Anda di halaman 1dari 39

TINJAUAN PUSTAKA

1. HORMON STEROID
1.1 KELENJAR ADRENAL
Kedua kelenjar adrenal, yang masing-masing mempunyai berat kirakira 4 gram, terletak di kutub superior kedua ginjal. 1 Kelenjar adrenal terdiri
dari dua lapis yaitu korteks dan medula adrenal. Korteks adrenal menghasilkan
banyak hormon steroid, dan yang paling penting adalah kortison, aldosteron,
dan androgen adrenal, sedangkan medula adrenal menghasilkan katekolamin.
Penyakit-penyakit kelenjar adrenal yang menyebabkan endokrinopati seperti
sindrom cushing, penyakit addison, hiperaldosteronisme, dan sindrom
hiperplasia adrenal kongenital.2
1.1.1

Korteks adrenal
Sel-sel korteks dapat mensintesis kolesterol dan mengambilnya dari

sirkulasi. Kolesterol diubah menjadi 5-pregnenolon yang merupakan bahan


dasar semua steroid.2,3 Steroid yang penting adalah:
a. Kortisol (hidrokortison)
Disekresi setiap hari, umumnya berasal dari zona fasikulata (lapisan
tengah) dan zona retikularis (lapisan dalam) korteks adrenal.1 Kortisol
adalah salah satu jenis glukokortikoid dengan aktivitas yang sangat kuat,
mencakup kira-kira 95% dari seluruh aktivitas glukokortikoid).2,4
b. Dehidroepiandrosteron (DHEA)
Disekresi oleh lapisan yang sama dan kira-kira dalam jumlah yang sama
dengan kortisol.1,5
c. Aldosteron

Merupakan salah satu jenis mineralokortikoid dengan aktivitas yang


sangat

kuat,

mencakup

kira-kira

90%

dari

seluruh

aktivitas

mineralokortikoid.2 Disekresi oleh zona glomerulosa (lapisan luar) yang


juga memproduksi beberapa jenis kortikosteroid lain dan sedikit
testosteron dan estrogen.1
Zona dan steroidogenesis
Zona-zona korteks adrenal yang terpisah mensintesis hormon spesifik,
menunjukkan kemampuan enzimatis setiap zona untuk mentransformasi dan
hidrolisis steroid tertentu. Zona luar (glomerulosa) mengandung enzim untuk
biosintesis aldosteron, dan zona dalam (fasikulata dan retikularis) adalah
tempat biosintesis kortisol dan androgen.2,3
Zona glomerulosa yang menghasilkan aldosteron, apabila terjadi
gangguan aktivitas 17-hydroxylase maka tidak dapat mensintesis 17hidroxipregnenolon dan 17-hidroksiprogesteron yang merupakan prekursor
kortisol dan androgen adrenal. Sintesis aldosteron oleh zona ini terutama
diatur oleh renin-angiotensi dan kalium. Zona fasikulata dan retikularis
menghasilkan kortisol, androgen adrenal, dan sejumlah kecil estrogen. Zonazona ini terutama diatur oleh ACTH.2
1.1.2

Medula adrenal

Merupakan 20% bagian kelenjar, terletak di pusat kelenjar dan secara


fungsional berkaitan dengan sistem saraf simpatis, mensekresi hormonhormon epinefrin dan norepinefrin sebagai respon terhadap rangsangan
simpatis. Selanjutnya, hormon-hormon ini akan menyebabkan efek yang
hampir sama dengan perangsangan langsung pada saraf-saraf simpatis di
seluruh bagian tubuh.1
1.2 STEROID
Steroid adrenal mengandung 19 dan 21 atom karbon. Steroid C19
dengan satu gugus keton pada C117 dinamakan 17-ketosteron. Steroid C19

mempunyai aktivitas predominan androgenik. Steroid C21 dengan gugus


hidroksil pada posisi 17 dinamakan 17-hidroksikortikosteron. Steroid C21
mempunyai kandungan glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid
adalah steroid C21 yang bekerja predominan pada metabolisme intermediet,
sedangkan mineralokortikoid adalah steroid C21 yang bekerja predominan
pada metabolisme kalium dan natrium.2

Gambar 1.Biosintesis steroid dalam kelenjar adrenal.2


Sekresi kortisol diatur oleh tiga sistem yang bekerja serentak:2
1) Pelepasan kortisol berlangsung bergelombang menyebabkan adanya ritme
diurnal sekresi kortisol sehingga terjadi kadar plasma maksimal pada jam
06.00 dan menurun sampai kira-kira setengah maksimum pada jam 22.00.
Ritme intrinsik ini diatur oleh otak yang dicetuskan oleh cahaya melalui
hipotalamus yang melepaskan corticotropin releasing factor (CRF) dan
ACTH dilepaskan hipofisis.
2) Melalui respon terhadap stres mental dan fisis, juga melalui CRF dan
ACTH. Respon berlangsung hanya beberapa menit dan menghasilkan
kortisol dan menyimpannya dalam jumlah yang mampu meningkatkan
kadar kortisol plasma sesuai kebutuhan.

3) Melalui mekanisme umpan balik dengan pengaturan sekresi ACTH oleh


kortisol (dan oleh glukokortikoid sintetik), sedangkan produk steroid lain
dari korteks adrenal tidak mempunyai efek ini.
2. SINDROM CUSHING
Insidens sindrom cushing ini adalah 1,2-2,4 per 1 juta penduduk dan
prevalensinya adalah sekitar 40 per 1 juta penduduk. Kortisol plasma
berlebihan (hiperkortisolisme) menyebabkan suatu gambaran yang dikenal
dengan sindrom Cushing.6
2.1 DEFINISI
Cushing melukiskan suatu sindrom yang ditandai dengan obesitas
badan (truncal obesity), hipertensi, mudah lelah, kelemahan, amenorea,
hirsutisme, striae abdomen berwarna ungu, edema, glikosuria, osteoporosis,
dan tumor basofilik hipofisis. Sindrom ini kemudian dinamakan sindrom
cushing.6
2.2 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Klasifikasi sindrom cushing berdasarkan penyebab:
Tabel 1. Klasifikasi Sindrom Cushing Berdasarkan Penyebab
Penyebab Sindrom Cushing
Hiperplasia Adrenal

Sekunder terhadap kelebihan ACTH hipofisis


o Disfungsi hipotalamik hipofisa
o Mikro dan makroadenoma yang menghasilkan ACTH
hipofisis
Sekunder terhadap tumor neuroendokrin yang menghasilkan
ACTH atau CRH (karsinoma bronkogenik, karsinoid timus,
karsinoma pankreas, adenoma bronkus)

Hiperplasia Noduler Adrenal


Neoplasia Adrenal

Adenoma
Karsinoma

Penyebab eksogen, iatrogenik


Penggunaan glukokortikoid jangka lama
Penggunaan ACTH jangka lama
Tanpa mempertimbangkan etiologi, semua kasus sindrom cushing endogen
disebabkan oleh peningkatan produksi kortisol oleh adrenal. Pada kebanyakan
kasus penyebabnya adalah hiperplasia adrenal bilateral oleh karena
hipersekresi ACTH hipofisis atau produksi ACTH oleh tumor non-endokrin. 6,7
Individu yang mempunyai tumor hipofisis yang menghasilkan ACTH
dipastikan sebagai penyakit Cushing, tanpa mempertimbangkan apakah tumor
dikenali secara radiografi.6
Tumor non-endokrin bisa mensekresi polipeptida yang secara biologik,
kimiawi, dan imunologik tak dapat dibedakan dari ACTH dan CRH dan
menyebabkan hiperplasia adrenal bilateral. Tanda-tanda dan simtom khas dari
sindrom cushing tidak bisa dijumpai atau minimal dengan produksi ACTH
ektopik, alkalosis hipokalemik merupakan manifestasi yang predominan.
Kebanyakan dari kasus ini berkaitan dengan primitive small cell (oat cell) tipe
dari karsinoma bronkogenik atau tumor timus, pankreas, ovarium, karsinoma
medula tiroid, atau adenoma bronkus. Pasien dengan tumor karsinoid atau
feokromositoma mempunyai perjalanan klinis yang lebih lama dan biasanya
menunjukan gambaran cushingoid tipikal. Tumor-tumor ini bisa memproduksi
ACTH dalam jumlah besar, steroid biasanya jelas meningkat, dan bisa
dijumpai pigmentasi kulit. Hiperpigmentasi pada pasien dengan sindrom
cushing hampir selalu menunjukkan tumor ekstra adrenal baik diluar atau
didalam kranium.6,7,8
2.2 PATOFISIOLOGI
Sindrom cushing endogen adalah kondisi klinis yang terjadi akibat
peningkatan sekresi endogen kortisol jangka panjang sehingga terjadi
peningkatan kadar kortisol bebas di dalam plasma, ditandai dengan hilangnya

mekanisme umpan balik normal aksis hipotalamo-pituitari-adrenal dan irama


sikardian sekresi kortisol. Kondisi lainnya dimana juga terjadi peningkatan
kadar kortisol bebas di dalam plasma tanpa disertai Cushingoid state, seperti
pada perawatan ICU jangka lama, tidak dikelompokkan pada sindrom
Cushing.7
Hubungan antara peningkatan kadar glukokortikoid dengan hipertensi
sangat kompleks dan masih belum dimengerti sepenuhnya. Mekanismenya
meliputi peningkatan angiotensinogen yang dihasilkan oleh hati, pengaturan
sistem sentral fungsi barorefleks, tonus simpatis, inhibisi vasodilator dan
peningkatan

sistem

vasokonstriktor

pada

jaringan

pembuluh

darah,

peningkatan reaktivasi pembuluh darah oleh glukokortikoid terhadap


norepinefrin, pengaruh sodium dan volume homeostasis, dan peningkatan
aktivitas local endothelial growth factor. Enzim 11 -hydroxysteroid
dehydrogenase-1

yang

mengaktifkan

kortisol

dari

bentuk

11-keto

menyebabkan terjadinya obesitas viseral dengan resistensi insulin dan


dislipidemia.8
Dari pengamatan yang dilakukan disimpulkan bahwa penyakit
ataupun sindrom cushing pada umumnya disertai dengan depresi berat dan
ansietas seiring dengan peningkatan produksi dan sekresi glukokortikoid
seperti kortisol. Peningkatan sekresi kortisol ini diperkirakan memainkan
peranan penting dalam patofisiologi terjadinya depresi pada pasien cushing.8
Efek glukokortikoid pada metabolisme lipid adalah kompleks. Kortisol
meningkatkan lipolisis seluruh tubuh, tetapi hiperkortisolemia kronik
menyebabkan peningkatan massa lemak. Glukokortikoid menginduksi
aktivitas hormon sensitif lipase dalam jaringan adiposa, meningkatkan
hidrolisis

trigliserida

menstimulasi
menyebabkan

aktivitas

di

dalam

lipoprotein

hiperinsulinemia,

jaringan
lipase

adiposa.
yang

menyebabkan

Hiperkortisolemia

kemudian
terjadinya

berpotensi
lipolisis

intravaskular, dan meningkatkan ambilan asam lemak tidak jenuh dan gliserol

dari jaringan adiposa. Telah diperlihatkan bahwa glukokortikoid menghambat


aktivitas protein kinase yang diaktivasi oleh AMP dalam jaringan adiposa,
diperkirakan merupakan mekanisme tambahan untuk menjelaskan terjadinya
deposisi

jaringan

lemak

viseral

dan

obesitas

sentral

pada

pasien

hiperkortisolemia.9
2.3 GEJALA DAN TANDA
Banyak tanda dan gejala sindrom cushing yang menyertai kerja
glukokortikoid. Mobilisasi jaringan ikat suportif perifer menyebabkan
kelemahan otot dan kelelahan, osteoporosis, striae kulit, dan mudah berdarah
bawah kulit. Peningkatan glukoneogenesis hati dan resistensi insulin
menyebabkan gangguan toleransi glukosa. Diabetes melitus klinis dijumpai
pada 20% pasien yang mungkin bersifat individu dengan predisposisi diabetes.
Hiperkortisolisme mendorong penumpukan jaringan adiposa pada tempattempat tertentu khususnya di wajah bagian atas (moon face), daerah antara
kedua tulang belikat (buffalo hump) dan mesenterik (obesitas badan). Alasan
untuk distribusi yang aneh dari jaringan adiposa ini belum diketahui, tetapi
berhubungan dengan resistensi insulin dan atau peningkatan kadar insulin.
Wajah tampak pletorik tanpa disertai dengan peningkatan kadar sel darah
merah. Hipertensi sering terjadi, dan bisa dijumpai perubahan emosional,
mudah tersinggung dan emosi labil sampai depresi berat, bingung, atau
psikosis.

Pada

wanita,

peningkatan

kadar

androgen

adrenal

dapat

menyebabkan timbulnya jerawat, hirsutisme, dan oligomenore atau amenorea.


Beberapa tanda dan simtom pada pasien hiperkortosolisme yaitu obesitas,
hipertensi, diabetes, dan osteoporosis adalah non-spesifik dan karena itu
kurang membantu dalam mendiagnosis hiperkortisolisme. Sebaliknya tandatanda mudah berdarah, striae yang khas, miopati dan virilisasi (meskipun
kurang

sering)

adalah

lebih

sugestif sindrom

cushing.6Tanda yang

membedakan pasien sindrom cushing dengan pseudo-cushing adalah


ditemuinya miopati proksimal, mudah terjadinya lebam, dan kelemahan.

Sementara buffalo hump, obesitas, hirsutisme sulit digunakan untuk


membedakannya.7,8
Masalah yang terkait dengan sindrom cushing, seperti diabetes melitus
dan hipertensi dapat menjadi alasan utama pasien mencari pertolongan
medis.7,9 Kecuali pada sindrom cushing iatrogenik, kadar kortisol plasma dan
urine meningkat. Kadang-kadang hipokalemia, hipokloremia, dan alkalosis
metabolik dijumpai, terutama dengan produksi ACTH ektopik.6,10
2.4 DIAGNOSIS
Problem diagnostik adalah membedakan pasien dengan sindrom
cushing ringan dari hiperkortisolisme fisiologis ringan atau pseudo-Cushing.
Termasuk

didalamnya

fase

depresi

gangguan

afektif,

alkoholisme,

penghentian dari intoksikasi alkohol, atau gangguan makan seperti anoreksia


dan bulimia nervosa.6,11
Untuk skrining awal dilakukan tes supresi deksametason tengah
malam. Diagnosis definif ditetapkan bila gagal menurunkan kortisol urin
menuju ke <80 nmol/dl (30g/dl) atau kortisol plasma turun ke <140 nmol/L
(5g/dl) setelah tes supresi deksametason dosis rendah standar (0,5 mg).
Langkah yang dipakai untuk membedakan pasien dengan ACTH-secreting
pituitary microadenoma atau hypothalamic-pituitary dysfunction dengan
bentuk sindrom cushing yang lain adalah menentukan respon pengeluaran
kortisol terhadap pemberian deksametason dosis tinggi (2 mg setiap 6 jam
selama 2 hari). Pemberian deksametason dosis tinggi dan rendah untuk
menekan produksi kortisol mengalami kegagalan pada pasien dengan
hiperplasia adrenal sekunder terhadap mikroadenoma hipofisis yang
mensekresi ACTH atau tumor non-endokrin yang menghasilkan ACTH dan
pada pasien dengan neoplasia adrenal.6, 12
Kadar ACTH plasma dapat digunakan untuk membedakan berbagai
penyebab terutama untuk memisahkan penyebab tergantung ACTH dari tak
tergantung ACTH. Pada umumnya, pemeriksaan ACTH plasma digunakan

pada diagnosis etiologi sindrom cushing tak tergantung ACTH, sedangkan


kebanyakan tumor adrenal menyebabkan kadar ACTH rendah atau tidak
terdeteksi. Beberapa pemeriksaan tambahan dianjurkan seperti tes infus
metirapon atau CRH. Rasional yang mendasari tes ini adalah hipersekresi
steroid oleh tumor adrenal atau produksi ACTH ektopik akan menekan aksis
hipotalamik-pituitari sehingga terjadi penghambatan pelepasan ACTH
hipofisis.6,14
Sindrom cushing iatrogenik diinduksi oleh pemberian glukokortikoid
atau steroid lain seperti megestrol yang berikatan dengan reseptor
glukokortikoid, tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan fisik dengan dengan
hiperfungsi adrenokortikal endogen.8 Perbedaan dapat dibuat dengan
mengukur kadar kortisol urin atau darah dalam keadaan basal, pada sindrom
iatrogenik kadar ini merendah sekunder terhadap aksis pituitari-adrenal.
Keparahan sindrom cushing iatrogenik berkaitan dengan dosis total steroid,
waktu paruh biologis steroid, dan lama terapi. Juga individu yang minum
glukokortikoid pada siang dan malam hari lebih sering menimbulkan sindrom
cushing. Disposisi enzimatik dan ikatan steroid yang diberikan berbeda
diantara pasien.6,13
Pemeriksaan radiologik untuk memeriksa adrenal adalah pencitraan
tomografi komputer (CT Scan) abdomen. CT Scan berguna untuk menilai
lokalisasi tumor adrenal dan untuk mendiagnosis hiperplasia bilateral.6,14 CT
memiliki sensitivitas yang rendah yaitu 47% dan spesifisitas 74% dalam
mendeteksi mikroadenoma pituitari.7 Semua pasien yang mengalami
hipersekresi ACTH hipofisis harus menjalani pencitraan MRI scan hipofisis
dengan bahan kontras gadolinium.6
2.5 TERAPI
Bila diagnosis adenoma atau karsinoma lebih ditegakkan dilakukan
eksplorasi adrenal dengan eksisi tumor. Obat utama untuk pengobatan
karsinoma kortikoadrenal adalah mitotan yang merupakan isomer dari DDT.

Obat ini menekan produksi kortisol dan menurunkan kadar kortisol plasma
dan urin. Pasien dengan hiperplasia bilateral mengalami peningkatan kadar
ACTH absolut dan relatif. Terapi harus ditujukan untuk menurunkan kadar
ACTH. Pengobatan ideal adalah pengangkatan. Kadang-kadang (terutama
dengan produksi ACTH ektopik) eksisi tidak memungkinkan oleh karena
penyakit sudah lanjut. Pada keadaan ini, medik atau adrenalektomi bisa
memperbaiki hiperkortisolisme.6, 17
Ketokonazol adalah obat yang banyak digunakan dalam farmakoterapi
sindrom cushing. Ini adalah derivat imidazol antifungal yang menghambat
beberapa langkah dalam sintesis kortisol, khususnya dengan menghambat
aktivitas C17,20 lyase dan 17-hydroxylase. Ketokonazol juga menghambat
biosintesis kolesterol, bekerja secara langsung dengan menghambat perubahan
metil sterols menjadi kolesterol dan secara tidak langsung menekan sintesis
kolesterol melalui inhibisi umpan balik HMG-CoA reduktase.9
2.6 PROGNOSIS
Adenoma adrenal yang berhasil diobati dengan pembedahan
mempunyai prognosis baik dan tidak mungkin terjadi kekambuhan. Prognosis
bergantung pada efek jangka lama dari kelebihan kortisol sebelum
pengobatan, terutama aterosklerosis dan osteoporosis.6,18 Prognosis karsinoma
adrenal adalah sangat buruk, disamping pembedahan. Laporan-laporan
memberi kesan survival 5 tahun sebesar 22%. Usia yang kurang dari 40 tahun
dan jauhnya metastasis berhubungan dengan prognosis yang buruk.6
Peningkatan risiko kardiovaskular pada pasien ini mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas. Faktor risiko ini termasuk obesitas sentral,
hipertensi, toleransi glukosa terganggu, dislipidemia, dan hiperkoagulabilitas.
Prevalensi hiperkoagulabilitas terjadi pada 54% pasien.10
2.7 CUSHING SYNDROME PADA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMTOSUS

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun


kronik dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangt beragam.19,20 Diagnosis SLE
yang dipakai adalah berdasarkan kriteria the American College Of
Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997, yaitu memenuhi 4 atau lebih dari 11
kriteria.19
Kortiosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu,
dengan meminimalkan jumlah kortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko
efek samping. Beberapa efek samping kortikosteroid adalah penampilan
cushingoid, diabetes mellitus, perubahan metabolisme lipid, perubahan nafsu
makan dan meningkatnya berat badan, gangguan elektrolit, supresi HPA axis,
supresi hormon gonad, perubahan tingkah laku berupa insomnia, psikosis,
instrabilitas emosional, dan efek kognitif.21,22

ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 15 tahun di bagian Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 7 Mei 2015dengan:
Keluhan utama : (alloanamnesis dan autoanamnesis)
Nyeri sendi kedua tangan dan kedua kaki meningkat sejak 7 hari sebelum masuk
rumah sakit.
Riwayat Penyakit sekarang

Nyeri sendi kedua tangan dan kedua kaki meningkat sejak 7 hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri sendi sudah dirasakan sejak 8 bulan yang lalu.
Nyeri sendi tidak disertai dengan kemerahan pada persendian, tidak terasa
panas, dan sendi tidak tampak membengkak. Kekakuan sendi pada sendi tidak
ada.

Kedua pipi tampak memerah apabila terkena sinar matahari sejak 8 bulan yang
lalu. Dalam 2 bulan ini, seluruh muka pasien tampak memerah walaupun
tanpa terkena sinar matahari.

Rambut rontok sejak 8 bulan yang lalu, saat ini sudah mulai berkurang, tetapi
dirasakan rambut bertambah tebal dan muncul kumis serta rambut-rambut
halus pada punggung sejak 5 bulan yang lalu. Rambut-rambut pada kedua
tangan, tungkai, ketiak, alat kelamin tidak ada.

Nafsu makan berkurang sejak 8 bulan yang lalu selama 2 bulan, makan hanya
2 kali per hari, 5 sendok perkali makan. Kemudian, nafsu makan meningkat
sejak 6 bulan ini menjadi 3 kali sehari 1 hingga 1,5 piring perkali makan.

Penurunan berat 20 kg dalam 1 bulan 8 bulan yang lalu. Sejak 6 bulan ini,
berat badan pasien meningkat 5 kg.

Bintik-bintik merah pada kedua telapak tangan dan kaki 8 bulan yang lalu,
saat ini tidak ada lagi.

Pasien dikenal menderita penyakit lupus sejak 7 bulan yang lalu. Awalnya
pasien dirawat di bangsal penyakit dalam RSUD Adnaan Payakumbuh pada
minggu pertama bulan November 2014 didiagnosis demam virus, 1 minggu
kemudian, pasien kembali dirawat dan menjalani pemeriksaan darah ke
laboratorium Bukittinggi, kemudian berdasarkan pemeriksaan tersebut pasien
didiagnosis menderita SLE oleh dokter. Sejak itu, pasien mendapat terapi
Metilprednisolon dengan dosis awal 12-8-4 mg. Pasien rutin kontrol setiap
bulan. Pada bulan ketiga, dosis ditutunkan menjadi 12-4-4 mg. Pada bulan
keempat, dosis dinaikkan kembali menjadi 12-8-4 mg, hingga terakhir 12-8-4
mg. Riwayat putus obat ada yaitu selama 1 minggu pada bulan Januari 2014.

Muka sembab dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, makin lama makin
bertambah sembab. Riwayat sembab pada kelompak mata atas pada pagi hari
yang berkurang pada sore hari tidak ada. Sembab pada kedua tungkai tidak
ada.

Nyeri ulu hati kadang dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Nyeri berkurang
setelah makan. Riwayat nyeri ulu hati sebelumnya tidak ada. Saat ini tidak
dirasakan nyeri pada ulu hati.

Lemah, letih, lesu dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri kepala dirasakan
sejak 1 bulan ini, nyeri berdenyut, tidak terasa berat. Saat ini tidak dikeluhkan
nyeri kepala. Pasien mudah tersinggung, kadang merasa cemas, kadang
tampak termenung dan menangis sejak 1 bulan ini. Jantung dirasakan sering
berdebar-debar kencang sejak 2 minggu yang lalu, nyeri dada tidak ada. Sulit
tidur sejak 2 minggu yang lalu.

Muncul jerawat pada muka, leher belakang dan pundak sejak 2 bulan ini.
Riwayat jerawat atau ketombe sebelumnya tidak ada.Muncul bercak-bercak
kemerahan berupa garis pada kedua paha, pinggang dan ketidak sejak 1 bulan
yang lalu, bercak ini tidak nyeri. Kulit kedua ketiak disadari menghitam sejak
1 bulan ini. Kulit terasa lebih lembab sejak 1 bulan ini. Riwayat gangguan
perdarahan, kulit mudah membiru, luka sulit sembuh, kulit bertambah gelap
tidak ada.

Perut dirasakan membuncit sejak 1 bulan ini. Mual dan muntah tidak
ada.Riwayat diare tidak ada. Bengkak pada perut tidak ada.

Tekanan darah tinggi diketahui sejak 1 minggu yang lalu saat dirawat di
RSUD Adnaan, yaitu 140.

Demam tidak ada, sesak nafas tidak ada, batuk tidak ada. Riwayat batuk
berdarah tidak ada.

Riwayat mata terasa berpasir, mata kuning, kemerahan tidak ada, mata kabur
tidak ada. Gangguan penglihatan lainnya tidak ada.

Gangguan penciuman tidak ada.

Riwayat mulut terasa kering tidak ada. Riwayat sering sariawan ada sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit.

Nyeri saat buang air kecil tidak ada, buang air kecil seperti teh atau keruh
tidak ada.

Riwayat sering kesemutan, ssering haus, lapar, minum tidak ada.

Riwayat penurunan kesadaran, kejang,


konsentrasi, gangguan ingatan tidak ada.

Haid pertama saat usia 12 tahun. Haid tidak teratur yaitu tidak haid selama 3

gangguan

bicara,

gangguan

bulan 8 bulan yang lalu, kemudian haid lagi selama 2 bulan, lama menstruasi
5-6 hari, tiap 30 hari, nyeri haid tidak ada, 2-3 ganti pembalut per kali. Dalam
3 bulan terakhir, pasien tidak haid.
Riwayat Pengobatan

Riwayat mendapat pengobatan metilprednisolon sejak bulan November 2014


hingga saat ini. Dosis awal adalah 12-8-4 mg, pernah diturunkan menjadi 124-4 mg selama 1 bulan, kemudian hingga saat ini dinaikkan lagi menjadi 12-84 mg. Pasien mengaku pernah tidak mengkonsumsi obat selama 1 minggu

pada bulan Januari 2015 ini.


Riwayat menggunakan obat-obatan lainnya jangka panjang tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sakit sendi sebelumnya tidak ada.


Riwayat anemia tidak ada.
Riwayat keganasan tidak ada.
Riwayat sakit gula tidak ada
Riwayat stroke tidak ada.

Riwayat Keluarga

Riwayat SLE dalam keluarga tidak ada.


Riwayat keganasan dalam keluarga tidak ada.
Riwayat tekanan darah tinggi, sakit gula, alergi dalam keluarga tidak ada.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan

Pasien adalah anak pertama dari 2 orang bersaudara, tinggal di rumah bersama
kedua orang tuanya. Saat ini pasien sedang bersekolah di SMP, pasien
tergolong murid berprestasi hingga saat ini. Ayah pasien bekerja sebagai

petani, ibu pasien adalah ibu rumah tangga.


Pasien memiliki banyak teman dan suka bercerita. Sejak 5 bulan terakhir,

teman pasien dirasakan menjauhi pasien karena penyakit pasien.


Riwayat mengkonsumsi alkohol tidak ada.
Riwayat obesitas sebelumnya tidak ada.
Riwayat gangguan kejiwaan tidak ada.

Pemeriksaan Fisik Umum


Keadaan Umum: tampak sakit sedang

Suhu

: 36,60 C

Kesadaran

VAS

:4

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Tinggi badan

: 146kg

Nadi
: 120 x/menit, teratur,
pengisian cukup

Berat badan

: 39 kg

: CMC

BMI
:
18,3kg/m2normoweight

Nafas

: 22x/menit

Kulit

: turgor baik, petechia (-), purpura (-), ekimosis (-), oily skin (+),

discoid lesion (-),acne (+) pada kulit wajah dan punggung, facial plethora
(+),malar rush (-), acanthosis nigricans (+) pada leher belakang, striae (+) pada
kulit ketiak kiri dan kanan, pinggang kiri dan kanan, paha kiri dan kanan.
Kelenjar getah Bening : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher,
axila, inguinal, dan femoral.
Kepala : Normocephal, moon face (+)
Rambut : Hitam, mudah dicabut, tidak ada alopecia

Mata :
Sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-)
Reflek cahaya +/+, diameter 3mm/3mm
Injeksi konjungtiva -/Telinga : liang telinga ADS lapang
Hidung : dalam batas normal
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, tidak hiperemis, arkus faring tidak hiperemis
Gigi dan Mulut : Caries (+), stomatitis (-)
Axilla: hipertrikosis (+), striae (+)
Leher : Jugular Venous Pressure: 5-2 cmH2O, teraba kelenjar tiroid tidak teraba
membesar. Leher belakang: buffalo hump (+)
Dada :
Paru

Paru depan
o Inspeksi

: simetris statis dan dinamis

o Palpasi

: fremitus kiri = kanan

o Perkusi

:sonor

o Auskultasi : suara nafas vesikular, ronkhi dan wheezing tidak ada

Paru belakang
o Inspeksi

: simetris statis dan dinamis

o Palpasi

: fremitus kiri = kanan

o Perkusi

: sonor, peranjakan paru 2 jari.

o Auskultasi : suara nafas vesikular, ronkhi dan wheezing tidak ada


Jantung
o Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat.

o Palpasi

: ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 ibu

jari, thrill (-), kuat angkat (-).


o Perkusi

: batas kanan LSD, batas atas RIC II, batas kiri1 jari medial

LMCS, pinggang jantung (+)


o Auskultasi : irama reguler, bising (-), M1> M2, P2< A2, HR: 120 x/i
Abdomen
o Inspeksi

: tidak tampak membuncit, vialaceous striae (-)

o Palpasi

: supel, nyeri tekan epigastrium tidak ada, hepardan lien

tidak teraba. Lingkar perut 73 cm


o Perkusi

: timpani, shifting dullness (-)

o Auskultasi : bising usus normal


Pinggang : Nyeri tekan dan nyeri ketok pada sudut kostovertebre tidak ada.
Alat kelamin : tidak ditemukan kelainan
Anus : tidak ditemukan kelainan
Anggota gerak : Reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-, edema -/Kriteria ACR 1997 (SLE)

: 0 dari 11 kriteria

Kriteria ACR EULAR 2010 (AR) : 5


EKG
Irama

: sinus

PR interval

Heart rate

: 135x/i

Axis

: normal

QRS complex : 0,08 detik, Q patologis


(-), RBBB (-), LBBB (-), LVH (+), LV
Strain (-), RVH (-)

Gelombang P
1,5mV

: lebar 0,08 ms, tinggi

ST segmen

: isoelektrik

T inverted

: lead V1

Kesan

: sinus takikardi, sugestif LVH

: 0,12detik

Labor :

Hb

: 12,9 g/dl

Ht

: 37%

Leukosit

: 11.800 /mm3

Trombosit

:221.000/mm3

LED

: 58mm/jam

Hitung jenis :0/0/1/85/8/6

Gambaran
darah
tepi:
eritrosit:
anisositosis,
normokrom,leukosit: jumlah
meningkat,netrofilia shift to
the right trombosit: jumlah
cukup, morfologi normal.

Kesan : leukositosis, LED meningkat, shift to the right, netrofilia, limfopenia

Urinalisis :

Warna

Kuni
ng
muda

pH

5,5

Protein

Glukosa

Leukosit

01/LP
B

Eritrosit

01/LP
B

Bilirubin

Urobilinoge
n

Feces rutin

Warna

Coklat

Konsistensi

Lunak

Leukosit

3-4/ LPB

Eritrosit

0-1/LPB

MASALAH

Sindrom Cushing

Amenore sekunder

Penggunaan

Neutrophylic leukocytosis

Lymphopenia

Sinus takikardi dengan sugestif

metilprednisolon

jangka panjang

Nyeri sendi
Riwayat fotosensitivitas

LVH

DIAGNOSIS

Systemik Lupus Eritematosus

Sindrom Cushing Iatrogenik

Amenore Sekunder ec sindrom cushing

DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Artritis Reumatoid

Polymyositis

Cushing Disease

Sindrom Cushing ec hiperplasia adrenal bilateral ec non-endokrin tumor

Sindrom Cushing ec hiperplasia noduler adrenal

Sindrom Cushing ec neoplasia adrenal

Pseudo-Cushingoid state

Terapi

Istirahat/ Diet MB (25x 41,4 kg)


= 1100 kal (660 kal karbohidrat,
400 gram protein, 280 kal lemak)

Metilprednisolon 8-8-4 mg (po)

Lansoprazol 1x30 mg (po)

Calsium laktat 1x1000 mg (po)

Paracetamol 4x1000 mg (po)

PEMERIKSAAN ANJURAN

Kortisol serum jam 08.00 pagi

Profil lipid

Elektrolit (Natrium,
Klorida, Kalsium)

PT, aPTT

Anti-dsDNA

ANA IF

Rontgen thorax

Rontgen foto schedel

Konsul Ginekologi

Kalium,

GDS

Faal hepar
Bilirubin)

Faal ginjal (ureum, kreatinin)

(SGOT,

SGPT,

8/ 5/ 2015

S/ nyeri sendi (+) berkurang, mual dan muntah tidak ada, pasien sering tampak
temenung, cepat marah, terkadang menangis

HADS Score : A7 D6

DASS 42

: D6 A13 S12

(moderate anxiety, moderate stress)

KU

Kesada
ran

TD

Nadi

Naf
as

Su
hu

V
A
S

Sedan
g

CMC

130/80m
mHg

120x/i,
regular,
pengisian
cukup

22x/
i

36,
40
C

Kreatinin

0,3 mg/dl

Kolesterol total

368 mg/dl

HDL kolesterol

53 mg/dl

LDL kolesterol

254 mg/dl

Trigliserida

304 mg/dl

PT

9,3 mg/dl

aPTT

23,9 mg/dl

Laboratorium

GDS

100 mg/dl

Natrium

142 mmol/l

Kalium

3,4 mmo/l

Klorida

110 mmol/l

Kalsium

8,8 mg/dl

Albumin

4,1 g/dl

Globulin

2,5 g/dl

Ureum

44 mg/dl

Nilai

Kesan:hiperkolesterolemia,
hiperkoagulopati

Rontgen thorax: cor dan pulmo dalam batas normal


Konsul ginekologi:

Kesan: Amenore sekunder ec?

hipertrigliseridemia,

Anjuran:

Plano test

USG Fetomaternal

Diagnosis multi axis:


Axis I : Gangguan cemas menyeluruh dan gangguan mood dengan
symptom depresi
Axis II : Kepribadian introvert
Axis III

: Sindrom Cushing Iatrogenik, Dislipidemia, Susp. SLE

Axis IV

: Dijauhi teman-teman, menderita SLE, konsumsi obat

setiap hari
Axis V : GAF 80

Terapi:

Simvastatin 1x20 mg (po)

Clobazam 2x10 mg (po)

Psikoterapi suportif

Rencana:
Terapi metilprednisolon dihentikan sementara selama 24 jam, pada tanggal
11/4/15 jam 00.00 WIB diberikan dexametason 1 mg (po), direncanakan cek
kortisol serum pagi jam 08.00 WIB

Cek GDP

Cek D-Dimer

Telusuri ke arah alkalosis hipokalemik

Rencana USG Fetomaternal pada tanggal 18/5/2015

9/05/2015

S/ Nyeri sendi berkurang, tampak murung (+) berkurang

O/

KU

Kesada
ran

TD

Nadi

Naf
as

Su
hu

V
A
S

Sedan
g

CMC

120/70m
mHg

120x/i,
regular,
pengisian
cukup

20x/
i

36,
30
C

AGD

pH

7,42

pCO2

36 mmHg

pO2

102 mmHg

HCO3-

23,4 mmol/l

Beecf

-1,1 mmol/l

SO2

98%

GDP

117 mg/dl

Plano test

Negatif

D-Dimer

353,71 ng/dl

A/ Glukosa darah puasa terganggu

P/ Cek glukosa darah sewaktu

10/5/2015

S/ Nyeri sendi berkurang

O/

KU

Kesada
ran

TD

Nadi

Naf
as

Su
hu

V
A
S

Sedan
g

CMC

110/70m
mHg

115x/i,
regular,
pengisian
cukup

20x/
i

36,
40
C

GDS : 179 mg/dl

A/ Toleransi glukosa terganggu

P/ Rencanakan tes toleransi glukosa oral (TTGO)

13/ 05/ 2015

S/ Nyeri sendi berkurang, batuk tidak ada, tampak murung (+) kadang, cepat
marah (+), bintik- bintik merah pada kulit punggung, dada atas, perut, kedua
lengan bertambah banyak, gatal (+), demam tidak ada, nyeri saat buang air
kecil tidak ada, buang air besar dalam batas normal, nafsu makan sedikit
berkurang.

O/

KU

Kesada
ran

TD

Nadi

Naf
as

Su
hu

V
A
S

Sedan
g

CMC

130/70m
mHg

120x/i,
regular,
pengisian
cukup

20x/
i

36,
30
C

Status dermatologikus I:

Lokasi

Distribusi : regional

Bentuk/ susunan: tidak khas/ tidak khas

Batas

: tidak tegas

Ukuran

: milier

Effloresensi

: papul putih

: kening, leher, dada, punggung, ketiak

Status dermatologikus II:

Lokasi

Distribusi : terlokalisir

Bentuk/ susunan: tidak khas/ tidak khas

Batas

: tegas

Ukuran

: 5x2x0,5 cm

Effloresensi

: striae rubra

: kedua paha, kedua ketiak, kedua pinggang

Hasil laboratorium kortisol serum pagi 4,98 (4,30- 22,40 g/dl)

Rontgen foto schedel:

os cranium intak, tidak tampak lesi litik maupun lesi

patologis lainnya

A/

Sindrom cushing iatrogenik

Miliaria impetigenisata

Terapi:

Salisil Talk

Loratadine 1x 10 mg (po)

P/

Cek ulang leukosit dan hitung jenis

Konsul kulit

15/ 05/ 2015

S/ Nyeri sendi tidak ada, bintik merah pada kulit (+) berkurang, gatal (+),
demam tidak ada

KU

Kesada
ran

TD

Nadi

Naf
as

Su
hu

V
A
S

Sedan
g

CMC

110/70m
mHg

110x/i,
regular,
pengisian
cukup

20x/
i

36,
30
C

Konsul kulit


Pemeriksaan KOH 10%: tidak ditemukan pseudohifa dan
blastospora

Kesan: Miliaria

Terapi:

Losio Faberi

Loratadine 1x10 mg (po)

Leukosit
Hitung leukosit
Kalium
TTGO
Puasa
30 menit
60 menit
90 menit
120 menit

19.300/mm3
0/0/1/87/12/0 %
3,2 mmol/l
105 mg/dl
220 mg/dl
190 mg/dl
191 mg/dl
209 mg/dl

Kesan:leukositosis neutrofilik, hipokalemia, hiperglikemia

A/

Steroid Induced Diabetes Mellitus normoweight

Hipokalemia ec sindrom cushing

Terapi:

Diet (25XBBI) + 20%+ 10% = (25x41,4) + 30% =1035 + 30% = 1300 kal
(karbohidrat 900 kal, protein 40 gram, lemak 240 kal)

KSR 1x1 tab (po)

P/ Cek HbA1C

Konsul mata

Konsul mata
Kesan:

Saat ini tidak ditemukan tanda-tanda retinopati diabetikum pada


pasien, dan tidak ditemukan sindrom sicca pada pasien ini

Gangguan penglihatan warna


Anjuran: Observasi untuk kemungkinan lupus retinopati

16/ 05/ 2015

S/ Bintik merah pada kulit (+) berkurang, sesak nafas (-)

O/

KU

Kesada
ran

TD

Nadi

Naf
as

Su
hu

V
A
S

Sedan
g

CMC

110/70m
mHg

115x/i,
regular,
pengisian
cukup

20x/
i

36,
20
C

ABI (Ankle-Brachial Index) : 1

Sensibiliitas
Kasar
Halus
Pulsasi
A. Poplitea
A. Tibialis posterior
A. Dorsalis pedis

Kiri
Kanan
Baik
Baik
+
+
+

Baik
Baik
+
+
+

HbA1C = 5,8%

A/ Steroid Induced Diabetes Mellitus baru dikenal normoweight

18/ 05/ 2015

S/ Sesak nafas (-), demam (-), batuk (-), nafsu makan baik

KU

Kesada
ran

TD

Nadi

Naf
as

Su
hu

V
A
S

Sedan
g

CMC

110/70m
mHg

115x/i,
regular,
pengisian
cukup

20x/
i

36,
20
C

GDP

: 94 mg/dl

GD 2 Jam PP

: 124 mg/dl

Kesan: normoglikemia

USG Fetomaternal

Uterus retrofelxi, ukuran 6x 3,5x 2,3 cm, endometrial 0,4 cm

Tidak tampak mioma dan adenomiosis

Ovarium kanan ukuram 1,8x 1,5 cm

Ovarium kiri ukuran 1,4x 1,8 cm

Kesan: tidak tampak kelainan pada organ genitalis interna

A/ Steroid Induced Diabetes Mellitus terkontrol diet normoweight

P/ Edukasi mengenai diabetes mellitus

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 15 tahun di bangsal penyakit


dalam RSUP DR. M.Djamil dengan diagnosis akhir:

Sindrom Cushing Iatrogenik (Drug-induced cushing syndrome E24.2)

Systemic Lupus Erythematosus (M32.10)

Drug induced diabetes mellitus (E09.649)

Gangguan cemas menyeluruh dan gangguan mood dengan gejala depresi


(F39)

Amenore sekunder (N91.1)

Miliaria (L01.09)

Diagnosis sindrom cushing pada pasien ini ditegakkan dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien datang dengan keluhan adanya


rasa lelah pada otot yang meningkat, disertai dengan munculnya garisgaris kebiruan pada kulit pinggang, ketiak, dan pahanya. Menurut Weber,
et.al. 1995, adanya kelelahan ditemukan pada 50% kasus, striae pada 60%

kasus, hirsutisme pada 58% kasus, perubahan menstruasi pada 20% kasus,
nyeri kepala pada 50% kasus, jerawat pada 20% kasus, obesitas atau hanya
berupa peningkatan berat badan pada 93% kasus, dan pigmentasi pada 8%
kasus.7 Menurut Singer, et.al. 2015, dalam biografinya Harvey Cushing
menyatakan bahwa dari seluruh tampilan kardinal cushing ini, juga harus
diperhatikan manifestasi psikiatrik yaitu adanya depresi dan bahkan
terjadinya psikosis yang juga umum terjadi. Laboratorium yang abnormal
yaitu

neutrophilic

leukocytosis,

hiperglikemia,

hipokalemia,

dan

hiperkolesterolemia.8

Menurut Yona.2010, Abnormalitas lipid telah dilaporkan

pada 40-70% pasien, termasuk dengan penyakit subklinis. Dislipidemia


pada sidrom cushing ditandai dengan peningkatan total kolesterol, LDL,
dan trigliserida. Menariknya, pasien dengan karakteristik deposisi lemak
yang diinduksi steroid (dorsoservikal, fasial, supraklavikula) selama
paparan terapi glukokortikoid memiliki kadar kolesterol total yang tinggi
dan kadar HDL yang rendah. Total kolesterol dilaporkan meningkat pada
15-52% pasien, dan trigliserida ditemukan meningkat pada 7-35% pasien,
penurunan HDL dilaporkan pada 14,2- 36% pasien.9 Pada pasien ini
didapatkan peningkatan kadar kolesterol total, LDL, trigliserida, dan
penurunan HDL kolesterol.

Pasien mengalami sinus takikardi dan dari gambaran EKG

didapatkan kesimpulan sugestif LVH yaitu S di V1+ R di V5 35 mm (41


mm) tanpa adanya LV strain. Pola LV Strain klasik adalah berupa depresi
segmen ST dan inversi gelombang T pada lead prekordial EKG.16 Menurut
Iwasaki. 2014, pasien dengan sindrom cushing biasanya mengalami
hipertrofi ventrikel kiri yang berat sehubungan dengan disfungsi sistolik
dan diastolik walaupun tanpa adanya hipertensi. Remisi biologis keadaan
hiperkortisol dapat menormalkan kembali struktur dan fungsi parameter
kardiak. Diagnosis awal dan tatalaksana sindrom cushing merupakan hal
yang penting dalam mencegah disfungsi kardiak yang irreversibel dan

kejadian gagal jantung. Perubahan struktur jantung pada sindrom cushing


berhubungan dengan lamanya penyakit, bukan tingginya peningkatan
kortisol dan terjadi lebih sering daripada hipertensi esensial dan hipertensi
sekunder lainnya.15 Menurut Richard,et.al. 2013, untuk penatalaksanaan
LVH pada pasien, merupakan indikasi untuk pemberian ACE-i atau ARB.17

Komorbiditas lainnya yang ditemui pada pasien ini adalah

adanya keadaan hiperkoagulabel yang ditandai dengan pemendekan PT


dan aPTT. Menurut Sharma,et.al. 2015, hypercoagulopathy dapat terkait
dengan abnormalitas hemostasis yang terjadi pada 54% pasien dan
berisiko terjadi tromboemboli vena dengan insidens 2,5- 14,6 per 1000
populasi per tahun.10

Berdasarkan alur diagnosis pada sindrom cushing, pasien

dengan klinis yang dicuriga menderita cushing, harus dieksklusikan


terlebih dahulu adanya penyebab eksogen. Kemudian, diikuti dengan
pemeriksaan skrinning seperti tes supresi dexametason yang dilakukan
pada pasien ini.12 Kecuali pada penyebab eksogen, kadar kortisol urin dan
kortisol plasma akan didapatkan tidak berespon terhadap tes supresi yang
dilakukan.6 Pada pasien ini didapatkan adanya respon terhadap tes supresi
yang dilakukan yaitu didapatkan nilai kortisol plasma yang normal rendah.
Dengan demikian, disertai adanya fakta konsumsi steroid jangka lama
maka diagnosis lebih diarahkan pada sindrom cushing iatrogenik.
Penyebab terbanyak dari sindrom cushing adalah iatrogenik pemberian
steroid eksogen dengan berbagai alasan. Sementara gambaran klinik mirip
dengan yang dijumpai pada tumor adrenal, pasien-pasien ini biasanya
dibedakan dari riwayat klinis dan pemeriksaan laboratorium.2 Terapi
metilprednisolon yang telah diterima pasien ini sebelumnya adalah terapi
metilprednisolon jangka panjang. Menurut perhimpunan rheumatologi
tahun 2011, dosis sedang adalah pemberian prednison >7,5 mg per hari,
tetapi kurang atau sama dengan 30 mg prednison atau setara perhari. 19
Menurut Balo. 2013, metilprednisolon adalah salah satu glukokortikoid

yang poten dengan salah satu efek samping adalah terjadinya supresi aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal dan sindrom cushing pada pemberian dosis
lebih dari 20 mg prednison atau setara dengan 16 mg metilprednisolon per
hari selama lebih dari 3 minggu.26

Diagnosis differensial yang dikirkan pada pasien ini adalah

Pseudo-Cushingoid state. Pseudo-Cushingoid state difikirkan karena


adanya gejala depresi pada pasien serta tidak begitu jelasnya tanda-tanda
Cushing yang dapat menegaskan adanya suatu sindrom cushing. Menurut
Price, et.al.1998, adanya miopati proksimal, easy bruising, dan fragilitas
kulit adalah tanda utama yang dapat membedakan kedua kondisi ini.
Psedu-Cushing state didefinisikan sebagai suatu kondisi klinis yang
menyerupai sindrom cushing disertai bukti hiperkortisolisme, tetapi
mengalami perbaikan dengan teratasinya kondisi yang mendasarinya. Pada
pasien depresi yang disertai dengan gejala cushing, memiliki respon yang
baik

pada

pemeriksaan

insulin-induced

hypoglicemia.7

Dengan

penelusuran lebih lanjut, disimpulkan bahwa pasien ini belum mengalami


depresi, melainkan hanya merupakan perubahan mood yang wajar. Pasien
ini mengalami gangguan cemas dan perubahan mood terkait dengan
sindrom cushing yang sudah dideritanya sebelumnya. Hormon kortisol ini
berhubungan dengan sindrom depresi, dan pasivitas.23 Starkman, et.al.
2000, menyatakan bahwa mood depresi pada tiga perempat pasien yang
diteliti. Amin biogenik telah berperanan dalam regulasi hipotalamus
terhadap pelepasan hormon dari hipofisis anterior, termasuk ACTH.

Ada banyak literatur yang menyatakan hubungan antara

amin biogenik ini dengan depresi. Setidaknya, beberapa kejadian depresi


ini juga berhubungan dengan defisiensi relatif atau absolut dari
katekolamin, norepinefrin tertentu, khususnya reseptor adrenergik di otak.
Selain itu, adanya peptida neuroaktif mungkin merupakan hal yang sangat
penting. Satu contoh peptida adalah -endorfin, berasal dari prekursor
yang sama dengan ACTH di hipofisis anterior. -endorfin dan ACTH

disekresikan secara bersamaan dalam jumlah yang meningkat sebagai


respon terhadap stimulus ACTH. Kadar -endorfin ditemukan meningkat
pada pasien dengan sindrom cushing. Peranannya dalam penyakit
psikiatrik belum dimengerti sepenuhnya. Walaupun pada studi sebelumnya
melaporkan adanya gejala psikiatrik pada pasien yang diberikan endorfin atau antaginis opiat.24 Atrofi otak dan perubahan pada
hipokampus

yang

disebabkan

oleh

peningkatan

sekresi

kortisol

diperkirakan memainkan peranan penting dalam hal terjadinya gejala


psikiatrik

pada

pasien.

Mekanisme

pasti

yang

diinduksi

oleh

glukokortikoid ini pada hipokampus adalah berkurangnya volumenya.25

metabolisme

Efek

fisiologi

protein,

glukokortikoid

karbohidrat,

lemak,

termasuk
dan

asam

pengaturan
nukleat.

Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah dengan bekerja sebagai


antagonis insulin dan dengan menekan sekresi insulin. Dengan demikian,
menghambat ambilan glukosa perifer, meningkatkan glukoneogenesis dan
meningkatkan kandungan glikogen hati. Hal ini adalah faktor yang
menyebabkan terjadinya glucose intolerance pada pasien ini yang berujung
pada diabetes mellitus. Glukokortikoid mengatur mobilisasi asam lemak
dengan meningkatkan aktivitas lipase sel oleh lipid mobilizing hormone
(misal: katekolamin dan peptida hipofisa). Kerja kortisol pada protein dan
jaringan adiposa berbeda pada bagian tubuh berbeda. Contoh, dosis
farmakologik kortisol dapat menurunkan matriks protein pada kolumna
vertebralis (tulang trabekula), tetapi pada tulang panjang (terutama tulang
padat) dipengaruhi hanya sedikit; hal yang sama, massa jaringan adiposa
menurun, sedangkan lemak abdomen dan interscapular bertambah.6

Pasien ini mengalami leukositosis dengan neutrofilia serta

limfopenia relatif. Leukositosis neutrofilik dan limfopenia relatif


berhubungan dengan sindrom cushing ini. Reseptor glukokortikoid
diekspresikan pada leukosit dan diketahui memainkan peranan penting
pada adesi dan rekrutment leukosit dari sumsum tulang. Menurut Iraqi,

et.al, 2014, pasien cushing dengan leukositosis adalah sekitar 40% kasus.
Sebagian besar kasus akan mengalami remisi seiring dengan penurunan
kadar glukokortikoid dalam darah.27 Insiden terjadinya limfopenia relatif
pada pasien cushing adalah sangat jarang yaitu sekitar 19,4 10,8%.28

Penyebab neoplasia adrenal pada pasien ini belum bisa

disingkirkan. Kira-kira 20-25% pasien dengan sindrom cushing menderita


neoplasia adrenal. Tumor ini biasanya unilateral dan kira-kira setengahnya
adalah ganas (maligna). Dua bentuk spesifik menyebabkan hiperplasia
nodular: penyakit autoimun familial pada anak-anak atau dewasa muda
(disebut displasia korteks multinodular berpigmen) dan hipersensitifitas
terhadap gastric inhibitory polypeptide.6 Oleh karena itu, pada pasieni ini
masih bisa difikirkan untuk dilakukan pemeriksaan radiologis lanjutan
yaitu CT Scan adrenal.

Insufisiensi adrenal dapat terjadi pada pasien ini akibat

penggunaan kortikosteroid. Melalui mekanisme umpan balik negatif,


cushing iatrogenik dapat menyebabkan supresi adrenal dengan kadar
kortisol endogen yang rendah. Supresi adrenal tergantung pada potensi,
dosis, rute, durasi menggunakan preparat steroid. Adrenal insufisiensi
dapat diantisipasi dengan pemberian prednisol 7,5 mg/hari selama lebih
dari 3 minggu. Diagnosis dibuat berdasarkan konsentrasi kortisol dalam
sirkulasi yang rendah yang gagal mengalami peningkatan saat dilakukan
tes ACTH. Pasien dengan putus obat kortikosteroid seringkali mengalami
gejala kelemahan, sulit tidur, nyeri-nyeri sendi berisiko mengalami krisis
adrenal.31, 32

Diagnosis systemic lupus erythematosus (SLE) pada pasien

ini belum bisa dipastikan karena tidak adanya data laboratorium yang
dapat menjadi dasar diagnostik pada pasien ini. Terhadap pasien ini
dilakukan pemeriksaan ANA (antibodi antinuklear), dan anti ds-DNA yang
merupakan antibodi terhadap native DNA. ANA yang positif ditemukan

pada 98% pasien, ini adalah tes yang sensitif untuk skrining. Titer yang
tinggi dari anti ds-DNA spesifik untuk SLE, tetapi juga memiliki korelasi
dengan aktivitas penyakit, vaskulitis, dan nefritis. 20 Diagnosis banding
yang difikirkan pada pasien ini adalah artritis rheumatoid (AR) dengan
skor ACR-EULAR 2010 adalah 5. Hal ini difikirkan sebagai diagnosis
banding karena adanya nyeri-nyeri sendi kecil yang terjadi secara simetris
pada pasien ini, walaupun karakteristik nyeri sendinya tidak begitu khas
untuk AR. Perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa Anti-CCP apabila
tidak terbukti adanya SLE pada pasien ini. 29 Diagnosis banding lainnya
dari SLE ini juga difikirkan adanya polimiositis dengan gejala adanya
kelemahan, yang berhubungan dengan artralgia, mialgia. Untuk diagnosis
pasti polimiositis ini perlu dilakukan pemeriksaan enzim otot yang
mengalami peningkatan. Antibodi spesifik anti-Jo-1 dapat membantu
membedakan polimiositis dengan SLE.30

Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah dilakukan

tappering off metilprednisolon yang diturunkan 4 mg per 2 minggu.


Tujuan terapi adalah menormalisasi kadar kortisol serum. Pada pasien juga
perlu diwaspai terjadinya insufisiensi adrenal.

DAFTAR PUSTAKA

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

17
18
19
20
21
22
23

Guyton, Arthur C. Hormon Adrenokortikal dalam: Fisiologi Kedokteran. 2006.


Jakarta: EGC. Hal. 1203-90
Piliang, Syafril, Chairul Bahri. Hormon Steroid dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 2009. Jakarta: FKUI. Hal. 1995-2000
Brandt, Mark. Steroid Hormone Biosynthesis. 2003. P.1-6
BioHealth Diagnostics. Steroidal Hormone Principal Pathways. San Diego:
Canon St. 2004
Craigie, Eilidh, John J. Mullin, Matthew A. Bailiy. Glucocorticoids and
Mineralocorticoids. Weinhem: Verlag. 2008. P.1-37
Piliang, Syafril, Chairul Bahri. Hiperkortisolisme dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 2009. Jakarta: FKUI. Hal. 2001-4
Price, John Newell, Peter Trainer, Michael Besser, Ashley Grossman. The
Diagnosis and Differential Diagnosis of Cushings Syndrome and PseudoCushings States. 1998. London: St. Bartholomews Hospital. P.647-65
Singer, Eugenia, Sebastian Strohm, Ursula Gobel, Markus Bieringer, Dierk
Schmidt, Wolfgang Schneider. Cushings Disease, Hypertension, and Other
Sequels. 2015. Germany: HELIOS. P.1001-5
Greenman, Yona. Management of Dyslipidemia in Cushings Syndrome. Israil:
Tel-Aviv-Sourasky Medical Centre. 2010. P.91-95
Sharma, S.T, L.K Nieman, R.A Feelders. Comorbidities in Cushings disease.
Netherlands: CE Rotterdam. 2015. P.187-92
Patient Information. Cushings Syndrome And Cushings Disease. 2013 Update
The Endocrine Societys Clinical Guideline. The Diagnosis of Cushings
Syndrome: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. P.5-21
Terzolo, M, A.Pia, G.Reimondo. Subclinical Cushings syndrome: definition and
management. Italy: San Luigi. 2011. P.12-6
Prevedello, Daniel M, Sue M.Challinor, Nestor D.Tomycz, Paul Gardner, Ricardo
L.Carrau, Carl Snyderman, et.al. Diagnosing, Managing Cushings Disease: A
Multidisciplinary Overview. Pittsburgh: Syndermann. 2009. P.19-23
Iwasaki, Kiroaki. Reversible alterations in cardiac morphology and functions in
a patient with cushings syndrome. 2014. Japan: Toshiba Ronkan Hospital
Salles, Gil, Claudia Cardoso, Arnando R.Nogueira, Katia Bloch, Elizabeth
Muxfeldt. Importance of the electrocardiographic strain pattern in patients with
resistant hypertension. 2006. Brasil: Federal University of Rioi de Janeiro. P.43741
Feelders, Richard A, and Leo J. Hofland. Medical Treatment of Cushings
Disease. Netherlands: Erasmus Medical Centre. 2013. P.425-35
Karnath, Bernard, and Olugbenga Babatunde Ojo. Cushings Syndrome. Texas:
Hospital Physician. 2008. P.25-9
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Rekomendasi
Pehimpunan Reumatologi Indonesia 2011
Menachem, Erez. Systemic Lupus Erythematosus. Israel: Sheba Medical Centre.
2010. P.665-72
Tsokos, George. Systemic Lupus Erythematosus. Israel: Deaconnes Medical
Centre. 2011. P.2110-21
Mok CC, C S Lau. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Hongkong:
Koon Road. 2003. P.481-8
Boyle, Robert. The Anatomy and Physiology of The Human Stress Response.
New York: Springer. 2013. P.1-17

24 Starkman, Monica, David E. Schteingart, Anthony Schork. Depressed Mood and


Other Pscyhiatric Manifestations of Cushings Syndrome: Relationship to
Hormone Levels. America: Elsevier. 1981. P.1-8
25 YF, Chen, Li YF, Chen Y, Sun QF. Neuropsychiatric disorders and cognitive
dysfunction in patients with cushings disease. England Journal. 2013
26 Balo, Timea. Cushings Syndrome. 3rd Dept of Internal Medicine. 2013
27 Iraqi, Masri, Robenshtok E, Tzvetov G, Manistersky Y, Shimon I. Elevated White
Blood Cell Count in Cushings Disease. Pubmed. 2014
28 T, Okamoto, Obara T, Ito Y, Izuo M, Yamashita T, Kanaji Y, et.al. Relative
Lymphopenia in Cushings Syndrome. Japan: Pubmed. 1993
29 Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. 2014

30 Jaw Ji, Tsai. SLE: Differential diagnosis with other connective tissue
diseases. Section of Allergy and clinical Immunology Cathay General
Hospital. 2004
31 Stewart, P. Iatrogenic Adrenal Suppression: diagnosis and management.
UK: Harrogate. 2009
32 Emmelweis Egyetem, Altalnos Orvostudomnyi Kar, II. Belgygyszati
Klinika, Budapest. Treatment of iatrogenic Cushing syndrome: questions of
glucocorticoid withdrawal. Hungary: Pubmed. 2007

Anda mungkin juga menyukai