Anda di halaman 1dari 60

ETIKA PROFESI DAN ETIKA PROFESI BIDANG KESEHATAN

1. PENTINGNYA ETIKA PROFESI


Apakah etika, dan apakah etika profesi itu ? Kata etik (atau etika)
berasal dari kata ethos
(bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai
suatu subyek,
etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun
kelompok untuk
menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau
benar, buruk atau baik.Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai
the discpline which can act as the performance index or reference for our
control system. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam
batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia didalam
kelompok sosialnya.
Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni
pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan
(code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan
prinsipprinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa
difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang
secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode
etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan
self control, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan
untuk kepenringan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang
berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan
pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan
semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan
dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran
organisasi profesi dengan perangkat built-in mechanism berupa kode etik
profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta
kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala
bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan kehlian (Wignjosoebroto,
1999).
Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya
dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para
elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika
profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada
masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semual
dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh
terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi)
yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujungujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun

kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.


B. PENGERTIAN ETIKA
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat
kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan
mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga
disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilainilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik,
seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :
Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam
berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang
tingkah laku
perbuatan manusia dipandang dari seg baik dan buruk, sejauh yang dapat
ditentukan oleh
akal.
Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara
mengenai nilai
dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya
melalui rangkaian tindakan sehari-hari.Itu berarti etika membantu manusia
untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup
ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang
tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama
bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan
kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai
dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam
menentukan baik dan buruknya prilaku manusia :
1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis
dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia
dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan
fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap
yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap
dan pola
prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai
sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi
norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
Etika secara umum dapat dibagi menjadi :
a. ETIKA UMUM, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana
manusia
bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teoriteori etika dan

prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam


bertindak serta
tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum
dapat di
analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian
umum dan
teori-teori.
b. ETIKA KHUSUS, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam
bidang
kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya
mengambil
keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang
saya
lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.
Namun,
penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya
dan orang
lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh
kondisi
yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia
mengambil suatu
keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada
dibaliknya.
ETIKA KHUSUS dibagi lagi menjadi dua bagian :
a. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap
dirinya sendiri.
b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku
manusia
sebagai anggota umat manusia.
SISTEM PENILAIAN ETIKA :
Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik
atau jahat,
susila atau tidak susila.
Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau
telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti. Budi
tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan
namanya pekerti. Jadi suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari
dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia
lahir keluar berupa perbuatan nyata.
Burhanuddin Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai
pada 3 (tiga)
tingkat :
a. Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih
berupa rencana
dalam hati, niat.

b. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti.


c. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk.
Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa ETIKA PROFESI
merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari
etika sosial. Kata hati atau niat biasa juga disebut karsa atau kehendak,
kemauan, wil. Dan isi dari karsa inilah yang akan direalisasikan oleh
perbuatan. Dalam hal merealisasikan ini ada (4 empat) variabel yang
terjadi :
a. Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik.
b. Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya ; kelihatannya baik.
c. Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik.
d. Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.
C. PENGERTIAN PROFESI
Profesi
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang
berkaitan dengan
bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga
banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang
diperoleh dari pendidikan kejuruan,juga belum cukup disebut profesi. Tetapi
perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan
hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.
Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan
seperti kedokteran, guru, militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi
meluas sampai mencakup pula bidang seperti manajer, wartawan, pelukis,
penyanyi, artis, sekretaris dan sebagainya. Sejalan dengan itu, menurut DE
GEORGE, timbul kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri,
sehubungan dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul
karena banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk
dalam pengertian profesi.
Berikut pengertian profesi dan profesional menurut DE GEORGE :
PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk
menghasilkan
nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna
waktu dan
hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi.
Atau seorang
profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu
keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang
menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai
sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang.
Yang harus kita ingat dan fahami betul bahwa PEKERJAAN / PROFESI
dan
PROFESIONAL terdapat beberapa perbedaan :

PROFESI :
- Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
- Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
- Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
- Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
PROFESIONAL :
- Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
- Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
- Hidup dari situ.
- Bangga akan pekerjaannya.
CIRI-CIRI PROFESI
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi,
yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini
dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya
setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi
harus
meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan
selalu berkaitan
dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa
keselamatan,
keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan
suatu profesi
harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan
bahwa kaum
profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang
berada di atas ratarata.
Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi
di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam
rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan
bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa
diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik.
PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI :
1. Tanggung jawab
- Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
- Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau
masyarakat pada
umumnya.

2. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja
apa yang
menjadi haknya.
3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan
di beri
kebebasan dalam menjalankan profesinya.
SYARAT-SYARAT SUATU PROFESI :
- Melibatkan kegiatan intelektual.
- Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
- Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan.
- Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
- Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
- Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
- Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
- Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.
PERANAN ETIKA DALAM PROFESI :
Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan
orang saja,
tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil
yaitu
keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu
kelompok
diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi
landasan
dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun
dengan
sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering
menjadi pusat
perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara
tertulis (yaitu kode
etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku
sebagian para
anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah
disepakati
bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan
etik pada
masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum
dikenal
adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian
klinik super
spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin
menjamahnya.

D. KODE ETIK PROFESI


Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan
atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk
menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi.
Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis.
Kode etik ; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok
tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di
tempat kerja.
MENURUT UU NO. 8 (POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN)
Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam
melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi
sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk
mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat
melalui ketentuanketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh
oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah ; SUMPAH
HIPOKRATES, yang dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi
dokter.
Hipokrates adalah doktren Yunani kuno yang digelari : BAPAK ILMU
KEDOKTERAN. Beliau hidup dalam abad ke-5 SM. Menurut ahli-ahli sejarah
belum tentu sumpah ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi
setidaknya berasal dari kalangan muridmuridnya dan meneruskan semangat
profesional yang diwariskan oleh dokter Yunani ini. Walaupun mempunyai
riwayat eksistensi yang sudah-sudah panjang, namun belum pernah dalam
sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktekkan dan
tersebar begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita di
warnai suasana etis yang khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan
dampak kode-kode etik ini.
Profesi adalah suatu MORAL COMMUNITY (MASYARAKAT MORAL) yang
memilikicita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat menjadi
penyeimbang segi segi negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat
kompas yang menunjukkan arah moralbagi suatu profesi dan sekaligus juga
menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakat Kode etik bisa dilihat
sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan
pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode
etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan
pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode
etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah
bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif
kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau instansiinstansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup
dalam kalangan profesi itu sendiri.
Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali
dapat juga
membantu dalam merumuskan, tetapi pembuatan kode etik itu sendiri harus
dilakukan oleh profesi yang bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan

baik, kode etik itu sendiri harus menjadi hasil SELF REGULATION (pengaturan
diri) dari profesi.
Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam
atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya
hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik
yang berisikan nilai-nilai dan citacita yang diterima oleh profesi itu sendiri
yang bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk
dilaksanakan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat
lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah
bahwa pelaksanaannya diawasi terus menerus. Pada umumnya kode etik
akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik.
SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK :
a. Sanksi moral
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu
dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena
tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali
kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban
melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu
merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik;
seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian
juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap
pelanggar. Namun demikian, dalam praktek seharihari control ini tidak
berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam
anggotaanggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan
melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan
perilaku semacam itu solidaritas antar kolega
ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik
profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah
menempatkan etika profesi di atas
pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana
profesi harus
memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat
melaksanakannya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik
profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah
dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi.
Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke
bentuk yang
lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat
dalam etika
profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan
yang ditulis
secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik,
apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan

tidak boleh dilakukan oleh seorang profesional


TUJUAN KODE ETIK PROFESI :
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8. Menentukan baku standarnya sendiri.
Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah :
1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip
profesionalitas yang
digariskan.
2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang
bersangkutan.
3. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang
hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah
dibutuhkan dlam berbagai bidang.
Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan
bervariasi. Umumnya
pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional,
misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat
HUKUM Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi
Indonesia dan lain-lain. Ada sekitar tiga puluh organisasi kemasyarakatan
yang telah memiliki kode etik.
Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini perusahaan-perusahan
swasta cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya dengan itu mereka
ingin memamerkan mutu etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya
dan karena itu pada prinsipnya patut dinilai positif.
http://eprints.undip.ac.id/4907/1/Etika_Profesi.pdf
ETIKA PROFESI DI BIDANG KESEHATAN
ETIKA berasal dari bahasa yunani ethikos yang berarti adat istiadat
atau kebiasaan. Dalam salah satu kamus etika diartikan sebagai sistem dari
prinsip-prinsip moral atau aturan-aturan perilaku. Sedangkan moral berarti
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk.
ETIKA PROFESI merupakan prinsip-prinsip moral yang digunakan
untuk menjalankan profesi. Dengan adanya etika profesi ini diharapkan
anggota profesi dapat bertindak dengan kapasitas profesional.
Untuk

bisa

bertindak

sebagai

seorang

yang PROFESIONAL selain ETIKA juga


dibutuhkanILMU dan KETRAMPILAN sesuai
dengan
profesinya
dan
juga KESEHATAN, karena tanpa kesehatan yang cukup seseorang tidak
akan mampu menjalankan profesinya dengan baik.
Seorang anggota profesi harus selalu mengikuti perkembangan ilmu
pengetauan dan penemuan-penemuan baru dibidang yang digelutinya
sehingga mampu memberikan pelayanan profesi kepada masyarakat sesuai
dengan kemajuan jaman. Peningkatan ilmu dan ketrampilan ini merupakan
kewajiban dan bila anggota profesi tidak mau mengikuti perkembangan ilmu
dan ketrampilan yang diperlukan untuk menjalankan profesi dengan baik
maka anggota profesi bisa diberikan sangsi.
http://stikessuryaglobal.ac.id/index.php?action=news.detail&id_news=19
Etika=Moral, Hukum=Aturan
Etika berhubungan dengan moral orang
Hukum kesehatan merupakan aturan-aturan dalam kesehatan
Di dalam pelayanan kesehatan tentu ada aturan-aturan yang
berkaitan dengan kesehatan yaitu bagaimana menghandle masalah-masalah
itu tidak keluar dari etika dan hukum agar apa yang dikerjakan tidak
menimbulkan efek secara etika dan hukum terhadap diri sendiri dan orang
lain.
Etik berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang artinya yang
baik/yang layak. Yang baik / yang layak ini ukurannya orang banyak.
Secara lebih luas, etika merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola
tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan jasa
kepada masyarakat.
Pekerjaan profesi antara lain dokter, apoteker, ahli kesehatan masyarakat,
perawat, wartawan, hakim, pengacara, akuntan, dan lain-lain.
Katanya, kedokteran adalah profesi yang paling duluan menyusun
etika. Yang mana etika kedokteran itu adalah prinsip-prinsip moral atau azasazas akhlak yang harus diterapkan oleh dokter dalam hubungannya dengan
pasien, sejawat, dan masyarakat umum. Sedangkan etika ahli kesehatan
masyarakat adalah bagaimana bertingkah laku dalam memberikan jasa
dalam pelayananya nanti.
Ciri-ciri pekerjaan profesi :
1. Mengikuti pendidikan sesuai standar nasional
2. Pekerjaannya berlandaskan etik profesi
3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan
4. Pekerjaannya legal melalui perizinan
5. Anggotanya belajar sepanjang hayat (longlife education)
6. Mempunyai organisasi profesi (ex: IDI, IAKMI, PWI, dll)
Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat agar

masyarakat bisa teratur.


Hukum perdata mengatur subjek dan antar subjek dalam hubungan
interrelasi (kedudukan sederajat) (1887)
Hukum pidana adalah peraturan mengenai hokum KUHP di Indonesia (1
Januari 1918)
Hukum kesehatan (No. 23 tahun 1992) adalah semua ketentuan
hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan dan
penerapannya. Yang diatur menyangkut hak dan kewajiban baik perorangan
dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala
aspeknya, organisasi, sarana pedoman standar pelayanan medic, ilmu
pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen yang
berhubungan dengan kesehatan, contohnya hukum pelayanan kesehatan
terhadap keluarga miskin (Gakin).
Persamaan etika dan hukum :
1. Alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat
2. Objeknya tingkah laku manusia
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling
merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi
5. Sumbernya hasil pemikiran para pakar dan pengalaman senior
Etika disusun oleh pengalaman senior
Hukum disusun oleh yang memiliki kekuasaan
Perbedaan etik dan hukum :
ETIKA HUKUM
1. Berlaku untuk lingkungan professional
2. Disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi
3. Tidak seluruhnya tertulis
4. Pelanggaran diselesaikan oleh majelis kehormatan etik
5. Sanksi pelanggaran tuntunan
6. Penyelesaian pelanggaran tidak selalu disertai bukti fisik
1. Berlaku untuk umum
2. Disusun oleh badan pemerintah / kekuasaan
3. Tercantum secara rinci dalam kitab UU dan lembaran/berita negara
4. Pelanggaran diselesaikan melalui pengadilan
5. Sanksi pelanggaran tuntutan
6. Penyelesaian pelanggaran memerlukan bukti fisik
Etika kesehatan mencakup penilaian terhadap gejala kesehatan yang
disetujui atau ditolak dan suatu kerangka rekomendasi bagaimana
bersikap/bertindak secara pantas di dalam bidang kesehatan.
Perihal hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dan keluarganya :
kalangan
1. Paternalisme
Profesi kesehatan harus berperan sebagai orangtua terhadap pasien dan

keluarganya
2.Individualisme
Pasien mempunyai hak-hak mutlak terhadap badan dan kehidupannya
3.Resiprokalisme
Kalangan profesi kesehatan harus bekerja sama dengan pasien dan
keluarganya dalam memberikan pelayanan kesehatan
Landasan pembentukan perundang-undngan pelayanan kesehatan (WB Van
Der Mijn 1982)
1.Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian
2.Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu
3.Kebutuhan akan keterarahan
4.Kebutuhan akan pengendalian biaya
5.Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan
kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah
6.Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum
7.Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli
8.Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga
9.Kebutuhan akan perlindungan bagi kepentingan umum
Perlu sosialisasi peraturan hukum pada masyarakat
Masalah pokok dalam pembentukan perundang-undangan
kesehatan :
1.Masalah prinsi apa yang boleh dilakuakn dan yang tidak boleh
dilakukanpil
sampai sejauh manakah pembentuk perundang-undagan dapat berbuat
atau tidak berbuat
2.Masalah pragmatis

http://catatankuliahnya.wordpress.com/category/semester-3/etika-dan-hukumkesehatan/

A. Etika Profesi gizi


Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 374/MENKES/SK/III/2007
Tanggal : 27 Maret 2007
STANDAR PROFESI GIZI
Standar Profesi Gizi dapat digunakan sebagai pedoman bagi tenaga
gizi dengan tujuan untuk mencegah tumpang tindih kewenangan berbagai
profesi yang terkait dengan gizi. Untuk itu Persatuan Ahli Gizi Indonesia
(PERSAGI) harus menyikapi dan mengantisipasi hal tersebut dengan
meningkatkan kualitas sumber daya yang ada melalui penetapan Standar
Profesi Gizi.

Tujuan
1. Tujuan Umum
Penyusunan Standar Profesi Gizi sebagai landasan pengembangan profesi
gizi di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai acuan bagi penyelenggaraan pendidikan gizi di Indonesia dalam
rangka menjaga mutu gizi.
b. Sebagai acuan perilaku gizi dalam mendarmabaktikan dirinya di
masyarakat.
c. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan gizi yang profesional baik
untuk individu maupun kelompok.
d. Mencegah timbulnya malpraktek gizi.
C. Pengertian dan Ruang Lingkup
1. Pengertian
a. Profesi Gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilaksanakan
berdasarkan suatu keilmuan (body of knowledge), memiliki kompetensi yang
diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, memiliki kode etik dan
bersifat melayani masyarakat.
b. Ahli Gizi dan Ahli Madya Gizi adalah seorang yang telah mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan akademik dalam bidang gizi sesuai aturan yang
berlaku, mempunyai tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh
untuk melakukan kegiatan fungsional dalam bidang pelayanan gizi, makanan
dan dietetik baik di masyarakat, individu atau rumah sakit.
c. Sarjana Gizi adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan
minimal pendidikan formal sarjana gizi (S1) yang diakui pemerintah Republik
Indonesia.
d. Ahli Gizi-Ahli Diet Teregistrasi atau disebut Registered Dietisien yang
disingkat RD adalah sarjana gizi yang telah mengikuti pendidikan profesi
(internship) dan ujian profesi serta dinyatakan lulus kemudian diberi hak
untuk mengurus ijin memberikan pelayanan dan menyelenggarakan praktek
gizi.
e. Ahli Madya Gizi Teregistrasi atau disebut Teknikal Registered Dietisien
adalah seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Diploma III Gizi sesuai aturan yang berlaku, mempunyai tugas, tanggung
jawab dan wewenang secara penuh untuk melakukan kegiatan fungsional
dalam bidang pelayanan gizi, makanan dan dietetik baik di masyarakat,
individu atau rumah sakit.
f. Ilmu Gizi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan
dalam hubungannya dengan kesehatan optimal. Kata gizi berasal dari
bahasa Arab ghidza yang berarti makanan. Di satu sisi ilmu gizi
berkaitan dengan makanan dan sisi lain dengan tubuh manusia.
g. Pelayanan Gizi adalah suatu upaya memperbaiki atau meningkatkan gizi,
makanan, dietetik masyarakat, kelompok, individu atau klien yang
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan,
pengolahan, analisis, kesimpulan, anjuran, implementasi dan evaluasi gizi,

makanan dan dietetik dalam rangka mencapai status kesehatan optimal


dalam kondisi sehat atau sakit.
h. Standar Kompetensi Gizi adalah standar kemampuan yang menjamin
bahwa Ahli Gizi dan Ahli Madya Gizi dapat menyelenggarakan praktek
pelayanan gizi dalam masyarakat.
i. Standar Pendidikan Ahli Gizi adalah standar operasional tentang
penyelenggaraan pendidikan Ahli Gizi dan Ahli Madya Gizi.
j. Standar Pendidikan Profesi adalah standar yang mengukur tentang
penyelengaraan pendidikan profesi ahli gizi (ahli gizi-ahli diet teregistrasi).
k. Standar Pendidikan Berkelanjutan Gizi adalah standar yang mengatur
tentang pendidikan berkelanjutan.
l. Standar Pelayanan Gizi adalah standar yang mengatur penerapan ilmu gizi
dalam memberikan pelayanan dan asuhan gizi dengan pendekatan
manajemen kegizian.
m. Standar Praktek Gizi adalah standar minimal yang harus dilakukan oleh
Nutrisionis dalam memberikan pelayanan gizi agar pelayanannya menjamin
keamanan, efektif dan etis.
2. Ruang Lingkup
a. Gizi sebagai Profesi
Di Indonesia masalah gizi utama masih didominasi oleh masalah gizi
Kurang Energi Protein (KEP), masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY), dan masalah Kekurangan Vitamin (KVA) dan mulai meningkatnya
masalah obesitas terutama di kota-kota besar. Disamping itu, diduga ada
masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi zinc yang sampai saat ini belum
terungkapkan karena adanya keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang gizi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di
berbagai bidang pembangunan dan makin berkembangnya paradigma
pembangunan nasional yang berwawasan sumber daya manusia (SDM),
maka upaya untuk meningkatkan status gizi masyarakat dan
penanggulangan permasalahannya (masalah gizi) makin mendapat prioritas
dalam strategi pembangunan nasional. Keadaan gizi masyarakat umum dan
individu khususnya mempunyai dampak terhadap pembangunan negara
secara umum dan khusus berdampak pada pertumbuhan fisik, mental dan
kecerdasan serta produktivitas manusia. Oleh karena itu, pemecahan
masalah gizi ditempatkan sebagai ujung tombak paradigma sehat untuk
mencapai Indonesia sehat pada masa mendatang.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Bab
V, Pasal 10 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan
pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan
(preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif) yang akan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan. Perbaikan gizi merupakan salah satu cara mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal sebagaimana tercantum dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


dinyatakan bahwa perbaikan gizi diselenggarakan untuk mewujudkan
terpenuhinya kebutuhan gizi dan meliputi upaya peningkatan status dan
mutu gizi, pencegahan, penyembuhan, dan atau pemulihan akibat gizi salah.
Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan tenaga-tenaga gizi yang
menguasai segala permasalahan gizi yang dihadapi. Seorang ahli gizi
diharapkan dapat menangani permasalahan gizi pada tingkat tinggi yang
dapat dicapai sesuai dengan perkembangan IPTEK, sarana dan prasarana
dan kemampuan manajemen.
Mengingat dan memperhatikan hal tersebut di atas, keberadaan ahli
gizi dan ahli madya gizi di Indonesia sangat diperlukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pelayanan gizi berada dimana-mana dan kapan
saja selama masyarakat dan individu masih mau untuk hidup sehat dalam
siklus kehidupan manusia.
Ada beberapa pengertian tentang ahli gizi. Dari berbagai pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli gizi adalah profesi khusus, orang
yang mengabdikan diri dalam bidang gizi serta memiliki pengetahuan dan
atau keterampilan melalui suatu pendidikan khususnya bidang gizi. Tugas
yang diemban oleh ahli gizi berguna untuk kesejahteraan manusia. Demikian
juga dengan pengertian masyarakat, ada permasalahan gizi pasti ada ahli
gizi.
Pada saat ini, pengertian Register Dietisien adalah seseorang yang
menyelesaikan pendidikan akademik strata I dan pendidikan profesi gizi
dalam suatu lembaga pendidikan perguruan tinggi yang telah
direkomendasikan. Pelayanan gizi adalah pelayanan profesional gizi yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang diberikan kepada
masyarakat dalam kurun waktu tertentu.
Sebagai profesi gizi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengembangkan pelayanan yang unik kepada masyarakat.
2. Anggota-anggotanya dipersiapkan melalui suatu program pendidikan.
3. Memiliki serangkaian pengetahuan ilmiah.
4. Anggota-anggotanya menjalankan tugas profesinya sesuai kode etik yang
berlaku.
5. Anggota-anggotanya bebas mengambil keputusan dalam menjalankan
profesinya.
6. Anggota-anggotanya wajar menerima imbalan jasa atas pelayanan yang
diberikan.
7. Memiliki suatu organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh anggotanya.
8. Pekerjaan/sumber utama seumur hidup.
9. Berorientasi pada pelayanan dan kebutuhan obyektif.
10. Otonomi dalam melakukan tindakan.
11. Melakukan ikatan profesi, lisensi jalur karir.
12. Mempunyai kekuatan dan status dalam pengetahuan spesifik.
13. Alturism.

b. Ahli Gizi Sebagai Tenaga Kerja Profesional


Ahli Gizi termasuk Ahli Madya Gizi adalah pekerja profesional.
Persyaratan sebagai pekerja profesional telah dimiliki oleh Ahli Gizi maupun
Ahli Madya Gizi tersebut. Persyaratan tersebut adalah:
1. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau
spesialis.
2. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan tenaga profesional.
3. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat.
4. Mempunyai kewenangan yang disyahkan atau diberikan oleh pemerintah.
5. Mempunyai peran dan fungsi yang jelas.
6. Mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur.
7. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah.
8. Memiliki etika Ahli Gizi.
9. Memiliki standar praktek.
10. Memiliki standar pendidikan yang mendasari dan mengembangkan
profesi sesuai dengan kebutuhan pelayanan.
11. Memiliki standar berkelanjutan sebagai wahana pengembangan
kompetensi.
c. Prinsip-Prinsip Kode Etik
Profesi Gizi mengabdikan diri dalam upaya kesejahteraan dan
kecerdasan bangsa, upaya perbaikan gizi, memajukan dan mengembangkan
ilmu dan teknologi gizi serta ilmu-ilmu yang berkaitan dan meningkatkan
pengetahuan gizi masyarakat. Sebagai tenaga gizi profesional, seorang ahli
gizi dan ahli madya gizi harus melakukan tugas-tugasnya atas dasar :
1. Kesadaran dan rasa tanggung jawab penuh akan kewajiban terhadap
bangsa dan negara.
2. Keyakinan penuh bahwa perbaikan gizi merupakan salah satu unsur
penting dalam upaya mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan rakyat.
3. Tekad bulat untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya demi
tercapainya masyarakat adil, makmur dan sehat sentosa.
Untuk itu, seorang ahli gizi dan ahli madya gizi dalam melakukan
tugasnya perlu senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji yang dilandasi oleh falsafah dan
nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 serta Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Persatuan Ahli Gizi Indonesia serta etik profesi, baik
dalam hubungan dengan pemerintah bangsa, negara, masyarakat, profesi
maupun dengan diri sendiri.
Dengan melihat cakupan dan kode etik tersebut, disimpulkan bahwa
profesi gizi berperan dalam kebijakan sistem pelayanan kesehatan, mendidik
dan mengintervensi individu, kelompok, masyarakat serta meneliti dan
mengembangkan demi menjaga mutu pelayanan. Oleh karena itu, perlu
disusun standar kompetensi ahli gizi dan ahli madya gizi Indonesia yang
dilandasi dengan peran-peran ahli gizi dan ahli madya gizi sebagai
pelaksana, pengelola, pendidik, penyelia, pemasar, anggota tim dan pelaku

praktek kegizian yang bekerja secara profesional dan etis.


D. Kualifikasi Pendidikan Gizi
a. Pendidikan Gizi
Pendidikan gizi dapat ditempuh melalui jalur akademik strata I dan diploma.
Setelah itu dilanjutkan dengan jalur profesi. Jalur akademik diawali dengan
pendidikan Strata I , Strata II, dan terakhir Strata III, sedangkan jalur diploma
diawali dengan pendidikan Diploma III, dan dilanjutkan pada program
pendidikan Diploma IV. Kemampuan yang diharapkan dari kualifikasi
pendidikan ini diantaranya :
1. Lulusan Pendidikan Gizi Profesional pada Program Diploma III menguasai
kemampuan dalam bidang kerja yang bersifat rutin, menerapkan ilmu
pengetahuan gizi untuk memberikan pelayanan langsung yang bersifat
teknis di dalam pelayanan gizi yang terorganisir, maupun praktek sendiri.
2. Lulusan Pendidikan Gizi Profesional pada Program Diploma IV menguasai
kemampuan profesional dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleks,
menerapkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi gizi
untuk memberikan pelayanan langsung yang bersifat keahlian di dalam
pelayanan gizi yang terorganisir maupun praktek mandiri.
3. Lulusan Pendidikan Gizi Akademik pada program sarjana menguasai dasardasar ilmiah dan keterampilan, menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan praktek gizi, mampu bersikap dan berperilaku dalam
membawakan diri berkarya dibidang gizi, mampu mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi gizi serta mengupayakan penggunaannya
untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan praktek mandiri.
b. Kurikulum
Penyelenggaraan pendidikan menggunakan kurikulum nasional yang
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan dikembangkan sesuai
dengan falsafah dan misi dari lembaga pendidikan gizi
Kriteria :
a. Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan pada kurikulum nasional yang
dikeluarkan oleh Dirjen Dikti DEPDIKNAS dan telah disepakati bersama
antara organisasi profesi dengan institusi pengguna lulusan (stake holder)
serta institusi pendidikan tinggi gizi.
b. Dalam pelaksanaan pendidikan kurikulum dikembangkan sesuai dengan
falsafah dan misi dari institusi pendidikan gizi
c. Struktur Kurikulum Inti Sarjana Gizi adalah sebagai berikut :
Bertolak dari tujuan pendidikan sarjana gizi dan orientasi pendidikan maka
disusun kurikulum sarjana gizi (strata 1 gizi), pengalaman belajar dan
evaluasi hasil belajar peserta didik. Kurikulum pendidikan disusun
berdasarkan kompetensi lulusan yang diinginkan dengan jumlah SKS sebesar
144-160. Kurikulum inti digunakan sebagai kurikulum nasional pendidikan
sarjana gizi dengan beban studi 57-72 %, sedangkan kurikulum institusi
dengan beban studi 28-43 % ditetapkan oleh masing-masing institusi.
Kurikulum Inti (72-112 sks)

1. Kelompok Ilmu-Ilmu Biologi & Fisik/Biomedik (16-20 sks)


a. Pengantar Biologi Manusia 2-3 sks
b. Kimia Dasar (ariorganik) 2-3 sks
c. Kimia Organik 2-3 sks
d.Fisika 2-3 sks
e. Anatomi 2-4 sks
f. Fisiologi 4-6 sks
g. Patofisiologi Penyakit 4-6 sks
2. Kelompok Gizi Manusia (16-24 sks)
a. Pengantar Biokimia 2-3 sks
b. Metabolisme Energi, Zat Gizi Makro 2-3 sks
c. Metabolisme Zat Gizi Mikro 2-3 sks
d. Dasar-dasar ilmu gizi 2-3 sks
e. Gizi dalam daur kehidupan 2-4 sks
f. Dietetika penyakit infeksi dan defisiensi 2-4 sks
g. Dietetika penyakit degeneratif 2-4 sks
h. Penilaian Status Gizi 2-4 sks
3. Kelompok Ilmu Pangan (5-10 sks)
a. Dasar-dasar Kulinari 2-3 sks
b. Ilmu Bahan Makanan 2-4 sks
c. Analisa zat gizi 2-4 sks
4. Kelompok Ilmu-ilmu Sosial dan Perilaku (8-12 sks)
a. Dasar-dasar Komunikasi 2-3 sks
b. Psikologi 2-3 sks
c. Antropologi 2-3 sks
d. Sosiologi 2-3 sks
e. Ilmu Pendidikan 2-3 sks
5. Kelompok Riset (19-26 sks)
a. Filsafat ilmu pengetahuan 2-3 sks
b. Matematika 2-3 sks
c. Statistika 4-6 sks
d. Metode Riset 3-4 sks
e. Epidemiologi 2-4 sks
f. Skripsi 6 sks
6. Kelompok Ilmu Manajemen (4-6 sks)
a. Dasar-dasar Manajemen 2-3 sks
b. Manajemen Industri Pelayanan Makanan Gizi 2-3 sks
7. Kelompok Humaniora (8 sks)
a. Pancasila 2 sks
b. Kewarganegaraan 2 sks
c.Agama 2 sks
d. Bioetika (Etika profesi dan hukum kesehatan) 2 sks
8. Kepaniteraan (Internship) (6-8 sks)
a. Bidang dietetik 3-4 sks
b. Bidang gizi masyarakat 3-4 sks

Pendidikan Profesi (Pendidikan Dietetics Internship)


Institusi Penyelenggara adalah suatu institusi pendidikan tinggi baik
negeri maupun swasta dengan kaidah-kaidah yang tercantum pada UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional.
1. Tujuan
a. Tujuan Umum : menghasilkan tenaga profesi gizi yang beragama dan
mampu mengamalkan kemampuan profesi secara baik dan manusiawi,
berdedikasi tinggi terhadap profesi dan klien, tanggap terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi penanganan gizi.
b. Tujuan Khusus :
a. Menghasilkan tenaga ahli mampu melakukan pelayanan/ asuhan gizi
sesuai kebutuhan.
b. Menghasilkan tenaga ahli yang menjunjung tinggi martabat profesi.
c. Menghasilkan tenaga ahli yang menjunjung tinggi martabat manusiawi
klien.
d. Menghasilkan tenaga ahli yang senantiasa terbuka dalam pengembangan
ilmu dan teknologi penanganan gizi.
2. Kompetensi dan Peserta Pendidikan Profesi
a. Kompetensi
Kompetensi gizi dibagi dalam tiga bidang materi yaitu:
1. Clinical nutrition
2. Food Service and Food Production
3. Community Dietetics
b. Peserta Pendidikan Profesi:
1. Peserta pendidikan profesi (dietetic internship) sesuai ketentuan peraturan
yang berlaku adalah sarjana gizi (S.Gz) yang telah menyelesaikan pendidikan
setingkat strata I (S1) dengan kurikulum yang telah direkomendasi oleh
forum komunikasi ilmu gizi. Sebutan bagi peserta yang telah menyelesaikan
pendidikan profesi (dietetics internship) adalah ahli Gizi (dietisien
teregistrasi).
2. Lulusan D3 atau D4 dengan persyaratan khusus yang akan dikaji lebih
lanjut.
3. Beban studi : 900 1000 jam setara dengan 20 SKS dengan beban studi
dan lama waktu studi akan dipertimbangkan lebih lanjut.
4. Materi
- Bidang dietetik: pelayanan gizi/asuhan gizi pada beberapa penyakit
khususnya bedah (2 mg), penyakit dalam (4 mg), penyakit anak (2 mg),
obstetri dan ginekologi (1 mg), penyakit syaraf (1 mg), ICU/ICCU (1 mg) dan
kulit/mata (1 mg).
- Bidang gizi masyarakat meliputi pengelolaan permasalahan gizi Dinas
Kesehatan dan Puskesmas.
- Bidang penyelenggaraan makanan dan produksi makanan, pengelolaan
sistem penyelenggaraan makanan di institusi komersial dan non komersial.
5. Tempat : ditentukan bersama antara institusi pendidikan gizi dengan
organisasi profesi yaitu di : Rumah Sakit (kelas A, B, dan C) baik
swasta/pemerintah yang menyelenggarakan minimal 3 kegiatan pelayanan

gizi (pengadaan makanan, pelayanan gizi ruang rawat inap, dan konsultasi
gizi).
6. Komunitas (Dinas kesehatan Kabupaten/kota, Puskesmas, organisasi
masyarakat misalnya Poslantia yang memberikan pelayanan gizi dan
kesehatan).
7. Institusi penyelenggara makanan (hotel, katering, RS, Asrama, Panti,
Industri Lembaga Pemasyarakatan).
8. Pembimbing
Pembimbing lapangan dari lahan praktek seperti rumah sakit, komunitas dan
institusi penyelenggara makanan dalam penyelenggaraan pendidikan profesi
mempunyai kualifikasi: Mempunyai sertifikat clinical instruktur yang
diselenggarakan oleh AIPGI bekerja sama dengan PERSAGI; Pendidikan gizi
serendah-rendahnya S2 bidang gizi; Mempunyai pengalaman dalam
pelayanan/asuhan gizi/pengelolaan program gizi/pendidikan gizi minimal 5
tahun; Diusulkan oleh institusi penyelenggara pendidikan profesi gizi sebagai
pembimbing.
9. Penguji
Penguji yang berhak melakukan evaluasi program dalam pendidikan profesi
adalah tenaga kesehatan atau gizi yang mempunyai kualifikasi:
1) Pendidikan minimal S2 dengan latar belakang pendidikan gizi dan
menguasai minimal salah satu 3 komponen yang akan diujikan (clinical,
community dan food service).
2) Mempunyai pengalaman dalam asuhan gizi/pengelolaan program
gizi/pendidikan gizi minimal 5 tahun.
3) Diusulkan institusi penyelenggara pendidikan profesi gizi sebagai penguji.
II. STANDAR KOMPETENSI
A. Falsafah dan Tujuan
Standar kompetensi ahli gizi disusun berdasarkan jenis ahli gizi yang ada
saat ini yaitu ahli gizi dan ahli madya gizi. Keduanya mempunyai wewenang
dan tanggung jawab yang berbeda. Secara umum tujuan disusunnya standar
kompetensi ini adalah sebagai landasan pengembangan profesi Ahli Gizi di
Indonesia sehingga dapat mencegah tumpang tindih kewenangan berbagai
profesi yang terkait dengan gizi. Adapun tujuan secara khusus adalah
sebagai acuan bagi kurikulum pendidikan gizi di Indonesia dalam rangka
menjaga mutu Ahli Gizi, menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan gizi
yang profesional baik untuk individu maupun kelompok dan mencegah
timbulnya mal-praktek gizi.
B. Peran
1. Ahli Gizi
a. Pelaku tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik
b. Pengelola pelayanan gizi di masyarakat
c. Pengelola tatalaksana /asuhan/pelayanan gizi di RS
d. Pengelola sistem penyelenggaraan makanan Institusi /masal
e. Pendidik/Penyuluh/pelatih /konsultan gizi
f. Pelaksana penelitian gizi.

g. Pelaku pemasaran produk gizi dan kegiatan wirausaha.


h. Berpartisipasi bersama tim kesehatan dan tim lintas sektoral.
i. Pelaku praktek kegizian yang bekerja secara profesional dan etis.
2. Ahli Madya Gizi
a. Pelaku tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik.
b. Pelaksana pelayanan gizi masyarakat
c. Penyelia sistem penyelenggaraan makanan Institusi/massal.
d. Pendidik/Penyuluh/pelatih/konsultan gizi.
e. Pelaku pemasaran produk gizi dan kegiatan wirausaha.
f. Pelaku praktek kegizian yang bekerja secara profesional dan etis.
C. Kompetensi
Unjuk Kerja Kompetensi Nutrisionis dibedakan berdasarkan kata kerja
dari 4 (empat) tingkatan yang disusun secara berurutan dan dimulai dari
tingkatan unjuk kerja paling rendah. Tingkatan unjuk kerja yang lebih tinggi
menggambarkan bahwa tingkatan unjuk kerja yang lebih rendah dianggap
telah mampu dilaksanakan.
1. Membantu : melakukan kegiatan secara independent dibawah
pengawasan atau Berpartisipasi (berperan serta) : mengambil bagian
kegiatan tim.
2. Melaksanakan : mampu memulai kegiatan tanpa pengawasan langsung,
atau Melakukan : mampu melakukan kegiatan secara mandiri.
3. Mendidik : mampu melaksanakan fungsi-fungsi khusus yang nyata;
aktivitas yang di delegasikan yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan
atau pekerjaan, dll atau Menyelia/mengawasi/memantau : mampu
mengamati kegiatan sehari-hari satu unit termasuk SDM, penggunaan
sumber daya, masalah-masalah lingkungan atau mampu mengkoordinasi
dan mengarahkan kegiatan dan pekerjaan tim.
4. Mengelola : mampu merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan
suatu organisasi.
Secara lengkap unit kompetensi Nutrisionis dan Ahli Madya Gizi dapat dilihat
sebagai berikut :
D. Kompetensi Ahli Gizi (Dasar Pendidikan S1 Gizi)
No
Kode
Judul Unit Kompetensi
1 Kes.Gz.01.01.01 Melakukan praktek kegizian sesuai dengan nilai-nilai dan
Kode Etik Profesi Gizi
2 Kes.Gz.01.02.01 pasien/klien kepada professional N/D atau disiplin lain bila
diluar kemampuan/kewenangan.
3 Kes.Gz.01.03.01 Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan profesi.
4 Kes.Gz.01.04.01 Melakukan pengkajian diri dan berpartisipasi dalam
pengembangan profesi serta pendidikan seumur hidup.
5 Kes.Gz.01.05.01 Berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan pemerintah
dalam bidang pangan, ketahanan pangan, pelayanan gizi dan kesehatan.

6 Kes.Gz.01.06.01 Menggunakan tekonologi mutakhir untuk kegiatan


komunikasi dan informasi.
7 Kes.Gz.02.07.01 Mengawasi dokumentasi pengkajian dan intervensi 18
KODE ETIK AHLI GIZI
Mukadimah Ahli Gizi yang melaksanakan profesi gizi mengabdikan
diri dalam upaya memelihara dan memperbaiki keadaan gizi, kesehatan,
kecerdasan dan kesejahteraan rakyat melalui upaya perbaikan gizi,
pendidikan gizi, pengembangan ilmu dan teknologi gizi, serta ilmu-ilmu
terkait. Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya harus senantiasa bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji
yang dilandasi oleh falsafah dan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945 serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persatuan Ahli Gizi
Indonesia serta etik profesinya.
A. KEWAJIBAN UMUM
1. Ahli Gizi berperan meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan serta
berperan dalam meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat
2. Ahli Gizi berkewajiban menjunjung tinggi nama baik profesi gizi dengan
menunjukkan sikap, perilaku, dan budi luhur serta tidak mementingkan diri
sendiri
3. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjalankan profesinya menurut
standar profesi yang telah ditetapkan.
4. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjalankan profesinya bersikap jujur,
tulus dan adil.
5. Ahli Gizi berkewajiban menjalankan profesinya berdasarkan prinsip
keilmuan, informasi terkini, dan dalam menginterpretasikan informasi
hendaknya objektif tanpa membedakan individu dan dapat menunjukkan
sumber rujukan yang benar.
6. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa mengenal dan memahami
keterbatasannya sehingga dapat bekerjasama dengan fihak lain atau
membuat rujukan bila diperlukan.
7. Ahli Gizi dalam melakukan profesinya mengutamakan kepentingan
masyarakat dan berkewajiban senantiasa berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
8. Ahli Gizi dalam berkerjasama dengan para profesional lain di bidang
kesehatan maupun lainnya berkewajiban senantiasa memelihara pengertian
yang sebaik-baiknya.
B. KEWAJIBAN TERHADAP KLIEN
1. Ahli Gizi berkewajiban sepanjang waktu senantiasa berusaha memelihara
dan meningkatkan status gizi klien baik dalam lingkup institusi pelayanan
gizi atau di masyarakat umum.
2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjaga kerahasiaan klien atau
masyarakat yang dilayaninya baik pada saat klien masih atau sudah tidak
dalam pelayanannya, bahkan juga setelah klien meninggal dunia kecuali bila
diperlukan untuk keperluan kesaksian hukum.
3. Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya senantiasa menghormati dan

menghargai kebutuhan unik setiap klien yang dilayani dan peka terhadap
perbedaan budaya, dan tidak melakukan diskriminasi dalam hal suku,
agama, ras, status sosial, jenis kelamin, usia dan tidak menunjukkan
pelecehan seksual.
4. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memberikan pelayanan gizi prima,
cepat, dan akurat.
5. Ahli Gizi berkewajiban memberikan informasi kepada klien dengan tepat
dan jelas, sehingga memungkinkan klien mengerti dan mau memutuskan
sendiri berdasarkan informasi tersebut.
6. Ahli Gizi dalam melakukan tugasnya, apabila mengalami keraguan dalam
memberikan pelayanan berkewajiban senantiasa berkonsultasi dan merujuk
kepada ahli gizi lain yang mempunyai keahlian.
C. KEWAJIBAN TERHADAP MASYARAKAT
1. Ahli Gizi berkewajiban melindungi masyarakat umum khususnya tentang
penyalahgunaan pelayanan, informasi yang salah dan praktek yang tidak
etis berkaitan dengan gizi, pangan termasuk makanan dan terapi gizi/diet.
ahli gizi hendaknya senantiasa memberikan pelayanannya sesuai dengan
informasi faktual, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Ahli Gizi senantiasa melakukan kegiatan pengawasan pangan dan gizi
sehingga dapat mencegah masalah gizi di masyarakat.
3. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa peka terhadap status gizi masyarakat
untuk mencegah terjadinya masalah gizi dan meningkatkan status gizi
masyarakat.
4. Ahli Gizi berkewajiban memberi contoh hidup sehat dengan pola makan
dan aktifitas fisik yang seimbang sesuai dengan nilai paktek gizi individu
yang baik.
5. Dalam bekerja sama dengan profesional lain di masyarakat, Ahli Gizi
berkewajiban hendaknya senantiasa berusaha memberikan dorongan,
dukungan, inisiatif, dan bantuan lain dengan sungguh-sungguh demi
tercapainya status gizi dan kesehatan optimal di masyarakat.
6. Ahli Gizi dalam mempromosikan atau mengesahkan produk makanan
tertentu berkewajiban senantiasa tidak dengan cara yang salah atau,
menyebabkan salah interpretasi atau menyesatkan masyarakat
D. KEWAJIBAN TERHADAP TEMAN SEPROFESI DAN MITRA KERJA
1. Ahli Gizi dalam bekerja melakukan promosi gizi, memelihara dan
meningkatkan status gizi masyarakat secara optimal, berkewajiban
senantiasa bekerjasama dan menghargai berbagai disiplin ilmu sebagai
mitra kerja di masyarakat.
2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memelihara hubungan persahabatan
yang harmonis dengan semua organisasi atau disiplin ilmu/profesional yang
terkait dalam upaya meningkatkan status gizi, kesehatan, kecerdasan dan
kesejahteraan rakyat.
3. Ahli Gizi berkewajiban selalu menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan
keterampilan terbaru kepada sesama profesi dan mitra kerja.
E. KEWAJIBAN TERHADAP PROFESI DAN DIRI SENDIRI
1. Ahli Gizi berkewajiban mentaati, melindungi dan menjunjung tinggi

ketentuan yang dicanangkan oleh profesi.


2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memajukan dan memperkaya
pengetahuan dan keahlian yang diperlukan dalam menjalankan profesinya
sesuai perkembangan ilmu dan teknologi terkini serta peka terhadap
perubahan lingkungan.
3. Ahli Gizi harus menunjukan sikap percaya diri, berpengetahuan luas, dan
berani mengemukakan pendapat serta senantiasa menunjukan kerendahan
hati dan mau menerima pendapat orang lain yang benar.
4. Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya berkewajiban untuk tidak boleh
dipengaruhi oleh kepentingan pribadi termasuk menerima uang selain
imbalan yang layak sesuai dengan jasanya, meskipun dengan pengetahuan
klien/masyarakat (tempat dimana ahli gizi diperkerjakan).
5. Ahli Gizi berkewajiban tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum,
dan memaksa orang lain untuk melawan hukum.
6. Ahli Gizi berkewajiban memelihara kesehatan dan keadaan gizinya agar
dapat bekerja dengan baik.
7. Ahli Gizi berkewajiban melayani masyarakat umum tanpa memandang
keuntungan perseorangan atau kebesaran seseorang.
8. Ahli Gizi berkewajiban selalu menjaga nama baik profesi dan
mengharumkan organisasi profesi.
F. PENETAPAN PELANGGARAN
Pelanggaran terhadap ketentuan kode etik ini diatur tersendiri dalam Majelis
Kode Etik Persatuan Ahli Gizi Indonesia
G. KEKUATAN KODE ETIK
Kode etik Ahli Gizi ini dibuat atas prinsip bahwa organisasi profesi
bertanggung jawab terhadap kiprah anggotanya dalam menjalankan praktek
profesinya.
Kode etik ini berlaku setelah hari dari disahkannya kode etik ini oleh sidang
tertinggi profesi sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga profesi gizi.
http://www.puspronakesln.org/pdfupload/Lamp%20KMK%20No.%20374.pdf

ETIKA PROFESI KEPERAWATAN


Etika khusus yang mengatur tanggung jawab moral para perawat.
l .Kesepakatan moralitas para perawat.
Disusun oleh Organisasi profesi, berdasarkan suatu sumber yang ada
dilingkungan; baik lingkungan kesehatan, lingkungan konsumen dan
lingkungan Komunitas Keperawatan.
Sumber Etika Profesi keperawatan :
1. Etika Kesehatan.
2. Etika umum yang berlaku di masyarakat,

3. Etika Profesi keperawatan dunia -> ICN.


Etika Kesehatan :
Menurut Leenen Gozondeid Sethick, adalah etika khusus dengan
menerapkan nilai nilai dalam bidang pemeliharaan / pelayanan kesehatan
yang dilandasi oleh nilai nilai individu dan masyarakat.
Menurut Soeyono Soekamto (1986), Etika kesehatan mencakup
penilaian terhadap gejala kesehatan baik yang disetujui maupun tidak
disetujui, serta mencakup rekomendasi bagaimana bersikap/ bertindak
secara pantas dalam bidang kesehatan.
Etika Kesehatan mencakup ruang lingkup minimalal :
1. tritmen pada pasien yang menghadapi ajal
2. Mengijinkan unsur mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan
sengaja atas permintaan pasien sendiri,pembatasan perilaku, dan infomrmed
consent.
3. Bioetika
4. Pengungkapan kebenaran dan kerahasiaan dalam bidang kedokteran.
Contoh penerapan :
1 Tritmen pada pasien yang menghadapi ajal :
- Pemberian O2 -> diteruskan / di stop.
- Program pengobatan diteruskan /tidak
- Suport terapi ( RJP ) sampai kapan.
- dalam kondisi MBO.
ETIKA PROFESI KEPERAWATAN
Etika khusus yang mengatur tanggung
jawab moral para perawat.
l Kesepakatan moralitas para perawat.
Disusun oleh Organisasi profesi, berdasarkan suatu sumber yang ada
dilingkungan; baik lingkungan kesehatan, lingkungan konsumen dan
lingkungan Komunitas Keperawatan.
Sumber Etika Profesi keperawatan :
1. Etika Kesehatan.
2. Etika umum yang berlaku di masyarakat,
3. Etika Profesi keperawatan dunia -> ICN.
Etika Kesehatan :
Menurut Leenen Gozondeid Sethick, adalah etika khusus dengan
menerapkan nilai nilai dalam bidang pemeliharaan / pelayanan kesehatan
yang dilandasi oleh nilai nilai individu dan masyarakat.
Menurut Soeyono Soekamto (1986), Etika kesehatan mencakup penilaian
terhadap gejala kesehatan baik yang disetujui maupun tidak disetujui, serta
mencakup rekomendasi bagaimana bersikap/ bertindak secara pantas dalam

bidang kesehatan.
Etika Kesehatan mencakup ruang lingkup minimalal :
1. tritmen pada pasien yang menghadapi ajal
2. Mengijinkan unsur mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan
sengaja atas permintaan pasien sendiri,pembatasan perilaku, dan infomrmed
consent.
3. Bioetika
4. Pengungkapan kebenaran dan kerahasiaan dalam bidang kedokteran.
Contoh penerapan :
1 Tritmen pada pasien yang menghadapi ajal :
- Pemberian O2 -> diteruskan / di stop.
- Program pengobatan diteruskan / tidak
- Suport terapi ( RJP ) sampai kapan.
- dalam kondisi MBO.
2. Mengijinkan unsur mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan
sengaja atas permintaanpasien sendiri,pembatasan perilaku, dan infomrmed
consent.
- Pa sien teriminal
- Status vegetatif
- pasien HIV /AID
- pasien mendapat terapi diet
- pasien menghadapi tindakan medik
-operasi, pemakaian obat yangharganya mahal dll.
3 Bioetika :
- aborsi, pembatasan kelahiran,sterilisasi, bayi tabung, tranplantasi organ dll.
4 Pengungkapan kebenaran dan kerahasiaan dalam bidang kedokteran.
- permintaan informasi data pasien,
- Catatan medik,
- Pembicaraan kasus pasien.
Etika umum yang berlaku di masyarakat :
- Privasi pasien,
- Menghargai harkat martabat pasien
- Sopan santun dalam pergaulan
- saling menghormati,
- saling membantu.
- peduli terhadap lingkungan
Etika Profesi keperawatan dunia ICN.
Etika Keperawatan terkandung adanya nilai nilai dan prinsip prinsip yang
berfokus bagi praktik Perawat.
Praktik perawat bermuara pada interaksi profesional dengan pasien serta

menunjukan kepedulian perawat terhadap hubungan yang telah


dilakukannya.
8 prinsip utama dalam Etika Keperawatan ICN :
1. Respek
2. Otonomi
3. Beneficence ( kemurahan hati)
4. Non-maleficence,
5. Veracity ( kejujuran )
6. Kridensialitas ( kerahasiaan )
7. Fidelity ( kesetiaan )
8. Justice ( keadilan )
1 Respek :
perilaku perawat yang menghormati / menghargai pasien /klien. hak
hak pasien,penerapan inforned consent
Perilaku perawat menghormati sejawat
Tindakan eksplisit maupun implisit
simpatik, empati kepada orang lain.
.2 Otonomi :
hak untuk mengatur dan membuat keputusannya sendiri. Tetapi tidak
sebebas bebasnya ada keterbatasan dalam hukum,kompetensi dan
kewenangan.
perlu pemahaman tindakan kolaborasi.
3 Beneficence ( kemurahan hati) :
berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan hal yang baik dan tidak
membahayakan orang lain.
lanjutan :Pada dasarnya seseorang diharapkan dapat membuat keputusan
untuk dirinya sendiri , kecuali bagi mereka yang tidak dapat
melakukannya.seperti:bayi dan anak pasien koma,keterbelakangan mental /
kelainan kejiwaan.
4 Non-maleficence:
Prinsip berkaitan dengan kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja
menimbulkankerugian / cidera pasien.
- Jangan membunuh
- jangan menyebabkan nyeri/penderitaan lain.
- jangan membuat orang lain tidakberdaya.
- Jangan melukai perasaan
5 Veracity ( kejujuran ) :

Kewajiban perawat untuk mengatakan suatu kebenaran. Tidak bohong tidak


menipu. Terutama dalam proses informed consent.Perawat membatu pasien
untuk memahami informasi dokter tentang rencana tindakan medik /
pengobatan dengan jujur.
6 Kridensialitas ( kerahasiaan ) :
Prinsip ini berkaitan dengan kepercayaan pasien terhadap perawat. Perawat
tidak akan menyampaikan informasi tentang kesehatan pasien kepada orang
yang tidak berhak.
Prinsip Info diagnose medik diberikan oleh dokter. Perawat memberi onfo
kondisi kesehatan umum
.
7 Fidelity ( kesetiaan ) :
Ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk selalu setia pada kesepakatan
dan tanggung jawab yang telah dibuat.
Tanggung jawab perawat dalam tim
-asuhan keperawatan kepada individu, pemberi kerja , pemerintah dan
masyarakat.
8 Justice ( keadilan ) :
Berkenaan dengan kewajiban perawat untuk adil kepada semua orang . Adil
tidak memihak salah satu orang. Semua pasien harus mendapatkan
pelayanan yang sama sesuai dengan kebutuhannya.
Kebutuhan pasien klas Utama berbeda dengan kebutuhan pasien klas III.
Etika Profesi keperawatan disususun oleh Oragnisasi secara tertulis
KODE ETIK KEPERAWATAN
Fungsi Kode Etik :
Umum :
digunakan untuk mengontrol perilaku perawat dalam praktik dan dalam
kehidupan berprofesi, sehingga konsumen mendapatkan kepercayaan dari
pelayanan keperawatan
Fungsi khusus untuk :
1. Mengatur tanggung jawab moral perawat didalam praktik.
2. Pedoman perawat dalam berperilaku dalam praktik dan dalam kehidupan
berprofesi.
3. Mengontrol / menentukan keputusan dalam sengketa praktik, oleh
Oraganisasi profesi, termasuk dalam
memberikan sanksinya.
KODE ETIK KEPERAWATAN INDONESIA
- disusun dan diputuskan dalam Munas I tahun 1976.
- Diadakan revisi dalam Munas PPNI VI di Bandung tahun 2000.
- Berisi tanggung jawab Perawat terhadap ; Klien / pasien, perawat dan
praktik, perawat dan masyarakat,Perawat dan teman sejawat dan perawat

dengan profesi
Teks Kode Etik Keperawatan Indonesia tahu 2000.
Bab I Perawat dan klien :
1. Perawat dalam memberikan perawatan thd klien, dan tidak terpengaruh
kedudukan sosial politik dan agama yang dianut serta warna kulit.umur,jenis
kelamin, aliran pertimbangan kebangsaan, kesukuan.
2. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai nilai budaya, adat
istiadat dan kelangsungan hidupberagama dari klien.
3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
memebutuhkan asuhan keperawatan.
4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan
dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh
yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Bab II Perawat dan Praktik
1. Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi dibidang keperawatan
melalui belajar terus menerus.
2. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi
disertai kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan serta
ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
3. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang
akurat dan mempertimbangakan kemampuan serta kualifikasi seseorang
dalam melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi
kepada orang lain.
4. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan
dengan selalu menunjukan perilaku profesional.
Bab III Perawat dan masyarakat :
Perawat mengemban tugas tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan memdukung berbagai kegiatan dalam memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat.
Bab IV Perawat dan Teman sejawat :
1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat
maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dalam memelihar keserasian
suasana lingkungan kerja maupun tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh.
2. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan
illegal.
Bab V Perawat dan Profesi :
1. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan

dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan


pelayanan dan pendidikan keperawatan.
2. Perawat berperan aktif dalam berbagai pengembangan profesi
keperawatan.
3. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan
memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan
keperawatan yang bermutu tinggi.
sumber :http://askep-askeb.cz.cc/2010/01/etika-profesi-keperawatan.html
Share this post to other.
http://www.perawatindonesia.co.cc/2010/08/etika-profesi-keperawatan-etikakhusus.html
Asuhan Keperawatan dan Asuhan Kebidanan
Blog Perawat dan Bidan
ETIKA PROFESI KEPERAWATAN
ETIKA PROFESI KEPERAWATAN
Etika khusus yang mengatur tanggung jawab moral para perawat.
l. Kesepakatan moralitas para perawat.
Disusun oleh Organisasi profesi, berdasarkan suatu sumber yang ada
dilingkungan; baik lingkungan kesehatan, lingkungan konsumen dan
lingkungan Komunitas Keperawatan.
Sumber Etika Profesi keperawatan :
1. Etika Kesehatan.
2. Etika umum yang berlaku di masyarakat,
3. Etika Profesi keperawatan dunia -> ICN.
Etika Kesehatan :
Menurut Leenen Gozondeid Sethick, adalah etika khusus dengan
menerapkan nilai nilai dalam bidang pemeliharaan / pelayanan kesehatan
yang dilandasi oleh nilai nilai individu dan masyarakat.
Menurut Soeyono Soekamto (1986), Etika kesehatan mencakup penilaian
terhadap gejala kesehatan baik yang disetujui maupun tidak disetujui, serta
mencakup rekomendasi bagaimana bersikap/ bertindak secara pantas dalam
bidang kesehatan.
Etika Kesehatan mencakup ruang lingkup minimal al :
1. tritmen pada pasien yang menghadapi ajal
2. Mengijinkan unsur mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan
sengaja atas permintaan pasien sendiri,pembatasan perilaku, dan infomrmed
consent.
3. Bioetika
4. Pengungkapan kebenaran dan kerahasiaan dalam bidang kedokteran.
Contoh penerapan :
ad.1 Tritmen pada pasien yang menghadapi ajal :
- Pemberian O2 -> diteruskan / di stop.
- Program pengobatan diteruskan /tidak
- Suport terapi ( RJP ) sampai kapan.

- dalam kondisi MBO.


Ad.2. Mengijinkan unsur mengakhiri penderitaan dan hidup pasien
dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri,pembatasan perilaku, dan
infomrmed consent.
- Pasien teriminal
- Status vegetatif
- pasien HIV /AID
- pasien mendapat terapi diet
- pasien menghadapi tindakan medik
-> operasi, pemakaian obat yang harganya mahal dll.
ad.3 Bioetika :
- aborsi, pembatasan kelahiran, sterilisasi, bayi tabung, tranplantasi organ
dll.
ad.4 Pengungkapan kebenaran dan kerahasiaan dalam bidang kedokteran.
- permintaan informasi data pasien,
- Catatan medik,
- Pembicaraan kasus pasien.
Etika umum yang berlaku di masyarakat :
- Privasi pasien,
- Menghargai harkat martabat pasien
- Sopan santun dalam pergaulan
-> saling menghormati,
-> saling membantu.
-> peduli terhadap lingkungan
Etika Profesi keperawatan dunia -> ICN.
Etika Keperawatan terkandung adanya nilai nilai dan prinsip
prinsip yang berfokus bagi praktik Perawat.
Praktik perawat bermuara pada interaksi profesional dengan pasien serta
menunjukan kepedulian perawat terhadap hubungan yang telah
dilakukannya.
Ada 8 prinsip utama dalam Etika Keperawatan ICN :
8 prinsip utama dalam Etika Keperawatan ICN :
1. Respek
2. Otonomi
3. Beneficence ( kemurahan hati)
4. Non-maleficence,
5. Veracity ( kejujuran )
6. Kridensialitas ( kerahasiaan )
7. Fidelity ( kesetiaan )
8. Justice ( keadilan )
Ad.1 Respek :
= perilaku perawat yang menghormati/ menghargai pasien /klien.
-> hak hak pasien,
-> penerapan inforned consent
= Perilaku perawat menghormati

sejawat
=> Tindakan eksplisit maupun implisit
-> simpatik, impati kepada orang lain.
ad.2 Otonomi :
= hak untuk mengatur dan membuat keputusannya sendiri.
Tetapi tidak sebebas bebasnya
-> ada keterbatasan dalam hukum,
kompetensi dan kewenangan.
-> perlu pemahaman tindakan kolaborasi.
ad.3 Beneficence ( kemurahan hati) :
= berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan hal yang baik dan tidak
membahayakan orang lain.
lanjutan :
Pada dasarnya seseorang diharapkan dapat membuat keputusan untuk
dirinya sendiri , kecuali bagi mereka yang tidak
dapat melakukannya.
-> bayi dan anak
-> pasien koma
-> keterbelakangan mental / kelainan kejiwaan.
Ad.4 Non-maleficence:
Prinsip -> berkaitan dengan kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja
menimbulkan kerugian / cidera pasien.
- Jangan membunuh
- jangan menyebabkan nyeri/penderitaan lain.
- jangan membuat orang lain tidak berdaya.
- Jangan melukai perasaan
Ad.5 Veracity ( kejujuran ) :
Kewajiban perawat untuk
mengatakan suatu kebenaran. Tidak bohong tidak menipu. Terutama dalam
proses informed consent.
Perawat membatu pasien untuk memahami informasi dokter tentang
rencana tindakan medik / pengobatan dengan jujur.
Ad.6 Kridensialitas ( kerahasiaan ) :
Prinsip ini berkaitan dengan kepercayaan pasien terhadap perawat. Perawat
tidak akan menyampaikan informasi tentang kesehatan pasien kepada orang
yang tidak berhak.
Prinsip -> Info diagnose medik
diberikan oleh dokter. Perawat memberi info kondisi kesehatan umum.
Ad.7 Fidelity ( kesetiaan ) :
Ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk selalu setia pada kesepakatan
dan tanggung jawab yang telah dibuat. Tanggung jawab perawat dalam tim
-> asuhan keperawatan kepada individu, pemberi kerja , pemerintah dan
masyarakat.
Ad.8 Justice ( keadilan ) :
Berkenaan dengan kewajiban perawat untuk adil kepada semua orang .
Adil -> tidak memihak salah satu orang. Semua pasien harus mendapatkan

pelayanan yang sama sesuai dengan kebutuhannya.


=> Kebutuhan pasien klas Utama berbeda dengan kebutuhan pasien klas III.
Etika Profesi keperawatan disususun oleh Oragnisasi secara tertulis
-> KODE ETIK KEPERAWATAN
Fungsi Kode Etik :
Umum : digunakan untuk mengontrol perilaku perawat dalam praktik
dan dalam kehidupan berprofesi, sehingga konsumen mendapatkan
kepercayaan dari pelayanan keperawatan.
Fungsi khusus untuk :
1. Mengatur tanggung jawab moral perawat didalam praktik.
2. Pedoman perawat dalam berperilaku dalam praktik dan dalam kehidupan
berprofesi.
3. Mengontrol / menentukan keputusan dalam sengketa praktik, oleh
Oraganisasi profesi, termasuk dalam memberikan sanksinya.
http://askepasbid.wordpress.com/2010/10/08/etika-profesi-keperawatan/
ASAS ETIKA KEPERAWATAN
1. Azas menghormati Otonomi Pasien
Kebebasan pasien untuk berhak atas keputusan yang akan dihadapi
setelah mendapat informasi merupakan otonomi pasien, segala pendapat
berhak untuk dihormati dan didengarkan dan dalam kaitannya agar
pelaksanaan asuhan keperawatan tidak melanggar. Azas ini sangat
diperlukan dalam tindakan adanya informasi consent.
2. Azas Manfaat
Mengandung arti bahwa semua tindakan yang diberikan pada pasien
harus mengandung unsur manfaat. Dan untuk menunjukan manfaat dari
tindakan yang diberikan perawat harus mengurangi tindakan yang dapat
merugikan.
3. Azas tidak Merugikan
Artinya segala tindakan yang diberikan tidak boleh didasari atas
sesuatu yang dapat merugikan pasien artinya resiko baik secara fisik
psikologis maupun sosial akibat tindakan hendaknya dikurangi semaksimal
mungkin.
4. Azas Kejujuran
Kejujuran sangat penting dan harus dimiliki perawat karena dengan
jujur informasi yang disampaikan akan benar tercapai sehingga dapat
mengurangi hal-hal yang kemungkinan tidak terjadi dan dalam pemberian
informasi harus diusahakan sesuai dengan tingkat pendidikan pasien
5. Azas Kerahasiaan
Unsur privacy dan kerahasiaan pasien harus tetap dihormati
walaupun telah meninggal dunia. Hal ini dilandasi pada perawat dalam
melakukan tindakan agar tetap berpedoman pada etika yang ada.
6. Azas Keadilan
Adil dan tidak berat sebelah merupakan bagian dari azas etika oleh
segala kerugian yang mungkin terjadi atau manfaat yang akan didapatkan

hendaknya dapat diperoleh oleh semua klien tanpa memandang siapapun


orangnya.
ETIKA PROFESI KEPERAWATAN
Etika profesi keperwatan merupakan kesadaran dan pedoman yang
mengatur nilai-nilai moral di dalam melaksanakan kegiatan profesi
keperawatan, sehingga mutu dan kualitas profesi keperawatan tetap terjaga
dengan cara terhormat (Hariadi, 1998)
Pemahaman tentang etika profesi sangat penting dihayati oleh
perawat, oleh karena itu kemampuan akademi dan professional akan lebih
baik bilamana didukung oleh pelaksanaan etika keperawatan. Di dalam etika
keperawatan terdapat beberapa unsur yang terkandung didalamnya
diantaranya; pengorbanan, dedikasi, pengabdian dan hubungan antara
perawat dengan pasien, dokter, sejawat maupun untuk diri sendiri, oleh
karena itu dalam prakteknya etika keperawatan dapat berorientasi pada
kewajiban dan larangan, selanjutnya dapat diatur dalam kode etik
keperawatan.
Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-publichealth/2146946-asas-etika-keperawatan-dan-etika/#ixzz1LNzAT7dM
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2146946-asasetika-keperawatan-dan-etika/
Etika Profesi
ETIK DAN MORAL DALAM PRAKTEK KEPERAWATAN ATAU KEBIDANAN
ETIKA, MORAL DAN NILAI-NILAI
Pengertian:
Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku
benar atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan
perilaku.
Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral
kedalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang
membimbing manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang
dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang menggunakan
istilah etik untuk mengambarkan etika suatu profesi dalam hubungannya
dengan kode etik profesional seperti Kode Etik PPNI atau IBI.
Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan
terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku
seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai
yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal.
Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal

tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara
etika dalam agama, hukum, adat dan praktek profesional
NILAI-NILAI ESENSIAL DALAM PROFESI
Pada tahun 1985, The American Association Colleges of Nursing
melaksanakan suatu proyek termasuk didalamnya mengidentifikasi nilai-nilai
esensial dalam praktek keperawatan profesional. Perkumpulan ini
mengidentifikasikan 7 nilai-nilai esensial dalam kehidupan profesional, yaitu:
1. Aesthetics (keindahan): Kualitas obyek suatu peristiwa atau kejadian,
seseorang memberikan kepuasan termasuk penghargaan, kreatifitas,
imajinasi, sensitifitas dan kepedulian.
2. Altruism (mengutamakan orang lain): Kesediaan memperhatikan
kesejahteraan orang lain termasuk keperawatan atau kebidanan, komitmen,
arahan, kedermawanan atau kemurahan hati serta ketekunan.
3. Equality (kesetaraan): Memiliki hak atau status yang sama termasuk
penerimaan dengan sikap asertif, kejujuran, harga diri dan toleransi
4. Freedom (Kebebasan): memiliki kapasitas untuk memilih kegiatan
termasuk percaya diri, harapan, disiplin serta kebebasan dalam pengarahan
diri sendiri.
5. Human dignity (Martabat manusia): Berhubungan dengan penghargaan
yang lekat terhadap martabat manusia sebagai individu termasuk
didalamnya kemanusiaan, kebaikan, pertimbangan dan penghargaan penuh
terhadap kepercayaan.
6. Justice (Keadilan): Menjunjung tinggi moral dan prinsip-prinsip legal
termasuk objektifitas, moralitas, integritas, dorongan dan keadilan serta
kewajaran.
7. Truth (Kebenaran): Menerima kenyataan dan realita, termasuk
akontabilitas, kejujuran, keunikan dan reflektifitas yang rasional.
PENGEMBANGAN DAN TRANSMISI NILAI-NILAI
Nilai-nilai tersebut diambil dengan berbagai cara antara lain: (1)
Model atau contoh, dimana individu belajar tentang nilai-nilai yang baik atau
buruk melalui observasi perilaku keluarga, sahabat, teman sejawat dan
masyarakat lingkungannya dimana dia bergaul; (2) Moralitas diperoleh dari
keluarga, ajaran agama, sekolah, dan institusi tempatnya bekerja dan
memberikan ruang dan waktu atau kesempatan kepada individu untuk
mempertimbangkan nilai-nilai yang berbeda; (3) Sesuka hati adalah proses
dimana adaptasi nilai-nilai ini kurang terarah dan sangat tergantung kepada
nilai-nilai yang ada di dalam diri seseorang dan memilih serta
mengembangkan sistem nilai-nilai tersebut menurut kemauan mereka
sendiri. Hal ini lebih sering disebabkan karena kurangnya pendekatan, atau
tidak adanya bimbingan atau pembinaan sehingga dapat menimbulkan
kebingungan, dan konflik internal bagi individu tersebut; (4) Penghargaan
dan Sanksi; Perlakuan yang biasa diterima seperti: mendapatkan
penghargaan bila menunjukkan perilaku yang baik, dan sebaliknya akan
mendapat sanksi atau hukuman bila menunjukkan perilaku yang tidak baik;

(5) Tanggung jawab untuk memilih; adanya dorongan internal untuk


menggali nilai-nilai tertentu dan mempertimbangkan konsekuensinya untuk
diadaptasi. Disamping itu, adanya dukungan dan bimbingan dari seseorang
yang akan menyempurnakan perkembangan sistem nilai dirinya sendiri.
KLARIFIKASI NILAI-NILAI (VALUES)
Ada tiga fase dalam klarifikasi nilai-nilai individu yang perlu dipahami
oleh perawat dan bidan.
Pilihan: (1) Kebebasan memilih kepercayaan serta menghargai keunikan bagi
setiap individu; (2) Perbedaan dalam kenyataan hidup selalu ada perbedaanperbedaan, asuhan yang diberikan bukan hanya karena martabat seseorang
tetapi hendaknya perlakuan yang diberikan mempertimbangkan
sebagaimana kita ingin diperlakukan. (3) Keyakinan bahwa penghormatan
terhadap martabat seseorang akan merupakan konsekuensi terbaik bagi
semua masyarakat.
Penghargaan: (1) Merasa bangga dan bahagia dengan pilihannya
sendiri (anda akan merasa senang bila mengetahui bahwa asuhan yang
anda berikan dihargai pasen atau klien serta sejawat) atau supervisor
memberikan pujian atas keterampilan hubungan interpersonal yang
dilakukan; (2) Dapat mempertahankan nilai-nilai tersebut bila ada seseorang
yang tidak bersedia memperhatikan martabat manusia sebagaimana
mestinya.
Tindakan (1) Gabungkan nilai-nilai tersebut kedalam kehidupan atau
pekerjaan sehari-hari; (2) Upayakan selalu konsisten untuk menghargai
martabat manusia dalam kehidupan pribadi dan profesional, sehingga timbul
rasa sensitif atas tindakan yang dilakukan.
Semakin disadari nilai-nilai profesional maka semakin timbul nilainilai moral yang dilakukan serta selalu konsisten untuk mempertahankannya.
Bila dibicarakan dengan sejawat atau pasen dan ternyata tidak sejalan, maka
seseorang merasa terjadi sesuatu yang kontradiktif dengan prinsip-prinsip
yang dianutnya yaitu; penghargaan terhadap martabat manusia yang tidak
terakomodasi dan sangat mungkin kita tidak lagi merasa nyaman. Oleh
karena itu, klarifikasi nilai-nilai merupakan suatu proses dimana kita perlu
meningkatkan serta konsisten bahwa keputusan yang diambil secara khusus
dalam kehidupan ini untuk menghormati martabat manusia. Hal ini
merupakan nilai-nilai positif yang sangat berguna dalam kehidupan seharihari dan dalam masyarakat luas.
PELAKSANAAN ETIK DAN MORAL DALAM PELAYANAN KLINIS KEPERAWATAN
DAN KEBIDANAN
Aplikasi dalam praktek klinis bagi perawat/bidan diperlukan untuk
menempatkan nilai-nilai dan perilaku kesehatan pada posisinya.
Perawat/bidan bisa menjadi sangat frustrasi bila membimbing atau
memberikan konsultasi kepada pasen yang mempunyai nilai-nilai dan
perilaku kesehatan yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena pasen
kurang memperhatikan status kesehatannya. Pertama-tama yang dilakukan

oleh perawat/bidan adalah berusaha membantu pasen untuk


mengidentifikasi nilai-nilai dasar kehidupannya sendiri.
Langkah berikutnya adalah mengajaknya untuk mendiskusikan
prioritas yang dibuat berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya, dengan
mengikuti klarifikasi nilai-nilai sebagai berikut:
1. Memilih: Setelah menggali aspek-aspek berdampak terhadap kesehatan
pasen, misalnya stress yang berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan
dan mengganggu aktifitasnya, maka sarankan kepadanya memilih secara
bebas nilai-nilai kunci yang dianutnya. Bila dia memilih masalah
kesehatannya, maka hal ini menunjukkan tanda positif.
2. Penghargaan: Berikan dukungan untuk memperkuat keinginan pasen dan
promosikan nilai-nilai tersebut dan bila memungkinkan dapatkan dukungan
dari keluarganya. Contoh: istri dan anak anda pasti akan merasa senang bila
anda memutuskan untuk berhenti merokok serta mengurangi kegiatan bisnis
anda, karena dia sangat menghargai kesehatan anda.
3. Tindakan: Berikan bantuan kepada pasen untuk merencanakan kebiasaan
baru yang konsisten setelah memahami nilai-nilai pilihannya. Minta kepada
pasen untuk memikirkan suatu cara bagaimana nilai tersebut dapat masuk
dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata yang perlu diucapkan perawat/bidan
kepada pasennya: Bila anda pulang, anda akan menemukan cara kehidupan
yang berbeda, dan anda menyatakan ingin mulai menggunakan waktu demi
kesehatan anda.
PERILAKU ETIS PROFESIONAL
Perawat atau bidan memiliki komitmen yang tinggi untuk
memberikan asuhan yang berkualitas berdasarkan standar perilaku yang etis
dalam praktek asuhan profesional. Pengetahuan tentang perilaku etis dimulai
dari pendidikan perawat atau bidan, dan berlanjut pada diskusi formal
maupun informal dengan sejawat atau teman. Perilaku yang etis mencapai
puncaknya bila perawat atau bidan mencoba dan mencontoh perilaku
pengambilan keputusan yang etis untuk membantu memecahkan masalah
etika.
Dalam hal ini, perawat atau bidan seringkali menggunakan dua
pendekatan: yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan pendekatan
berdasarkan asuhan keperawatan /kebidanan.
Pendekatan Berdasarkan Prinsip
Pendekatan berdasarkan prinsip, sering dilakukan dalam bio etika
untuk menawarkan bimbingan untuk tindakan khusus. Beauchamp Childress
(1994) menyatakan empat pendekatan prinsip dalam etika biomedik antara
lain; (1) Sebaiknya mengarah langsung untuk bertindak sebagai
penghargaan terhadap kapasitas otonomi setiap orang: (2) Menghindarkan
berbuat suatu kesalahan; (3) Bersedia dengan murah hati memberikan
sesuatu yang bermanfaat dengan segala konsekuensinya; (4) Keadilan
menjelaskan tentang manfaat dan resiko yang dihadapi.
Dilema etik muncul ketika ketaatan terhadap prinsip menimbulkan
penyebab konflik dalam bertindak. Contoh; seorang ibu yang memerlukan

biaya untuk pengobatan progresif bagi bayinya yang lahir tanpa otak dan
secara medis dinyatakan tidak akan pernah menikmati kehidupan bahagia
yang paling sederhana sekalipun. Di sini terlihat adanya kebutuhan untuk
tetap menghargai otonomi si ibu akan pilihan pengobatan bayinya, tetapi
dilain pihak masyarakat berpendapat akan lebih adil bila pengobatan
diberikan kepada bayi yang masih memungkinkan mempunyai harapan
hidup yang besar. Hal ini tentu sangat mengecewakan karena tidak ada satu
metoda pun yang mudah dan aman untuk menetapkan prinsip-prinsip mana
yang lebih penting, bila terjadi konflik diantara kedua prinsip yang
berlawanan. Umumnya, pendekatan berdasarkan prinsip dalam bioetik,
hasilnya terkadang lebih membingungkan. Hal ini dapat mengurangi
perhatian perawat atau bidan terhadap sesuatu yang penting dalam etika.
Pendekatan Berdasarkan Asuhan
Ketidakpuasan yang timbul dalam pendekatan berdasarkan prinsip
dalam bioetik mengarahkan banyak perawat atau bidan untuk memandang
care atau asuhan sebagai fondasi dan kewajiban moral. Hubungan
perawat/bidan dengan pasen merupakan pusat pendekatan berdasarkan
asuhan, dimana memberikan langsung perhatian khusus
kepada pasen, sebagaimana dilakukan sepanjang kehidupannya sebagai
perawat atau bidan.
Perspektif asuhan memberikan arah dengan cara bagaimana
perawat/bidan dapat membagi waktu untuk dapat duduk bersama dengan
pasen atau sejawat, merupakan suatu kewajaran yang dapat
membahagiakan bila diterapkan berdasarkan etika. Karakteristik perspektif
dari asuhan meliputi : (1) Berpusat pada hubungan interpersonal dalam
asuhan; (2) Meningkatkan penghormatan dan penghargaan terhadap
martabat klien atau pasen sebagai manusia; (3) Mau mendengarkan dan
mengolah saran-saran dari orang lain sebagai dasar yang mengarah pada
tanggung-jawab profesional; (4) Mengingat kembali arti tanggung-jawab
moral yang meliputi kebajikan seperti: kebaikan, kepedulian, empati,
perasaan kasih-sayang, dan menerima kenyataan. (Taylor,1993).
Asuhan juga memiliki tradisi memberikan komitmen utamanya
terhadap pasen dan belakangan ini mengklaim bahwa advokasi terhadap
pasen merupakan salah satu peran yang sudah dilegimitasi sebagai peran
dalam memberikan asuhan keperawatan/kebidanan. Advokasi adalah
memberikan saran dalam upaya melindungi dan mendukung hak-hak pasen.
Hal tersebut merupakan suatu kewajiban moral bagi perawat atau
bidan, dalam menemukan kepastian tentang dua sistem pendekatan etika
yang dilakukan yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan asuhan. Perawat
atau bidan yang memiliki komitmen tinggi dalam mempraktekkan
keperawatan profesional dan tradisi tersebut perlu mengingat hal-hal sbb:
(1) Pastikan bahwa loyalitas staf atau kolega agar tetap memegang teguh
komitmen utamanya terhadap pasen; (2) berikan prioritas utama terhadap
pasen dan masyarakat pada umumnya; (3) Kepedulian mengevaluasi
terhadap kemungkinan adanya klaim otonomi dalam kesembuhan pasen.

Bila menghargai otonomi, perawat atau bidan harus memberikan informasi


yang akurat, menghormati dan mendukung hak pasien dalam mengambil
keputusan.
http://javanurse.blogspot.com/2008/11/etika-profesi.html
Etika Profesi Kebidanan
FUNGSI ETIKA DAN MORALITAS DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
1. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien
2. Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan
yg merugikan/membahayakan orang lain
3. Menjaga privacy setiap individu
4. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan
porsinya
5. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima
dan apa alasannya
6. Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam
menganalisis suatu masalah
7. Menghasilkan tindakan yg benar
8. Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya
9. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik,
buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya
10. Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak
11. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik
12. Mengatur hal-hal yang bersifat praktik
13. Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat
maupun tata cara di dalam organisasi profesi
14. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas
profesinya yg biasa disebut kode etik profesi.
HAK KEWAJIBAN DAN TANGGUNGJAWAB
A. Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai
pasien/klien:
1). Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan
yang berlaku di rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.
2). Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
3). Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi
bidan tanpa diskriminasi.
4). Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan
keinginannya.
5). Pasien berhak mendapatkan ;nformasi yang meliputi kehamilan,

persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.


6). Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama
proses persalinan berlangsung.
7). Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan
keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
8). Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan
pendapat kritis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dad pihak luar.
9). Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di
rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya,
sepengatahuan dokter yang merawat.
10). Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang
diderita termasuk data-data medisnya.
11). Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:
a. Penyakit yang diderita
b. Tindakan kebidanan yang akan dilakukan
c. Alternatif terapi lainnya
d. Prognosisnya
e. Perkiraan biaya pengobatan
12). Pasien berhak men yetujui/mem berikan izin atas tindakan yang akan
dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
13). Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap
dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab
sendiri sesuadah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
14). Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
15). Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang
dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
16). Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di rumah sakit.
17). Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun
spiritual.
18). Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus
malpraktek.
B. Kewaiiban Pasien
1). Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan
dan tat tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.
2). Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan,
perawat yang merawatnya.
3). Pasien dan atau penangungnya berkewajiban untuk melunasi semua
imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan,
dokter, bidan dan perawat.
4). Pasien dan atau penangggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang
selalu disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
C. Hak Bidan
1). Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas

sesuai dengan profesinya.


2). Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap
tingkat jenjang pelayanan kesehatan.
3). Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang
bertentangan dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi.
4). Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya
dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.
5). Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui
pendidikan maupun pelatihan.
6). Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk mmingkatkan jenjang karir
dan jabatan yang sesuai.
7). Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.
D. Kewaiiban Bidan
1). Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan
hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana
pelayanan dimana ia bekerja.
2). Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan
standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien.
3). Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang
mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.
4). Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami
atau keluarga.
5). Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan keyakinannya.
6). Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien.
7). Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang
akan dilakukan serta risiko yang mungkiri dapat timbul.
8). Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas
tindakan yang akan dilakukan.
9). Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.
10).
BidanwajibmengikutiperkembanganIPTEKdanmenambahilmupengetahuanny
a melalui pendidikan formal atau non formal.
11). Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait
secra timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.
TUJUAN KODE ETIK
Pada dasarnya tujuan menciptakan atau merumuskan kode etik suatu
profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:
1). Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini yang dijaga adalah image dad pihak luar atau
masyarakat mencegah orang luar memandang rendah atau remeh suatu

profesi. Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan melarang
berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat
mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik juga
disebut kode kehormatan.
2). Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan
spiritual atau mental. Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode
etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk
melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga
menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan
tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam
interaksinya dengan sesama anggota profesi.
3). Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi
tertentu, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui
tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik
merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota
profesi dalam menjalankan tugasnya.
4). Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar
profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan
bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara
memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.
Dimensi Kode Etik
1. Anggota profesi
2. Anggota profesi
3. Anggota profesi
4. Anggota profesi

dan
dan
dan
dan

Klien/ Pasien.
sistem kesehatan.
profesi kesehatan
sesama anggota profesi

Prinsip Kode Etik


1.Menghargai otonomi
2. Melakukan tindakan yang benar
3. Mencegah tindakan yang dapat merugikan.
4. Memberlakukan manisia dengan adil.
5. Menjelaskan dengan benar.
6. Menepati janji yang telah disepakati.
7. Menjaga kerahasiaan
Penetapan Kode Etik
Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh organisasi untuk para
anggotanya. Penetapan kode etik IBI harus dilakukan dalam kongres IBI
(Ikatan Bidan Indinesia).
KODE ETIK BIDAN
Kode etik bidan di Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986

dan disyahkan dalam kongres nasional IBI X tahun 1988, sedang petunjuk
pelaksanaanya disyahkan dalam rapat kerja nasional (RAKERNAS) IBI tahun
1991, kemudian disempurnakan dan disyahkan pada kongres nasional IBI XII
tahun 1998. Sebagai pedoman dalam berperilaku, kode etik bidan Indonesia
mengandung beberapa kekuatan yang semuanya tertuang dalam
mukadimah, tujuan dan bab.
SECARA UMUM KODE ETIK TERSEBUT BERISI 7 BAB YAITU:
1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)
1). Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya.
2). Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung
tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra
bidan.
3). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa
berpedoman pada peran, tugas dan tanggungjawab sesuai dengan
kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
4). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan
kepentingan klien, menghormati hak klien dan menghormati nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat.
5). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa
mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas
yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya.
6). Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam
hubungan pelaksanaan - tugasnya, dengan mendorong partisipasi
masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)
1). Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna
terhadap klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi
yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
2). Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai
kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk
keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.
3). Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat
dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau
dipedukan sehubungan kepentingan klien.
3. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir)
1). Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya
untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
2). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya harus saling
menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
4. Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)

1). Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi
citra profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan
memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
2). Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan did dan
meningkatkan kemampuan profesinya seuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
3). Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian
dan kegiatan sejenis yang dapat meningkatkan mute dan citra profesinya.
5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir)
1). Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat
melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
2). Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air (2 butir)
1). Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa
melaksanakan ketentuanketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan,
khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan
masyarakat.
2). Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan
menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk- meningkatkan
mutu jangakauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan
kesehatan keluarga.
http://kumpulan-segalamacam.blogspot.com/2008/07/pengertian-etika-dan-moraldalam.html
Etika Profesi Kedokteran
Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia (LSDI) dan Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI) telah tercantum secara garis besar perilaku dan
tindakan-tindakan yang layak atau tidak layak dilakukan seorang dokter
dalam menjalankan profesinya. Namun ada saja dokter yang tega melakukan
pelanggaran etik bahkan pelanggaran etik sekaligus hukum (etikolegal),
terlebih dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami krisis akhirakhir ini.
Beda etik dengan hukum
Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi
kedokteran dalam hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan

masyarakat umumnya serta merupakan bagian dari keseluruhan proses


pengambilan keputusan dan tindakan medik ditinjau dari segi norma-norma /
nilai-nilai moral.
Hukum merupakan peraturan perundang-undangan baik pidana,
perdata maupun administrasi. Hukum kesehatan merupakan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan
kesehatan, jadi menyangkut penyelenggara pelayanan kesehatan dan
penerima pelayanan kesehatan.
Perbedaan etik dengan hukum adalah :
1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi. Hukum berlaku untuk umum.
2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum dibuat oleh
suatu kekuasaan atau adat.
3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab
undang-undang / lembaran negara.
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik umumnya berupa tuntunan. Sanksi
terhadap pelanggaran hukum berupa tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu
diteruskan kepada Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran
(P3EK), yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan (DepKes). Pelanggaran
hukum diselesaikan melalui pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik.
Penyelesaian pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.
Pelanggaran etik murni
Pelanggaran terhadap butir-butir LSDI dan/atau KODEKI ada yang merupakan
pelanggaran etik murni, dan ada pula yang merupakan pelanggaran
etikolegal. Pelanggaran etik tidak selalu merupakan pelanggaran hukum, dan
sebaliknya, pelanggaran hukum tidak selalu berarti pelanggaran etik.
Yang termasuk pelanggaran etik murni antara lain :
1. Menarik imbalan jasa yang tidak wajar dari klien / pasien atau menarik
imbalan jasa dari sejawat dokter dan dokter gigi beserta keluarga
kandungnya.
2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
3. Memuji diri sendiri di depan pasien, keluarga atau masyarakat.
4. Pelayanan kedokteran yang diskriminatif.
5. Kolusi dengan perusahaan farmasi atau apotik.
6. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan.
7. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
Perilaku dokter tersebut di atas tidak dapat dituntut secara hukum tetapi
perlu mendapat nasihat / teguran dari organisasi profesi atau atasannya.
Contoh-contoh kasus etikolegal
Pelanggaran di mana tidak hanya bertentangan dengan butir-butir
LSDI dan/atau KODEKI, tetapi juga berhadapan dengan undang-undang
hukum pidana atau perdata (KUHP/KUHAP). Misalnya :

1. Pelayanan kedokteran di bawah standar (malpraktek)


2. Menerbitkan surat keterangan palsu.
3. Membocorkan rahasia pekerjaan / jabatan dokter.
4. Pelecehan seksual.
(dan sebagainya)
Etik kedokteran dan hukum kesehatan dalam obstetri ginekologi
Masalah-masalah yang berhubungan dengan reproduksi manusia
merupakan masalah yang sangat khusus dan paling rumit ditinjau dari segi
etik, agama, hukum dan sosial, terlebih dengan begitu pesatnya
perkembangan dalam bidang obstetri ginekologi dalam tiga dekade terakhir
ini.
Masalah-masalah kontrasepsi, aborsi, teknologi reproduksi buatan,
operasi plastik selaput dara dan sebagainya, memerlukan perhatian penuh
pihak profesi kedokteran, hukum, agama dan masyarakat luas.
1. Pelayanan kontrasepsi
Sejak program Keluarga Berencana (KB) menjadi program nasional
pada tahun 1970, berbagai cara kontrasepsi telah ditawarkan dalam
pelayanan KB di Indonesia, mulai dari cara tradisional, barier, hormonal (pil,
suntikan, susuk KB), IUD/AKDR, dan kontrasepsi mantap (Kontap). Seorang
dokter harus memberikan konseling kepada pasangan suami istri (pasutri)
atau calon akseptor, dengan penjelasan lebih dahulu tentang indikasi kontra,
efektifitas dan efek samping atau keamanan setiap jenis kontrasepsi, dan
akhirnya pasutri lah yang menentukan pilihannya.
Dari cara-cara kontrasepsi tersebut di atas, maka cara AKDR dan
kontap menjadi bahan diskusi yang hangat, terutama karena menyangkut
aspek agama dan hukum. Mekanisme kerja AKDR adalah sebagai kontrasepsi
dan juga kontranidasi, sehingga menimbulkan dilema bagi seorang dokter.
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
hidup insani (KODEKI, pasal 10), bahkan menghormati setiap hidup insani
mulai dari saat pembuahan (LSDI, butir 9).
Jadi pemasangan AKDR dapat dianggap mengupayakan pemusnahan
telur yang telah dibuahi. Karena LSDI telah dikukuhkan dengan PP no.26
tahun 1960, maka seorang dokter yang melanggar sumpah tersebut berarti
telah melanggar peraturan pemerintah, sehingga dapat diancam hukuman
sesuai peraturan yang berlaku. Namun, KB merupakan program nasional,
sehingga sanksi terhadap pelanggaran tersebut agaknya tidak diberlakukan.
Cara kontap baik pada pria maupun pada wanita telah banyak
dilakukan di Indonesia, baik atas indikasi medik maupun indikasi sosialekonomi dengan tujuan kontrasepsi yang permanen. Peraturan perundangundangan tentang kontap belum ada di Indonesia. Pendapat tokoh-tokoh
agama beraneka ragam dan kenyataannya lebih banyak yang menentang
cara kontrasepsi itu karena mengurangi harkat dan kodrat seseorang.
Dari
segi etik kedokteran, cara kontap dapat dibenarkan sesuai dengan KODEKI
butir 10, yaitu dengan tujuan melindungi hidup insani dan mengutamakan

kesehatan penderita. Namun tidaklah etis menawarkan kontap pada saat ibu
sedang mengalami persalinan patologik.
Dari segi hukum, kontap dapat dianggap melanggar KUHP pasal 534
yang melarang usaha pencegahan kehamilan dan melanggar pula pasal 351
karena tindakan tersebut merupakan mutilasi alat tubuh. Juga dapat dituduh
melakukan penganiayaan, sehingga dapat dikenakan hukuman atau dituntut
ganti rugi. Namun, dengan terbitnya UU RI no.10 tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,
penyelenggaraan Keluarga Berencana dapat dibenarkan dengan
memperhatikan butir-butir berikut :
Pasal 17
(1) Pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya
guna dan berhasil guna serta dapat diterima oleh pasangan suami istri
sesuai dengan pilihannya.
(2) Penyelenggaraan pengaturan kelahiran dilakukan dengan cara yang
dapat dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan, etik dan agama yang
dianut penduduk yang bersangkutan.
Penjelasan
(1) Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat
dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan sosial
budaya yang berlaku di dalam masyarakat.
(2) Untuk menghindarkan hal yang berakibat negatif, setiap alat, obat dan
cara yang dipakai sebagai pengatur kehamilan harus aman dari segi medik
dan dibenarkan oleh agama, moral dan etika.
Pasal 18
Setiap pasangan suami istri dapat menentukan pilihannya dalam
merencanakan dan mengatur jumlah anak, dan jarak antara kelahiran anak
yang berlandaskan pada kesadaran dan tanggung jawab terhadap generasi
sekarang maupun generasi mendatang.
Pasal 19
Suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan
yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.
Penjelasan
Suami dan isteri harus sepakat mengenai pengaturan kehamilan dan cara
yang akan dipakai agar tujuannya tercapai dengan baik. Keputusan atau
tindakan sepihak dapat menimbulkan kegagalan atau masalah di kemudian
hari. Kewajiban yang sama antara keduanya berarti juga, bahwa apabila
isteri tidak dapat memakai alat, obat dan cara pengaturan kelahiran,
misalnya karena alasan kesehatan, maka suami mempergunakan alat, obat
dan cara yang diperuntukkan bagi laki-laki.
2. Abortus Provokatus
Masalah aborsi telah dibahas di berbagai pertemuan ilmiah dalam
lebih dari 3 dekade terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun regional,
namun hingga waktu ini Rancangan Pengaturan Pengguguran berdasarkan
Pertimbangan Kesehatan belum terwujud. Secara umum hal ini telah

dicantumkan dalam undang-undang kesehatan, namun penjabarannya


belum selesai juga. Kehampaan hukum itu menyangkut pula tindakan
abortus provokatus pada kasus-kasus kehamilan karena perkosaan,
kehamilan pada usia remaja putri (usia kurang dari 16 tahun, yang belum
mempunyai hak untuk menikah), kehamilan pada wanita dengan gangguan
jiwa, kegagalan kontrasepsi dan wanita dengan grande multipara.
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya
melindungi hidup insani (KODEKI pasal 10). Undang-undang no.23 tahun
1992 tentang kesehatan menyatakan bahwa dalam keadaan darurat,
sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat
dilakukan tindakan medik tertentu dan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
atau suami atau keluarganya dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.
Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal yang mengancam
pelaku abortus ilegal sebagai berkut :
a. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain
melakukannya (KUHP pasal 346, hukuman maksimum 4 tahun).
b. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seijinnya (KUHP
pasal 347, hukuman maksimum 12 tahun dan bila wanita itu meninggal,
hukuman maksimum 15 tahun).
c. Seorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seijin wanita
tersebut (KUHP pasal 348, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila
wanita itu meninggal, hukuman maksimum 7 tahun).
d. Dokter, Bidan atau Juru Obat yang melakukan kejahatan di atas (KUHP
pasal 349, hukuman ditambah sepertiganya dan pencabutan hak
pekerjaannya).
Dalam pasal 80 UU Kesehatan tercantum, bahwa Barang siapa dengan
sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak
dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau
janin yang dikandungnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,- (limaratus juta
rupiah).
3. Teknologi Reproduksi Buatan
Pada tahun 1978, Steptoe & Edwards melahirkan bayi tabung
pertama Louise Brown di Inggris, hasil Fertilisasi In Vitro (FIV) dan
Pemindahan Embrio (PE). Ini merupakan terobosan yang telah mengubah
dunia kedokteran terutama di bidang reproduksi manusia. Di Indonesia, bayi
tabung pertama lahir 10 tahun kemudian (1988) hasil upaya Tim Melati RSAB
Harapan Kita Jakarta. FIV dan PE merupakan upaya terakhir untuk menolong
pasutri memperoleh keturunannya, karena upaya ini memerlukan biaya yang
besar, keberhasilan take home baby yang rendah dan menyebabkan
distres pada pasutri yang bersangkutan. Selain cara FIV dan PE telah
dikembangkan pula teknologi reproduksi buatan lainnya seperti Tandur Alih
Gamet atau Embrio Intra Tuba dan Suntikan Sperma Intra Sitoplasmik.
Dari segi hukum, di Indonesia telah terdapat peraturan perundang-

undangan tentang kehamilan di luar cara alami itu, yaitu bahwa cara
tersebut hanya dapat dilakukan pada pasangan suami istri yang sah,
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu, dan pada sarana kesehatan yang memenuhi syarat
(UU Kesehatan, pasal 16). Dengan demikian, masalah donasi oosit, sperma
dan embrio, masalah ibu pengganti adalah bertentangan dengan hukum
yang berlaku dan juga etik kedokteran.
Dalam pasal 82 ayat (2) UU Kesehatan tersebut dinyatakan bahwa Barang
siapa melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
4. Bedah Plastik Selaput Dara
Wanita yang meminta dilakukan bedah plastik selaput dara umumnya
berdasarkan berbagai motif. Ada yang ingin memberi kesan kepada
suaminya bahwa dirinya masih perawan, sehingga bertujuan
menyelamatkan hidup bersama suaminya, padahal pasien pernah
melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pria lain. Di Indonesia,
masalah keperawanan di malam pertama pengantin baru dianggap penting,
walaupun hal ini sebenarnya tidak adil dalam kedudukan wanita dan pria.
Dalam hal ini hati nurani dokterlah yang menentukan sikapnya dalam
menghadapi godaan dari pasien bersangkutan. Jika robeknya selaput dara
disebabkan trauma atau akibat tindakan dilatasi dan kuretase yang
dilakukan karena indikasi medik (misalnya pada kasus-kasus perdarahan
uterus disfungsional yang menyebabkan anemia berat dan tidak tanggap
terhadap terapi medikamentosa), maka dalam hal ini bedah plastik selaput
dara masih dapat dibenarkan.
Prosedur penanganan pelanggaran etik kedokteran
Pada tahun 1985 Rapat Kerja antara P3EK, MKEK dan MKEKG telah
menghasilkan pedoman kerja yang menyangkut para dokter antara lain
sebagai berikut :
1. Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik
diteruskan lebih dahulu kepada MKEK.
2. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK.
3. Masalah yang tidak murni serta masalah yang tidak dapat diselesaikan
oleh MKEK dirujuk ke P3EK propinsi.
4. Dalam sidang MKEK dan P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan
Pembela Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh
yang bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan).
5. Masalah yang menyangkit profesi dokter atau dokter gigi akan ditangani
bersama oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan ke P3EK
apabila diperlukan.
6. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etik kedokteran
serta penyelesaiannya oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Propinsi.

7. Kasus-kasus pelanggaran etikolegal, yang tidak dapat diselesaikan oleh


P3EK Propinsi, diteruskan ke P3EK Pusat.
8. Kasus-kasus yang sudah jelas melanggar peraturan perundang-undangan
dapat dilaporkan langsung kepada pihak yang berwenang.
Pedoman penilaian kasus-kasus pelanggaran etik kedokteran
Etik lebih mengandalkan itikad baik dan keadaan moral para
pelakunya dan untuk mengukur hal ini tidaklah mudah. Karena itu timbul
kesulitan dalam menilai pelanggaran etik, selama pelanggaran itu tidak
merupakan kasus-kasus pelanggaran hukum. Dalam menilai kasus-kasus
pelanggaran etik kedokteran, MKEK berpedoman pada :
1. Pancasila
2. Prinsip-prinsip dasar moral umumnya
3. Ciri dan hakekat pekerjaan profesi
4. Tradisi luhur kedokteran
5. LSDI
6. KODEKI
7. Hukum kesehatan terkait
8. Hak dan kewajiban dokter
9. Hak dan kewajiban penderita
10. Pendapat rata-rata masyarakat kedokteran
11. Pendapat pakar-pakar dan praktisi kedokteran senior.
Selanjutnya, MKEK menggunakan pula beberapa pertimbangan berikut, yaitu
:
1. Tujuan spesifik yang ingin dicapai
2. Manfaat bagi kesembuhan penderita
3. Manfaat bagi kesejahteraan umum
4. Penerimaan penderita terhadap tindakan itu
5. Preseden tentang tindakan semacam itu
6. Standar pelayanan medik yang berlaku
Jika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi
pelanggaran etik, pelanggaran dikategorikan dalam kelas ringan, sedang
atau berat, yang berpedoman pada :
1. Akibat terhadap kesehatan penderita
2. Akibat bagi masyarakat umum
3. Akibat bagi kehormatan profesi
4. Peranan penderita yang mungkin ikut mendorong terjadinya pelanggaran
5. Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka
Bentuk-bentuk sanksi
Dalam pasal 6 PP no.30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Sipil terdapat uraian tentang tingkat dan jenis hukuman, sebagai
berikut :
1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari :
a. Hukuman disiplin ringan

b. Hukuman disiplin sedang, dan


c. Hukuman disiplin berat
2. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari :
a. Teguran lisan
b. Teguran tulisan, dan
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis
3. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari :
a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama
satu tahun, dan
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun
4. Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari :
a. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk
paling lama satu tahun
b. Pembebasan dari jabatan
c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil, dan
d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
Pada kasus-kasus pelanggaran etikolegal, di samping pemberian hukuman
sesuai peraturan tersebut di atas, maka selanjutnya diproses ke pengadilan.
Kesimpulan
1. Profesi kedokteran adalah profesi kemanusiaan, oleh karena itu etika
kedokteran harus memegang peranan sentral bagi para dokter dalam
menjalankan tugas-tugas pengabdiannya untuk kepentingan masyarakat.
2. Bidang Obstetri Ginekologi merupakan bidang yang demikian terbuka
untuk kemungkinan penyimpangan terhadap nilai-nilai dan norma-norma,
sehingga rawan untuk timbulnya pelanggaran etik kedokteran bahkan
pelanggaran hukum. Karena itu diperlukan pedoman etik dan peraturan
perundang-undangan terkait yang menuntun para dokter / SpOG untuk
berjalan di jalur yang benar.
3. Sanksi terhadap pelanggaran etik kedokteran hendaknya diberikan secara
tegas dan konsisten sesuai dengan berat ringannya pelanggaran, bersifat
mendidik dan mencegah terulangnya pelanggaran yang sama pada masa
depan baik oleh yang bersangkutan maupun oleh para sejawatnya.
4. IDI bersama-sama organisasi profesi dokter spesialis dan organisasi
kedokteran seminat lainnya, hendaknya dapat meningkatkan komunikasi,
informasi dan edukasi secara berkesinambungan, sehinggat setiap
anggotanya dan masyarakat umumnya dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan etika kedokteran.
Abortus / Terminasi Kehamilan atas Indikasi Non-Medik
Alasan-alasan untuk permintaan terminasi kehamilan
Keadaan ketakutan dan panik yang sering dialami dalam suatu kehamilan,
adalah :

1. Kehamilan akibat perkosaan


2. Janin yang telah terbukti memiliki defek yang berat
3. Ibu yang dalam riwayatnya selalu menyiksa anak-anaknya
4. Tiap kehamilan yang menyebabkan emotional distress pada wanita, atau
akan mengakibatkan ketidakmampuan atau akan mempersulit kehidupan
anak yang akan dilahirkan
Semua ini mengakibatkan usaha dilakukannya terminasi kehamilan.
Hal tersebut mengakibatkan suatu konsep : abortion on demand.
Keadaan ini digunakan oleh mereka yang pro-abortus (pro-choice), karena
melihatnya sebagai suatu justifikasi (pembenaran) untuk mendahului hak
dan kebutuhan wanita hamil di atas hak dan kebutuhan si janin. Bagi mereka
yang anti-abortus (pro-life), mereka juga menggunakan keadaan tersebut
sebagai alasan moral yang menyatakan bahwa kehidupan si janin lebih
penting daripada wanita yang mengandungnya.
Status dari janin (fetus)
Yang menjadi pokok persoalan dalam masalah terminasi kehamilan
berupa : mana yang lebih penting, hak si janin atau hak si wanita hamil.
Untuk menjawab masalah ini, kita harus memandang status si janin, apakah
ia harus dianggap sebagai kepribadian (a person) atau sebagai manusia (a
human person).
Suatu hal yang perlu diketengahkan adalah : apakah si janin telah
memiliki roh / jiwa (soul), ya atau tidak. Tentang hal ini, ada beberapa ajaran
dalam agama. Agama Katolik berpendapat, ya, janin sudah memiliki jiwa
sejak saat fertilisasi. Ada yang berpendapat, antara lain beberapa ajaran
Islam, bahwa baru pada saat kelahiran, seorang neonatus mempunyai jiwa.
Pada waktu dilahirkan, janin telah menjadi seorang manusia, yang
telah berhak akan kewajiban moral terhadapnya. Sehingga terdapat
perbedaan yang besar antara terminasi kehamilan dan infanticide.
Terjelmanya seorang manusia memiliki dua sifat :
1. Seorang manusia mempunyai kesadaran akan dirinya, yang sebenarnya
baru timbul kemudian.
2. Seorang neonatus akan memasuki suatu lingkungan sosial, antara lain
dalam keluarganya.
Sebagai kesimpulan : kelompok konservatif percaya bahwa si janin memiliki
status moral yang penuh, seperti seseorang yang telah lahir. Kelompok
liberal beranggapan bahwa janin tidak memiliki status moral.
Alasan-alasan mengapa seorang wanita memilih terminasi kehamilan
(induced abortion)
Di Amerika Serikat, seorang wanita memilih terminasi kehamilan,
karena ia tidak ingin melanjutkan kehamilannya, dengan alasan bahwa
memiliki anak dalam kehidupannya dapat mengakibatkan masalah-masalah
yang kompleks, sehingga kualitas hidupnya terancam.
Alasan-alasannya, biasanya pertimbangan pragmatis, sedangkan
pembenaran (justifikasinya) mengikutsertakan etika, moral dan juga sering

sekali rasional.
Dengan bermacam-macam alasan seorang wanita memilih terminasi
kehamilan :
1. Ia mungkin seorang yang menjadi hamil di luar pernikahan
2. Pernikahannya tidak kokoh seperti yang ia harapkan sebelumnya
3. Ia telah cukup anak, dan tidak mungkin dapat membesarkan seorang anak
lagi
4. Janinnya ternyata telah terpapar (exposed) pada suatu substansi
teratogenik.
5. Ayah anak yang dikandungnya bukan suaminya
6. Ayah anak yang dikandungnya bukan pria / suami yang diidamkan untuk
perkawinannya
7. Kehamilannya adalah akibat perkosaan
8. Wanita yang hamil menderita penyakit yang berat
9. Ia memiliki alasan eugenik, ingin mencegah lahirnya bayi dengan cacat
bawaan
Indikasi-indikasi tersebut di atas dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian :
1. Alasan kesehatan
2. Alasan mental
3. Alasan cacat bawaan si janin
4. Alasan seksual
Terminasi kehamilan dipandang dari segi hukum
Amerika Serikat dan banyak negara maju, berkesimpulan bahwa
seorang warga negara berhak akan privacy, termasuk hak wanita untuk
mengontrol tubuhnya. Negara sekarang tidak lagi berintervensi atau
mencegah seorang wanita memperoleh pelaksanaan terminasi kehamilan
terutama sebelum kehamilan berusia 22 minggu (WHO).
Debat mengenai abortus (terminasi kehamilan) berkisar pada seksualitas,
karena di dalam masyarakat masih banyak warga yang berpandangan
sangat puritan terhadap seks.
Menurut Williams Obstetrics, 18th ed., 1989, dokter / SpOG yang berlatar
belakang ilmu kedokteran, ilmu filsafat dan teologi, tidak dapat sampai pada
konsensus kapan kehidupan itu dimulai. Pada hal tersebut, terutama dengan
kemampuan ilmu yang sedang berkembang pesat, belum dapat diperoleh
jawaban.
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/07/12/etika-profesi-dalam-kesehatan-reproduksi/
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN
Pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan, yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tindakan,
kewenangan, sanksi, maupun pertanggungjawaban tarhadap kesalahan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai subyek

peraturan tersebut.
Menurut Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan, yang dimaksud dengan Tenaga kesehatan adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Tenaga kesehatan berdasarkan Pasal 50 UU Kesehatan adalah
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai
dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang
bersangkutan. Sedangkan mengenai ketentuan mengenai kategori, jenis,
dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Tenaga kesehatan terdiri dari :
1. tenaga medis;
2. tenaga keperawatan dan bidan;
3. tenaga kefarmasian;
4. tenaga kesehatan masyarakat;
5. tenaga gizi;
6. tenaga keterapian fisik; dan
7. tenaga keteknisian medis.
http://www.lawskripsi.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=126&Itemid=126
ETIKA KEDOKTERAN INDONESIA
PENANGANAN DAN PELANGGARAN ETIKA DI
INDONESIA
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum
yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu,
seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran,
profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik
seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena
banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau
sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban
memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang
dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku
profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan
keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap
bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai
domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi
standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan
demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik

dan juga sekaligus pelanggaran hukum.


Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap
layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi
sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat
sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b)
semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai
hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya
layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak
toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli
hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.
Etik Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum
Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang
penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik
kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter
yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah
sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut
berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau
semacam code of conductbagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional.
Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban
terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat
dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang
kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan
arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai
baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis
dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya
kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman
bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical
ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat
dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap
etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien,
terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan
tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan
tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan
perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur),
serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan
prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama
pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam
membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak
dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics),

sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian


pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita
pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis
seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak
belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan
penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan
pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat
sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di
dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di
rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula
Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar
hanya akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun
suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam
bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban
menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan
pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK
setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar
etik (profesi) kedokteran.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika
kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan
disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai
pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK
bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang
menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di
kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan
oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan
pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah
disiplin profesi, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari
pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang
menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional)
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI
dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan
meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari
proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena
domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi
dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana
dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter

tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat


diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan tanpa adanya
keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah
diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh
pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis
(ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya
badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel
tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam
hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang
lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihakpihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para
ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2.Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai
ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti
kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit
tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital
bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang
berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat
bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary
Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang
bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara
pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di
Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus
disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada
yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya disahkan
dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti
keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan
tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil
berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti
tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara
pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah
pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond
reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan
padapreponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas.
Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan
disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius
dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang
dibutuhkan.5
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi

jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara


pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam
beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia
digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory
professional
conduct, unprofessional
conduct, professional
misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian
tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun
umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius
hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh
karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali
atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah
seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan
penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat
untuk sepaham dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI
Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan.
Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan
setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima
keterangan telah menjalankan putusan.
Kesimpulan
Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa masalah yang paling
sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara dokter
dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien, baik dalam bentuk
komunikasi sehari-hari yang diharapkan mempererat hubungan antar
manusia maupun dalam bentuk pemberian informasi sebelum dilakukannya
tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau komplikasi.
Pelajaran lain adalah bahwa sosialisasi nilai-nilai etika kedokteran,
termasuk kode etik profesi yang harus dijadikan pedoman berperilaku profesi
(professional code of conduct), kepada para dokter yang bekerja di Indonesia
belumlah cukup memadai, sehingga diperlukan crash-program berupa
pendidikan kedokteran berkelanjutan yang agresif di bidang etik dan hukum
kedokteran, pemberian mata ajaran etik dan hukum kedokteran bagi
mahasiswa Fakultas Kedokteran sejak dini dan bersifat student-active, serta
pemberian bekal buku Kodeki bagi setiap dokter lulusan Indonesia (termasuk
adaptasi).
http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/

Etika PROFESI DALAM KESEHATAN


1. Profesi kedokteran adalah profesi kemanusiaan, oleh karena itu etika

kedokteran harus memegang peranan sentral bagi para dokter dalam


menjalankan tugas-tugas pengabdiannya untuk kepentingan masyarakat.
2. Bidang Obstetri Ginekologi merupakan bidang yang demikian terbuka
untuk kemungkinan penyimpangan terhadap nilai-nilai dan norma-norma,
sehingga rawan untuk timbulnya pelanggaran etik kedokteran bahkan
pelanggaran hukum. Karena itu diperlukan pedoman etik dan peraturan
perundang-undangan terkait yang menuntun para dokter / SpOG untuk
berjalan di jalur yang benar.
3. Sanksi terhadap pelanggaran etik kedokteran hendaknya diberikan secara
tegas dan konsisten sesuai dengan berat ringannya pelanggaran, bersifat
mendidik dan mencegah terulangnya pelanggaran yang sama pada masa
depan baik oleh yang bersangkutan maupun oleh para sejawatnya.
4. IDI bersama-sama organisasi profesi dokter spesialis dan organisasi
kedokteran seminat lainnya, hendaknya dapat meningkatkan komunikasi,
informasi dan edukasi secara berkesinambungan, sehinggat setiap
anggotanya dan masyarakat umumnya dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan etika kedokteran.

2. Beda etik dengan hukum


Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi
kedokteran dalam hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan
masyarakat umumnya serta merupakan bagian dari keseluruhan proses
pengambilan keputusan dan tindakan medik ditinjau dari segi norma-norma /
nilai-nilai moral.
Hukum merupakan peraturan perundang-undangan baik pidana,
perdata maupun administrasi. Hukum kesehatan merupakan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan
kesehatan, jadi menyangkut penyelenggara pelayanan kesehatan dan
penerima pelayanan kesehatan.
Perbedaan etik dengan hukum adalah :
1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi. Hukum berlaku untuk umum.
2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum dibuat oleh
suatu kekuasaan atau adat.
3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab
undang-undang / lembaran negara.
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik umumnya berupa tuntunan. Sanksi
terhadap pelanggaran hukum berupa tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu
diteruskan kepada Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran
(P3EK), yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan (DepKes). Pelanggaran
hukum diselesaikan melalui pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik.

Penyelesaian pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.


3. Pelanggaran etik murni
Pelanggaran terhadap butir-butir LSDI dan/atau KODEKI ada yang
merupakan pelanggaran etik murni, dan ada pula yang merupakan
pelanggaran etikolegal. Pelanggaran etik tidak selalu merupakan
pelanggaran hukum, dan sebaliknya, pelanggaran hukum tidak selalu berarti
pelanggaran etik.
Yang termasuk pelanggaran etik murni antara lain :
1. Menarik imbalan jasa yang tidak wajar dari klien / pasien atau menarik
imbalan jasa dari sejawat dokter dan dokter gigi beserta keluarga
kandungnya.
2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
3. Memuji diri sendiri di depan pasien, keluarga atau masyarakat.
4. Pelayanan kedokteran yang diskriminatif.
5. Kolusi dengan perusahaan farmasi atau apotik.
6. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan.
7. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
Perilaku dokter tersebut di atas tidak dapat dituntut secara hukum tetapi
perlu mendapat nasihat / teguran dari organisasi profesi atau atasannya.
Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/gynecology/2019661-etika-profesidalam-kesehatan/#ixzz1LNstKxwU
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/gynecology/2019661-etika-profesi-dalamkesehatan/

Anda mungkin juga menyukai