Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran
finansial masyarakat. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.1,2
Infeksi sinus yang disebabkan oleh jamur jarang terdiagnosis kerena sering
luput dari perhatian. Penyakit ini mempunyai gejala mirip dengan rinosinusitis
kronis yang disebabkan bakteri. Apabila kasus rinosinusitis tidak mengalami
perbaikan dengan pengobatan antibiotika dan dekongestan, perlu dipikirkan
kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh jamur. Walaupun secara luas diketahui
infeksi jamur pada hidung dan sinus paranasal jarang ditemukan, beberapa ahli
setuju bahwa terdapat peningkatan kejadian infeksi sinus yang disebabkan oleh
jamur pada dua dekade terakhir. Pada laporan terdahulu infeksi jamur
diperkirakan terdapat pada 10 % kasus rinosinusitis yang memerlukan tindakan
pembedahan. Laporan terbaru dan kontroversi oleh Ponikau et al memperkirakan
bahwa infeksi jamur terdapat pada 96 % kasus rinosinusitis kronis.1-4
Rinosinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu
keadaan yang tidak jarang di temukan. Angka kejadiannya meningkat dengan
meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan
radioterapi. 5

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling
sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
sinusitis sfenoid lebih jarang. Pada anak hanya sinus maksila dan sinus
etmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum.
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri, atau jamur.5,6

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Anatomi Hidung
a. Bentuk Hidung
Bentuk hidung menurut antropologi dapat dibagi dalam 3 golongan besar,
yaitu golongan Mesorrhine/Asia, golongan Plattyrrhine/Afrika, dan
Leptorrine/Kaukasian (Orang Barat). Pada hidung Asian ketinggian
tulang hidung sedang, lubang hidung oval, lebar ke tengah. Pada hidung

Afrika hidung pesek/rendah, lubang hampir bulat dan datar. Pada ras
Kaukasian umumnya tulang hidung lebih tinggi dan lebih sempit, lubang
hidung ovale ke atas, tulang rawan upper lateral dan lower lateral lebih
besar.
Gambar 1. Golongan Mesorrhine
Gambar 3. Golongan

Gambar 2. Golongan Plattyrrhine

Gambar 1. Anatomi Nasal Externus

b. Rongga Hidung
Cavum nasi terletak dari nares anterior sampai nares posterior (choana).
Dasar dari cavum nasi dibentuk oleh processus palatinus ossis maxillae dan
lamina horizontalis ossis palatini yaitu permukaan atas palatum durum. Bagian
atap di bentuk oleh corpus os sphenoidalis, lamina cribrosa, os ethmoidalis, os
frontale, os nasale, dan cartilago nasi.
Dinding lateral dari cavum nasi terdapat tiga benjolan yaitu concha nasalis
superior, media dan inferior. Area dibawah tiap concha disebut meatus. Recessus
sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak diatas concha nasalis superior
dan didepan corpus sphenoedalis.7Meatus nasi superior terletak dibawah dan
lateral dari concha nasalis superior dan terdapat muara dari sinus ethmoidalis

posterior. Meatus nasi media terletak di bawah dan lateral concha media. Pada
dinding lateralnya terdapat bulla ethmoidalis. Sebuah celah yang melekung
disebut hiatus semilunaris yang terletak tepat dibawah bulla. Ujung anterior hiatus
masuk kedalam saluran yang ber bentuk corong disebut infundibulum. Sinus
maksilaris bermuara pada meatus nasi media melalui hiatus semilunarus. Sinus
frontalis dan sinus ethmoidalis anterior bermuara pada infundibulum.7
Meatus nasi inferior terletak dibawah dan lateral concha inferior dan
terdapat muara dari duktus nasolakrimalis. Dinding medial atau septum nasi
merupakan osteokartilago yang di tutupi membrana mukosa. Membrana mukosa
melapisi cavum nasi kecuali vestibulum. Terdpat dua jenis membrana mukosa
yaitu mukosa olfactorius dan respiratorius. Membrana mukosa olfactorius
melapisi permukaan atas concha nasalis superior dan recessus sphenoetmoidalis;
juga melapisi daerah septum nasi yang berdekatan dengan atap. Fungsinya adalah
menerima rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mukosa memiliki sel-sel
penghidu khusus. Permukaan membrana mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar
serosa yang berjumlah banyak. 7
c. Histologi Hidung
Rongga hidung terdiri atas 2 struktur yang berbeda :di luar adalah
vestibulum dan di dalam fossa nasalis.
Vestibulum adalah bagian rongga hidung paling anterior yang melebar,
kira-kira 1,5 cm dari lubang hidung. Bagian ini dilapisi oleh epitel berlapis pipih
yang mengalami keratinisasi,

terdapat rambut-rambut pendek dan tebal atau

vibrissae dan terdapat banyak kelenjar minyak (sebasea) dan kelenjar keringat.
Fossa nasalis dibagi menjadi 2 ruang oleh tulang septum nasalis. Dari masing-

masing dinding lateral terdapat 3 penonjolan tulang yang dikenal sebagai concha,
yaitu concha superior, concha tengah dan concha inferior.
Dinding fossa nasalis terdiri dari sel epitel silindris berlapis semu bersilia,
sel-sel goblet yang menghasilkan mucus. Pada lamina propria terdapat jaringan
ikat dan kelenjar serous dan mukus yang mendukung sekresi sel goblet, dan juga
terdapat vena yang membentuk dinding tipis yang disebut cavernous bodies. Pada
concha superior dan septum nasal membentuk daerah olfaktori dengan sel-sel
khusus yang meliputi sel-sel olfaktori, sel pendukung dan sel sel basal. Sel
olfaktori merupakan neuron bipolar/ sel neuroepitel, yang mempunyai akson pada
lamina propria dan silia pada permukaan epitel. Silianya mengandung reseptor
olfaktori yang merespon bahan yang menghasilkan bau. Pada laminar proprianya
terdapat kelenjar Bowman, alveoli dan salurannya dilapisi oleh sel epitel kubus.
Kelenjar ini menghasilkan sekresi serous yang berwarna kekuningan.

Gambar 2. Histologi Rongga Hidung


d. Vaskularisasi Hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri.
karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya adalah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dariforamen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan daricabangcabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arterisfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior, dan arteri
palatina mayor yangdisebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung)terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
denganarterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehinggamerupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.7,8,9
e. Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila
(N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut

simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan


sedikit di atas ujung posterior konka media. 7,8
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.7,8

2. Fungsi Pernapasan
Fungsi pernapasan normal pada hidung, saat udara mengalir melalui hidung,
terdapat tiga fungsi yang berbeda ysng di kerjakan oleh rongga hidung:
1. Udara dihangatkan oleh permukaan concha dan septum yang luas, dengan
total area kira-kira 160 cm2,
2. Udara dilembabkan sampai hampir lembab sempurna bahkan sebelum
udara meninggalkan hidung,
3. Udara disaring sebagian.
Semua fungsi ini secara bersama-sama disebut fungsi pelembab udara dari
saluran napas bagian atas. Biasanya suhu udara inspirasi meningkat sampai 1F
melebihi suhu tubuh dan dengan kejenuhan uap air 2 sampai 3 persen sebelum
udara mencapai trakea.10
Fungsi penyaringan hidung. Bulu-bulu pada pintu masuk lubang hidung
penting untuk menyaring partikel-partikel besar. Walaupun demikian, jauh lebih
penting untuk mengeluarkan partikel melalui presipitasi tubulen. Artinya, udara
yang mengalir melalui saluran hidung membentur banyak dinding penghalang:
konka (disebut juga turbinates sebab konka menimbulkan turbulensi udara),
septum dan dinding faring. Tiap kali udara membentur penghalang ini, udara
harus mengubah arah alirannya. Partikel-partikel yang tersuspensi dalam udara,

mempunyai momentum dan massa yang jauh lebih besar daripada udara, sehingga
tidak dapat mengubah arah perjalanannya secepat udara. Oleh karena itu, partikelpartikel tersebut terus maju kedepan, membentur permukaan penghalangpenghalang ini, dan kemudian dijerat oleh mukus pelapis dan diangkut oleh silia
ke faring untuk ditelan.10

Gambar 3. Anatomi Cavum Nasi


Membrana mukosa respiratorius melapisi bagian bawh kcavum nasi.
Fungsinya adalah untuk menghangatkan, melembabkan, dan membersihkan udara
inspirasi. Proses menghangatkan terjadi oleh adanya plexus spenosus didalam
jaringan submukosa. Proses melembabkan berasal dari banyaknya mucus yang
diproduksi oleh kelenjar-kelenjar dan sel goblet. Partikel debu yng terinspirasi
akan menempel pada permukaan mukosa yang basah dan lengket. Persyarafan
cavum nasi berasal dari nervus olfactorius yang mempersarafi membrana mikosa
olfactorius saraf naik keatas melalui lamina cribrosa dan mencapai bulbus
olfactorius.7,9
Saraf-saraf sensasi umum berasal dari nervus trigeminus cabang
ophtalmica dan maxilaris. Persyarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari
8

nervus ethmoidalis anterior. Persyarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari
ramus

nasalis,

ramus

nasopalatinus,

dan

ramus

palatina

gnglion

pterigoppalatinum. Suplai arteri untuk cavum nasi berasal dari cabang-cabang


arteri maxilaris. Cabang yang terpenting yaitu arteri splenopalatina

yang

beranastomosis dengan cabang sertalis arteri labialis superior yang merupakan


cabang dari arteri facialis di daerah vestibulum. Vena-vena membntuk plexus yang
menyertai arteri. Pembuluh limfe megalirkan limfe dari vestibulum ke nodi
submandibulares. Bagian lain dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi
cervicales profundi superior.7,8
3. Sinus Paranasalis

Gambar 4.

Sinus

Paranasal
Sinus
adalah

paranasalis
rongga-

rongga yang

terdapat didalam os

maxilla,

frontal,

ethmoidalis.

os

os

Sinus dilapisi oleh mucoperiostereum dn berisi udara, berhubungan dengan cavum


nasi melalui apertura yang relatif kecil. Sinus maxillaris dan sphenoidalis pada

waktu lahir terdapat dalam bentuk yang rudimenter, setelah usianya delapan tahun
menjadi cukup besar dan pada masa remaja sudah terbentuk sempurna. Sinus
berfungsi sebagai resonator suara dan mengurangi berat tengkorak. Bila muara
sinus tersumbat atau sinus terisi cairan kualitas suara jelas berubah.7,9
Sinus maxillaris terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini berbentuk
piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam
processus zygomaticus maxillae. Atap dibentuk oleh dasar orbita sedangkan dasar
dibentuk oleh processus alveolaris. Akar premolar pertama dan kedua serta molar
ketiga dan kadang-kadang akar dari caninus menonjol ke dalam sinus sehingga
jika dilakukan ekstraksi gigi tersebut dapat menyebabkan terbentuk fistula bahkan
terjadi sinusitis. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui
hiatus semilunaris. Karena sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara
ke dalam infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan
penyebaran infeksi dari sinus-sinus tersebut ke sinus maxillaris sangat besar.
Membrana

mukosa

sinus

maxillaris

dipersarafi

oleh

n.alveolaris

dan

n.infraorbitalis.7,9
Sinus frontalis ada dua buah dan terdapat dalam os frontale dan dipisahkan
oleh septum tulang yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus
berbentuk segitiga, meluas ke atas, di atas ujung medial alis mata dan ke belakang
ke bagian medial atap orbita. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.supraorbitalis.
Sinus sphenoidalis ada dua buah dan terletak di dalam corpus os sphenoidalis.
Setiap sinus akan bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis di atas concha
nasalis superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.ethmoidalis superior.7,9

10

Sinus ethmoidalis terdapat dalam os ethmoidale di antara hidung dan orbita.


Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehinggga infeksi dengan
mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ini terbagi menjadi tiga yaitu
anterior, media dan posterior. Kelompok anterior bermuara ke dalam
infundibulum, kelompok media bermuara ke dalam meatus nasi medius, dan
kelompok posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior. Membrana mukosa
dipersarafi oleh n.ethmoidalis anterior dan posterior. Sinus paranasal hampir tidak
mempunyai aliran limfe, sehingga metastasis ke kelenjar limfe sangat jarang
terjadi dan bila ada, hal itu mungkin terjadi pada waktu tumornya sudah meluas
keluar dari sinus paranasal seperti nasofaring, mukosa pipi atau kulit.7

BAB III
RINOSINUSITIS JAMUR INVASIF AKUT
1. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4%
penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap rinosinusitis.3 Dari
survei yang dilakukan, diperkirakan angka prevalensi rinosinusitis pada penduduk
dewasa AS berkisar antara 13-16 %, dengan kata lain, sekitar 30 juta penduduk
dewasa AS mengidap rinosinusitis.1-4 Dengan demikian rinosinusitis menjadi salah

11

satu penyakit yang paling populer di AS melebihi penyakit asma, penyakit


jantung, diabetes dan sefalgia.2,4 Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka
prevalensi rinosinusitis sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6
berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok wanita). 1,3 Berdasarkan penelitian divisi
Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun 1996, dari 496 pasien rawat jalan
ditemukan 50 % penderita sinusitis.3

Gambar 4. Posisi Rinosinusitis diantara penyakit lain

Prevalensi rinosinusitis di indonesia cukup tinggi, terbukti pada data


penelitian tahun 1996 dari sub-bagian Rinologi Departemen THT-KL FKUI/RSCM bahwa dari 496 pasien rawat jalan di sub-bagian ini didapati 50% nya
dengan rinosinusitis kronis.5
2. ETIOLOGI

12

Pada sinusitis jamur invasif termasuk tipe akut fulminan, dimana


mempunyai angka mortalitas yang tinggi apabila tidak dikenali dengan cepat dan
ditangani secara agresif, dan tipe kronik dan granulomatosa. Jamur saprofit
selain Mucorales,

termasuk

Rhizopus,

Rhizomucor,

Absidia,

Mucor,

Cunninghamel, Mortierella, Saksenaea, dan Apophysomyces sp, menyebabkan


sinusitis jamur invasif akut.
Sinusitis jamur invasif akut, ada invasif jamur kejaringan dan vaskular.
Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan
imunosupresi seperti leukimia atau neutropenia, pemakaian steroid lama dan
terapi imunosepresan. Imunitas yang rendah dan invasif pembuluh darah
menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak dinding sinus,
jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa berwarna birukehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik.11
3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi sinusitis jamur mencakup pengisian sinus dan adanya
perubahan respons imun terhadap jamur, sindrom invasif dan non invasif pada
sinusitis jamur mempunyai gejala-gejala khas yang jelas. Keduanya dapat terjadi
pada pasien dengan immunocompetent atau immunocompromised, dapat seecara
akut atau kronik dan dapat menyebar ke orbita, struktur-struktur mata, dan ke
otak. Purulen, pucat, sering berbau busuk ada pada sinus-sinus yang
terkena.Patofisiologi allergic fungal sinusitis diperkirakan sama dengan
allergic bronchopulmonary fungal disease.
Pertama, host yang atopik terpapar jamur, secara teori masuk melalui
saluran napas yang normal dan berkoloni di kavitassinus, yang mana mengandung
13

inisial stimulus antigen. Respon terhadap inisial inflamasi terjadi sebagai akibat
dari reaksi Gell and Coombs tipe I (IgE mediated) dan tipe III (immune complexmediated), menyebabkan edema jaringan. Hal ini menyebabkan obstruksi ostium
sinus. Apabila siklus terjadi terus-menerus akan menghasilkan produk, alergi
mucin yang mengisi sinus. Akumulasi debris ini mengobstruksi sinus dan
memperberat proses. Sinus mycetoma biasanya unilateral dan melibatkan sinus
maksilaris. Pasien

dengan sinus

mycetoma

adalah

pasien

dengan

immunocompetent. Kondisi alergi IgE jamur spesifik biasanya kurang. Sinus


mycetoma acute invasif terjadi dari penyebaran cepat jamur melalui invasi
vaskular ke orbita dan sistem saraf pusat. Ini lebih sering terjadi pada pasien
dengan diabetes dan pasien dengan immunocompromised dan dilaporkan juga
pada orang-orang dengan immunocompetent.12

4. MANIFESTASI KLINIK
Rinositis jamur dapat terjadi pada pasien dengan sinusitis kronik, yang
memiliki farktor predisposisi seperti neutropenia, AIDS, penggunaan jangka
panjang kortikosteroid atau antibiotik spektrum luas, diabetes yang tidak
terkontrol, atau imun yang rendah.

14

Gambaran klinisnya menyerupai sinusitis kronis yaitu sekret yang purulen,


obstruksi hidung, sakit kepala satu sisi, nyeri wajah, dan nafas yang berbau,
kadang-kadang dapat terlihat massa jamur bercampur sekret di dalam kavum
nasi. Pada operasi mungkin ditemukan massa yang berwarna coklat kehitaman
kotor bercampur sekret purulen di dalam rongga siinus.13

5. GAMBARAN RADIOLOGI

Foto polos walaupun menyediakan beberapa informasi, tidak cukup


detail.Pada CT scan sinusitis jamur invasif akut ditemukan gambaran mukosa

15

yang tebalatau opaksifikasi sempurna dari sinus paranasalis yang terlibat. Tampak
destruksi tulang sinus yang agresif tanpa perluasan.
6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Diagnosis yang paling sederhana dan cepat adalah pemeriksaan jamur
dengan menggunakan larutan KOH. Ada pewarnaan khusus seperti PAS (Periodic
Acid Schiff) atau MSS (Methenamine Silver Stain) yang lebih baik untuk
pemeriksaan sinusitis jamur. Pada tipe invasif ditemukan invasi hifa ke dalam
jaringan, inflamasi granuloma tanpa perkejuan dengan sel datia berinti banyak,
tidak tampak invasi vaskuler dan mungkin ada nekrosis jaringan lunak atau
tulang.
Kultur jamur tidak dapat dijadikan penentu dignosis karena mungkin ada
kontaminasi dari udara saat pengambilan atau pengiriman, sedangkan masih
mungkin hasil kultur negatif pada kasus yang memang disebabkan oleh jamur. 15
7. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding sinusitis jamur adalah:

Neorfplasma benigna maupun maligna.

Mycetoma fungal sinusitis

Chronic Invasive Fungal Sinusitis

16

BAB IV
DIAGNOSIS RINOSINUSITIS JAMUR INVASIF AKUT
1. ANAMNESIS
Sinusitis jamur dapat terjadi pada pasien dengan sinusitis kronik,
yangmemiliki faktor predisposisi seperti neutropenia, AIDS, penggunaan
jangka panjang kortikosteroid atau antibiotik spektrum luas, diabetes yang
tidak terkontrol, atau imun yang rendah. Perlu diwaspadai adanya sinusitis jamur
padakasus berikut: sinusitis unilateral, yang sukar disembuhkan dengan
terapiantibiotik.. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar
belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.18 Informasi lain yang perlu
berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan,
lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan
yang sudah dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui
anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan.
2. PEMERIKSAAN FISIS
Dari inspeksi memperlihatkan ada atau tidaknya pembengkakan
pada daerah wajah. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata
bawah yang berwarna kemerah-merahan menunjukkan suatu bentuk
17

rinosinusitis. Pmbengkakan di kelopak mata atas mungkin

menunjukkan rinosinusitis frontal akut.


Palpasi sinus dilakukan untuk mengevaluasi nyeri atau bengkak.
Sakit atau nyeri tekan di dasar sinus frontal, nyeri tekan pada pipi

dan nyeri ketuk di gigi.


Selain itu kita juga memerlukan rinoskopi anterior dan posterior
untuk melihat kelainan. Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu
kepala yang adekuat dan kondisi rongga hidung yang lapang (sudah
diberi topikal dekongestan sebelumnya) Dengan rinoskopi anterior
dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan
rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal
drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.12Rinoskopi posterior
bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung.12

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
Terdapat peningkatan konsentrasi total jamur spesifik IgE pada pasien
dengan allergic fungal sinusitis. Sedangkan pada sinus mycetoma jarang terjadi.
Biasanya >1000 U/ml (normal <50 U/ml). Pasien dengan allergic fungal
sinusitis pada umumnya menunjukkan reaksi positif skin tes terhadap antigen
jamur maupun non jamur.
Diagnosis yang paling sederhana dan cepat adalah pemeriksaan jamur
dengan menggunakan larutan KOH. Ada pewarnaan khusus seperti PAS (Periodic
Acid Schiff) atau MSS (Methenamine Silver Stain ) yang lebih baik untuk
pemeriksaan sinusitis jamur. Pada tipe invasif ditemukan invasi hifa ke dalam
18

jaringan, inflamasi granuloma tanpa perkejuan dengan sel datia berinti banyak,
tidak tampak invasi vaskuler dan mungkin ada nekrosis jaringan lunak atau
tulang.
Kultur jamur tidak dapat dijadikan penentu dignosis karena mungkin ada
kontaminasi dari udara saat pengambilan atau pengiriman, sedangkan masih
mungkin hasil kultur negatif pada kasus yang memang disebabkan oleh jamur. 15

b. Pemeriksaan radiologik
Foto polos walaupun menyediakan beberapa informasi, tidak cukup detail.
Pada CT scan sinusitis jamur invasif akut ditemukan gambaran mukosa yang tebal
atau opaksifikasi sempurna dari sinus paranasalis yang terlibat. Tampak destruksi
tulang sinus yang agresif tanpa perluasan. Pada CT scan sinusitis jamur infasif
kronik ditemukan hiperdens pada satu atau lebih sinus paranasalis. Tampak
gambaran massa yang dicurigai seperti keganasan. Tampak erosi pada sinus-sinus
yang terlibat dan adanya perluasan ke sekitarnya, seperti ke orbita, fossa kranial
anterior dan jaringan lunak maxillofacial.

4. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang terbaik adalah dengan cara pembedahan menggunakan
tehnik Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic
Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi invasif minimal yang dilakukan pada
sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan
mucociliary

clearance

dalam

sinus.

Prinsipnya

ialah

membuka

dan

membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan

19

dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui
ostium alami. Tindakan ini pula dapat mmengevakuasai atau mengeluarkan
seluruh jaringan-jaringan yang telah terinfeksi jamur yang berada dalam sinus dan
dapat membersihkan hingga sebersih mungkin.
Tindakan ini hampir menggantikan semua jenis bedah sinus terdahulu
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan
dan tidak radikal.
Dimulai pemberian terapi antijamur sistemik setelah operasi debridement.
Di berikan itraconazol oral (400mg/hari). 15
5. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari terapi yang diberikan, semakin baik drainase yang
dilakukan saat pembedahan, semakin baik pula prognosis yang di berikan.
Prognosis pada kasus rinosinusitis jamur invasif akut adalah dubia ad bonam.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on


rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
2. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification,
diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head

20

& Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott


Williams & Wilkins, 2006; 406-416.
3. Jr File. Sinusitis: Epidemiology. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis,2006; 1-13.
4. Lund VJ. Impact of chronic rhinosinusitis on quality of life and health care
expenditure. In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis
pathogenesis and medical management. New York: Informa,2007; 15-21.
5. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Buku ajar ilmu kesehatan
Telinga, hidung, tenggorok, kepala leher. Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Edisi keenam. FKUI. Jakarta; 2011:145153.
6. Hilger PA. Hidung dan sinus paranasalis. Dalam : Boies buku ajar penyakit
THT.Effendi H, Santoso K, editors. 6th ed. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta;1997: 176, 241
7. Snell, R. S. Kepala dan Leher. dalam: Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. 2006. Jakartav : EGC. hal 252-256
8. Faller, A, Schuenke,M. The Respiratory System. dalam : The Human Body.
New York. Georg Thieme Verlag; 2004;hal 335-338
9. Dhingra P. Anatomy of Nose. in : Disease of Ear, Nose, and Throat 4th
edition. 2010. India : Elsevier. hal 130-5,141,165.
10. Guyton and Hall. Fungsi pernapasan normal pada hidung. Dalam: Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. 2007. Jakarta : EGC. hal 505
11. Fungal sinusitis [database on the internet]. Medscape. C2013 [cited 2013
des 15].Available from: http://emedicine. medscape. com/article/863062overview#a0102 3.
12. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan

21

terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF


THT-KL Univ.Airlangga,2004; 17-23.
13. Fungal Sinusitis Treatment & Management [database on the internet].
Medscape.C2013 [cited 2013 des 16]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/863062-treatment
14. Ramadan HH. Sinusitis, Fungal. [online]. 2006 Aug 25 [cited 2008 March
19]:[9

screens].

Available

from:

URL:http//www.emedicine.com/sinusitis,fungal.htm
15. Naini RA, Moghtaderi A. Aspergillous sinusitis. Japi 2004 52(1): 749-50

22

Anda mungkin juga menyukai