Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Perkembangan, Kompetensi dan Peran Profesi Tenaga Kesehatan

Oleh Fitri Marsya, 1406545125


Sejarah pendidikan kedokteran di Indonesia dimulai dari adanya Sekolah Dokter Jawa yang
berdiri pada tahun 1851. Alasan didirikannya Sekolah Dokter Jawa adalah mendidik tenaga
pencacar untuk menghindari penyakit cacar, pes dan malaria. Latar belakang didirikannya Sekolah
Dokter Jawa dengan sejarah pendidikan dokter atau tenaga penyembuh di negara barat maupun di
negara lainnya berbeda. Di negara barat maupun di Cina dan India, pendidikan dokter bermula dari
kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan tenaga healer yang sudah ada, agar lebih ilmiah
dalam mengobati penyakit yang diderita orang perorangan. Kompetensi profesi kedokteran
dibangun dengan pondasi yang terdiri atas profesionalitas yang luhur, mawas diri dan
pengembangan diri, serta komunikasi efektif, dan ditunjang oleh pilar berupa pengelolaan
informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah
kesehatan. Peran Profesi Dokter dalam SPK Tenaga pelayanan kesehatan yang paling utama adalah
profesi dokter. Dokter dianggap sebagai pusat konstelasi tenaga profesi kesehatan. Itulah
sebabnya mengapa tenaga kesehatan seperti para perawat dan bidan sering disebut sebagai tenaga
paramedik. Dalam SPK di negara manapun, tenaga pelayanan kesehatan yang utama adalah
dokter. Oleh sebab itu, salah satu indikator utama dalam menilai baik buruknya SPK di suatu
komunitas atau negara adalah rasio jumlah dokter dan jumlah penduduk.
Sejarah perkembangan profesi dokter gigi menurut Archives Of The American Dental
Association, terbagi menjadi 5 masa penting yaitu; Zaman Kuno (Ancient Origins), Zaman
Permulaan Profesi - Abad Pertengahan (The Beginnings Of A Profession Middle Ages), Zaman
Perkembangan Profesi Abad 18 (The Development Of A Profession 18 th Centuty), Zaman
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Abad 19 (Advances In Science And Education
-19th Century), dan Zaman Inovasi dalam keterampilan dan teknologi Abad 20 (Innovation In
Techniques And Technology The 20th Century).
Mengacu pada definisi Chamber (1993) yang dipakai oleh institusi pendikan profesi dokter
gigi di berbagai Negara di dunia, kompetensi profesi dokter gigi menjadi 6 domain penting; yaitu;
(1) Domain profesionalisme dengan melakukan praktik di bidang kedokteran gigi sesuai keahlian,
tanggung jawab, kesejawatan, etika dan hokum yang relevan. (2) Domain penguasaan ilmu
kedokteran dan kedokteran gigi dengan memahami ilmu kedokteran dasar dan klinik, kedokteran
gigi dasar dan klinik yang relevan sebagai dasar profesionalisme seta pengembangan ilmu
kedokteran gigi. (3) Domain pemeriksaan fisik secara umum dan stomatognatik dengan melakukan
pemeriksaan, mendiagnosis, dan menyusun rencana perawatan untuk mencapai kesehatan gigi dan

mulut yang prima melalui tindakan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. (4) Domain
pemulihan sistem stomatognatik dengan melakukan tindakan pemulihan fungsi sistem
stomatognatik melalui penatalaksanaan klinik. (5) Domain kesehatan gigi dan mulut masyarakat
denganmenyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat menuju kesehatan gigi dan mulut yang
prima. (6) Domain manajemen praktik kedokteran gigi melalui penerapan fungsi manajemen dalam
menjalankan praktik KG. Melaksanakan pengobatan kesehatan gigi dan mulut.
Peran profesi kedokteran gigi, yaitu : (1) Melaksanakan pelayanan kesehatan gigi dan
mulut meliputi Premadikasi, Pencabutan Gigi, Penambalan Gigi, Perawatan Syaraf Gigi,
Melaksanakan Konsultasi Gigi, Melaksanakan kasus-kasus emergency gigi/darurat. (2) Membantu
pelaksanaan kegiatan-kegiatan fungsi manajemen. (3) Membuat rujukan pada pasien yang tidak
dapat ditangani di poliklinik. (4) Memberi penyuluhan pada pasien tentang kesehatan gigi dan mulu
terutama pada praja yang sakit.
Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan obat tradisional (jamu)
dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada zaman itu sebenarnya dukun melaksanakan dua
profesi sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan profesi kefarmasian
(meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya). Penggunaan obat dapat ditelusuri
sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan Babilonia telah dikenal obat dalam
bentuk tablet tanah liat (granul), dan bentuk sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan
jenis bahan alam yang digunakan sebagai obat. Pengetahuan tentang obat dan pengobatan
selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika Hippocrates (460 S.M.)
memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman Yunani itu dikenal pula
Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti
ular saat ini dijadikan lambang penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia
yang dililiti ular dijadikan lambang kefarmasian. Perkembangan profesi kefarmasian pada abad
selanjutnya dilakukan dalam biara, yang telah menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan
pengobatan dalam bahasa latin yang hampir punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam
penulisan istilah di bidang kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah terjadi
dalam zaman kultur Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama al-Saidalani pada abad ke9. Namun demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia, Eropa,
ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang secara legal (menurut undang-undang) mengatur
pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat perintah yang kemudian dinamakan Magna Charta
dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan seorang Farmasis melalui pengucapan sumpah, untuk
menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas
yang sesuai dan seragam. Magna Charta kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini dalam

bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker. Secara umum, apoteker yang
berpartisipasi dalam menyediakan perawatan primer untuk pasien individu melakukan fungsi
sebagai berikut : Menjalankan pengkajian terhadap pasien untuk pengobatan terkait faktor tertentu,
Pengujian dalam tes laboratorium yang diperlukan untuk pemantauan hasil terapi obat, Menafsirkan
data yang terkait dengan keselamatan dan efektivitas obat-obatan, Memulai atau memodifikasi
rencana perawatan terapi obat pada dasar tanggapan pasien, Memberikan informasi, pendidikan,
dan konseling kepada pasien tentang perawatan pengobatan terkait, Dokumen perawatan yang
diberikan dalam catatan pasien, Mengidentifikasi hambatan kepatuhan pasien, Berpartisipasi dalam
tinjauan multidisiplin kemajuan pasien, Berkomunikasi dengan pembayar untuk menyelesaikan
masalah yang mungkin menghalangi akses ke terapi obat, Membicarakan masalah yang relevan
dengan dokter dan anggota tim yang lainnya. Layanan farmasi perawatan primer harus dirancang
untuk mendukung berbagai komponen dari proses pengobatan seperti (pemesanan, pengeluaran,
pemberian, pemantauan, dan mendidik) sebagai langkah individu atau sebagai keterkaitannya dalam
rangkaian perawatan. Apoteker harus mengevaluasi semua komponen dari mulai proses pengobatan
untuk mengoptimalkan potensi agar mencapai hasil pasien yang positif.

(1) Kompetensi

Pernyataan: Sebuah komponen pekerjaan besar yang membutuhkan aplikasi dan integrasi
pengetahuan yang relevan, keterampilan, kemampuan, sikap, dan / atau penilaian (2) Kompetensi
Unit: Sebuah segmen utama dari suatu kompetensi secara keseluruhan yang menggambarkan kunci
kegiatan yang diperlukan untuk melaksanakan kompetensi itu. (3) Elemen Kompetensi: Sebuah
sub-bagian dari unit kompetensi yang menggambarkan atau memerinci indikator kinerja kunci
aktivitas yang diharapkan.
Sejarah keperawatan profesional dimulai oleh Florence Nightingale. Visinya adalah
mendirikan sekolah keperawatan di Rumah Sakit St. Thomas London dan ditandai dengan lahirnya
keperawatan moderen. Nightingale adalah perintis dalam praktek dan pendidkan keperawatan.
Tulisan-tulisannya menjadi panduan untuk membangun sekolah keperawatan dan rumah sakit di
Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Standar kompetensi profesi perawat Indonesia ditetapkan
untuk memastikan masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperawatan yang kompeten dan
aman. Sesuai dengan hasil Lokakarya Nasional Keperawatan yang diadakan pada bulan Januari
tahun

1983,

peran

perawat

yang

ditetapkan

adalah

sebagai

berikut

(1) Pelaksana pelayanan keperawatan. Perawat bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan
keperawatan dari yang bersifat sederhana sampai yang paling kompleks kepada individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.(2) Pengelola dalam bidang keperawatan dan institusi pendidikan
keperawatan. Perawat bertanggung jawab dalam hal administrasi keperawatan baik di masyarakat
maupun didalam institusi dalam mengelola pelayanan keperawatan untuk individ, keluarga,

kelompok dan masyarakat. Perawat juga bekerja sebagai pengelola suatu sekolah atau program
pendidikan keperawatan. (3) Pendidik dalam ilmu keperawatan. Perawat bertanggungjawab dalam
hal pendidikan dan pengajaran ilmu keperawatan bagi tenaga keperawatan dan tenaga kesehatan
lain. (4) Peneliti dan Pengembang ilmu keperawatan. Perawat melakukan penelitian keperawatan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan praktek profesi keperawatan ,
khususnya pelayanan keperawatan, pendidikan keperawatan dan administrasi keperawatan.
Perawat juga menunjang pengembangan di bidang kesehatan dengan cara berperan serta dalam
kegiatan penelitian kesehatan.
Awal perkembangan pendidikan kesehatan masyarakat di Indonesia dimotivasi oleh
perkembangan dunia keilmuan kesehatan masyarakat yang mengalami inovasi dan
perubahan yang sangat cepat, terutama di Amerika dan Inggris, yaitu dari perhatian
awal kesehatan masyarakat yang hanya menghubungkan kondisi lingkungan fisik
tempat tinggal manusia dengan kejadian penyakit, kemudian memasukkan faktorfaktor baru yaitu inovasi teknik dan perubahan geologi atau iklim, juga mengkaji
faktor keinginan manusia, kebiasaan dan perilaku, serta faktor aspirasi manusia yang
selalu berkembang sebagai obyek material disiplin ilmu kesehatan masyarakat.
Tantangan terbesar ketika itu bahwa pada satu sisi, kajian ilmu kesehatan berubah
sedemikian cepat dengan mengembangkan obyek kajian material dan metodologi
untuk siap dengan kajian masa depan yang belum diketahui. George Pickett & John J.
Hanlon (2009) menyatakan sebagai periode perkembangan metode berpikir dan
bertindak kesehatan masyarakat yang disebut sebagai kajian prospektif, yang tentu
berbeda dengan kajian keilmuan dari profesi pengobatan klinis pada saat itu, yang
masih berpikir dan bertindak dengan dasar retrospektif. Kondisi yang sama juga terjadi
pada sebagian besar disiplin ilmu termasuk perkembangan disiplin ilmu kedokteran di
Indonesia, yang lebih mampu menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan masa
lalu dan jarang dapat memberikan solusi bagi masalah terkait masa depan. Awal
perkembangan disiplin kesehatan masyarakat di Indonesia

justru bukan dimulai

perguruan tinggi, tetapi dikembangkan oleh para dokter dan pemerhati kesehatan,
baik yang bekerja di pemerintahan maupun di masyarakat. Mereka menganggap
bahwa penggabungan pendekatan retrospektif untuk pendekatan klinis, harus
dikembangkan bersama-sama dengan pendekatan prospektif yang menjadi ciri khas
perkembangan

ilmu

kesehatan

masyarakat.

Dari

titik

awal

inilah

kemudian

berkembang disipin ilmu kesehatan masyarakat di perguruan tinggi sebagai kajian,


dengan tiga periode perkembangan: Periode Awal atau yang dipelopori oleh Dr.
Leimena dan Dr. Fatah, periode Transisi yang di pelopori oleh Del Mochtar dan Dr.
Sayono, serta periode Pembaharuan yang menjadi tonggak perkembangan Fakultas

Kesehatan Masyarakat saat ini. Kompetensi kesmas (a) Mampu melakukan kajian dan

analisis situasi (analitic/assessement skills) (b) Mampu mengembangkan kebijakan dan


Perencanaan Program (policy development/program planing skills) (c) Mampu Berkomunikasi
Secara Eefektif (communication skills) (d) Mampu memahami budaya setempat (cultural
competency

skills)

(e)

Mampu

melaksanakan

pemberdayaan

Masyarakat

(Community

empowerment) (f) Memiliki penguasaan ilmu kesehatan masyarakat (Public health science skills)
(g) mampu dalam merencanakan keuangan dan terampil dalam bidang manajemen (Financial
Planning and Management Skills ) (h) Memiliki kemampuan kepemimpinan dan berfikir sistem
(leadership and system thinking skills)

Perkembangan Ilmu Gizi di Indonesia, berikut beberapa hasil penelitian dalam sejarah
perkembangan Ilmu Gizi di Indonesia.
1. Belanda mendirikan Laboratorium Kesehatan (15-1-1888) di Jakarta. Tujuannya
Menanggulangi Penyakit Beri-Beri di Indonesia dan Asia
2. Tahun 1934 = Lembaga Makanan Rakyat
3. Tahun 1938, bermula dari Tahun 1919, Jansen dan Donath meneliti masalah Gondok di
wonosobo, kemudian oleh pemerintah Hindia Belanda menfaslitasi pembentukan Lembaga
Eijkman. Beberapa Kegiatannya berupa survai gizi di tahun 1927-1942, oleh Jansen dan
Kawan-kawan pada 7 lokasi bertempat di jawa, seram dan lampung yang bertujuan
Mengamati Pola Makan, Keadaan Gizi, Pertanian dan perekonomian. Lembaga ini juga
berhasil melakukan Analisis Bahan Makanan yang sekarang dikenal sebagai Daftar
Komposisi Bahan Makanan disingkat atau dikenal dengan DKBM
4. Tahun 1930, De Hass dkk menemukan defisiensi Vitamin A, (1935) meneliti tentang KEP
(Kurang Energi Protein)
5. Tahun 1950, Lembaga Makanan Rakyat berada dibawah Kementerian Kesehatan RI
( diketuai Prof. Poerwo Soedarmo Pendiri PERSAGI atau dikenal juga sebagai Bapak Gizi
Indonesia. Bapak Poerwo Soedarmo juga berhasil memperkenalkan promosi gizi yang baik
dengan istilah Empat Sehat Lima Sempurna yang begitu populer pada waktu itu sampai
pada pemerintahan Orde Baru.

Penelitian-Penelitian di Indonesia ini yang kemudian menarik perhatian WHO dan dijadikan
sebagai rekomendasinya adalah
1. Domen (1952-1955) penelitian tentang kwashiorkor (istilah gizi buruk karena kekuranagn
protein) dan Xeropthalmia (Istilah Kebutaan Akibat kekurangan Vitamin A)
2. Klerk (1956) penelitian tentang Tinggi Badan (TB) dan Berat Badan (BB) anak Sekolah
yang dapat memberikan gambaran Status Gizi Anak SD pada masa balitanya.
3. Gailey ( 1957 1958 ) tentang Kelaparan di Gunung Kidul menghasilkan teori Kelaparan
o KELAPARAN (Hunger) menurut E.Kennedy,(2002) sebagai kutipan dari penelitian
Prof Soekirman Ph.D Guru Besar Ilmu Gizi IPB Bogor tentang kelaparan adalah
Rasa tidak enak dan sakit, akibat kurang /tidak makan,baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja diluar kehendak dan terjadi berulang-ulang, serta
dalam jangka waktu tertentu menyebabkan penurunan berat badan dan gangguan
kesehatan.
4. Prof. Poerwo Soedarmao Mencetak Tenaga Ahli Gizi ( AKZI dan FKUI)
5. Dan tahun 1950-2010 perkembangan ilmu gizi di Indonesia sangat pesat, sampai sampai
teori-teori gizi yang baru ditemukan belum sampai diterapkan muncul lagi ilmu yang terbaru
dari hasil penelitian terbaru dari ilmu gizi.
Kompetensi program studi ilmu gizi dilakukan berdasarkan dari peran dan fungsi sarjana
gizi/ahli gizi (S.GZ) di masyarakat dan sistem pelayanan gizi dalam aspek promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif serta mengacu kepada tujuan pendidikan sebagai berikut :

Menjelaskan secara benar dasar-dasar ilmu gizi dan kaitannya dengan kesehatan dan
pangan;

Mengkaji secara menyeluruh keterkaitan gizi, kesehatan, dan pangan dalam suatu sistem;

Mengkaji, menilai, dan mengidentifikasi keadaan gizi individu, kelompok, atau masyarakat;

Membuat perencanaan intervensi dan pelayanan gizi yang sesuai dengan kebutuhan;

Melaksanakan intervensi dan pelayanan gizi sesuai dengan rencana intervensi;

Melaksanakan kegiatan monitoring pelaksanaan intervensi dan pelayanan gizi;

Melaksanakan kegiatan evaluasi pelaksanaan intervensi dan pelayanan gizi;

Melakukan promosi gizi dan melakukan mobilisasi sosial untuk pencegahan dan
penanganan masalah gizi;

Memahami pentingnya kerjasama lintas sektor, lintas disiplin dan lintas profesi dalam
menangani masalah gizi;

Melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan untuk kegiatan advokasi dalam menangani


masalah gizi;

Merancang dan melaksanakan penelitian dibawah bimbingan seorang ahli atau kelompok
ahli;

Menerapkan hasil-hasil penelitian terbaru pada intervensi dan pelayanan gizi;

Memutakhirkan diri dalam perkembangan ilmu dan teknologi bidang gizi.

Hambatan Interdisipliner Tim Pengembangan biasanya mencerminkan ketiadaan faktor-faktor


yang berkontribusi terhadap fungsi tim yang baik . Hambatan tersebut dapat meliputi:

(1)

kepemimpinan yang tidak efektif (2)Kurangnya kejelasan atau ketidaksepakatan tentang tujuan
program atau prioritas (3)Komunikasi yang buruk dan tidak konsisten (4) Perbedaan Interprofesional atau agenda yang berbeda (5) konflik interpersonal (6) Persaingan prioritas organisasi
(7) Pendekatan konseptual yang berbeda (8) Takut akan perubahan (9 )Sebuah keengganan untuk
menerima anggota tim baru (10) Kegagalan untuk bekerja menuju tujuan yang disepakati atau
target.
Strategi dalam kolaborasi interpersonal yang efektif : (a) modernisasi program pendidikan
kesehatan dan model praktek klinis dalam rangka mempersiapkan tenaga kesehatan untuk merespon
perubahan kebutuhan kesehatan penduduk (b) mengembangkan pemimpin sistem kesehatan yang
memiliki keterampilan untuk mengelola perubahan, merespon tantangan-tantangan yang muncul
dan berkembang / menerapkan sistem kesehatan cerdas; (c) meningkatkan pemanfaatan tenaga
kerja, sehingga semua penyedia, diatur dan tidak diatur, bisa berlatih dengan lingkup dan
kompetensi penuh mereka; (d) meningkatkan perekrutan dan retensi tenaga kesehatan terampil
dalam bidang kebutuhan tinggi, termasuk pengaturan pedesaan dan terpencil; (e) meningkatkan
pemantauan akuntabilitas dan kinerja untuk kolaborasi interprofessional dan kualitas kehidupan

kerja melalui pengembangan indikator nasional dan standar, benchmarking dan pelaporan; (f)
membangun kapasitas dan mendukung penyerapan kolaborasi interprofessional dan lingkungan
kerja yang sehat; dan memperkuat bukti kualitas ekonomi dan dampak perawatan kolaborasi
interprofessional dan lingkungan kerja yang sehat.

Daftar Rujukan

Boelen C. (1996). The five-star doctor: an asset to healthcare reform? WHO. Available from:
http://www.who.int/hrh/en/HRDJ_1_1_02.pdf
Konsil Kedokteran Indonesia. (2012). Standar kompetensi dokter indonesia.
Konsil Kedokteran Indonesia. (2007). Standar kompetensi dokter gigi spesialis. Available
from: http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/Standar_Kompetensi_Dokter_Gigi_Spesiali.pdf
Lubis, F. (2008). Dokter keluarga sebagai tulang punggung dalam sistem pelayanan
kesehatan. Majalah Kedokteran Indonesia, 58(2):27-34. Available from:
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/566/563
Masrul. (2011). Overview dan sejarah kurikulum pendidikan dokter indonesia (pdf).
Available
from:
http://ilearn.unand.ac.id/pluginfile.php/12521/mod_resource/content/1/Bahan%20blok
%201.1%20tahunn%202011.pptx
Sudarma, Momon. (2008). Sosiologi kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Alligood M. R., & Alligood & Tomey A., M. (2002) .Nursing theorists and their work.
St.Louist Missouri: Mosby Inc
http://www.ada.org/sections/educationAndCareers/pdfs/dental_history.pdf, diaksws pada
tanggal 28 Februari 2015, pukul 15.33 WIB
http://apoteker.uad.ac.id/?p=74, diakses pada tanggal 28 Februari 2015, pukul 12.27 WIB
Naskah Akademik Pendidikan Kesehatan Masyarakat yang disusun oleh Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat (IAKMI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan
Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) .

Ontario Family Health Teams. Guide to collaborative team practice. 2005. pp.10
http://www.hc-sc.gc.ca/hcs-sss/hhr-rhs/strateg/p2/index-eng.php , diakses pada tanggal 28

Februari 2015, pukul 19.42 WIB


http://apoteker.uad.ac.id, diakses pada tanggal 28 Februari 2015, pukul 16 47 WIB
http://widya-adrianingtias.blogspot.com/2012/03/peran-ahli-gizi.html, diakses pada tanggal
28 Februari 2015, pukul 16.51 WIB

Anda mungkin juga menyukai