Anda di halaman 1dari 18

Abstrak

Latar belakang: Pterygium adalah penyakit pada mata yang sering dijumpai di daerah
khatulistiwa terutama oleh pajanan ultraviolet, penyebab pterygium antara lain macam-macam
zat iritan, faktor genetik, alergi, kekeringan pada mata, faktor angiogenik, dan infeksi
papilomavirus. Pada perusahaan X banyak ditemukan kasus pterygium 5.3% pada observasi awal
oleh Dinas Kesehatan. Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel
diambil secara purposive berdasarkan ruangan dengan pajanan debu tertinggi. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara langsung pada pekerja dan pemeriksaan pada mata. Hasil:
Prevalensi pterygium akibat pajanan zat iritan debu kertas 68.2% dari 85 pekerja di rewinder
enam dan sekitarnya. Riwayat merokok merupakan faktor yang bermakna (p-0.01). Kesimpulan:
Debu kertas belum dapat dibuktikan signifikansinya secara statistik dengan kejadian pterygium,
sementara perbandingan dengan studi-studi yang relevan menunjukkan bahwa prevalensi
pterygium dengan pajanan debu kertas lebih tinggi dibandingkan dengan pajanan UV.
Kata kunci : Ptrygium, penyakit mata, penyebab.

Abstract
Background: Pterygium is a disease of the eye that is often found in the equatorial region mainly
by ultraviolet exposure, the cause of pterygium among other kinds of irritants, genetic factors,
allergies, dryness of the eyes, angiogenic factors, and papillomavirus infection. In many cases the
company X pterygium 5.3% on the initial observation by the Department of Health. Methods:
This study used a cross-sectional method. Purposive sample was taken by the room with the
highest dust exposure. Data was collected through direct interviews with workers and
examination of the eye. Results: The prevalence of pterygium due to exposure to paper dust
irritants 68.2% of the 85 workers in the six and surrounding rewinder. History of smoking is a

significant factor (p-0.01) in. Conclusion: Dust paper can not be proven statistically significance
with pterygium incident, while a comparison with the relevant studies show that the prevalence
of pterygium with paper dust exposure is higher than the UV exposure.
Keywords: Ptrygium, eye disease, the cause.
Pendahuluan
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif
dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal
konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani,
yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman
kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.
Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah
yang kering dan lingkungan yang banyak angin,

karena sering terdapat pada orang yang

sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau
berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada
lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan
kering. Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden
tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 49 tahun. Pasien dibawah
umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda
dibandingkan dengan pasien usia tua.
Skenario
Seorang laki laki 68 tahun, nelayan, datang ke poliklinik dengan keluhan utama mata kiri
merah sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan disertai mata sedikit berair, perih terasa seperti mata
berpasir. Keluhan ini sudah sering dirasakan dan sering hilang timbul.

Definisi Pterigium

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.2

Gambar 4. Pterigium

Anamnesis
-

Identitas : nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa

Keluhan utama : mata kanan sakit dan sedikit merah, didapatkan benjolan putih dekat limbus

Riwayat penyakit sekarang (menggali keluhan utama) :


Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak
bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat
pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

Riwayat lingkungan dan kebiasaan : lingkungan yang terpapar sinar UV dan kebiasaan
hidup karena hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang
mengenainya

Riwayat trauma sebelumnya

Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva.
Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang
avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke
kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. Pemeriksaan fisik
pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari
kelopak baik bagian nasal maupun temporal yang menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih,
namun apabila terkena suatu iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk
menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.
Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada jaringan pterigium yang telah diekstirpasi. Gambaran
pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak adanya degenerasi hialin
pada stromanya.

ANATOMI & FISIOLOGI


A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian
belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini
mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. 2
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari
tarsus.

Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.

Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan


konjungtiva bulbi 2
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di

bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak 2

Gambar 1. Konjungtiva
B. Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel

Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan
erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom

dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa
yang merupakan barrier.
2. Membran Bowman

Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

3. Stroma

Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen
ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma. 2

4. membrane descement

merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea


dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.2

5. Endotel

berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. 2
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,

saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis
epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong
di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 2
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenarasi.2

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.2

Gambar 2. Susunan Lapisan Kornea


Epidemologi Pterigium
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di
atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan
terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi
di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.8
Di Indonesia, hasil survei Departemen Kesehatan RI Tahun 1982 pterigium menempati
urutan ketiga terbesar (8,79 %) dari penyakit mata. Hasil survei nasional tahun 1993-1996
tentang angka kesakitan mata di 8 propinsi di Indonesia menempatkan pterigium pada urutan
kedua (13,9 %).3

Gizzard dkk dalam penelitian di Indonesia menemukan bahwa angka

prevalensi tertinggi ditemukan di propinsi Sumatra. 4 Sedangkan dari survei kesehatan indra
penglihatan dan pendengaran tahun 1995 prevalensi penyakit mata di Sulawesi Utara
menempatkan pterigium pada urutan pertama (17,9 %).5 Mandang pada tahun 1970 menemukan
14,69 % pterigium khususnya di 19 desa dan 17,50 % pterigium di 3 ibukota kecamatan di
Kabupaten Minahasa. Di Minahasa, pterigium merupakan penyakit mata nomor 3 sesudah
kelainan refraksi dan penyakit infeksi luar. Mangindaan IAN, Bustani NM melaporkan 21,35 %

pterigium di 2 desa di Kabupaten Minahasa Utara, hasil 12,92 % pada pria dan 8,43 % pada
wanita, 9,55 % berusia di atas 50 tahun, dengan pekerjaan petani sebesar 10,11 % terbanyak
adalah pterigium stadium 3 yaitu 42,11 % yang tumbuh di bagian nasal sebesar 55,26 %.6,7
Etiologi Pterigium
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan suatu neoplasma,
radang dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari,
lingkungan dengan angin yang banyak dan udara yang panas selain itu faktor genetik dicurigai
sebagai faktor predisposisi.4,5
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet
sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah terpapar
sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva yang dapat mengakibatkan
kerusakan sel dan proliferasi sel.
2. Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal.
Patofisiologi Pterigium
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada
orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima tentang
hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari
(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan
pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada
daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.3
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan
menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan
subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan
kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman

oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat
normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. 4,5
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal
stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari
defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet
terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah
dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix
metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi. 4
Gejala dan Tanda Pterigium
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain rasa perih,
terganjal, sensasi benda asing, silau, berair, gangguan visus, serta masalah kosmetik.
Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna putih, tampak jaringan
fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva interpalpebrae sampai
kornea, jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan, umumya
tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan dari apek pterigium terdapat infiltrate
kecil-kecil yang disebut islet of Fuch. Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah
dan menebal yang kadang-kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita.7,8,9
Klasifikasi Pterigium dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.

Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu pterigium progresif dan
pterygium regresif: 8

Pterigium progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium (disebut cap dari pterygium).

Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Tipe ini akhirnya akan membentuk
membran yang tidak hilang.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu : 9


-

Derajat 1: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.


Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam

keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)


Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Pterigium derajat 3

Pterigium derajat 2

Pterigium derajat 4

Gambar 5. Klasifikasi pterigium berdasarkan derajatnya

Diagnosa Banding Pterigium


Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering
pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva
menutupi kornea.5,6

Gambar 6. Pseeudopterigium
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah 5
Tabel 1. Perbedaan Pterigium Dengan Pseudopterigium
PTERIGIUM

PSEUDOPTERIGIUM

1.Lokasi

Selalu di fissura palpebra

Sembarang lokasi

2.Progresifitas

Bisa progresif atau stasioner

Selalu stasioner

3.Riwayat

Ulkus kornea(-)

Ulkus kornea (+)

Negatif

positif

penyakit

mata
4.Tes sondase
Pinguekula
Pinguekula merupakan penebalan pada konjungtiva bulbi berbentuk segitiga dengan
puncak di perifer dasar di limbus kornea, berwarna kuning keabu-abuan dan terletak di celah
kelopak mata. Timbul akibat iritasi oleh angin, debu dan sinar matahari yang berlebihan.
Biasanya pada orang dewasa yang berumur kurang lebih 20 tahun.1

Gambar 7. Pinguekula
Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering terdapat hanya dua lapis
sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen stroma berdegenerasi hialin yang amorf kadangkadang terdapat penimbunan serat-serat yang terputus-putus. Dapat terlihat penimbunan kalsium
pada lapisan permukaan. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam Pinguekula akan tetapi bila
meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah
yang melebar. Tidak ada pengobatan yang khas, tetapi bila terdapat gangguan kosmetik dapat
dilakukan pembedahan pengangkatan.1
Penatalaksanaan Pterigium
1. Non Farmakologi
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko
berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di
sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap
radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari.
Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah
subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko
tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja
bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan
menggunakan kacamata atau topi pelindung.
2. Farmakologi
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid
tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami
kelainan pada kornea.
3. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian

superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium


yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya
hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC
juga cukup berat.
1. Indikasi Operasi
Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6
2. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan

pterigium adalah kekambuhan,

dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik


bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih

untuk

memisahkan

ujung

pterigium

dari

kornea

yang

mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut


yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1
Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89
persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal

jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1

(a) Pterygium
(b) Pterygium diangkat
(c) daerah yang diangkat
(d) Konjungtiva di daerah yang tidak terkena
sinar UV (misal dibawah palpebra superior)
diangkat
(e) konjungtiva tersebut ditransplant

GAMBAR 8. TEKNIK AUTOGRAFT KONJUNGTIVA

Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa
itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan
dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam
pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer
dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari
teknik

ini

selama

autograft

konjungtiva

adalah

pelestarian bulbar

konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan


membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa

studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu


cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin
juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
4. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan
terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk
menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang
aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan
penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data
yang jelas dari angka kekambuhan

yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi

termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama
6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan
steroid selama 1 minggu.6

Komplikasi Pterigium
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
-

Gangguan penglihatan
Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
Dry Eye sindrom 3

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:


-

Infeksi
Ulkus kornea
Graft konjungtiva yang terbuka
Diplopia
Adanya jaringan parut di kornea 3

Pencegahan dan Prognosa Pterigium


Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang
banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar
matahari.6
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari
pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat
beraktivitas kembali. 6
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk
mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran
amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi. 6
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata, sunblock dan mengurangi
terpapar sinar matahari.
Kesimpulan

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.

Daftar pustaka
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116
117.
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya Medika.
Jakarta. 2000;hal 120-25.
3. Gazzard G, Pterygium in Indonesia : prevalence, severity and risk factors. Br. J
Ophtalmol. 2002 ; 86 : 1341-46.

4. Ilyas S. Mata Merah dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003;hal 15057.
5. American Academy Of Ophthalmology. 2005-2006. Base and Clinical Science Course
,section 8, External Disease and Corne. p:344,403.
6. Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age international Limited Publisher.p: 443457
7. T H Tan Donald et All. 2005. Pterigium.Clinical Ophthalmology. An Asian Perspective
Chapter 3.2. Saunder Elsevier.Singapore. p: 207-214
8. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya Medika.
Jakarta. 2000.hal;76-9.
9. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Binarupa Aksara. Jakarta.2003;hal:80-9.

Anda mungkin juga menyukai