Latar belakang: Pterygium adalah penyakit pada mata yang sering dijumpai di daerah
khatulistiwa terutama oleh pajanan ultraviolet, penyebab pterygium antara lain macam-macam
zat iritan, faktor genetik, alergi, kekeringan pada mata, faktor angiogenik, dan infeksi
papilomavirus. Pada perusahaan X banyak ditemukan kasus pterygium 5.3% pada observasi awal
oleh Dinas Kesehatan. Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel
diambil secara purposive berdasarkan ruangan dengan pajanan debu tertinggi. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara langsung pada pekerja dan pemeriksaan pada mata. Hasil:
Prevalensi pterygium akibat pajanan zat iritan debu kertas 68.2% dari 85 pekerja di rewinder
enam dan sekitarnya. Riwayat merokok merupakan faktor yang bermakna (p-0.01). Kesimpulan:
Debu kertas belum dapat dibuktikan signifikansinya secara statistik dengan kejadian pterygium,
sementara perbandingan dengan studi-studi yang relevan menunjukkan bahwa prevalensi
pterygium dengan pajanan debu kertas lebih tinggi dibandingkan dengan pajanan UV.
Kata kunci : Ptrygium, penyakit mata, penyebab.
Abstract
Background: Pterygium is a disease of the eye that is often found in the equatorial region mainly
by ultraviolet exposure, the cause of pterygium among other kinds of irritants, genetic factors,
allergies, dryness of the eyes, angiogenic factors, and papillomavirus infection. In many cases the
company X pterygium 5.3% on the initial observation by the Department of Health. Methods:
This study used a cross-sectional method. Purposive sample was taken by the room with the
highest dust exposure. Data was collected through direct interviews with workers and
examination of the eye. Results: The prevalence of pterygium due to exposure to paper dust
irritants 68.2% of the 85 workers in the six and surrounding rewinder. History of smoking is a
significant factor (p-0.01) in. Conclusion: Dust paper can not be proven statistically significance
with pterygium incident, while a comparison with the relevant studies show that the prevalence
of pterygium with paper dust exposure is higher than the UV exposure.
Keywords: Ptrygium, eye disease, the cause.
Pendahuluan
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif
dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal maupun nasal
konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani,
yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman
kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.
Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah
yang kering dan lingkungan yang banyak angin,
sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau
berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada
lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan
kering. Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden
tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 49 tahun. Pasien dibawah
umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda
dibandingkan dengan pasien usia tua.
Skenario
Seorang laki laki 68 tahun, nelayan, datang ke poliklinik dengan keluhan utama mata kiri
merah sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan disertai mata sedikit berair, perih terasa seperti mata
berpasir. Keluhan ini sudah sering dirasakan dan sering hilang timbul.
Definisi Pterigium
Gambar 4. Pterigium
Anamnesis
-
Keluhan utama : mata kanan sakit dan sedikit merah, didapatkan benjolan putih dekat limbus
Riwayat lingkungan dan kebiasaan : lingkungan yang terpapar sinar UV dan kebiasaan
hidup karena hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang
mengenainya
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva.
Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang
avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke
kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. Pemeriksaan fisik
pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari
kelopak baik bagian nasal maupun temporal yang menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih,
namun apabila terkena suatu iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk
menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.
Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada jaringan pterigium yang telah diekstirpasi. Gambaran
pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak adanya degenerasi hialin
pada stromanya.
Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari
tarsus.
Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.
Gambar 1. Konjungtiva
B. Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan
erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom
dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa
yang merupakan barrier.
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen
ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma. 2
4. membrane descement
bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.2
5. Endotel
berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. 2
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis
epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong
di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 2
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenarasi.2
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.2
prevalensi tertinggi ditemukan di propinsi Sumatra. 4 Sedangkan dari survei kesehatan indra
penglihatan dan pendengaran tahun 1995 prevalensi penyakit mata di Sulawesi Utara
menempatkan pterigium pada urutan pertama (17,9 %).5 Mandang pada tahun 1970 menemukan
14,69 % pterigium khususnya di 19 desa dan 17,50 % pterigium di 3 ibukota kecamatan di
Kabupaten Minahasa. Di Minahasa, pterigium merupakan penyakit mata nomor 3 sesudah
kelainan refraksi dan penyakit infeksi luar. Mangindaan IAN, Bustani NM melaporkan 21,35 %
pterigium di 2 desa di Kabupaten Minahasa Utara, hasil 12,92 % pada pria dan 8,43 % pada
wanita, 9,55 % berusia di atas 50 tahun, dengan pekerjaan petani sebesar 10,11 % terbanyak
adalah pterigium stadium 3 yaitu 42,11 % yang tumbuh di bagian nasal sebesar 55,26 %.6,7
Etiologi Pterigium
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan suatu neoplasma,
radang dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari,
lingkungan dengan angin yang banyak dan udara yang panas selain itu faktor genetik dicurigai
sebagai faktor predisposisi.4,5
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet
sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah terpapar
sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva yang dapat mengakibatkan
kerusakan sel dan proliferasi sel.
2. Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal.
Patofisiologi Pterigium
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada
orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima tentang
hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari
(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan
pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada
daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.3
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan
menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan
subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan
kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat
normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. 4,5
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal
stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari
defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet
terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah
dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix
metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi. 4
Gejala dan Tanda Pterigium
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain rasa perih,
terganjal, sensasi benda asing, silau, berair, gangguan visus, serta masalah kosmetik.
Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna putih, tampak jaringan
fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva interpalpebrae sampai
kornea, jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan, umumya
tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan dari apek pterigium terdapat infiltrate
kecil-kecil yang disebut islet of Fuch. Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah
dan menebal yang kadang-kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita.7,8,9
Klasifikasi Pterigium dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.
Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu pterigium progresif dan
pterygium regresif: 8
Pterigium progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium (disebut cap dari pterygium).
Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Tipe ini akhirnya akan membentuk
membran yang tidak hilang.
Pterigium derajat 3
Pterigium derajat 2
Pterigium derajat 4
Gambar 6. Pseeudopterigium
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah 5
Tabel 1. Perbedaan Pterigium Dengan Pseudopterigium
PTERIGIUM
PSEUDOPTERIGIUM
1.Lokasi
Sembarang lokasi
2.Progresifitas
Selalu stasioner
3.Riwayat
Ulkus kornea(-)
Negatif
positif
penyakit
mata
4.Tes sondase
Pinguekula
Pinguekula merupakan penebalan pada konjungtiva bulbi berbentuk segitiga dengan
puncak di perifer dasar di limbus kornea, berwarna kuning keabu-abuan dan terletak di celah
kelopak mata. Timbul akibat iritasi oleh angin, debu dan sinar matahari yang berlebihan.
Biasanya pada orang dewasa yang berumur kurang lebih 20 tahun.1
Gambar 7. Pinguekula
Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering terdapat hanya dua lapis
sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen stroma berdegenerasi hialin yang amorf kadangkadang terdapat penimbunan serat-serat yang terputus-putus. Dapat terlihat penimbunan kalsium
pada lapisan permukaan. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam Pinguekula akan tetapi bila
meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah
yang melebar. Tidak ada pengobatan yang khas, tetapi bila terdapat gangguan kosmetik dapat
dilakukan pembedahan pengangkatan.1
Penatalaksanaan Pterigium
1. Non Farmakologi
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko
berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di
sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap
radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari.
Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah
subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko
tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja
bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan
menggunakan kacamata atau topi pelindung.
2. Farmakologi
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid
tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami
kelainan pada kornea.
3. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
untuk
memisahkan
ujung
pterigium
dari
kornea
yang
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
(a) Pterygium
(b) Pterygium diangkat
(c) daerah yang diangkat
(d) Konjungtiva di daerah yang tidak terkena
sinar UV (misal dibawah palpebra superior)
diangkat
(e) konjungtiva tersebut ditransplant
ini
selama
autograft
konjungtiva
adalah
pelestarian bulbar
termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama
6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan
steroid selama 1 minggu.6
Komplikasi Pterigium
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
-
Gangguan penglihatan
Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
Dry Eye sindrom 3
Infeksi
Ulkus kornea
Graft konjungtiva yang terbuka
Diplopia
Adanya jaringan parut di kornea 3
Daftar pustaka
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116
117.
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya Medika.
Jakarta. 2000;hal 120-25.
3. Gazzard G, Pterygium in Indonesia : prevalence, severity and risk factors. Br. J
Ophtalmol. 2002 ; 86 : 1341-46.
4. Ilyas S. Mata Merah dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003;hal 15057.
5. American Academy Of Ophthalmology. 2005-2006. Base and Clinical Science Course
,section 8, External Disease and Corne. p:344,403.
6. Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age international Limited Publisher.p: 443457
7. T H Tan Donald et All. 2005. Pterigium.Clinical Ophthalmology. An Asian Perspective
Chapter 3.2. Saunder Elsevier.Singapore. p: 207-214
8. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya Medika.
Jakarta. 2000.hal;76-9.
9. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Binarupa Aksara. Jakarta.2003;hal:80-9.