Anda di halaman 1dari 14

Yulius Clinton andorio

102012208
Gangguan ginjal akut
Fakultas kedokteran
Universitas krida wacana
Andorioclinton@yahoo.co.id

Pendahuluan

Gangguan ginjal akut (GGA) yang memerlukan dialysis, mempunyai mortalitas tinggi
melebihi 50%. Nilai ini sangat tinggi bila disertai gangguan multi organ. Walupun terdapat
perbaikan yang nyata pada terapi penunjang. Angka mortalitas belum banyak berkurang karena
penyakit dasar yang berat seperti trauma, sepsis, usia pasien makin tua dan pasien tersebut
memiliki penyakit kronik lainya.
Dengan mortalitas yang tinggi maka diperlukan pengertian yang baik mengenai GGA.
GGA telah dikenal oleh William heberden pada tahun 1802 dan diberi nama ischuria renalis.
Walaupun beberapa penelitian terkenal yaitu bowman, charcot dan William membuat beberapa
sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun sindrom ini dilupakan orang. Perhatian mengenai
sindrom ini berkembang kembali saat perang dunia pertama dan terutama saat perang dunia
kedua.
Laporan pertama mengenai GGA ditulis oleh hackradt seorang ahli patologi jerman pada
tahun 1917, yang menjelaskan keadaan seorang tentara yang terkena luka trauma berat. Laporan
ini dilupakan orang sampai perang dunia ke 2, saat London mendapat serangan jerman, didapat
banyak pasien crush kidnaey sindrom, yaitu pasien-pasien dengan trauma berat akibat tertimpa
bangunan kemudian mati karena GGA. Tonggak yang sangat penting adalah dengan dimulainya
tindakan hemodialisis pada saat tahun 1950 yang amat mengurangi kematian karena korban
trauma akibat peperangan. Perkembangan penelitian lebih lanjut menunjukan bahwa GGA yang
dapat pulih kembali ini terjadi juga pada pasien dengan transfuse darah yang tidak cocok,
abortus, gangguan hemodinamik kardiovaskuler, sepsis dan berbagai akibat efek zat nefrotoksik.
Anamnesa
Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien. 1
Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri (autoanamnesis) maupun dari keluarga terdekat
(alo anamnesis).

Hal yang perlu ditanyakan dokter pada saat anamnesis antara lain1:
Keluhan utama yakni gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan penderita sehingga
mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta menjelaskan tentang
lamanya keluhan tersebut.
Riwayat pribadi merupakan segala hal yang menyangkut pribadi pasien seperti data diri pasien
seperti nama, tanggal lahir, umur, alamat, suku, agama, dan pendidikan.
Riwayat sosial mencakup keterangan mengenai pekerjaan, aktivitas, perkawinan, lingkungan
tempat tinggal, dan lain-lain.
Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah di derita pasien pada masa
lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialami sekarang.
Riwayat keluarga
Pada riwayat penyakit sekarang dokter dapat menanyakan mengenai:
sejak kapan muncul gejala tersebut
bagaimana perjalanan penyakit tersebut? Apakah semakin membaik atau semakin memburuk?
Apakah ada gejala penyerta
Adakah faktor pemicunya
Pada kasus ini dilakukan autoanamnesis. Hal yang perlu ditanyakan antara lain:
Gangguan traktus gastrointestinal ringan sampai berat
Nyeri dada
Gejala perdarahan
Gejala anemia
Berdasarkan Anamnesis dapat ditentukan kecenderungan diagnosis, misalnya bila
terdapat riwayat nokturia, poliuria, dan haus, disertai hipertensi dan riwayat penyakit ginjal, lebih
mungkin dipikirkan ke arah gagal ginjal kronik. Tanda-tanda uremia klasik dengan kulit pucat
atrofi, dengan bekas garukan, dan leukonikia tidak terjadi seketika dan jarang ditemukan
sehingga lebih baik menganggap semua pasien azotemia menderita gagal ginjal akut sampai
dapat dibuktikan sebaliknya.2
Nyeri
Nyeri bukan keluhan yang umum pada penyakit ginjal, namun dapat terjadi bila ada
obstruksi saluran kemih, terutama akibat batu ginjal. Infeksi atau peregangan kapsul ginjal atau
kista ginjal, terutama pada penyakit ginjal polikistik, dapat juga menyebabkan nyeri. Perdangan
kandung kemih atau uertra, biasanya akibat infeksi, dapat menyebabkan disuria (rasa tidak
nyaman saat berkemih). Penyakit glomerular dapat menyebabkan nyeri tumpul pada lumbal,
namun jarang terjadi.3
Tampilan dan Volume Urin
Proteinuria dapat menybabkan urin berbusa dan hematuria makroskopik (frank
hematuria) terlihat jelas sebagai urin berwarna merah atau pink. Urin gelap dapat pula terjadi
akibat mioglobinuria pada rabdomiolisis atau hemoglobinuria pada hemolisis. Hematuria
makroskopik intermiten berulang mengarah pada glomerulonefritis immunoglobulin A (IgA)

pada orang muda ataukanker saluran kemih pada orang usia lanjut. Perdarahan glomrulus terjadi
selama berkemih, sementara hematuria yang hanya terjadi pada awal berkemih mengarah pada
perdarahan kantung kemih atau prostat.3
Penigkatan frekuensi berkemih merupakan peningkatan frekuensi pengeluaran urin.
Poliuria adalah peningatan volume urin total. Peningkatan frekuensi berkemih, terutama pada
malam hari, dapat mengarah pada pembesaran prostat, obstruksi dan retensi urin dapat juga
meyebabkan hesitancy dan urin menetes saat akhir berkemih. Anuria total jarang terjadi dan
biasanya mengarah kepada obstruksi uretra atau urter bilateral, glomerulonefritis progresif cepat
yang berat atau oklusi arteri renalis bilateral atau aorta.3
Secara Umum
Selalu lakukan anamneis dengan lengkap. Pastikan apakah pasien memiliki riwayat
hiprtensi, diabetes mellitus, keganasan, atau penyakit sistemik lainnya. Setiap infeksi yang baru
terjadi, tetapi khas merupakan infeks tenggorok akibat streptokokus, dapat memicu
glomerulonefritis pascainfeksi.
I.
1.

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Pemeriksaan Fisik
Lakukan pemeriksaan fisik lengkap, termasuk pengukurn tekanan darah, funduskopi,
pemeriksaan fisik untuk edema, dan pemeriksaan rektum dan vagina bila perlu. Periksa apakah
ada peregangan kandung kemih. Carilah tanda penyakit sistemik pada seluruh sistem, terutama
tanda neurologis dan reumatologis. Lesi katup jantung eningatkan kecurigaan glomerulonefritis
yang terkait dengan endokarditis infektif.
Inspeksi
Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi umum dan inspeksi local. Pada inspeksi umum
pemeriksa melihat perubahan yang terjadi secara umum, sehingga dapat diperoleh kesan keadaan
umum pasien. Pada inspeksi local, dilihat perubahan-perubahan local sampai yang sekecilkecilnya. Untuk bahan pembanding perlu diperhatikan keadaan sisi lainnya.

Palpasi
Setelah inspeksi, pemeriksaan di lanjutkan dengan palpasi, yakni pemeriksaan dengan
meraba, mempergunakan telapak tangan dan memanfaatkan alat peraba yang terdapat pada
telapak dan jari tangan. Dengan palpasi dapat ditentukan bentuk, besar, tepi, permukaan serta
konsistensi organ. Ukuran organ dapat dinyatakan dengan besaran yang sudah dikenal secara
umum misal bola pimpong atau telur ayam, tetapi lebih dianjurkan untuk menyatakannya dalam
ukuran, misalnya sentimeter.

Permukaan organ dinyatakan apakah rata atau berbenjol-benjol; konsistensi organ


dinyatakan dengan lunak, keras, kenyal, kistik atau berfluktuasi, sedangkan tepi organ
dinyatakan sebagai tajam atau tumpul. Pada palpasi abdomen, untuk mengurangi ketegangan
dinding abdomen, di lakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut; abdomen diraba dengan
telapak tangan mendatar dengana jari-jari II, III, dan IV yang merapat. Bila ada bagian yang
sakit, perabaan selalu dimulai dari bagian yang tidak sakit, baru kemudian ke bagian yang sakit.
Palpasi dapat pula dilakukan dengan dua tangan, terutama bila hendak mengetahui adanya cairan
atau Ballotement.
Bruit perifer atau tidak terabanya nadi perifer menandakan penyakit vascular dan pasien
seperti ini beresiko megalami stenosis arteri renalis, yang dapat menimbulkan bruit arteri renalis.

Pembesaran ginjal dapat dipalpasi. Ginjal kanan, yang terletak lebih rendah daripada
ginjal kiri karena adanya hati, kadang dapat dipalpasi dalam keadaan normal. Unuk melakukan
palpasi ginjal, letakkan tangan kanan di atas abdomen bagian atas pada sisi yang akan diperiksa.
Pada sisi yang sama, letakkan tangan kiri dengan jari-jari pada sudut ginjal yang dibentuk oleh
batas lateralotot lumbal dan iga ke 12. Pada saat pasien inspirasi dorong jari tangan kiri ke
anterior beberpa kali. Anda akan merasakan pembesaran ginjal dengan tangan kanan saat ginjal
bergerak ke rongga abdomen bawah saat inspirasi dan terdorong ke anterior oleh jari tangan kiri
anda.
Perkusi
Setelah palpasi, pemeriksaan dilanjutkan dengan perkusi. Tujuan perkusi adalah untuk
mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan batas-batas suatu organ misalnya
paru, jantung, dan hati, atau mengetahui batas-batas massa yang abnormal dirongga abdomen.
Perkusi dapat dilakukan dengan cara langsung mengetukkan ujung jari II atau III langsung pada
daerah yang diperkusi. Cara ini sulit dan memerlukan banyak latihan, oleh karenanya jarang
dilakukan, kecuali untuk perkusi kepala. Cara yang lebih lazim dikerjakan ialah perkusi tidak
langsung. Pada cara ini jari II atau III tangan kiri diletakkan lurus pada bagian tubuh yang
diperiksa, sedangkan jari-jari lainnya tidal menyentuh tubuh. Jari ini dipakai sebagai landasan
untuk mengetuk. Ketuklah jari ini pada falang bagian distal, proksimal dari kuku, dengan jari II
atau III tangan yang membengkok. Ketukan dilakukan demikian rupa sehingga engsel
pergerakan terletak pada pergelangan tangan, bukannya pada siku.
Secara garis besar suara perkusi di bagi tiga macam yakni sonor (suara yang terdengar
pada perkusi paru normal), pekak (seperti suara yang terdengar pada perkusi otot misal otot paha
atau bahu) dan timpani (seperti suara yang terdengar pada perkusi abdomen bagian lambung).
Tentu terdapat suara yang terdapat diantara suara tersebut, misal redup (antara sonor dan pekak)
dan hipersonor (antara sonor dan timpani).

Pemeriksaan perkusi dilakukan pada pemeriksaan dada, abdomen, dan kepala.


Auskultasi
Auskultasi adalah pemriksaan dengan mempergunakan stestokop. Dengan cara auskultasi
dapat di dengar suara pernapasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik usus, dan aliran darah
dalam pembuluh darah.
2.

Pemeriksaan Penunjang2

a.

Urine
Volume urine meningkat
Warna
Sedimen
Eritrosit
Leukosit
Silinder granula
Berat jenis
Kreatinin
Pemeriksaan klirens kreatinin dengan mendapatkan urin 24 jam untuk mendeteksi penurunan
GFR. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens kretinin akan menurun, kreatinin akan
meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan meningkat.
- Protein
Bila mengenai glomerulus ( >3 g/hari )
Bila mengenai tubulus ( <1,5 g/hari)
b. Darah
- BUN / kreatinin
Kreatinin plasma akan meningkat seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus,
dimulai bila lajunya kurang dari 60 ml/menit. Pada gagal ginjal terminal, konsentrasi kreatinin di
bawah 1 mmol/liter. Konsentrasi ureum plasma kurang dapat dipercaya karena dapat menurun
pada diet rendah protein dan meningkat pada diet tinggi protein, kekurangan garam dan keadaan
katabolik. Biasanya konsentrasi ureum pada gagal ginjal terminal adalah 20-60 mmol/liter.
Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi kurang
dari 5 ml/menit pada gagal ginjal terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1000 mg/hari
c.

Hitung darah lengkap


Natrium serum, terjadi hiponatremia
Kalium, hiperkalemia
Magnesium fosfat, terjadi hiperfosfatemia dan hipermagnesemia
Protein, terjadi hipoalbuneia
Kalsium, terjadi hipokalsemia
Osmolaritas serum
LED meningkat
Radiologi

Pielografi intravena
Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
Pielografi retrograd
Dilakukan bila dicurugai ada obstruksi yang reversibel.
Arteriogram ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
Sistourtrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks ke dlam ureter, retensi.
Ultrasonografi ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
kemih bagian atas.
Biopsi ginjal
Untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis
Endoskopi ginjal
EKG
Terdapat penurunan bikarbonat plasma (15-25 mmol/liter), penurunan pH, dan
penigkatan anion gap. Hiperkalemia adalah tanda gagal ginjal yang berat, kecuali terdapat
masukan berlebihan, asidosis tubular ginjal, atau hiperaldosteronisme.
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr
pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal.

Diagnisis kerja
Gangguan ginjal akut
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin
serum lebih dari 0,3 mg/dl (lebih dari 26,4 miumol/L) presentasi kenaikan kreatinin serum lebih
dari 50% (1,5x kenaikan dari nilai dasar) atau pengurangan produksi urin (oligouria yang tercatat
<0,5ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam)
Criteria diatas memasukan baik nilai absolute maupun nilai presentasi dari perubahan
kreatinine untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender indek masa tubuh dan
mengurangi kebutuhan untuk nilai basal kreatinin serum danhna diperlukan 2 kali pengukuran
dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai criteria karena mempunyai prediktif dan
mudah diukur. Criteria di atas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebabsebab oligouria lain yang reversible. Criteria di atas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik
dan pasien sudah mendapat cairan cukup.
Perjalanan GGA dapat:
1. Sembuh sempurna
2. Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK

3. Eksaserbasi berupa naik turunya progresif GGA


4. Kerusakan tetap dari ginjal
Etiologi
a. Kausa prarenal
Sebagian pasien yang bergantung pada vasodilatasi yang diperantarai oleh prostaglandin
untuk mempertahankan hipoperfusi ginjal dapat mengalami gagal ginjal hanya karena telah
menelan oban anti inflamasi non steroid. Demikian juga pasien dengan hipoperfusi ginjal
( stenosis a. renalis, gagal jantung kongestif atau pada penyakit pembuluh halus internal) yang
bergantung pada vasokontriksi (yang diperantarai oleh angiotensin II) arteriol ginjal eferen untuk
mempertahankan tekanan perfusi ginjal dapat mengalami gagal ginjal akut jika mengonsumsi
ACE inhibitor
b. Kausa internal
Kausa internal dapat dibagi lagi menjadi penyakit peradangan spesifik ( vaskulitis,
glumerolonefritis dan cedera imbas obat) dan nekrosis tubular akut akibat berbagai kausa
(iskemia racun dan hemolisis).
Yang menonjol di antara kausa internal adalah efek toksik antibiotic aminoglikosida dan
rabdomiolisis, ketika mioglobin, yang dibebaskan ke dalam aliran darah setelah terjadi cedera
yang merusak otot, mengendap di tubulus ginjal. Hal yang pertama dapat di kurangi dengan
pemantauan ketat fungsi ginjal selama terapi antibiotic, terutama pasien lansia dan mereka yang
sudah mengalami gangguan ginjal. Robdomiolisis dapat dipantau dengan memeriksa kadar
kreatinin kinase serum pada pasien yang dirawat inap dengan trauma atau perubahan status
mentaldan dapat diperingan dengan mempertahankan dieresis alkali
untuk mencegah
pengendapan alkali di mioglobin.
Sepsis adalah salah satu kausa tersering gagal ginjal akut. Sebagai penyulit sepsis, gagal
ginjal akut melibatkan factor prerenal dan intrarenal. Factor prerenal adalah hipoperfusi ginjal
akibat resistensi vaskuler yang rendah dan hipotensif pada keadaan sepsis.komponen intrarenal
mungkin merupakan konsekuensi disregulasi sitokin yang menandai sindrom sepsis., termasik
peningkatan kadar factor nekrosis-alfa, interleukin-1, dan interleukin-6 dalam darah yang ikut
berperan menyebabkan peradangan intrarenal, sklerosis, dan obtruksi. Pasien dengan sepsis
sering terpapar dengan obat nefrotoksik seperti antibiotic aminoglikosida.
c. Kausa pasca renal
Kausa pasca renal adalah kausa yang terjadi akibat obstruksi saluran kemih, missal oleh
batu ginjal.
Epidemiologi
a. Distribusi Menurut Orang
Gagal ginjal dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, umur maupun
ras. Menurut penelitian Aghighi, dkk (2009), dari total 35.859 orang, jumlah penderita yang

terdaftar di seluruh Rumah Sakit di Iran dari tahun 1997 sampai dengan 2006, terdapat penderita
laki-laki sebesar 20.633 orang dan perempuan sebesar 15.226 orang. Rata-rata umur penderita
laki-laki dan perempuan meningkat dari umur 47 dan 49 tahun menjadi 52,5 dan 53 tahun.21
Universitas Sumatera Utara Dari data United States Renal Data System (USRDS) 2008, di
Amerika Serikat sejak tahun 2000 penderita gagal ginjal untuk usia 45-64 meningkat, dengan IR
dari 2,6/10.000 menjadi 6,25/10.000. Penderita dengan usia 75 meningkat dengan cepat,
dengan IR dari 1,6/10.000 menjadi 17,74/10.000. Penderita dengan usia 20-44 meningkat,
dengan IR dari 2,1/100.000 menjadi 12,7/100.000.22 Menurut hasil penelitian Hendrati (1999)
menunjukkan bahwa penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di RSUD Dr. Sutomo
Surabaya terbanyak pada laki-laki (77,3%).23 Menurut Marlina (2009), di RSU dr. Pirngadi
Medan , penderita GGA yang terbesar pada kelompok umur 40-50 tahun (42%).13 Menurut
Flora (2008) di RSUP H Adam Malik Medan, penderita GGK terbesar terdapat pada kelompok
umur 45-59 tahun (43,1%) dan jenis kelamin laki-laki (63,8%).
b. Distribusi Menurut Tempat
Menurut penelitian Grasmaan (2005), hingga akhir tahun 2004, 52% dari seluruh
penderita gagal ginjal di dunia terdapat di Amerika, Jepang, Brazil dan Jerman, dimana ke empat
negara tersebut memiliki angka populasi penduduk hanya 11% dari seluruh populasi di dunia.
China menempati urutan ke lima dengan penderita gagal ginjal sebanyak 48.000 penderita.7
Pada Tahun 2000 di Indonesia terdapat 3000 penderita gagal ginjal terminal yang menjalani
hemodialisa dengan prevalensi sebesar 1,5/100.000 penduduk.25 Universitas Sumatera Utara
c. Distribusi Menurut Waktu
Berdasarkan data laporan European Renal AssociationEuropean Dialysis and
Transplant Association Registry (ERA-EDTA 2008), pada tahun 2007, IR penderita gagal ginjal
yang terdaftar adalah 1,16 per sepuluh ribu populasi, dengan PR kasus sebesar 6,62 per sepuluh
ribu populasi.26 Pada tahun 2007, Australia and New Zealand Dialysis and Transplant Registry,
melaporkan IR gagal ginjal tahap akhir sebesar 1,1/ 10.000 untuk Australia dan 1,09/10.000 di
New Zealand, sedangkan PR sebesar 7,97/10.000 untuk Australia dan 7,93/10.000 untuk New
Zealand.27 Peningkatan jumlah penderita Diabetes Melitus yang terkena penyakit ginjal di
Indonesia menunjukkan angka 8,3% dari seluruh penderita gagal ginjal terminal pada tahun
1983. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1993, angka ini telah meningkat lebih dari dua
kali lipat yaitu 17% dari seluruh penderita gagal ginjal terminal yang disebabkan nefropati
diabetik.
Perjalanan klinis
Gejala awal bisanya rasa lelah dan malaise, yang mungkin merupakan konsekuensi awal
hilangnya kemampuan tubuh mengeluarkan air, garam dan zat sisa melalui ginjal. Kemudian
timbul gejala dan tanda berkurangya kapasitas ginjal mengoreksian air dan garam makin parah:
dispnea, ortopnea, ronki basah, penyakit bunyi jantung ketiga, dan udema perifer. Gangguan
status mental mencerminkan efek toksik uremia pada otak, disertai peningkatan kadar zat sisa
bernitrogen dan fixed acid dalam darah.

Gambaran klinis gagal ginjal akut bergantung tidak saja pada kausa tetapi juga pada
stadium dalam perjalanan alami penyakit saat pasien dating berobat. Pasien datang dengan
hipoperfusi ginjal mula-mula mengalami azotemia prarenal, suatu konsekuensi fisioligis
langsung dari penurunan LFG. Dengan terapi tepat, perfusi ginjal dapat segera diperbaiki,
azotemia prerenal dapat di pulihkan dengan cepat, dan terjadi nekrosis tubuler akut dapat
dicegah. Tanpa pengobatan azotemia prerenal dapat berubah menjadi nekrosis tubular akut.
Pemulihan dari tubular nekrosis akut terjadi lebih lama dan sering memerlukan dialysis suportif
sebelum fungsi ginjal memadai kembali pulih.
Berbagai pemeriksaan klinis dapat membantu menentukan apakah pasien dengan gejala
dan tanda gagal ginjal akut berada pada fase awal azotemia prerenal atau telah memasuki
nekrosis tubular akut. Namun dapat tumpang tindih dalam perjalanan penyakit disepanjang
kontinum antara azotemia prerenal dengan nekrosis tubular akut sedemikian rupa sehingga hasil
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut harus dipresentasikan dalam konteks temuan lain dan riwayat
klinis.
Mungkin manisfestasi awal adalah azotemia prerenal adalah peningkatan rasio BUN
terhadap kreatinin serum. Rasio ini normalnya 10-15:1, dapat meningkat menjadi 20-30:1 pada
azotemia prenatal, dengan kreatinin kinase yang normal atau mendekati normal. Jikapenyakit
pasien berlanjut menjadi nekrosis tubuler akut. Rasio ini dapat menjadi normal dengan
peningkatan kadar kreatinin serum yang berfluktuasi tetapi tidak meningkat secara kontinyu juga
mengisyaratkan azotemia prarenal.
Urinalis juga dapat bermanfaat, tidak terdapat temuan abnormal yang khas pada azotemia
prarenal biasa, sementara pada nekrosis tubular akut terdapat silinder granular, sel epitel tubulus
dan silinder sel epitel. Silinder terbentuk ketika debris di tubulus ginjal menyerupai bentuk
tubulus ginjal yang bertepi halus. Demikian juga, karena hipovolemia merupakan rangsangan
pelepasan vasopressin, urin mengalami pemekatan maksimal pada azotemia prerenal. Namun
dengan perkembangan kea rah nekrosis tubuler akut, kemampuan urin untuk memekatkan urin
berkurang. Karena itu temuan tipikal pada nekrosis tubular akut adalah osmolaritas kurang dari
350 mOsm/L
Ekskresi fungsional Na adalah suatu indicator penting pada gagal ginjal akut oligorik
untuk menentukan apakah pasien telah berkembang dari azetemia prenatal menjadi nekrosis
tubular akut yang nyata. Pada azotemia prenatal biasa, lebih dari 99% Na yang difiltrasi akan
direabsorbsi. Angka ini memungkinkan kita mengidentifikasi secara akurat keadaan retensi Na
meskipun terjadi retensi air akibat vasopressin. Dengan berkembangnya azotemia prenatal
menjadi gagal ginjal akut dengan nekrosis tubuler akut, kemampuan ginjal untuk
mempertahankan natrium umumnya lenyap. Namun terdapat beberapa keadaan kedika FENa
kurang dari 1% pada pasien dengan nekrosis tubular akut.
Diagnosis banding

penyakit ginjal kronik


Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derjat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, yang berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom
klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
Kriteria penyakit ginjal Kronik:
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus(LFG), dengan
manifestasi:
kelainan patologis
terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging
test)
2. Laju filtrasi glomerulus(LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari
60ml/menit/1,73m2, tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik.
Patofisiologi
Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, bila tingkat kemunduran fungsi ginjal
mencapai kritis, penjelekan sampai gagal ginjal stadium akhir tidak dapat dihindari. Mekanisme
yang tepat, yang mengakibatkan kemunduran fungsi secar progresif belum jelas, tetapi faktorfaktor yang dapat memainkan peran penting mencakup cedera imunologi yang terus-menerus;
hiperfiltrasi yang ditengahi secara hemodinamik dalam mempertahan kan kehidupan glomerulu;
masukan diet protein dan fosfor; proteinuria yang terus menerus; dan hipertensi sistemik.
Endapan kompleks imun atau antibody anti-membrana basalis glomerulus secara terus
menerus pada glomerulus dapat mengakibatkan radang glomerulus yang akhirnya menimbulkan
jaringan parut.
Cidera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting pada destruksi
glomerulus akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera ginjal. Bila nefron hilang
karena alasan apapun, nefron sisanya mengalami hipertrofi structural dan fungsional yang
ditengahi, setidak-tidaknya sebagian, oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan
aliran darah sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan konstriksi arteriola eferen akibat
angiotensis II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus pada nefron yang bertahan hidup.

Hiperfiltrasi yang bermanfaat pada glomerulus yang masih hidup ini, yang berperan
memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak glomerulus dan mekanismenya belum dipahami.
Mekanisme yang berpotensi menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung peningkatan
tekana hidrodstatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan keluarnya protein
melalui dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini menyebabkan perubahan pada sel
mesangium dan epitel dengan perembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis meningkat,
nefron sisanya menderita peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan
peningkatan aliran darah glomerulus dan hiperfiltrasi. Penghambatan enzim pengubah
angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan menghambat produksi angiotensin II, dengan
demikian melebarkan arteriola eferen, dan dapat memperlambat penjelekan gagal ginjal.
Model eksperimen insufisiensi ginjal kronis telah menunjukkan bahwa diet tinggi protein
mempercepat perkembangan gagal ginjal, mungkin dengan cara dilatasi arteriola aferen dan
cedera hiperperfusi. Sebaliknya, diet rendah-protein mengurangi kecepatan kemunduran fungsi.
Penelitian manusia memperkuat bahwa pada individu normal, laju filtrasi glomerulus (LFG)
berkorelasi secara langsung dengan masukan protein dan menunjukkan bahwa pembatasan diet
protein dapat mengurangi kecepatan kemunduran fungsi pada insufisiensi ginjal kronis.
Proteinuria menetap atau hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat merusak dinding
kapiler glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis glomerulus dan permulaan cedera
hiperfiltrasi.
Ketika fungsi ginjal mulai mundur, mekanisme kompensatorik berkembang pada nefron
sisanya dan mempertahankan lingkungan internal yang normal. Namun, ketika LFG turun
dibawah 20% normal, kumpulan kompleks kelainan klinis , kimia dan metabolic berkembang
sehingga secara bersama membentuk keadaan uremia.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan
kemostatis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolic dan infeksi serta
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjal sembuh secara spontan. Prinsip
penatalaksanaan dimulai dengan mengidentifikasi pasien dengan GGA, mengatasi penyakit
penyebab GGA, mempertahankan homeostasis, mempertahankan eopolimea, keseimbangan
cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi metabolic seperti hiperkalemia, asidosis,
hiperfospatemia, mengevaluasis status nutrisi, mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat
yang dipakai.
Pencegahan
1.Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Modifikasi gaya hidup

Pola hidup memegang peranan penting dalam menentukan derajat kesehatan seseorang.
Mengatur pola makan rendah lemak dan mengurangi garam, minum air yang cukup (disarankan
10 gelas atau dua liter per hari), berolahraga secara teratur dan mengatur berat badan ideal, hidup
dengan santai merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga fungsi organ tubuh untuk
dapat bekerja maksimal. Bernafas dalam dan perlahan selama beberapa menit perhari dapat
menurunkan hormon kortisol sampai 50%. Kortisol adalah hormon stress yang apabila terdapat
dalam jumlah berlebihan akan mengganggu fungsi hampir semua sel di dalam tubuh. Bersantai
dan melakukakn latihan relaksasi serta mendengarkan musik juga merupakan alternatif untuk
mengurangi stress.
b. Hindari pemakaian obat-obat atau zat-zat yang bersifat nefrotoksik tanpa
sepengetahuan dokter, misalnya obat pereda nyeri yang dijual bebas dan mengandung ibuprofen
maupun obat-obatan herbal yang belum jelas kandungannya.
c.Monitoring fungsi ginjal yang teliti pada saat pemakaian obat-obat yang diketahui nefrotoksik.
2.Pencegahan Sekunder
a. Penegakan diagnosa secara tepat
Pengelolaan terhadap penyakit ginjal yang efektif hanya dapat dimungkinkan apabila
diagnosisnya benar. Pemeriksaan fisis yang diteliti dan pemilahan maupun interpretasi
pemeriksaan laboratorium yang tepat amat membantu penegakan diagnosis dan pengelolaannya.
Ginjal mempunyai kaitan yang erat dengan fungsi organ-organ lain dan demikian pula
sebaliknya, oleh karena itu haruslah penderita dihadapi secara utuh bukan hanya ginjalnya saja,
baik pada pengambilan anamnesis maupun pada pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan lainnya.
b. Penatalaksanaan medik yang adekuat
Pada penderita gagal ginjal, penatalaksanaan medik bergantung pada proses penyakit. Tujuannya
untuk memelihara keseimbangan kadar normal kimia dalam tubuh, mencegah komplikasi,
memperbaiki jaringan, serta meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif.
Tindakan yang dilakukan diantaranya:
b.1. Penyuluhan pasien/keluarga
Pasien lebih mampu menerima pendidikan setelah tahap akut. Materi yang dapat dimasukkan
dalam pendidikan kesehatan meliputi: penyebab kegagalan ginjal, obat yang dipakai (nama obat,
dosis, rasional, serta efek dan efek samping), terapi diet termasuk pembatasan cairan
(pembatasan kalium, fosfor dan protein, makan sedikit tetapi sering), perawatan lanjutan untuk
gejala/tanda yang memerlukan bantuan medis segera (perubahan haluaran urine, edema, berat
badan bertambah tibatiba, infeksi, meningkatnya gejala uremia).
b.2. Pengaturan diet protein, kalium, natrium.
Pengaturan makanan dan minuman menjadi sangat penting bagi penderita gagal ginjal. Bila
ginjal mengalami gangguan, zat-zat sisa metabolisme dan cairan tubuh yang berlebihan akan
menumpuk dalam darah karena tidak bisa dikeluarkan oleh ginjal. Konsumsi protein terlalu
banyak dapat memperburuk kondisi kerusakan ginjal karena hasil metabolismenya yang paling
berbahaya, urea, menumpuk didalamdarah sehingga terjadi peningkatan Blood Urea Nitrogen
(BUN). Diet gagal ginjal juga didukung dengan pembatasan asupan natrium (garam) untuk
mengatur keseimbangan cairan-elektrolit, pemberian makanan yang kaya kalsium untuk

mencegah osteotrofi ginjal (penurunan masa jaringan, kelemahan otot) dan memperbaiki
gangguan irama jantung yang tidak seimbang (aritmia).
b.3. Pengaturan kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit
Perubahan kemampuan untuk mengatur air dan mengekskresi natrium merupakan tanda awal
gagal ginjal. Tujuan Dari pengendalian cairan adalah memepertahankan status normotensif
(tekanan darah dalam batas normal) dan status normovolemik (volume cairan dalam batas
normal). Dapat dilakukan dengan pengendalian elektrolit, seperti: Hiperkalemia dikendalikan
dengan mengurangi asupan makanan yang kaya dengan kalium (pisang, jeruk, kentang, kismis,
dan sayuran berdaun hijau).
2.8.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian. Pengobatan penyakit yang mendasari,
sebagai contoh: masalah obstruksi saluran kemih dapat diatasi dengan meniadakan obstruksinya,
nefropati karena diabetes dengan mengontrol gula darah, dan hipertensi dengan mengontrol
tekanan darah.
a. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu
membran berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Hemodialisis
dan dialysis merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar
kedua teknik itu sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons
terhadap perbedaan konsentrasiatau tekanan tertentu.
- Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia adalah dengan
menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan.
- Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut
(peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti
yang terjadi pada mesin dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi
rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti
pasien diabetes dan kardiovaskular).
b. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal karena menghasilkan
rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan menimbulkan perasaan sehat seperti
orang normal. Transplantasi ginjal merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal
dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi kedua
ginjal yang telah mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Seorang ahli bedah
menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen bawah dan menghubungkan arteri dan
vena renalis dengan ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan
membuat urin seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal
dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor kadaver).

Kesimpulan
Gangguan ginjal akut ditandai dengan Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam
yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum lebih dari 0,3 mg/dl (lebih dari 26,4 miumol/L)
presentasi kenaikan kreatinin serum lebih dari 50% (1,5x kenaikan dari nilai dasar) atau
pengurangan produksi urin (oligouria yang tercatat <0,5ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6
jam). Perjalanan GGA dapat:1. Sembuh sempurna,2 Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahaptahap GGK, 3.Eksaserbasi berupa naik turunya progresif GGa, 4. Kerusakan tetap dari ginjal.
Daftar pustaka
1. Santoso M. Pemeriksaan Fisik Diagnostik. Anamesa. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan
Diabetes Indonesia; 2004.h.2-3.
2. Wahidayat HI, Matondsng CS, Sastroasmoro S. Abdomen. Diagnosis Fisis pada Anak.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1991.h.103-10,130.
3. Alatas H, 2002. Gagal ginjal akut. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO. Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 490-508.
4. Mcphee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit: pengantar menuju kedokteran klinis.
Edisi 5. Jakarta: buku kedokteran EGC;2010. h. 502-12
5. Price SA, Wilson LM. Patofisologi konsep klinis proses proses penyakit. Edisi 7. Jakarta:
buku kedokteran EGC;2011. h. 992-1000

Anda mungkin juga menyukai