TINJAUAN PUSTAKA
Demam Berdarah Dengue
A. Etiologi
Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar
wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia tengara, Amerika tengah, Amerika, dan Karibia.
Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam
famili Flaviridae dan genus Flavivirus. Terdapat empat serotipe virus dengue yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, terutama Ae.
Aegypti dan Ae. Albopticus.(1)Virus dengue dapat menyebabkan demam dengue, demam
berdarah, dan sindrom syok dengue yang endemik dan epidemik di daerah tropis Asia dan
Afrika. (infectiusdisease) Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe
lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi 3 atau bahkan 4
serotipe selama hidupnya. Keempat jenis tipe serotipe dengue dapat ditemukan di berbagai
daerah Indonesia. Serotipe DENV-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat.(2)
B. Epidemiologi
Dengue merupakan penyakit viral dengan hospes nyamuk yang paling cepat menyebar di
dunia. Pada 50 tahun terakhir telah terjadi peningkatan insiden sebesar 30% dan
penambahan ekspansi secara geografik ke negara lain. Kurang lebih 50 juta infeksi dengue
terjadi setiap tahunnya dan 2,5 miliar orang tinggal di negara endemik dengue. Di Indonesia
dimana lebih dari 35% penduduknya tinggal di daerah kota, 150.000 kasus dilaporkan pada
tahun 2007 yang merupakan kasus tercatat tertinggi dengan lebih dari 25.000 kasus
dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat. Mortalitas kasus dengue di Indonesia adalah sebesar
sebesar 1%.(3)
C. Patogenesis
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia berkisar antara 3-14 hari sebelum gejala
muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai ketujuh, sedangkan masa
inkubasi dalam tubuh nyamuk berkisar sekitar 8-10 hari. Setelah masuk dalam tubuh
manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya
diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon imun
baik humoral maupun selular, antar lain anti netralisasi, anti-hemaglutiin, dan anti
komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi
dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang
telah ada menjadi meningkat.(4)Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam
darah sekitar demam hari ke-lima, meningkat pada minggu pertama sampai ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi IG meningat saat demam hari
ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena
itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat dtegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM
setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi seunder dapat ditegakkan lebih dini dengan
adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.(5)
Patofisiologi DBD dan DSS sapai saat ini belum jelas, oleh karena itu muncul banyak
teori tentang respon imun. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktivitas
netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan
NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus
tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktivasi komplemen. Ahitnya bayak virus
dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama, tetapi apaila terjadi antiodi non-netralisasi
virus, keadaan penderita menjadi parah apabila epitop vitus yang masuk tidak sesuai dengan
antibodi yang tersedia di hospest. Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan
serotipe berbeda, virus dengue berperan sebagai super antigen setelah dufagosit oleh
monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan APC yang membawa muatan
polipeptida spesifik yang berasal dari MHC.(4)
sekunder atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor
dari membran sel leukosit terutama makrofag.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformai limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan
aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3A dan C5A akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini
terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak dapat ditanggulangi secara
adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang apat berakibat fatal. Oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem
koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP, sehingga
trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(Reticulo Endothelial System) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif,
ditandai dengan peningkatan FDP (Fibrinogen Degradation Product) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok.(6,7)
The Immunological Enhancement Hypothesis
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi menghambat
peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing antibody.
Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibody yaitu (1) kelompok monoclonal reaktif yang tidak
mempunyai sifat menetralisi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) antibody yang dapat
menetralisi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan
adanya virion determinant specificity. Antibody non-neutralosasi yang dibentuk pada infeksi
primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunderdengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus
dengue oleh serotype dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar
utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement
hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut:1
a) Sel fagosit monoklear yaitu monosit, fagosit, makrofag, histiosit dan sel Kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi
maupun
yang
melekat(sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus
dengue pada permukaan sel fagosit monoklear. Mekanisme pertama ini disebut sebagai
mekanisme aferen.
c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuclear yang telah
terinfeksi.
d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati,
limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter
perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa renjaran ialah jumlah sel yang terkena
infeksi.
e) Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan
sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi
pemeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor.
Aktivasi Limfosit T
Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue,
limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN- dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue
(serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan IFN. IFN- selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit
memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue monosit akan
mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan
perdarahan.(2)
D. Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue menyebabkan infeksi simptomatik atau serokonversi asimptomatik.
Infeksi dengue simptomatik adalah penyakit sistemik dan dinamik, yang secara umum
dibagi menjadi berat dan tidak berat.(7) Setelah periode inkubasi, gejala mulai muncul dan
dibagi menjadi tiga fase yaitu fase febris, fase kritis, dan fase pemulihan.
Awal dari fase kritis adalah turunnya suhu tubuh menjadi 37,5 38.0 0C atau lebih
rendah, biasanya terjadi 3-8 hari setelah hari pertama demam. Leukopenia progresif
diikuti dengan penurunan drastis trombosit menyebabkan kebocoran plasma.
Peningkatan hematokrit diatas normal merupakan tanda awal adanya kebooran plasma.
Periode klinis kebocoran plasma biasanya terjadi selama 24-48 jam. (13,14)Derajat
kebocoran plasma sangat bervariasi. Peningkatan hematokrit menyebabkan perubahan
tekanan darah dan volume nadi.
Derajat hemokonsenterasi diatas hematokrit dasar menggambarkan beratnya
kebocoran plasma. Pemeriksaan hematokrit sangat penting untuk menentukan kebutuhan
dari terapi airan intravena. Efusi pleura dan asites biasanya terdeteksi setelah terapi
cairan intravena, kecuali kebocoran plasma sangat signifikan. Radiografi foto dada
lateral decubitu, usg dada dan abdomen, atau kantung empedu merupakan cara deteksi
awal. Selain tanda dari kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar
dan perdarahan saar dilakukan vena punksi sering terjadi.
Syok terjadi ketika volume kritis plasma hilang melalui kebocoran, hal ini
ditandai dengan munculnya tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi rendah saat syok terjadi.
Pada syok berat dan atau berkepanjangan dapat terjadi hipoperfusi yang menyebabkan
asidosis metabolik, kerusakan organ progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata.
Hal ini menyebabkan perdarahan berat yang menyebaban penurunan hematokrit pada
syok yang berat. Selain leukopenia yang sering terlihat pada fase ini, peningkatan
leukosit juga dapat terjadi akibat respon stres pada pasien dengan perdarahan masif.
Selain itu, gangguan organ dapat muncul seperti hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis,
dan atau perdarahan masif tanpa lebocoran plasma hebat atau syok.(8)
Tanda Bahaya Dengue
Tanda bahaya dengue biasanya muncul pada hari ke 3-7 dari demam hari pertama.
Muntah persisten dan nyeri perut hebat merupakan indikasi awal kebocoran plasma dan
semakin memburuk pada keadaan syok. Akumulsi cairan pada rongga abdomen ataupun
pleura, perdarahan mukosa, letargi, pembesaran hepar >2cm, serta peningkatan
hematokrit disertai dengan penurunan drastis trombosit.(8)
3. Fase Pemulihan
Pasien akan mengalami fase ini setelah 24-48 jam melalui fase kritis, reabsorpsi
secara bertahap dari cairan ekstraseluler terjadi 48-72 jam setelahnya. Manifestasi klinis
mulai membaik, tanda vital stabil, dan diuresis sesuai normal. Pada beberapa pasien
muncul confluent erythematous atau petechial rash. Hematokrit mulai menurun menjadi
normal disertai dengan peningkatan leukosit, namun peningkatan trombosit biasanya
terjadi setelahnya.(8)
4. Dengue Berat
Kasus dengue berat dinyatakan pada pasien yang dicurigai terinfeksi dengue yang
memiliki tanda salah satu dari:
1. Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok dan atau terakumulasinya
cairan dengan gangguan pernapasan
2. Perdarahan hebat
Derajat IV
Perubahan dalam epidemiologi dengue terutama peningkatan jumlah kasus dewasa dan
ekspansi dengue ke negara lain di dunia menimbulkan masalah dalam penggunaan
klasifikasi WHO 1975s. Dimana terdapat kesulitan dalam mengaplikasikan derajat penyakit
demam berdarah dengue dan peningkatan kasus dengue berat yang tidak seluruhnya
memenuhi klasifikasi dengue derajat IV membuat re-klasifikasi demam berdarah menjadi
penting. Klasifikasi kasus dengue menurut derajat penyakitnya WHO tahun 2009 terbagi
atas 3, yaitu dengue tanpa tanda bahaya, dengue dengan tanda bahaya, dan dengue berat.(8)
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi,
G. Diagnosis
Diagnosis DBD menurut WHO 1975, jika terdapat dua kriteria klinis pertama ditambah satu
dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan
diagnosis.
Klinis
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 27 hari
Dengue Berat
1.kebocoran plasma berat
DSS
Pengumpulan cairan disertai
respiratory distress
2. Perdarahan hebat
3. Pembesaran organ
berat
Hati : AST atau ALT
>=1000
CNS penurunan
kesadaran
Jantung dan organ lain
H. Diagnosis Banding
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue dan penyakit virus
lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan dengan campak, rubela, demam
chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid, perlu ditanyakan gejala penyerta lainnya yang
terjadi bersama demam. Pemeriksaan laboratorium diperlukan sesuai indikasi.
Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau anemia aplastik,
dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap disertai pemeriksaan pungsi
sumsum tulang apabila diperlukan.
Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila anak mengalami
demam disertai syok.
I. Tatalaksana
Tanda kegawatan
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi dengue, seperti berikut.
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase bebas
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta mudah dan
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral atau muntah
Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
Ancaman syok atau dalam keadaan syok
volume cairan
Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.
Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada perbaikan
klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS yang terdiri dari,
A Acidosis: gas darah, B Bleeding: hematokrit, C Calsium: elektrolit, Ca++ dan S
Sugar: gula darah (dekstrostik)
Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila anak masih mau
minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam
Medikamentosa
Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti
emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan saluran cerna
kortikosteroid tidak diberikan.
Supportif
Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan + deficit, disertai monitor
keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.
DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat cairan
selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan
bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil laboratorium yang
tidak normal
Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah review
arteri)
Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila pasien sadar atau jalur
intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau setelah dua kali kegagalan
mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus
dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit
Perdarahan hebat
Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah segera adalah
darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila darah yang hilang dapat
dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah segar atau 5 ml/kg PRC harus
J. Komplikasi
Pada fase febris komplikasi yang bisa terjadi adalah dehidrasi, gangguan neurologis,
dan kejang demam pada anak-anak. Pada fase kritis syok dapat terjadi akibat dari kebocoran
plasma, selain itu dapat pula terjadi perdarahan dan disfungsi organ. Pada fase pemulihan
koplikasi yang dapat terjadi adalah hipervolemia dan edema paru akut.(8)