Anda di halaman 1dari 7

INTOKSIKASI NARKOTIKA (OPIAT)

PENDAHULUAN DAN INSIDENSI


1. Umumnya kelompok opiate digunakan untuk megatasi nyeri melalui mekanisme efek depresi
pada otak. Morfin yang merupakan bagian dari kelompok ini sering digunakan pada nyeri
dadam edema patu, dan untuk mengatasi sakit berlebih pada keganasan.
2. Akan tetapi dalam perkembangannya sering disalahgunakan. Penyalahgunaan obat tersebut
sering dilaporkan misalnya:
 Di New York 1970 terjadi kemaitan 1200 penderita karena overdosis dan di AS
diperkirakan lebih dari 10.000 kematain karena overdosis.
 Angka kematian di karena di Indonesia belum ada pelaporan, namun hal ini jangan
sampai membuat para klinisi tidak waspada.
3. Pengaruh obat terhadap susunan saraf pusat (SSP) sangat bervariasi dari berbagai obat diatas
(siantaranya putau/heroin yang larut dalam lemak sehingga dapat melalui sawar otak dalam
waktu cepat)., sedangkan penemuan secara patolgis pada kematian yang disebabkan
overdosis gambarannya tidak khas.

MEKANISME TOKSISITAS
4. Pada umumnya kelompok opiate mempunyai kemampuan untuk menstimulasi SSP melalui
aktivasi reseptornya yang akan menyebabkan efek sedasi dan depresi napas. Dengan
ditemukannya reseptor opiate di SSP maka mekanismenya dapat diterangkan sebagai berikut:
 Reseptor Mu1 (µ1): berefek analgesic, euphoria, dan hipotermia
 Reseptor Mu2 (µ2): euphoria, miosis, bradikardi, depresi napas, penurunan kontraksi
usus, dan ketergantungan fisik.
 Reseptor Kappa (ĸ): miosis, hipotermia, depresi napas, dan spinal analgesic.
 Reseptor Delta (ŏ): disporia, halusinasi, vasomotor stimulasi, depresi napas.
 Reseptor Gamma (ŷ): inhibisi otot polos, spinal analgesic.

5. Reaksi toksisitas sanagt beragam dari masing-masing jenis opiate tergantung cara (rute)
pemberian, efek toleransi (pemakaian kronik), lama kerja, dan masa paruh obat.
6. Kematian umumnya terjadi karena pnea atau aspirasi paru dari cairan lambung, sedangkan
reaksi edema pulmoner yang akut (non kardiogenik) mekanismenya masih belum jelas.

GEJALA DAN TANDA


Umumnya kasus keracunan dari golongan narkotika cenderung adanya penurunan kesadaran
(sampai koma) dan gangguan system pernapasan (depresi napas).
Dosis toksik akan selalu menyebabkan kesadaran yang turun sampai koma, kejang, pin point
pupil, dilatasi pupil pada anoksia berat, depresi pernapasan, edema paru, sianosis, nadi yang
lemah, hipotensi, spasme saluran cerna dan bilier.
Kematian karena gagal napas dapat terjadi dalam 2-4 jam setelah pemakaian oral atau
subkutan, sedangkan dalam pemakaian intravena lebih cepat lagi. Beberapa tanda dan gejala
yang dapat terjadi ialah hipertermi, aritmia jantung, hipertensi, bronkospasme, Parkinson like
syndrome, nekrosis tubular (larena rabdomiolisis dan mioglobinuria), dan gagal ginjal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium untuk melihat kadar dalam darah tidak selalu diperlukan karena
pengobatan berdasar besar masalah sangat diperlukan daripada konfirmasi kadar/ jenis obat.
Pada ecaluasi perlu pemeriksaan analisa darah serial, penilaian fungsi paru, dan foto dada
untuk kasus dengan kelaian paru, di samping pemeriksaan gula darah dan elektrolit.
DIAGNOSIS
Bila ditemukan gejala klinis yang khas (pin point pupil, depresi napas, dan membaik setelah
pemberian nalokson) maka penegakan secara klnis dapat dengan mudah.
Kadang-kadang ditemukan bekas suntukan yang khas (needle track sign).
Pemeriksaan laboratorium tidak selalu seiring dengan gejala klinis. Pemeriksaan secara
kualitatif dari bahan urin cukup efektif untuk memastikan diagnosis keracunan opiate dan zat
adiktif lainnya.

Pada ecaluasi perlu pemeriksaan analisa darah serial, penilaian fungsi paru, dan foto dada
untuk kasus dengan kelaian paru, di samping pemeriksaan gula darah dan elektrolit.

PENATALAKSANAAN
1. Penanganan Kegawatan
 Bebaskan jalan napas.
 Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan.
 Pasang infuse dextrose 5%, NaCl 0,9%, atau cairan koloid jika diperlukan.
2. Penilaian Klinis
3. Dekontaminasi
 Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi oral).
 Kumbah lambung dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan opiate oral, awasi
jalan napas dengan bail.
 Activated Charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan 240 ml
cairan dengan 30 g charcoal. Dapat diberikan sampai 100 gram.
4. Pemberian Antidotum Nalokson
 Tanpa hipoventilasi: dosis awal diberikan 0,4 mg iv.
 Dengan hipoventilasi: dosis awal diberikan 1-2 mg iv.
 Bila tidak ada respon dalam 5 menit:
 Berikan nalokson 1-2 mg iv hingga timbul respon perbaikan kesadaran dan
hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil, atau telah mencapai dosis maksimum
10 mg.
 Bila tetap tidak ada respon lapor konsulen tim narkoba.
 Efek nalokson berkurang 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kembali ke dalam keadaan
overdosis.
 Dalam hal ini perlu pemantauan ketat tanda-tanda penurunan kesadaran, pernapasan
dan perubahan pada pupil, serta tanda vital lainnya selama 24 jam.
 Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam 500 cc D5%
atau NaCl 0,9% diberikan selama 4-6 jam.
5. Konsultasi
Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba Bagian Ilmu Penyakit Dalam atau
Bagian Psikiatri untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.
6. Suportif, dan Rehabilitasi
 Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiate urin dan lakukan foto dada.
 Pertimbangkan pemasangan ETT bila:
 Pernapasan tidak adekuat
 Oksigenasi kurang meski ventilasi cukup
 Hipoventilasi menetap setelah pemberian nalokson.
 Pasien dipuasakan untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik.
 Bila diperlukan, pasien sebelumnya dipasang NGT untuk mencegah aspirasi.
 Edema paru diobati sesuai dengan antidotnya yaitu pemberian nalokson disamping
oksigen dan respirator bila diperlukan.
 Hipotensi diberikan cairan iv yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian dopamine
dengan dosis 2-5 mcg/Kg BB/menit dan dapat dititrasi bila diperlukan.
 Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam iv 5-10 mg dan dapat diulang bila
diperlukan. Monitor tekanan darah dan depresi napas dan bila ada indikasi dapat
dilakukan intubasi.
 Dalam menjalankan semua tindakan harus memperhatikan prinsip-prinsip kewaspadaan
universal karena tingginya angka prevalensi hepatitis C dan HIV.
DAFTAR PUSTAKA
Nanag S (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid I: Intoksikasi Narkotika (Opiat).
Jakarta: Interna Publishing, pp: 284-288.

Anda mungkin juga menyukai