Anda di halaman 1dari 26

JOURNAL READING

NEUROPATHIC PAIN
MECHANISM AND THEIR CLINICAL IMPLICATION

Oleh :
Anindita P. Hapsari G99141012
Siska Dewi A. G99141013
Candra Aji S. G99141014
Avamira Rosita P.

G99141015

Elizabeth Puji Y.

G99141016

Siti Arifah

G99131079
Pembimbing :

dr. Rivan Danuaji, Sp.S, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
Nyeri Neuropatik : Mekanisme dan Implikasi klinis

Abstrak
Nyeri neuropatik dapat timbul setelah terjadi kerusakan/ lesi pada saraf, ketika
perubahan yang merusak terjadi pada saraf yang mengalami kerusakan dan juga
pada jalur nosiseptik dan jalur modulator desendens pada sistem saraf pusat.
Banyak sekali neurotransmitter dan substansi lain yang ikut terlibat dalam
perkembangan dan pemeliharaan nyeri neuropatik juga berperan dalam gangguan
neurobiologik. Hal ini mungkin dapat menjelaskan tingginya angka morbiditas
untuk nyeri kronis, gangguan tidur, kondisi psikologis seperti depresi dan
mengapa obat yang efektif untuk satu kondisi dapat bermanfaat juga untuk
kondisi yang lain. Nyeri neuropatik dapat dibedakan dari nyeri non-neuropatik
melalui dua faktor. Pertama, pada nyeri neuropatik tidak didapatkan adanya
transduksi (perubahan dari stimulus nosiseptif menjadi impuls listrik). Kedua,
prognosisnya lebih buruk : kerusakan pada saraf utama lebih mungkin
menghasilkan nyeri kronis daripada kerusakan pada jaringan non-saraf.
Selanjutnya, nyeri neuropatik cenderung refrakter dibandingkan nyeri nonneuropatik pada pemberian analgesik konvensional seperti AINS dan opioid.
Bagaimanapun, pertimbangan tumpang tindih terkait mekanisme dan modalitas
terapi antara nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptik, akan lebih bermanfaat jika
melihatnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda dalam satu kesatuan.
Review ini fokus pada mekanisme nyeri neuropatik, yang menitikberatkan pada
implikasi klinis.
Pendahuluan
Nyeri adalah mekanisme pertahanan yang mengindikasikan adanya kerusakan
jaringan yang sedang berlangsung atau yang akan terjadi. Berdasarkan laporan
Institute of Medicine pada tahun 2011, sepertiga penduduk Amerika mengalami
nyeri kronis, yang sebgin besar disebabkan oleh kombinasi penyakit jantung,
kanker dan diabetes. Di Eropa, prevalensi nyeri kronis adalah 25-30%. Seperlima
dari total yang dilaporkan memiliki nyeri kronis, diakibatkan oleh nyeri
neuropatik.

Dasar terapi berdasarkan mekanisme


Salah satu alasan tingginya angka prevalensi nyeri kronis, lebih tepatnya nyeri
neuropatik adalah tidak adanya terapi yang efektif. Tidak seperti obat opioid dan
AINS, yang dibuat sebagai acuan terapi untuk nyeri nosiseptif, sebagai tambahan
untuk terapi nyeri neuropatik yang cenderunghanya memberikan sedikit efek dan
hanya pada sebagian kecil pasien. Alasan utamanya adalah ketidakmampuan
untuk mengatasi mekanisme penyakit yang utama secara tepat; oleh karena itu
sindrom (seperti fibromyalgia), yang mekanisme patofisiologinya kurang jelas,
cenderung dihubungkan dengan tingkat keberhasilan terapi yang lebih rendah dari
jumlah penyakitnya.
Secara umum, terapi berdasarkan mekanisme penyakit, yang target
spesifiknya pada mekanisme nyeri, lebih utama dibandingkan terapi berdasarkan
penyakit atau terapi berdasarkan penyebab, yang mana target jauh dari penyebab
yang paling mendekati. Ini mungkin salah satu alasan mengapa banyak obat yang
berhasil dalam percobaan preklinik gagal dalam percobaan klinik. Seperti pada
aturan umumnya, kondisi yang meyakitkan (nyeri) seperti pada arthritis inflamasi,
yang mana mekanisme penyakitnya jelas, memiliki terapi yang lebih efektif.
Tetapi pada prakteknya, menemukan/menjelaskan mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap gejala neuropatik merupakan hal yang sulit. Satu metode untuk
mengidentifikasi mekanisme dan memperediksi keberhasilan terapi adalah
menggunakan tes infus intravena, seperti ketamin IV untuk memprediksi respon
dextrometorphan atau reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat) antagonis lain.
Bagaimanapun, percobaan ini sudah dievaluasi dan hasilnya terapi ini secara
metodologis banyak kekurangan dan selalu dilaporkan dengan nilai prediksi yang
rendah.
Puluhan tahun lalu, beberapa review yang menuliskan mengenai
mekanisme nyeri neuropatik, sebagian besar disusun oleh ilmuwan saraf
(neuroscientist). Namun, penting juga bagi seorang klinisi untuk memahami
mekanisme nyeri neuropatik juga, karena pemahaman ini dapat membawa ke
penelitian lebih lanjut dan sebagai panduan praktek klinis.

Metode Pencarian
Pada bulan September 2013, kami mencari database pada Medline via PubMed
dan Ovid, Embase, dan CINAHL Plus menggunakan kata kunci neuropathic
pain,

sensitization,

neuroplasticity,

mechanisms,

reorganization,

sympathetically maintained, antinociceptive, dan descending modulation,


tanpa pembatasan tanggal. Untuk bab tertentu, kata kunci yang berkaitan dengan
topic spesifik dan mekanisme diidentifikasi dari pencarian awal (contohnya, ion
channel expression, cytokine, glial cell) dan dicari menggunakan database
yang sama.Artikel tambahan dan referensi utama didapatkan dengan

cross

referencing semua terminologi pencarian dengan artikel review dan pencarian


pada daftar referensi. Kami memilih penelitian pada hewan, penelitian
eksperimental dan clinical trials yang dipublikasikan dalam Bahasa Inggris.
Fisiologi dan klasifikasi
Empat elemen dasar nyeri sebagai respon terhadap kerusakan jaringan mencakup :

Transduksi : fungsi nosiseptor yang mengubah rangsang berbahaya/

merugikan menjadi sinyal nosiseptif.


Transmisi : proses yang mengirim sinyal nosiseptif bersama serabut saraf

dari lokasi lesi ke sistem saraf pusat (SSP).


Transformasi : mekanisme yang memodulasi sinyal nosiseptif pada loksi
sinaps dan pada tingkat SSP melalui fasilitasi dan inhibisi asendens,

desendens dan regional.


Persepsi : komponen

penting

pada

pengalaman

nyeri

yang

mengintgrasikan respon kognitif dan afektif (emosional).


Pada perkembangannya, aktivasi nosiseptor mekanik ambang tinggi atau
nosiseptor khusus tipe lain berperan sebagai protektor, penanda adanya
rangsang berbahaya. Tetapi meskipun nyeri inflamasi bersifat adaptif, evolusi
gagal menerangkan mengenai peningkatan kemampuan kita untuk bertahan
terhadap trauma, penyakit atau trauma iatrogenik direncanakan untuk
memperpanjangatau meningkatkan kualitas hidup (seperti tindakan bedah).
Pada konteks ini nyeri tidak lagi sebagai fungsi yang bermanfaat namun
menjadi penyakit itu sendiri.
Meskipun mudah untuk mengkonsepkan nyeri sebagai wujud yang
homogen, hal ini terlalu sederhana. Pada kenyataannya ada beberapa tipe,

setiap tipe dengan mekanisme neurobiologi dan patofisiologi yang berbedabeda. Kategori paling umum, membagi nyeri menjadi dua tipe utama : nyeri
neuropatik dan nyeri nosiseptif (tabel 1). Perbedaan ini penting karena tidak
hanya merefleksikan penyebab nyeri tapi juga menginformasikan mengenai
terapi.
Nyeri nosiseptif dapat diklasifikasikan sebagai somatik (contoh otot,
sendi) atau sedikit lebih sering, viseral (organ dalam). Karena tingginya
konsentrasi dari nosiseptor pada jaringan somatik, ciri nyeri somatik kronik
adalah lokasi nyeri jelas dan sering merupakan hasil dari proses degeneratif
(seperti artritis). Sebaliknya, organ dalam tidak respon terhadap rangsang
nyeri klasik, seperti luka potong dan luka terbakar, tetapi respon terhadap
iskemia (sebagai contoh, angina), inflamasi (appendisitis), atau oklusi yang
mengakibatkan distensi kapsuler (obstruksi usus besar).
Tabel 1. Klasifikasi nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptif
Karakteristik klinis
Penyebab

Deskripsi

Defisit sensorik

Defisit motorik

Hipersensitivitas

Nyeri neuropatik
Kerusakan pada sistem
saraf, sering disertai dengan
perubahan maladaptif pada
sistem saraf
Nyeri perih, nyeri tembak,
nyeri seperti sengatan listrik,
nyeri tusuk
Sering terjadi contoh :mati
rasa, rasa geli, rasa tusuk

Nyeri nosiseptik
Kerusakan pada jaringan

Nyeri berdenyut, nyeri tekan

Jarang terjadi; jika ada


mereka memiliki distribusi
non-dermatomal
Kelemahan
neurologis Mungkin terjadi kelemahan
mungkin muncul jika saraf yang disebabkan nyeri
motorik terkena; distonia
atau
...
mungkin
berhubungan dengan lesi
sistem saraf pusat dan
terkadang
lesi
perifer
(seperti
sindrom
nyeri
regional kompleks)
Nyeri sering dicetuskan oleh Jarang
terjadi
kecuali
rangsang
yang
tidak hipersensitivitas pada area ..
menyakitkan (alodinia) atau dari .. akut

Karakter

Paroksisme/ serangan akut

Tanda otonom

rangsang yang menyakitkan


(respon berlebihan)
Sering terjadi nyeri yang Penjalaran nyeri ke distal
menjalar ke distal
jarang terjadi, nyeri yang
menjalar ke proksimal lebih
umum terjadi
Sering kambuh dan tidak Kekambuhan jarang terjadi
dapt diprediksi
dan sering dikaitkan dengan
aktivitas
Perubahan warna dan suhu, Jarang terjadi
bengkak,
aktivitas
sudomotor
(berkeringat)
terjadi
pada
sepertiga
sampai separuh pasien

Nyeri neuropati didefinisikan sebagai nyeri yang dihasilkan dari kerusakan


atau disfungsi dari sistem somatosensoris. Dalam nyeri neuropati kerusakan
jaringan dapat memberikan efek secara langsung terhadap sistem saraf,
menghasilkan generasi yang memberhentikan ektopik yang dapat berlanjut pada
transduksi. Salah satu sub tipe nyeri neuropati adlaah nyeri sentral (nyeri yang
terjadi karena kerusakan medula spinalis), yang bermanifestasi pada kumpulan
tanda dan gejala yang mengikuti hasil dari sistem saraf pusat, tetapi tidak selalu
cukup. Walaupun banyak bentuk dari nyeri nosiseptif, ada beberapa bentuk dari
nyeri nosiseptif yang memberikan keuntungan, nyeri neuropati yang kronis selalu
maladaptif.
Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, diperkirakan prevalensi
nyeri neuropati meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir sejak
perkembangan peralatan yang digunakan untuk mengidentifikasi nyeri. Kurang
lebih ada 15-25% orang dengan nyeri kronik mengalami nyeri neuropati.
Bagaimanapun prevalensi dari nyeri neuropati mengingkari akibat sosial ekonomi,
karena beberapa penelitian menunjukkan asosiasi yang besar dari pengaruh
negatif dalam kualitas hidup daripada nyeri nosiseptive.
Emosi versus aspek fisiologis

Kesalahan konsep yang sering terjadi adalah bahwa nyeri merupakan


fenomena fisiologi murni. Kenyataannya, nyeri merepresentasikan paket integrasi
akhir, komponen-komponen yang mempengaruhi proses neurofisiologis adalah
suasana, psikologi, dan faktor sosial budaya. Ini merupakan salah satu alasan
untuk disepranciesI antara penelitian preklinik (yang mengukur peniingkatan
toleransi pada stimulus nyeri pada hewan (anti nosiseptive)), penelitian klinik
(yang menaksir kesebuhan) dan praktek klinik yang mengukur kefektivitasan
(tabel 2). Kebanyakan dikarenakan \faktor-faktor tersebut dan perbedaan
neurofisiologis antara individu, derajat patologi, menunjukkan korelasi yang
rendah dengan intensitas nyeri untuk beberapa kondisi seperti nyeri tulang
belakang. Kondisi seperti fibromyalgia memiliki keluhan skor nyeri yang tinggi
walaupun ketidakjelasan dari penyakit.
Perintah syaraf yang kedua muncul di sum-sum tulang belakang mentransmisikan
input nosiseptf ke talamus melalui jalur ascenden seperti trakstus spinotalamikus,
yang berfungsi sebagai stasiun relay ke pusat kortex yang lebih tinggi. Pusat-pusat
tersebut adalah:
-

cortex cingulata anterior, yang terlibat dalam kecemasan, antisipasi nyeri,


dan respon motor.

Cortex insular, yang memiliki peranan penting dalam sensor diskriminatif


dan aspek affektive dari nyeri yang berkontribusi pada respon emosi
negatif dan penyakit yang berhubungan dengan stimulus nyeri.

Cortex prefrontal, yang merupakan bagian penting untuk integrasi


sensoris, membuat keputusan, mengingat, dan proses perhatian dalam
hubungannya dengan nyeri.

Cortex somatosensoris primer dan sekunder yang melokalisasi dan


menginterpretasikan stimulan berbahaya.

Nukleus accumbens, yang terlibat dalam analgesik plasebo.

Amygdala, hipocampus, dan bagian lain dari sitem limbik, yang terlibat
dalam pembentukan dan penyimpanan ingatan yang behubungan dengan
kejadian emosional, mempengaruhi, menimbulkan, dan perhatian pada
nyeri dan pembelajaran.

Karena nyeri merupakan pengalaman yang multi dimensi, faktor


psikologis seperti depresi, somatisasi, copying mechanism yang rendah, stressor
lingkukngan, dan kepuasan kerja yang negatif dapat memprediksi perkembangan
nyeri yang kronik setelah episode akut. Bagaimana nyeri tersebut muncul
mempengaruhi bagaimana kita merasakannyeri tersebut. Inilah mengapa luka
yang diakibatkan selama bermain sepakbola terasa lebih ringan daripada luka
yang dirasakan diakibatkan ketika seorang sedang berjalan ke sekolah, dan inilah
mengapa nyeri akut, yang kita antisipasi lebih baik daripada mentoleransi nyeri
kronik.
Tabel 2. Perbedaan nyeri pada model hewan dan nyeri klinik
Variabel
Metode studi

Model hewan
Nyeri klkinik
Defisiensi pada kebutaan, Perhatian yang meningkat
randomisasi, dan kalkulasi pada kualitas metodologi
tenaga

(jumlah

yang dalam

percobaan

skala

rendah ) sangat sering


besar
Pelatihan waktu dalam Menit ke jam ke hari, Minggu ke bulan ke tahun,
perkembangan

kebanyakan mirip dengan biasanya

mirip

dengan

Pola

waktu kerusakan jaringan


waktu kerusakan jaringan.
Meningkatkan eksibilitas Mengubah kualitas nyeri
syaraf, menurkn ambang dengan atau tanpa defisit
nosiseptif, dan meluaskan neurologi

presentasi

area reseptif
Kebanyakan

mati

rasa, kelemahan)
hyperalgesia Biasanya nyeri spontan,

dan allodyna, jarang yang biasanya


mengalami

(seperti

perubahan syaraf

sikap kontralateral

meluas
tunggal

distribusi

pada
atau

dermatom,

respon kontralateral dapat


muncul,
Komponen afektif

Absen atau tidak diketahui

respon

sering ditemui
Kontributor yang
pada

pengalaman

sikap
kuat
nyeri,

memiliki pengaruh yang


kuat dalam memperngaruhi

Intervensi

Perubahan

sikap

hasil pengobatan
dapat Pendekatan yang serupa

dicegah atau dikembalikan (membloking elemen kunci


(atau

keduanya)

dengan di

cara

memblok

elemen kebanayak

kunci di dalam sel

dalam

hasil

yang

sel)

yang

memberikan
negative

di

dalam percobaan, interval


panjang hasil yang positif
dan
Outcome

implementasi

dari

intervensi dalam praktek


Mempertimbangkan lebih Mempertimbangkan
dari

rangkaian

minggu,;
pengobatan

hari

respon
lebih

ke rangkaian dari minggu ke


pada bulan

untuk percobaan

tinggi klinik, dan bulan ke tahun

daripada percobaan klinik

untuk

praktik,

angka

kesuksesan lebih rendah


daripada

pada

model

hewan, terutama di praktik


klinik

Mekanisme periferal
Sensitisasi perifer
Ketika luka muncul, peradangan dan proses perbaikan muncul,
menginisiasi status hiperexcitable yang diketahui sebagai sensitasi periferal. Pada
kebanyakan pasien, status ini merupakan proses penyembuhan dan penurunan
peradangan. Bagaimanapun ketika nosiseptif menetap karena stimulasi yang terus
menerus dari luka atau penyakit (contohnya diabetes) perubahan dari syaraf aferen
primer dapat menetap.
Beberapa faktor berkontribusi di dalam senitisasi periferal. Mediator
peradangan seperti gen kalsitonin yang berhubungan dengan peptida dan substansi
P, yang dihasilkan dari terminal nosiseptor, meningkatkan permeabilitas vaskuler,

menimbulkan edema lokal, dan menghasilkan berbagai produk dari luka seperti
prostaglandin, bradikinin, growth factors, dan sitokin. Substasnsi tersebut dapat
mensensitisasi excite nosiseptor, menghasilkan penurunan ambang dan pelepasan
ectopic. Kenyataannya beberapa substansi dapat mensensitisasi nosiseptor yang
sebagian dapay menjelaskan mengapa tidak ada obat yang secara umum efektif
dan ada efek atap untuk antagonis yang bekerja hanya pada satu reseptor (seperti
NSAID)
Pelepasan ektopik dapat memberikan peningkatan nyeri yang spontan dan
berasal dari radix ganglion dorsal., titik lain sepanjang syaraf, atau serabut
terdekat yang tidak terluka menjadi tereksitasi dari hasil non sinaptik cross talk
yang diketahui sebagai transmisi ephaptic. Alllodyna merupakan nyeri
yangdihasilkan dari stimulus non-painful, dan hal tersebut dapat terjadi karena
adanya penurunan ambang. Allodyna dapat diklasifikasikan sebagai mekanis
(nyeri yang berespon pada sentuhan cahaya) atau suhu, dan itu dapat dideteksi
dengan pemeriksaan fisik. Contohnya adalah pasien diabetes dengan neuropati
diamana kaki pasien seperti menggunakan kaos kaki.
Hiperalgesia merupakan persepsi nyeri yang berlebih yang diakibatkan
oleh kerusakan dari serabut periferal dan hal tersebut dapat dikatagorikan sebagai
primer atau sekunder. Hiperalgesia primer terjadi pada kerusakan jaringan hasil
dari sensitisasi nosiseptor periferal (contohnya adalah rasa lembut setelah
terpotong), dan hiperlgesia sekunder dapat dilihat dari jaringan terdekat yang
tidak mengalami kerusakan memberikan sensitisasi ke sistem saraf pusat dan
dapat ditaksir dengan objek yang tajam. Hal ini dapat diakibatkan oleh transmisi
ephaptik atau ekspansi dari area reseptor yang mengalami luka. Contoh klinis dari
hyperalgesia adalah seseorang yang mengalami amputasi dan tidak dapat
menggunakan prostesa karena bagian puntung yang melunak. Allodyna dan
hyperalgesia merupakan bentuk dari bangkitan, atau stimulus yang dependen.
Walaupun nyeri neuropati yang spontan lebih sering muncul dan membuat stress
daripada bangkitan nyeri . hal ini masih belum begitu jelas apakah hewan dapat
mengembangkan bangkitan nyeri yang diinisiasi dai model kerusakan syaraf
periferal yang menimbulkan nyeri yang spontan.

Gambar 1. Diagram nyeri normal seperti allodynia dan hiperalgesia setelah injury
Ekspresi dari chanel ion
Salah satu kontributir yang dapat menstimulus serabut syaraf setelah luka
adalah peningkatan ekspresi dari kanal natrium di radix ganglia dorsalis dan di
sekitar tempat terminal nyeri dari axon yang mengalami luka. Sejak penemuan ini
penelitian preklinik akan hal tersebut menunjukkan bahwa adanya variasi dari
kanal natrium yang terlibat dalam nyeri. Setelah adanya kerusakan pada syaraf,
ekspresi dari beberapa kanal meningkat secara de novo, ekspresi dari pengurangan
yang lain dan beberapa translokasi ke dlam kompartemen sel yang berbeda.
Proliferasi dari kanal natrium sperti Nav 1.3, Nav 1.7, dan Nav 1.8 dapat
menurunkan stimulus ambang dan menstimulasi pelepasan ektopik, menghasilkan
nyeri yang spontan. Penyebaran kanal natrium dapat meningkatkan sensitisasi
sentral, menimbulkan allodyna. Beberapa obat-obatan seperti carbamezapin, dapat
memblokade kanal natrium. Karena tidak ada obat yang selektif untuk sub tipe

kanal yang terlibat di dalam nyeri, semua memiliki indikasi terapi dan beberapa
efek samping.
Beberapa tipe kanal kalsium (N-Type, T-Type, dan L-Type) dan penurunan
lebar dari kanal kalium (hiperpolarisasi mengaktifkan kanal siklus nukleutida),
juga memainkan peran penting dalam nyeri neuropati. Setelah kerusakan syaraf,
ekspresi dari a2d kanal kalsium meningkat dalam dan sekitar radix ganglia
dorsalis, meningkatkan eksitabilitas. Voltase dari kanal kalsium merupakan aksi
primer untuk gabapntinoid, sebagai first line treatment untuk nyeri neuropati,
yang sudah ditunjukkan dalam beberapa penelitian pre klinik untuk menuunkan
hyperalgesia dan nyeri spontan (tabel 3).
Pergantian fenotipik
Perbedaan syaraf memiliki perbedaan properti dari saraf yang lain yang membuat
mereka menunjukan fungsi spesifikasi (serabut A dan serabut C yang
mentransmisikan nyeri). Setelah trauma pada serabut syaraf, ratusan gen
mempengaruhifungsi syaraf yang yang dapat ditingkatkan atau diturunkan
regulasinya. Dan hal ini dapat mempengaruhi ekxitabilitas, seperti halnya
transduksi dan transmisi. Karena ekspresi gen mmpengaruhi karakteristik dari sel,
hal ini dapat mengakibatkan perubahan fenotip pada serabut syaraf, seperti
neuromodulator yang biasanya diekspresikan di serabut C (seperti gen kalsitonin
yang berhubungan dengan peptida, substansi P) yang saat ini diekspresikan oleh
serabut saraf yang lain. Secara teori hal ini merupakan hasil dari stimulasi yang
biasanya tidak berbahaya yang diinterpretasikan sebagai nyeri.
Denervasi sensoris dan pertumbuhan serabut syaraf colateral
Setelah adanya kerusakan syaraf sensoris, terjadi peruabahan atripok (degenerasi
walerian) menyebabkan penurunan ukuran dari badan sel dan diameter axon, yang
selanjutnya dapat mengakibatkan kematian syaraf. Hal ini mengarah pada
penurunan kepadatan intraepidermal nosiseptor. Dilihat dari tipe kerusakan syaraf,
hal ini dapat menyebabkan hilangnya sensasi atau kebalikannya, hyperalgesia dan
meningkatkan nyeri (nyeri diferensiasi). Memutuskan hubungan antara syaraf dan
oragan yang dipersarafi juga menghilangkan growth factor pada syaraf dan

neurotropfin lain, yang penting di dalam pertumbuhan dan pemeliharaan dan


sebagai pelayan sinyal molekul. Salah satu contoh dari nyeri deaferensiasi adalah
nyeri

phantom

limb

setelah

amputasi.

Walaupun

penelitian

mengenai

elektrodiagnostik dapat normal bagi orang yang kehilangan transmisi serabit nyeri
yang kecil, penurunan kepadatan serabut C saat dilihat dari biopsi kulit. Respon
dalam pelepasan growth factor syaraf, pertumbuhan solateral mungkin dapat
diikuti dengan kehilangan persyarafan.
Nyeri yang dipertahankan oleh saraf simpatik
Nyeri yang dipertahankan oleh saraf simpatik adalah nyeri yang
ditingkatkan atau dipertahankan oleh kelainan pada sistem saraf simpatik.
Hubungan fungsional antara sistem saraf simpatik dan saraf somatosensori setelah
cedera saraf telah diketahui sejak perang saudara Amerika Serikat. Meskipun
konsep tentang nyeri yang dipertahankan oleh sistem simpati paling sering
dikaitkan dengan sindrom nyeri regional kompleks, prinsip yang sama berlaku
juga untuk kondisi nyeri lainnya seperti neuralgia postherpetik. Interaksi yang
terjadi antara sistem otonom dan somatosensori yang secara anatomis memang
berbeda sangatlah kompleks. Interaksi yang terjadi kemungkinan seperti pada
ekspresi adrenoseptor pada serat sensorik aferen primer, saraf simpatik yang
tumbuh ke ganglia radix dorsal, dan gangguan oksigenasi serta nutrisi akibat
vasokonstriksi yang dimediasi sistem saraf simpatik. Secara klinis, nyeri yang
dipertahankan sistem simpatik dapat bermanifestasi sebagai: perubahan suhu atau
warna (atau keduanya) pada ekstremitas yang terkena, pembengkakan atau atrofi,
dan nyeri diperburuk oleh cuaca dingin, stres, atau peristiwa lain yang
meningkatkan aliran simpatis. Di antara berbagai tes diagnostik yang digunakan
untuk mendeteksi nyeri simpatik, studi klinis telah menemukan bahwa uji blok
simpatis lebih sensitif tetapi kurang spesifik daripada infus intravena
phentolamine.

Gambar 2. Diagram menunjukkan tempat .bekerjanya berbagai golongan

Mekanisme
FosforilasiTRPV 1 oleh
protein
kinase C

Gejala
Hiperalgesi
a, terbakar,
dan nyeri
spontan
lainnya
Nyeri
spontan,
hiperalgesi
a,
peradangan

Target
TRPV-1

Tatalaksana
Capsaicin

Bukti
Bukti kuat
untuk nyeri
neuropatik
perifer

Sitokin, seperti
TNF-, IL-1,
IL-6, dan
interleukin
lainnya

Inhibitor sitokin
(seperti
etanercept,
infliximab)

Pelepasan
faktor
pertumbuhan
saraf dan
neurotropik
lainnya dari
sel mast

Hiperalgesi
a, terbakar
dan nyeri
spontan
lainnya,
peradangan

Faktor
pertumbuhan
saraf dan
reseptornya
(TrkA / P75)

Inhibitor faktor
pertumbuhan
saraf (seperti
tanezumab)

Pelepasan
substansi P
di cornu
dorsal

Hiperalgesi
a

Reseptor NK1

Antagonis
reseptor NK1
(seperti
aprepitant)

Proliferasi
dan
redistribusi
saluran
natrium

Nyeri
spontan,
tanda Tinel

Saluran natrium
yang sensitif
dan resisten
terhadap
Tetrodotoxin

Stabilisator
membran
(seperti
carbamazepine,
lamotrigin) dan
antiaritmia
(seperti lidokain
sistemik,
mexiletine)
Kanabinoid
alami dan
sintetis (seperti
ganja,
dronabinol)

Bukti kuat
untuk
arthritis
inflammator
y; hasil yang
bertentangan
dalam studi
manusia
untuk nyeri
neuropatik
Moderate
clinical
evidence for
inflammator
y pain (such
as arthritis),
evidence for
neuropathic
pain in
preclinical
studies
Bukti dalam
studi
praklinis
tetapi tidak
secara klinis
Bukti
sedang
sampai kuat
untuk nyeri
neuropatik
perifer

Pelepasan
sitokin
proinflamasi
dari sel-sel
kekebalan
tubuh

Peningkatan Hiperalgesi
ekspresi
a
reseptor
cannabinoid
dalam sistem
saraf perifer
dan pusat,
dan pada sel
glial

CB1 dan CB2

Aktivasi
reseptor
NMDA
spinal

reseptor NMDA

Hiperalgesi
a, toleransi
opioid

Antagonis
reseptor NMDA
(seperti
ketamin,
dekstrometorfan
, memantine)

Bukti
praklinis
dan klinis
yang kuat
untuk efek
sederhana
untuk nyeri
neuropatik
sentral dan
perifer, dan
nyeri
peradangan
Strong
evidence in
preclinical
and clinical
trials for
peripheral
and central

Tabel 3. Bukti untuk farmakoterapi berdasarkan mekanisme nyeri neuropatik


Mekanisme spinal
Komponen spinal yang berperan penting pada mekanisme nyeri
neuropatik adalah plastisitas sinaptik dalam bentuk sumasi temporal dan spasial
(peningkatan respon saraf terhadap stimulasi nyeri berulang dalam waktu dan
daerah tertentu). Komponen lainnya termasuk bidang reseptif nosiseptif diperluas
dan neuron urutan kedua, dan peningkatan eksitabilitas saraf aferef jalur nosiseptif
yang mengirimkan sinyal rasa sakit ke daerah supraspinal. Perubahan
neuroplastisitas tersebut terjadi di sepanjang jalur nociceptive di medulla spinalis
dan di beberapa daerah otak.
Di sirkuit saraf, sinyal nosiseptif yang dihasilkan oleh kerusakan saraf
dimodulasi oleh inhibisi dan fasilitasi supraspinal desendens yang menyatu ke
neuron cornu dorsal (atau keduanya). Pada tingkat sel, transmisi sinyal nosiseptif
dalam sistem saraf pusat diatur oleh elemen seluler dan intraseluler yang meliputi:

Kanal ion Na+, Ca++, K+


Reseptor ionotropik atau
GABAergik

(asam

metabotropik

aminobutirat),

seperti

glutamatergik,

serotoninergik,

adrenergik,

neurokinin, dan reseptor vanilloid


Sitokin inflamatori yang dilepaskan oleh sel glial aktif
Faktor pertumbuhan sel saraf
Regulator intrasel seperti protein kinase (contohnya: protein kinase C)
dan faktor transkripsional (contohnya: nuclear factor-B)

Gambar 3. Diagram ini menunjukkan mekanisme yang bervariasi yang terlibat


dalam terjadinya nyeri neuropati pada berbagai area yang berbeda disepanjang
jalur nosiseptif.
Regulasi Glutamat Sumsum Tulang Belakang
Kerusakan syaraf perifer meningkatkan eksitabilitas syaraf di sepanjang
susunan sumsum tulang belakang melalui aktivasi dari reseptor glutamat.
Kerusakan syaraf juga menimbulkan penurunan kemampuan transporter glutamat
sumsum tulang belakang dalam menjaga homeostasis kadar glutamat di sinaps.
Peningkatan dari jumlah glutamat sebagai akibat sekunder dari hilangnya
transporter glutamat dapat menyebabkan peningkatan aktivasi dari ionotropik
(contohnya NMDA dan AMPA) dan metabotropic reseptor glutamat yang
menetap, sehingga akan terjadi penurunan ambang rangsang serta peningkatan
eksitabilitas dan neurotoksisitas.

Istilah windup mengacu pada peningkatan yang signifikan dalam


frekuensi dan besarnya rangsangan nyeri pada neuron-neuron kornu dorsalis yang
dihasilkan oleh mekanisme aktivasi berulang pada serabut C, suatu fenomena
yang melibatkan aktivitas dari reseptor NMDA. Aktivitas glutamat sumsum tulang
belakang pada gilirannya dapat memulai jalur kaskade sinyal intraseluler yang
meliputi pengaktifan protein kinase C yang dapat menimbulkan perubahan jangka
panjang dari neuroplastisitas sumsum tulang belakang. Serupa dengan mekanisme
pusat glutamat dalam patogenesis dari berbagai penyakit neurologis seperti
epilepsi dan Alzheimer, reseptor glutamat ikut berperan dalam pengembangan
sensitisasi sentral, blokade dari reseptor NMDA dan non-NMDA telah terbukti
melemahkan nyeri neuropati pada hewan percobaan. Karena pengaruhnya
terhadap neuroplastisitas dan toksisitas, reseptor NMDA sudah dilibatkan dalam
berbagai hal seperti memori, toleransi opioid, dan hiperalgesia yang diinduksi
opioid suatu kondisi dimana penggunaan opioid secara paradok meningkatkan
sensitivitas nyeri. Secara klinis penggunaan antagonis reseptor NMDA untuk
mencegah toleransi opioid dan hiperalgesia masih mengecewakan. Penggunaan
jangka panjang dari obat-obat ini untuk mengatasi nyeri neuropatik kronik juga
memiliki hasil yang beragam, selain itu penggunaannya juga masih terbatas
dikarenakan efek sampingnya, khususnya efek psikomimetiknya. Penggunaan
infus ketamine sebagai pengobatan dari nyeri neuropati yang refrakter telah
memberikan ketertarikan, meskipun penelitian yang dilakukan masih terbatas oleh
kelemahan metodologi dan masih kurangnya pengamatan jangka panjang.
Penggunaan infus ini dalam dosis yang tinggi dapat mengembalikan kondisi
sistem syaraf pada keadaan sebelum injuri yang dasarnya adalah mengembalikan
sensitisasi pusat.
Aktivasi Glial dan Sitokin Proinflamasi
Peran dari aktivasi glial dan sitokin proinflamasi dalam nyeri neuropati
sudah dipelajari secara luas. Sitokin proinflamasi terdiri dari IL-1, IL-6, dan
TNF- yang diproduksi sebagai respon perifer maupun sentral terhadap kerusakan
sel syaraf. Sitokin-sitokin ini memiliki peran penting dalam respon inflamasi
sesudah injuri pada syaraf melalui mediator intraseluler seperti protein kinase C

dan 3,5-cAMP. Sitokin proinflamasi juga berperan penting dalam sensitisasi


sistem syaraf pusat dan dapat berkontribusi terhadap munculnya allodynia,
hyperalgesia, dan pembentukan neuroma. Pada hewan percobaan, pemberian
inhibitor sitokin sebelum terjadinya kerusakan sel syaraf dapat meminimalkan
proses neuropatologi dan perilaku terkait nyeri. Meskipun dalam percobaan klinis
terkontrol lebih banyak dilakukan pada kasus nyeri radikulopati, penggunaan dari
inhibitor sitokin sistemik sebagian besar mengecewakan.
Sel glial menyusun sekitar 70% dari sistem syaraf pusat dan memainkan
peran penting dalam mempertahankan keseimbangan/homeostasis. Mikroglia
teraktivasi dalam waktu 24 jam dari kerusakan syaraf, astrosit mengikuti dengan
lebih lambat segera sesudahnya, dengan aktivasi yang menetap hingga 12 minggu.
Sel glial mengalami perubahan struktur dan fungsi segera setelah kerusakan
syaraf, astrosit mengeluarkan faktor pronosiseptif seperti prostaglandin, asam
amino eksitatori, dan sitokin-sitokin.
Sel-sel mikroglia hanya menyusun sekitar kurang dari 20% sel glial
sumsum tulang belakang dalam kondisi normal, namun sel ini dapat berproliferasi
dengan cepat di ganglia akar dorsalis dan sumsum tulang setelah cedera syaraf.
Dalam keadaan aktif sel mikroglia menstimulasi komponen komplemen dalam
sistem imunitas tubuh serta melepaskan sitokin, kemokin, dan zat-zat sitotoksik
seperti nitric oxide dan radikal bebas. Lingkaran proinflamasi ini dimulai dari
sinaps pada batang otak dan pada bagian syaraf yang mengalami injuri, kemudian
akan meluas ke bagian yang lebih jauh. Selanjutnya astrosit dan mikroglia akan
mengeluarkan sitokin-sitokin yang dapat menginduksi berbagai respon seluler
seperti peningkatan regulasi dari reseptor glukokortikoid dan glutamat, yang pada
akhirnya dapat menimbulkan eksitasi sumsum tulang belakang serta perubahan
neuroplastisitas. IL-1 juga meningkatkan kondisi fear memory (kondisi
ketakutan atau kecemasan terkait ingatan-ingatan yang berhubungan dengan
respon perilaku) melalui glukokortikoid, hal ini menunjukkan bahwa sitokinsitokin proinflamasi tersebut berpartisipasi dalam gambaran afek saat nyeri. Obatobatan yang memodulasi mikroglia seperti minocycline, pentoxifylline, dan

propentofylline sudah menunjukkan beberapa manfaat dalam hewan percobaan


dari nyeri neuropati, namun masih belum terbukti efektif secara klinik.
Mekanisme Supraspinal
Sinyal nosiseptif dapat berubah pada level supraspinal. Otak dari pasienpasien dengan nyeri kronis tampak berbeda dengan yang tidak mengalami nyeri,
dengan variasi-variasi dalam metabolisme dan kadar neurotransmiter pada area
talamus dan cingulate cortex. Perbedaan ini bervariasi tergantung pada tipe-tipe
pengalaman nyeri (contohnya; nyeri akut atau allodynia). Pada pasien dengan
nyeri neuropati terjadi reorganisasi area kortikal segera setelah injuri, besarnya
lokasi yang terlibat tampaknya bergantung dengan derajat nyeri. Sebagai contoh
pada kasus amputasi ekstremitas atas yang menimbulkan nyeri phantom limb, hal
ini disebabkan oleh representasi dari area somatotopik yang berdekatan, otak
meresponnya dengan memindahkan peta somatotopik tersebut ke wilayah gerakan
tangan dari korteks motorik, fenomena ini tidak terjadi pada pasien amputasi yang
tidak mengalami nyeri phantom limb. Pengamatan menunjukkan bahwa
perubahan-perubahan ini terjadi segera setelah injuri, hal ini membuktikan bahwa
disinhibisi bukan hanya satu-satunya dampak dari kerusakan sel syaraf, melainkan
dapat menyebabkan pasien menjadi lebih peka terhadap nyeri kronik.
Penelitia preklinik menggambarkan perubahan dalam ekspresi gen setelah
terjadi kerusakan syaraf sudah memberikan pengetahuan mengenai bagaimana
terjadinya perubahan dalam mekanisme transduksi sinyal dan neuroproteksi, serta
mekanisme apoptosis yang berkontribusi pada terjadinya nyeri neuropati.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada bagian supraspinal dapat menjelaskan
hubungan yang kuat antara nyeri neuropati dengan gangguan mood. Peneliti barubaru ini menemukan bahwa perubahan pada Corticotropin Releasing Factor
(CRF) memberikan sinyal padasistem limbik, area yang terlibat dalam perubahan
emosi, yang juga dapat berperan dalam perkembangan nyeri neuropati. Pasienpasien dengan nyeri kronik juga sudah menunjukkan terjadinya pengurangan area
gray matter jika dibandingkan dengan pasien kontrol dan kondisi seperti ini dapat
berbalik sebagian dengan pengobatan.

Disinhibisi
Tingkat Medula Spinalis
Setelah stimulus nociceptive ditransmisikan ke pusat-pusat kortikal yang
lebih tinggi, serangkaian kejadian yang berlangsung tersebut menghasilkan
aktivasi yang menghambat neuron sehingga mengurangi nyeri. Pada level medula
spinalis, ini dapat meningkatkan release GABA dan glisin dari terminal aferen
primer,

dan

meningkatkan

aktivitas

interneuron-interneuron

inhibitorik

GABAergic dan glycinergic pada kornu dorsalis. Interneuron spinal ini bersinaps
dengan terminal central dari neuron aferen primer, dengan demikian akan
mengurangi aktivitasnya, dan juga meregulasi aktivitas pada neuron sekunder.
Sistem spinal inhibitory mungkin dapat memberikan efek yang lebih besar dalam
meningkatkan mekanisme hiperalgesia dari pada thermal hiperalgesia.
Setelah nervi injury, kehilangan inhibitory dapat menghasilkan gangguan
produksi GABA dan mekanisme pengeluaran, mengganggu homeostasis
intraseluler dari pengurangan aktivitas K+-Cl cotransporter, atau meningkatkan
aktivitas Na+KCl cotransporter (atau keduanya), mengarahkan peningkatan
kadar Cl-, dan apoptosis dari interneuron spinal inhibitory. Kehilangan kontrol
inhibisi telah memperlihatkan provokasi taktil allodynia and hyperalgesia, dan
untuk mengfasilitasi perubahan struktural yang meningkatkan transmisi dari
serabut-serabut A yang normalnya mentransimikan rangsang tidak nyeri ke
neuron nociceptive spesifik sekunder pada kornu dorsalis.
Setelah nervi injury, ganglion radix dorsalis memicu penurunan ekspresi
dari reseptor opioid dan neuron-neuron spinalis sekunder sehingga menjadi
kurang responsive terhadap opiod. Sebaliknya, inflamasi mungkin menghasilkan
peningkatan jumlah dan ikatan dari reseptor-reseptor opioid, dengan demikian
dapat meningkatkan efikasi dari opioid. Ini mungkin dapat menjelaskan mengapa
pasien dengan nyeri neuropatik kronik membutuhkan dosis opioid yang lebih
tinggi daripada yang dengan nyeri nociceptive akut atau kronik. Pada studi
preklinik, pemberian dari antagonis reseptor NMDA, protein kinase C inhibitors,
dan agonis GABA-A telah menunjukkan perbaikan pada allodynia dan
hiperalgesia.

Uji klinis memberikan bukti bahwa besarnya pemberian ketamin


berpengaruh kecil dalam nyeri neuropatik, meskipun diberikan dosis tinggi
membuatnya sulit untuk mengidentifikasi mekanisme yang tepat untuk
bertanggung jawab atas analgesia. Terdapat beberapa bukti yang mendukung
penggunaan dari agonis GABA-B baclofen untuk neuralgia trigeminal, tetapi
kebanyakan bukti secara anekdot lebih menyukai benzodiazepin sebagai analgetik
(tabel 3).
Inhibisi descending memainkan peran penting dalam menentukan
bagaimana orang mengalami rasa sakit. Akhir-akhir ini, telah menunjukkan bahwa
modulasi descending dapat menjadi penghambat maupun fasilitasi, dengan sinyal
yang saling bertentangan sering timbul dari daerah yang sama. Keseimbangan
antara hambatan dan amplifikasi yang dinamis dan dipengaruhi oleh konteks,
perilaku, emosi, harapan, waktu, dan patologi. Setelah cedera, ada lonjakan awal
yang diperantarai oleh perubahan aktivasi dan ekspresi gen dari reseptor eksitatori
glutaminergik NMDA dan AMPA, dan selanjutnya penurunan rangsangan neuron
di rostral ventromedial medulla, yang menyebabkan fasilitasi dan inhibisi, secara
berturut-turut. Keuntungan evolusi perubahan ini adalah bahwa stimulus awal
diperkuat untuk memastikan bahwa hal tersebut diprioritaskan, tetapi sekali ini
terjadi otak berusaha untuk mengurangi dampaknya. Ekspektasi dan konteks juga
berperan dalam modulasi descending. Dalam suatu penelitian acak, 20 subyek
sehat dijadikan sasaran stimulasi listrik yang menyakitkan saraf sural setelah
lengan direndam dalam air dingin. Setengah subjek diberitahu bahwa perendaman
akan mengurangi nyeri, sedangkan setengah lainnya diberitahu bahwa itu akan
memperburuk rasa sakit. Normalnya, paparan terhadap stimulus berbahaya yang
berbeda secara spasial seharusnya mengurangi respon terhadap rasa sakit, sebuah
konsep yang dikenal sebagai "descending (atau difusi) noxious inhibitory
control." Studi ini menemukan bahwa kelompok dengan ekspektasi/harapan
analgesia mengalami penurunan sebesar 77% dalam intensitas nyeri selama
perendaman dibandingkan dengan tidak adanya penurunan yang signifikan
terhadap nyeri pada kelompok yang diantisipasi hiperalgesia. Selain itu,
perubahan yang sesuai dalam tingkat aktivitas tercatat di daerah kortikal yang
terlibat dalam inhibisi descending dan plasebo analgesia. Penemuan ini setuju

dengan penelitian lain yang telah menemukan bahwa sejumlah faktor psikososial
seperti
emosi, harapan, dan perhatian mempengaruhi kemampuan intrinsik kami dalam
menghambat rasa sakit. Hal ini menjelaskan mengapa ekspektasi/harapan positif
cenderung menghasilkan hasil pengobatan yang lebih baik dan tingkat respon
plasebo yang lebih tinggi, dan mengapa kita cenderung kurang merasakan nyeri
saat cedera terjadi ketika kita sedang disibukan (misalnya, selama pertandingan
olahraga daripada pada waktu tidur).
Tingkat Supraspinal
Descending pathways yang memodulasi transmisi sinyal nociceptor yang berasal
dari periaqueductal gray, lokus coeruleus, girus cingulata anterior, amigdala, dan
hipotalamus, dan disampaikan melalui inti batang otak di periaqueductal gray dan
medula ke medula spinalis. Transmiter inhibitor yang terlibat ini dalam jalur ini
termasuk norepinefrin (noradrenalin), 5-hydroxyitryptamine, dopamin, dan opioid
endogen. Setelah nerve injury, beberapa proses berlangsung melemahkan jalur
untuk mengurangi rasa sakit normal. Ini termasuk dalam berkurangnya
penghambatan tonik noradrenergik dan perubahan sebagian besar peran inhibitor
untuk fungsi fasilitasi dalam menurunkan modulasi serotonergik. Beragamnya
peran dari neurotransmiter ini untuk mempengaruhi nyeri, mood, dan tidur
mungkin sebagian menjelaskan tingkat komorbiditas yang tinggi antara rasa sakit,
depresi, kecemasan, dan gangguan tidur. Monoamine reuptake inhibitor seperti
antidepresan trisiklik tidak hanya efektif untuk nyeri neuropatik dan depresi,
tetapi juga mengurangi kecemasan dan meningkatkan kualitas tidur (gambar 3).
Nyeri neuropatik vs nyeri nociceptive: entitas yang berbeda atau bagian dari
suatu kesatuan yang sama?
Hal ini umumnya diketahui bahwa nyeri neuropatik dan nonneuropatik
adalah entitas yang berbeda, tetapi beberapa ahli membantah pernyataan ini,
mengingat ini bagian dari kecenderungan alamiah kita untuk mengkategorikan
sesuatu. Ada dua faktor utama yang membedakan nyeri neuropatik dari nyeri
nociceptive:
Nyeri nosiseptif

membutuhkan transduksi untuk mengkonversi sinyal non-

listrik (misalnya, mekanik) ke suatu elektrokimia, sedangkan nyeri neuropatik


melibatkan stimulasi saraf langsung.

Prognosis yang berbeda: kebanyakan orang dengan nyeri nociceptive (misalnya,


setelah operasi) pulih, tetapi cedera pada saraf utama (misalnya, plexopathy atau
amputasi anggota tubuh) sering mengakibatkan nyeri persisten.
Meski ketentuan "cedera saraf" pada nyeri neuropatik diperdebatkan.
Setelah stimulus nociceptive, kita merasa nyeri karena serabut saraf mikroskopis
yang tertanam dalam jaringan yang luka. Perbedaan antara nyeri neuropatik dan
non-neuropatik mungkin dapat dinilai dalam satu lingkup (cedera saraf besar vs
kecil), meskipun banyak bentuk nyeri neuropatik, seperti neuropati serabut kecil,
juga tidak melibatkan cedera saraf diskrit.
Ahli saraf menggunakan model yang jelas untuk nyeri non-neuropatik
(misalnya, Carrageenan) dan neuropatik, dan bahkan model yang berbeda (> 40)
untuk nyeri neuropatik sehingga mencerminkan berbagai penyebab (misalnya,
cedera

penyempitan

kronis,

model

spared

nerve

injury).

Namun,

neurotransmitter, neuropeptida, sitokin, dan enzim yang sama terlibat dalam kedua
jenis nyeri tersebut, dengan tingkat overlap yang besar. Antagonis reseptor
NMDA sering dianggap efektif hanya untuk nyeri neuropatik saja, menjadi sukar
terlibat dalam proses sensitisasi sentral, tapi studi praklinis dan klinis telah
menunjukkan bahwa hal tersebut mengurangi nyeri nociceptive juga. Demikian
pula, tegangan yang menjaga kanal calcium subunit -2 1 ditingkatkan pada
ganglion radix dorsalis yang mengalami injury tetapi tidak mengalami nyeri
inflamasi. Akan Tetapi, obat yang memblok kanal ini, seperti gabapentin, efektif
pada kedua model praklinis dari nyeri nosiseptif dan mencegah nyeri pascaoperasi
kronis bila diberikan terlebih dahulu. Sebaliknya, obat-obat yang secara luas
diketahui hanya efektif untuk nyeri nociceptive dapat juga mengurangi nyeri
neuropatik. NSAID banyak dipandang tidak efektif untuk nyeri neuropatik tanpa
ada pedoman utama malah menyebutkannya dalam algoritma mereka. Tapi studi
praklinis dan klinis menunjukkan efikasi NSAID di pada keadaan nyeri
neuropatik,dan umumnya diresepkan karena nyeri neuropatik (tabel 2 dan 3).
Penting untuk dicatat bahwa ascending spinal pathways, daerah
supraspinal yang memproses sinyal tersebut, dan jalur modulasi descending pada
dasarnya sama untuk nyeri neuropatik dan non-neuropatik. Hal ini menciptakan
perbedaan antara klasifikasi taksonomi rasa sakit dan klasifikasi fungsional dan
praktis. Mengingat overlap yang besar antara nyeri neuropatik dan nociceptive,

mirip dengan klasifikasi gangguan neurologis lainnya (seperti tension-type dan


migraine headache) yang berbagi mekanisme patofisiologi dan overlap dalam
respon mereka terhadap pengobatan, berbagai jenis nyeri kronis mungkin paling
baik dilihat sebagai suatu poin pada satu kesatuan yang sama.
Pengobatan-pengobatan yang sedang berkembang
Hal ini diantisipasi bahwa penelitian nyeri translasi akan memainkan peran
penting dalam memahami mekanisme nyeri, merumuskan pengobatan dan
paradigma penelitian, dan mengembangkan analgesik baru pada dekade
berikutnya. Untuk memfasilitasi ini, beberapa perkembangan yang muncul harus
diungkap.
Pertama, model hewan yang baru harus memperhitungkan pengaruh
komorbiditas klinis seperti depresi pada perilaku nociceptive. Ini akan menjadi
tantangan, karena model hewan untuk hasil yang emosional cenderung kurang
dipelajari daripada parameter fisiologis.
Kedua, alat penilaian perilaku harus mampu mengukur nyeri dari berbagai
dimensi, seperti penggunaan preferensi tempat yang kondisional atau penolakan
(bentuk pengkondisian Pavlov yang digunakan untuk mengukur efek motivasi
dari pengalaman positif dan negatif) dan coding perilaku dalam studi praklinis.
Sebagai contoh, karena menghilangkan nyeri merupakan sebuah reward dalam
dirinya sendiri, agen analgesik yang tidak menguntungkan pada keadaan tanpa
nyeri seharusnya jadi menguntungkan hanya saat kondisi nyeri.
Ketiga, hubungan antara reorganisasi otak yang terlihat pada pencitraan
yang canggih dan kronisitas nyeri harus lebih dieksplorasi, dengan menekankan
pada bagaimana perubahan-perubahan pada pencitraan berhubungan dengan
perilaku nyeri dan respon terhadap pengobatan.
Terakhir, identifikasi biomarker dan menentukan genotip atau fenotip
karakteristik nyeri dapat menyediakan perangkat/alat yang memungkinkan kita
untuk memahami lebih baik heterogenitas nyeri klinis dan merumuskan rejimen
pengobatan individual.
Kemajuan penelitian ini, bersama dengan perkembangan obat yang lebih
baru yang disesuaikan dengan pasien secara individu dan mekanisme nyeri yang
spesifik, mungkin akan meningkatkan pengobatan nyeri neuropatik di tahun-tahun
mendatang.
Kesimpulan

Cedera pada sistem saraf perifer atau sentral menghasilkan perubahan


maladaptif pada neuron sepanjang nociceptive pathway yang dapat menyebabkan
nyeri neuropatik. Tidak seperti nyeri akut, nyeri neuropatik kronis tidak
memberikan manfaat individu atau evolusioner dan sering dianggap sebagai
penyakit itu sendiri. Berbagai mekanisme terlibat dalam nyeri neuropatik tumpang
tindih secara bermakna dengan nyeri non-neuropatik dan kondisi neurologis
lainnya. Walaupun pengobatan berdasarkan mekanisme nyeri secara luas diterima
jadi secara teoritis lebih baik daripada pengobatan yang berdasarkan penyebab
nyeri, atau pengobatan empiris, paradigma ini bisa sulit untuk diterapkan dalam
praktek klinis. Banyaknya mekanisme yang berbeda, dan komponen afektifmotivasional nyeri kronis yang membedakan "human pain" dari nosisepsi teruji
dalam model nyeri praklinis, membuat nyeri neuropatik biasa tahan terhadap
pengobatan. Pada perjalanannya mengakibatkan nyeri kronis yang dianggap tidak
hanya masalah medis, tetapi juga masalah sosial ekonomi yang membutuhkan
perhatian segera.

Anda mungkin juga menyukai