Anda di halaman 1dari 13

Penggunaan Kortikosteroid Sistemik dalam Dermatologi:

Mendefinisikan, Memperinci, dan Memperjelas


Kortikosteroid memainkan peran utama dalam terapi pengobatan penyakit
kulit. Pertama digunakan untuk inflamasi berhubungan dengan kelainan kulit
pada tahun 1951, dan tetap menjadi andalan terapi dermatologi karena berguna
sebagai anti-inflamasi dan imunosupresif. Dermatology Round kali ini mengulas
farmakologi, dosis, dan efek samping agen umum ini.
Kortikosteroid (CS) telah lama menjadi pengobatan farmakologi pilihan utama
dalam berbagai gangguan dan kondisi untuk menekan inflamasi dan sistem imunitas.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 1929 menyebabkan perkembangan kortison
sebagai senyawa baru di 1935. Dalam bidang dermatologi, CS secara luas diresepkan
baik dalam bentuk topikal maupun sistemik yang memiliki potensi beragam untuk
dirancang sebagai terapi sesuai dengan keparahan kondisi yang mendasarinya,
aplikasi berdasarkan lokasi anatomis, area yang terlibat, dan usia pasien. Namun
demikian kortikosteroid sering dikaitkan dengan sejumlah efek samping, terutama
dengan penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu agar penggunaan golongan agen
ini aman dan efektif dibutuhkan pengetahuan tentang mekanisme kerja dan faktorfaktor yang berpotensi sebagai penyulit.

Konsep Dasar Kortikosteroid Sistemik


Struktur dasar dari semua kortikosteroid adalah cincin cyclopentanoperhydrophenantrin, terdiri dari 3 cincin heksana dan 1 cincin pentana. Modifikasi
dari struktur steroid ini menghasilkan agen-agen sintetik dengan berbagai potensi antiinflamasi, efek mineralokortikoid, dan lama kerja obat (Tabel 1). Molekul-molekul
aktif, seperti kortisol dan prednisolon, memiliki grup hidroksil esensial pada gugus
11. Prednison dan kortison harus menjalani konversi oleh enzim 11 hidroksilasi dalam
hati agar teraktifasi. Prednisolon atau kortisol sebaiknya diberikan kepada pasien
dengan penyakit hati yang berat karena tidak mampu memetabolisme prednisone atau
kortison.

Penyerapan dan Distribusi


Lebih dari 50% kortikosteroid yang diberikan diserap di jejunum bagian atas.
Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi penyerapan, tetapi mungkin dapat
sedikit memperlambat. Kadar plasma puncak dicapai dalam 30-100 menit.
Metabolized terutama oleh hati, hasil metabolit diekskresikan oleh ginjal dan hati.
Sekitar 90% -95% dari kortikosteroid endogen terikat dengan cortisol-binding protein
(transcortin) atau albumin dalam sirkulasi. 5% lainnya adalah kortisol bebas yang
tidak terikat; ini merupakan bentuk aktif. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah cortisol-binding protein (CBP) yang beredar. CBP meningkat pada kehamilan,
terapi estrogen, dan hipertiroidisme. Namun, kondisi seperti penyakit hati kronis,
gagal ginjal, dan hipotiroidisme menurunkan kadar CBP sehingga dapat
meningkatkan toksisitas obat. Glukokortikoid sintetik kurang mengikat CBP
(diperkirakan 70%) dan, dengan demikian, memiliki profil efek samping lebih tinggi.
MekanismeKerja
Sebuahrepresentasiskematisdariaksishipotalamushipofisisadrenal(HPA)
ditunjukkan pada Gambar 1. Aksis HPA adalah mekanisme umpan balik yang
mencakup hipotalamus, hipofisis dan kelenjar adrenal. Hipotalamus menghasilkan
corticotropinreleasing hormone (CRH) yang dilepaskan ke kelenjar hipofisis
anterior.Hormonadrenocorticotropin(ACTH)yangkemudiandisekresikankedalam
sirkulasisistemikyang,padagilirannya,merangsangsintesisdanpelepasansistemik
kortikosteroid oleh kelenjar adrenal. Mekanisme menjadi lengkap dengan umpan
baliknegatifkortisolkehippocampus,hipotalamus,dankelenjarhipofisis.Jumlah
terbesardarikortisoldilepaskanselamapagiharisebelumbanguntidur.Tingkatbasal
produksikortisoladalah2030mgsehari,namundapatterjadipeningkatanhingga10
kalilipatapabiladalamkeadaanstres.
Tabel1.Farmakologikortikosteroidsistemik

KerjaCepat
Cortisone
Hydrocortison

Dosis
Equivalen

Potensi
Mineralo
kortikoid

Waktu
paruh
plasma
(menit)

LamaKerja
(jam)

25
20

1
0,8

60
90

812
812

KerjaSedang
Prednisone
Prednisolone
Methylprednisolone
Triamcinolone
KerjaLama
Dexamethasone
Betamethasone

Kortisol

5
5
4
4

0,25
0,25
0
0

60
200
180
300

2436
2436
2436
2436

0,75
0,6

0
0

200
200

3654
3654

memasuki

sitoplasma

sel

dan

berikatan

dengan

reseptor

kortikosteroid. Kompleks reseptor yang teraktifasi ini kemudian mengalami


translokasi ke nukleus untuk mencetuskan ataupun menghambat ekspresi gen-gen
target dengan 2 mekanisme independen. Pada mekanisme tahap awal, ikatan langsung
antara kompleks reseptor glukokortikoid yang teraktivasi dengan sekuens asam
deoksiribonukleat

(DNA)

spesifik,

yang

dikenal

sebagai

respon

elemen

glukokortikoid, pada bagian promoternya menginduksi transkripsi annexin I dan


mitogen-activated protein kinase (MAPK) phosphatase. Hal ini membatasi
pembentukan prostaglandin dan leukotrien. Dalam tahap kedua, komleks reseptor
berikatan dengan activator protein 1 (AP1) dan nuklear factor kB (NF-kB), sehingga
dapat dihambat. Hasil akhirnya adalah inaktivasi sitokin, interleukins (ILS), molekul
adhesi, dan protease, yang mencapai penurunan derajat inflamasi.
Indikasi dan Kontraindikasi Dermatologis
Kortikosteroid digunakan untuk mengobati secara luas kondisi dermatologis
yang akut dan kronis kondisi dermatologis; cakupan kategori tercantum dalam
Tabel 2. Kontraindikasi absolut terhadap steroid sistemik adalah infeksi jamur
sistemik, herpes simplex keratitis, dan hipersensitivitas. Kontraindikasi relatif
meliputi TB aktif (TB) atau uji tuberkulin positif (turunan protein yang dipurifikasi
[PPD]), penyakit ulkus peptikum aktif (PUD), atau setelah baru operasi anastomotic,
hipertensi, depresi atau psikosis, diabetes mellitus (DM), osteoporosis, katarak, dan
glaukoma.
Interaksi Obat
Sebagian besar interaksi obat terjadi dalam penggunaan deksametason dan
methylprednisolone, sedangkan prednison dan prednisolon memiliki interaksi yang

lebih sedikit. Obat-obatan yang mungkin meningkatkan kadar serum kortikosteroid


adalah antibiotik golongan makrolid dan antijamur golongan azol melalui inhibisi
sitokrom P (CYP) 3A4, dan kontrasepsi hormonal yang menyebabkan penurunan
clearance obat. Demikian pula, induksi CYP 3A4 oleh rifampisin dan antikonvulsan
seperti fenitoin dan fenobarbital dapat menurunkan kadar serum kortikosteroid. Efek
lainnya dipengaruhi potensiasi intrinsik dari efek samping dibanding interaksi yang
sesungguhnya. Yang perlu diperhatikan adalah peningkatan toksisitas gastrointestinal
(GI) dengan obat anti-inflamasi non steroid (NSAID), peningkatan efek imunosupresi
bila diberikan bersama obat imunosupresan lainnya, penurunan efektivitas obat
antidiabetes karena hiperglikemia terinduksi oleh kortikosteroid, dan memperburuk
hipokalemia bila diberikan dengan obat diuretik. Hipokalemia juga berhubungan
dengan peningkatan aritmia setelah pemberian bersama dengan digoxin dan
fluroquinolones.

Dosis dan Pemberian di Bidang Dermatologi


Glukokortikoid dibedakan dalam efek antiinflamasi relatif dan efek
mineralokortikoid serta durasi penekanan terhadap ACTH. Kortikosteroid dengan
efek mineralokortikoid minimal biasanya dipilih untuk mengurangi retensi natrium.
Ditambah lagi kortikosteroid dengan waktu paruh menengah lebih disukai untuk
mengurangi efek samping. Prednison biasanya merupakan pilihan obat oral karena
memiliki lama kerja yang cukup panjang untuk memastikan efektivitas berkelanjutan
dalam dosis tunggal harian dan aktivitas mineralokortikoid minimal. Dosis harian
prednison bervariasi tergantung pada tingkat keparahan kondisi dermatologi dengan
rentang 0,5-3 mg /kg /hari. Dosis awal yang paling umum diberikan adalah 40-60
mg/hari untuk ukuran individual rata-rata. Rejimen pengobatan dapat dibagi dalam
dosis rendah (<10 mg prednison atau setara per hari) dan dosis tinggi (> 20 mg per
hari). Dosis fisiologis setara dengan sekitar 5-7 mg prednison.
Kortikosteroid dapat diberikan sebagai dosis tunggal harian, dosis terbagi,
atau sebagai dosis hari alternatif. Ketika memulai terapi, dosis tunggal harian lebih
banyak dipilih, mengingat di pagi hari ketika sekresi kortisol adrenokortikal mencapai
maksimal. Pada saat ini, aksis HPA yang paling sedikit ditekan oleh obat-obatan sejak
penekanan maksimal umpan balik oleh sekresi ACTH terjadi dari produksi endogen.
Untuk pengendalian dengan cepat dalam penyakit yang lebih berat, dosis terbagi
4

(membagi dosis harian sampai dengan 4 dosis) dapat mempertahankan stabilitas


konsentrasi dalam plasma. Hal ini meningkatkan keberhasilan pengobatan, tetapi juga
meningkatkan penekanan aksis HPA. Oleh karena itu, konversi ke dosis tunggal
harian sebaiknya dilakukan sesegera mungkin.
Tabel 2. Indikasi Kutaneus untuk Terapi
Kortikosteroid
Dermatosis Bulosa
Pemfigus vulgaris
Pemfigoid bulosa
Pemfigoid sikatrisial
Linear immunoglobulin A bullous dermatosis
Epidermolisis bullosa akuisita
Herpes gestationis
Eritema multiforme
Nekrolisis Epidermal Toksis (Sindrom StevensJohnson)
Penyakit Autoimun Jaringan Konektif
Dermatomyositis
Lupus eritematosus sistemik
Mixed connective-tissue disease
Eosinophilic fasciitis
Relapsing polychondritis
Dermatosisi Netrofilik
Pyoderma gangrenosum
Acute febrile neutrophilic dermatosis (Sweet
syndrome)
Penyakit Behet
Dermatosis Papuloskuamosa dan Eczematosa
Dermatitis kontak
Dermatitis Atopik
Photodermatitis
Dermatitis eksfoliativa
Eritroderma
Liken planus
Vaskulitis
Kutaneus and sistemik
Lain-lain
Sarcoidosis
Urtikaria/angioedema
Androgen excess (acne, hirsutism)
Reaktif leprosum tipe I
Problematic hemangiomas of infancy
Sindrom Kasabach-Merritt
Panniculitis

Rejimen hari alternatif digunakan ketika penyakit sudah terkontrol, yakni dua
kali lipat dosis harian yang biasa diberikan setiap hari kedua. Alasannya adalah bahwa
keberhasilan lebih ditentukan oleh mekanisme anti-inflamasi transkripsi intraseluler
dibandingkan dengan jumlah obat yang sebenarnya berada di sirkulasi. Dalam rejimen
ini, pasien tidak terpapar dengan konsentrasi glukokortikoid harian yang tinggi dan,
dan dngan begitu, lebih sedikit penekanan terhadap aksis HPA. Konversi dari dosis
harian ke regimen hari alternatif harus dilakukan bertahap. Tujuan metode tersebut
adalah menurunkan dosis harian secara progesif, namun meninglatkan dosis pada hari
berikutnya.
Penggunaan kortikosteroid dapat dibagi menjadi terapi jangka pendek dan
jangka panjang. Jangka pendek didefinisikan sebagai pengobatan untuk durasi 3
minggu dan biasanya diperuntukkan untuk kondisi akut (seperti, dermatitis kontak
alergika). Terapi jangka panjang didefinisikan sebagai durasi > 4 minggu. Dalam
terapi jangka panjang, kortikosteroid-sparing agent biasanya ditambahkan ke dalam
terapi, yang memungkinkan pasien dapat terlepas dari penggunaan steroid.
Tapering
Tapering kortikosteroid diperlukan untuk menghindari efek samping
dermatalogis dan mencegah gejala withdrawal karena penekanan persisten aksis HPA.
Kurang terdapat bukti klinis untuk mendukung rejimen tertentu, dan berbagai jangka
waktu tapering telah dipelajari. Dua penelitian mengungkapkan bahwa tidak ada
perbedaan hasil yang signifikan secara klinis antara durasi 2 hingga 5 bulan tapering.
Terapi glukokortikoid jangka pendek, bahkan dengan dosis tinggi, dapat berhenti
tanpa tapering karena penekanan HPA tidak akan menetap dan konsekuensinya
jarang. Namun dalam terapi jangka panjang, tapering harus dilakukan dengan
pengurangan dosis dari 10% sampai 20% setiap 1 sampai 2 minggu, dengan
mempertimbangkan penyakit yang mendasari, kelemahan pasien, dan respon individu.
Untuk prednison, secara kasar diterjemahkan menjadi penurunan dosis:

10 mg/hari setiap 1-2 minggu untuk dosis awal >60 mg


5 mg/hari untuk 1-2 minggu dengan dosis antara 20-60 mg/hari
2.5 mg/hari untuk 1-2 minggu untuk dosis antara 10-20 mg/hari
1 mg/hari untuk 1-2 minggu untuk dosis antara 5-10 mg/hari
0.5 mg/hari setiap 1-2 minggu untuk dosis < 5 mg/hari

Terapi intravena (IV)

Kortikosteroid intravena diberikan dalam 2 situasi: untuk mencegah stres pada


pasien pengguna kortikosteroid jangka panjang dan penekanan aksis HPA, dan pada
penyakit parah atau yang mengancam jiwa agar dapat dengan cepat terkendali. Dua
metode pemberian yang tersedia: methylprednisolone, menghindari aktivitas
mineralokortikoid, dapat diberikan dengan dosis 2 mg/kg dibagi 4 kali sehari atau
sebagai pulse therapy 500-1000 mg setiap hari selama 1-5 hari. Pulse therapy
biasanya diberikan dalam pengawasan karena potensi efek samping serius (yaitu,
kematian mendadak, fibrilasi atrium, anafilaksis, dan ketidakseimbangan elektrolit).
Pemberian lambat pulse steroid lebih dari 2 jam, bersamaan dengan infus kalium dan
elektrolit perlu dikontrol sebelum dan setelah terapi, membantu menghindari efek
samping.
Terapi Intramuskular (IM)
Terapi kortikosteroid IM

tidak banyak digunakan di dermatologi. Satu

keuntungan ialah kepatuhan terjamin karena pemberian dosis dilakukan oleh dokter.
Namun, setelah dosis diberikan, terdapat kelemahan termasuk variabilitas
interpersonal yang tinggi terhadap penyerapan yang tak menentu, kurangnya kontrol
terhadap dosis harian, dan tidak ada variasi diurnal. Oleh karena itu, dengan
pemberian cara ini dianggap kurang fisiologis. Tapering hanya terjadi melalui
biotransformasi dari obat. Komplikasi yang unik lainnya adalah lipoatrofi dan
pembentukan abses steril di tempat suntikan.

Efek Samping yang Berkaitan dengan Kortikosteroid


Terapi

kortikosteroid

berhubungan

dengan

berbagai

efek

samping.

Penggunaan jangka pendek biasanya dapat ditoleransi dengan baik dan lebih sedikit
efek samping.
Tabel 3. Efek samping berkaitan dengan terapi kortikosteroid
Baseline (Pretreatment)

Anamnesa

Riwayat pribadi

Follow up

Penghentia

Selama 1 bulan Tiap Tahun

kemudian setiap

pengobatan

3 bulan
Poliuria

dan keluarga:

Polidipsia

diabetes,

Efek psikologi

hipertensi,

Gangguan tidur

dislipidemia,

Nyeri sendi

Pemeriksaan

glaukoma
Tekanan Darah

Nyeri abdomen
Tekanan Darah

Fisik

Tinggi badan

Tinggi badan

Berat badan
Laboratorium Gula Darah Puasa

Berat badan
Gula
Darah

Kortisol pagi

Profil lipid

Puasa

hari

Elektrolit

Profil lipid
Elektrolit

Radiologi

Uji Khusus

X-Foto Toraks
DEXA (pasien

DEXA

berisiko)
Tuberculin skin

Slit

test (PPD)

examinatio

Slit lamp test

lamp

DEXA = dual-energy x-ray absorptiometry; PPD = purified protein derivative

Efek samping biasanya berhubungan dengan dosis dan peningkatan secara signifikan
pada dosis yang lebih tinggi. Namun, bahkan dengan dosis rendah untuk waktu yang
lama berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Dokter perlu benar-benar
mengevaluasi dan memantau (Tabel 3) pasien pada awal dan selama perawatan ketika
terapi kortikosteroid dalam jangka panjang diperlukan. Sehubungan dengan
banyaknya jumlah efek samping pada penggunaan kortikosteroid, artikel ini berfokus
pada efek samping yang lebih umum dan dapat dicegah.
Skeletal
Osteoporosis merupakan salah satu yang paling lazim dan merupakan efek
samping serius pada terapi kortikosteroid berkepanjangan. Prevalensi osteoporosis
yang diinduksi kortikosteroid dapat setinggi 30% - 50% jika tidak ada tindakan
pencegahan yang dilakukan. Pasien dengan resiko yang lebih tinggi adalah orang tua,
wanita pascamenopause, perokok, pecandu alkohol, dan mereka yang sebelumnya
osteoporosis atau patah tulang, gaya hidup lebih sering duduk statis, indeks masa

tubuh yang rendah, hipertiroidisme, dosis kortikosteroid yang lebih tinggi, dan
rheumatoid arthritis. Sebagian besar kehilangan tulang terjadi pada 6-12 bulan
pertama kortikoterapi; Oleh karena itu, pencegahan harus dimulai dini bila terapi
berkepanjangan diharapkan (>5mg prednisone untuk > 4 minggu). Pasien harus
menjauhkan diri dari merokok, mengurangi konsumsi alkohol dan kafein, melakukan
latihan angkat beban, dan mengambil kalsium 1500 mg dan vitamin D 800 IU per hari
(beberapa penulis menyarankan dosis yang lebih tinggi dari vitamin D). Pasien harus
menjalani pemeriksaan kepadatan tulang tahunan; berhubung absorptiometry dualenergi x-ray scan tidak semuanya sama, pasien harus melakukan pemeriksaan di
tempat yang sama tiap tahun. Terapi pencegahan lini pertama adalah oral bifosfonat;
misalnya, alendronate (70 mg sekali dalam 1 minggu) atau risedronate (35 mg sekali
seminggu atau 150 mg sekali sebulan). Diskusi mengenai terapi pencegahan lini
kedua lainnya (raloxifen, calcitonin) dan molekul yang lebih baru (teriparatide dan
denosumab) di luar akupan artikel ini.
Osteonekrosis, juga dikenal sebagai avaskular atau aseptik nekrosis caput
femoral, adalah salah satu komplikasi yang paling ditakuti dari terapi kortikosteroid.
Biasanya terjadi setelah 6-12 bulan terapi kortikosteroid dan berhubungan dengan
faktor-faktor risiko seperti trauma, penyalahgunaan alkohol, merokok, transplantasi
ginjal, lupus eritematosus sistemik (SLE), dan hipertrigliseridemia. Nyeri lokal pada
pergerakan berkembang menjadi nyeri saat istirahat, dan karena temuan pada foto xray membutuhkan waktu 6 bulan hingga tampak, MRI lebih dianjurkan karena
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. Pengelolaan konservatif terdiri dari
menghentikan obat, istirahat, dan menghindari menahan beban. Kasus yang lebih
lanjut memerlukan rujukan ke ahli bedah ortopedi untuk core decompression dan
fibular grafting. Dalam kebanyakan kasus, total hip arthroplasty akhirnya diperlukan.
Gastrointestinal
Banyak dokter meresepkan bersamaan dengan antagonis reseptor histamin
atau proton pump inhibitor dengan kortikosteroid untuk menghindari ulkus lambung
dan ulkus duodenum; namun, terdapat kontroversi dalam literatur tentang topik ini.
Kortikosteroid secara independen meningkatkan risiko PUD, tetapi peningkatan ini
bersifat marginal (perkiraan risiko relatif 1,1-1,5) yang mana lebih kecil dari risiko
yang berhubungan dengan NSAID. Namun demikian, kombinasi kortikosteroid dan
NSAID meningkatkan efek samping secara sinergis. Penelitian telah mengungkapkan
9

2 kali lipat peningkatan risiko efek samping GI pada pasien yang menggunakan CSS
dan NSAID dibandingkan dengan yang hanya memnggunakan NSAID saja dan
peningkatan risiko 4 kali lipat komplikasi GI bila dibandingkan dengan bukan
pengguna kedua golongan obat tersebut. Pasien yang mengkonsumsi kombinasi
kortikosteroid dengan asam asetilsalisilat atau NSAID lainnya atau yang dengan
faktor risiko terhadap PUD membutuhkan profilaksis; namun, sitoproteksi masih
diperdebatkan pada pasien yang hanya menggunakan glokokortikoid. Gejala awal
PUD tersamarkan oleh efek antiinflamasi dari kortikosteroid, di mana menjelaskan
kemungkinan lebih besar terjadi perforasi.
Okular
Glaukoma, sebagian besar terkait dengan preparat topikal steroid oftalmikal,
telah didokumentasikan dengan kortikosteroid sistemik pada dosis > 10 mg/hari.
Katarak biasanya terjadi bilateral setelah penggunaan kortikosteroid berkepanjangan
dan dapat dibedakan dari katarak senilis oleh lokasi subcapsular posteriornya. Anakanak lebih rentan daripada orang dewasa. Pembentukan katarak biasanya disebabkan
oleh dosis > 10 mg/hari terus menerus selama > 1 tahun. Katarak dapat distabilkan
jika dosis kortikosteroid secara signifikan diturunkan atau dihentikan. Evaluasi
oftalmologi harus dilakukan setiap tahun untuk mendeteksi dan mengobati komplikasi
ini.
Kardiometabolik
Efek

samping

metabolik

dan

kardiovaskular

yang

terkait

dengan

kortikosteroid cukup banyak terjadi. Peningkatan tekanan darah (BP) dapat terjadi
sekunder untuk meningkatan natrium dan retensi cairan, khususnya di antara
kortikosteroid dengan efek mineralokortikoid yang tinggi (fludrocortisone dan
hidrokortison). Pasien harus dipantau setiap 2-3 bulan untuk peningkatan BP.
Abnormalitas lipid, terutama hipertrigliseridemia, adalah umum; mekanismenya
mungkin berhubungan dengan insufisiensi insulin dan supresi ACTH. Semua pasien
yang menggunakan kortikosteroid berkepanjangan harus mengikuti diet kalori
terbatas dan rendah lemak jenuh. Hiperglikemia merupakan potensi lain terhadap efek
samping metabolik. Mekanisme penyebab termasuk peningkatan glukoneogenesis
hepatik, penurunan uptake glukosa perifer, dan resistensi insulin melalui perubahan
fungsi reseptor. Perkembangan dari DM de novo jarang terjadi jika pasien sebelumnya
10

memiliki toleransi glukosa normal; kebanyakan pasien kembali ke status glikemik


mereka

sebelumnya

dalam

beberapa

bulan

setelah

penghentian

kortikosteroid. Pasien yang sebelumnya sudah menderita DM atau


intoleransi

glukosa

umumnya

signifikan

mengalami

hiperglikemia

dan

yang

kesulitan

dalam mengontor status glikemik selama terapi kortikosteroid.


Sering dibutuhkan pemantauan glukosa darah diperlukan dan
pasien
perlu

untuk

ditangani

secara

farmakologi

sebagai

penderita

diabetes tipe II umumnya. Pasien sudah menggunakan agen


hipoglikemik oral sering membutuhkan terapi insulin.
Kutaneus
Berbagai efek terhadap kulit dapat terjadi dengan terapi sistemik
kortikosteroid, termasuk purpura, telangiektasis, atrofi, striae, pseudoscars, acneiform
atau erupsi yang menyerupai rosacea, hirsutisme, alopecia, hiper/hipopigmentasi,
akantosis nigrikans, facial plethora, dan redistribusi lemak menyebabkan buffalo
hump pada punggung atas. Acne yang diinduksi oleh kortikosteroid atau folikulitis
secara khas disertai dengan papulopustules uniformis di dada dan punggung. Terapi
kortikosteroid sistemik dapat mengganggu penyembuhan luka dengan cara
menghambat angiogenesis, fungsi fibroblas, dan produksi kolagen. Beberapa dari efek
samping tersebut bersifat permanan, maka diperlukan kewaspadaan untuk
mencegahnya.
Imunologi
Kortikosteroid terkait dengan beberapa efek pada sistem imunitas (kekebalan).
Ada peningkatan kerentanan terhadap bakteri, virus, jamur, dan parasit, dalam infeksi
kulit tertentu oleh staphylococcus dan infeksi jamur superfisial. Perlu dicurigai
apabila terdapat demam dan tanda-tanda peradangan yang mungkin tersamarkan.
Terapi alternatif-hari dan dosis rendah mengurangi kemungkinan infeksi oportunistik.
Karena reaktivasi TB masih menjadi perhatian pada terapi jangka panjang, riwayat
terperinci mengenai paparan perlu diperoleh sebelum terapi dimulai. PPD harus
dilakukan dan, jika positif, x-foto thoraks dasar. Terapi Isoniazid 9 bulan dianjurkan

11

untuk pasien dengan TB laten. Pasien dengan Human immunodeficiency virus,


Wegener granulomatosis, SLE, atau agen imunosupresif lainnya harus menerima
pengobatan dengan trimetoprim-sulfametoksazol atau dapson sebagai profilaksis
untuk mencegah infeksi Pneumocystis jiroveci.
Supresi Adrenal
Kortikosteroid eksogen dapat mempengaruhi seluruh aksis HPA dan
menyebabkan supresi adrenal dalam waktu 4 minggu, bahkan pada dosis rendah. Hal
ini dapat diatasi dengan menggunakan dosis tunggal pagi hari atau intermediate
acting agent pada hari alternatif. Hipotalamus tersupresi terlebih dahulu; namun
merupakan yang pertama untuk pulih, sedangkan adrenal yang paling lambat untuk
pulih. Setelah lama tersupresi, kadar ACTH mungkin tidak kembali ke normal selama
berbulan-bulan dan kadar kortisol dapat membutuhkan > 1 tahun untuk pulih.
Penekanan pada aksis HPA dapat diverifikasi dengan mengukur kadar kortisol serum
pagi hari. Dosis kortikosteroid pagi harus ditentukan pada hari pengukuran. Kadar
kortisol yang rendah (< 10 g/dL) mengkonfirmasi gangguan pada fungsi aksis HPA.
Fungsi adrenal dapat diuji dengan uji stimulasi ACTH, di mana 250 g ACTH
diberikan dan kadar kortisol diukur pada 30 menit dan 1 jam setelah pemberian; kadar
kortisol> 16 g / dL mengindikasikan fungsi adrenal yang normal. Dengan penekanan
pada aksis HPA, tubuh tidak dapat meningkatkan respon stres. Gejala awal krisis
adrenal adalah kelemahan, kelelahan, anoreksia, mual, dan demam. Kortikosteroid
intravenadiperlukan sebelum dilakukan operasi besar atau pada penyakit berat untuk
menghindari shock. Dosis pagi seperti biasa digunakan dengan tambahan 100 mg
hidrokortison intravena pada diinduksi anestesi dan 25 mg hidrokortison setiap 8 jam
untuk 24 jam. Prosedur bedah minor dengan anestesi lokal tidak memerlukan terapi
pengganti.
Masalah yang lebih umum adalah sindrom putus obat (withdrawal)
di mana pasien mengalami arthralgia, sakit kepala, perubahan suasana hati, lethargy,
dan mual pada tapering cepat terapi kortikosteroid jangka panjang. Tapering yang
dilakukan perlahan mencegah terjadinya masalah ini.
Pertimbangan Khusus
Penggunaan kortikosteroid pada anak-anak dapat menyebabkan retardasi
pertumbuhan, bahkan pada dosis rendah dari 5 mg/hari. Pemberian dengan cara hari
12

alternatif meminimalkan retardasi pertumbuhan. Pertumbuhan kompensasi dapat


terjadi pada penghentian terapi kecuali diberikan pada masa remaja dan sudah terjadi
penutupan epifisis. Pemantauan dasar dan rutin terhadap tinggi dan berat badan
selama kunjungan harus dilakukan. Pemberian dosis tinggi kortikosteroid selama
trimester pertama kehamilan telah dikaitkan dengan bibir sumbing pada penilitian
hewan; namun, risiko ini tidak tampak pada manusia. Prednisone diklasifikasikan
sebagai kategori C untuk kehamilan.

Kesimpulan
Kortikosteroid merupakan molekul yang sangat berguna molekul dalam
pengobatan berbagai kondisi dermatologis. Kortikosteroid sering memberikan respon
cepat; namun, penting untuk memiliki pengetahuan mendalam tentang mekanisme
kerja agar dapat dengan nyaman menggunakannya dan untuk menghindari atau
mengurangi dampak buruk efek samping. Dalam era fobia steroid, dokter perlu untuk
menyampaikan manfaat dari obat-obatan ini, begitu juga dengan pentingnya
kepatuhan dan pemantauan untuk mencegah komplikasi serius.

13

Anda mungkin juga menyukai