Anda di halaman 1dari 5

Multikulturalisme atau

Tauhid?
Penulis: Adian Husaini
Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah naskah pidato pengukuhan seorang guru
besar bidang Sosiologi Agama di sebuah Universitas di Jawa Timur. Judul pidatonya
adalah Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial. Karena pidato itu berisi gagasangagasan mendasar tentang rencana pengembangan studi agama-agama di Perguruan
Tinggi Islam, maka wajib untuk dicermati. Apalagi, sang professor secara terbuka
menyatakan dukungannya terhadap gerakan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Gagasan penting yang diusung oleh sang Profesor tersebut rencana pengembangan
studi agama berbasis paham multikulturalisme dan Kesatuan Transendensi Agamaagama. Ia menulis tentang masalah ini:
Gagasan Nurcholish Madjid tentang titik temu agama-agama atau gagasan kesatuan
transcendental agama-agama (the transcendent unity of religions) Frithjop Schuon,
semakin memberikan afirmasi baik secara teologis maupun filosofis tentang
pentingnya pengembangan studi agama berbasis multikulturalisme. Penggunaan
konsep multikulturalisme dalam studi agama, dengan demikian, tidak bisa dianggap
sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Multikulturalisme bahkan
dapat menempati posisi sebagai kerangka berpikir, atau epistemologi, untuk
memahami serta mendiseminasikan gagasan titik temu di antara pelbagai agama. Bila
dalam hubungan antarumat beragama lebih ditekankan paham kesatuan meskipun
tetap menyadari adanya perbedaan pada level eksoterik maka konflik dan aksi
kekerasan bias dikurangi, bahkan dikikis. Studi agama berbasis multikulturalisme
dengan demikian dapat menumbuhkembangkan budaya nirkekerasan, yakni suatu nilai
pengetahuan, perasaan, dan sikap yang mengakui dan menghargai perbedaan, serta
kesediaan bekerjasama atas dasar kesatuan transcendental. (hal. 47).
Pada bagian lain, sang profesor menulis, bahwa modal saintifik untuk
mengembangkan studi agama berbasis multikulturalisme telah tersedia. Yakni, sejak
dua dasawarsa terakhir, dalam dunia intelektualisme Islam di Indonesia muncul
mazhab pemikiran (school of thought) yang disebut dengan Islam Liberal. (hal. 17).
Ia pun mengusulkan, agar Studi agama di Perguruan Tinggi Muhammadiyah perlu
mempertimbangkan multikulturalisme dan modal sosial. Inti dari studi agama adalah
mengembangkan pemahaman terhadap pelbagai dimensi yang terdapat dalam agama.
(hal. 29). Katanya lagi, Studi agama berbasis multikulturalisme, dengan demikian,
dapat diartikan sebagai suatu usaha mengembangkan mengembangkan pemahaman
agama yang menghargai perbedaan dan kesediaan bekerjasama atas dasar persamaan
kemanusiaan. (hal. 45).
Membaca naskah pidato sang guru besar ini, pada satu sisi saya bersyukur, bahwa di
kalangan Perguruan Tinggi Islam telah muncul lagi guru besar bidang sosiologi agama
yang kreatif, cerdas, dan pintar menulis. Potensi-potensi umat Islam seperti ini perlu
dipelihara dan dikembangkan lebih jauh. Harapan sang profesor untuk terciptanya
suatu kehidupan masyarakat yang damai dan jauh dari konflik antar-umat beragama,
tentu harus kita sambut baik. Tetapi, sebagai sesama Muslim, kita juga diwajibkan
untuk bersikap kritis dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Jika kita

mengkritik gagasan sang guru besar tersebut, tentu kita juga berharap agar sang
profesor menyadari bahwa gagasannya tidak sepenuhnya benar. Bahkan, dari sudut
pandang pemikiran Islam gagasan pengembangan faham liberal dan studi agama
berbasis multikulturalisme, sangat bertentangan dengan ajaran Tauhid.
Sebagai Muslim, kita tentu ingin menjadi Muslim sampai mati. Kita tentu juga tidak
menginginkan, Islam kita pakai hanya saat-saat tertentu saja. Ketika akan masuk
pesantren, kita ambil Islam. Pada saat bertemu dengan berbagai kalangan agama lain,
lalu kita katakan, bahwa kita tidak melihat agama-agama lain dari sudut pandang
Islam, tetapi dari sudut pandang yang netral agama. Sikap seperti ini adalah produk
pemikiran sekular.
Kita tentu juga ingin, bahwa kita mati dalam keadaan Muslim. Maka, keislaman kita
seyogyanya, juga kita bawa ke mana pun kita berada. Ketika kita SD, kita menjadi
Muslim dan berpikir sebagai seorang Muslim. Begitu kita seyovgyanya, ketika kita
lulus sarjana, apalagi menjadi guru besar, maka kita pun ingin agar kita tetap Muslim:
hidup secara Islami, berperilaku sebagai seorang Muslim, dan berpikir sebagai
Muslim. Itu, menurut saya, logika yang sederhana dan benar.
Maka, bukankah sudah seharusnya, ketika kita ingin mengembangkan suatu sistem
teori atau pendidikan, maka kita pun kemudian mendasarkan kepada Islam. Menurut
pikiran saya, sebagai seorang muslim, sebaiknya studi apa pun yang kita kembangkan
apakah studi kedokteran, studi ekonomi, studi politik, dan sebagainya seyogyanya
tetap berdasarkan kepada aqidah Islam atau Tauhid.
Apalagi untuk pengembangan suatu Studi Agama! Mengapa kita harus malu untuk
menyatakan, bahwa di Perguruan Tinggi kita -- yang juga menyatakan identitas Islam
dikembangkan studi agama berbasis Tauhid? Mengapa kita harus berbangga
menyatakan, bahwa kita mengembangkan Studi Agama berbasis multikulturalisme?
Apa salahnya jika kita mengembangkan studi agama-agama berbasis Islam atau
berbasis aqidah Islam. Apakah kita takut dicap eksklusif, berpikiran sempit, subjektif,
dan sebagainya? Jika benar kita takut, maka memang ada problem mental. Bukan
sekedar problem intelektual. Jika bukan karena takut, tentu ada kekeliruan berpikir
yang perlu diluruskan.
Menurut hemat saya, di seluruh lembaga pendidikan Islam, baik di lingkungan
Muhammadiyah, NU, Persis, Dewan Dawah Islamiyah Indonesia, atau yang lainnya
studi agama yang dikembangkan haruslah studi agama yang berbasis Tauhid, yakni
berbasis kepada prinsip Tauhid, La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. Sebab,
orang-orang yang aktif di lembaga-lembaga Islam itu sudah mengaku Muslim dengan
mengikrarkan syahadat.
Prinsip Tauhid jelas tidak bertentangan dengan konsep kerukunan umat beragama.
Dengan perspektif Tauhid maka, manusia diajak untuk menerima Allah sebagai satusatunya Tuhan dan Muhammad saw sebagai satu-satunya perantara menuju Allah.
Sebab, tanpa keimanan dan kerelaan untuk menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai
uswah hasanah dalam ibadah dan kehidupan, manusia pasti gagal untuk mengenal
Allah dengan benar dan tidak dapat beribadah dengan benar. Ini adalah prinsip Tauhid
yang dipegang teguh oleh kaum Muslim sepanjang sejarah.

Maka, prinsip Tauhid ini jelas bertolak belakang secara diametral dengan konsep
Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) yang memberikan keabsahan pada
semua bentuk ibadah kepada Allah. Konsep KTAA seperti dipromosikan oleh sang
profesor tersebut jelas memberikan legitimasi terhadap bentuk penyembahan terhadap
Tuhan apa pun selain Allah. Marilah kita renungkan, dari posisi kita sebagai Muslim,
apakah konsep KTAA semacam itu sesuai dengan aqidah Islam? Soal kerukunan umat
beragama, umat Islam tidak perlu mengadopsi konsep-konsep dari luar Islam. Sejarah
menunjukkan, bagaimana Rasulullah saw dan para Khulafaurasyidin telah
menunjukkan keteladanan yang tinggi dalam menciptakan kerukunan umat beragama,
dengan tetap meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang diterima Allah.
Konsep KTAA yang dijadikan panutan oleh sang profesor Sosiologi Agama tersebut
jelas sangatlah bermasalah. Ia menulis: Dengan temuan ini, Mohammad Sabri
selanjutnya merekomendasikan agar studi agama-agama di masa depan lebih
diorientasikan pada upaya-upaya mencari titik temu, dari pada memperdebatkan
perbedaan. (hal. 15).
Jurnal ISLAMIA Harian Republika-INSISTS (14/5/2009) membahas secara panjang
lebar kekeliruan gagasan KTAA tersebut. Teori KTAA yang dipromosikan Rene
Guenon, Fritjop Schuon, Houston Smith, Nurcholish Madjid, dan sebagainya, adalah
teori yang sangat lemah, dan bertentangan dengan prinsip Tauhid. Sebab, KTAA
memberikan legitimasi pada berbagai praktik kemusyrikan. Kritik yang mendasar
terhadap teori ini lihat buku Prolegomena to the Metaphysic of Islam karya Prof. Syed
Muhammad Naquib al-Attas. Adanya kesatuan transenden pada agama-agama
adalah sebuah khayalan.
Menurut hemat saya, sebagai seorang Muslim, seorang ilmuwan Muslim seharusnya
senantiasa melihat sesuatu dalam sudut pandang Islam (Islamic worldview), termasuk
ketika melihat agama-agama lain. Ini berbeda dengan ilmuwan sekular yang melihat
agama-agama pada posisi netral agama, yang tidak bersandar pada pandangan satu
agama tertentu. Dalam pandangan Islam, keimanan kepada Nabi Muhammad saw
memegang posisi sentral bagi bangunan keimanan dan pemikiran seorang Muslim.
Tanpa keimanan kepada Nabi Muhammad saw, tidak mungkin seorang mengenal
Allah dengan benar, dan tidak mungkin tahu bagaimana cara beribadah kepada Allah
yang benar. Artinya, syariat yang benar adalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw. Jadi untuk menuju Allah, maka jalan yang benar adalah mengikuti syariat Nabi
Muhammad saw. Itulah keyakinan Islam.
Sangat keliru jika seorang Muslim menyatakan, bahwa semua agama apapun cara
ibadahnya adalah sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Padahal, syahadat orang
Muslim sudah menegaskan, bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah. Ini artinya,
seorang Muslim harus menyembah satu-satunya Tuhan, yaitu Allah, bukan Yahweh,
bukan Lata, bukan Uzza, bukan Setan, dan bukan Tuyul. Jika ada agama yang
memiliki ritual penyembahan Tuyul atau menyembah Tuhan dengan cara telanjang
sambil berjalan mengelilingi kampus, maka ibadah seperti itu pasti batil, karena tidak
sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw. Seorang ilmuwan Muslim mestinya
merenungkan, ketika dia melihat agama-agama selain Islam, di mana dia berdiri?
Apakah berdiri di atas dasar agamanya atau dia berdiri di atas titik yang netral agama?
Sebenarnya, sudah sangat banyak kritik terhadap gagasan KTAA. Tetapi, sang profesor

sepertinya tidak mau tahu. Bahkan, dia menulis: Upaya mencari titik temu antar
pelbagai kelompok agama secara lebih mendasar dikembangkan oleh seorang tokoh
mistikus kontemporer Frithjop Schuon (1984). Gagasan Frithjop Schuon dikatakan
lebih mendasar karena menjadikan dimensi transendental agam-agama. Bagi Frithjop
Schuon, di balik perbedaan pada masing-masing agama, tetap ada peluang
dipertemukan mengingat kesamaan pada dimensi transendentalnya. Semua agama,
apapun bentuk eksoteriknya (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan
bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya), kata Frithjop Schuon,
berjumpa pada ranah transendental, yaitu Tuhan. Inilah dimensi esoterik agama,
sekaligus jantung semua agama (the heart of religion). (hal. 46).
Cobalah kita renungkan pemikiran sang professor yang begitu menggebu-gebu
mengadopsi gagasan KTAA, untuk mencari-cari titik temu agama-agama Gagasan itu
sebenarnya adalah murni khayalan dan sebuah ungkapan yang asbun (asal bunyi).
Ketika sang professor menyatakan, semua agama cobalah kita tanya pada dia,
benarkah dia sudah meneliti semua agama yang ada? Bukankah di dunia ini ada
ribuan agama? Agama apa saja yang sudah ditelitinya? Jadi, ucapan semua agama
begini atau begitu adalah sebuah ungkapanasbun, meskipun keluar dari mulut
seorang profesor.
Teori KTAA juga sangat naf dan absurd, karena tidak mempersoalkan aspek eksoterik
(tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan
bersifat simbolik lainnya) dan lebih mementingkan aspek esoterik. Untuk melihat
kebatilan teori semacam itu, maka kita tidak perlu menjadi seorang professor. Sebab,
kebatilannya sangat jelas. Dalam Islam, aspek syariat (eksoterik) sangat penting.
Bentuk ibadah adalah hal yang sangat mendasar dalam Islam. Islam tidak memisahkan
aspek eksoterik dan aspek esoteric. Islam secara tegas menolak bentuk ibadah yang
sah, selain yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Justru salah satu misi utama diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk memberi
petunjuk kepada manusia tentang bagaimana cara beribadah yang benar. Beliau diutus
untuk semua manusia, sebagai uswah hasanah. Misi Nabi Muhammad saw bukan
hanya ditujukan untuk orang Islam saja. Jadi, dalam Islam, aspek eksoterik dan
esoteric adalah sama-sama penting. Menurut Islam, untuk menggapai esoterik yang
benar, maka seseorang juga harus menjalankan tata cara ibadah yang benar, sesuai
dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Inilah perspektif Tauhid dalam melihat agama-agama. Jika prinsip Tauhid ini hendak
digusur dari pengajaran Studi Agama di Perguruan Tinggi Islam dan digantikan
dengan perspektif multikulturalisme dan KTAA seperti gagasan sang profesor tersebut
-- maka pada hekikatnya, itu sama saja dengan pembubaran Islam itu sendiri.
Mungkin sang profesor tidak sadar akan kekeliruan dan dampak dari gagasannya.
Mungkin juga dia sadar dan sengaja mempromosikan gagasan tersebut, karena
menganggapnya sebagai hal yang baik dan benar.
Kita berharap, mudah-mudahan, Perguruan Tinggi Islam tidak tergoda oleh gagasan
sang Profesor dari Jawa Timur tersebut, yang ingin menggusur prinsip Tauhid dalam
studi agama dan menggantikannya dengan prinsip multikulturalisme. [Depok, 25 Mei
2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan
www.hidayatullah.com

Anda mungkin juga menyukai