia akan menjadi negara yang penuh dengan economic opportunities.
Pada tahun-tahun mendatang, industri padat karya (labor intensive) yang
berbasis di Cina akan mengalami kesulitan karena semakin meningkatnya
biaya produksi terutama labor cost, apalagi setelah pemerintah Cina
menetapkan peraturan tenaga kerja baru (labor contract law) pada Januari
2008. Pada saat itulah Indonesia harus bisa menjadi alternatif dan solusi
untuk para investor asing.
Tentu saja semua ini tidak akan dapat terjadi kalau tidak didukung
oleh stabilitas politik dan keamanan, kepastian hukum, birokrasi yang
efisien, dan mentalitas bangsa yang dewasa. Sebagai generasi muda
bangsa, kita bisa memilih untuk berpartisipasi aktif dalam memajukan
Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang disegani, atau tetap menjadi
pengkritik sejati setiap pemerintahan dan menurunkan nilai dan arti
dari sebuah protes dan demonstrasi (baca: karena terlalu banyak
demontrasi) tetapi tidak berbuat apa-apa karena peduli terhadap
persoalan bangsa hanya sebatas orasi dan demontrasi. Atau sebaliknya,
memilih untuk tetap tinggal dalam masa lalu sejarah kegelapan bangsa ini
dan menjadi pahlawan-pahlawan reformasi (baca: kesiangan).
Kita sudah lama terlelap dalam hibernasi yang panjang. Kini sudah
saatnya untuk bangun. Bangsa ini bukan hanya milik generasi saya,
ataupun generasi Anda, tetapi merupakan tanggung jawab kita semua
untuk menjaga bangsa ini dengan baik untuk generasi mendatang. Seratus
tahun sudah berlalu sejak impian akan kebangkitan bangsa. Kalau bukan
sekarang, kapan lagi?
Singapura, Maret 2008.

37

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


HASLIM MULYADI adalah seorang profesional muda yang bekerja di
Singapura. Ia memiliki Bachelor of Engineering (Electrical and Electronics)
dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura (2007), Penulis
sempat aktif dan memegang peranan penting di berbagai organisasi sosial
dan kepemudaan di Singapura. Pada bulan Juli 2007, penulis mendapat
penghargaan NTU-Electrical and Electronics Engineering Excellence
Award, salah satu bentuk penghargaan tertinggi sebagai wujud pengakuan
untuk prestasi akademik, kualitas kepemimpinan dan kewiraswastaan
yang menonjol. Penulis adalah pencetus ide pembuatan buku ini dan juga
ketua komite HFI. Ia dapat dihubungi melalui haslimm@yahoo.com.

38

Apakah Kita Perlu


Mengoreksi Sejarah Kita?
Vida Junita
Berapa banyakkah dari antara kita yang menggemari sejarah? Mungkin
tidak banyak. Padahal dengan mempelajari sejarah, kita mendapatkan
kesempatan istimewa untuk mempercepat proses pembelajaran kita
mengenai hidup. Dengan mempelajari sejarah pula kita bisa menghindari
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pendahulu kita.
Sejarah dan Nasionalisme
Sebagai negara yang mempunyai budaya malu yang kuat, Jepang
berusaha melupakan kejahatan perang mereka dengan merevisi buku
pelajaran sejarah. Kasus bunuh diri massal di Okinawa(20), pembantaian
massal di Nanjing(21) dan masalah jugun ianfu merupakan beberapa isu
yang diremehkan ataupun diubah pola penceritaannya.
Sementara itu, Jerman yang mempunyai dosa perang yang tak kalah
beratnya justru berani mengupas habis lembaran hitam bangsanya.
Mereka berusaha berdamai dengan masa lalu dengan mengakui aib dan
kejahatan yang dilakukan oleh pemerintahan Hitler dan partai Nazi.
Namun tindakan tersebut terbukti bukanlah suatu perkara yang mudah
bagi bangsa Jerman. Menurut survei yang dilakukan terhadap 23 negara di
dunia, Jerman menempati peringkat yang cukup rendah dalam hal
kebanggaan nasional secara umum. Jerman Barat dan Jerman Timur
menduduki peringkat 21 dan peringkat 22 secara berurutan(22).
Dengan kedua contoh di atas, kita dapat melihat benang merah
antara sejarah dan isu nasionalisme. Cara penyajian narasi sejarah dapat
mempengaruhi rasa nasionalisme sebuah bangsa.

39

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Mitos dalam Sejarah Indonesia?
Sejarawan Taufik Abdullah pernah menyampaikan kekhawatiran
akan tercampurnya mitos dan sejarah. Ia mengambil contoh peristiwa
lahirnya Budi Utomo di tahun 1908. Menurut beliau, kejadian yang
kemudian diperingati sebagai kebangkitan nasional tersebut hanyalah
rapat anak sekolah. Ia mengingatkan agar kita menghindari pembesarbesaran sejarah (glorify) sehingga melebihi cerita aslinya(23).
Pembesar-besaran fakta seperti kasus di atas mungkin tidak
menimbulkan efek negatif sama sekali. Bagaimanapun juga, setiap bangsa
berhak menciptakan sejarahnya sendiri untuk membangun rasa bangga
terhadap negaranya.
Namun bagaimana halnya dengan klaim 350 tahun masa penjajahan
Belanda? Secara gegabah, awal dari masa penjajahan ini dihitung mulai
dari berlabuhnya Cornelis de Houtman di Banten tahun 1596. Padahal
kedatangan De Houtman di waktu itu adalah murni untuk berdagang.
Dengan bubarnya VOC di tahun 1800, barulah Kerajaan Belanda secara
resmi mengambil alih semua urusan dan daerah taklukan VOC di
kepulauan Nusantara. Itupun masih ada beberapa wilayah yang masih
terus melakukan perlawanan seperti Aceh.
Dari sudut penyatuan daerah taklukan, maka bisa jadi Belandalah
yang secara tidak langsung berjasa mempersatukan kerajaan-kerajaan
yang kemudian menjadi wilayah Indonesia merdeka.
Sudut Pandang yang Berbeda
Sejarah yang baik adalah sejarah yang objektif dan tidak memihak.
Namun sayangnya seringkali sudut pandang penceritaan sejarah hanya
melihat dari satu sisi saja dan mengabaikan sisi yang lain. Kebanyakan
sejarah Indonesia ditulis secara hitam putih dengan pahlawan-pahlawan
yang diangkat dengan menggunakan surat keputusan. Di satu pihak ada
pahlawan pembela rakyat, di sisi lain ada musuh bangsa yang
berkhianat(24).
Kisah Sultan Agung adalah kisah kepahlawanan yang menentang

40

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


penjajah. Di sisi lain, kekejaman dan penindasannya terhadap rakyat jelata
nyaris tidak pernah disinggung(25).
Ada lagi kisah Aru Palaka, seorang bangsawan Bone yang negaranya
ditindas oleh Sultan Hasanuddin, raja dari Kerajaan Gowa. Namun malang
bagi Aru Palaka, ia salah berkawan. Aru Palaka beraliansi dengan Belanda
dalam perjuangannya melawan penjajah Gowa. Alhasil, kini Aru Palaka
dianggap sebagai pengkhianat, sementara Sultan Hasanuddin dianggap
sebagai pahlawan bangsa(26).
Lain lagi dengan kisah tentang kelahiran Kota Jakarta. Konon pada
tanggal 22 Juni 1527 (beberapa sejarawan masih bersilang pendapat
mengenai tanggal penyerbuan ini), Fatahillah berhasil merebut Sunda
Kalapa. Sejarah menceritakan hari tersebut sebagai hari pembebasan
Sunda Kalapa dari tangan Portugis. Padahal Sunda Kalapa termasuk
wilayah Kerajaan Pajajaran dan kehadiran Portugis di sana adalah untuk
membantu mempertahankan Pajajaran dari serbuan pihak asing.
Sementara Fatahillah adalah seorang agresor yang menghancurkan Sunda
Kalapa dan membakar 3000 rumah penduduk setempat(27).
Gelar kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol juga tak luput dari kritikan
beberapa pihak(28). Bahkan sempat muncul petisi untuk meminta
pemerintah mencopot gelar pahlawan yang disandang Tuanku Imam
Bonjol selama ini(29).
Kenyataan-kenyataan tersebut membuat kita berpikir tentang
keabsahan penganugrahan gelar kepahlawanan kepada masing-masing
tokoh. Yang satu bergelar pahlawan karena serta merta berada pada posisi
melawan Belanda sedangkan lawannya serta merta berstigma
pengkhianat bangsa. Bukankah mereka semua adalah pejuang bagi tanah
air mereka masing-masing? Saat itu Indonesia belumlah ada. Yang ada
hanyalah kerajaan-kerajaan yang saling berperang dan berebut
kepentingan. Jika kemudian salah satu pihak meminta bantuan kepada
orang Eropa, itu hanyalah kebetulan, bukan karena mereka penghianat
bangsa (bangsa yang mana?), bukan karena mereka antek penjajah.

41

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Mengoreksi Sejarah Indonesia?
Semenjak melemahnya pengaruh pemerintahan pusat pasca Orde
Baru, kenyataan menunjukkan bahwa secara umum sifat kedaerahan dan
sentimen anti asing menguat. Bukannya tidak mungkin jika sikap-sikap
negatif ini merupakan hasil pengajaran sejarah yang kurang tepat.
Kesalahan persepsi bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350
tahun seakan menanamkan sikap xenophobia di sebagian masyarakat
Indonesia hingga hari ini. Walau sudah merdeka lebih dari 60 tahun,
penjajahan masih sering dijadikan kambing hitam atas segala kegagalan
yang melanda Indonesia saat ini. Tidak jarang pula jika investasi asing
mendapat pandangan negatif dan dituduh sebagai penjajahan modern
secara ekonomi. Padahal tidak semua investasi asing itu merupakan hal
yang negatif. Bagaimanapun juga, sebagai negara yang menginginkan
kemajuan ekonomi, Indonesia membutuhkan kerjasama internasional dan
penanaman modal asing.
Lalu, perlukah kita mengoreksi sejarah kita dan yang terutama,
merevisi buku pelajaran sejarah kita? Memang ada yang berpendapat
bahwa sejarah dan buku pelajaran sejarah adalah dua hal yang berbeda.
Sejarah haruslah obyektif sementara buku pelajaran bertujuan untuk
mendidik anak murid untuk bangga akan negara dan bangsanya. Namun
seringkali orang lupa, selain untuk membentuk rasa nasionalisme, sejarah
juga membentuk karakter dan kedewasaan suatu bangsa. Oleh karena itu,
janganlah sampai penyesuaian di buku pelajaran justru malah
mengorbankan fakta sejarah yang ada.
Bangsa ini mungkin sudah terlalu lama terjebak dalam pola
pemikiran biner: benar-salah, pahlawan-pengkhianat, hitam-putih, kitamereka. Padahal, seorang pengkhianat bagi suatu kaum bisa saja
merupakan pahlawan bagi kaum lainnya sebagaimana seorang ibu miskin
yang mencuri susu adalah seorang pahlawan bagi anaknya. Bukannya kita
harus terjebak dalam relativitas moral, tapi memang pada kenyataannya
banyak sekali masalah di dunia yang tidak dapat dilihat secara hitam-putih.
Banyak kasus ketegangan sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia

42

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


saat ini bermula dari pola pikir yang terlalu menyederhanakan masalah
menjadi benar-salah, kita dan mereka. Ini adalah suatu pola pikir yang
tidak kritis dan tidak bisa menghargai perbedaan. Sementara bangsabangsa lain sibuk bersaing untuk melaju ke depan, kita masih sibuk
bertengkar sendiri.
Mungkin memang sudah saatnya bagi kita untuk meluruskan sejarah
kita sehingga kita dapat belajar memandang suatu persoalan dari berbagai
sudut pandang. Dari sejarah yang penuh warna dan dinamika kita
semestinya mampu memetik pelajaran, karena sejarah adalah pengalaman
nyata kita sendiri dan pengalaman adalah guru yang terbaik. Sehingga di
masa depan, Indonesia kelak dapat berdiri di atas fondasi sosial yang
kokoh, yaitu masyarakat yang mampu berpikir komprehensif dan bersikap
dewasa dalam menghadapi perbedaan.

VIDA JUNITA dilahirkan di Jakarta pada 3 Juni 1986. Membaca adalah


hobinya sejak kecil. Kegiatan menulis baru ditekuni secara lebih serius
saat menginjak tingkat SMP. Pada tahun 2004 penulis berhasil
menerbitkan buku pertamanya yang berjudul 60 Strawberry Penyegar
Jiwa. Beberapa tulisan lainnya dapat dilihat di www.bebekrewel.com.

43

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

44

A Note
from a Distant Land
Cynthia Chandramuljana
Why is it that the young people these days dont really care about Batik?
The question above was posed to us by Mr. Sarkasi Said. We were a
group of Indonesian students who volunteered to help organise a Batik
exhibition and workshop at Singapore Management University where we
studied. From the tone of his voice, it was obvious that he did not expect
an answer and yet I couldnt help but pondering on his question. I may not
be able to speak for all young Indonesians, but at least I speak for myself. I
wonder: Why is it that I do not know much about Batik and do not seem
interested to find out more?
Throughout the planning period, Mr. Sarkasi taught us many things
about batik. For those who did not know, Mr. Sarkasi Said is one of the
most prominent batik artists in Singapore. He has dedicated more than
half of his life to study the art of batik, worked with it and promoted it
with passion. Batik is his life.
This is special because he is not even Indonesian. Granted, he has
Javanese roots (from his grandparents I think) but he was born and bred
in Singapore. And yet, he knows more about Batik than my entire family
put together.
Did you know that there are certain Batik patterns/motifs that only
the Keraton3 royals can wear?
Did you know that some Batik patterns mean casual and can be
worn during the day only and some mean formal and hence worn at night?
3

Keraton literally means palace. It is normally used to describe the palace where
the royal families of Jogja and Solo resides.

45

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Did you know that by looking at the patterns/motifs, one can tell the
status of a person and where this person comes from?
These are just a few facts that I managed to unearth from my
interactions with him and I feel this is just the tip of the iceberg of all that I
can learn about Batik and of the Indonesian culture. Yet, the question still
remains of why I had to wait this long to start learning about Batik and
about the culture of Indonesia.
I have done a lot of self-reflection and thought long and hard about
this. My conclusion is that if I had stayed in Indonesia for my education, I
would never be interested to learn about the Indonesian culture. I would
never learn how to act out the Saman dance or how to play the gamelan or
learn the history of Batik. My view was echoed by a couple of my friends
who are here in Singapore. I cannot speak for them, but for me, I realised
that my main motivation to learn about Indonesian culture here is to bond
with my fellow countrymen.
When you are away in a foreign land, you need something in common
with your fellow Indonesians, something that we can do and enjoy
together. And this thing that we have in common is our wonderful culture.
While we learn more and more of the culture, our interests grow and
without realising it, we grow to love this culture of ours.
My dear sister was a member of her schools Angklung ensemble. Just
like me, her motivation for joining was because it gave her a chance to
interact with fellow Indonesians and to be close to home. It seemed that
her seniors joined for exactly the same reason and the cycle continues.
They had wondered too on how this trend got started and speculated that
the pioneer batch probably started the club for exactly that reason. After
spending two years learning about Angklung and other traditional
instruments like Kulintang, she became so interested in Indonesian
traditional instruments that she jumped at the opportunity to learn
gamelan.
A good friend of mine has this very nice analogy that I think explains
another reason of why it is when we are overseas, we become more

46

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


interested in Indonesian culture. She said that coming to another country
is like coming to a land filled with diamonds. No matter how well you
adapt, you realise that you are different and that you do not belong here.
So, you search and learn that your own land of emeralds is beautiful in a
different way. And you want to keep your own identity and have pride for
what you have. You take out that emerald of yours and show it off to
everyone and tell them, This is my culture, it is wonderful and I am proud
of it. The problem is, when you are in the land where emerald is abundant,
you do not really care. It is when you get to the land of diamonds that you
realise how precious your emerald is and that this gem is worth fighting
for.
We have to be away from home and away from the culture to realise
how wonderful it really is. We have to lose it first to appreciate its value.
We have to go far and away (i.e. to another country) to learn our culture
when we can actually learn it at home. Overseas, it is difficult to learn
Indonesian culture. There is a lack of trainers. There is a lack of
instruments. There is a lack of costume. And yet we persevere. Back at
home, such problems can be easily solved and yet we do not wish to
persevere.
Back at home, we were more willing to learn about ballet, hip hop,
violin, piano, etc. How many of us grew up wanting to be a Batik artist?
How many of us grew up wanting to be a Gamelan player? How many of us
grew up wanting to be a Yapong dancer? Isnt it such a pity that we have a
foreigner striving almost half of his life to promote Batik and yet we do
nothing? This is our culture, our gem; why is it that we have to let
someone do the fighting for us?
I realise that it is not realistic to expect everyone to be a master in
Batik, Gamelan or Yapong, but give it chance. Give our culture a chance to
grow in your hearts and I think you may be surprised of the result. You
might just fall in love with it. You do not have to be a master to enjoy
songket, batik, gamelan, angklung, saman, yapong and the likes.
I started with Mr Sarkasi and I am going to end with him too. He

47

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


recounted that when he was in Solo a few years back, he was buying batik
materials that include a canting. For those who did not know, canting is a
small metal tool that is used to draw on Batik, and Solo is one of the two
locations (the other one being Yogyakarta) where Batik is heavily
promoted. He kept all of these materials in his luggage and was asked to
open them at the immigration checkpoint. The embarrassing thing is that
the guard there (who checked his luggage) could not recognise the canting.
He had to ask Mr Sarkasi what that weird instrument in the bag was.
Just imagine Mr Sarkasis reaction. Compare them, those two men;
one of them spent more than half of his life in Singapore, the other one
spent more than half of his life in Solo. One of them knows what canting is
and the other does not. Who would have guessed that the one from Solo
was the one who did not know what canting is?
My final wish is that we do not become like that guard in Solo. We
need not and probably cannot be a master in Indonesian culture, but we
must at least know the basic. We must learn so that one day, if we were
shown an Indonesian dance or a costume or an instrument, at least we
would know that they are ours. If we could not or would not acknowledge
them, I think someone else would gladly do so because this gem is simply
too beautiful and precious.
I would like to dedicate this article to SMUKI. Thank you for giving me a
chance to learn and love our own Indonesian culture.

CYNTHIA CHANDRAMULJANA is currently enrolled at Singapore


Management University (SMU) and is an active member of SMUKI (SMU
Komunitas Indonesia), a club whose main objective is to introduce
Indonesian culture to the general school population. She has been studying
in Singapore for almost 10 years and is surprised to find out that as time
goes by, her interest in Indonesian culture grows.

48

Hope or Mope for Indonesia?

From Cinta Laura to Tukul Arwana and Nadine Chandrawinata


Krishna Rinaldi Worotikan
I just feel more at ease with the English Language, which is reflected from
my verbal or written forms of communication. Dont get me wrong. I love
Bahasa Indonesia (the Indonesian language) with all my heart and soul. In
primary school, where everyone else was picked to represent the school in
Mathematics or Sciences competitions, I was the Bahasa Indonesia guy! I
made it quite far, or at least I would like to think of it that way. Even until
SMP4, it was always a combination of me liking the subject, and the Bahasa
Indonesia teacher liking me (much) in return.
Here comes the main problem I face: Bahasa Indonesia is in such an
awkward position that almost no one is using it in a proper manner. Well,
it would certainly be weird if someone goes around saying "Apakah kamu
mau berjalan-jalan denganku?", instead of the usual "Mau jalan sama gue
nggak?" Not only are the words informal, so is the structure. Actually, my
love for Bahasa Indonesia is so great that at times, especially when I get
more serious, I would start using the proper form, and it brings such a joy
to me. But then, people will start frowning, thinking what a weirdo I have
been.
Next problem: Bahasa Indonesia's grammar is awfully simple, but the
culture is such that you must alter it when talking to different groups of
people. And so, it makes voicing your opinions and/or feelings more
difficult. The structure basically hinders the fluency of the conversation.
Being a multi-cultural society has proved to be a double-edged sword.
SMP stands for Sekolah Menengah Pertama, and is equal to Grade 7 to 9 in the US
Education System.

49

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


While different ethnic languages bring extra richness and dynamism to the
Bahasa Indonesia vocabulary, dilution seems to take effect. On top of the
already rather-confusing contributions from around the archipelago,
foreign languages just have to tag along. Apart from the inevitable
penetration of the Dutch language after 350 years of colonization, myriads
of other languages also have their fair share in influencing our language.
(Do you know that about 9 out of 10 words in Bahasa Indonesia are
adopted from foreign languages?)5 What I meant by dilution is when
language users cannot keep up with the developments. For example,
although we know that the word musician and politician have been
adopted by Bahasa Indonesia, I can safely assume that not many of us
realize that musikus and politikus are singular forms of, and hence are
different from, musisi and politisi.
Centralization apparently does not just bring complication to the
Indonesian political landscape. Jakarta, the government seat and the
business centre of the country, has become the compass for so many
aspects of life, language not being the exception. I have been to several
towns outside Java, and every time I tuned in to the local radios, I would
always hear the hosts referring to themselves as gue 6, sometimes
making them sound unnatural, if not silly. It would certainly not be fair to
blame anyone on this. For one thing, despite the fact that almost all
provinces have their own culture, almost all providers of mass media,
especially TV stations, are located in Jakarta. That automatically implies
that TV shows, top magazines and movies end up having thick Jakarta
flavor. When the rest of the country follows the trends set by these forms
of media, the inevitable happens. This holds for the usage of Jakarta
language as that which I mentioned earlier in the paragraph.
So far I have been addressing mainly the seemingly inherent
problems of Bahasa Indonesia, and to a certain extent, the government is
Taken from the title 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing by Alif Danya
Munsyi. KPG. 2003.
6 Gue (read as goo-way), which means I, is taken from the Betawi (native
Jakarta) language.
5

50

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


responsible for taking remedial measures in these areas. [This can easily
provide a glimpse of the general situation prevalent in Indonesia, but I
shall refrain from going in this direction and to focus more on the topic at
hand] There were National Bahasa Indonesia Congresses (Kongres
Bahasa), which gave birth to several important decisions such as the
official guide to proper Bahasa Indonesia (Ejaan Yang Disempurnakan, et
cetera). The last one was held in 19987 and so for the last ten years, we
were left unsure about whats in whats not. The only avenue for me to find
out whether certain foreign words have been imported into the language
is by looking them up in the dictionary (the last edition of which was
published in 2001!). Considering how dynamic Bahasa Indonesia is, I
suggest that the government take these congresses seriously, and then
publish reports on findings and decisions made.
OK. Now it is not so much with the Bahasa, but with the users. There
is a growing phenomenon of people who want to use English in between
their Bahasa Indonesia sentences, in disillusionment that it will somehow
make them sound more sophisticated. This group ranges from your friend
Joko, Budi or Anto8, to anchormen/anchorwomen and politicians. My point
is, even when you want to use bombastic words to spice up your argument,
so many of the words that originated from foreign languages have been
adapted into Bahasa Indonesia. Why dont they just use these adapted
words?
To start with, I would not have been so picky had the English been
less atrocious. I have had my moments of excruciating pain upon hearing
people, especially if they happen to be some Z-list celebrity speaking
through the media, saying something along the line of "Aduh, gue lagi
boring nih!" 9 I am always tempted to snap back: "Yes, you are sooo boring
me". Or at other times, I hear people say Saya lebih comfort kalau10
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia [this is a good basic source for
anyone who wants to start learning more about Bahasa Indonesia].
8 These are three common male names in Indonesia.
9 Intended meaning: I am bored. Conveyed meaning: I am boring
10 Intended meaning: I am more comfortable if.
7

51

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Obviously, the intended word is comfortable. I can offer no other
explanations, as to why these English words end up being there, than the
mere fact that they add a (false) impression of class. I'm telling you, using
wrong English expressions does not show class. Instead, its crass! When
lately a lot of the Indonesian TV viewers have been busy laughing at how
Cinta Laura Kiehl speaks Bahasa Indonesia (clueless readers are invited to
search in Google the following phrase: udah ujan, becek, nggak ada ojek),
they obviously do not realize that billions of English-language speakers
will be laughing at a good bunch of them who had decided to use boring
and comfort in a wrong manner, in the place of such simple, yet correct,
words as bosan and nyaman11.
An interesting observation has been that of Tukul Arwana (for those
of you Indonesians who have no idea what, or who, Im talking about,
shame on you!). His attempts at pronouncing English words have always
triggered intense laughter from the audience because of his thick Javanese
accent. In my opinion, this is a direct contradiction of the view that using
English, French, or maybe Swahili, adds sophistication, while using one of
our own ethnic languages renders us ndeso 12 . Furthermore, his
(deliberate) slips become an ironic reflection of how we use, or abuse, our
language. Even when we are not yet masters of our mother tongue, we
want to display our knowledge of foreign language(s).
So, the trick is... stay true to a language. If you want to use English,
please use it well, learn it well. It cant be denied that in the face of
globalization, we need to be conversant in other languages, especially
English which is the default international one. Of course, none of us wishes
for an incident such as the Indonesia is a beautiful city which occurred to
our country representative at the prestigious 2006 Miss Universe pageant,
Nadine Chandrawinata, to ever happen again.
I'm not saying that my way of using English is flawless, especially
Bosan and nyaman are the Indonesian words for (feeling) bored and
comfortable.
12 Ndeso is a Javanese word, recently popularized by Tukul Arwana. It means
backward, or even uneducated.

11

52

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


with Singlish13 kicking in, but at least I know when I have to switch to the
proper one, and when I do so, I attempt to make it as flawless as possible.
As for Bahasa Indonesia, it is indeed a beautiful language. Do learn it,
Indonesians. And I mean the proper Bahasa. As much as you want to mix
languages, the least you can do is to be fluent in each language, lest you'll
make a fool of yourself.
(The above material has been adapted from one of the authors web log
entries)
In case you have been wondering what Im trying to get across, in
relation to Hope for Indonesia, I shall use one of my favorite sayings as an
illustration: Bahasa Menunjukkan Bangsa14. A good friend of mine, upon
reading my web log entry from which this article is adapted, gave an
interesting remark. The comment can be summarized as: in this age and
time, it is impossible to have people speaking in proper Bahasa Indonesia.
I asked myself: Is the future of our lingua franca that gloomy?
Before we embark on a lengthy discussion on how to solve the social,
economic or political problems that our country constantly faces, we need
to address what I deem a much more fundamental problem, that which
concerns identity. This is directly or indirectly reflected from the language
crisis I just lamented about above. If one is not proud of his national
language, it may just be an indicator that he is not proud of his identity as
the owner of the language (which is derived from his citizenship) either.
Then, how can we expect a citizen to fight for the country if he lacks the
pride of being one?
Again, I am not saying that every single one of us is to use proper
Bahasa every time, everywhere. I am even telling you NOT to do it, unless
you have a preference of sounding ridiculous. The very fact that I write
this piece in English is a true testament of how being more at ease with a
foreign language does not necessarily equate to not having a keen interest
13
14

Singlish is an English-based creole language native to Singapore.


An Indonesian proverb, means: (ones) language shows (ones) nationality.

53

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


in and not being proud of the language.
So my argument comes down to one point: if the general publics
opinion is one that Bahasa Indonesia is going to be rendered unusable in
the future, I think it says something about whether there is hope for
Indonesia. We should ask ourselves whether we should have hope for, or
just mope for, Indonesia.
Singapore, March 2008.

KRISHNA RINALDI WOROTIKAN is a student, an artist, and a Bahasa


Indonesia enthusiast. A recipient of Singapore Ministry of Foreign Affairs
Singapore Scholarship, Krishna is graduating from Singapore Management
University with majors in Finance and Statistics. He dedicates this piece to
his grandmother, Mrs. A.M. Worotikan, the greatest Bahasa Indonesia
teacher he has ever known.

54

Budaya dalam Diri Generasi Muda Bangsa:


Pendidikan
Nino Susanto & Hardhono Susanto
Sejak dahulu budaya Indonesia sudah terkenal di dunia luas. Orang Jepang
dan Cina lihai dalam melantunkan keroncong Bengawan Solo. Orang barat
gemar mengenakan pakaian dan sarung batik. Siapapun tahu jika mata
telah meliuk-liuk dalam tarian, itu adalah Tari Bali.
Budaya
Indonesia
termasyur
karena
keluhuran
dan
keanekaragamannya. Kondisi geografi dan sejarah Indonesia telah
memungkinkan terjadinya perkembangan budaya secara mandiri dan
utuh sekaligus perpaduan antarbudaya lokal. Ribuan jumlah pulau di
Nusantara yang dipisahkan oleh laut sebagai rintangan alam, telah
memungkinkan tumbuhnya budaya unik yang berbeda satu pulau dengan
yang lainnya. Hasil bumi yang khas dari setiap pulau, merangsang
perdagangan antarpulau yang berujung pada pertukaran budaya
antardaerah.
Begitu juga dengan masuknya pengaruh asing, yang kebanyakan
datang melalui lima bangsa yang pernah menjajah berbagai bagian dari
tanah air ini. Masih ditambah pula dengan migrasi bangsa asing masuk ke
wilayah Indonesia dengan bendera perdamaian. Budaya-budaya asing
yang masuk pada zaman dahulu telah berasimilasi dengan budaya pribumi
untuk menghasilkan suatu kebudayaan yang unik dan indah untuk
dinikmati. Beberapa budaya asing yang berpengaruh kuat di Indonesia
antara lain budaya Cina, India, Belanda, Gujarat/Persia/Arab, dan Timur
Tengah.
Nilai-nilai kebangkitan nasional (1908) yang digeluti dan
diperjuangkan para tokohnya tidak dapat dipungkiri adalah berbasis kuat

55

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


pada keberagaman dan perbedaan termasuk keragaman budaya dan
perbedaan pikiran yang memperkokoh perjuangan itu sendiri. Saat itu,
generasi muda muncul sebagai ujung tombak dalam mempelopori
persatuan Indonesia yang dengan latar belakang yang beragam. Pada abad
ini nilai-nilai tersebut dapat dibangkitkan kembali pada generasi muda
melalui budaya yang harus dikenali kembali dan kemudian dicintai
sebagai modal untuk memperjuangkan Indonesia ke masa depan.
Pelestarian Budaya
Di dalam dunia modern ini, teknologi berkembang dengan pesat dan
informasi dapat terkirim dalam waktu yang singkat. Segala bentuk budaya
di dunia ini dituntut untuk dapat mempertahankan identitasnya sebagai
hasil cipta dan karya penduduk setempat. Berita buruknya, telah diamati
bahwa budaya mengalami kesulitan untuk bertahan dan sejalan dengan
perkembangan teknologi.
Beberapa puluh bahasa lokal punah dalam kurun waktu satu abad
terakhir ini. Berdasarkan artikel dari ensiklopedi bebas Wikipedia,
bahasa-bahasa ini disebut dengan extinct language atau bahasa mati(30).
Bahasa Mati ini didefinisikan sebagai bahasa yang sudah tidak ada
penutur aslinya (native speakers). Menurut sumber yang sama, beberapa
puluh bahasa juga berada dalam status mendekati kepunahan atau
endangered language.
Hal yang sama berlaku untuk budaya Indonesia. Masyarakat diajak
untuk dapat mempertahankan budaya agar tidak punah. Budaya harus
diterima sebagai luhur warisan nenek moyang yang sangat tak ternilai
harganya. Di sini jelas bahwa generasi muda bangsa merupakan pewaris
dan penentu kelanjutan perkembangan budaya Indonesia.
Sayangnya, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Banyak
generasi muda yang justru mengacuhkan budaya bangsa sendiri dan lebih
mengagungkan pengaruh-pengaruh yang datang dari mancanegara.
Gamelan dan tari Jawa dianggap sebagai sesuatu yang kampungan, tidak
berselera muda, sedangkan rock band dan hiphop dipandang sebagai hal

56

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


yang cool dan memenuhi tuntutan jaman.
Kesadaran Budaya: Penanaman Dini terhadap Anak
Pendidikan informal di keluarga dan masyarakat tak pelak menjadi
penyangga kelestarian budaya. Pendidikan keluarga merupakan
pendidikan pertama dan utama bagi anak. Pendidikan budaya
memperhalus budi pekerti dan memperkuat pelestarian warisan budaya
secara lebih konkret .
Seseorang pertama kali mengenal budaya melalui keluarganya.
Keluarga merupakan satuan terkecil di dalam masyarakat, dimana budaya
dapat diproduksi dan dilestarikan. Dari sini terlihat begitu penting
peranan kedua orangtua dalam menanamkan sejak dini kesadaran budaya
terhadap anak. Secara tradisional dan alami, anak mengikuti adat istiadat
dan belajar budaya dari kedua orangtua.
Sebagaimana halnya kedatangan bangsa asing zaman dahulu
bersama dengan penduduk setempat, maka perlu disadari juga pada
zaman sekarang keluarga juga sudah banyak mengalami perubahan
seperti banyaknya perkawinan campur antarbudaya. Kedua peristiwa ini
mengupayakan pertukaran budaya pendatang dan lokal melalui suatu
pemahaman yang lunak dan akhirnya berasimilasi menjadi suatu budaya
dengan nilai yang semakin indah. Di sini sesungguhnya dapat
memperkaya penghayatan warisan budaya dan menghayati perbedaan
sebagai suatu kekayaan budaya dan melihat sisi keunggulan budaya
masing-masing. Sekaligus memberikan ketegaran untuk senantiasa dapat
menerima perbedaan di luar aspek budaya yang perlu dipahami sebagai
kehidupan yang tidak seragam dan penuh keragaman yang akan saling
berkomplemen di dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial.
Setelah tumbuh besar, sang anak atau remaja mulai mengenal
lingkungannya. Lingkungan ini relatif kecil jika dibandingkan dengan
lingkup dunia, karena di sini mereka masih bergaul dengan teman-teman
sebayanya yang mungkin masih mempunyai latar belakang budaya yang
sama karena tinggal pada kondisi geografis yang sama. Pada tahap ini,

57

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


perlu ditanamkan kecintaan dan kebanggaan terhadap kota, budaya
daerah dan bangsanya sendiri. Sebagai penduduk asli tempat itu, sang
anak seharusnya bangga akan kota dan budayanya. Jika bukan mereka,
siapa lagi?
Penerapan yang nyata dalam menanamkan kesadaran budaya pada
generasi muda dapat dilakukan dalam berbagai bidang. Anak dan remaja
selalu berkaitan erat dengan permainan. Mereka dapat dikenalkan
kembali kepada permainan tradisional. Bila dibandingkan dengan
permainan modern seperti game console dan komputer, permainan
tradisional dipercaya mempunyai keunggulan dari segi pelatihan jasmani,
semangat kebersamaan yang kuat dan kepedulian alam serta lingkungan.
Bagi yang pernah mengalaminya, Padhang Mbulan, yaitu sesi permainan
dalam budaya Jawa saat malam bulan purnama, menjadi contoh yang kuat
dalam membandingkan antara permainan tradisional dan kontemporer.
Bidang pembelajaran lainnya yang juga mulai dilupakan adalah
pengenalan dan penggunaan bahasa daerah yang baik dan benar. Berbagai
bahasa lokal di Indonesia telah disebut-sebut sebagai contoh utama
endangered language(31). Walaupun saat ini puluhan ribu orang masih
menggunakannya secara fasih, bahasa lokal terancam punah karena
praktis anak dan generasi muda tidak lagi menggunakannya. Bahasa
daerah patut dipertahankan kelestariannya agar setiap generasi anak cucu
dapat mengenali bahasa ibu leluhur mereka.
Secara umum, bahasa daerah sebenarnya dapat dipelajari secara
kontemporer, bukan dari sisi tata bahasa dan sastra yang kaku, kecuali
bila berminat mendalaminya. Hal ini dapat dilakukan agar tidak terjadi
penolakan secara tidak sadar karena kesulitan mempelajarinya.
Secara khusus, banyak sekali bentuk kontribusi yang dapat dilakukan
setiap individu generasi muda dalam hal pelestarian budaya. Generasi
muda diharapkan dapat bebas memilih bentuk budaya apa sesuai dengan
minat mereka. Diharapkan juga bahwa kebebasan memilih ini dapat
menumbuhkan kecintaan mereka terhadap bentuk dan akar budaya itu
sendiri.

58

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Bagi yang gemar kuliner dan memasak, pelestarian makanan khas
daerah dapat menjadi pilihan. Mereka yang mempunyai talenta di bidang
musik dan olah vokal, dapat mempelajari alat-alat musik daerah dan lagu
daerah. Apabila gerak tubuh menjadi kegemaran, tarian daerah dapat
menjadi sesuatu yang menarik pula.
Pakaian daerah juga dapat menjadi pilihan, terutama pada acaraacara yang bersifat nasional dan internasional. Sekedar wacana, mungkin
sudah saatnya bagi wakil-wakil rakyat yang terhormat yang ada di
DPR/MPR untuk dapat mempelopori penggunaan pakaian daerah
perwakilannya masing-masing di pertemuan resmi tingkat nasional.
Sebagai salah satu ciri khas kebudayaan Indonesia, kehalusan budi
pekerti akan tampak pada perhatian untuk sopan santun dan tata karma.
Kebiasaan-kebiasaan seperti mengucapkan salam, terimakasih, maaf,
tolong kepada orang tua atau orang yang lebih tua dan patut dihormati,
seperti guru. Lebih penting lagi, ucapan ini mesti dituturkan tanpa harus
memandang siapapun orang itu, seperti juga harus ada kehalusan
terhadap pembantu rumah tangga, tukang parkir ataupun teman kampung
yang kurang mampu. Kebiasaan ini dipandang perlu untuk dapat terus
dilanjutkan oleh generasi muda.
Kesimpulan
Pelestarian budaya memang terdengar sungguh aneh dan nggak
banget. Dilandasi dengan kesadaran dan kecintaan terhadap warisan
luhur ini, masih ada banyak kesempatan bagi kita semua untuk terus
berusaha mempertahankan dan melestarikan budaya bangsa. Setiap usaha
kita dalam mencintai budaya, walaupun dalam skala yang kecil, dipercaya
akan membawa perubahan besar pada nasib budaya kita dalam abad-abad
mendatang.
Sekali lagi, generasi muda menjadi tumpuan bangsa. Semangat
generasi muda yang membara pada kebangkitan nasional 1908, sungguh
diharapkan dapat muncul kembali pada diri generasi muda di abad ini.
Dengan mencintai budayanya sendiri, generasi muda diharapkan
untuk dapat mencintai bangsa dan tanah airnya. Yang lebih penting,

59

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


mereka diharapkan untuk dapat membentuk masyarakat yang berbudaya,
yang sungguh menghargai nilai-nilai luhur budaya timur, budaya yang
penuh rasa hormat, pengendalian diri dan lapang dada, jauh dari segala
bentuk kekerasan dan egoisme.
Dengan terbentuknya masyarakat yang berbudaya, bangsa Indonesia
diharapkan dapat bersatupadu untuk membangun tatanan Indonesia di
masa depan, yang aman, makmur, damai dan berbudaya.

Nino Susanto, B.Eng. adalah lulusan dari Nanyang Technological


University (NTU) Singapura dengan gelar Bachelor of Engineering
(Bioengineering). Penulis saat ini bekerja dalam bidang olahraga untuk
orang cacat di Disability Classfication and Research Centre. Di sela-sela
kesibukannya, penulis adalah pelaku seni dan pengamat budaya. Penulis
dapat dihubungi di aquino_nino@yahoo.com.
Dr. dr. Hardhono Susanto, PAK adalah staf pengajar di bidang anatomi,
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Beliau juga
menjabat sebagai Ketua Litbang KONI Jawa Tengah. Penulis adalah
pemerhati budaya, terutama seni jalanan. Penulis juga berkecimpung
dalam lembaga pendidikan anak yang menekankan segi seni dan budaya.
Penulis dapat dihubungi di hardhonosusanto@yahoo.com.

60

Analyzing Indonesian Pop Culture and


Film Scenes through a Peephole
Jaenny Chandra
Pop Culture in Indonesia
The topic of Hope for Indonesia usually creates the image of
corruption fighting, strategies to eliminate poverty or how to be a good
and responsible citizen. Yet, the prevalent pop culture says so much about
the people in a nation. And the people make up the country, dont they?
Especially a country consisting of 234,693,997 people, according to an
estimate made in July 2007.
The Indonesian Film Industry
A constituent of pop culture all around the world is undoubtedly the
film industry.
Background
2,200 films had been produced ever since the 1926 silent film,
Loetoeng Kasaroeng, by Dutch directors G. Kruer and L. Heuveldorp. After
the Dutch colonial era, film industry was actually used as a propaganda
tool by the Japanese occupiers. During Sukarnos regime, it was used for a
nationalistic, anti Western purpose in which foreign film imports were
banned. To maintain the social order, movies were regulated through a
censorship code during Soehartos New Order era. Surely we all can see
that movies can be a powerful tool of influence then.
In 1980s, the industry reached its peak with successful films such as
Catatan si Boy and Blok M. However in the 1990s, foreign film import
resumed and artistic quality of Indonesian films faced competitions from

61

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


the US and Hong Kong. The number of movies produced also decreased
from 115 movies in 1990 to a mere 37 in 1993. Contributing to the
degradation of Indonesian movie industry were rampant counterfeiting,
television, exploitative movies, and adult themed movies screened in
budget cinemas.
The Reformasi movement after Soehartos era brought a breath of
fresh air for independent filmmaking. Previously prohibited topics such as
politics, race, religion, class conflict and sexuality began to be
produced.(32)
The Current Scenery
Ada Apa Dengan Cinta?, or Happy Days as it was known in Japan,
released in 2002 by Director Rudy Soedjarwo, was a breakthrough. At the
time, there was no Indonesian movie featuring the theme of teenage
romance. It was so successful that a TV drama with the same title was
launched and buku curhat, a book shared amongst friends in the movie,
quickly became a symbol of friendship adopted by many Indonesian
teenage girls.
Department of Films and Censorship in Indonesia stated that 70
feature films were released in Indonesia in 2007, up from 50 the year
before. In 2008, 100 feature films are to be released.
Although the Indonesian film industry has awaken from its slumber,
even a casual observer can comment that the many Indonesian movies
produced almost always will bear the ubiquitous theme of teenage
romance and horror. While recent hits, such as Quickie Express, Arisan and
Berbagi Suami, are unconventional movies which tackle the subjects of
gigolos, gays, and polygamy respectively, they could be paralleled to 3
drops in the vast ocean of Indonesian movies exploiting the teen, romance
and horror genres. They reflect the weariness of Indonesian investors to
invest outside the safe genres, the lack of Indonesian movie producers
who dare to make quality movies outside the popular genres, and the
bland, conventional taste of Indonesian moviegoers who constitute the
demand or pull factor of the Indonesian movie market.

62

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


A Mini Focus Group
In order to gain a wider perspective on the film industry, I had
conducted a mini focus group with students who could be deemed as
opinionated and knowledgeable on the Indonesian film scenes. Yes, the
methodology suffered from a small sample bias and perhaps many others
when conducting a proper research study. But the focus and aim for the
exercise I conducted was to gauge the feel of other fellow Indonesians on
Indonesian film industry instead of simply relying on my own opinion and
other reputable references.
The summary of its results is as follows:
- The general impression of the Indonesian film market is that it is not
mature, dominated by teenage, love and horror genre which often has
irrational or shallow story line.
- The good things about the industry are that it creates trend, entertaining,
and show the uniqueness of Indonesian myths in some of the horror
movies.
- Its down sides are that it often portrays distorted and exaggerated
teenage scenes, does not have clear moral values, and follows the market
demand for love and horror stories too much that it neglects the essence of
quality movie. For example, most of the recent horror movies lack genuine
artistic value.
- If given a chance to produce Indonesian films, they would be eager to
capture the stories of Indonesian history, Japanese colonial era, the 1998
riot as well as the Chinese peranakan culture in Indonesia.
- In improving the current standard, they agree that storyline, acting and
good producers are of significant importance.
- The problem of the Indonesian film industry currently is with the
customers mindset of always demanding movies from the same genres,
the lack of literary appreciation, and being too profit-oriented in making
movies.
- A suggestion to successfully launch a movie with substantial plot but
deviant from the market trend is actually to involve quality, popular

63

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


actors/actresses to tap into their fan base.
Taking A Step Forward
Indonesian film industry, coupled with the Visit Indonesia 2008
programme, could have a tremendous potential to promote Indonesian
cultural industries to be a formidable force in Southeast Asia. Indonesia
boasts over 13,500 islands and 300 ethnic groups. The rich Indonesian
histories and cultures are attractive to the foreign people too. Close-toheart examples are the theatrical performances of Candi Prambanan by
PINUS15 and Gajah Mada by SMUKI16 which attracted many Singaporeans
and other nationalities.
Based on that data alone, Indonesia has limitless cultural
perspectives that are still untold to the World. According to Euromonitor
2008, one of the reasons that tourists frequent our islands is because of its
cultural heritage in the local communities. However, a recent movie we
can recall that feature Indonesian sceneries and local culture is only
Denias Senandung di Atas Awan, telling the story of a farmers son in Papua
who is yearning for education. This particular movie has been selected as
the official Indonesian entry in 2008s 80th Academy Award in the Best
Foreign Language Film category and lauded with positive remarks.
In the November 2007 issue of Weekender magazine from Jakarta
Post, Shanty Harmyn, one of the most influential filmmakers in Indonesia
and co-founder of the Jakarta International Film Festival, said the
Indonesian film industry needed to produce good scriptwriters, skilled
and well-trained filmmakers, more technicians and good infrastructure for
laboratory, digital lab and sound-mixing facilities.
Lesson from Another Pop Culture: South Korea
In the Korean film industry, the filmmakers and government are able

PINUS is the Indonesian Society in National University of Singapore (NUS)


SMUKI is the Indonesian Cultural Club in Singapore Management University
(SMU)

15

16

64

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


to collaborate. There is actually a policy that protects homegrown films, in
which cinemas are required to screen locally produced films for at least 21
days. In its films, Korea had also incorporated much of Korean sceneries,
cultures, and even brands. Furthermore, Korean government commits to
support and market Korean media abroad which results in subliminal
brand loyalty to Korean series and cinemas. The impact is real. In
Indonesia, there are lotteries drawing thousands of people in which the
first prize is a tour to the location where one of the popular Korean TV
drama is filmed. Teen girls are trying to pick up the language to
understand films where subtitles are not available. The clothes trend
permeates into the fashion world.
As of it is, some of Indonesian sinetrons (Indonesias very own TV
drama) are already very well received in neighboring countries such as
Malaysia and Brunei Darussalam. If only the Indonesian government can
promote our local films across borders and Indonesian producers can
integrate Indonesian culture, ways of life and beautiful landmarks along
with quality storyline, it is not impossible that this media will have fans of
its own that are more alert to the country of Indonesia and many things it
has to offer. More tourism revenues for the country too, hopefully. The
international awareness of Indonesia through media is a magic that
Indonesian filmmakers can most certainly create. If only government and
economic support are available to help the formation of this magic. (33)
Tripartite Relationship between the Government, Industry and Consumers
As discussed previously, the government is able to set up a nationwide incentive system to nurture the local movies. There is no denying
that filmmakers do try to produce according to the market demand. The
film market is currently over-saturated with teenage romance and horror
genres because the demand for the two is always present.
Take for example the incident of the movies Kala and Suster Ngesot.
The former was a neo-noir film with quite an unconventional plot which
had received many acclaims from movie critics while the latter could be
said to be one of the many horror movies that Indonesia produced because

65

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


demand for such movies was predicted to be rather substantial. Both were
launched around the same timing by the same production house, MD
Entertainment, yet it was Suster Ngesot that was marketed lavishly,
producing much greater ticket sales and exposure.
In UUD 45, the basic constitution of Indonesia, Article 31 of Chapter
XIII stated that the government should establish a national system to
progressively increase the education level of Indonesians. Government
and the film industry should collaborate to realize
alize this goal. Media should
be recognized as a powerful driving force that can either improve or
further impoverish the mindset of the public through its products.
Education is a subset that makes up the mindset. Hence, ideally, movies
produced should be of high quality that also educate its viewersbe
viewers
it on
cultures, new insights or unexplored genres (if there are still any left).
Dont get me wrong. I am not saying that following the market trend
is all bad or harmful. However, media is in a unique position.
ition. If it follows
the publics mainstream demand all the time or, worse, dictated by it, it
becomes ineffective and bland.
An Analogy and a Beginning

500 floating hands appeared in the pond of Jakartas busiest traffic


roundabout. The objective of thiss guerilla marketing was to remind people
that even two years after Tsunami, there were still many children in Aceh
who were in desperate need of help. The 500 hands symbolized 5000
orphans in Aceh. It won the Bronze Medal in Cannes Lions Live 2007 in the

66

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


category of Best Use of Outdoor Space. Yet another mark of creativity that
Indonesia had achieved in a prestigious, global competition.
The few unconventional, praise-worthy films in Indonesia are like
the hands jutting out of the sea of numerous generic Indonesian movies
that are calling out for our attention.
What can we do to capitalize on the booming Indonesian film market
and, at the same time, bring it a notch up?
The beauty of pop culture is that the people drive the trend.
What will YOU do?

JAENNY CHANDRA is currently an undergraduate student at Singapore


Management University (SMU), majoring in Marketing and Organizational
Behavior. She was the President of the Indonesian Cultural Club in SMU
(SMUKI) and Assistant Producer of the Clubs biggest annual musical
production in 2007 and 2008, while being involved as the main cast and
dancer at the same time. She is an SMU Ambassador, and very much
interested in performing arts and psychology.

67

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

68

Ketika Dia Bilang


Gong Xi Fa Cai
Megawati Wijaya
Ni hao, anak laki-laki suku Zulu itu menyalami saya. Tangannya terulur,
ingin menjabat tangan saya. Usianya paling juga 12 tahun. Dia tersenyum
ramah, memamerkan deretan gigi yang putih seperti mutiara.
Saat itu, saya punya tiga pilihan.
Pertama, saya boleh saja menjabat balik tangannya, tersenyum sopan
dan menjawab salamnya dengan Ni hao.
Alternatif kedua, saya sempat berpikir untuk menjawab salamnya
dengan Konnichiwa.
Ini sekedar solider sesama orang Asia. Bukankan teman seperjalanan
saya yang orang Jepang pun sering dihujani dengan salam khas Tionghoa,
Ni hao?
Pilihan ketiga, saya ingin bercerita panjang lebar kepadanya bahwa
saya lebih merasa sebagai orang Indonesia daripada orang Tionghoa. Saya
memang keturunan Tionghoa, dan dalam nadi saya masih mengalir darah
Tionghoa. Tetapi sebagai generasi ketiga Tionghoa di Indonesia, rasarasanya saya sudah kehilangan jati diri sebagai seorang Tionghoa. Bahasa
Mandarin saya terpatah-patah, teman-teman saya kebanyakan orang
pribumi non-Tionghoa, dan saya sudah jelas lebih mencintai makanan
Indonesia yang pedasnya mantap, daripada makanan Cina yang menurut
saya sangat berminyak.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya saya memilih alternatif
pertama. Saya tersenyum dan bilang, Ni hao. Walaupun sangat tergoda
untuk memilih pilihan ketiga, saya sadar bahwa mengharapkan mereka
untuk membedakan orang Asia adalah hal yang amat sulit dan tidak

69

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


mungkin. Seperti halnya diri saya sendiri yang tidak bisa membedakan
orang asli Afrika Selatan dari orang Zimbabwe, orang Zambia dari
Mozambique, adalah hal yang lumrah bagi orang-orang Afrika Selatan
untuk mengelompokkan semua orang Asia yang mereka jumpai sebagai
orang Cina.
Afrika Selatan seperti layaknya negara-negara berkembang lainnya
dipenuhi dengan orang Cina perantauan. Berusaha mencari penghidupan
yang lebih baik di negara orang, mereka nekat meninggalkan tanah
kelahiran mereka menuju ke tempat yang keberadaannya hanya mereka
ketahui dari peta. Kadang modal yang mereka bawa hanyalah dua potong
kopor dan sepucuk kertas berisi nama dan alamat teman seperantauan
mereka yang sudah terlebih dahulu menetap di daerah tujuan.
Setidaknya itulah yang diceritakan oleh kakek nenek saya bagaimana
orang tua mereka datang dari Fujian ke Indonesia kira-kira seratus tahun
yang lalu.
Setelah setahun lebih belajar dan bekerja di Afrika Selatan, baru-baru
ini saya pulang ke Indonesia. Karena bertepatan dengan dekatnya
perayaan Imlek, suasana Tionghoa amat terasa. Pusat pertokoan dipenuhi
dengan nuansa warna merah menyala, lagu-lagu Mandarin diputar
berulang-ulang, dan tulisan-tulisan Cina mengucapkan selamat tahun baru
adalah santapan teratur baik di media massa dan di jalanan umum.
Terus terang saja, saya merasa takjub.
Musim memang sudah berganti, saya berpikir dalam hati.
Alangkah bedanya dengan suasana perayaan yang ada di dalam
memori saya. Saya ingat hal-hal yang berbau kultur Tionghoa harus
diadakan sediam-diam mungkin. Tidak seperti perayaan Imlek sekarang
ini yang digembor-gemborkan oleh paduan dari gelombang kebijakan
politik dan arus komersialisasi, dahulu tahun baru Imlek adalah private
affair yang suasananya jauh lebih sederhana dan syahdu.
Sesuatu yang sederhana memang tidak jelek, tetapi dengan adanya
tendensi-tendensi untuk menyembunyikan kultur Tionghoa menghasilkan
anak-anak keturunan seperti saya. Di luarnya berkulit kuning, bermata

70

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


sipit, tetapi di dalamnya Indonesia asli. Kalau ditanya di luar, saya tidak
pernah menyebut identitas yang lain selain bahwa saya orang Indonesia.
Dengan berbagai masalah yang datang silih berganti ke ibu pertiwi, saya
tetap bangga sebagai orang Indonesia.
Bangsa atau suku?
Bangsa dan suku, yang mana lebih penting? Antara pluralisme atau
nasionalisme, haruskah memilih salah satu?
Negara Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu suku adat pasti sudah
mengenal dilema ini. Bagi saya, ini memang persoalan yang tidak mudah.
Tetapi dibilang sulit juga, sebenarnya tidak terlalu. Berkaca kepada
sejarah, bukankan sudah banyak contoh yang bisa kita pelajari?
Mulai dari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, berbagai suku
di Indonesia telah berikrar bahwa mereka adalah satu. Menyampingkan
suku, bahasa, dan perbedaan, mereka berdiri dengan bangga sebagai satu
kesatuan bangsa dan negara, Indonesia.
Saya yakin saya tidak sendiri apabila saya berpendapat bahwa kaum
Tionghoa di Indonesia juga mempunyai nasionalisme yang tinggi. Sebagian
besar dari mereka seperti saya, lahir dan dibesarkan di tanah Indonesia.
Mereka tidak tahu lagi negara lain selain Indonesia. Mereka juga merasa
memiliki atas negara yang indah ini, dan punya cita-cita untuk
membangun Indonesia supaya lebih maju dan mampu berdiri tegak di
antara negara-negara di dunia.
Tetapi sebagai bangsa Indonesia keturunan Tionghoa, mereka juga
sepatutnya mengetahui dari mana asal mereka. Seperti kata pepatah,
Those who do not know their history, will be bound to repeat it. Mereka
berhak untuk mengetahui sejarah mereka.
Optimis? Tidak. Saya realistis.
Sewaktu asyik memilih pernak-pernik Imlek di Mal Mangga Dua,
seorang wanita penjaga toko terus mengamati saya. Ketika saya
membayar di kasir dan berjalan keluar, dia berkata, Terima kasih. Dan

71

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


gong xi fa cai.
Saya tersenyum. Hati saya bernyanyi senang.
Seperti yang saya pelajari dari Truth and Reconciliation antara kulit
putih dan kulit hitam di Afrika Selatan, semua proses rekonsiliasi dan
pembauran memang membutuhkan waktu yang panjang.
Saya mungkin tidak akan pernah melihat bagaimana seluruh bangsa
Indonesia bersatu total, berdiri untuk Indonesia.
Tapi saya percaya bahwa suatu saat nanti, anak cucu saya akan bisa
hidup pada zaman yang indah itu.
Saat ini, saya cukup puas dengan ucapan gong xi fa cai dari penjaga
toko di Mal Mangga Dua.
Artikel ini dimuat di edisi online Kompas, 20 April 2007.

MEGAWATI WIJAYA lahir di Ujung Pandang pada tahun 1980. Ia pernah


mengenyam pendidikan di National University of Singapore Business
School (Singapura), Lancester University Management School (Inggris),
dan Rhodes University School of Journalism and Media Studies (Afrika
Selatan). Megawati sekarang menetap di Singapura dan bekerja sebagai
jurnalis. Tulisannya sudah dimuat di berbagai media cetak dan situs di
Singapura, Indonesia, Afrika Selatan, dan Belanda. Ia dapat dihubungi
melalui megawati.wijaya@gmail.com.

72

Pentingnya Pengenalan Sejarah dalam


Memperkokoh Nasionalisme PemudaPemudi Indonesia di Era Globalisasi
Andi Soemarli Rasak
Manusia hidup di dalam batasan ruang dan waktu. Tiga dimensi ruang dan
satu dimensi waktu ini merupakan sumber daya yang manusia harus
kelola sebaik-baiknya dengan penuh bijaksana. Khususnya kita
memerlukan kepekaan yang tinggi dalam melihat dimensi waktu, karena
segala sesuatu dalam dimensi ruang berubah karena dimensi waktu yang
berjalan. Di dalam waktu ada proses, ada perubahan. Untuk memiliki
kepekaan akan waktu, kita perlu mengerti bagaimana sejarah berproses.
Dengan belajar sejarah, kita dapat membandingkan zaman yang satu
dengan zaman yang lain, keterkaitan antar zaman, dan juga penyebab
transisi di antara mereka.
Tidak ada zaman yang netral! Kita seringkali berasumsi bahwa kita
berada pada posisi yang netral. Sekali lagi, tidak ada zaman yang netral!
Tiap zaman memiliki arus masing-masing, zeitgeist (semangat zaman)
masing-masing, weltanschauung (wawasan hidup) masing-masing. Ketika
kita berasumsi bahwa kita netral, maka kita sebenarnya sedang dibawa
oleh arus zaman yang kita hidupi ini (dan tentu saja arus zaman ini belum
tentu baik). Dr. Stephen Tong, seorang teologian terkemuka, mengatakan:
Ikan hidup melawan arus. Jika kita hanya mengalir mengikuti arus, maka
sebenarnya kita sedang mati dibawa oleh arus zaman.
G.W.F. Hegel, seorang filsuf idealis Jerman abad 19, berkata:
Pelajaran yang manusia dapatkan dari sejarah adalah bahwa manusia
tidak pernah belajar dari sejarah. Kita perlu rendah hati untuk selalu
belajar dari sejarah, bukan untuk dikungkung oleh tradisi yang diwariskan

73

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


oleh sejarah, melainkan untuk berhati-hati agar tidak mengulang
kesalahan yang sama dan untuk maju di dalam perjalanan sejarah. Dengan
sikap yang demikian inilah, kita akan dapat melihat bahwa dalam zaman
yang terus berubah, ada nilai-nilai penting yang dapat kita pelajari.
Dengan demikian, ketika kita melihat ada era baru yang disebut globalisasi
di dalam perjalanan sejarah, kita bisa menghadapinya dengan badan yang
tegap dan mata yang menatap ke depan dengan optimis. Sebaliknya, tanpa
kita mengerti perjalanan sejarah, kita cenderung untuk jatuh ke salah satu
ekstrem yang sebenarnya telah dibuktikan gagal oleh sejarah. Dalam
artikel ini, nilai penting yang hendak saya kupas adalah nasionalisme.
Ir. Soekarno, presiden pertama kita, sebenarnya telah mengupas
banyak hal yang berharga tentang nasionalisme. Di salah satu pidato
beliau dalam buku yang berjudul Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno,
Bung Karno menjelaskan beberapa hal mendasar tentang konsep nation
atau bangsa. Beliau menjelaskan bahwa tiga syarat mutlak suatu negara
adalah batasan teritori yang tegas, adanya rakyat, dan adanya
pemerintahan pusat yang ditaati oleh seluruh rakyat yang berdiam di atas
teritori yang jelas terbatas itu.17 Mengutip Ernest Renan, Bung Karno juga
menjelaskan bahwa satu bangsa adalah satu jiwa, une nation est un ame.
Dan yang mengikat kumpulan manusia menjadi satu jiwa adalah: (1)
Keinginan yang kuat untuk hidup bersama (Le desir d'etre ensemble
Ernest Renan); (2) Satu persamaan karakter atau watak, yang timbul dari
persatuan pengalaman (Otto Bauer); dan (3) Satu kesatuan wilayah
geopolitik (Ir. Soekarno).18
Di atas dasar konsep nation ini, khususnya dari pemikiran Otto Bauer,
kita melihat bahwa salah satu yang menyebabkan jiwa nasionalis muncul
adalah persamaan nasib, persamaan pengalaman. Bangsa Indonesia
pernah bersama-sama jaya dalam kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, dan
juga pernah bersama-sama menderita beratus-ratus tahun dalam
penjajahan.
17

Ir. Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, hlm.150-151.


Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, hlm.156-168.

18Ir.

74

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Kembali di sini kita melihat pentingnya kita mengenal sejarah. Kita
yang lahir di akhir abad 20 tidak mengalami masa-masa kejayaan maupun
masa-masa sengsara tersebut. Bukankah tidak mungkin kita memiliki jiwa
nasionalisme yang kokoh jika kita tidak mengenal dengan jelas sejarah
bangsa kita? Terlebih lagi, bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural dan
multikultural. Jika pemuda-pemudi Indonesia yang plural ini tidak
memiliki pengenalan sejarah yang baik tentang bangsa Indonesia, jelas
perpecahan akan timbul. Penonjolan kesukuan atau agama akan
menimbulkan perpecahan.
Inti masalahnya adalah karena kita tidak merasa bahwa kita ini SATU.
Jika kita sungguh-sungguh mengasihi bangsa ini, kita harus banyak belajar
dari sejarahnya. Mari kita memiliki semangat yang sama seperti pemudapemudi Indonesia tahun 1928 yang memiliki semangat nasionalisme yang
patut dikagumi.
Coba bandingkan dengan pemuda-pemudi Indonesia saat ini yang
malas belajar sejarah, kerjaannya main Computer Games melulu tanpa
tujuan hidup. Hai pemuda-pemudi Indonesia, sadarlah bahwa Anda adalah
orang Indonesia! Sampai kapan Anda mau tidur? Kapan Anda sungguh
mempunyai jiwa Indonesia? Percuma kita ber-KTP Indonesia tanpa kita
mempunyai jiwa seorang Indonesia! Apa yang tidak kelihatan jauh lebih
penting dan esensial daripada yang kelihatan!19
Sekarang kita melihat arus zaman di mana kita hidup pada saat ini.
Era ini disebut orang era globalisasi. Disebut globalisasi karena dunia ini
sedang mengarah menjadi satu dunia yang global. Didukung oleh
kemajuan teknologi informasi dan transportasi, batasan-batasan wilayah
tidak lagi menjadi persoalan. Bangsa-bangsa yang dulunya cenderung
terisolasi satu sama lain atau yang hanya mempunyai wilayah kerjasama
dengan negara tetangga yang dekat, sekarang dapat berelasi ke seluruh
negara di dunia dengan mudahnya. Nah, di dalam zaman yang batasan
negara tidak lagi menjadi persoalan, apakah nasionalisme masih relevan?
Buat apa sih menonjolkan negara? Toh saya pindah-pindah terus
19Diparafrase

dari perkataan Paul dari Tarsus, II Korintus 4:18

75

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Indonesia-Singapura! Jangan fanatik sama negara sendiri lah! Apakah
jiwa nasionalisme menghambat globalisasi? Apakah arus globalisasi
mengancam eksistensi nations?
Menghadapi arus globalisasi ini, ada dua macam respons ekstrem
yang dapat diamati. Ekstrem pertama adalah mutlak terbawa arus
globalisasi dan mungkin bisa disebut menjadi disnationalist. Ekstrem
kedua adalah menutup diri karena curiga berlebihan terhadap globalisasi,
dan akhirnya menjadi chauvinist. Kedua ekstrem ini timbul karena alasan
yang sebenarnya wajar. Penganut ekstrem pertama melihat banyak hal
yang baik yang bisa didapat dari arus globalisasi. Penganut ekstrem kedua
melihat banyak hal yang baik yang dikhawatirkan akan terbuang jika
terbawa arus globalisasi. Tiap penganut mempunyai alasan yang baik. Tapi
orang yang bijaksana akan berkata: Adalah baik kalau engkau memegang
yang satu dan juga tidak melepas yang lain. 20 Lao Tzu (551-479 SM),
filsuf Taoist dari Cina, juga berkata: Ketika kamu berdiri dengan kedua
kakimu di atas tanah, keseimbanganmu akan tetap terjaga.21
Kepada kaum penganut ekstrem pertama, saya ingin mengingatkan
bahwa arus global bukanlah arus yang netral. Dalam globalisasi, ada
kecenderungan bahwa budaya yang dominan akan menentukan budayabudaya yang tidak terlalu dominan. Misal saja, budaya Amerika. Budaya
Amerika sangat mempengaruhi dunia. Yang tidak ikut trend Amerika
dianggap ketinggalan zaman. Hey, tolong Anda-Anda yang berpikir
demikian, pikirkan kembali pernyataan Anda! Anda sedang mengatakan
bahwa budaya yang dominan adalah budaya yang MUTLAK perlu diikuti!
Ingat, tidak ada budaya yang netral! Jika Anda menyerahkan pikiran Anda
untuk disetir dan dijajah oleh budaya yang dominan, maka Anda
sebenarnya adalah budak dari arus zaman! Tidakkah Anda menyadari
bahwa banyak budaya Indonesia yang jauh lebih agung dan mulia
dibandingkan budaya Amerika saat ini yang bagi pandangan saya makin
jatuh moralnya sampai ke tahap mirip binatang?
20King
21Lao

76

Solomon, Pengkhotbah 7:18


Tzu, Tao Te Ching ayat 13

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Bagi penganut ekstrem kedua, saya hendak mengingatkan bahwa
Anda sedang mengalami masalah psikologis yang umum, yaitu minder.
Secara psikologis saya pikir, seorang yang terlalu reaktif atau responsif
terhadap suatu stimulan, berarti jiwanya sedang bermasalah. Contoh lain
adalah ketika Anda sedang berdebat dengan seseorang. Jika Anda melihat
bahwa dia tidak sabar menjawab atau gelisah, berarti Anda sudah menang
satu langkah. Sifat responsif yang belebihan menandakan bahwa jiwanya
sedang gelisah dan dia sebenarnya merasa terpojok dengan argumentasi
Anda.
Prinsip yang sama berlaku dalam respons kita terhadap globalisasi.
Jika kita terlalu reaktif sehingga menutup diri dan memusuhi globalisasi,
maka sebenarnya kita belum mengerti identitas diri, alias minder.
Sadarlah bahwa nilai yang betul-betul baik yang kita miliki pasti tidak
akan terbawa arus zaman apapun, karena nilai kekal melebihi proses
perubahan. Kita dapat berkata: Silakan saja arus globalisasi menerjang
saya sekuat apapun, karena saya punya nilai yang kokoh yang tidak dapat
digoncang arus apapun! Inilah bedanya keyakinan yang fanatik dengan
keyakinan yang sesungguhnya. Orang yang yakin secara fanatik tanpa
pemahaman yang sesungguhnya akan berespons secara eksplosif
terhadap sesuatu yang dianggap mengancam eksistensi dia. Tapi orang
yang meyakini suatu ideologi karena pemahaman yang sungguh, akan
mengalami ketenangan dalam menghadapi ide-ide atau budaya luar yang
berbeda dengan yang dia miliki. Socrates berkata: Unexamined life is not
worth living. Begitu juga saya berkata: Unexamined ideas are not worth
living. Suatu ide akan terbukti benar setelah ide itu mengalami banyak
ujian. Jika ketika ide itu diuji dan malah timbul respons yang eksplosif,
berarti ide itu belum tahan uji atau orang itu menerima suatu ide dengan
membabi buta.
Jadi kita telah melihat bahwa kedua ekstrem ini adalah tidak
bijaksana. Dan apa yang saya ajukan sebagai solusi atau sintesis dari
kedua ekstrem ini adalah kalimat penuh bijaksana dari seorang filsuf
zaman Majapahit abad 14, Empu Tantular: Bhineka Tunggal Ika. Bhineka

77

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Tunggal Ika artinya kesatuan dalam keberbedaan, unity in diversity. Dunia
ini memang adalah satu kesatuan, karena penghuni utama dunia ini adalah
manusia. Tidak ada perbedaan esensial antara ras yang satu dengan yang
lain, bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Tidak ada yang berhak
mengklaim satu ras atau bangsa lebih tinggi dari yang lain, karena kita
semua adalah manusia. Tapi di dalam kesatuan kita sebagai manusia, ada
keragaman (diversity).
Kesatuan adalah dasar bagi keragaman, dan keragaman tidak
menjadi penghalang untuk persatuan. Di dalam kesatuan, tidak boleh yang
dominan menjajah yang minoritas. Di dalam keragaman, harus ada
pengikat yang mempersatukan untuk mencegah terjadinya kekacauan.
Dan pengikat yang mempersatukan itu adalah kasih. Kasihlah yang dapat
mengatasi keragaman, karena keragaman tanpa kasih akan menimbulkan
pertikaian. Confucius berkata: Orang agung dapat bersatu walaupun
berbeda pandangan, orang yang rendah tetap terpecah belah sekalipun
satu pandangan.22
Sebagai penutup, saya mengutip perkataan Ir. Soekarno tentang
hubungan nasionalisme dengan internasionalisme: Nasionalisme hanya
dapat tumbuh subur dalam taman sarinya internasionalisme Artinya,
tanpa internasionalisme, nasionalisme tidak dapat tumbuh subur. Dan
sebaliknya, tidak mungkin ada internasionalisme tanpa ada nasionalismenasionalisme di taman sari dunia ini. Biarlah melalui pengertian sejarah
yang melimpah, baik dari para pemikir agung dari Indonesia sendiri
maupun dari para pemikir dunia, kita dapat belajar prinsip-prinsip
penting yang dapat mengokohkan jiwa nasionalis dalam diri kita, menjadi
manusia Indonesia yang global.
Bagi kemuliaan Allah,
Andi Soemarli Rasak
4 Mei 2008

22Confucius,

78

The Analects of Confucius 2:14

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


ANDI SOEMARLI RASAK adalah seorang mahasiswa jurusan Electrical
and Electronic Engineering di Nanyang Technological University,
Singapura. Selain mendalami bidang elektronika, mahasiswa berkelahiran
tahun 1986 ini juga tertarik dengan bidang filsafat, teologi, politik, dan
agama-agama. Dia memiliki kerinduan untuk terjun ke dalam bidang
pendidikan, khususnya bagi remaja di Indonesia. Pada saat ini dia aktif
melayani sebagai pembimbing remaja di Gereja Reformed Injili Indonesia
di Singapura.

79

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

80

Yang Muda
Yang Tak Berdaya
Fitron Nur Ikhsan
Apa yang terjadi jika melihat seorang anak muda tampak tua, badan lusuh,
rambut tak tertata rapih dan hidupnya pun tak bergairah, hilang pula aura
mudanya; kurang menarik bukan? Sebaliknya orang yang sebenarnya
telah tua bisa saja tampak seakan-akan muda, dengan penampilannya
yang rapi, badannya bersih, wangi aroma parfum yang harum, rambut
tersisir rapi, dan terpancar semangat dalam dirinya yang menyala. Ia akan
tampak lebih menarik tentunya. Demikian pula dengan organisasi, baik
bisnis, sosial, politik atau pemerintahan. Ia bisa tampil muda, tua, bahkan
sakit, sehat atau mati sekalipun. Sama seperti makhluk lainnya. Karena
organisasi juga makhluk, sebab ia diisi oleh kita, manusia yang juga
makhluk (Rhenald Kasali:2006).
Indonesia sebagai organisasi pemerintahan bisa mengalami hal
serupa. Postulatnya sederhana, karena Indonesia sebagai sebuah state
diorganisasi oleh manusia (makhluk). Jika demikian, bagaimana performa
Indonesia kini? Yah Indonesia memang masih terbilang muda, dibanding
bangsa yang kedaulatannya telah mencapai ratusan tahun, namun ia
tampak begitu tua. Umurnya saja yang muda dalam rentang pendiriannya
sebagai negara merdeka, tapi semangat dan penampilannya tak
menyiratkan daya dan pesonanya. Jangan sampai keberadaan kita diakui
tetapi tak mampu merespon apa-apa: tubuhnya lemas, wajahnya lesu dan
pucat, tak ada tenaga, pakaiannya lusuh, tak ada aroma wewangian seperti
yang tercium pada orang-orang muda yang sehat. Ada, tetapi tidak
menyimpan harapan apa-apa. Pantainya yang masih perawan begitu
kusam, kotor dan tak terawat, gunungnya makin gundul, botak dan

81

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


menghawatirkan. Jalan-jalannya berlubang bagai gigi-gigi keropos yang
malu tersenyum. Transportasinya runyam, karena trayek yang tak
ditertibkan. Masih muda, namun tampak tua.
Complicated, runyam memang. Sulit untuk memulai dari mana memakeover wajah Indonesia secara radikal. Karena berbicara persoalan
perubahan tak lagi berpretensi untuk menyentuh bagian kerasnya (hard)
saja, tapi juga meliputi bagian-bagian lunaknya (soft). Bagian keras erat
dengan persoalan fisik yang sudah tak terurus, bagian lunak adalah sisi
sumber daya manusianya yang juga lama tak terperhatikan.
Penyakitan, tak banyak memberikan influence, karena ia sendiri
justru sumber masalahnya. Masih muda didera penyakit, uang banyak
habis untuk berobat. Baru membangun diterjang bencana: dari banjir,
puting beliung sampai korupsi yang menyerang hingga ke jantung
kepentingan publik. Pakaian wibawa birokrasi yang dipakainya bagai baju
kusam. Sudah lusuh, bolong pula kantongnya, hingga tak aman untuk
menyimpan anggaran publik; selalu saja bocor. Bangunannya juga rapuh,
baru dibangun tapi nyaris roboh. Bangunan baru tapi nampak tua.
Layaknya orang-orang tua didera keluhan akibat sakit payah yang diderita.
Maaf, penulis tak bermaksud mencaci apalagi menyesali. Kita
sungguh masih muda. Biar dianggap belum berpengalaman, tapi
seharusnya penuh obsesi. Kehilangan daya obsesi itulah masalahnya kini.
Tercerabutnya citra diri sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, dan hampir
tertanggalkannya baju kesuburan yang optimistis dan kemakmuran secara
bersamaan. Gairah pembangunan tak begitu tampak, obsesi merias diri
juga tak terlihat. Sehingga kita larut dalam usia tapi kehilangan masa-masa
strategis. Satu momentum tertinggal membuat sulit untuk bangkit.
Padahal waktu tak pernah toleran. Yang sudah terlewat tak berlaku surut
kembali. Tapi masih ada kesempatan. Aid Al-Qarni (penulis buku best
seller La Tahzan) benar, ketika beliau mengatakan, Yang lalu jangan
disesali; hari ini saja kita mulai berbenah diri. Menumbuhkan semangat
keberdayaan, harapan dan cita-cita masih mungkin digelorakan.
Masalah terbesar sebagai isyarat marabahaya adalah bukan karena

82

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


kita tak berhasil menemukan jalan keluar dari segudang masalah yang kita
hadapi, melainkan kegagalan mendalami masalahnya. Jika masalah kita
adalah ketertinggalan, maka semangat untuk bangkit menjadi sangat
penting.
Kita butuh tenaga sebagai daya gerak untuk berkejaran dengan
kemajuan. Sederhananya, jika tak berdaya kita butuh suplemen, energi
pembantu untuk memacu semangat berubah. Bentuknya variatif, bisa
motivasi, sadar akan tantangan, dan bisa jadi mimpi dan harapan. Akan
tetapi lokomotifnya tetap adalah para pemimpin. Kini banyak masalah
yang kita hadapi: dunia sudah berubah, tuntutan-tuntutan baru
bermunculan. Sehingga memang organisasi dan penampilan kita harus
cepat diubah dan manusianya juga. Ketika pikiran para pemenang di abad
ini sudah jauh ke depan, jangan sampai pikiran-pikiran sebagian besar
pemimpin kita masih di masa lalu. Ironisnya jika para pemimpin yang kita
percaya tak memiliki motivasi, tak sadar akan tantangan, dan miskin
harapan. Waktu-waktu kita justru menjadi jalan licin yang bisa menjadi
perangkap untuk terperosok dan makin jauh tertinggal.
Singapura, negara tetangga, telah jauh meninggalkan kita. Harapan
dan mimpi mereka jelas tertulis menjadi negara yang maju. Dan mimpi itu
diterjemahkan dalam operasional pembangunan yang jelas. Mereka
memiliki common platform sederhana menjadi negara gudang jasa.
Disiplin menjadi gaya hidup, arus transportasi kian membaik, dan itu
diperjuangkan secara konsisten. Bukan model pembangunan yang
mengikuti selera bisnis kelompok dan ambisi berkuasa segelintir orang.
Sedih, hari gini kita tak memiliki common platform. Kita sedang asyik
masyuk dengan romantisme kejayaan Indonesia milik moyang kita dulu
yang begitu melimpah ruah kekayaan; berjaya dan katanya sejahtera.
Padahal masa lalu hanya meninggalkan sejarah yang tidak secara otomatis
mewariskan kesejahteraan serta merta. Memang Indonesia alamnya
berjaya dan luar biasa, letak geografisnya strategis dan menguntungkan,
buminya mengandung aneka tambang yang kaya, pantainya bukan saja
indah tapi masih perawan, juga ada banyak resources yang tak dimiliki

83

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


banyak negara lain. Namun semuanya tak otomatis memiliki multiplier
effect yang significant, semuanya membutuhkan sentuhan dan kepiawaian
pengelolaannya. Jika tidak, kita hanya akan menerima dampak buruknya
saja.
Aneh, pemimpin kita tak pernah tegas memutuskan hendak menjadi
apa. Unggul dalam pertanian, bagaimana bisa terwujud? Industri,
pariwisata, pendidikan atau yang lainnya, bagaimana mencapainya?
Indonesia ibarat Pemuda yang tak pernah jelas mata pencahariannya
(pengangguran) untuk tak pantas menyebutnya Indonesia tua yang telah
pensiun dini untuk mensejahterakan masyarakatnya. Yang tersisa justru
utang negara yang harus di tanggung anak cucu kita. Sekali lagi, masih
muda tapi tak berdaya.
Syeikh Maktoum bin Rashid Al Maktoum, pemimpin Dubai, memberi
inspirasi bagi kita. Ia merenung, di negerinya tak hanya bermata air, tapi
juga kandungan minyak mentah yang luar biasa. Tapi ia tak terlambat
menyadari bahwa semuanya akan habis. Maka dengan kegigihan dan
kejelasan memandang masa depan, sadar akan kehidupan yang menua, ia
sulap Dubai yang dulunya hanya padang tandus menjadi trade center yang
diyakini tak akan pernah sepi. Dubai tua yang kini terlihat muda, dan
memesona. Kemajuan adalah masa depan yang jalan-jalannya tak pernah
tertutup untuk siapapun termasuk Indonesia. Tapi rute-rutenya harus kita
ciptakan sendiri. Jalannya memang panjang, akan tetapi harus kita tempuh.
Jangan pesimistis dengan anggapan bahwa pangkalnya jauh, ujungnya
belum tiba.
Kemajuan adalah visi yang harus bisa dilihat oleh mata para
pemimpin, karena ia jelas adanya. Ia juga bisa tak terlihat, sehingga
jangankan meraihnya, membayangkannya saja tak bisa. Masyarakat
berharap untuk itu. Tapi kadang pemimpin tak mampu melihatnya.
Meminjam klasifikasi yang dilakukan Rhenald Kasali, ada beberapa faktor
penyebabnya.
Pertama, mata para pemimpin yang dihalangi tabir kegelapan karena
tak adanya cahaya. Maksudnya tak ada pengetahuan sama sekali

84

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


tentangnya. Hendak dibawa ke mana Indonesia ini, arahnya, jalannya,
strateginya nyaris tak ada. Utamanya kini menyalakan cahaya, melalui
kebijakan partisipatif, melakukan pengayaan aspirasi warga, berharap
menyalakan cahaya bersama-sama.
Kedua, kemajuan tak terlihat di mata pemimpin justru karena terlalu
banyaknya cahaya. Kita terlena dengan romantisme kemajuan, wilayah
yang strategis, dan kaya akan potensi. Kemajuan menjadi sulit terwujud,
jika mata pemimpin malah silau dengan semuanya. Indonesia maju, itu
mimpi. Selalu menoleh ke belakang justru memungkinkan kita menabraknabrak realitas. Sadari juga bahwa SDA akan habis. Yang mungkin tersisa
justru bongkahan-bongkahan kerusakan alam. Recovery dan konsekuensi
yang harus ditanggung pun terlampau mahal. Besarnya investasi tanpa
reserve, minimnya political will dan keberpihakan akan menyudutkan
masyarakat di kursi belakang: gigit jari dan selanjutnya menjadi penonton
di negerinya sendiri, di tengah kemajuan menara gading yang bukan
miliknya. Lalu untuk apa?
Ketiga, kemajuan tak terlihat oleh pemimpin jika matanya
memandang dalam terowongan. Merasa besar karena tak pernah merasa
punya pesaing. Sama sekali tak pernah mampu mendefinisikan tantangan
yang ada di depannya. Ibarat katak dalam tempurung. Keluarlah dari
terowongan, karena kompetisi amat nyata di depan mata. Membela
kemajuan demi kesejahteraan harus dilakukan. Tempuh cara-cara baru,
buat kemungkinan-kemungkinan, inovasi dan wujudkan mimpi. Bergerak
cepat, sebab kini yang kita miliki memungkinkan sekali untuk diambil
orang. Pulau, hak cipta, kekayaan bahkan kesempatan sekalipun.
Kesejahteraan tak bisa ditunda; bukan ditunggu tapi diperjuangkan. Hasan
Al Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, mengatakan, Hari
ini tiada kata berhenti; sikap lamban berarti mati; yang bergerak dialah
yang di depan; berhenti sekalipun pasti tergilas.
Tampil menjadi Indonesia yang nampak muda nan perkasa.

85

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


FITRON NUR IKHSAN adalah Mahasiswa M.Sc. Strategic Studies S.
Rajaratnam School of International Studies (RSIS) NTU Singapore. Politisi
dan dosen salah satu Perguruan Tinggi swasta di Banten ini akan
menyelesaikan studinya pada akhir Juli 2008. Ia juga aktif menulis buku
dan opini di beberapa media cetak. Tulisan-tulisanya dapat dibaca di
www.fitronnurikhsan.com.

86

Accusations
on Democracy
Antony Simon
It has been 100 years of National Awakening; it has been 63 years of
National Independence, but the triumph is still far away from sight. The
struggle has taken too long, the people are tired, the people are hungry;
ironically, the leaders are never weary of their idealism. Perhaps, the
leaders have not found the right doctrine for this Republic yet. Perhaps
they need another 100 years to formulate the exact formula, so that
everything could work in the favor of the people as how a democratic
nation should begovernment of the people, from the people and for the
people.
National awakening that was hailed by Dr. Soetomo, Dr. Wahidin
Soedirohoesodo, and KI Hajar Dewantara needs to be adapted to the
modern Indonesia. It should be redefined. The world has changed and so
has Indonesia. Indonesia was once a colony but today Indonesia is an
independent nation. There is no more Jong Sumatra, Jong Celebes or Jong
Java, but what we have today is a unity.
However, it is a paradox of truth that what is united would separate.
The nation today is composed of political parties. Their fractions (the
elitists) speak in the name of people but in the interest of the party. Of
course, there is nothing wrong to do so; every political party has their own
noble ambition for the Republic. But before they reach their noble
ambition, they should strive to be the dominant. And in the realm of
democracy that praises egalitarianism, no individual would like to be
shirked off. Each fights for their ideals and eventually the betterment of
one party is at the expense of the others. The dominant rises, the rest

87

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


strive to tackle. When the dominant falls, the others rise, and the rest
challenge and so forth. As the cycle keeps on going, perhaps the politicians
are amused of this game that they forget the hungry ones. They indeed
have a noble intention, but they are just simply too busy seeking for power
to lead the Republic.
Hence, the struggles of the nation are deflected; they are not for the
people anymore, but for its political instrumentsgovernment institution.
Human is a free agent, in the social institutions of the society that
determine their behavior23. This writing therefore carries the accusations
of democracy that has influenced the work of the institutions in the
nationhood of the Republic. In the latter, I argue that the democracy in
Indonesia is premature.
***
Democracy has indeed been the stronghold of the rights of every
citizen. In fact, it is the very true purpose of the nation of being
independence. Under the flag of the Republic of Indonesia, regardless of
races, religions or tribes, all come together as oneBhinneka Tunggal Ika
is our national motto. Only by democracy, unity can be preserved.
Therefore, it is arguable that democracy is the only mean for unityOne
for all and all for one The Three Musketeers, Alexander Duma.
However, despite all the facts that democracy is essential for the
nation. Democracy in Indonesia is premature as it did not come at the
right moment. A democracy should come into a society with people who
are well educated and mature enough to raise his free speech for
struggle of the nation. Otherwise, the government is similar to playground
morning session where the children raise petty demand with no credibility.
Indonesians indeed achieved freedom. Howeverm, as I have
mentioned previously, the people are hungry. Perhaps, they are tired of
this long struggle that has never found its end. The struggle today is no

This is the structural functionalist point of view that ignores of human beings as
a thinking being. Of course, this is arguable but this concept is employed in line
with the idealist point of view.

23

88

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


longer peoples struggle. But, it is the struggle of the elitist. Perhaps, this is
a sort of division of labor.
However, it is clear that people could not fight for their rights if there
is no food to feed them. Hence, the freedom should not be at the frontline
of the struggle but the welfare of the people. Nevertheless, even in the
absence of welfare, the people could always outsource their political
aspiration to those elitists. And they will speak on the behalf of the
people. Perhaps, this is the usefulness of division of labor in democracy.
***
Democracy that is noble on its concept could be blamed for
unintentionally building the platform for corruptions. As how I have
mentioned before, the politician is so amused with the game of politics in
democracy. Perhaps, they are well aware that the game is a dirty one. It is
like mud wrestling, no matter how clean you wanted to be during the
game, you would always be dirty.
Electoral campaign for example, there is cost incurred for the
campaign. If the candidate does not campaign, the people would have few
information of the candidate. Hence, the candidate will never get elected,
as the people do not have sufficient confidence on him. The tricky part is
when the cost has been incurred for the campaign and the candidate is
elected; there should be a way that the chosen candidate offset the vast
amount of such expenses. The only practical source for compensation is
then the public treasury. There are pressures and temptations for such
compensationcorruption, maybe what the public used to address the
compensation; it is all the matter of the terminology of corruption. The
definition of corruption itself is conceptually fluid. Hence, this is why the
clean could get dirty and dirty could look clean. Regardless of this nave
perspective, corruption is well defined in the Republic.
Furthermore, the expenses that the person has incurred during the
campaign are for the sake of the people. Therefore, it is absolutely
reasonable, but it is a corruption. Notice that expenses were also not from
the candidates alone, but also from capitalists that expect return, of course.

89

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Therefore, it is clear that even the very fundamental features of democracy
could inflict corruptions. Hence, is it a myth or prophecy that the Era
Reformasi would annihilate corruption?
***
Other than corruption, the premature democracy that I previously
raised has chronic implications on the quality of leadership in Indonesia.
Democracy gives people too many expectations on the government after
the long hardship. The slogan of democracy by Abraham Lincoln
Government of the people, from the people and for the peopleindeed is
the true spirit of democracy
However, in a society that has poor education access. It is by being
populist is the essence of winning the heart of the people. Being a populist
would let the politician to be the leader of the people, from the people and
for the people. It is a sweet thing for being a populist leader, loved by the
people by fooling the peopleperhaps this explains that the love is blind.
It is fooling the people as they give what the people want today, with the
risk of prolonging the misery of the people with their populist policy, that
is. Instead of easing the trouble they complicate the problem.
In conclusion, democracy in Indonesia is arguably premature as the
people are not ready for such freedom that endowed the individual right
so much power in the nationhood of the Republic. As how Ben Parker24
said Great power comes with great responsibility. Hence, these are some
accusations on democracy. And hopefully, these would widen up our
horizon on democracy as the head start of the new National Awakening.

ANTONY SIMON is currently pursuing higher education at Singapore


Institute of Management (SIM) with London School of Economics as the
lead college for the University of Londons degree, BS. Management.
Actively involved in Indonesian student organizations: InSIM (Indonesian
in SIM) and Indonesian Students Association in Singapore (PPI Singapura).
24

Ben Parker is a character in Marvels comic, Spiderman.

90

Dengung Nasionalisme
di Tengah Pluralisme Global
Imam Kartasasmita
Tidak terasa sudah hampir 63 tahun berlalu sejak bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Namun rasa kebanggaan sebagai
bangsa Indonesia tampaknya semakin terpuruk. Hal ini sedikit
tergambarkan dari hasil poling di situs kompas.com, di mana dari 30.958
responden, 34% merasa bangga sebagai bangsa Indonesia dan 66%
menyatakan sebaliknya25. Meskipun poling ini menyimpulkan bahwa rasa
bangga sebagai bangsa Indonesia saat ini semakin langka, saya merasa
agak terhibur setelah membaca buah pemikiran beberapa teman saya di
sebuah forum komunikasi internal mahasiswa Indonesia NTU. Tulisantulisan mereka secara jelas menunjukkan bahwa masih ada orang yang
mengakui dan mau berbagi kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia.
Dalam sebuah seminar tentang nasionalisme di sebuah perguruan
tinggi di Indonesia, bermunculan pertanyaan-pertanyaan seperti Apakah
nasionalisme itu masih diperlukan? Apakah tujuan sebenarnya dari
nasionalisme? Dan mengapa nasionalisme masih digembor-gemborkan
jika benar ia sudah gagal? Serentetan pertanyaan anak-anak muda
terdidik ini, yang saya yakin bukanlah pertanyaan yang main-main,
tentunya mencerminkan betapa muaknya mereka terhadap segala hal
yang dikaitkan dengan nama "Indonesia".
Menurut mereka, Indonesia itu suatu kegagalan. Indonesia itu
sesuatu yang tidak patut untuk dipertahankan keberadaannya. Indonesia
itu sesuatu yang tak bermakna. Bisa dikatakan bahwa tidak sedikitpun
rasa kebanggaan terhadap Indonesia dimiliki oleh para pemuda ini. Tak
25

status polling pada tanggal 25/8/06 pukul 11.30

91

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


hanya itu, perasaan yang sama ternyata juga dialami oleh para pemuda
yang berada di pedesaan. Ratusan ribu anak-anak muda desa ini nekat
keluar Indonesia dan menjadi tenaga kasar di negara-negara asing.
Meskipun mereka dianiaya di sana, tidak menyurutkan minat mereka
untuk secara ilegal menjadi tenaga kerja kasar di negeri orang.
Anda mungkin pernah mendengar kata-kata legendaris Presiden John
F. Kennedy, Jangan bertanya apa yang dapat diberikan negara kepadamu,
tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada negara ini.
Mungkin pernyataan ini begitu sulit untuk diterima oleh mereka, karena
dalam benak mereka, justru merekalah yang seharusnya bertanya, Apa
yang negara telah berikan kepada kami? Apa yang Indonesia telah berikan
kepada kami sehingga kami harus rela dianiaya dan menjadi tenaga kerja
kasar di negeri orangnegeri-negeri yang mampu menghidupi kami?
Menurut mereka, lebih baik menjadi tenaga kasar di negeri orang daripada
menjadi guru besar di Indonesia. Seorang guru besar di Indonesia digaji
Rp 2,5 juta per bulan, sedangkan kami, para pembantu rumah tangga di
negeri orang, digaji Rp 4 jutaRp 5 juta per bulan.
Lebih baik hujan emas di negeri orang daripada hujan batu di negeri
sendiri. Jadi, apa gunanya menjadi orang Indonesia?
Nasionalisme dan nasionalisme sempit
Sudah tidak dipungkiri bahwa kita adalah bangsa yang memiliki
kekayaan alam yang begitu banyak, tanah yang begitu subur, hasil laut
yang begitu melimpah. Koes Plus menggambarkannya melalui lagu mereka
yang nukilan liriknya sebagai berikut.
bukan lautan hanya kolam susu
kail dan jala cukup menghidupimu
tiada badai tiada topan kau temui
ikan dan udang menghampiri dirimu
orang bilang tanah kita tanah surga
tongkat kayu dan batu jadi tanaman

92

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Tidak berhenti di situ saja, bangsa kita pun memiliki banyak sumber
daya manusia yang cerdas dan memiliki keunggulan yang beraneka ragam.
Bangsa kita telah berulang kali mendulang prestasi di berbagai kejuaraan
Internasional seperti IPhO, Thomas & Uber Cup, Google Code Jam26 dan
segudang prestasi lainnya. Semuanya itu sudah seharusnya menjadi
kebanggaan kita.
Di sisi yang ekstrim, rasa nasionalisme kita kadang berubah menjadi
rasa superioritas yang berlebihan. Karena keunggulan-keunggulan yang
kita miliki, batasan nasionalisme kita menjadi sempit. Sebagai contoh, kita
merasa bangga kalau timnas kita mempercundangi timnas negara lain, kita
merasa bangga kalau pendapatan per kapita negara kita lebih tinggi dari
negara lain, atau kita merasa bangga kalau anak-anak bangsa kita
mendulang prestasi di skala dunia.
Di sini saya menggunakan kata bangga, bukan sombong. Memang
tidak ada yang salah dengan rasa bangga itu sendiri, namun yang salah itu
adalah objek dari rasa kebanggaan yang kita miliki. Pertanyaannya adalah,
apakah nasionalisme hanya sesempit itu. Apakah kita bisa bangga dengan
anak-anak muda yang bekerja sebagai tenaga kasar di negeri orang?
Apakah kita bisa bangga dengan orang-orang tua yang dengan peluh
keringat membajak sawah? Apakah kita bisa bangga dengan para nelayan
yang rela meninggalkan keluarganya demi menghidupi keluarga mereka?
Apakah kita bisa bangga dengan para pemulung yang setiap hari
mengorek-ngorek tempat sampah demi mencari sesuatu yang bisa mereka
makan?
Saya pribadi merasa bangga kepada mereka semua: petani, nelayan,
pembantu, bahkan pemulung. Pekerjaan mereka sama mulianya dengan
guru, dokter, usahawan, pejabat, bahkan presiden. Dalam
kesederhanaannya mereka masih dapat merasakan kebahagiaankebahagiaan yang bukan sekedar diukur berdasarkan kekayaan materi
ataupun kepandaian. Kebahagiaan yang mereka rasakan ada di dalam hati
Sebuah ajang kompetisi pemrograman computer yang diadakan oleh Google.
Info lebih detail: google.com/codejam.

26

93

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


mereka, yaitu kebahagiaan sebagai rakyat yang terlahir di bumi Indonesia
ini.
Seorang anak tidak pernah menyesal memiliki ayah yang miskin. Apa
yang seorang anak inginkan hanyalah kasih sayang dan keadilan dari sang
ayah. Walaupun ayahnya hanya seorang pemulung, ia akan tetap bangga
kepada ayahnya. Demikian juga kita sebagai bangsa Indonesia. Walaupun
negara tidak sanggup mencukupi kebutuhan kita, asalkan negara
menegakkan keadilan dan mengasihi rakyatnya, itu rasanya sudah cukup.
Nasionalisme yang Ideal
Kalau begitu, nasionalisme seperti apa yang seharusnya kita miliki?
Nasionalisme adalah suatu ikatan yang mempersatukan sekelompok
manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai satu bangsa. Kita semua
sebagai bangsa Indonesia adalah satu kesatuan dalam tubuh, tubuh yang
tidak hanya terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Orang
Jawa, Aceh, Batak, Tionghoa, Ambon, Papua, Bali, Dayak, Toraja, dan sukusuku lainnya dalam keanekaragaman etnis, bahasa, dan agama mereka
adalah anggota tubuh yang menyusun keseluruhan tubuh kita, yaitu
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Andaikata kaki berkata, Karena aku bukan tangan, aku tidak
termasuk tubuh, benarkah ia tidak termasuk tubuh? Demikian pula mata
tidak dapat berkata kepada tangan, Aku tidak membutuhkan engkau.
Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki, Aku tidak membutuhkan
engkau. Kita semua adalah satu kesatuan. Jadi jika satu anggota
menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati,
semua anggota turut bersukacita. Sudah seharusnya anggota yang berbeda
saling memperhatikan dan saling mengasihi supaya tidak terjadi
perpecahan dalam tubuh. Namun seringkali perpecahan terjadi akibat
adanya salah satu bagian tubuh Indonesia menonjolkan kesukuan atau
agama mereka dan menolak untuk hidup harmonis dalam satu kesatuan.
Itulah yang terjadi di Poso, Sampit, Papua, dan beberapa wilayah
Indonesia lainnya.

94

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Sebuah survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang diselenggarakan
di Aceh melontarkan pertanyaan berikut: Apakah ibu/bapak lebih merasa
sebagai orang dari suku-bangsa asal seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang,
dll., lebih sebagai orang dari agama tertentu (Islam, Kristen, dll.), atau
lebih merasa sebagai orang Indonesia? Perumus pertanyaan tersebut
sedang membandingkan antara identitas etnik, religius dan ideologis.
Hasil survey LSI mengatakan bahwa orang Aceh lebih bangga menjadi
orang Indonesia daripada seorang muslim atau Aceh. Dengan lain kata,
keindonesiaan (identitas ideologis) telah melampaui keislaman (identitas
religiusitas) dan keacehan (identitas etnis). Dalam keanekaragaman etnis,
agama, bahasa, dan budaya, mereka merasa bangga sebagai satu kesatuan
bangsa Indonesia. Menurut saya, itulah Bhinneka Tunggal Ika yang sejati.
Logika yang sama berlaku untuk internasionalisme. Seperti suku
Dayak yang adalah anggota tubuh dari bangsa Indonesia, demikian pula
bangsa Indonesia adalah anggota tubuh dari dunia. Seperti kata bung
Karno, Nasionalisme hanya dapat tumbuh subur dalam taman sarinya
internasionalisme. Ketika kita menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia,
kita tidak boleh menganggap remeh apalagi membenci bangsa lain.
Seringkali di era globalisasi ini, kita mengalami krisis identitas nasional.
Krisis ini ditunjukkan dengan munculnya golongan fundamentalis di
Indonesia, ini terjadi akibat sebagian masyarakat yang takut kehilangan
jati diri mereka, mereka takut terbawa arus globalisasi, atau dengan kata
lain mereka takut di-amerikakan.
Kita seharusnya tidak perlu takut akan pluralisme global karena
secara fakta bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang pluralkita
terdiri dari berbagai macam suku bangsa, berbagai agama, berbagai
budaya, berbagai bahasa, dan berbagai golongan. Bangsa kita sebenarnya
adalah miniatur dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketika suku Jawa
berinteraksi dengan suku Batak, Minang atau Madura, sebenarnya mereka
sedang menghadapi globalisasi dalam lingkup yang lebih kecil.
Globalisasi bukanlah musuh yang harus ditakuti tapi yang penting
adalah bagaimana membina hubungan antara global dan lokal, antara kaya

95

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


dan miskin, dan antara kaum mayoritas dan minoritas supaya
keharmonisan bisa terwujud. Namun yang terjadi di Indonesia adalah
sebaliknya. Keharmonisan itu seakan-akan menjadi hal yang sangat sulit
untuk diwujudkan. Akibatnya, yang muncul adalah kebencian, baik
kebencian antarsuku, antaragama, dan antargolongan.
Sebuah Renungan
Mari kita lihat kasus Sampit, Poso dan Ambon. Sebenarnya musuh
orang Dayak bukanlah orang Madura, musuh etnis Thionghoa bukanlah
etnis Jawa, dan musuh orang Islam bukanlah orang Kristen. Pada dasarnya,
musuh kita bersama adalah kebencian di dalam hati kita masing-masing,
kebencian yang sudah ditanamkan oleh penjajah Belanda untuk memecah
belah kita.
Baiknya kita merenung: apakah kebencian yang ditanamkan itu
sudah mengakar begitu kuat dalam diri kita? Nasionalisme kita harus
melampaui keterbatasan suku, agama dan golongan, dan kita harus
bersikap global dalam memandang keanekaragaman yang ada di
Indonesia ini. Hanya ada dua unsur yang bisa mengubah Indonesia, yaitu
unsur yang menyatukan (kasih) dan unsur yang menceraikan (benci).
Mana yang akan kita pilih, itulah yang akan mengubah masa depan kita.
Masih ada harapan untuk bangsa ini. Hidup Indonesia!

IMAM KARTASASMITA adalah mahasiswa tingkat akhir Ilmu Komputer


di Nanyang Technological University. Pria kelahiran 6 Mei 1986 ini
memiliki minat tinggi terhadap berbagai hal, termasuk perkembangan
komunitas open source. Berbagai tulisannya, yang umumnya bertema
nasionalisme atau teknologi informasi (IT), tertuang rapi di situs blog
pribadi beliau: imambenjol.blogspot.com.

96

Nasionalisme dalam
Tragedi dan Lapangan Hijau
Hasyim Widhiarto
Mei 1960, Chile luluh lantak. Negara dengan bentuk geografis pipih
memanjang ini mengalami kehancuran yang parah setelah disapu gempa
berkekuatan 8,5 skala Richter. Dua juta rumah hancur dan sekitar 6 ribu
nyawa melayang. Padahal, Chile tengah dalam persaingan menjadi tuan
rumah Piala Dunia, event olahraga paling akbar di dunia.
Seharusnya FIFA, Federasi Sepakbola Internasional, tidak perlu ambil
risiko dengan tetap mengikutsertakan Chile dalam pencalonan. Namun
sejarah berkata lain; adalah Carlos Dittborn yang akhirnya membuat FIFA
menyetujui Chile menjadi tuan rumah Piala Dunia 1962. Di depan Kongres
FIFA, Ketua Federasi Sepakbola Chile itu mengakhiri pidatonya yang
menyentuh dengan berkata, "Kami telah kehilangan segalanya, dan inilah
alasan paling tepat mengapa kami perlu bangkit dengan segala
kemampuan kami".
Dittborn dan pemerintahnya benar-benar membuktikan itu. Dalam
tempo dua tahun Chile berupaya memulihkan kembali ibukota Santiago
sebagai kota metropolis. Stadion-stadion yang dibutuhkan berdiri tegak,
bersama sarana dan infrastruktur yang lain. Negara-negara lain akhirnya
juga tidak segan mengulurkan bantuan yang dibutuhkan. Chile pun siap
menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Seketika, aura Piala Dunia juga menjadi semangat tersendiri bagi
rakyat Chile. Dengan penuh kecintaan mereka mendukung tim
nasionalnya yang juga turut berlaga. Yang paling penting, kepedihan
akibat bencana dua tahun sebelumnya seakan sirna. Semuanya
bersukacita saat bola bergulir di lapangan hijau. Tidak ada lagi diri sendiri,

97

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


yang ada adalah satu Chilean, bangsa Chile. Masyarakat yang sempat
diramalkan akan terpuruk untuk beberapa dekade ternyata mengalami
titik balik yang menakjubkan karena Piala Dunia. Luar biasanya lagi, Chile
berhasil meraih tempat ketiga setelah mengalahkan raksasa sepakbola
Italia dan Uni Soviet.
Kisah Chile adalah sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana
tragedi dan olahraga mampu mengingatkan orang akan tanah airnya.
Gempa di Chile tentunya menyayatkan luka di hati setiap rakyat Chile.
Mereka menghadapi kenyataan bahwa negara mereka hampir ambruk dan
ribuan saudara mereka tewas. Namun, kehancuran akibat tragedi ini
ternyata tidak diratapi terus-terusan. Rakyat dan pemerintah Chile
dihujani semangat baru untuk membangun kembali negaranya. Tidak bisa
dipungkiri, kebanggaan sebagai tuan rumah Piala Dunia memberikan
pengaruh sangat besar dalam hal ini.
Tanah air menawarkan tempat untuk pulang buat mereka yang
asanya terjerembab karena tragedi. Sedangkan olahraga menjadikan tanah
air serasa rumah, ada mimpi dan harapan baru di sana. Saya pun jadi
berpikir apakah Indonesia kini hanya bisa dipersatukan lewat jalan yang
demikian.
Desember 2004, lihatlah betapa bersatunya negeri ini saat Aceh
dihantam tsunami. Pertolongan datang dari seluruh penjuru negeri.
Bantuan dihimpun sampai setiap sudut pemukiman. Sukarelawan tiba
silih berganti. Lihatlah perhatian yang diberikan. Sungguh luar biasa,
seakan-akan melupakan fakta bahwa ada bara separatisme yang
tersimpan di sana. Yang jauh lebih penting, semuanya merasa harus
menolong saudara sebangsa.
Dan jangan lupa, saksikan betapa heroiknya suasana laga tim
sepakbola nasional kita di Piala Asia pada Juli 2007 lalu. Puluhan ribu
orang mengumandangkan Indonesia Raya di tribun Gelora Bung Karno
tanpa ada yang mengomando. Puluhan ribu lainnya tertahan di gerbang
dan sempat kecewa karena tidak berkesempatan memberi dukungan.
Sementara itu, jutaan pasang mata menonton televisi sambil berdoa

98

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


sungguh-sungguh dan setulus-tulusnya untuk kejayaan Indonesia.
Segenap pasukan Merah Putih di lapangan hijau juga terus berjuang
seakan paham mereka didukung oleh seluruh negeri.
Aceh memang belum sepenuhnya pulih dan PSSI harus kecewa
karena timnas gagal menembus babak perempat final. Namun dua
peristiwa tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia ternyata masih
mencintai negaranya dengan sungguh-sungguh.
Tapi sayangnya, daftar alasan untuk meninabobokan rasa
nasionalisme itu ternyata jauh lebih panjang. Segera setelah gaung Piala
Asia berakhir, bendera perseteruan antar suporter klub-klub lokal
dikibarkan kembali. Pertandingan sepakbola kerap berujung rusuh dan
perkelahian. Nasionalisme yang sempat berkobar luruh kembali menjadi
fanatisme primordial.
Demikian pula ketika simpati pada Aceh mulai mendekati titik nadir,
masyarakat harus berkutat lagi dengan permasalahan sehari-hari. Minyak
goreng langka dan mahal, minyak tanah hilang dari pasaran. Biaya sekolah
menjerat leher, sementara pendapatan makin tak sebanding dengan harga
kebutuhan dasar yang perlu dicukupi. Akhirnya, kebutuhan mengisi perut
mengalahkan rasa hormat terhadap pemerintah.
Itu baru masalah ekonomi. Dalam bidang politik, para elite tak
kunjung menjadi suri tauladan buat masyarakatnya. Partai-partai politik
berubah menjadi sarana penyaluran hasrat berkuasa. Tengoklah, miliaran
rupiah dihamburkan untuk memenangi pemilu dan pilkada. Visi dan
ideologi partai pun akhirnya berubah laiknya barang dagangan saja.
Keduanya dikemas dan dipromosikan semenarik mungkin, tapi bahanbahan (substansi) dan efek sampingnya (konsekuensi) dikaburkan. Ada
yang yang mengaku nasionalis tapi malah melakukan privatisasi. Ada yang
mengaku mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, tapi rivalitas
internalnya tak kunjung berakhir. Lebih parah lagi, ada yang mengaku
mendukung pemerintah, tapi juga terang-terangan bermesraan dengan
oposisi.
Daftar tersebut masih bertambah panjang kalau mau menambahkan

99

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


soal kecelakaan transportasi, korupsi, kemiskinan, kriminalitas, tayangan
televisi, dan seterusnya. Ah, sudahlah, gara-gara ini saya pun kadang
mempertanyakan apakah saya bangga punya KTP Indonesia.
Lantas, kemana jutaan orang yang sempat sama-sama bersimpati
untuk Aceh? Di mana kini jutaan orang yang dadanya bergemuruh saat
Bambang Pamungkas menceploskan gol ke gawang Bahrain? Lenyapkah
mereka?
Tidak! Saya yakin mereka masih ada.
Lihatlah cermin dan Anda akan melihat salah satu dari mereka.
Tengoklah siapapun di sebelah Anda, itulah mereka. Cermatilah orangorang yang berlalu lalang di hadapan Anda, itulah mereka. Orang-orang itu
akan selalu ada, namun dengan nasionalisme yang tertidur. Menunggu
untuk dibangunkan.
Tapi tentu tak ada yang mau mengharap datangnya bencana hanya
untuk membangunkan nasionalisme. Persis, sebagaimana kita tidak bisa
terus berharap masyarakat terus bangga pada prestasi olahraga kita yang
semenjana. Masing-masing kita harus menemukan alasannya sendiri
untuk mencintai Indonesia.

HASYIM WIDHIARTO, Mahasiswa Berprestasi Universitas Indonesia dan


Nasional 2007, sebelum mengakhiri studi S1 di Departemen Ilmu
Komunikasi UI, berkesempatan mendalami bidang yang sama di Nanyang
Technological University Singapura dengan beasiswa dari Temasek
Foundation, Januari - Mei 2008. Jatuh cinta pada kajian media, komunikasi
politik, retorika, dan riset media massa. Dapat dihubungi di
hasyim_widhiarto@yahoo.com.

100

Dear, Can We Have More


Susi Susanti? Please
Benny Pandowo
Every time I played badminton, people would ask me which country do
you come from? Without fail, my answerIndonesia, naturallywould
generate a similar response No wonder you are from Indonesia. You play
badminton so well. And I would just laugh.
I am not shocked at all to hear that statement. Indonesia has been
associated with the very top end of badminton superpower, maybe just
like Brazil with soccer. We produce some of the finest badminton players
this world has ever seen. We have Rudy Hartono, Icuk Sugiarto, Heryanto
Arby, Susi Susanti, and Taufik Hidayat, just to name a few. We have
produced, probably the greatest mens doubles of all time, Ricky
Subagdja/Rexy Mainaky (who is the coach of Malaysians mens doubles at
the moment). Ironically, we are also the top exporters of badminton
players, and our players become the top of their new country. We all know
Mia Audina did very well in The Netherlands.
It is still very fresh in my mind, 12 years ago, when my family
watched Thomas and Uber cup together. We watched with our very own
eyes how players like Joko Suprianto, Heryanto Arby, and Allan Budi
Kusuma, and definitely our very own Ricky/Rexy helped Indonesia to win
Thomas Cup. In the female side, players like Susi Susanti, Mia Audina, and
Yuliani Santoso triumphed as well to win the Uber Cup. During the match,
my mother constantly reminded us, the children, to pray so that Indonesia
will win. After Indonesian team won both Thomas and Uber cup, we
literally jumped in joy. We had made it! I cannot describe the feeling, it is
just so extraordinary. Oh My God!

101

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


When I came to Singapore in 2004, Athens Olympics was held. My
Indonesian friends and I watched the Olympics together, and we were so
thrilled. We shouted like crazy until the security guard came to us and
reminded us to lower down our voice. He then asked us Did Taufik win? I
was so amazed with the fact that non-Indonesians also knew about Taufik
Hidayat, the one who won gold medal at Athens Olympics. After Taufik
won the medal by beating Thailands Boonsak Ponsana 15-9 15-12, we, a
group of Indonesian students in Singapore, shouted happily. People say,
when you are in foreign countries other than Indonesia, your patriotism
drops to almost negligible. That is not true, not at all. We are Indonesians,
and we are behind Taufik, all the way.
Call me hopeless nostalgic, but hey, we all love to think about past
glory, dont we? However, please make sure that we go back down to earth
again after that fantastic feeling of past glory. Our badminton is at the
downturn at the moment. At the mens side, we can still claim that we are
amongst the top of the world (although we are not as dominant as we used
to be). However, in the womens side, we are no longer there. With none of
our womens singles or womens doubles in the top 10 of the current
ranking, we are way behind China, South Korea, or even Singapore. Every
time our womens singles are against players from China, I know it is going
to be David versus Goliath. However, for this case, Goliath winsby far.
During my free time, I sometimes visit a badminton forum on the
internet, and I read some comments there. I happen to agree with one of
the comments saying Out of more than 100 million of women in
Indonesia, I could not buy the idea that there is no one who has the skills
comparable to that of Susi Susanti. I agree! Well, we all know, some
people are just genetically talented like her, but I could not believe the idea
that we could not produce another Susi Susanti, while our long-time rival
China can produce not one, not two, but more than five Ye Zhaoying (Susis
rival at that time). I just cannot buy into that idea!
In mens doubles, we have always dominated the top of the rankings,
and we always dominate the finals of every tournament in the past. We

102

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


have Ricky/Rexy, Chandra Wijaya/Sigit Budiarto to top the list. However,
as All England 2008 has just finished, we could not even enter the semifinals, not one pair. Both Markis Kido/Hendra Setiawan and Luluk
Hadiyanto/Alvent Chandra both could not do much, not to mention
winning the title. I find it amusing that a country that has been dominating
the mens doubles for tens of years could not even enter the semi-finals.
There must be something wrong. Yes, it is easy to realize Gosh, there must
be something wrongand that is the first step to find the solution.
I am here not to finger-point anyone, I have neither the expertise nor
the authority to do that. However, I just want to say, I love this country,
and with the current condition of its badminton, my heart is crying. I want
my Susi Susanti back, I want my Heryanto Arby back! Not one Susi, not two,
more of her!
Ironically, even when Susi Susanti was asked whether she will train
her children to be future badminton players, she said that it would be up
to them, but she agreed that there is little assurance from government or
private sectors for retiree athletes. It is like, we pay you when you can
produce result; after you are finished, we do not need you anymore, and
you can leave. I am not here to argue whether it is right or wrong, I just
feel sorry for the athletes, are they really not needed anymore?
I do not expect the government to fork out more money for sports. To
be very realistic, there are many things more urgent than sports, like food,
petrol, basic education, and healthcare just to mention a few. Therefore,
asking for higher budgets for sports is like asking for ice cream if our
parents could not even afford to buy rice.
However, given the condition in our sports with very little assurance
after one is retired from sports, we could not expect many people to
choose sports as their career choice. They would prefer to go the
mainstream ways than to risk their life to become an athlete. If everybody
thinks like that, we can be sure that the next Susi Susanti or Heryanto Arby
will not appear, at least not very soon.
Yes, we know soccer players like David Beckham or Cristiano

103

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Ronaldo who earns more from his commercials than from his soccer
playing. Tennis players like Maria Sharapova and Anna Kournikova are
just among a few who are blessed with exceptional tennis skills and
exceptional physical beauty as well. They make millions from tennis, but
everyone knows, they make more from commercials than tennis.
Manchester United, Real Madrid, and Chelsea are amongst soccer giants
who make millions of dollars selling merchandises like jerseys, stickers,
and soccer balls. If they can do that, why cant we?
We are among the best in the world, but why Taufik Hidayat, Chandra
Wijaya, Lilyana Natsir or Nova Widianto do not even earn 1/10 as much?
Why cant those superb players manage to get commercial contract?
My answer: because there are no marketing efforts. No matter how
great the product is, if there are no marketing efforts, people will not know.
If people do not know, they will not buy.
If you meet David Beckham, maybe you will shout in disbelief. If you
have a camera with you, you will beg him to take photos with you. If you
happen to bring paper and pen, you will ask him to give his autograph. You
will tell all your friends excitedly Hey, I bet you wont believe who I have
just met. David Beckham!!
However, when we meet Lilyana Natsir or Chandra Wijaya, unless we
are badminton lovers, we usually do not know them. I put Taufik Hidayats
picture as my MSN display picture, and one of my Indonesian friends did
not recognise who the guy in the picture is. It is quite sad I think that
Taufik Hidayat who won gold medal for Indonesia in Athens 2004
Olympics is less famous than David Beckham, Ronaldinho, or Cristiano
Ronaldo; not to mention his income which is much less than those guys.
What if companies recruit players like Taufik Hidayat, Sony Dwi
Kuncoro, Lilyana Natsir, Greysia Polii, Chandra Wijaya to be their
spokespersons? We are not only talking about sports attire here. We are
talking about health supplement, car, cosmetics, food, or anything. If
Christian Sugiono or Krisdayanti can be their spokespersons, why cant
Taufik, Chandra, or Sony be like them? I remember one watch commercial

104

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


which says XYZs choice. (XYZ is a well-known sport personality). Why
dont we have Taufik, Chandra, or Sony wear that watch and pose with a
statement Taufiks choice, Chandras choice or Sonys choice? It is so
cool, isnt it?
If more badminton players become more well-known, that will
increase peoples excitement with badminton in general, more companies
are more willing to invest their marketing budget in this sport (or sports
in general), and PBSI (Indonesian Badminton Association) can get more
financial support from the private sectors. That is a win-win-win solution
for all parties, the companies, PBSI, and the athletes who get the endorsing
assignment! Isnt that great?
However, everything needs time. NIKE did not become famous
overnight, and neither did David Beckham or Maria Sharapova. However,
with the support of PBSI, government, and private sectors, badminton can
be more attractive, and it can attract more people to choose it as a career.
If everything goes well, it is not impossible the next Susi Susanti will be
born soon, and Indonesia will once again, dominate the worlds badminton.
And I will again, watch Thomas and Uber Cup with some friends, and we
will shout again happily after we bring back Thomas and Uber Cup to
Indonesia. Am I asking too much? Say no please.

BENNY PANDOWO is currently at his final year study at Nanyang


Technological University Singapore. He is the former captain of Indonesian
badminton team in his campus. He writes for his campus newspaper,
serves as Chief-Editor of an online forum, and as the author of his own
blog http://energizingmyday.blogspot.com/. He can be reached at
pan.benny@yahoo.com.

105

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

106

Untaian Kata Seorang


Penata Laksana Rumah Tangga
Muzalimah Suradi
Perkenalan Seputar PLRT Indonesia
Sebutan PLRT atau Penata Laksana Rumah Tangga adalah julukan
bagi tenaga kerja wanita yang bekerja dalam ruang lingkup rumah tangga,
khususnya bagi yang bekerja di luar negeri. Sebutan ini diperkenalkan
oleh KBRI pada tahun 2000-an dan sudah populer digunakan oleh
kalangan masyarakat Indonesia di Singapura. Sebutan dan makna dari
PLRT lebih halus digunakan daripada sebutan pembantu rumah tangga.
TKI atau Tenaga Kerja Indonesia adalah penyumbang devisa negara
Indonesia terbesar kedua setelah ekspor migas. Karena PLRT bagian
daripada TKI, maka sudah menjadi lumrah jika PLRT dijuluki juga sebagai
pahlawan devisa. Sebagai seorang pahlawan devisa, tentunya PLRT juga
memberikan pengorbanan yang amatlah besar. Pengorbanan terbesar
adalah meninggalkan keluarga, sanak saudara, dan negara tercinta. Selama
ini sudah tercatat lebih dari seratus jiwa PLRT kita yang meninggal dunia
di Singapura, entah itu disebabkan oleh kecelakaan kerja ataupun bunuh
diri. Angka resmi PLRT yang meninggal dunia di Singapura bisa dirujuk ke
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura (KBRI Singapura).
Saat ini Singapura mempunyai PLRT asing kurang lebih 160 ribu
orang. Selain dari Indonesia, mereka juga didatangkan dari Filipina,
Myanmar, Sri Lanka, India, Nepal, dan bahkan Thailand. Jika angka ini
dihitung dengan perbandingan jumlah penduduk Singapura yang kurang
lebih lima juta orang, maka Singapura adalah negara yang menduduki
ranking nomor satu di dunia dalam mengimpor PLRT asing.
Jumlah PLRT Indonesia yang bekerja di Singapura adalah hampir

107

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


separuh dari jumlah PLRT asing secara keseluruhan, tepatnya kurang
lebih 80 ribu orang. Mengikut jumlah ini, jelaslah bahwa PLRT Indonesia
sangat diminati oleh kalangan majikan Singapura.
PLRT merupakan individu yang sama dengan masyarakat Indonesia
lain yang menetap di Singapura, entah itu mereka yang berprofesi sebagai
pelajar, mahasiswa, pengusaha, profesional, diplomat ataupun tenaga
kerja tidak terampil non-PLRT. Karena PLRT adalah manusia normal,
maka PLRT juga mempunyai cita-cita dan harapan di dalam menjalani
hidupnya.
Menjadi PLRT tidaklah semudah yang dibayangkan, walaupun makan
dan tempat tinggal mereka sudah menjadi tanggungan pihak majikan.
Namun terkadang ada juga yang sampai bermasalah hingga berakhir
dengan penyelesaian di meja pengadilan.
Jika kita menelusuri perjalanan PLRTmulai dari kampung halaman
sampai negara tujuan bekerja, dan akhirnya kembali ke kampung
halamantentunya banyak liku-liku perjalanan yang harus ditempuh.
Sebagai seorang PLRT, saya sendiri merasakan betapa besarnya
kegigihan, kesabaran, dan perjuangan yang harus dikerahkan agar
menjadi PLRT yang berhasil dan tidak menjadi PLRT yang bermasalah.
Pada hakikatnya, tidak ada seorang PLRT pun yang berharap untuk
mendapatkan masalah ketika mereka terjun ke dunia kerja. Kalaupun
akhirnya mereka harus berhadapan dengan masalah, itulah yang namanya
nasib dan suratan Tuhan, yang mau atau tidak mau PLRT harus mau
menerima masalah tersebut.
Definisi PLRT berhasil, dilihat dari sudut jangka pendek, adalah
PLRT yang bisa merasakan gaji dalam jumlah yang utuh setelah dipotong
biaya penyaluran agensi dan setelah itu berhasil meyelesaikan kontrak
kerja sekurang-kurangnya dua tahun. PLRT berhasil dilihat dari sudut
jangka panjang adalah PLRT yang sudah tidak bekerja lagi di Singapura
dan mampu memperoleh pekerjaan yang memadai bagi dirinya sendiri
atau bahkan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain di negara
Indonesia kita yang tercinta.

108

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Memang jika dilihat dari sudut pendidikan, kebanyakan PLRT
Indonesia di Singapura berpendidikan rendah jika dibandingkan dengan
PLRT yang berasal dari Filipina. Namun pendidikan bukanlah menjadi
penghalang untuk terus maju, berkarya serta menyumbangkan sesuatu
yang berharga untuk bangsa Indonesia.
Saya adalah seorang PLRT
Sepuluh tahun sudah saya bekerja di negeri yang serba kota ini. Ada
kalanya rasa menyesal menyelimuti hati saya karena telah begitu lama
meninggalkan kampung halaman di Kediri, Jawa Timur. Perkembangan
denyut nadi kehidupan di tempat kelahiran saya pun tidak saya ketahui
secara pasti. Hanya sepatah, dua patah kabar lewat telepon atau kiriman
SMS yang saya terima dari keluarga jika saya amat merindui apa jua yang
ada di sana. Namun, rasa penyesalan itu terobati jua dengan rasa bangga
karena sudah sedekade ini saya masih mampu bertahan di negeri yang
bukan sah menjadi milik saya tanpa sebarang masalah berat menjerat saya,
bahkan segunung pengalaman bak emas permata saya dapati di sini.
Pertama kali saya berniat menjadi PLRT dengan negara tujuan
Singapura adalah untuk mengubah kehidupan nasib saya. Setamat SMA,
saya mencoba mengadu nasib di tanah air sendiri dan ternyata hasilnya
kurang memuaskan. Saya pernah bekerja di Surabaya pada tahun 1996
sampai 1997 sebagai buruh di beberapa pabrik besar dan kecil. Saya lalu
menjadi suster sekolah swasta untuk anak-anak istimewa. Semua
pekerjaan itu saya jalani masing-masing hanya dalam tempo beberapa
bulan saja dan tidak selama seperti sekarang ini menjadi seorang PLRT di
Singapura. Dulu saya mempunyai perasaan yang cepat bosan, tidak sabar,
dan gampang putus asa jika menghadapi masalah hingga akhirnya rasa
penyesalanlah yang saya temui pada penghujungnya.
Setelah saya menjadi seorang PLRT, semuanya berubah. Saya lebih
bisa berintrospeksi diri untuk mengoreksi kekurangan diri dan membuang
sejauh-jauhnya sifat negatif yang selama ini merugikan saya. Saya tidak
mau pengalaman gagal di tanah air terulang lagi di negeri orang lain ini.

109

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Niat saya, saya hanya ingin menjadi PLRT yang suksessukses dalam arti
jangka pendek dan jangka panjang.
Kehidupan seorang PLRT berhubungan sangat dekat dengan orang
lain yang berbeda negara. PLRT hidup seatap dengan orang-orang yang
selama ini tidak pernah dikenal sama sekali sifat, gaya hidup, bahasa,
budaya, dan kepercayaannya. Oleh karena itu, sudah lumrah jika
terkadang timbul salah paham antara PLRT dengan keluarga majikan.
Tidak sedikit pula PLRT kita yang terjerat dalam masalah besar yang
akhirnya perlu mendapat perhatian banyak pihak.
Perjalanan karir seorang PLRT amatlah berliku-liku. Sebelum
diterbangkan ke Singapura, kami ditampung dulu di penampungan
Indonesia. Penampungan-penampungan ini terkenal dengan sebutan PT
dan tersebar di kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, Manado,
Jakarta, Tanjung Pinang, dan Batam. Perlakuan PT kepada calon PLRT pun
berbeda-beda. Ada PT yang memperlakukan calon PLRT dengan baik,
memberi makan cukup dan bekal pendidikan yang memadai supaya jika
sampai negara tujuan para PLRT tidak canggung menghadapi alam kerja.
Malangnya jika calon PLRT ditampung di penampungan seperti tempat
penampungan saya dulumakan tidak cukup, tidak diberi pendidikan,
dan tempat berteduh pun sesak berjubel karena banyaknya PLRT yang
harus ditampung. Hal ini membuat beberapa di antara kami menjadi stres
seperti orang gila karena terlalu lama menunggu di PT. Teman saya ada
yang sampai enam bulan menunggu di PT karena lamanya untuk
mendapat majikan.
Ketika di PT, urusan tes kesehatan dan keimigrasian, seperti
pembuatan paspor dan surat-surat penting untuk agen di Singapura,
ditangani oleh pihak PT. Calon PLRT hanya menunggu saatnya kapan
mereka mendapat lampu hijau untuk diberangkatkan ke Singapura.
Ketika zaman saya dulu, awal mula memasuki Singapura belum
diharuskan transit ke Batam. Jadi PLRT langsung diberangkatkan dari
pelabuhan udara Jakarta ke Changi, Singapura. Akan tetapi sekarang sudah
menjadi peraturan pemerintah kita bahwa setiap calon PLRT yang

110

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


berhasil mendapat majikan diwajibkan transit di Batam. Dengan cara ini,
proses pengiriman PLRT ke Singapura menjadi lebih teratur.
Sekarang yang menjadi renungan saya tiap hari adalah potongan gaji
PLRT oleh agen di Singapura sebagai imbalan atas biaya penyaluran kerja.
Di tahun 1998, PLRT seangkatan saya hanya dipotong gaji selama empat
bulan dan gaji bulanan yang ditetapkan oleh agen adalah S$230. Akan
tetapi saat ini, di saat harga-harga barang merangkak tinggi, agen
memotong delapan sampai sembilan bulan gaji kerja dan gaji yang
ditetapkan berkisar antara S$280 sampai S$320 bagi PLRT yang baru
pertama kali kerja. Itupun jika PLRT bernasib baik dan tidak dikembalikan
ke agen oleh majikan dengan sebab-sebab tertentu. Jika PLRT hendak
transfer ke majikan lain, maka penambahan potongan gaji ditambah lagi
sekitar satu sampai dua bulan. Mudah-mudahan suatu hari nanti potongan
gaji oleh agen dapat diperkecil jumlahnya agar PLRT tidak begitu lama
menunggu untuk menikmati utuhnya gaji bulanan yang diterima.
Selain majikan membayar gaji PLRT tiap bulan, majikan juga harus
membayar pajak (maids levy) kepada pemerintah Singapura setiap bulan.
Besarnya jumlah pajak ini ditentukan oleh pihak MOM (Ministry of
Manpower) mengikuti kadar subsidi yang diberikan pemerintah Singapura
kepada pihak majikan dengan syarat-syarat tertentu.
PLRT juga mendapat jatah hari libur, dimana sebulan berkisar antara
satu sampai empat kali. Akan teapi ada kalanya majikan tidak mau
memberi hari libur dan menggantinya dengan uang tambahan. Bahkan
ada juga PLRT yang tidak mendapat hari libur dan uang ganti sama sekali.
Dari segi sifat majikan pun berbeda-beda. Ada majikan yang baik dan
pengertian. Ada pula yang galak, tidak pengertian dan pelitnya minta
ampun hingga ada PLRT yang sampai kurus kekurangan makanan. Waktu
bekerja pun panjang hingga waktu istirahat tidak mencukupi.
Suka duka PLRT tidaklah cukup sampai disini. Di antara kami ada
juga yang berhadapan dengan perceraian suami karena lamanya
meninggalkan suami di tanah air, uang gaji dihabiskan oleh anggota
keluarga yang tidak bertanggung jawab, menjadi santapan para calo, dan

111

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


lain sebagainya. Segala hal yang tidak mengenakkan ini tidak akan
menjadi pemudar semangat PLRT untuk menjadi manusia yang berguna
bagi diri sendiri, keluarga, dan bahkan bangsa.
Pengharapan buat Bangsa
Pekerjaan sebagai PLRT di Singapura adalah pekerjaan yang bersifat
tidak tetap. Bila tiba masanya nanti, saya pasti akan berhenti bekerja
sebagai PLRT dan meneruskan hidup di kampung halaman di tanah air
tercinta sebagaimana kehidupan yang dijalani keluarga dan saudarasaudara saya yang lain, yang tentunya dengan kehidupan yang jauh lebih
baik dibandingkan dengan sebelum saya bekerja sebagai PLRT.
Walau nanti saya sudah bukan bagian dari PLRT Indonesia di
Singapura, praktek-praktek kerja sebagai PLRT dan ilmu-ilmu PLRT akan
tetap saya amalkan di tanah air dan juga ilmu-ilmu lain yang selama ini
saya peroleh di Singapura.
Rencana saya, jika Dia mengizinkan, dua tahun lagi saya akan
berhenti bekerja sebagai PLRT di sini dan berwiraswasta sendiri. Namun
saya terus berharap dan berdoa agar nasib dan kualitas PLRT Indonesia
akan semakin membaik hari demi hari.
Menyinggung hal perbaikan nasib dan kualitas PLRT Indonesia, maka
banyak pihak yang harus bertanggung jawab, baik itu PLRT sendiri, pihakpihak yang terlibat langsung kepada PLRT, ataupun pemerintah Indonesia.
Sekarang adalah masa yang tepat untuk membenahi kualitas PLRT
Indonesia. Dengan jumlah yang hampir 80 ribu jiwa di Singapura, kita
telah membuktikan kepada dunia bahwa telah banyak pengangguran yang
terkurangi di Indonesia. Mungkin angka ini bisa bertambah sekiranya
kualitas PLRT Indonesia semakin bertambah baik.
Namun sayangnya masih banyak masyarakat Indonesia sendiri yang
menganggap bahwa PLRT Indonesia itu adalah orang-orang bodoh dan
pekerjaan PLRT itu adalah pekerjaan rendahan. Maka tak heran banyak
dari mereka yang mengeksploitasi PLRT Indonesia untuk kepentingan
pribadi masing-masing.

112

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Baru-baru ini saya memberi usulan kepada Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara, Bapak Taufik Efendi, dengan disaksikan Bapak Duta
Besar Wardana ketika acara tatap muka dan dialog bersama PLRT yang
diadakan di KBRI, agar pemerintah memberi tumpuan kepada
peningkatan mutu tenaga PLRT Indonesia dan menghapus anggapan
bahwa PLRT Indonesia adalah PLRT bodoh untuk mengurangi masalah
yang berhubungan dengan PLRT.
Saya juga mengusulkan agar pemerintah Indonesia membangun
sekolah bertaraf tinggi untuk PLRT, yang dapat disebut Akademi PLRT.
Lewat jalur akademik ini, mutu tenaga PLRT Indonesia bisa membaik dan
bersaing di taraf dunia. Andai akademi ini menjadi nyata, maka tenaga
PLRT Indonesia bisa dipasarkan di negara-negara pengimpor tenaga PLRT
seperti Kanada dan Eropa yang selama ini belum pernah diterobosi oleh
Indonesia. Hal ini dapat membantu devisa negara di sektor PLRT
bertambah, pengangguran di Indonesia terkurangi, dan masalah-masalah
yang berhubungan dengan PLRT juga berkurang. Dengan begitu, kita
bangsa Indonesia bisa membuktikan kepada dunia bahwa kita adalah
bangsa yang bisa.
Walaupun suatu hari nanti saya bukan bagian dari PLRT, saya sebisa
mungkin akan terus berjuang untuk perbaikan PLRT Indonesia.

MUZALIMAH SURADI adalah seorang PLRT Indonesia di Singapura.


Penulis kelahiran Kediri, Jawa Timur ini adalah anak kedua dari lima
bersaudara. Penulis merupakan lulusan MAN Kandangan dan terus
meningkatkan pendidikannya dengan mengambil kursus-kursus bahasa
Inggris dan komputer di Singapura. Ia telah bekerja kepada majikan yang
sama sejak tahun 1998. Penulis juga adalah seorang freelance writer
untuk surat kabar Berita Harian terbitan Singapore Press Holdings. Ia
dapat dihubungi di muzalisur@yahoo.com.

113

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

114

Kunci Kebangkitan
Indonesia
Ronn Goei
Beberapa bulan yang lalu, penulis mendapat tugas kuliah untuk membuat
ulasan tentang pengelolaan sumber daya air. Saat itu, penulis memutuskan
untuk mengulas Singapura, tempat dimana penulis tinggal dalam 5 tahun
terakhir ini. Berikut ini nukilan singkat dari ulasan penulis.
Singapura mempunyai 4 sumber daya air yang bisa dimanfaatkan
yakni air tadahan hujan, air yang diimpor dari Malaysia, air hasil desalinasi,
dan air hasil daur ulang. Setiap sumber air tersebut mempunyai
tantangannya sendiri-sendiri. Air tadahan misalnya. Walaupun Singapura
mempunyai curah hujan yang cukup tinggi namun dengan luas wilayah
yang sedikit lebih besar dari 700 km2 tentu tidak banyak air yang bisa
dikumpulkan.
Singapura mengimpor air dari Malaysia sejak 1961. Hal ini diatur
dalam 2 kontrak yang masing-masing akan berakhir pada 2011 dan 2061.
Kontrak yang ada menyatakan bahwa Singapura akan mengimpor air
mentah dari sungai di Malaysia untuk kemudian diolah dan dijual kembali
ke Malaysia dengan harga yang lebih tinggi. Seiring berjalannya waktu,
Malaysia pun merasa membutuhkan suatu tempat pengolahan air minum.
Ini tentu saja mengurangi kekuatan penawaran (bargaining power) dari
Singapura untuk impor air ini.
Salah satu strategi untuk mengatasi masalah air minum yang umum
dipakai adalah melalui termal desalinasi, seperti yang dipraktekkan oleh
negara-negara Timur Tengah. Mereka membakar bahan bakar minyak
yang panasnya dipakai untuk mendidihkan dan memurnikan air dari
mineral-mineral yang terkandung dalam air laut. Namun hal ini sulit untuk

115

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


dilakukan karena ketidaktersediaan sumber daya minyak secara alami di
Singapura. Teknik desalinasi lain yang bisa dipakai yakni penyaringan
melalui membran. Teknik ini masih dalam tahap pengembangan dan
belom sepopuler termal desalinasi.
Mungkin pembaca yang tinggal di Singapura sudah mendengar
mengenai NEWater. NEWater adalah air daur ulang yang disebut juga
sebagai reclaimed water. Proses pengolahan NEWater dibagi menjadi 3
tahap yakni: filtrasi, reverse osmosis, dan radiasi ultra violet. Sistem
reklamasi air ini didukung oleh penadahan air hujan dan air limbah yang
cukup efisien di Singapura. Air hasil reklamasi kemudian akan dicampur
dengan air di reservoir untuk tujuan mineralisasi sebelum akhirnya
disalurkan ke masyarakat.
Teknologi NEWater ini sangat cocok dan menjanjikan bagi situasi
Singapura. Pemerintah Singapura sekarang sedang gencar-gencarnya
mensosialisasikan NEWater kepada masyarakat sehingga pada akhirnya
nanti masyarakat sudah siap menerima NEWater sebagai bagian dari
kehidupan mereka sehari-hari.
Pemaparan tentang manajemer air di Singapura terkait erat dengan
topik yang akan disampaikan berikut ini. Ada pendapat yang mengatakan
jika seseorang memiliki sedikit, ia akan lebih menghargai apa yang ia
punyai itu.
Kasus diatas adalah salah satu contoh yang baik. Kita melihat
bagaimana negara tanpa sumber daya alam seperti Singapura bisa tumbuh
menjadi suatu negara yang bisa dikategorikan negara ekonomi maju, yaitu
dengan mengelola apapun yang mereka punya dengan sebaik-baiknya dan
dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kita sudah melihat bersama betapa
efisiennya Singapura. Penulis sangat terkesan dengan upaya pemerintah
Singapura dalam mengelola negaranya, mulai dari urusan air, masalah
pendidikan, transportasi, pengembangan tatakota, bahkan sampai urusan
memajukan olahraga. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari Singapura,
negara yang 20 tahun lebih muda dari Indonesia.
Indonesia adalah negara yang disebut orang sebagai zamrud

116

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


khatulistiwa. Sumber daya alam yang begitu melimpah, tujuh belas ribu
pulau yang tersebar dengan total luas wilayah 1.9 juta km2, jutaan hektar
hutan dengan keanekaragaman biota-nya, keanekaragaman etnik dan
kebudayaannya. Tapi mengapa kita masih belum melihat tanda-tanda
Indonesia akan bangkit dari keterpurukan?
Ada yang mengatakan mengurus negara sebesar Singapura tentu saja
lebih mudah daripada mengurusi Indonesia. Hal tesebut belum tentu
selalu benar. Sumber daya alam dan manusia, misalnya, menjadi satu
persoalan yang harus diatasi Singapura. Indonesia jelas memiliki potensi
yang besar untuk menjadi sebuah tolok ukur kemajuan ekonomi dan
kehidupan bermasyarakat. Lalu apa kuncinya? Saat penulis menanyakan
pertanyaan ini kepada beberapa orang, jawaban umum yang penulis
terima adalah memberantas korupsi. Tapi bagaimanakah kita
memberantas korupsi? Generation cut? Apa jaminannya bahwa setelah
generation cut tidak akan ada lagi korupsi? Di Singapura, niat untuk
korupsi dipangkas dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada
pegawai negeri. Hal yang tepat untuk Singapura namun belum tentu tepat
untuk Indonesia. Anggaran pemerintah harus dijatahkan kepada bidangbidang lain yang lebih berkaitan secara langsung kepada masyarakat
misalnya agrikultural, perkebunan, koperasi, dan lain sebagainya. Menurut
penulis pribadi, kunci untuk kebangkitan Indonesia tak lain dan tak bukan
adalah pendidikan.
Seseorang pernah berkata kepada penulis, jika pendidikan Indonesia
diperbaiki sekarang, satu hal yang pasti ialah kita bisa mengharapkan
seorang pemimpin bangsa yang baik dua puluh atau tiga puluh tahun
mendatang.
Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) dicanangkan pada 29
Mei 1996 pada era kepemimpinan mantan Presiden Soeharto (alm).
Pemerintah saat itu melihat perlunya pendidikan dasar untuk semua anak
Indonesia. Ketidakmampuan ekonomi seharusnya tidak menjadi alasan
untuk menghalangi anak Indonesia dari pendidikan. Dua belas tahun
kemudian GNOTA tetap eksis untuk menyalurkan bantuan kepada anak-

117

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


anak Indonesia di seluruh pelosok nusantara, SD maupun SMP. Saat
penulis mengusulkan supaya GNOTA dimasukkan dalam program kerja
salah satu organisasi kemahasiswaan Indonesia di Singapura, yang penulis
dapati adalah ungkapan-ungkapan pesimistis. Meskipun demikian, penulis
berhasil meyakinkan para pengurus organisasi tersebut untuk menjadi
mitra bagi GNOTA di Singapura ini.
Bayangkan apa yang bisa kita lakukan dengan Rp 120.000 (setara
SGD 20) di Singapura: makan? Nonton bioskop? Atau membeli baju atau
apapun kegemaran kita? Jumlah uang yang sama bisa dipakai untuk
membiayai pendidikan sekolah dasar bagi seorang anak Indonesia selama
setahun. Bayangkan: Setahun!!! Penulis selalu berpikiran inilah
sumbangsih yang paling kecil yang bisa kita lakukan untuk Indonesia.
Siapa tahu anak yang kita santuni itulah yang kelak akan menjadi
pemimpin bangsa kita di masa depan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai pelajar yang mendapat
kesempatan mendapatkan pendidikan yang baik di Singapura? Professor
Yohannes Surya, koordinator tim olimpiade fisika Indonesia, pernah
berkata bahwa kita harus belajar sebaik-baiknya, mengejar pendidikan
yang setinggi-tingginya, sampai suatu saat Indonesia sudah siap dan
memerlukan sumbangsih kita barulah kita kembali untuk membangun
bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa tinggal di luar negeri akan
memberikan penghasilan yang lebih baik, apalagi di negara-negara dimana
pendidikan dan riset sangat dihargai. Namun satu hal yang perlu kita
sadari, kita dilahirkan di Indonesia tentunya untuk sebuah alasan. Ingat,
kita adalah bagian dari putra-putra bangsa yang mungkin mempunyai
banyak talenta dan potensi untuk dikembangkan. Saat Indonesia
memerlukan bantuan kita, sudah seyogyanya kita kembali ke tanah air,
baik sebagai insinyur, akuntan, pelaku bisnis, arsitek, ilmuwan, dan lain
sebagainya.
Saat berkunjung ke Singapore Discovery Centre, penulis melihat ada
satu bagian dari eksibisi yang menyebutkan bahwa karena Singapura tidak
mempunya sumber daya alam, maka Singapura memastikan bahwa

118

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


sumber daya manusianya adalah yang terbaik. SDM yang baik menjadi
ujung tombak kemajuan ekonomi Singapura. Singapura sudah bertekad
menjadi little red dot yang menjadi poros kemajuan ASEAN and Asia.
Bagaimana dengan Indonesia? SDM Indonesia tentu tidak bisa
dikatakan lebih jelek daripada Singapura. Dengan SDA yang cukup banyak,
sudah seharusnya Indonesia mendapatkan yang lebih baik. Peranan
apakah yang bisa kita ambil? Mari kita bersama merenungkan jawaban
atas pertanyaan ini untuk kemajuan Indonesia yang kita cintai.

RONN GOEI adalah mahasiswa pasca sarjana di Nanyang Technological


University (NTU) Singapura dengan jurusan teknik lingkungan hidup.
Penulis adalah formatur dan Presiden pertama Perhimpunan Pelajar
Indonesia di Singaura periode 2006-2007 sekaligus menjabat VicePresident dari NTU Students Union pada periode yang sama.
Korespondensi dengan penulis bisa dilakukan melalui email ke
ronn.goei@gmail.com.

119

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

120

Pendidikan
yang Membodohkan
Kendrick Winoto
Tulisan ini tidak ditujukan bagi insan-insan yang merasa diri sudah pintar
dan sudah puas ataupun acuh terhadap proses pendidikan yang sedang
terjadi pada zaman yang sekarang. Alasannya sederhana, karena tulisan
ini berangkat dari keresahan seorang pelajar untuk mencari arti
pendidikan yang sebenarnya, yang dirasakan sudah bergeser dari masa ke
masa karena pengaruh tradisi, globalisasi, sosialisasi dan -sasi, -sasi yang
lain. Jika ini relevan untuk Anda, silakan untuk meneruskan.
Jadi, apakah pendidikan itu? Pertanyaan yang seharusnya membuat
banyak orang merujuk kepada jalur-jalur pendidikan formal seperti SD,
SMP, SMA, dan s-s lainnya. Semakin tinggi s-nya, semakin pintar-lah ia
(setidaknya, itulah yang kebanyakan orang percaya). Tetapi jika kita
berpikir dari sudut pandang yang lain, adakah arti lain yang bisa kita
temukan?
Jika Anda memelihara anjing, maka anjing itu dikatakan pintar jika
ia bisa menuruti keinginan sang pemilik, sama seperti burung beo ketika ia
bisa mengeluarkan suara yang diinginkan. Lalu bagaimana dengan
manusia? Dalam keadaan apakah ia bisa dikatakan sudah pintar? Jika
tujuan eksistensi anjing peliharaan adalah untuk melayani sang
pemelihara dan pendidikan membantu anjing tersebut untuk merealisasi
tujuan tersebut, apakah tujuan eksistensi dari seorang manusia? Atau,
yang manakah seharusnya menjadi tujuan eksistensi manusia? Siapakah
dan apakah tujuan dari sang pemilik manusia? Apakah pendidikan
sekarang sudah berfungsi dengan baik dalam membantu manusia
merealisasikan tujuan tersebut?

121

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Ya, saya sendiri masih di dalam tahap pencarian akan kebenarannya.
Tetapi, jika disuruh keluar dari alam pikiran dan melihat ke jendela dunia
luar, muncul suatu keyakinan bahwa ada sesuatu yang salah pada
pendidikan yang sedang terjadi di sekitar. Tetapi, apakah itu? Karena
kebanyakan akan berpikir mengenai jalur pendidikan formal jika ditanya
mengenai pendidikan, mungkin saya harus memulai dari sana.
Sudah bukan menjadi hal yang aneh kalau banyak orang, khususnya
orang tua, menganggap pendidikan luar negeri pasti akan lebih baik.
Alhasil, banyak yang bekerja mati-matian untuk bisa menyekolahkan
anaknya ke luar negeri. Keadaannya sudah sedemikian parah sehingga
ketidakmampuan akan hal tersebut diartikan sebagai kegagalan orang tua
dalam mendidik anaknya.
Lihat, si Budi sekolah ke Amerika! Pasti dia akan terdidik dengan
lebih baik!
Lihat, si Amir hanya sekolah di siniah, itu biasa!
Sebagai seorang yang diberi jalan oleh Tuhan untuk bersekolah di
luar negeri, saya akan mencoba menyajikan sudut pandang yang agak sulit
untuk didapatkan jika tidak bersekolah di luar negeri.
Saya ditugaskan oleh Tuhan di Singapura. Di sini memang patut
diacungi jempol, sebesar apapun jempol yang Anda punya. Bersih, teratur,
aman, berfasilitas lengkap, teknologi canggih, dll. Memang benar, seorang
yang belum pernah mencicipi kota Singapura sebelumnya akan berpikir,
Seandainya negeri kita seperti ini. Hampir setiap pelajar mempunyai
laptop sendiri (dan kadang-kadang tidak bisa apa-apa tanpanya), tidak
dihalangi macet dan ancaman-ancaman kejahatan dan perkosaan (karena
sering pulang larut malam setelah belajar), dan bahkan tidak sedikit yang
diberikan jaminan uang sekolah gratis berikut uang saku untuk belajar di
sana. Pokoknya, uenak tenan!
Ya, setidaknya itulah yang ada di benak pikiran saya 3 tahun lalu. Dan
saya pun mulai melihat hal-hal lain yang terjadi di negeri sakti ini.
Bagaimana seorang pelajar harus rela bekerja dari pagi sampai malam
karena ditumpuki pekerjaan-pekerjaan. Dan, pada keesokan harinya, ia

122

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


harus rela tidak berbicara dengan orang lain (dan keluarga) demi
menghabiskan tumpukan tersebut. Kemudian, ia mulai merasakan
betapa mengganggunya hal-hal kecil seperti permintaan tolong dari orang
lain. Lalu, segala carapun mulai dihalalkan untuk mencapai tujuannya.
Bagaimana ia mulai lebih mementingkan seberapa cepat dapat
menyelesaikan daripada alasan mengapa harus mengerjakan. Bagaimana
ia diukur berdasarkan seberapa baik mengikuti perintah daripada
kemampuan untuk berinisiatif. Bagaimana suatu hal seperti tanah air
terdengar semakin lama semakin jauh dari pikiran dan kepedulian.
Bagaimana semuanya ini dan banyak lainnya terjadi.
Pada suatu hari di perpustakaan, seorang teman sedang mengerjakan
proyek dengan cara yang lain dari biasanya.
Saya: Yo (supaya gaul sedikit), kenapa dibuat seperti itu?
Teman: Iya, profesornya yang nyuruh nih.
Saya: Oh, kenapa professor kamu nyuruhnya begitu?
Teman: Nggak tau tuh
Saya: Kenapa nggak tanya langsung sama dia?
Teman: Nggak ada waktu juga nih, kerjaan lagi numpuk!
Inilah salah satu fenomenanya. Seseorang diajarkan untuk
menyelesaikan segala sesuatu tepat waktu dan sesuai perintah. Jika tidak,
reputasi akademislah yang dipertaruhkandan reputasi akademis adalah
ukuran seberapa pintar-nya Anda. Bukankah ini sama saja dengan anjing
yang diajari oleh sang majikan untuk lari, mengambil tulang dan
menerima imbalannya? Bukankah ini sama saja dengan merebut hak-hak
para penimba ilmu untuk membuka (dan bukan untuk lebih menutup)
matanya? Bukankah ini sama seperti proses peracunan pikiran supaya
semua produk pendidikan adalah seperti kemasan mi instan yang
disama-ratakan semua?
Di kejadian lain, beberapa juga tidak berani melibatkan diri di
berbagai aktivitas-aktivitas lain (selain belajar atau yang tujuannya adalah
untuk memperlengkapi diri). Mereka selalu memperbesar tempurung
masing-masing dan makin merasa kerasan untuk tinggal di dalamnya.

123

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Mereka tidak peduli akan hal-hal lain di luar tempurung yang tidak
relevan untuk mereka. Namun munculah pertanyaannya: Apakah dunia
luar yang tidak relevan untuk dia atau dia sendirikah yang tidak relevan
untuk dunia luar?
Masih ada beberapa fenomena-fenomena lainnya: penghancuran
integritas, pelunturan kreativitas, pembasmian kepedulian sosial dan katakata aneh lainnya. Inikah yang seharusnya menjadi produk akhir dari
pendidikan di luar negeri, yang sudah terlanjur dielu-elukan banyak orang
itu?
Hai para orang tua, pertanyaan berikut ditujukan kepada anda: Jika
anda memang ingin melepas anak ke negeri di seberang sana, apa yang
anda harapkan dari pendidikan yang ia terima setelah ia pulang?
Seseorang yang pintar sekali sehingga menjadi egois dan hanya akan
membantu jika itu menambah keuntungan atau kepintaran-nya? Atau
bahkan seseorang yang tidak segan-segan menggunakan kepintaran-nya
untuk kepentingan sendiri walaupun merugikan orang lain? Seseorang
yang tahu akan banyak hal tetapi tidak tahu dan tak pernah mau tahu
bagaimana itu bisa dipakai supaya menjadi berguna bagi banyak orang?
Pendidikan seharusnya bukan sebatas seberapa banyak yang anda
ketahui, seberapa banyak rumus yang anda dapatkan, seberapa cepat anda
menyelesaikan, seberapa pintar anda mendapatkan yang diingini.
Mungkin negara-negara lain memang lebih tangkas untuk membekali anda
semua dengan segala pengetahuan yang ada, tetapi itu sama sekali tidak
menjamin anda akan terdidik dengan baik. Tetapi kalau begitu, apakah
pendidikan itu? Sampai manakah batasnya? Bagaimanakah seharusnya?
Saya tidak tahu. Tetapi saya dapat bersumbangsih dalam mencari arti
sebenarnya.
Saya ingat sewaktu belajar di Indonesia. Pada satu hari setelah diberi
ciuman selamat malam oleh orang tua, karena belum mengantuk, saya
bangun dan diam-diam menuruni tangga rumah. Di situ saya melihat
seorang ayah yang sedang bekerja, bertelanjang dada dan berkeringat,
mengangkat barang-barang untuk dikirimkan keesokan harinya. Saya

124

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


menyaksikan betapa keras ia bekerja dan mulai menyadari bahwa ia harus
melakukan ini semua setiap malam dari Senin sampai Jumat (dan
terkadang sampai akhir minggu). Semua ini, sewaktu kami semua sudah
terlelap tidur.
Saya terus berpikir. Kalau memang apa yang ia kerjakan itu adalah
untuk gaji yang dihasilkan, berarti segala keringat tersebut sama dengan
gaji yang dihasilkan. Jika gaji yang dihasilkan adalah untuk biaya
kehidupan sehari-hari dan sekolah, berarti gaji itu sama dengan biaya
sehari-hari plus biaya sekolah. Jika biaya sekolah adalah untuk
keberadaaan saya di sekolah, maka untuk setiap detik yang saya rasakan
di sekolah sama saja dengan beberapa keringat yang ayah harus kucurkan.
Saya mulai tertegun. Detak jantung mulai kencang. Apa yang sudah
saya lakukan di sekolah selama ini? Apa yang sudah ayah dapatkan dari
semua keringatnya selama ini?
Apa?
Pada malam itu juga, cara pikir dan pandangan hidup saya pun
berubah. Saya mulai bertekad untuk belajar dengan giat dan setiap kali
kemalasan datang menghantui, saya selalu berusaha mengingat setiap
sudut gambaran bayangan sewaktu saya melihat ayah bekerja pada malam
itu. Jika nilai ulangan yang dibagikan tidak sesuai harapan, misalnya, saya
dengan mudah tersiksa dengan rasa bersalah yang datang menyerang dan
terkadang menangis kecewa.
Kejadian kecil seperti mengintip ayah yang sedang bekerja, sudah
membentuk prinsip hidup saya sampai sekarang. Setiap peluang dan
tantangan yang ada, saya beranikan diri untuk mengambilnya demi
membalas apa yang saya sudah saksikan pada malam itu. Setiap pekerjaan
saya kerjakan dengan sungguh-sungguh dan dengan segenap kemampuan.
Setiap kelalaian yang terjadi, saya akan menghukum diri dan mengoreksi.
Setiap pencapaian yang ada, saya dedikasikan untuknya dan keluarga.
Mungkin inilah salah satu pendidikan tentang pengorbanan yang
Tuhan sudah berikan kepada saya. Mungkin inilah mengapa saya dapat
mencapai hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

125

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Mungkin inilah mengapa saya tidak harus diberikan suntikan imbalan
(seperti uang) terlebih dahulu agar dapat bergejolak kembali untuk
melakukan suatu pekerjaan, seperti kebanyakan orang terdidik pada
zaman sekarang.
Sungguh mengherankan (dan sekaligus mengerikan) untuk
menyadari betapa mungkin kejadian sekecil itu dapat mempengaruhi
kehidupan seseorang sampai akhir hayatnya. Betapa kejadian seperti
selalu diberikan uang walaupun tidak selalu dibutuhkan dapat
mempengaruhi persepsi mengenai uang dan kerja keras. Betapa perlakuan
teman-teman di sekolah dapat mempengaruhi cara pandang mengenai
orang lain. Betapa derajat kebebasan yang diberikan orang tua dapat
mempengaruhi kematangan berpikir sang anak. Betapa mudahnya anda
dapat mempengaruhi kehidupan seseorang.
Maka, seseorang yang dengan mudah diberikan uang dan studi di
luar tidak tahu mengapa ia harus mengeyam pendidikan di luar. Yang ia
tahu hanyalah bahwa kualitas pendidikan-nya lebih bagus dan itu saja.
Seseorang yang sudah dididik terlebih dahulu sebelum mendapatkan
semua itu akan mengetahui bukan saja kalau pengetahuan itu berharga
tetapi bagaimana ia dapat menggunakan pengetahuan yang ia dapati
untuk menjadi manusia yang ia ingini setelah selesai mendapatkan
pendidikan tersebut. Dari situ, maka ia akan menyadari bahwa tidak
semua hal yang diberikan akan sejalan dengan tujuan tersebut dan sudah
mepersiapkan penyaring tersendiri bagi dirinya.
Jadi, pendidikan itu bukanlah sebatas sebuah bangunan dengan
buku-buku dan fasilitas lengkappendidikan terjadi setiap saat di dalam
hidup kita. Pendidikan terjadi di saat kita melihat hal-hal di sekitar yang
kita tidak mengerti dan harus renungi. Dan, dengan bantuan orang-orang
terdekat, kita dirikan papan tulis dan meja sendiri di pikiran kita untuk
belajar tentang hal-hal yang jauh lebih penting daripada sekedar rumus
hafalan atau buku bacaan yang sudah sering kita temui.
Jadi, jika anda:
- sebagai orang tua kedapatan melihat anak anda sedang menyaksikan

126

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


tawuran pertama kalinya di jendela mobil, jangan katakan Inilah kenapa
kamu harus sekolah ke luar negeri, nak!, melainkan katakan kepadanya,
Inilah jadinya kalau suatu bangsa tidak menghargai pendidikan, nak!
- sebagai pelajar kedapatan mempunyai guru kelas yang akan mencacimaki anda jika perintah-perintahnya dipertanyakan, tanyakan kepada dia
apakah dia berani bertanggung jawab atas pembunuhan karakter muridmurid yang ia ajar.
- sebagai seorang warga melihat tetangga membentak dan menghukum
karena nilai rapor atau ranking sang anak tidak memuaskan, tanyakan
kepada dia mengapa ia harus memaksa anaknya untuk memperbudak
kreativitas dan talentanya di bidang tertentu hanya untuk terlihat bagus di
dalam kisaran rata-rata (karena rapor adalah kumpulan nilai-nilai dari
seluruh subjek dan ranking diukur berdasarkan seberapa baik anda dapat
menyeluruh).
- sebagai seorang guru jika kedapatan mengetahui panitia perploncoan di
sekolahnya merancang suatu sistem atau program yang tidak manusiawi
dan tidak bermanfaat, tanyakan kepada mereka apakah mereka mau
mempertanggung jawabkan seluruh penderitaan tekanan batin karena
ketidakberdayaan, yang dapat berpengaruh bagi karakter seseorang di
dalam melawan ketidakadilan di masa depan.
- sebagai seorang teman yang setia jika kedapatan teman yang sedang
studi di luar negeri, tanyakan kepadanya apa yang ia sudah pelajari selain
pengetahuan-pengetahuan yang ia dapat dari ruang kelasnya.
- sebagai orang tua yang belum diberikan kesempatan untuk
menyekolahkan anaknya di luar negeri, jangan biarkan racun itu masuk
ke pikiran anda sehingga anda berkecil hati, karena sekarang kita tahu
bahwa pendidikan di luar negeri tidak menjamin dan arti pendidikan itu
sendiri jauh lebih luas daripada itu.
- sebagai seorang yang tidak ingin menjadi sampah masyarakat,
janganlah menjadi egois dan lihatlah sekitar anda. Katakan iya kepada

127

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


pendidikan yang membangun dan tidak kepada pembodohan yang
merusak, dengan sejujurnya dan dengan segenap kemampuan yang anda
miliki. Karena pembodohan lebih mudah tercapai daripada pendidikan
dan di sekitar anda sudah terjadi pembunuhan kreativitas, keinisiatifan,
dan karakter-karakter berharga lainnya yang dibutuhkan untuk
membentuk pemimpin-pemimpin dan penyelamat bangsa di masa depan.
Karena jika ditanyakan, apakah anda sanggup bertanggung jawab
atas teriakan-teriakan dan tangisan cucu-cucu di masa depan, hanya
karena anda tidak pernah peduli terhadap pembodohan-pembodohan
yang terjadi di sekitar. Apakah jawaban anda? Pernahkah terpikirkan oleh
anda siapa yang pada akhirnya akan menanyakan ini kepada anda?
Dan kepada saudara-saudara yang sudah diberikan kesempatan
untuk belajar di negeri seberang, ingatlah selalu akan tanggung jawab
yang sudah diletakkan di pundakmu, karena anda sudah merebut
kesempatan tersebut dari banyak orang yang sesungguhnya lebih pantas
untuk menerimanya karena karakter yang mereka miliki. Tunjukkan
bahwa anda tidak akan pernah mau dibodohi untuk menjadi seseorang
yang elitis dan egois seperti yang sudah terjadi pada kebanyakan orang.
Jadi, ijinkanlah saya untuk berkata kepada saudara-saudara:
Bersyukurlah anda sudah ditempatkan oleh Tuhan di Indonesia!
Berterimakasihlah karena anda dapat menyaksikan secara langsung segala
pelajaran yang berhargabaik itu tentang perjuangan, pengorbanan, atau
yang lainnyayang dapat mengarahkan hidup anda ke arah yang benar.
Didiklah diri anda setiap saat dan jangan biarkan pembodohanpembodohan sekali-kali meraih anda.
Janganlah hanya duduk dan mengeluh akan segala hal yang terjadi di
sekitar anda, karena itupun adalah salah satu pembodohan yang sudah
berhasil meraih anda. Jadilah manusia yang berguna dan pastikan anda
bangga akan apa yang sudah dikerjakan setelah anda harus meninggalkan
dunia ini. Jadilah manusia yang bertanggung-jawab dan mulailah di
lingkungan sekitar Anda masing-masing.
Dan niscaya, Tuhan pun akan menoleh dan melihat segala usaha dan

128

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


jerih payah kita semua sebelum menentukan apakah kita pantas untuk
menerima berkat-Nya.
Semoga saya dapat membantu saudara-saudara untuk menemukan
arti pendidikan yang sebenarnya.
Amin.

KENDRICK WINOTO adalah seorang pelajar double-degree (Business


Management dan Ekonomi) di Singapore Management University (SMU)
dan salah satu penerima penghargaan Lee Kong Chian Scholarship. Ia
pernah terlibat dalam tim tarian Saman di SMU dan bermain sebagai aktor
utama dalam drama musikal Gajah Mada pada bulan Februari 2008.
Sekarang ia menjabat sebagai wakil ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia
di Singapura (PPI Singapura) untuk terus berkarya bagi bangsa. Selain
kepada Tuhan dan bangsa Indonesia, tulisan di atas didedikasikan khusus
juga untuk ayahnya, seorang pahlawan di hidupnya.

129

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

130

A Developed Person
for a Developing Nation
Maulana Bachtiar
For an individual, development would start right after he is born. Babies
learn to breathe seconds after his delivery onto this world. Not long after,
they would learn to comprehend basic signaling by instinct, which enable
them to send one way messages to their parents; asking for food, milk,
change of diapers, and many other basic things. Necessity to conquer a
language leads to a rapid development of the children. They begin to ask
questions and share their feelings and thoughts with the closest people
around them.
Then education plays a role as we start another phase of
development on our way to become new adolescents and finally mature
adults. It shapes our minds, our thinking, and our perspectives of the
world. Of course there are many more to consider, but let us now focus on
the development of an organisation, from an infant organisation to a large
and structured one. And how I think it is unrelated to an individual
development process from a baby to adult.
Well, here are some of my observations and opinions that I would like
to share.
A person is developed when he feels that he is developed. I tend to
see it from an internal point of ones self, because it is quite difficult to
have a second party judge whether another person is developed,
developing, or under-developed. My own criterion of a developed person
is that he has undergone all those processes aforementioned. Furthermore,
this person should be able to actively contribute to the society he lives in,
has a strong sense of responsibility, and maintains professionalism. This

131

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


article does not actually focus on how one can be a developed man or
woman, but more on highlighting the difficulty level of developing an
organisation compared to developing a person.
Some examples of an organisation in this case could be groups of
people, corporations, state departments, co-curricular activity (CCA) clubs
or to the other extreme, countries. Similar to a person, they can undergo
development processes. From time of conception and birth (in this case
not from a womb, but probably conceived from an initiation by a bunch of
individuals who happened to share a view and vision for the group),
organisations can learn, adopt cultures, and transform. The more striking
similarity is that an organisation can even come to an end of its life cycle
or death.
The differences that I tend to view lie deeply in the cortical concept of
the development process, not the different pathways involved towards
organisational development. Organisational development is so different to
that of an individual because firstly, it comprises of many different
variations of unique individuals that themselves undergo personal
development of different stages in compared to the other people. Second,
there are working relationships between these individuals that may affect
their performance, communication and work style. Lastly, for this article I
want to share how the culture and working concept adopted by an
organisation play critical role in driving up the group development
process to the right path.
When you join a group, be it a workplace, a professors laboratory or
CCA club, or even a country, you are in an organisation. These places are
organized, structured and consisted of people with different and distinct
job scopes or roles. When it comes to organising, I tend to observe the
differences between the development of an organized individual and the
build up of a developed organisation. As an individual, it is much easier for
me to join places that are well established, developed, organized and full of
smart people, the characteristic that can easily be found at organisations
present in developed countries. Even though I am originated from a

132

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


developing nation, I still could join in, work and be part of the team of
people from developed societies. The challenges for me are only to adapt,
learn, understand, and have willingness to cooperate with the other
members of the group. What Im trying to say here is that, based on the
abovementioned experience, it is more manageable for a person to join a
developed organisation and become part of a developed group himself,
suiting to the developed work style and environment, ignoring the
personal development stage where the particular person is. Of course
there are cases that may not suit my examples. It is to be noted however,
that different scenarios may happen, which are more or less dependent on
the personal character of an individual, and his ability to adapt, learn and
tolerate in a new environment.
Now consider other examples, a group of developed people from a
developing nationthat may have been educated at developed
countriesunite together and form a group. These people may have been
considered developed because of their personalities, attitudes,
educations, and many more. Will the resulting group become a developed
group similar to those found in developed countries?
I decided to pick no for which reasons that are based on own
observations and experiences, of which perhaps the people studying
management would know better. A group of smart, developed people from
a developing origin forming a group will not always result in an
organisation that is developed in characteristics because there would still
be group characteristics prominent in developing societies that can
potentially be seen. For example, low punctuality, disorganisation, non
proactive attitude, and irresponsibility. At least, this is the situation that I
tend to observe in my surroundings, which may be applicable in the wider
perspective given that we have enough samples to infer from. You can also
think of such situations based on your experiences and use them as data
to substantiate this argument so that it is statistically sound and accurate.
So why is this happening? Can we say that these developed persons
from developing origins are not actually developed yet, but always think of

133

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


themselves as being developed perhaps because they have been living in
developed places and educated there?
How about working relationships? Considering the above example,
one reason that may affect the group performance could be working
relationship between the people within the organisation. Let us consider
an individual trying to enter a group versus ten people trying to create an
established group. Again, I think that it is easier for one person to follow
the rest, who have already adopted the mindset of a developed group,
rather than for ten people at the same time trying to assume a strong
culture and mindset in building a developed group. These are probably
challenges and situations that many of the organisations or people in
developing countries encountered. There maybe some numbers of
developed people educated either home or overseas, but when it comes to
establishing a strong and developed working culture in a group, its
difficult, because developing an organisation to a developed state is
much harder than that of a person to a developed individual.
This is where I think the concept of group culture and mind takes
position. Possibly, the culture adopted and used by these smart and
developed individuals is not aligned with the initial objective of the group.
Worse still, if it does not promote effectiveness, professionalism and
association of logical thinking to the group. I have yet to discover what are
the important values that one can adopt to develop a strong group culture
that can stimulate us into having an organisation that is strong, yet flexible
and labeled developed for the organisation and individuals involved. I
think this is one important aspect had by the developed countries, causing
them to be superior in front of the other nations. Many of them have
probably managed to realize and provide explanations and solutions over
this. Therefore they can readily set the developed mindset and culture to
the people, hence support the establishment of a developed group with a
strong and established culture.
Developing countries may have all the infrastructures, talents,
resources, and willingness. However, if the people cannot create a

134

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


developed mindset for a developed working organisation, all these will
drive to chaos and be wasteful efforts. It is now time to be open and
flexible in developing a clear headed vision for one prosperous objective of
our nation.
Think for a while, when you consider yourself a developed man or
woman, how can you contribute to the construction of a developing
nationlike Indonesiato become a developed country? Not only
developed in terms of infrastructure and economy, but also developed in
terms of peoples attitudes, cultures and minds towards a great democracy.
You can start from yourself before leading others to move forward in
realizing the importance of having a developed culture for a developing
society. Let us forgive ignorance, nuisance, opposition of mind, and
backward thinking. Instead focus on the road ahead towards a united
vision. With the strong potentials in human and natural resources that our
country has, imagine what Indonesia can grow to be, when you as the
future men and women, take control in the great performance towards a
rich society. This is an example of an active contribution that Indonesian
students learning overseas can take part in the future, in driving the nation
to prosperity and success.

MAULANA BACHTIAR is a Biomedicine student in the National University


of Singapore, and has served as President of the NUS Indonesian Students
Association (PINUS). Before Singapore, Maulana had spent his junior and
senior high school life in Australia, which distinguishes him to be a person
of Western-Asian combination, in styles and principles.

135

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

136

The Indonesian Elderly and IT:


A Complex Marriage
Chandra Gunawan
Weve been somewhat brainwashed in our culture to
believe that youth was the ultimate goal and getting older
meant getting worse, but were starting to see that its just
not true. Life after 50 can be our best years yet.(34)

Another Love Story


She was the talk of the town, a beautiful girl indeed. There she was,
walking towards me. I had lost the blind courage of my younger days. I
couldnt muster up the courage to greet her. Is it okay for an old man like
me to desire her? And she passed by me
But I wouldnt give up. I devised a state-of-the-art love strategy to
capture her. Tonight I would meet my princess by coincidencenot!at her
favorite caf where she usually went with her friendmy partner in crime.
Hey, Gun, how are you? Its a surprise to see you here, her friend
greeted when she saw me. By the way, this is my friend, Nadine.
That was when my love story began.
I grew to love her more and more, trying to do everything possible to
convince her of my love. I was so crazy about her that my friends reminded
me to control myself. Until one day, I felt it was the right time. October 27,
2007, Sunday, 10:28PM was the best moment in my life when she said: Yes, I
will marry you! I promise to make her happy forever and ever!
THE END
(Deliberately ended here to avoid over-generations stories like Tersanjung27! )
The longest-running TV drama series in Indonesia just like Bold and Beautiful
or Days of Our Lives in Americas soap opera arena.

27

137

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Beyond The Love Story
I want to use a love story as an analogy to understand how and why
the Indonesian elderly must be encouraged to become more confident to
fall in love with Information Technology (IT).
It is crucial for the Indonesian elderly to befriend IT, so as not only to
increase efficiency and productivity in their ages, but also to help them
achieve self-actualization 28 in their lives. Such beneficial relationship
between the elderly and IT will then help us realize the quote above, that
life after 50 can be the best years in life. This is one vital element to fulfill a
simple hope for Indonesia: to be the best home for all people of all ages.
Discovering the Linkage: Which Stage?
Similar to the love story above, there are several stages that must be
gone through by the Indonesian senior citizens to be comfortable in
exploiting the potential value of IT, just like when a man approaches a
woman.
Stage 1
Just like when the old man heard the beauty of the lady, the elderly must
be aware with the fresh-from-the-oven IT. At this stage, social inertia
would be very high due to difficulty in adjusting with the new system,
physical limitation (e.g. memory constraint), and low motivation to learn
new things in fear of sacrificing the old. To make the elderly be willing to
use IT is as hard as encouraging the shy old man to greet the beautiful lady.
Stage 2
After some time, they would become more familiar with and enthusiastic
about the system. Discretion should be given to the elderly to learn from
trials-and-errors, or what Ciborra (1991) termed as tinkering to achieve
serendipity(35). This is the stage when the old man pulls out all the stops
to get his endearing princess.
28 The instinctual need of humans to make the most of their abilities and to strive
to be the best they can (40).

138

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Stage 3
Excessive freedom for the elderly to exploit IT will lead to major problems
that can hurt them and society, such as excessive gambling in online casino
or downloading pornographic materials. Tighter control and coordination
must be put in place, just like how the man-in-love needs to be reminded
to control himself as he was overwhelmed with the love he felt.
Stage 4
When the elderly understand the social norms and laws, they will be ready
for the optimal exploitation of IT. These constraints, though, should not
limit the creativity of the elderly. The key is self-controlling of what can
and cant be done. That is the ideal stage; the wedding stage in the love
story, with elaborate decoration of flowers and ribbons.
The four stages resemble the four stages in Nolans Stages of Growth
Model of how IT evolves in organizational context: initiation, contagion,
control, and maturity stages(36)(37).
In which stage is the Indonesian elderly classified? Most Indonesian
elderly are probably still stagnant in Stage 1 or the Initiation stage, if not
pre-initiation. The fact that only 8.5% of the total Indonesian population
access the internet(38), could indicate that the Indonesian elderly are not
well-educated in IT yet. They might have heard it, but never experienced
using the IT themselves.
Why are they still inert in the initiation stage? Is there any way we
can cope with these problems?
Lha wong mangan wae angel, Mas 29
If we did a survey on the reason of why Indonesian elderly do not
learn IT, their answers would probably be: Lha wong mangan wae angel,
Mas Poverty would be the main reason.
Human Development Index (HDI)30 for Indonesia in 2005 is only
Javanese. Indonesian: Makan aja susah, Mas English: It is even still hard to
feed in ourselves, Boy

29

139

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


0.728, which gives the country a rank of 107th out of 177 countries(39).
This low HDI means low level of three basic dimensions of human
development: life expectancy, education, and standard of living. If these
basic needs are met, the Indonesian elderly would be more ready to put IT
in their to-do lists. Maslows hierarchy of needs explains that for one to be
concerned with higher needs (i.e. cognitive needs, self-actualization), one
needs to fulfill the basic needs first(40).
On the other hand, it can be argued that IT is also one way to achieve
the basic needs. IT opens up a lot of new business opportunities for the
Indonesian elderly such as mobile phone top-up services or online market.
IT would also link them with friends and relatives from different parts of
the world, making them feel as part of the global society and alleviate
loneliness. IT also helps them overcome limitations due to their weak
physical condition.
Education and history?
Low educational level of the Indonesian elderly also explains their
technological immaturity. Indonesia gained independence 50 years ago,
but is trailing behind other younger countries such as Singapore in terms
education. The Dutch colonization did not leave an extensive legacy of
education in Indonesia(41). Early days of Indonesia was also filled with
struggles to maintain its independence and unity, thus removing focus on
education of that generationtodays older generation.
Nonetheless, history is not all to be blamed. One should realize that
the nature of IT is unique. One does not need to understand about
mainframes to be able to use Tablet PCs. One should focus on the
advantages of IT for the elderly instead.
Change-aversion vs. Lifelong Learning Ethos
The psychological thinking of the ageing people is a hindrance to the
The Human Development Index (HDI) provides a composite measure of three
dimensions of human development: life expectancy, education, and standard of
living(39).

30

140

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


relationship between Indonesian elderly and IT. The elderly is usually
reluctant to learn new things as they see a high risk of sacrificing their
traditional ways of doing things with the new ways which superiority they
doubt. For example, some elderly would prefer their typewriter to
computer so as not to sacrifice their expertise in using typewriter. After
all, they just need to write letters.
It would be riskier and more costly if the elderly stick with the
traditional ways rather than leaving their comfort zone. Learning new
things doesnt mean sacrificing older ones, but rather improving past
knowledge to be more relevant with current contexts. Computer, for
instance, is a more functional typewriter which also allows faster
communication exchange via email.
Lifelong learning attitudes and ethos(42) must be well-planted in the
Indonesian elderlys minds. Dr. Craig Overmyer, a life vision coach, said,
We should all retire at the end of each day to rest and begin anew. We
should never retire from life.(34)
So, lets rejuvenate the Indonesian elderly!
We are our choices. Are we?
Society is often stronger than individuals, especially in Asian culture,
like Indonesian. The Indonesian elderly are not familiar with IT since the
greater force around them doesnt influence them to do so. Worse, society
often labels the elderly as the burden on society, no longer valued for their
experience and insight (43), resulting in a self-fulfilling prophecy31.
The Indonesian elderly and IT still have an awkward relationship
because there are no norms (or cultures in general) to use IT or, in another
perspective, strong norms not to exploit IT optimally. But dont society,
norms, and cultures are made by people, and arent people comprised of
individuals? If there are no such technophile32 norms in the society yet,

31

The tendency of people to respond to and act on the basis of stereotypes, leading to
validation of false definitions.
32
One who has a love of or enthusiasm for technology, especially computers and
high technology

141

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


then individuals should create such norms from now on.
In the words of Jean-Paul Sartre, a French philosopher, We are our
choices(34).
Government Plays a Big Role
Although other problems such as poverty and education are still
pertinent, the government should not ignore the problem of technological
immaturity. Government plays a big role in creating a conducive
atmosphere for IT learning for the elderly.
By educating the elderly with IT, the youths will be influenced to
learn IT more too as Indonesians generally respect their seniors and
bandwagon effects33 would also take place.. This will also avoid the digital
divide34 between generations. If the government is not taking care of its
elderly, the youths would feel that their senior life in Indonesia would be
bleak and hence choose to live in other country for retirement.
Given the overall urbanization trend, more elderly will be living in
an urban area in the coming years in Asia Massive investment will be
needed to ensure that the rapidly expanding urban environment in Asia
will not only have better infrastructure, but will also be more userfriendly for the elderly.(44).
So, has Indonesia prepared enough for it?
Hope for Indonesia
My humble message for the Indonesian elderly who read this article
is that it is important to develop lifelong learning culture in their ages, just
like this simple words by Dr. Shigeaki Hinohara: Keep working, keep
learning and you will never get old(44). IT is not only meant for younger
people, but it is especially dedicated for senior people like you to enhance
the quality of life.
The bandwagon effect, also known as social proof and closely related to
opportunism, is the observation that people often do (or believe) things because
many other people do (or believe) the same
34 The gap between those people with effective access to digital and information
technology and those without access to it

33

142

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


It is the duty of us, the younger generation, to socialize IT to the older
generation. This huge spirit must be supported by the government by
creating and maintaining a good atmosphere of learning process for the
elderly. I wonder when Indonesia can have huge national and regional
libraries with complete facilities, and lively community centres with
creative programs for the elderly, just like what I discovered here in
Singapore.
All in all, by making the complex marriage between IT and the elderly
comes true, it is hoped that the elderly will experience a better life in
Indonesia, and pass this good message to the next generations, and also to
the rapidly ageing world populations. This successful marriage, therefore,
would help to fulfill a simple, yet very important hope for Indonesia: to be
the best home for all people of all ages.
So, are you ready for a unique wedding party?

CHANDRA GUNAWAN is an undergraduate student in SIM, majoring in


Information Systems and Management, awarded by UOL-LSE. Present
Address: Blk 91, #06-04, Cashew Heights Condominium, Singapore,
679662. E-mail: chandraong@gmail.com. Contact no.: +65 97745477. This
article is dedicated to his beloved parents who started tinkering with IT in
their mid-forties.

143

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa

144

Semiconducting Indonesia:
Indonesia in a Smaller View
Fatwa Firdaus Abdi & I Made Riko
Indonesia, such a big country with a big market, it has not been actively
involved in the Semiconductor industry. Being gifted with the abundance
in natural resources, one can simply wonder why we have not taken part
in this advancement of technology and create more value to what we
already have.
Semiconductor is a big business, where Goldman-Sachs in 2003
estimated it to be a $25 billion industry globally and growing till today.
Semiconductor industry will keep growing, as there is a never-ending
consumers demand for better performance and smaller size electronic. It
has been our lifeline, and none can escape from that.
The basic material needed in this industry is silicon. Electronic grade
Silicon came from purified beach sand(45). With the geographical
condition of Indonesia, we could not deny that we have this material
abundantly. As a reference, in 2005 Indonesia produced 150,000 cubic
meters quartz sand, whereas there is more than 24 million cubic meters
quartz sand in North Barito area alone. This simple figure shows us that
we are not really maximizing our potential(46).
Next, to have semiconductor industry in Indonesia, we need human
resources. The main difference in this high technology industry is that we
need more trained and educated human resources in driving the line.
With the absence of this industry in Indonesia, we could safely assume that
not many Indonesians could be categorized into this kind of human
resource in this field. Well, that assumption is somewhat not true. Most
Indonesian students who had taken engineering studies abroad end up in

145

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


semiconductor industry. If we could attract them to support this industry
in Indonesia, along with starting the specific education in Indonesia, we
will have more than enough people to run this industry
Of course we do not want to suddenly fill our heads with this dream
without assessing the condition we are in and deciding steps needed. As
discussed above, semiconductor is a very high-paced industry and could
easily leave us behind in terms of technology and market reach. In 1965,
Gordon E. Moore in his paper described an important trend in the history
of computer hardware: that the number of transistors that can be
inexpensively placed on a integrated circuits is increasing exponentially,
doubling approximately every two years (47). More transistors will mean
an increase in the capability of the electronics product. This trend has
lasted for the second half of the last century and is not expected to stop for
another decade at least and perhaps much longer.
Furthermore, as big players are around the world, the competition is
very tight and everything needs to be done in a high pace so that we
wouldnt be left behind. With the total investments that could easily reach
2 billion US dollars, it will be hard to come in as another player in
semiconductor market. Therefore, we believe that it is nearly impossible
for Indonesia to jump in right now and compete head on with the other
existing players in the industry. However, if we wait any longer, it will not
do us any good as the longer we wait, the further we are left behind. This
contradicting situation brought us to the proposal we would like to discuss
below.
Instead of competing with the existing players in the semiconductor
industry, we should support the industry. Assessing the common needs of
the industry, no matter what the application is (be it microprocessor,
memory, solar cell, etc.), all the players in the industry need a common
material. Yes, that is silicon. We are quite fortunate by being given the
abundance of materials in our territory. The archipelago has so many
natural resources, which include beach sand, the raw material to produce
silicon. It was recorded that we sell about 75 million cubic meters of sand

146

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


to Singapore every year. We sell it through agents, which give us US$0.67
per cubic meter whereas they sell it to Singapore for US$13 per cubic
meter. Only from that, we have been losing quite a big sum of money,
which we could have possibly received(48).
Now lets consider what can be obtained if we did not just sell the raw
materials, instead added value to the raw materials and make silicon
wafers. 75 million cubic meters of sand will give us roughly around 15
million cubic meters of silicon, which will be able to be transformed to 340
billion wafers. Taking average price of a wafer as US$200 (the actual
number depends on the size, quality, and designated purpose of the wafer),
we could obtain more than US$60 trillion. We know that this number is
very optimistic and might not be realistic, however if we could just get 1%
of it (US$ 600 billion), it is already so much more than $50.25 million that
we get from selling the beach sand
Another good point by supporting silicon to the industry is that our
neighbor country, Singapore, is one of the leading hubs in semiconductor
industry. They house numerous semiconductor companies, which
consume tens of thousands of wafers every month. With our strategic
location, we could market our wafers to cater to their needs. This might
also include Malaysia and China, which are expanding quite fast in the
semiconductor industry. Of course, should there be enough stability and
such, we would be able to consider expanding the industry to not only
providing silicon wafers.
The money described above might be very attractive, however there
are some steps we need to do before we could successfully achieve what
we plan. Firstly, this process would take time and in the mean time what
we can do is to spread the words and attract as many people as possible to
bring this industry in Indonesia. We then obviously need support from
many parties. This includes government, investors, education institutions
and our skilled human resources to work together in forming the industry.
Government could provide regulation, benefits, policy, etc to support the
conduciveness to run the industry and attract investors. As stable and

147

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


solid infrastructure is highly important for this particular industry,
government can also chip in by providing them. Education institutions
should be reformed in giving more courses on this particular field and
promote research in this area. Research institute, such as LIPI with its
Masyarakat Nanoteknologi Indonesia, could also support by conducting
more events and discussions, which would excel the growth of this
industry.
Finally, it would take quite a compensation to attract our workers
overseas to come back home, but we do believe that big number of
Indonesians that work in this field overseas would come back to
contribute should their field of expertise is available in Indonesia. After all,
theres no place like home, is there?

FATWA FIRDAUS ABDI pursued his graduate study in Singapore-MIT


Alliance Advanced Materials in Micro and Nano Systems. From that
program, he received Master of Engineering degree from Massachusetts
Institute of Technology and Master of Science degree from National
University of Singapore in 2006. Currently, he is working as an engineer at
Intel Micron Flash Singapore, a joint venture between Intel Corporation
and Micron Semiconductor.
I MADE RIKO received the B.E. degree in Materials Engineering Nanyang
Tecnological University (NTU) Singapore in 2005 and is currently working
towards Ph.D. degree at the same department at NTU.

148

A Farmers Hope
for Indonesia
Syahrial bin Dahler & Derry Tanti Wijaya
I am a farmers son, from a small district in West Sumatra. My parents, my
grandparents, most of my relatives are also farmers. In fact, almost
everyone I knew when I was growing up is a farmer. Yet, my mother used
to tell me this, Study hard; dont be a farmer like us. I cannot help but
wonder, what is wrong with being like my parents; their occupation? Only
recently that I realized, the word us does not represent only my parents,
but also the tens of millions of Indonesian farmers. What is wrong then,
with being a farmer?
If we take a closer look at the living condition of the tens of millions
of households whose main income is from farming, we will understand my
mothers warning.
In the year 2003, farming industries absorbed the majority (46.26%)
of working age Indonesians (49). Yet, their average income was only
around IDR 135,000 per month or IDR 1.6 million per year (50). From this
number, my mothers warning does make sense, since becoming a farmer
in Indonesia will make one join a billion of people worldwide who live on
less than a dollar a day (51).
This condition is an irony for Indonesia because Indonesia is an
agricultural country where the largest proportion of its citizen is working
in the agricultural sector. The average annual income of an Indonesian
farmer is lower than the average annual income of a Chinese farmer (USD
401.9)(52), even lower than the average annual income of a Thai farmer
(USD 600), and even much lower than the average annual income of a US
farmer household (USD 81,420)(53).

149

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


The fact that the living conditions of farmers in Indonesia hardly
move from below poverty line makes farming less and less attractive for
young people entering the job market. On the other hand, more farmers
are abandoning their lands to migrate to cities in search of better lives.
There are many factors contributing to the current poor condition of
farmers in Indonesia. One single, perhaps most important factor, is the low
market price of rice in Indonesia. This is an important factor because rice
farmers make up the biggest proportion of Indonesian farmers.
Government policies on rice and rice farming such as rice price fixing, rice
import, and BULOGsIndonesias National Logistics Bureau for
Agricultural Productinvolvement in rice market do not really help the
farmers.
Government had maintained a low price of rice to ensure its
affordability for the majority of Indonesian people, as rice is the main
staple food for Indonesians. This policy was started during the era of Orde
Baru (New Order). The policy successfully maintained the low price of rice
to feed the Indonesian people. On the other hand, however, this policy
sacrificed the farmers. Since they were not getting competitive price,
cultivating land to grow paddy could not give farmers the opportunity to
better their economy, especially for small farmers. Unfortunately these
small farmersPetani Gurem, which are farmers who have little piece of
land (usually less than 0.5 hectare) or no land at allare the majority of
Indonesian farmers. Based on Indonesias National Bureau of Statistics
(BPS), in the year 2006 there are 13.2 million households categorized as
small farmers(54). Also based on BPS statistics, 60 percent of people
living below poverty line in the same year were in the rural area(54)
where the majority of people work in agricultural sector. The low price of
rice that directly contributed to the low income of these small farmers had
been in place for over two decades, making it very hard for these farmers
to escape the poverty line.
After the New Order was toppled by students movement in 1998, the
rice market was liberalized. Private importers were allowed to import rice

150

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


along with BULOG. The liberalized market allowed the price of local rice to
grow. Unfortunately, the price of local rice was already higher than the
international market price which makes local rice unattractive to the
Indonesian people. Local rice could not compete with imported rice as the
production cost for local rice was already high, due to high fertilizer price
and the increasing other pre- and post-production cost of rice such as
transportation cost. The problem became more complicated as BULOGs
status was changed to a state enterprise responsible for producing profit.
This change makes BULOG unable, or rather unwilling, to buy local rice at
a higher price than the market price during the harvest periodthe time
when most local rice enters the market. The unwillingness of government
to purchase rice above international price sparked protests from farmers,
the most notable being the burning of rice in front of BULOG office in
Jakarta(55).
If this phenomenon continues, it will be a disaster for Indonesia. Not
only because it will cause a large proportion of Indonesians to continue
living below poverty line, it may also become a threat to Indonesias food
supply. Facing uncompetitive price and suffering losses, many farmers will
give up farming to look for alternative occupation, and many will go to big
cities to find jobs. Many of these low-skilled migrants could not get job and
create social problems such as street crimes and violence which are
already rampant in big cities like Jakarta and Surabaya. The social
problems will put extra burdens on national and state budget which has
been stretched very thin. Additionally, budget allocated for public services
such as school, health and infrastructure development will be reduced to
fund efforts to tackle the social problems. Further, the quality of life in
cities will be downgraded, affecting investors trust in Indonesian
government.
In longer term, Indonesia will have to depend more on import to
accommodate the rising food demands. When there is a surge in market
price, over-dependence on imported food will cause uncertainties to food
supply. Government subsidy will need to be adjusted every now and then

151

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


to adapt to the volatile international market. This is evident in the recent
soybean crisis that happened due to the rocketing international price of
soybean, the main ingredient of two of Indonesian staple dishes: Tempe
and Tahu. Indonesia, which has depended on soybean import for a long
time (the import made up 60 percent of Indonesian soybean needs(56)),
suffered greatly from this increase. Widespread public alarm forced the
government to reduce soybean import tariff to zero, a short-term, patchup solution to the looming widespread of food supply crisis.
The soybean crisis is a sad story that should be taken seriously by the
policymakers. Adjusting subsidy every now and then to the volatile
international market is not a long-term solution and can cause a huge
burden to national budget. When national budget cannot cope with the
amount of subsidy, the government will have no choice but to take a
politically unpopular movereducing subsidy. The infamous government
policy of reducing oil subsidy, which had been enjoyed by Indonesian
people for several decades, in 2006 nearly created national instability.
Furthermore, there is a clear tendency that the international food price
will continue to go up since there is now an added demand for foodaside
from humans and animalsfrom bio-energy producing machines which
consume food such as corn, soybean, and sugar. From the soybean crisis, it
is apparent that the government revenue will also be affected due to the
reduced import tariff. The soybean crisis should also teach the
government that the lack of main staple food is dangerous to national
stability and is dangerous to the government political position.
Unfortunately, governments solution to food supply problem has so
far been inadequate, sporadic and based on short-term interest only.
There is no long-term strategy to maintain adequate food supply that can,
at the same time, alleviate the living condition of farmers while being
friendly to national budget. The import policy and import subsidy only
works properly as long as the market price is low and supply is abundant.
This policy however, not only continues to isolate farmers, it also makes
Indonesia vulnerable to the change in international food market, such as

152

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


the rising food price or food scarcity problem.
A long-term strategy should be to increase food supply, mainly staple
food such as rice and soybean, domestically. The only way to ensure an
adequate national food supply is to help farmers in their farming activities.
If farming activities can bring people out of poverty, farming will become a
respectable occupation. In the end, many people will return to farming and
national food supply will directly increase.
One way to help farming activities is for the government to improve
national fertilizer availability and quality. Fertilizer should be made
readily available at a low price and it should not cause a high cost for
farming. National fertilizer availability must increase with better
distribution to farmers. The case of fertilizer shortage which is constantly
faced by farmers(57) is one of the main factors that increase the cost of
farming in Indonesia.
Most of the farming activities in Indonesia are still done very much in
a traditional way. New ways of farming and better technique in land
cultivation should be introduced to produce bigger outcome. Government
should assist farmers in modernizing the farming industry, for example by
providing cheap tractors and machinery to increase efficiency. Irrigation
and road infrastructure should also be improved.
Because a large proportion of Indonesian farmers are small farmers
who has little land, government should assist farmers in increasing their
income through diversifications. Raising livestock is one of the main
activities that can be done along with land cultivation. Farmers should also
be equipped with skills to do non-farming activities such as handcraft,
agriculture-related services (i.e. harvest transportation, agricultural
tourism), and so on. At the same time Government should also encourage
banks to distribute soft loan for farmers. As a comparison, in United States,
non farming incomes contribute the biggest proportion to farmers
income(58).
The fixed, low price policy on rice should be abandoned. Instead, the
government should create a reasonable range of price that will not

153

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


sacrifice either the farmers or the consumers. Finally, the government
must be able to increase the buying power of Indonesians as a whole by
increasing the household incomes.
As the biggest proportion of Indonesian fabrics, farmers should be
given more attention and receive bigger assistance from the government.
Even though farming has not yet been the biggest contributor to
Indonesian GDP, farming sector remains the biggest employment source
for Indonesians and potentially the sector that can save our nation from
potential starvation and instability following the energy crisis.
Never again should a farmer say to their children dont be like us.
The 100 years anniversary of National Awakening is a perfect time to
awaken Indonesian farmers from poverty and alleviate their status to that
of a respectable occupation.

SYAHRIAL BIN DAHLER was born in Bukittinggi, Indonesia. He first came


to Singapore in the year 2000 to study Computer Engineering in the
National University of Singapore (NUS). He is currently working in the
Information Technology field. His interest however, remains in the field of
public policy and economy. He can be contacted at acanxh@yahoo.com.
DERRY TANTI WIJAYA was born in Malang, Indonesia. She is currently
studying in the graduate research program of the Computer Science
department of the School of Computing (SoC) at the National University of
Singapore (NUS). Her interests include algorithms, literature and history.
She can be contacted at derry.wijaya@gmail.com.

154

Energy Security of Indonesia:


Renewable Energy Development
Yovan Rizaldy
Energy is a precious gift that God gives to human. Frederick Soddy, the
British laureate in chemistry, mentioned that the indivisible currency
upon which all of science is based on is energy(59). Every aspect of our life
cannot be separated from the necessity of energy. Every day we need
energy. Economic and industry activities cannot be run without the
presence of energy. Adequate supply of energy is one of the important
factors to support activities of economic and industry. The availability of
adequate energy supply is the important parameter for the development
of economic and industry sectors such as transportation, trade,
telecommunication and other sectors of economic and industry. Since the
beginning of human civilization history, energy played an important role.
From prehistoric age to industrial age, energy supported and helped in
advancing human civilization. The rise and fall of civilization depends on
energy.
For many years, Indonesia highly depends on conventional fossil
fuels as the main sources of energy. From 2004 to 2007, Indonesia
consumed the energy average 832.76 million BOE (Barrel of oil equivalent)
with residential and industrial sectors as the largest consumers in
Indonesia(60). 80 percent of Indonesias energy consumption needs are
met by fossil fuels, especially oil. Meanwhile, to supply the domestic
energy demand, Indonesia relies on its conventional fossil fuel reserves.
These reserves can be categorized into oil, natural gas and coal. For oil
sector, Indonesia has 8.63 billion barrels reserves with 4.19 billion barrels
of proven reserves and potential reserves of 4.44 billion barrels. Major

155

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


fields of oil production are located in Central Sumatra, East Kalimantan,
Northwestern Java, and the Natuna Sea(60). In 2005, Indonesia produced
342 million barrels that brought income around USD 8.2 billion. At present,
Indonesia has nine refineries with a total installed capacity of 1.1 million
barrels per day (bpd)(60). For the natural gas sector, Indonesia has 185.8
trillion cubic feet (tfc) natural gas reserves. 97.3 tfc is proven reserves and
88.5 tfc is potential reserves. 70 percent natural gas reserves are located
in East Kalimantan, Natuna Island, Papua, Aceh and South Sumatra. 60
percent of natural gas production is processed into Liquefied natural gas
(LNG). Total production of LNG is 23.7 million metric tons from 25.5
million metric tons of natural gas production. Other 1.8 million metric tons
is processed into Liquefied petroleum gas (LPG). Most of LPG is used by
residential and commercial sector(60). In the coal sector, Indonesia is
known to have 38.8 million tons of coal deposits. 11.5 billion tons are
classified as measured sources and 27.3 billion tons as indicated. Major
coal resources are located in Kalimantan and Sumatra. The production of
coal in Indonesia increased significantly from 77 million tons in 2000 to
150 million tons in 2005. 73 percent of coal production was exported to
overseas. Only 40 million tons was consumed domestically.
With these conventional fossil fuel resources, Indonesia should not be
worried to supply its domestic energy demand. However, limited fossil
fuels cannot supply unlimited need of energy. This will result a problem in
Indonesias energy security.
Philip Andrew-Speed defined energy security as the availability of
energy at all times, in various forms, in sufficient quantities, and at
affordable prices(61). From a policy perspective, Widhyawan
Prawiraatmadja stated that energy security is derived from the
perception that adequate energy supplies at any given time are essential
to a countrys well being. Government policies on securing and enhancing
energy security are influenced by how country perceives the energy
markets environment amidst political and economic situations at home
and abroad and their expectations for the future(62).

156

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Based on these definitions, energy security in general perspective is
the availability of energy to supply the need of energy. Do the conventional
fossil fuels fulfill this definition? The answer is, they dont. It is because
the need of energy is increasing with the increasing of population. It
means that the need of energy is unlimited, meanwhile the fossil fuels are
limited. In this case, Indonesia will face the shortage of energy if the
energy policy still depends on fossil fuels as the main source of energy.
Although, Indonesia can import fossil fuels from other countries, it is not a
good policy. It makes Indonesia highly relies on other countries. So what
should Indonesia do to secure its future energy supply? The answer is the
development of renewable energy.
Development of renewable energy is a good strategy of securing
energy supply. Besides geothermal and hydropower, Indonesia has
abundant factor of other potential renewable energy such as wind,
biomass, biogass and especially solar power because Indonesia is located
in equatorial region. These potential renewable energy resources are not
exploited well. Wind power, for example, is predicted to have 9,286.61
MW but only 0.5 percent are exploited.
Besides wind, Indonesia also has potential energy reserves in biogas.
Biogas is produced from droppings of cows, buffaloes or pigs. Each
province in Indonesia has those potential cattle dropping. Those cattle can
provide at least 10 MW energy supply for each province in Indonesia(60).
Indonesia also has biomass potential energy because biomass can be
produced from the waste of forest, plantation and agriculture commodities.
And Indonesia has those reserves. Biomass can provide at least 1 GW
energy supply for each province if this resource can be exploited well.
Solar and wind can also be used to supply energy in isolated areas in
Indonesia. By developing solar and wind power plants, the Indonesian
government will not waste money to build electricity transmission cable to
supply energy in isolated areas from non-isolated areas. Building solar or
wind power plants in isolated areas are more efficient and also cheaper
than building cable transmission across mountains or sea.

157

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


Development of renewable of energy is also part of national defense.
Relying too much on other countries to provide energy is not good. It can
weaken a country and subject it to domination and dictation by other
countries. We can see that in Russia-Georgia gas case in 2006. Russia
banned gas supply to Georgia when Georgia experienced severe weather
condition and it needed gas for heat. Indonesian government must learn
from this case and let it not happen to Indonesia. Indonesia should
decrease its dependence on conventional fossil fuels. Development of
renewable energy can lead to self-reliance on energy supply. Energy
security also means that a state must have energy supply independence,
hence not relying too much on other countries. In securing energy supply,
the diversification of energy source is of utmost importance to create
sustainability and security of supply. The good defense comes from
internal defense. With energy supply independence, Indonesia can
perform its own policy without any dictation from other countries.
For Indonesias present energy security, the future generation and
the existence of a country named Indonesia, we should develop renewable
energy within Indonesia. By developing and exploiting renewable energy,
we can ensure sustainability and security of adequate energy supply for
Indonesias next generation. After all, Indonesia is a country that is blessed
by God.

YOVAN RIZALDY is now a postgraduate student at S.Rajaratnam School of


International Studies majoring International Political Economy. He is
working at Directorate General of Debt Management, Ministry of Finance
of the Republic of Indonesia. Prior to studying at RSIS, He studied at STAN
(Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) majoring in State Treasury.

158

Indonesian Ecotourism:
A Hidden Treasure
Sandhi Eko Bramono
As the biggest archipelago country in the world and lies in the equator line,
Indonesia is very rich with its 17,508 islands that spread over 2 oceans,
the Indian Ocean and the Pacific Ocean(63). This strategic location of
Indonesia has made Indonesia number two in the world in terms of
biodiversity, after Brasilia(64). Roughly 6,904 species of animals and
29,579 species of plants populate Indonesia(65). About 384 species of
endangered plants and 357 species of endangered animals live in tropical
forests in Indonesiasome evidences of of the richness of Indonesian
nature (65).
This richness could be exploited responsibly by Indonesian
Government, as one part of the tourism programmes, known as
Ecotourism. There is a great potential for this, but it seems the
government does not know how to promote it well.
In another way, other than the opportunity, there should be
awareness as well, that the biodiversity of Indonesia can be misused by
some foreign countries to conduct some commercial activities that will
leave negative impacts for Indonesia. Indonesian Government should
monitor the scientists activities and discoveries at the ecotourism spots in
Indonesia. With a transparent and well-established system, Indonesia, as
the owner of the forests can further benefit itself, the world, and science.
Why Ecotourism ?
It has been so clear that the abundance of Indonesian biodiversity has
created many possibilities of tourism in Indonesia, especially in

159

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


ecotourism. Ecotourism is a conservation-promoting, environmentallyresponsible visit to nature, to appreciate cultural features around the
areas, from the past and present. The visit also has a low visitor impact
and involves beneficial socio-economic involvement of local people (66).
The eagerness and curiosity of many world scientists to visit Indonesian
forest to observe the biodiversity, should be facilitated by the government,
in order to boost the ecotourism(67). Their curiosity should be seen as a
potential market.
Rafflesia arnoldi, the biggest flower species in the world, which was
discovered by Sir Thomas Stamford Raffles, a British Governor General in
Indonesia during British colonialism in 1881, is only available naturally in
Indonesia. This Indonesia-origin flower has been grown and cultivated in
other countries as well (68).
Komodo dragon (Varanus komodoensis), the biggest lizard in the
world, which is believed as the heritage of the Jurassic era dragon, still
could only be found in Komodo Islands in Indonesia, nowhere else(69).
Even the Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) medicine is
speculated to be available in the tropical forest in West Papua
province(70). What a rich natural heritage!
This should be known by Indonesian Government, that there must be
more promotion about Indonesia biodiversity, which has been lacking
lately. Being blessed as a country that is very rich in biodiversity, the
government should try to develop more infrastructures that realise this
potential of Indonesias ecotourism spots to attract a lot of tourists to
come to visit Indonesia. They will be able to not only see the richness of
Indonesian nature, but also to enjoy the great Indonesian cultures, through
traditional dancing and art works, religions, etc. With a good promotion
from the government, there will be a lot of benefits achieved, not just
introducing our richness of biodiversity, but also the culture, to the world.
Moreover, through tourism, there will be foreign income inflow into
Indonesia. The tourists will spend their money to buy airline tickets to
Indonesia by Indonesian flag carriers, rent accommodation, consume local

160

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


delicacies, use traditional vehicles, buy souvenirs from Indonesian
traditional art workers, and in return, promote about Indonesia to their
families and friends in their home countries, thus increasing the economic
value of the tourism objects and people in Indonesia.
Indonesian Government should realize the richness of our
biodiversity that is unique and special to our country. We have this
advantage and therefore we should leverage on this.
As an Opportunity
This opportunity to have a very rich biodiversity in Indonesia should
be facilitated by the government to endorse research bodies and
universities in Indonesia to develop their research on biodiversity.
Industrial products from Indonesian plants and animals should be
able to boost the economic life of the local people. This opportunity should
be further developed and supported by the government, with strict
limitation on animals and plants hunting.
Developing herbal medicine from Indonesian plants should become
the priority of research in pharmacological areas in universities in
Indonesia. The current trend of using organic medicine rather than
chemical should be seen as a potential source of domestic market. As
discussed above, there are some speculations that some incurable diseases
medication might come from Indonesian forests.
The animals should be let to live in their natural habitat, which we
should conserve. Orang Utan, Tapir, Komodo, Cendrawasih bird, and single
horn Rhinoceros, are some of the almost extinct animals which are only
available in Indonesia(71). Tourists would be attracted to encounter these
animals.
As a Threat
Nevertheless, the government should be aware of potential misuse of
Indonesian richness of biodiversity. There might be some tourists that use
ecotourism as a reason to visit Indonesian forest, but actually come with

161

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


hidden agendasto poach some plants and animals, without any
permissions from the government.
If partiese.g. overseas universities, overseas research bodies,
overseas pharmaceutical industriestake Indonesian native species
without permission from the relevant government body in Indonesia, then
we would have actually invited thieves into our country. Furthermore,
they will do research back home with abundant funding, to develop some
industrial or medical products which they will later patent and sell for a
very high price, including to Indonesia, even though the source came from
Indonesia. This is against the law. If a regulation against such poaching is
not enforced, it will not be a shocking news that one day there will be such
above-mentioned invention or research paper coming from overseas. By
that time, Indonesian Government will try to claim the invention as
Indonesias, but it will be too late, and we can only regret it.
Such loss could happen and give negative impacts to Indonesia if the
government is not careful. We still have to appreciate the tourists and
serve them well, but the awareness should be there as well.
How to Develop Ecotourism
Through the discussions above, it can be seen that there is a great
opportunity arising from ecotourism which is also followed by a threat of
possible stealing of the biodiversity richness. To boost ecotourism, the
government should maximize the infrastructures that support its
development. On the other hand, strong regulation should be further
enforced as well, to avoid unexpected things from happening.
Developing five-star hotels is not the only way to attract tourists.
Rather than just developing hotels, providing access to enter ecotourism
areas should be much more developed. For example, provision of visa
upon arrival in all international seaports and airports should be made
more efficient, or even free-from-visa policy for approved ecotourism
visits.
As most of the international tourists come to Indonesia by airplane,

162

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


then there should be direct flights to the potential areas for ecotourism. If
there is no direct flight to go to those areas, there should be some
connecting domestic flights which could take them to those areas. If
possible, Indonesian Government should also further develop buses, trains,
and ferries in order to increase the performance of infrastructures
supporting ecotourism.
As English is the international language, provision of professional
tour guides who speak English and tour guide books in English are very
important. Most of the tourists from overseas usually have printed out the
information from other sources (such as from internet), but its provision
on the spot of the ecotourism areas are advisable. This will give good
image of that location to the tourists and they will be so happy to come
again in the future.
The hospitality of the communities around the ecotourism areas is
also very important. Looking at the tourists with apparent suspicion will
give a bad impression to them, make them feel unsecured, and finally
reluctant to revisit in the future. There must be social approach given by
the local community leaders in those areas to support the ecotourism
programme, which will later benefit them. The benefits will come in the
form of development of taverns, restaurants, car rentals, souvenir shops,
and even local tour guides, which can be done by the local communities.
Government could make this happen by training the leaders on hospitality
management to provide warm welcome to the tourists.
Good attraction of the ecotourism itself, such as exciting journey deep
into the forest to encounter the real life animals or plants, is also very
important. It is a must to show them the real richness of the biodiversity,
while the guides should be able to explain the details of the biodiversity
found earnestly, passionately, and professionally, using proper English
language. The guides should also emphasise on the importance of keeping
the animals in their natural habitats, and therefore the awareness among
the tourists themselves.
Accommodation should be provided in those areas with a reasonable

163

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


price, depending on the facilities available. Government should put strict
regulation from overpricing the rates, especially during the peak seasons.
Other than provision of infrastructures, law enforcement regarding
the stealing of biodiversity of Indonesia should be developed. Picking up
plants and animals, without permission from the relevant government
body, to be brought back to their home country, should not be allowed.
Immigration officers should be warned regarding the possibility of such
stealing, which could result in many losses for Indonesia in the future, as
explained above. Also, the Indonesian Government should endorse and
give more attention in the research of ecotourism or biodiversity in
universities in Indonesia, because it will be more appropriate for the
research or invention to be developed in Indonesia itself, considering the
fact that the materials are from Indonesia.
In the spirit of Indonesias Awakening Centennial 2008, we should
increase our awareness, that our country, Indonesia, is actually very rich.
The richness of our country is sometimes not known by our own people,
but known really well by other nations. Opportunities to use the resources
could be lost and threats could arise from other nations due to our
ignorance.
Ecotourism can be very profitable for Indonesia. Yet, it could also be
misused by other countries. As long as we know our assets, provide a good
technique to manage it, know how to sell and preserve it, are aware of the
good and bad impacts of it, and become more vigilant, ecotourism in
Indonesia can be one of the most successful stories of ecotourism in the
world. Ecotourism is able to boost economic life in Indonesia, especially
the local peoples. Through ecotourism as one of the hidden treasures of
Indonesia, lets increase the social welfare of all Indonesian people
(especially local people in those Ecotourism areas), improve the
environment, and finally, increase our pride and dignity as a nation.
Happy Indonesias Awakening Centennial Year 2008!

164

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


SANDHI EKO BRAMONO, S.T., MEnvEngSc. is currently a PhD student in
Division of Environmental Science and Engineering, Faculty of Engineering,
National University of Singapore, Singapore. At the same time, he is
registered as a government officer in Indonesia Ministry of Public Works.
He can be contacted through e-mail at sandhieb.@yahoo.com

165

Kuhantam dan kuhantam lagi


Gong itu biar berbunyi

oonngg
oooOONGG
OOONNNGGGG

Bergemalah, Perjuangan
Bergemalah, Persatuan
Bergemalah, Indonesia

Ini harapanku
Ini gemaku

Gema Kebangkitan Indonesia

20 Mei 2008

Daftar Pustaka

1. Kompas. TOFI Raih Tiga Medali Emas di Apho Mongolia. Kompas. [Online] April
27, 2008. [Cited: Februari 15, 2008.]
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/27/18103220/tofi.raih.t
iga.medali.emas.di.apho.mongolia .
2. KutaiKartanegara.com. Mendiknas Harap Kukar Jadi Teladan Pembangunan
Pendidikan. KutaiKartanegara.com. [Online] Juli 12, 2006. [Cited: Februari 15,
2008.] http://www.kutaikartanegara.com/news.php?id=868.
3. Kompas. Kepedulian atas Pendidikan Lahirkan Manusia Unggul. Kompas.
[Online] Maret 8, 2008. [Cited: Februari 15, 2008.]
http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/03/08/02150923/k
epedulian.atas.pendidikan.lahirkan.manusia.unggul.
4. . Pendidikan dan Kesehatan Bukan Barang Mewah. Kompas. [Online]
November 6, 2004. [Cited: Februari 15, 2007.] Kompas.
http://kompas.com/kompas-cetak/0411/06/Fokus/1367752.htm.
5. . UU Penaman Modal Harus Didukung Pelayanan Satu Atap di Daerah. Kompas.
[Online] April 16, 2007. [Cited: Februari 15, 2008.] Kompas web site.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0704/16/daerah/3459308.htm.
6. Meuko, Nurlis E., Rini, Kustiani and Nurochman. Tempo Interaktif. Legislators
Pressure Attorney Attorney General to Non-Activate Two Prosecutors. [Online] Maret
6, 2008. [Cited: Februari 15, 2008.]
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/03/06/brk,20080306118751,uk.html.
7. Antara. Indonesia Tower Ujicoba Teknologi WiMax. Antara. [Online] April 29,
2008. [Cited: Februari 15, 2008.]
http://www.antara.co.id/arc/2008/4/29/indonesia-tower-ujicoba-teknologiwimax/.
8. Ramdhani, Dwi. Tempo Interaktif. WiMax Versi Indonesia Bakal Keluar Mei 2008.
[Online] September 24, 2007. [Cited: 15 Februari, 2008.]
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/09/24/brk,20070924108294,id.html.
9. Wicaksono, Agung. The Risk and Cost of Economic Nationalism. Asia Views.
August-September, 2007.
10. The Singapore state revisited. Hamilton-Hart, Natasha. 2, s.l. : The Pacific
Review, 2002, Vol. 13.
11. Low, Linda. The Singapore developmental state in the new economy and polity.
The Pacific Review. 2001, Vol. 14, 3.
12. Creating Value. Temasek Review 2007. s.l. : Temasek Holdings 2007.

169

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


13. Reconstructing Divisions of Labour: Singapore's New Regional Emphasis. Rodan,
Gary. [ed.] Richard Higor, Richard Leaver and John Ravenhill. Boulder, Co : Lynne
Reinner, 1993, Pacific Economic Relations in the 1990s: Cooperation or Conflict?,
pp. 223-49.
14. Indonesia, Inc.: Privatizing State-Owned Enterprises. Abeng, Tanri. Singapore :
Times Academic Press, 2001.
15. Goold, M., Campbell, A. and Alexander, M. Corporate-level strategy: creating
value in the multibusiness company. s.l. : John Wiley & Sons, 1994.
16. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara. Program Peningkatan
Kinerja BUMN Serta Program Rightsizing dan Privatisasi BUMN. Jakarta : s.n., 2007.
17. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Freeman, RE. Massachusetts :
Pitman Boston, 1984.
18. Temasek Charter. 2002.
19. Reading the Ninth Malaysia Plan 2006-2010 Politically. Khoo, Boo Teik.
Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 1993. Conference on the Malaysian
Economy: Developments and Challenges.
20. Onishi, Norimitsu. Japan's textbooks reflect revised history. International
Herald Tribune. [Online] March 31, 2007. [Cited: March 25, 2008.]
http://www.iht.com/articles/2007/04/01/asia/web-0401japan.php.
21. Voice of America. Jepang Tolak Permintaan Revisi Buku Sejarah. Voice of
America. [Online] July 9, 2007. [Cited: March 25, 2008.]
http://www.voanews.com/indonesian/archive/2001-07/a-2001-07-09-5-1.cfm.
22. Smith, Tom W. and Jarkko, Lars. National Pride in Cross-National Perspective.
[Online] April 2001. [Cited: March 25, 2008.]
http://www.issp.org/Documents/natpride.doc.
23. Nasir, M. Awas, Mitos Menyelinap dalam Sejarah Jakarta! Kompas. [Online]
September 4, 2006. [Cited: March 25, 2008.] http://www2.kompas.com/kompascetak/0609/04/metro/2925413.htm.
24. Munsyi, Ayatrohaedi. Bahasa: Pahlawan Revolusi. Kompas. [Online] October
11, 2003. [Cited: March 25, 2008.] http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/11/dikbud/618296.htm.
25. Tobing, Maruli. Ihwal Penulisan Sejarah dan Peristiwa G30S. Kompas. [Online]
October 9, 2006. [Cited: March 25, 2008.] http://www2.kompas.com/kompascetak/0610/09/teropong/3007672.htm.
26. Armadita, Fadila Fikriani and Yuliantri, Rhoma Aria Dwi. Anhar Gonggong:
"Faktanya, Pemerintah Lebih Mendengarkan Taufiq Ismail Ketimbang Sejarawan".
[Online] 2007. [Cited: March 25, 2008.]
http://indonesiabuku.blogspot.com/2007/05/anhar-gonggong-faktanyapemerintah.html.
27. Tunggal, Nawa. Mungkinkah Perdebatan tentang Hari Lahir Jakarta Bisa
Diakhiri? Kompas. [Online] June 26, 2006. [Cited: March 25, 2008.]
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0606/26/teropong/2756121.htm.
28. Suryadi. Imam Bonjol, Dikenang Sekaligus Digugat. Kompas. [Online]
November 10, 2007. [Cited: May 5, 2008.] http://www2.kompas.com/kompascetak/0711/10/opini/3982078.htm .

170

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


29. Situmorang, Mudy. The Imam Bonjol Petition to Government of the Republic
of Indonesia. [Online] [Cited: March 25, 2008.]
http://www.petitiononline.com/bonjol/petition.html.
30. Wikipedia. Extinct Language. Wikipedia. [Online] April 21, 2008a.
http://en.wikipedia.org/wiki/Extinct_language.
31. . Endangered Language. Wikipedia. [Online] April 13, 2008b.
http://en.wikipedia.org/wiki/Endangered_language.
32. . Cinema of Indonesia. Wikipedia. [Online] 2008. [Cited: March 10, 2008.]
http://en.wikipedia.org/wiki/Cinema_of_Indonesia.
33. Dawis, Aimee. Can Indonesia Cinema Create Magic? Jakarta Post. February
2008.
34. Hardin, TL and Fink, G. Never Too Old to Rock & Roll: Life After 50 - The Best
Years Yet. Indiana : Canterbury Publishing, 2005.
35. From Thinking to Tinkering: The Grassroots of Strategic Information Systems.
Ciborra, CU. New York : s.n., 1991. 12th International Conference on Information
Systems. pp. 283-91.
36. Nolan, RL. Managing the Computer Resource: A Stage Hypothesis.
Communications of the ACM. 1973, Vol. 16, 7, pp. 399-405.
37. . Managing the Crisis in Data Processing. Harvard Business Review. 1979, Vol.
57, 2, pp. 115-126.
38. Internet World Stats. Asia Internet Usage and Population. [Online] 2008.
[Cited: March 18, 2008.] http://www.internetworldstats.com/stats3.htm.
39. UNDP. Human Development Reports: Indonesia. [Online] [Cited: March 18,
2008.] http://hdrstats.undp.org/countries/country_fact_sheets/cty_fs_IDN.html.
40. LeBon, Tim. Abraham Maslow - father or humanistic psychology: Selfactualisation, the hierarchy of needs and peak experiences. Tim LeBon web site.
[Online] 2006. [Cited: March 18, 2008.] http://www.timlebon.com/maslow.htm.
41. Witton, P. Indonesia. Melbourne : Lonely Planet, 2003.
42. Holmes, A. Lifelong Learning. Oxford : Capston Publishing, 2002.
43. Raines, C. Connecting Generations: The Sourcebook for a New Workplace.
California : Crisp Publications, 2003.
44. Wong, YH. The Glittering Silver Market: The Rise of the Elderly Consumers in
Asia. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, 2007.
45. Turley, Jim. Silicon 101. [Online] 2004. [Cited: March 20, 2008.]
http://www.embedded.com/showArticle.jhtml?articleID=17501489.
46. USGS. 2005 Minerals Yearbook Indonesia. [Online] 2005.
http://minerals.usgs.gov.
47. Moore, Gordon E. Cramming more components onto integrated circuits.
[Online] 1965. ftp://download.intel.com/museum/Moores_Law/ArticlesPress_Releases/Gordon_Moore_1965_Article.pdf.
48. Parawisto, Rudy. INDONESIA: Shifting Sands to Prod 'Safe Haven' Singapore.
Inter Press Service. [Online] April 2, 2007.
http://ipsnews.net/news.asp?idnews=37178.

171

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


49. IFAD. Indonesia Statistics. Rural Poverty Portal. [Online] 2005. [Cited: May 2,
2008.]
http://www.ruralpovertyportal.org/english/regions/asia/idn/statistics.htm.
50. Yustika, Ahmad Erani. Tragedi Petani dan Involusi Kebijakan Pertanian.
Kompas. [Online] October 3, 2003. [Cited: May 2, 2008.]
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0310/03/opini/600419.htm.
51. UN Millenium Project. Fast Facts: The Faces of Poverty. Millenium Project.
[Online] 2006. [Cited: March 20, 2008.]
http://www.unmillenniumproject.org/resources/fastfacts_e.htm.
52. Yan, Yangtze. Chinese Farmers' Income Surging in 2005. [Online] February 26,
2006. http://english.gov.cn/2006-02/26/content_211280.htm.
53. Riedl, Brian M. How Farm Subsidies Harm Taxpayers, Consumers, and
Farmers, Too. The Heritage Foundation. [Online] June 20, 2007. [Cited: March 20,
2008.] http://www.heritage.org/Research/Agriculture/bg2043.cfm.
54. Suara Merdeka. Beras Impor Masuk 1 Oktober. Suara Merdeka. [Online]
September 8, 2006. [Cited: March 20, 2008.]
http://www.suaramerdeka.com/harian/0609/08/nas02.htm.
55. Gusnita, Chazizah. Tolak Impor Beras: Petani Bakar Gabah di Bulog. detikcom.
[Online] September 7, 2006. [Cited: March 20, 2008.] 5.
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/09/tgl/07/
time/123236/idnews/670602/idkanal/10.
56. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Bea Masuk Impor Kedelai 0 Persen.
Republik Indonesia Web Site. [Online] January 16, 2008. [Cited: March 20, 2008.] 1.
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6
598&Itemid=701.
57. Djunaedi, Ir. Lucky Rulyaman, M.Sc. Kelangkaan Pupuk Tak Bisa Dimungkiri.
Pikiran Rakyat. [Online] 2008. [Cited: March 20, 2008.] http://beta.pikiranrakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=10608.
58. Wise, Timothy A. Understanding the Farm Problem: Six Common Errors in
Presenting Farm Statistics. Global Development and Environment Institute, Tufts
University. [Online] March 2005. [Cited: March 20, 2008.]
http://www.ase.tufts.edu/gdae/Pubs/wp/05-02TWiseFarmStatistics.pdf.
59. White, Leslie A. The Evolution of Culture. New York : McGraw Hill Company,
1959. p. 33.
60. Centre for Energy Research. Indonesia Energy Outlook 2006. s.l. : University of
Indonesia, 2006. p. 19.
61. Andrew-Speed, Philip, Liao, Janet Xuanli and Dannreuther, Ronald. The
Strategic Implications of China's Energy Needs. Adelphi Paper 346. July 2002.
62. Prawiraatmadja, Widhyawan. An Asian Approach to Energy Security. CAEC
Task Force Report. June 2004, p. 111.
63. Indonesia Ministry of Culture and Tourism. Five Provinces in Indonesia are
Struggling, Putting Out Seasonal Fire. Ministry of Culture and Tourism. [Online]
October 19, 2006. http://www.budpar.go.id/page.php?id=1908&ic=611.

172

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


64. Lester, B. R. State of the World 1997: A Worldwatch Institute Report on Progress
Towards a Sustainable Society, 14th Ed. New York, USA : W. W. Norton & Company,
1997.
65. UNESCO. Man and the Biosphere Reserves Directory. Paris, France : United
Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), 2002.
66. The Nature Conservancy Organization. What is Ecotourism? The Nature
Conservancy Organization. [Online] 2008.
http://www.natureconservatory.com/aboutus/travel/ecotourism/about/art667.h
tml.
67. Global System Science University of California. World's Smallest Bear Faces
Extinction. Fox News. [Online] 2007.
http://www.foxnews.com/story/0,2933,311024,00.html.
68. Department of Biological Science, the Western Michigan University.
Rafflesia arnoldi. Michigan, USA : The Western Michigan University, 2007.
69. Walsh, T. Murphy, et al. Komodo Dragons: Biology and Conservation (Zoo and
Aquarium Biology and Conservation Series). Washington D.C., USA : Smithsonian
Books, 2006.
70. Engar, A. Utah Researchers Search Papua New Guinea for Medicinal Drugs. The
University of Utah Independent Student Voice Magazine. 2004.
71. Profauna Indonesia. Facts About Indonesian Animals. Profauna Indonesia.
[Online] 2008. http://www.profauna.or.id/English/animal-fact.html.
72. Kompas. Warga Kutai Kartanegara Merasa Terbantu. Kompas. [Online] Juli 8,
2007. [Cited: Februari 15, 2008.] Kompas.
73. . Pendidikan dan Kesehatan Bukan Barang Mewah. Kompas. [Online]
November 6, 2004. [Cited: Februari 15, 2007.] Kompas.
74. . UU Penaman Modal Harus Didukung Pelayanan Satu Atap di Daerah.
Kompas. [Online] April 16, 2007. [Cited: Februari 15, 2008.] Kompas web site.
75. Tempo Interaktif. Tempo Interaktif. Legislators Pressure Attorney Attorney
General to Non-Activate Two Prosecutors. [Online] Maret 6, 2008. [Cited: Februari
15, 2008.]
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/03/06/brk,20080306118751,uk.html.
76. . Tempo Interaktif. WiMax Versi Indonesia Bakal Keluar Mei 2008. [Online]
September 24, 2007. [Cited: 15 Februari, 2008.]
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/09/24/brk,20070924108294,id.html.
77. Indonesia Ministry of Culture and Tourism. Five Provinces in Indonesia are
Struggling, Putting Out Seasonal Fire. Ministry of Culture and Tourism. [Online]
2006. Indonesia Ministry of Culture and Tourism website.
78. The Nature Conservancy Organization. What is Ecotourism? The Nature
Conservancy Organization. [Online] 2008. The Nature Conservancy Organization
website.
79. Profauna Indonesia. Facts About Indonesian Animals. Profauna Indonesia.
[Online] 2008. Profauna Indonesia website.

173

Gema Kebangkitan: Catatan Harapan Anak Bangsa


80. Beal, T. The State of Internet Use In Asia. [book auth.] KC Ho, R Kluver and KCC
Yang. Asia.com: Asia encounters the Internet. London & New York : Routledge
Curzon (Taylor & Francis Group), 2003.
81. Ciborra, CU. A Theory of Information Systems Based on Improvisation. [book
auth.] W Currie and R Galliers. Rethinking Management Information Systems: An
Interdisciplinary Perspective. Oxford : Oxford University Press, 1999.
82. Dychtwald, K. Age Power: How the 21st Century will be Ruled by the New Old.
New York : Penguin Putnam Inc., 1999.
83. Farlex, Inc. The Free Dictionary. [Online] 2008. [Cited: March 19, 2008.]
http://www.thefreedictionary.com.
84. Godfrey, R n.d. The World Wide Web: A replacement, displacement,
supplement or adjunct of traditional methods? [Online] [Cited: March 18, 2008.]
http://www.ascilite.org.au/conferences/adelaide96/papers/34.html.
85. Keen, PGW. Information Systems and Organizational Change. Communications
of the ACM. 1981, Vol. 24, 1, pp. 24-33.
86. Schaefer, RT. Sociology: A Brief Introduction, 4/e. [Online] 2002. [Cited: March
19, 2008.] http://highered.mcgrawhill.com/sites/0072435569/student_view0/glossary.html.
87. Siregar, AE. Indonesia: Democracy, the Media and the Poor. [book auth.] A
Putri. Poverty in Asia: Media Challenges and Responses. Singapore : AMIC, 2002.
88. DTU. Pages from Crystal Growth. DTU. [Online] 2006. http://www.dtu.dk.
89. Sheppard, Laurel M. Silicon Background. How Silicon is Made. [Online] 2007.
http://www.madehow.com/Volume-6/Silicon.html.
90. PAC. IUPAC Compendium of Chemical Terminology, Electronic Version. [Online]
1982. http://goldbook.iupac.org/S05591.html.

174

Gema Kebangkitan
Catatan Harapan Anak Bangsa

Diterbitkan oleh

Perhimpunan Pelajar
Indonesia di Singapura

Komite Hope For Indonesia

Didukung oleh

Kedutaan Besar Republik Indonesia


Singapura

182

Anda mungkin juga menyukai