Anda di halaman 1dari 3

Liberalisasi

Politik
Penulis: Adian Husaini
Politik adalah sekedar seni meraih dan mempertahankan kekuasaan, dengan segala
cara. Politik harus dibebaskan dari moralitas. Yang penting kuasa. Demi meraih kuasa,
tipu sana tipu sini, bukan soal lagi. Bahkan, jika perlu, teror pun digunakan, demi
kekuasaan. Pertahankan dan rebut kekuasaan, dengan cara apa pun!
Itulah politik bebas nilai. Sebuah bentuk politik yang secara sistematis diteorikan
oleh Niccolo Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Dalam
sejarah pemikiran politik, nama Machiavelli memang monumental. Oleh para pemikir
di Barat kemudian, karya Machiaveli, The Prince, dianggap memiliki nilai yang tinggi
yang memiliki pengaruh besar dalam social politik umat manusia. Sebuah buku
berjudul World Masterpieces yang diterbitkan oleh WW Norton&Company, New
York, tahun 1974 (cetakan kelima) menempatkan karya Machiaveli ini sebagai salah
satu karya besar dalam sejarah umat manusia yang muncul di zaman renaissance.
Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan
disiksa. Ia dituduh melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The
Prince pada umur 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah
kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak
penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan
nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang
memberikan predikat sebagai amoral. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah
survival (mempertahankan kekuasaan).
Politik semacam itu melampaui nilai-nilai moral keagamaan. Dengan membuang
faktor baik dan buruk dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa
seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara.
Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan
moral dan keagamaan. Maka, kata Machiavelli lagi, Jika situasi menjamin, penguasa
dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror.
Ditulis dalam The Prince: It is necessary for a prince, who wishes to maintain
himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according
to the necessity of the case. Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia
telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.
Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief
History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari
pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka
agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik. In secularizing
and rationalizing political philosophy, he initiated a trend of thought that we
recognized as distinctly modern, tulis Perry. Jadi, sumbangan terbesar Machiavelli
adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah
politik dan negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang
dipandang sebagai politik modern.
Trauma sejarah
Apa yang dilakukan Machiaveli yang kemudian disebut sebagai politik modern
tentu saja tak lepas dari arus besar renaissance (kelahiran kembali) masyarakat Eropa,
yang selama hamper 1.000 tahun hidup di bawah sstem politik teokrasi (kekuasaan
Tuhan). Tuhan melalui wakilnya di bumi mendominasi segala aspek kehidupan,

termasuk politik. Pemerintahan dianggap tidak sah, jika tidak disahkan oleh wakil
Tuhan.
Contoh yang menarik terjadi pada konflik antara Paus Gregory VII dan Raja Henry
IV pada paruh abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregory melarang keterlibatan Raja
dalam pengangkatan pejabat gereja. Paus berargumen, bahwa konsep Gereja sebagai
monarkhi berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus sendiri yang berhak
mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan suatu Sidang Umum dan
mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan. Jika Paus mengucilkan seorang
penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh Kekristenan, dan
karena itu ia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (Christendom). Raja
Henry IV menolak klaim Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga
datang langsung dari Tuhan. Menghadapi tentangan itu, Paus menyerukan kepatuhan
pasif terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan, Henry IV takluk dan dipaksa
menemui Gregory di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas
Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya. Kasus ini menunjukkan keefektivan
kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu
melakukan pengucilan terhadap Raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa.
Dominasi kekuasaan kaum agamawan dalam politik kemudian menyulut berbagai
protes. Tahun 1887, Lord Acton seperti menyindir hegemoni kekuasaan agama dan
menulis surat kepada Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: All power tends
to corrupt; absolute power corrupts absolutely. (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The
Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991)).
Berbagai penyimpangan system teokrasi kemudian melahirkan semangat
pemberontakan terhadap agama. Revolusi Perancis (1789) yang mengusung jargon
Liberty, Egality, Fraternity, secara terbuka menyingkirkan bukan hanya system
monarkhi tetapi juga dominasi kaum agamawan dalam politik. Sebelumnya, para
agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan.
Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal,
jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Perancis.
Kekeliruan sebagian tokoh agama dalam politik yang menindas rakyat akhirnya
memunculkan trauma masyarakat Barat terhadap peran agama dalam politik. Bahkan,
kemudian muncul fenomena anti-clericalism di Eropa pada abad ke-18. Sebuah
ungkapan populer ketika itu: Berhati-hatilah, jika anda berada didepan wanita,
hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di
depan atau di belakang pendeta. (Beware of a women if you are in front of her, a
mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind). (Owen
Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New
York: Cambridge University Press, 1975)).
Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama itulah yang memunculkan
paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik.
Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan
terjadi politisasi agama; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap
sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal
yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Tradisi Islam
Di Eropa, trauma sistem teokrasi kemudian memunculkan tradisi politik sekularliberal. Fenomena ini sebenarnya tidak terjadi dalam dunia Islam. Kaum Muslim selalu
melihat politik sebagai bagian dari agama. Politik adalah ibadah. Tujuan utama politik

adalah untuk menyebarkan kebenaran, dan menjaga agama melalui kekuasaan. Karena
tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus mulia pula. Tujuan tidak
menghalalkan segala cara.
Pengalaman sejarah dan trauma Barat terhadap hegemoni sistem teokrasi
mengharuskan dilakukannya sekularisasi di Barat. Tetapi, Islam tidak mengalami hal
semacam itu. Islam tidak mengenal sistem teokrasi dan tradisi Inquisisi. Bernard
Lewis, professor di Princeton University mengakui, bahwa kaum Muslim memang
tidak mengembangkan tradisi sekular dalam sejarah mereka. Bahkan, kaum Muslim
akan selalu menentang keras tradisi secular tersebut. Ini berbeda dengan tradisi Kristen
di Barat. From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to
distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of
the two. Muslims received no such instruction, tulis Lewis dalam bukunya, What
Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix,
2002).
Karena itu, memang, sejatinya, politik secular dan liberal, apalagi politik
machiavellis harusnya tidak dikenal dalam tradisi Islam. Namun, pada akhirnya, para
politisi Muslim sendiri yang harus membuktikan, bahwa politik mereka memang
bertujuan untuk ibadah dan bukan refleksi dari syahwat mencintai dunia (hubbuddunya). Jika mereka gagal membuktikan politik Islam sebagai rahmat bagi
masyarakat, maka bukan mustahil akan muncul gerakan anti-ulama dan anti-agama,
sebagaimana munculnya gerakan anti-crericalism di Eropa. Masyarakat bukan hanya
muak pada politisi Muslim dan partai yang mengusung nama Islam, tetapi juga makin
jauh dari agama. Mudah-mudahan ini tidak terjadi! (***)

Anda mungkin juga menyukai