Anda di halaman 1dari 4

Belajarlah, agar

beradab!
Penulis: Adian Husaini
Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. M. Hasyim Asyari, menulis sebuah buku
penting bagi dunia pendidikan. Judulnya, Aadabul Aalim wal-Mutaallim Terjemahan
harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas tentang konsep adab. Kyai
Hasyim Asyari membuka kitabnya dengan mengutip hadits Rasulullah saw: Haqqul
waladi alaa waalidihi an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhiahu, wa yuhsina
adabahu. (Hak seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik,
pengasuhan yang baik, dan adab yang baik).
Jadi, mendidik anak agar menjadi orang beradab, sejatinya adalah tugas orang tua.
Sebagai institusi pendidikan, sekolah mengambil alih sebagian tugas itu,
menggantikan amanah yang dibebankan kepada orang tua. Tujuannya tetap sama:
jadikanlah anak beradab! Adab memang sangatlah penting kedudukannya dalam ajaran
Islam. Imam Syafii, imam mazhab yang banyak menjadi panutan kaum Muslim di
Indonesia, pernah ditanya, bagaimana upayanya dalam meraih adab? Sang Imam
menjawab, bahwa ia selalu mengejar adab laksana seorang ibu yang mencari anak
satu-satunya yang hilang.
Demikianlah sebagian penjelasan KH Hasyim Asyari tentang makna adab. Menyimak
paparannya, maka tidak bisa tidak, kata adab memang merupakan istilah yang khas
maknanya dalam Islam. Bahkan, menurutnya, salah satu indikator amal ibadah
seseorang diterima atau tidak di sisi Allah SWT adalah tergantung pada sejauh mana
aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.
Lalu, apa sebenarnya konsep adab? Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab
dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat
dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah pengenalan serta
pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana
susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku
dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka,
pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa
pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan
keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan
kejahilan, demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin, (ISTAC, 2001).
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat
Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab
ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham
bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya.
Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada
Allah. Jika dikatakan menyebutkan, manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah
yang paling taqwa, maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada
penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Itu adab kepada
manusia.
Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar sopan
santun. Jika dimaknai sopan santun, bisa-bisa ada orang yang menuduh Nabi Ibrahim
a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya,
Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata. (QS
6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran
(nahyu anil munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Padahal, dalam

Islam, adab terkait dengan iman dan ibadah kepada Allah. Ukuran seorang beradab
atau tidak ditentukan berdasarkan ukuran sopan-santun menurut manusia. Seorang
yang berjilbab di kolam renang bisa dikatakan berperilaku tidak sopan, karena semua
perenangnya berbikini.
Adab di Tamadun Melayu
Ulama besar dan sastrawan dari Riau, Raja Ali Haji pun telah menyinggung tentang
pentingnya akal adan adab. Ia menyatakan kelebihan seorang manusia adalah pada
akal dan adab dan bukan pada janis bangsa dan asal. Maka, dalam kitabnya, Bustan al
Katibin, yang ditulisnya tahun 1850, ia menyatakan: Jikalau beberapa pun bangsa
jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga
diperolehnya.
Maka agar seseorang, masyarakat atau bangsa itu menjadi mulia, Ali Haji
menasehatkan agar individu-individu itu memahami agama. Sebagaimana hadits
Rasulullah saw yang terkenal: Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka ia
diberi pemahaman kepada ilmu agama (ad diin).
Pembinaan individu yang ber-adab ini juga menjadi perhatian yang serius ulamaulama Melayu abad 18. Seperti Syekh Abdus Shamad al Palimbani dan Syekh Daud
Abdullah Fathani. Syekh Palimbani misalnya menulis Hidayah as Salikin. Kitab ini
disusun diantaranya merujuk pada karya-karya Imam al Ghazali Minhajul Abidin,
Ihya Ulumud Din dan dan al-Arbain fi Ushul ad Din. Sedangkan karya Syeikh Daud
bin Abdullah al Fathani diantaranya adalah menerjemahkan kitab al Ghazali Bidayah
al Hidayah. (Dikutip dari makalah pakar sejarah Melayu, Wan Mohd Shaghir
Abdullah, Sejarah Tasawuf dan Perkembangannya di Nusantara, 2006).
Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani (1856-1908), dalam kitabnya Hadiqatul
Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir), berpesan agar seseorang mempunyai
adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Ia menyatakan : Jadikan
olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis) perhimpunan ilmu yang engkau
muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau daripada segala adab dan
hikmah.
Menjabarkan konsep adab Prof. SM Naquib al-Attas, Prof. Wan Mohd. Nor Wan
Daud, guru besar Institut Alam dan Tamadun MelayuUniversiti Kebangsaan
Malaysia, mencatat, bahwa sedikitnya terdapat 18 entri mengenai tadib, addaba dan
adab yang bisa dijumpai dalam lebih dari satu buku koleksi hadits. Lihat AJ Wensinck
dan JP Mensing, Boncordance Indices de la Tradition Musulmane, 7 jil. (Leiden :EJ
Brill, 1943), I :26 ; Nasrat Abdel Rahman, The Semantic of Adab in Arabic, al
Syajarah jil.2, No. 2, 1997, hh. 189-207. Dalam artikel ini Prof. Abdel Rahman
menganalisis pelbagai arti perkataan adab dan perkataan yang diderivasi darinya,
khususnya perkataan tadib, dari 50 pengarang (penulis) buku berbahasa Arab dan
analisis tersebut secara umum menguatkan pemahaman al Attas.
Perkataan adab, menurut al Attas, memiliki arti yang sangat luas dan mendalam,
sebab pada awalnya perkataan adab berarti undangan ke sebuah jamuan makan,yang di
dalamnya sudah terkandung ide mengenai hubungan social yang baik dan mulia.
Namun adab kemudian digunakan dalam konteks yang terbatas, seperti untuk sesuatu
yang merujuk pada kajian kesusastraan dan etika profesional dan kemasyarakatan.
Menurut Wan Daud, filosof terkenal, Al Farabi juga mendefinisikan tadib sebagai
aktivitas yang memproduksi suatu karakter yang bersumber dari sikap moral. Maka,
sebenarnya, makna kedua istilah, talim dan tarbiyah telah tercakup di dalam istilah
tadib. Ibnul Mubarak menyatakan: Kita lebih memerlukan adab daripada ilmu yang

banyak.
Jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman,
kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti
ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru,
pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya. Bagi
orang-orang yang memegang institusi, bila tidak terdapat adab, maka akan terjadi
kerusakan yang lebih parah. Kata Prof Wan Mohd. Nor: Gejala penyalahgunaan
kuasa, penipuan, pelbagai jenis rasuah, politik uang, pemubaziran, kehilangan
keberanian dan keadilan, sikap malas dan sambil lewa, kegagalan pemimpin rumah
tangga dan sebagainya mencerminkan masalah pokok ini.
Sikap boros dalam menggunakan kekayaan negara adalah sifat yang buruk bagi
pemimpin dan dapat berakibat pada pencopotan dari jabatannya. Dalam teks Hikayat
Aceh menurut Prof. Wan Mohd Nor (2007), terdapat dua kasus, dimana Sultan Seri
Alam yang sangat boros dan Sultan Zainal Abidin yang zalim dimakzulkan dari kursi
pemerintahan.
Adab terhadap ilmu
Jadi, menurut Prof. Wan Mohd. Nor, jika adab hilang pada diri seseorang, maka
akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak.
Manusia dikatakan zalim, jika misalnya meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Maka, dengan pemahaman seperti itu, seorang Muslim yang beradab pasti lebih
mencintai dan mengidolakan Nabi Muhammad saw ketimbang manusia mana pun.
Manusia Muslim yang beradab juga akan menghormati sahabat-sahabat nabi dan
keluarganya. Begitu juga seorang muslim yang beradab akan lebih menghormati
ulama pewaris nabi, ketimbang penguasa yang zalim. Salah satu adab penting yang
harus dimiliki seorang Muslim adalah adab terhadap ilmu. Saeorang yang beradab,
menurut SM Naquib al-Attas, seorang beradab haruslah mengenal derajat ilmu, mana
ilmu yang wajib ain (wajib dimiliki oleh setiap muslim) dan mana yang wajib kifayah
(wajib dimiliki sebagian Muslim).
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah
dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang
berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam AlGhazali mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari
keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama.
Dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Mutaallim, KH Hasyim Asyari juga mengutip
hadits Rasulullah saw: Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia
mengharapkan selain keridhaan Allah Taala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat
di neraka.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, juga
menulis sebuah buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip ungkapan Abu Darda r.a.
yang menyatakan: Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan
merupakan jihad, sesungguhnya ia kurang akalnya. Abu Hatim bin Hibban juga
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.a., yang pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda: Barangsiapa masuk ke masjid ku ini untuk belajar kebaikan atau untuk
mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah.
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab
tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang
tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia
tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati.

Sebab, dengan mengenal dan berzikir kepada Allah, maka hati akan menjadi tenang.
Maka, belajarlah ilmu yang benar! Belajarlah dengan niat yang benar! Jadilah
manusia yang adil dan beradab! Ingatlah, nasihat Luqmanul Hakim kepada
anaknya:Wahai anakku, janganlah kamu menserikatkan Allah, sesungguhnya syirik
adalah kezaliman yang besar. (QS 31:13). (***)

Anda mungkin juga menyukai