PROFESI :
- Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
- Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
- Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
- Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
PROFESIONAL :
- Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
- Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
- Hidup dari situ.
- Bangga akan pekerjaannya.
CIRI-CIRI PROFESI
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi,
yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini
dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya
setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi
harus
meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan
selalu berkaitan
dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa
keselamatan,
keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan
suatu profesi
harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan
bahwa kaum
profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang
berada di atas ratarata.
Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi
di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam
rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan
bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa
diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik.
PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI :
1. Tanggung jawab
- Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
- Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau
masyarakat pada
umumnya.
2. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja
apa yang
menjadi haknya.
3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan
di beri
kebebasan dalam menjalankan profesinya.
SYARAT-SYARAT SUATU PROFESI :
- Melibatkan kegiatan intelektual.
- Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
- Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
- Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
- Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
- Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
- Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
- Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.
PERANAN ETIKA DALAM PROFESI :
Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan
orang saja,
tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil
yaitu
keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu
kelompok
diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi
landasan
dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun
dengan
sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering
menjadi pusat
perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara
tertulis (yaitu kode
etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku
sebagian para
anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah
disepakati
bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan
etik pada
masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum
dikenal
adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian
klinik super
spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin
menjamahnya.
baik, kode etik itu sendiri harus menjadi hasil SELF REGULATION (pengaturan
diri) dari profesi.
Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam
atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya
hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik
yang berisikan nilai-nilai dan citacita yang diterima oleh profesi itu sendiri
yang bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk
dilaksanakan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat
lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah
bahwa pelaksanaannya diawasi terus menerus. Pada umumnya kode etik
akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik.
SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK :
a. Sanksi moral
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu
dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena
tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali
kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban
melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu
merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik;
seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian
juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap
pelanggar. Namun demikian, dalam praktek seharihari control ini tidak
berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam
anggotaanggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan
melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan
perilaku semacam itu solidaritas antar kolega
ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik
profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah
menempatkan etika profesi di atas
pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana
profesi harus
memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat
melaksanakannya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik
profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah
dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi.
Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke
bentuk yang
lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat
dalam etika
profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan
yang ditulis
secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik,
apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan
bisa
bertindak
sebagai
seorang
keluarganya
2.Individualisme
Pasien mempunyai hak-hak mutlak terhadap badan dan kehidupannya
3.Resiprokalisme
Kalangan profesi kesehatan harus bekerja sama dengan pasien dan
keluarganya dalam memberikan pelayanan kesehatan
Landasan pembentukan perundang-undngan pelayanan kesehatan (WB Van
Der Mijn 1982)
1.Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian
2.Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu
3.Kebutuhan akan keterarahan
4.Kebutuhan akan pengendalian biaya
5.Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan
kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah
6.Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum
7.Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli
8.Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga
9.Kebutuhan akan perlindungan bagi kepentingan umum
Perlu sosialisasi peraturan hukum pada masyarakat
Masalah pokok dalam pembentukan perundang-undangan
kesehatan :
1.Masalah prinsi apa yang boleh dilakuakn dan yang tidak boleh
dilakukanpil
sampai sejauh manakah pembentuk perundang-undagan dapat berbuat
atau tidak berbuat
2.Masalah pragmatis
http://catatankuliahnya.wordpress.com/category/semester-3/etika-dan-hukumkesehatan/
Tujuan
1. Tujuan Umum
Penyusunan Standar Profesi Gizi sebagai landasan pengembangan profesi
gizi di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai acuan bagi penyelenggaraan pendidikan gizi di Indonesia dalam
rangka menjaga mutu gizi.
b. Sebagai acuan perilaku gizi dalam mendarmabaktikan dirinya di
masyarakat.
c. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan gizi yang profesional baik
untuk individu maupun kelompok.
d. Mencegah timbulnya malpraktek gizi.
C. Pengertian dan Ruang Lingkup
1. Pengertian
a. Profesi Gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilaksanakan
berdasarkan suatu keilmuan (body of knowledge), memiliki kompetensi yang
diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, memiliki kode etik dan
bersifat melayani masyarakat.
b. Ahli Gizi dan Ahli Madya Gizi adalah seorang yang telah mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan akademik dalam bidang gizi sesuai aturan yang
berlaku, mempunyai tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh
untuk melakukan kegiatan fungsional dalam bidang pelayanan gizi, makanan
dan dietetik baik di masyarakat, individu atau rumah sakit.
c. Sarjana Gizi adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan
minimal pendidikan formal sarjana gizi (S1) yang diakui pemerintah Republik
Indonesia.
d. Ahli Gizi-Ahli Diet Teregistrasi atau disebut Registered Dietisien yang
disingkat RD adalah sarjana gizi yang telah mengikuti pendidikan profesi
(internship) dan ujian profesi serta dinyatakan lulus kemudian diberi hak
untuk mengurus ijin memberikan pelayanan dan menyelenggarakan praktek
gizi.
e. Ahli Madya Gizi Teregistrasi atau disebut Teknikal Registered Dietisien
adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Diploma III Gizi sesuai aturan yang berlaku, mempunyai tugas, tanggung
jawab dan wewenang secara penuh untuk melakukan kegiatan fungsional
dalam bidang pelayanan gizi, makanan dan dietetik baik di masyarakat,
individu atau rumah sakit.
f. Ilmu Gizi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan
dalam hubungannya dengan kesehatan optimal. Kata gizi berasal dari
bahasa Arab ghidza yang berarti makanan. Di satu sisi ilmu gizi
berkaitan dengan makanan dan sisi lain dengan tubuh manusia.
g. Pelayanan Gizi adalah suatu upaya memperbaiki atau meningkatkan gizi,
makanan, dietetik masyarakat, kelompok, individu atau klien yang
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan,
pengolahan, analisis, kesimpulan, anjuran, implementasi dan evaluasi gizi,
gizi (pengadaan makanan, pelayanan gizi ruang rawat inap, dan konsultasi
gizi).
6. Komunitas (Dinas kesehatan Kabupaten/kota, Puskesmas, organisasi
masyarakat misalnya Poslantia yang memberikan pelayanan gizi dan
kesehatan).
7. Institusi penyelenggara makanan (hotel, katering, RS, Asrama, Panti,
Industri Lembaga Pemasyarakatan).
8. Pembimbing
Pembimbing lapangan dari lahan praktek seperti rumah sakit, komunitas dan
institusi penyelenggara makanan dalam penyelenggaraan pendidikan profesi
mempunyai kualifikasi: Mempunyai sertifikat clinical instruktur yang
diselenggarakan oleh AIPGI bekerja sama dengan PERSAGI; Pendidikan gizi
serendah-rendahnya S2 bidang gizi; Mempunyai pengalaman dalam
pelayanan/asuhan gizi/pengelolaan program gizi/pendidikan gizi minimal 5
tahun; Diusulkan oleh institusi penyelenggara pendidikan profesi gizi sebagai
pembimbing.
9. Penguji
Penguji yang berhak melakukan evaluasi program dalam pendidikan profesi
adalah tenaga kesehatan atau gizi yang mempunyai kualifikasi:
1) Pendidikan minimal S2 dengan latar belakang pendidikan gizi dan
menguasai minimal salah satu 3 komponen yang akan diujikan (clinical,
community dan food service).
2) Mempunyai pengalaman dalam asuhan gizi/pengelolaan program
gizi/pendidikan gizi minimal 5 tahun.
3) Diusulkan institusi penyelenggara pendidikan profesi gizi sebagai penguji.
II. STANDAR KOMPETENSI
A. Falsafah dan Tujuan
Standar kompetensi ahli gizi disusun berdasarkan jenis ahli gizi yang ada
saat ini yaitu ahli gizi dan ahli madya gizi. Keduanya mempunyai wewenang
dan tanggung jawab yang berbeda. Secara umum tujuan disusunnya standar
kompetensi ini adalah sebagai landasan pengembangan profesi Ahli Gizi di
Indonesia sehingga dapat mencegah tumpang tindih kewenangan berbagai
profesi yang terkait dengan gizi. Adapun tujuan secara khusus adalah
sebagai acuan bagi kurikulum pendidikan gizi di Indonesia dalam rangka
menjaga mutu Ahli Gizi, menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan gizi
yang profesional baik untuk individu maupun kelompok dan mencegah
timbulnya mal-praktek gizi.
B. Peran
1. Ahli Gizi
a. Pelaku tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik
b. Pengelola pelayanan gizi di masyarakat
c. Pengelola tatalaksana /asuhan/pelayanan gizi di RS
d. Pengelola sistem penyelenggaraan makanan Institusi /masal
e. Pendidik/Penyuluh/pelatih /konsultan gizi
f. Pelaksana penelitian gizi.
menghargai kebutuhan unik setiap klien yang dilayani dan peka terhadap
perbedaan budaya, dan tidak melakukan diskriminasi dalam hal suku,
agama, ras, status sosial, jenis kelamin, usia dan tidak menunjukkan
pelecehan seksual.
4. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memberikan pelayanan gizi prima,
cepat, dan akurat.
5. Ahli Gizi berkewajiban memberikan informasi kepada klien dengan tepat
dan jelas, sehingga memungkinkan klien mengerti dan mau memutuskan
sendiri berdasarkan informasi tersebut.
6. Ahli Gizi dalam melakukan tugasnya, apabila mengalami keraguan dalam
memberikan pelayanan berkewajiban senantiasa berkonsultasi dan merujuk
kepada ahli gizi lain yang mempunyai keahlian.
C. KEWAJIBAN TERHADAP MASYARAKAT
1. Ahli Gizi berkewajiban melindungi masyarakat umum khususnya tentang
penyalahgunaan pelayanan, informasi yang salah dan praktek yang tidak
etis berkaitan dengan gizi, pangan termasuk makanan dan terapi gizi/diet.
ahli gizi hendaknya senantiasa memberikan pelayanannya sesuai dengan
informasi faktual, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Ahli Gizi senantiasa melakukan kegiatan pengawasan pangan dan gizi
sehingga dapat mencegah masalah gizi di masyarakat.
3. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa peka terhadap status gizi masyarakat
untuk mencegah terjadinya masalah gizi dan meningkatkan status gizi
masyarakat.
4. Ahli Gizi berkewajiban memberi contoh hidup sehat dengan pola makan
dan aktifitas fisik yang seimbang sesuai dengan nilai paktek gizi individu
yang baik.
5. Dalam bekerja sama dengan profesional lain di masyarakat, Ahli Gizi
berkewajiban hendaknya senantiasa berusaha memberikan dorongan,
dukungan, inisiatif, dan bantuan lain dengan sungguh-sungguh demi
tercapainya status gizi dan kesehatan optimal di masyarakat.
6. Ahli Gizi dalam mempromosikan atau mengesahkan produk makanan
tertentu berkewajiban senantiasa tidak dengan cara yang salah atau,
menyebabkan salah interpretasi atau menyesatkan masyarakat
D. KEWAJIBAN TERHADAP TEMAN SEPROFESI DAN MITRA KERJA
1. Ahli Gizi dalam bekerja melakukan promosi gizi, memelihara dan
meningkatkan status gizi masyarakat secara optimal, berkewajiban
senantiasa bekerjasama dan menghargai berbagai disiplin ilmu sebagai
mitra kerja di masyarakat.
2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memelihara hubungan persahabatan
yang harmonis dengan semua organisasi atau disiplin ilmu/profesional yang
terkait dalam upaya meningkatkan status gizi, kesehatan, kecerdasan dan
kesejahteraan rakyat.
3. Ahli Gizi berkewajiban selalu menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan
keterampilan terbaru kepada sesama profesi dan mitra kerja.
E. KEWAJIBAN TERHADAP PROFESI DAN DIRI SENDIRI
1. Ahli Gizi berkewajiban mentaati, melindungi dan menjunjung tinggi
bidang kesehatan.
Etika Kesehatan mencakup ruang lingkup minimalal :
1. tritmen pada pasien yang menghadapi ajal
2. Mengijinkan unsur mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan
sengaja atas permintaan pasien sendiri,pembatasan perilaku, dan infomrmed
consent.
3. Bioetika
4. Pengungkapan kebenaran dan kerahasiaan dalam bidang kedokteran.
Contoh penerapan :
1 Tritmen pada pasien yang menghadapi ajal :
- Pemberian O2 -> diteruskan / di stop.
- Program pengobatan diteruskan / tidak
- Suport terapi ( RJP ) sampai kapan.
- dalam kondisi MBO.
2. Mengijinkan unsur mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan
sengaja atas permintaanpasien sendiri,pembatasan perilaku, dan infomrmed
consent.
- Pa sien teriminal
- Status vegetatif
- pasien HIV /AID
- pasien mendapat terapi diet
- pasien menghadapi tindakan medik
-operasi, pemakaian obat yangharganya mahal dll.
3 Bioetika :
- aborsi, pembatasan kelahiran,sterilisasi, bayi tabung, tranplantasi organ dll.
4 Pengungkapan kebenaran dan kerahasiaan dalam bidang kedokteran.
- permintaan informasi data pasien,
- Catatan medik,
- Pembicaraan kasus pasien.
Etika umum yang berlaku di masyarakat :
- Privasi pasien,
- Menghargai harkat martabat pasien
- Sopan santun dalam pergaulan
- saling menghormati,
- saling membantu.
- peduli terhadap lingkungan
Etika Profesi keperawatan dunia ICN.
Etika Keperawatan terkandung adanya nilai nilai dan prinsip prinsip yang
berfokus bagi praktik Perawat.
Praktik perawat bermuara pada interaksi profesional dengan pasien serta
dengan profesi
Teks Kode Etik Keperawatan Indonesia tahu 2000.
Bab I Perawat dan klien :
1. Perawat dalam memberikan perawatan thd klien, dan tidak terpengaruh
kedudukan sosial politik dan agama yang dianut serta warna kulit.umur,jenis
kelamin, aliran pertimbangan kebangsaan, kesukuan.
2. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai nilai budaya, adat
istiadat dan kelangsungan hidupberagama dari klien.
3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
memebutuhkan asuhan keperawatan.
4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan
dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh
yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Bab II Perawat dan Praktik
1. Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi dibidang keperawatan
melalui belajar terus menerus.
2. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi
disertai kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan serta
ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
3. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang
akurat dan mempertimbangakan kemampuan serta kualifikasi seseorang
dalam melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi
kepada orang lain.
4. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan
dengan selalu menunjukan perilaku profesional.
Bab III Perawat dan masyarakat :
Perawat mengemban tugas tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan memdukung berbagai kegiatan dalam memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat.
Bab IV Perawat dan Teman sejawat :
1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat
maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dalam memelihar keserasian
suasana lingkungan kerja maupun tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh.
2. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan
illegal.
Bab V Perawat dan Profesi :
1. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan
sejawat
=> Tindakan eksplisit maupun implisit
-> simpatik, impati kepada orang lain.
ad.2 Otonomi :
= hak untuk mengatur dan membuat keputusannya sendiri.
Tetapi tidak sebebas bebasnya
-> ada keterbatasan dalam hukum,
kompetensi dan kewenangan.
-> perlu pemahaman tindakan kolaborasi.
ad.3 Beneficence ( kemurahan hati) :
= berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan hal yang baik dan tidak
membahayakan orang lain.
lanjutan :
Pada dasarnya seseorang diharapkan dapat membuat keputusan untuk
dirinya sendiri , kecuali bagi mereka yang tidak
dapat melakukannya.
-> bayi dan anak
-> pasien koma
-> keterbelakangan mental / kelainan kejiwaan.
Ad.4 Non-maleficence:
Prinsip -> berkaitan dengan kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja
menimbulkan kerugian / cidera pasien.
- Jangan membunuh
- jangan menyebabkan nyeri/penderitaan lain.
- jangan membuat orang lain tidak berdaya.
- Jangan melukai perasaan
Ad.5 Veracity ( kejujuran ) :
Kewajiban perawat untuk
mengatakan suatu kebenaran. Tidak bohong tidak menipu. Terutama dalam
proses informed consent.
Perawat membatu pasien untuk memahami informasi dokter tentang
rencana tindakan medik / pengobatan dengan jujur.
Ad.6 Kridensialitas ( kerahasiaan ) :
Prinsip ini berkaitan dengan kepercayaan pasien terhadap perawat. Perawat
tidak akan menyampaikan informasi tentang kesehatan pasien kepada orang
yang tidak berhak.
Prinsip -> Info diagnose medik
diberikan oleh dokter. Perawat memberi info kondisi kesehatan umum.
Ad.7 Fidelity ( kesetiaan ) :
Ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk selalu setia pada kesepakatan
dan tanggung jawab yang telah dibuat. Tanggung jawab perawat dalam tim
-> asuhan keperawatan kepada individu, pemberi kerja , pemerintah dan
masyarakat.
Ad.8 Justice ( keadilan ) :
Berkenaan dengan kewajiban perawat untuk adil kepada semua orang .
Adil -> tidak memihak salah satu orang. Semua pasien harus mendapatkan
tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara
etika dalam agama, hukum, adat dan praktek profesional
NILAI-NILAI ESENSIAL DALAM PROFESI
Pada tahun 1985, The American Association Colleges of Nursing
melaksanakan suatu proyek termasuk didalamnya mengidentifikasi nilai-nilai
esensial dalam praktek keperawatan profesional. Perkumpulan ini
mengidentifikasikan 7 nilai-nilai esensial dalam kehidupan profesional, yaitu:
1. Aesthetics (keindahan): Kualitas obyek suatu peristiwa atau kejadian,
seseorang memberikan kepuasan termasuk penghargaan, kreatifitas,
imajinasi, sensitifitas dan kepedulian.
2. Altruism (mengutamakan orang lain): Kesediaan memperhatikan
kesejahteraan orang lain termasuk keperawatan atau kebidanan, komitmen,
arahan, kedermawanan atau kemurahan hati serta ketekunan.
3. Equality (kesetaraan): Memiliki hak atau status yang sama termasuk
penerimaan dengan sikap asertif, kejujuran, harga diri dan toleransi
4. Freedom (Kebebasan): memiliki kapasitas untuk memilih kegiatan
termasuk percaya diri, harapan, disiplin serta kebebasan dalam pengarahan
diri sendiri.
5. Human dignity (Martabat manusia): Berhubungan dengan penghargaan
yang lekat terhadap martabat manusia sebagai individu termasuk
didalamnya kemanusiaan, kebaikan, pertimbangan dan penghargaan penuh
terhadap kepercayaan.
6. Justice (Keadilan): Menjunjung tinggi moral dan prinsip-prinsip legal
termasuk objektifitas, moralitas, integritas, dorongan dan keadilan serta
kewajaran.
7. Truth (Kebenaran): Menerima kenyataan dan realita, termasuk
akontabilitas, kejujuran, keunikan dan reflektifitas yang rasional.
PENGEMBANGAN DAN TRANSMISI NILAI-NILAI
Nilai-nilai tersebut diambil dengan berbagai cara antara lain: (1)
Model atau contoh, dimana individu belajar tentang nilai-nilai yang baik atau
buruk melalui observasi perilaku keluarga, sahabat, teman sejawat dan
masyarakat lingkungannya dimana dia bergaul; (2) Moralitas diperoleh dari
keluarga, ajaran agama, sekolah, dan institusi tempatnya bekerja dan
memberikan ruang dan waktu atau kesempatan kepada individu untuk
mempertimbangkan nilai-nilai yang berbeda; (3) Sesuka hati adalah proses
dimana adaptasi nilai-nilai ini kurang terarah dan sangat tergantung kepada
nilai-nilai yang ada di dalam diri seseorang dan memilih serta
mengembangkan sistem nilai-nilai tersebut menurut kemauan mereka
sendiri. Hal ini lebih sering disebabkan karena kurangnya pendekatan, atau
tidak adanya bimbingan atau pembinaan sehingga dapat menimbulkan
kebingungan, dan konflik internal bagi individu tersebut; (4) Penghargaan
dan Sanksi; Perlakuan yang biasa diterima seperti: mendapatkan
penghargaan bila menunjukkan perilaku yang baik, dan sebaliknya akan
mendapat sanksi atau hukuman bila menunjukkan perilaku yang tidak baik;
biaya untuk pengobatan progresif bagi bayinya yang lahir tanpa otak dan
secara medis dinyatakan tidak akan pernah menikmati kehidupan bahagia
yang paling sederhana sekalipun. Di sini terlihat adanya kebutuhan untuk
tetap menghargai otonomi si ibu akan pilihan pengobatan bayinya, tetapi
dilain pihak masyarakat berpendapat akan lebih adil bila pengobatan
diberikan kepada bayi yang masih memungkinkan mempunyai harapan
hidup yang besar. Hal ini tentu sangat mengecewakan karena tidak ada satu
metoda pun yang mudah dan aman untuk menetapkan prinsip-prinsip mana
yang lebih penting, bila terjadi konflik diantara kedua prinsip yang
berlawanan. Umumnya, pendekatan berdasarkan prinsip dalam bioetik,
hasilnya terkadang lebih membingungkan. Hal ini dapat mengurangi
perhatian perawat atau bidan terhadap sesuatu yang penting dalam etika.
Pendekatan Berdasarkan Asuhan
Ketidakpuasan yang timbul dalam pendekatan berdasarkan prinsip
dalam bioetik mengarahkan banyak perawat atau bidan untuk memandang
care atau asuhan sebagai fondasi dan kewajiban moral. Hubungan
perawat/bidan dengan pasen merupakan pusat pendekatan berdasarkan
asuhan, dimana memberikan langsung perhatian khusus
kepada pasen, sebagaimana dilakukan sepanjang kehidupannya sebagai
perawat atau bidan.
Perspektif asuhan memberikan arah dengan cara bagaimana
perawat/bidan dapat membagi waktu untuk dapat duduk bersama dengan
pasen atau sejawat, merupakan suatu kewajaran yang dapat
membahagiakan bila diterapkan berdasarkan etika. Karakteristik perspektif
dari asuhan meliputi : (1) Berpusat pada hubungan interpersonal dalam
asuhan; (2) Meningkatkan penghormatan dan penghargaan terhadap
martabat klien atau pasen sebagai manusia; (3) Mau mendengarkan dan
mengolah saran-saran dari orang lain sebagai dasar yang mengarah pada
tanggung-jawab profesional; (4) Mengingat kembali arti tanggung-jawab
moral yang meliputi kebajikan seperti: kebaikan, kepedulian, empati,
perasaan kasih-sayang, dan menerima kenyataan. (Taylor,1993).
Asuhan juga memiliki tradisi memberikan komitmen utamanya
terhadap pasen dan belakangan ini mengklaim bahwa advokasi terhadap
pasen merupakan salah satu peran yang sudah dilegimitasi sebagai peran
dalam memberikan asuhan keperawatan/kebidanan. Advokasi adalah
memberikan saran dalam upaya melindungi dan mendukung hak-hak pasen.
Hal tersebut merupakan suatu kewajiban moral bagi perawat atau
bidan, dalam menemukan kepastian tentang dua sistem pendekatan etika
yang dilakukan yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan asuhan. Perawat
atau bidan yang memiliki komitmen tinggi dalam mempraktekkan
keperawatan profesional dan tradisi tersebut perlu mengingat hal-hal sbb:
(1) Pastikan bahwa loyalitas staf atau kolega agar tetap memegang teguh
komitmen utamanya terhadap pasen; (2) berikan prioritas utama terhadap
pasen dan masyarakat pada umumnya; (3) Kepedulian mengevaluasi
terhadap kemungkinan adanya klaim otonomi dalam kesembuhan pasen.
profesi. Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan melarang
berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat
mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik juga
disebut kode kehormatan.
2). Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan
spiritual atau mental. Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode
etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk
melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga
menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan
tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam
interaksinya dengan sesama anggota profesi.
3). Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi
tertentu, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui
tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik
merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota
profesi dalam menjalankan tugasnya.
4). Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar
profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan
bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara
memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.
Dimensi Kode Etik
1. Anggota profesi
2. Anggota profesi
3. Anggota profesi
4. Anggota profesi
dan
dan
dan
dan
Klien/ Pasien.
sistem kesehatan.
profesi kesehatan
sesama anggota profesi
dan disyahkan dalam kongres nasional IBI X tahun 1988, sedang petunjuk
pelaksanaanya disyahkan dalam rapat kerja nasional (RAKERNAS) IBI tahun
1991, kemudian disempurnakan dan disyahkan pada kongres nasional IBI XII
tahun 1998. Sebagai pedoman dalam berperilaku, kode etik bidan Indonesia
mengandung beberapa kekuatan yang semuanya tertuang dalam
mukadimah, tujuan dan bab.
SECARA UMUM KODE ETIK TERSEBUT BERISI 7 BAB YAITU:
1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)
1). Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya.
2). Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung
tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra
bidan.
3). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa
berpedoman pada peran, tugas dan tanggungjawab sesuai dengan
kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
4). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan
kepentingan klien, menghormati hak klien dan menghormati nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat.
5). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa
mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas
yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya.
6). Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam
hubungan pelaksanaan - tugasnya, dengan mendorong partisipasi
masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)
1). Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna
terhadap klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi
yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
2). Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai
kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk
keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.
3). Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat
dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau
dipedukan sehubungan kepentingan klien.
3. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir)
1). Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya
untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
2). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya harus saling
menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
4. Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)
1). Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi
citra profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan
memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
2). Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan did dan
meningkatkan kemampuan profesinya seuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
3). Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian
dan kegiatan sejenis yang dapat meningkatkan mute dan citra profesinya.
5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir)
1). Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat
melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
2). Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air (2 butir)
1). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa
melaksanakan ketentuanketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan,
khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan
masyarakat.
2). Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan
menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk- meningkatkan
mutu jangakauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan
kesehatan keluarga.
http://kumpulan-segalamacam.blogspot.com/2008/07/pengertian-etika-dan-moraldalam.html
Etika Profesi Kedokteran
Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia (LSDI) dan Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI) telah tercantum secara garis besar perilaku dan
tindakan-tindakan yang layak atau tidak layak dilakukan seorang dokter
dalam menjalankan profesinya. Namun ada saja dokter yang tega melakukan
pelanggaran etik bahkan pelanggaran etik sekaligus hukum (etikolegal),
terlebih dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami krisis akhirakhir ini.
Beda etik dengan hukum
Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi
kedokteran dalam hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan
kesehatan penderita. Namun tidaklah etis menawarkan kontap pada saat ibu
sedang mengalami persalinan patologik.
Dari segi hukum, kontap dapat dianggap melanggar KUHP pasal 534
yang melarang usaha pencegahan kehamilan dan melanggar pula pasal 351
karena tindakan tersebut merupakan mutilasi alat tubuh. Juga dapat dituduh
melakukan penganiayaan, sehingga dapat dikenakan hukuman atau dituntut
ganti rugi. Namun, dengan terbitnya UU RI no.10 tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,
penyelenggaraan Keluarga Berencana dapat dibenarkan dengan
memperhatikan butir-butir berikut :
Pasal 17
(1) Pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya
guna dan berhasil guna serta dapat diterima oleh pasangan suami istri
sesuai dengan pilihannya.
(2) Penyelenggaraan pengaturan kelahiran dilakukan dengan cara yang
dapat dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan, etik dan agama yang
dianut penduduk yang bersangkutan.
Penjelasan
(1) Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat
dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan sosial
budaya yang berlaku di dalam masyarakat.
(2) Untuk menghindarkan hal yang berakibat negatif, setiap alat, obat dan
cara yang dipakai sebagai pengatur kehamilan harus aman dari segi medik
dan dibenarkan oleh agama, moral dan etika.
Pasal 18
Setiap pasangan suami istri dapat menentukan pilihannya dalam
merencanakan dan mengatur jumlah anak, dan jarak antara kelahiran anak
yang berlandaskan pada kesadaran dan tanggung jawab terhadap generasi
sekarang maupun generasi mendatang.
Pasal 19
Suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan
yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.
Penjelasan
Suami dan isteri harus sepakat mengenai pengaturan kehamilan dan cara
yang akan dipakai agar tujuannya tercapai dengan baik. Keputusan atau
tindakan sepihak dapat menimbulkan kegagalan atau masalah di kemudian
hari. Kewajiban yang sama antara keduanya berarti juga, bahwa apabila
isteri tidak dapat memakai alat, obat dan cara pengaturan kelahiran,
misalnya karena alasan kesehatan, maka suami mempergunakan alat, obat
dan cara yang diperuntukkan bagi laki-laki.
2. Abortus Provokatus
Masalah aborsi telah dibahas di berbagai pertemuan ilmiah dalam
lebih dari 3 dekade terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun regional,
namun hingga waktu ini Rancangan Pengaturan Pengguguran berdasarkan
Pertimbangan Kesehatan belum terwujud. Secara umum hal ini telah
undangan tentang kehamilan di luar cara alami itu, yaitu bahwa cara
tersebut hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang sah,
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu, dan pada sarana kesehatan yang memenuhi syarat
(UU Kesehatan, pasal 16). Dengan demikian, masalah donasi oosit, sperma
dan embrio, masalah ibu pengganti adalah bertentangan dengan hukum
yang berlaku dan juga etik kedokteran.
Dalam pasal 82 ayat (2) UU Kesehatan tersebut dinyatakan bahwa Barang
siapa melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
4. Bedah Plastik Selaput Dara
Wanita yang meminta dilakukan bedah plastik selaput dara umumnya
berdasarkan berbagai motif. Ada yang ingin memberi kesan kepada
suaminya bahwa dirinya masih perawan, sehingga bertujuan
menyelamatkan hidup bersama suaminya, padahal pasien pernah
melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pria lain. Di Indonesia,
masalah keperawanan di malam pertama pengantin baru dianggap penting,
walaupun hal ini sebenarnya tidak adil dalam kedudukan wanita dan pria.
Dalam hal ini hati nurani dokterlah yang menentukan sikapnya dalam
menghadapi godaan dari pasien bersangkutan. Jika robeknya selaput dara
disebabkan trauma atau akibat tindakan dilatasi dan kuretase yang
dilakukan karena indikasi medik (misalnya pada kasus-kasus perdarahan
uterus disfungsional yang menyebabkan anemia berat dan tidak tanggap
terhadap terapi medikamentosa), maka dalam hal ini bedah plastik selaput
dara masih dapat dibenarkan.
Prosedur penanganan pelanggaran etik kedokteran
Pada tahun 1985 Rapat Kerja antara P3EK, MKEK dan MKEKG telah
menghasilkan pedoman kerja yang menyangkut para dokter antara lain
sebagai berikut :
1. Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik
diteruskan lebih dahulu kepada MKEK.
2. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK.
3. Masalah yang tidak murni serta masalah yang tidak dapat diselesaikan
oleh MKEK dirujuk ke P3EK propinsi.
4. Dalam sidang MKEK dan P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan
Pembela Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh
yang bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan).
5. Masalah yang menyangkit profesi dokter atau dokter gigi akan ditangani
bersama oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan ke P3EK
apabila diperlukan.
6. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etik kedokteran
serta penyelesaiannya oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Propinsi.
sekali rasional.
Dengan bermacam-macam alasan seorang wanita memilih terminasi
kehamilan :
1. Ia mungkin seorang yang menjadi hamil di luar pernikahan
2. Pernikahannya tidak kokoh seperti yang ia harapkan sebelumnya
3. Ia telah cukup anak, dan tidak mungkin dapat membesarkan seorang anak
lagi
4. Janinnya ternyata telah terpapar (exposed) pada suatu substansi
teratogenik.
5. Ayah anak yang dikandungnya bukan suaminya
6. Ayah anak yang dikandungnya bukan pria / suami yang diidamkan untuk
perkawinannya
7. Kehamilannya adalah akibat perkosaan
8. Wanita yang hamil menderita penyakit yang berat
9. Ia memiliki alasan eugenik, ingin mencegah lahirnya bayi dengan cacat
bawaan
Indikasi-indikasi tersebut di atas dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian :
1. Alasan kesehatan
2. Alasan mental
3. Alasan cacat bawaan si janin
4. Alasan seksual
Terminasi kehamilan dipandang dari segi hukum
Amerika Serikat dan banyak negara maju, berkesimpulan bahwa
seorang warga negara berhak akan privacy, termasuk hak wanita untuk
mengontrol tubuhnya. Negara sekarang tidak lagi berintervensi atau
mencegah seorang wanita memperoleh pelaksanaan terminasi kehamilan
terutama sebelum kehamilan berusia 22 minggu (WHO).
Debat mengenai abortus (terminasi kehamilan) berkisar pada seksualitas,
karena di dalam masyarakat masih banyak warga yang berpandangan
sangat puritan terhadap seks.
Menurut Williams Obstetrics, 18th ed., 1989, dokter / SpOG yang berlatar
belakang ilmu kedokteran, ilmu filsafat dan teologi, tidak dapat sampai pada
konsensus kapan kehidupan itu dimulai. Pada hal tersebut, terutama dengan
kemampuan ilmu yang sedang berkembang pesat, belum dapat diperoleh
jawaban.
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/07/12/etika-profesi-dalam-kesehatan-reproduksi/
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN
Pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan, yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tindakan,
kewenangan, sanksi, maupun pertanggungjawaban tarhadap kesalahan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai subyek
peraturan tersebut.
Menurut Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan, yang dimaksud dengan Tenaga kesehatan adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Tenaga kesehatan berdasarkan Pasal 50 UU Kesehatan adalah
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai
dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang
bersangkutan. Sedangkan mengenai ketentuan mengenai kategori, jenis,
dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Tenaga kesehatan terdiri dari :
1. tenaga medis;
2. tenaga keperawatan dan bidan;
3. tenaga kefarmasian;
4. tenaga kesehatan masyarakat;
5. tenaga gizi;
6. tenaga keterapian fisik; dan
7. tenaga keteknisian medis.
http://www.lawskripsi.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=126&Itemid=126
ETIKA KEDOKTERAN INDONESIA
PENANGANAN DAN PELANGGARAN ETIKA DI
INDONESIA
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum
yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu,
seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran,
profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik
seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena
banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau
sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban
memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang
dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku
profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan
keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap
bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai
domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi
standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan
demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik