Anda di halaman 1dari 9

Artikel : Deteksi dini dari Karsinoma Nasofaring

Keiji Tabuchi,Masahiro Nakayama, Bungo Nishimura, KentaroHayashi, and Akira


Hara
Department of Otolaryngology, Graduate School of Comprehensive Human
Sciences, University of Tsukuba, 1-1-1 Tennodai, Tsukuba 305-8575, Japan
1.

Pendahuluan
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamsa nonlimfomatik

yang terjadi pada garis epitel dari nasofaring. neoplasma ini memperlihatkan
perbedaan derajat dari diferensiasi dan paling sering terlihat pada recess
pharingeal (Fossa Rosenmuller), posteromedial sampai medial crura dari muara
tuba eustachius di nasofaring.
KNF adalah bentuk dari kanker kepala dan leher yang berbeda dari keganasan
lainnya yang berada pada saluran nafas dan pencernaan bagian atas berdasarkan
etiologi, epidemiologi, patologi, gambaran klinis dan respon terapi. Diluar lokasi
endemik di Asia tenggara, KNF ini jarang ditemukan hanya sekitar 1/1.000.000
orang. Di Amerika Utara, KNF terhitung sekitar 0,2% dari semua penyakit
keganasan dengan jumlah kasus 0,5-2 kasus per 100.000 laki-laki dan 1,3 pada
perempuan. Insidensi dari KNF terlapor tinggi pada Ras Cina yang berimigrasi ke
Asia Tenggara ataupun Amerika Utara., tapi lebih rendah pada Ras Cina yang
lahir di Amerika Utara dibandingkan Asia Tenggara. Hal ini disimpulkan bahwa
genetik sama tingginya dengan faktor lingkungan sebagai penyebab penyakit.
Hal utama dari tatalaksana KNF adalah radioterapi, tapi hasil dari tatalaksana
tersebut tidak terlalu memuaskan. Fokus utama dari ulasan ini adalah mengenai
KNF, terutama gambaran pengamatan dari deteksi dini KNF.
2.

Epidemiologi dan Etiologi


Karsinoma nasofaring adalah keganasan yang relatif jarang ditemukan di

sebagian besar dunia. 2% nya terdiri dari sel skuamos karsinoma dengan angka
kejadian 0,5 - 2 per 100.000 di Amerika Serikat. Namun, karsinoma nasofaring
endemik di banyak daerah geografis, termasuk Cina Selatan, Asia Tenggara,
Jepang,\ dan Timur Tengah atau Afrika Utara. Ho melaporkan bahwa karsinoma

nasofaring merupakan keganasan yang menempati urutan ketiga pada pria, dengan
angka kejadian 50 per 100.000 di Provinsi Guangdong Cina Selatan. Emigrasi
dari daerah dengan angka kejadian tinggi ke daerah dengan angka kejadian rendah
seperti Amerika Serikat dan Kanada dapat mengurangi angka kejadian karsinoma
nasofaring di generasi pertama Cina, tetapi masih tetap menjadi urutan ke tujuh di
Kaukasia.
Karsinoma nasofaring muncul sebagai penyakit kompleks yang disebabkan
oleh interaksi antara infeksi kronis dengan virus herpes gamma onkogenik Virus
Epstein-Barr (EBV) dan lingkungan dan faktor genetik, melibatkan tahapan
proses proses karsinogenik. EBV ada diseluruh dunia, menginfeksi lebih dari 95%
dari populasi global orang dewasa. Di Hongkong, 80% anak-anak terinfeksi pada
usia 6 tahun dan hampir 100% telah menjadi serokonversi pada usia 10 tahun.
Meskipun EBV merupakan infeksi subklinis, virus ini terkait dengan
perkembangan selanjutnya dari beberapa keganasan termasuk karsinoma
nasofaring. Hal ini ditularkan dari air liur, dan infeksi yang terjadi selama masa
kanak-kanak dengan replikasi virus pada lapisan sel-sel orofaringeal, kemudian
diikuti oleh infeksi laten limfosit B ( target utama dari EBV ). Titer Peningkatan
EBV terkait dengan antigen ( terutama IgA ) , infeksi laten EBV ini teridentifikasi
dalam sel neoplastik dari hampir semua kasus KNF , dan klonal genom EBV
secara konsisten terdeteksi pada karsinoma invasif dan lesi displastik tingkat
tinggi yang menunjukkan peran penting dari EBV pada patogenesis KNF di
daerah endemic
Paparan

nonviral

dapat

meningkatkan

risiko

KNF,

yaitu

dengan

mengkonsumsi ikan asin yang diawetkan sebagai makanan pokok tradisional di


beberapa daerah endemic-KNF. Dalam studi populasi Cina, risiko relatif KNF
terkait dengan konsumsi setiap minggu, dibandingkan dengan tidak pernah atau
jarang mengkonsumsi, umumnya berkisar 1,4-3,2 per 100.000 sedangkan untuk
konsumsi setiap harinya berkisar 1,8-7,5. Makanan garamyang diawetkan adalah
makanan pokok di semua populasi KNF-endemik. Dengan demikian, pola
makanan pokok ini dapat menjelaskan distribusi kejadian KNF di internasional.
Potensi karsinogenik pada ikan asin yang diawetkan ini didukung oleh percobaan
pada tikus, yang menunjukkan perkembangan kanker hidung ganas dan tumor

nasofaring setelah mengkonsumsi ikan asin. Proses pengawetan garam yang tidak
efisien, menyebabkan ikan dan makanan lainnya sebagian menjadi membusuk.
Akibatnya, makanan ini dapat meningkatkan kadar nitrosamin, yang dikenal
sebagai zat karsinogen pada hewan. Ikan asin-yang diawetkan ini juga
mengandung bakteri mutagen, endotoksin langsung, dan zat EBV-bereaksi. Salah
satu atau semua dapat berkontribusi terhadap hubungan yang diamati tersebut.
Namun, belum ada penelitian studi prospektif dari risiko KNF dengan
mengkonsumsi ikan asin yang diawetkan, atau semua faktor paparan lingkungan
lainnya, di daerah endemik.
Beberapa penelitian telah menjelaskan antara frekuensi antigen leukosit
manusia (HLA) kelas I gen dalam populasi tertentu dan risiko mengembangkan
KNF. Misalnya, peningkatan risiko NPC yang diamati pada individu dengan alel
HLA-A2, khususnya HLA-A0207 [31]. Studi pada penelitian genome baru-baru
ini menjelaskan keterlibatan molekul HLA di generasi NPC. Perubahan gen
seluler juga berkontribusi terhadap pengembangan NPC, terutama inaktivasi gen
supresor tumor, SPLUNC1, UBAP1, BRD7, Nor1, NGX6, dan LTF.
3.

Patologi
Pada

tahun

1978,

WHO

mengklasifikasikan

karsinoma

nasofaring

berdasarkan histologi menjadi 3 grup. Tipe 1 (Squamos Cell Carsinoma


berkeratinisasi), tipe 2 (karsinoma nonberkeratinasasi) dan tipe 3 (karsinoma yang
tidak berdeferensiasi). Pada tahun 1991 WHO membagi klasifikasi dari karsinoma
nasopharing dengan 2 grup: yaitu . Tipe 1 Squamos Cell Carsinoma
berkeratinisasi dan tipe 2 karsinoma nonberkeratinasasi (dimana dulu grup 2 dan 3
digabung jadi satu kategori). Karsinoma nonkeratinisasi dibagi dalam karsinoma
berdiferiensisasi dan nondiferensiasi. Klasifikasi ini lebih mudah teraplikasi
dalam penelitian epidemiologi dan juga bisa digunakan untuk prognosis penyakit.
Karsinoma undefirensiasi mempunyai pengaruh yang baik terhadap pengobatan
serta mempunyai metastasis ke jaringan yang lain dibandingkan karsinoma
berdireferensiasi.

Karsinoma yang tidak terdiferensiasi memiliki tingkat kontrol tumor lokal


yang lebih tinggi dengan pengobatan dan memiliki insiden yang lebih tinggi untuk
bermetastasis jauh daripada karsinoma yang terdiferensiasi.
Data yang telah dipublikasikan menunjukkan proporsi yang lebih tinggi pada
karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi di antara semua karsinoma nasofaring
pada area non endemis jika dibandingkan dengan area endemis. Beberapa studi
melaporkan bahwa karsinoma sel skuamosa terhitung sekitar 25% dari seluruh
karsinoma nasofaring di Amerika Utara, namun hanya 1% pada daerah endemis;
sedangkan karsinoma yang tidak terdiferensiasi terhitung sekitar 95% dari semua
kasus di area dengan insiden yang tinggi, namun 60% dari kasus di Amerika Utara
4.

Pengobatan Awal
Radioterapi merupakan terapi andalan untuk karsinoma nasofaring. Bidang

radiasi yang khas mencakup dasar tengkorak yang berdekatan dan nasofaring.
Bidangnya diarahkan secara bilateral dan termasuk jalur drainase limfatik
retrofaringeal. Tingkat kontrol pada radioterapi konvensional adalah 75-90% pada
tumor T1 dan T2, dan 50-75% pada tumor T3 dan T4. Karena tingginya insiden
metastasis pada nodul servikal yang tersembunyi, radiasi leher sebagai profilaksis
juga disarankan bahkan pada kasus N0. Kontrol terhadap regio nodul servikal
telah tercapi sebanyak 90% dari kasus N0 dan N1, dan sekitar 70% dari kasus N2
dan N3. Diwajibkan untuk menjaga jadwal terapi karena terapi yang terputus atau
diperpanjang akan menurunkan manfaat radioterapi.
Studi terbaru telah menyarankan adanya penambahan kemoterapi pada
radioterapi dapat meningkatkan hasil terapi pada pasien dengan karsinoma
nasofaring. Studi acak antar kelompok fase III 0099 menunjukkan bahwa pasien
yang diterapi dengan radiasi saja secara bermakna memiliki tingkat bertahan
hidup yang lebih rendah 3 tahun dari pada mereka yang menerima radiasi dengan
kemoterapi dengan cisplatin dan 5 florourasil. Sebuah meta analisis mengenai
kemoterapi untuk Karsinoma nasofaring dilakukan oleh Baujat et al dengan desain
data individu pasien. Mereka melaporkan peningkatan yang nyata pada tingkat
bertahan hidup hingga 5 tahun disebabkan oleh penambahan kemoterapi (56%
dengan radioterapi saja versus 62% dengan kemoradioterapi). Ditambah lagi pada

penemuan ini, studi fase iii atau meta analisis yang lain juga melaporkan
keunggulan dari kemordioterapi dengan radioterapi saja secara bersama-sama.
Laporan diatas menyarankan manfat dari penambahan kemoterapi, terutama pada
kasus karsinoma nasofaring lanjutan. Namun, masih diperdebatkan efektivitas dari
penambahan tersebut dan isu mengenai penambahan kemoterapi adjuvant bahkan
lebih controversial.
5.

Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring


Wei dan Sam membagi gejala yang diperlihatkan oleh pasien dengan

karsinoma nasofaring dalam empat kategori: (1) gejala yang disebakan oleh
adanyan massa tumor pada nasofaring (epistaksis, obstruksi pada hidung, dan
lendir/sekret), (2) gejala yang berkaitan dengan disfungsi tuba eustachius
(hilangnya pendengaran), (3) gejala yang berkaitan dengan ekstensi superior pada
tumor (sakit kepala, diplopia, nyeri pada wajah dan mati rasa), dan (4) massa pada
leher. Karena gejala yang berkaitan dengan KNF di tahap awal biasanya tidak
spesifik, sebagian besar pasien KNF didiagnosis pada stadium lanjut. Sebagai
hasil pengobatan untuk KNF tidak memuaskan dalam stadium lanjut, diagnosis
dini dan manajemen yang tepat adalah penting untuk mencapai Hasil perlakuan
istimewa. Perkembangan yang baik KNF protokol skrining utama sehingga dapat
berkontribusi pada deteksi dini dan meningkatkan hasil pengobatan.
Bentuk endemik KNF dikaitkan dengan EBV, meskipun peran dari EBV
dalam patogenesis KNF masih belum jelas. Titer antibodi IgA untuk EBV kapsid
virus antigen (EBV-IgA-VCA) dan EBV antigen awal (EBV-EA) di
immunofluorescent tes dapat digunakan untuk serologi yang skrining dari KNF.
Dalam beberapa tahun terakhir, enzyme-linked tes immunosorbent (ELISA)
menggunakan dimurnikan rekombinan Antigen EBV semakin menganjurkan di
tempat dari tes immunofluorescent tradisional. Tes ini sering mendahului
munculnya KNF dan berfungsi sebagai penanda tumor remisi dan kekambuhan. Ji
et al. dipantau kadar antibodi EBV IgA kasus KNF di cara calon. Mereka
menegaskan bahwa elevasi dari Tingkat antibodi EBV mendahului onset klinis
KNF. Mereka juga melaporkan bahwa ada jendela sekitar 3 tahun sebelumnya
timbulnya klinis, ketika tingkat antibodi yang ditinggikan dan dipertahankan pada

tingkat tinggi. Namun, tidak satupun dari tes skrining serologis muncul
memuaskan sampai saat ini karena sensitivitas tingkat rendah atau spesifisitas.
Deteksi EBV yang gen di penyeka nasofaring dari pasien bergejala telah terbukti
sangat prediktif dari gejala KNF.
Pendekatan proteomik telah diterapkan untuk analisis neoplasma ganas.
Untuk penggunaan praktis dalam skrining tumor, biomarker harus dapat diukur
dalam sampel cairan tubuh. Baru-baru ini, Wei et al. menganalisa sampel serum
dari pasien dengan KNF menggunakan analisis proteomik. Mereka melaporkan,
empat puncak protein pada 4097, 4180, 5912, dan 8295 dalton (Da) diskriminasi
pasien KNF dengan kepekaan dari 94,5% dan spesifisitas 92,9%. Selanjutnya,
Chang et al. melaporkan bahwa penggunaan panel tiga penanda (cystatin A,
MnSOD, dan MMP 2) dapat berkontribusi untuk meningkatkan KNF deteksi.
Penanda potensial lainnya untuk diagnosis KNF termasuk galectin-1, fibronektin,
Mac-2 protein yang mengikat, dan plasminogen activator inhibitor 1. Ada
kemungkinan bahwa penggabungan tes ini di rutinitas skrining KNF dapat
meningkatkan deteksi awal.
Pentingnya sindrom klinis, sejarah, dan klinis. Pemeriksaan untuk
membantu diagnosis awal KNF bisa tidak bisa diabaikan. Individu dengan
acquired immunodeficiency sindrom (AIDS) mewujudkan peningkatan risiko
KNF. Yang paling umum keluhan utama adalah massa leher terasa sakit atau
massa. Setiap orang dewasa yang mengalami dijelaskan unilateral otitis media
serosa harus diteliti dengan seksama untuk menyingkirkan KNF. Endoskopi
memainkan peran kunci dalam mendeteksi awal lesi KNF, dan biopsi endoskopik
memungkinkan diagnosis definitif mereka. Lesi awal biasanya terjadi pada
dinding lateral atau atap nasofaring. Vlantis et al. melaporkan skor endoskopi
tujuan kelainan nasofaring untuk memprediksi kemungkinan KNF. Mengingat
bahwa faktanya mendeteksi karsinoma nasopharyngeal terkadang kala sulit
dengan endoskopi. Endoskopi biasanya menemukan awal dari lesi karsinoma
nasopharyngeal yang halus, hanya fossa rosenmuler yang kecil, atau penonjolan
kecil atau atap nasofaring yang asimetris. Ketika kita curiga kuat terhadap adanya
karsinoma

nasopharyngeal, berdasarkan diagnosis awal dari karsinoma

nasofaring, diperkuat dengan pemeriksaan gambaran radiologi dan atau dengan

biopsy dari mukosa nasopharing walaupun permukaan mukosa nasopharing


terlihat normal.
Perhatian khusus terhadap pasien dengan gambaran pasien dengan otitis
media serosa unilateral ( pengeluaran stasis dari unilateral telinga tengah) atau
nodul adenopathy dari kelanjar limfe cervical maka kita perlu melakukan MRI.
Kebanyakan karsinoma nasofaring berasal dari fossa rusenmuller. Sumbatan dari
saluran tuba eustachius mengakibatkan otitis media serosa. Lebih kurang 70%
pasien dengan karsinoma nasopharing terdapat massa di daerah leher dan 60
sampai 96%

dari pasien karsinoma nasopharing terdapat adenopahty pada

kelenjar limfe di daerah servikal. Massa di leher dapat dilihat di bagian atas leher.
Tumor dengan ukuran T1 di nasopharing mungkin tidak terlihat dan juga susah
dibedakan dengan mukosa yang normal pada CT Scan dan MRI. Bagaimanapun,
seperti tumor yang kecil biasanya terbaca karena reaksi kurang meningkat
terhadap galonium dibandingkan mukosa yang normal.

Jadi MRI dapat

mendeteksi kanker yang tidak terlihat dengan endoskopi. Pemeriksaan dengan


MRI lebih bagus dibandingkan dengan 18-fluoro-2deoksiglukose (PDG) Positron
Emision Theraphy (PET) untuk pengkajian invansi dari lokoregional dan
retropharing nodul metastasis. PET tidak cocok untuk mendetksi nodul kecil di
retropharing atau membedakan nodul di retropharing dengan tumor primernya.
6.

Diagnosis Dini pada Nasofaringeal Karsinoma berulang


Pada zaman sekarang, untuk pemeriksaan lanjutan pada pasien yang pernah

menderita Karsinoma Nasofaringeal dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan


pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan fiberscope fleksibel merupakan
pemeriksaan yang utama pada saat pemeriksaan lanjutan setelah radiasi. Namun,
reaksi mukosa pada saat radioterapi menjadi hal yang sulit untuk mendeteksi
secara dini lesi yang berulang. Adanya sekresi dan kerak yang ada pada mukosa
nasofaring menghambat deteksi dini kekambuhan nya karsinoma nasofaringeal.
Selain itu, deteksi dari submukosa lesi berulang sulit dengan menggunakan
pemeriksaan fiberscopic. Jika lesi KNF berulang dapat didiagnosis dengan benar
dan pada waktu yang tepat, lesi ini dapat diobati dengan kemoterapi, reirradiation
ataupun dengan radioterapi konvensional eksternal seperti brakiterapi, dan

stereotactic

radioterapi,

atau

operasi.9

Dalam

hal

tindakan

bedah,

Nasopharyngectomy untuk lesi KNF berulang masih dapat menghasilkan


komplikasi serius. Namun, lesi berulang awal (seperti lesi rT1) dapat diobati
secara efektif dengan Laser nasopharyngectomy.67 Diagnosis yang tertunda
mengakibatkan pengobatan yang tertunda, yang dapat mengurangi harapan hidup
pasien dengan lesi KNF berulang.
Narrow-band Imaging (NBI) merupakan teknik pemeriksaan optikal terkini
yang mampu meningkatkan kemampuan sensitivitas diagnostik endoskopi dalam
menentukan karakteristik jaringan dengan menggunakan narrow-bandwidth filters
pada sistem video endoskopi, dengan bantuan karakterisktik tertentu dari
spektrum cahaya yang berurut merah-hijau-biru. Lesi karsinoma mukosa yang
jarang terdeteksi dengan menggunakan endoskopi konvensional, dapat terdeteksi
dengan

NBI,

yaitu

dengan

melihat

nonangiogenetic,

pola

proliferasi

mikrovaskuler.68.69 Baru-baru ini, Lin dan Wang menerapkan teknik ini untuk
mendeteksi secara dini lesi mukosa KNF berulang. Mereka melaporkan bahwa
lesi berulang KNF setelah radioterapi berhasil terdeteksi oleh NBI ditambah
dengan endoskopi konvensional.
Pemeriksaan radiologi setelah pengobatan awal yang dapat dilakukan
adalah CT Scan dan MRI untuk mendeteksi lesi berulang. Umumnya, MRI lebih
unggul dari pada CT Scan dalam mendeteksi kelainan jaringan lunak.
Pemeriksaan MRI dapat dilakukan pada 2-3 bulan setelah pengobatan awal
selesai. Setelah pemeriksaan awal, pemeriksaan selanjutnya direkomendasikan
setiap 3 sampai 6 bulan untuk 2 tahun pertama pasca-perawatan.63 Udem yang
timbul disebabkan oleh radioterapi dapat terlihat pada pemeriksaan radiologi.
Namun, seharusnya setiap tanda kelainan di nasofaring pada pemeriksaan MRI
haruslah stabil atau berkurang pada setiap pemeriksaan. Setelah 2 tahun
pemeriksaan tanpa adanya tanda kekambuhan, interval pemeriksaan radiologi
dapat dilakukan setiap setiap 6 sampai 12 bulan.63 Baru-baru ini, beberapa
institusi melaporkan keefektivitasan dari pada FDG-PET dalam mendeteksi lesi
KNF berulang. FDG-PET sering digunakan untuk mendeteksi lesi berulang
berbagai macam jenis tumor. PET dijelaskan dapat membedakan KNF berulang
dari perubahan pasca radiation, seperti nekrosis jaringan, fibrosis, dan edema.70-

73 Liu et al melaporkan bahwa sensitivitas dari CT Scan, MRI, dan PET untuk
mendeteksi sisa lesi ataupun lesi KNF berulang yaitu masing-masing 76%, 78%,
dan 95%. Temuan ini menunjukkan bahwa PET merupakan alat yang berguna
dalam deteksi dini lesi KNF berulang. Namun, masih adanya beberapa
keterbatasan mengenai penggunaan PET untuk deteksi dini lesi KNF berulang.
Penyerapan FDG dapat meningkat oleh karena adanya reaksi inflamasi pada
beberapa waktu setelah radioterapi.74 Selain itu, jika dilihat dari segi biaya
pemeriksaan PET merupakan pemeriksaan yang efektif yang dapat dilakukan jika
hasil MRI tidak jelas.
7.

Kesimpulan
Deteksi dini KNF pada stadium awal seringkali sulit dikarenakan gejala yang

timbul tidak spesifik. Tes serologi-EBV merupakan pemeriksaan skrining pada


populasi yang meiliki resiko tinggi, namun tes skrining ini jarang tersedia di
klinik sehari-hari. Biomarker molekul merupakan pemeriksaan yang terkini untuk
mendeteksi dini lesi KNF. Dalam hal pemeriksaan radiologi, MRI merupakan
pemeriksaan yang cocok untuk mendeteksi dini lesi, dan penggunaan PET untuk
diagnosis awal KNF tampaknya tidak dibenarkan. Diagnosis dini dari sisa lesi
ataupun lesi KNF berulang juga merupakan hal yang sulit. Reaksi mukosa pasca
radiasi membuat diagnosis yang tepat sulit didapat. Pemeriksaan PET dapat
dilakukan untuk mendeteksi adanya sisa lesi ataupun lesi KNF berulang jika pada
pemeriksaan MRI tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pemeriksaan NBI
juga dapat dilakukan dalam mendeteksi dini lesi mukosa berulang. Dengan adanya
pemeriksaan diagnostik terbaru ini, dapat meningkatkan kepercayaan tenaga
medis dan masyarakat umum bahwa karsinoma faringeal dapat terdeteksi secara
dini.

Anda mungkin juga menyukai