Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD)


2.1.1. Pengertian Demam Berdarah
Demam dengue (dengue fever, DF) adalah penyakit yang terutama terdapat
pada anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam (rash) dan
limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola
mata, rasa mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan dan bintik-bintik
perdarahan (petekie) spontan. (Hendarwanto, 1996).
Demam berdarah dengue/DBD (dengue henorrhagic fever, DHF), adalah suatu
penyakit trombositopenia infeksius akut yang parah, sering bersifat fatal, penyakit
febril yang disebabkan virus dengue. Pada DBD terjadi pembesaran plasma yang
ditandai hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan tubuh,
abnormalitas hemostasis, dan pada kasus yang parah, terjadi suatu sindrom renjatan
kehilangan protein masif (dengue shock syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu
proses imunopatologik (Halstead, 2007).

2.1.2. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x10 6 (Suhendro, 2006).
Terdapat paling tidak 4 tipe serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam
berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan
serotipe terbanyak.
Sebagai tambahan, terdapat 3 virus yang ditulari oleh artropoda (arbovirus)
lainnya yang menyebabkan penyakit mirip dengue (Halstead, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Vektor dan distribusi geografis penyakit-penyakit mirip dengue.


Virus
Nama Penyakit
Vektor
Distribusi
Togavirus

Chikungunya

Aedes aegepty

Afrika, India,

Aedes africanus

Asia Tenggara

Togavirus

Onyong-nyong

Anopheles funestus

Afrika Timur

Flavivirus

West Nile Fever

Culex molestus

Eropa, Afrika,

Culex univittatus

Timur Tengah, India

(Halstead, 2007).

2.1.3. Penularan Demam Dengue/ Demam Berdarah Dengue


Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. Aegepty dan A. Albopticus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina
yaitu bejana yang berisi air, seperti bak mandi, kaleng bekas, dan tempat
penampungan air lainnya.
Beberapa faktor yang diketahui berkaitan dengan transmisi virus dengue, yaitu:
a. Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
b. Penjamu: terdapatnya penderita di lingkungan, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;
c. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, kepadatan penduduk, dan ketinggian
di bawah 1000 di atas permukaan laut (Suhendro, 2006).

2.1.4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan (Suhendro, 2006).
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindroma syok
dengue (dengue shock syndrome).
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala demam dengue. Reaksi tubuh merupakan reaksi

Universitas Sumatera Utara

yang biasa terlihat pada infeksi virus. Reaksi yang amat berbeda tampak, bila
seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang berlainan. Berdasarkan
hal ini Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis yang disebut secondary
heterologous infection atau sequential infection hypothesis. Hipotesis ini telah diakui
oleh sebagian besar para ahli saat ini (Hendarwanto, 1996).
Infeksi dengue heterolog sekunder
Replikasi virus

Respons antibodi

Kompleks antigen virus-antibodi

Agregasi
trombosit
Eliminasi
trombosit oleh
sistem
retikuloendotel
(RES)
Ketidakseimbangan
fungsi trombosit

Pengeluar
an faktor
III
trombosit

Aktivasi
kaskade
koagulasi

Konsumtifitas
faktor-faktor
pembekuan

Aktivasi
faktor
Hageman
Kinin

Penurunan
jumlah faktor
pembekuan

Aktivasi
komplemen
Reaksi
anafilaksis
Peningkatan
permeabilitas
vaskular

Syok

Trombositopenia
Gambar 2.1. Hipotesis secondary heterologous infection (Suhendro, 2006).

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon
imun humoral. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE). Limfosit T, baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik

(CD8)

berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu

Universitas Sumatera Utara

TH1 akan memproduksi interferon gamma, interleukin-2 (IL-2) dan limfokin,


sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag
berperan dalam fagositosis virus. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Selain itu, aktivasi oleh
kompleks imun menyebabkan terbentuknya senyawa proaktivator C3a dan C5a,
sementara proaktivator C1q, C3, C4, C5-C8, dan C3 menurun.
Faktor-faktor di atas dapat berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular melalui jalur akhir nitrat oksida.
Sistem pembekuan darah dan fibrinolisis diaktivasi, dan jumlah faktor XII (faktor
Hageman) berkurang. Mekanisme perdarahan pada DBD belum diketahui, tetapi
terdapat hubungan terhadap koagulasi diseminata intravaskular (dissemintated
intravascular coagulation, DIC) ringan, kerusakan hati, dan trombositopenia.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang, serta destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan
supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada
saat terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini menunjukkan
terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan
pelepasan senyawa adenin-di-fosfat (ADP), peningkatan kadar -tromboglobulin dan
faktor prokoagulator IV yang merupakan penanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui jalur ekstrinsik (tissue factor
pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak
melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) (Suhendro, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Kebocoran kapiler menyebabkan cairan, elektrolit, protein kecil, dan, dalam


beberapa kejadian, sel darah merah masuk ke dalam ruang ekstravaskular. Redistribusi
cairan internal ini, bersama dengan defisiensi nutrisi oleh karena kelaparan, haus, dan
muntah, berakibat pada penurunan hemokonsentrasi, hipovolemia, peningkatan kerja
jantung, hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan hiponatremia (Halstead, 2007).
Penelitian tentang patogenesis yang menjelaskan keparahan penyakit dengue
sudah banyak dilakukan. Survei berkala terhadap serotipe DENV memberi pandangan
bahwa beberapa subtipe secara lebih umum dikaitkan dengan keparahan dengue.
Muntaz et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan DEN-3 menyebabkan infeksi
lebih parah dibandingkan serotipe lainnya. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan virus
untuk bereplikasi untuk menghasilkan titer virus yang lebih tinggi.
Sementara dalam laporan WHO Scientific Working Group: Report on Dengue
(2006), ditemukan keadaan lain yang mempengaruhi keparahan penyakit dengue:
1. Adanya hubungan infeksi primer dan sekunder. Contohnya, kombinasi serotipe
primer dan sekunder DEN-1/DEN-2 atau DEN-1/DEN-3 dipandang memberi
risiko yang tinggi untuk terkena dengue yang parah.
2. Imunitas individu dalam menghasilkan sitokin dan kemokin yang dihasilkan oleh
aktivasi imun berhubungan dengan keparahan penyakit.
3. Semakin panjang interval antara infeksi virus dengue primer dan sekunder, maka
keparahan dengue semakin meningkat.
4. Peranan genetik juga diduga berpengaruh terhadap keparahan penyakit.
Penelitian menunjukkan prevalensi DBD pada orang negroid diasosiasikan
dengan insidensi yang rendah (2%), sementara orang kaukasoid memilki
insidensi yang lebih tinggi (30%).

2.1.5. Manifestasi Klinis


Prediksi klinis infeksi virus dengue ditentukan oleh hubungan kompleks antara
faktor penjamu dan virus (WHO Scientific Working Group: Report on Dengue, 2006).
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue, atau
sindrom syok dengue (Suhendro, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Asimtomatik

Demam yang tidak terbedakan

Demam dengue

Tanpa perdarahan

Simtomatik
Dengan perdarahan yang tidak biasa
Demam berdarah
Dengue
Gambar 2.2. Manifestasi infeksi virus dengue (WHO, 1999).
1. Demam Dengue
Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan dipengaruhi
usia pasien. Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat tidak terbedakan atau
dikarakteristikkan sebagai demam selama 1-5 hari, peradangan faring, rinitis, dan
batuk ringan.
Kebanyakan remaja dan orang dewasa yang terinfeksi mengalami demam
secara mendadak, dengan suhu meningkat cepat hingga 39,4-41,1oC, biasanya disertai
nyeri frontal atau retro-orbital, khususnya ketika mata ditekan. Kadang-kadang nyeri
punggung hebat mendahului demam. Suatu ruam transien dapat terlihat selama 24-48
jam pertama demam. Denyut nadi dapat relatif melambat sesuai derajat demam.
Mialgia dan artalgia segera terjadi setelah demam.
Dari hari kedua sampai hari keenam demam, mual dan muntah terjadi, dan
limfadenopati

generalisata,

hiperestesia

atau

hiperalgesia

kutan,

gangguan

pengecapan, dan anoreksia dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari kemudian, ruam
makulopapular terlihat, terutama di telapak kaki dan telapak tangan, kemudian
menghilang selama 1-5 hari. Kemudian ruam kedua terlihat, suhu tubuh, yang
sebelumnya sudah menurun ke normal, sedikit meningkat dan mendemonstrasikan
karakteristik pola suhu bifasik.

Universitas Sumatera Utara

2. Demam Berdarah Dengue


Pembedaan antara demam demam dengue dan demam berdarah dengue sulit
pada awal perjalanan penyakit. Fase pertama yang relatif lebih ringan berupa demam,
malaise, mual-muntah, sakit kepala, anoreksia, dan batuk berlanjut selama 2-5 hari
diikuti oleh deteriorasi dan pemburukan klinis. Pada fase kedua ini, pasien umumnya
pilek, ekstremitas basah oleh berkeringat, badan hangat, wajah kemerah-merahan,
diaforesis, kelelahan, iritabilitas, dan nyeri epigastrik.
Sering dijumpai petekie menyebar di kening dan ekstremitas, ekimosis
spontan, dan memar serta pendarahan dapat dengan mudah terjadi di lokasi pungsi
vena.

Ruam makular atau makulopapular dapat terlihat. Respirasi cepat dan

melelahkan. Denyut nadi lemah dan cepat, suara jantung melemah. Hati dapat
membesar 4-6 dan biasanya keras dan sulit digerakkan.
Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue berkomplikasi syok (sindrom
syok dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat atau perdarahan
gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak diobati. Setelah krisis 2436 jam, pemulihan terjadi dengan cepat pada anak yang diobati. Temperatur dapat
kembali normal sebelum atau selama syok. Bradikardia dan ektrasistol ventrikular
umumnya terjadi saat pemulihan (Halstead, 2007).

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan terutama untuk mendeteksi perubahan
hematologis.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
a. Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif
(>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (>15% dari jumlah total
leukosit) yang pada fase syok meningkat.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Hitung leukosit normal.


Tipe sel
Persentase

Hitung Absolut Normal

Leukosit

5.000-11.000/l

Neutrofil

45-75

4000-6000/l

Monosit

5-10

500-1000/l

Eosinofil

0-5

<450/l

Basofil

0-1

<50/l

Limfosit

10-45

2000-5000/l

(Hillman, 2005).
b. Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/l) pada hari ke
3-8.
c. Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit
20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
Tabel 2.3. Nilai normal hemoglobin/ hematokrit.
Usia/Jenis Kelamin
Hemoglobin (g/dl)

Hematokrit (%)

Saat lahir

17

52

Anak-anak

12

36

Remaja

13

40

Pria Dewasa

16 (2)

47 (6)

Wanita dewasa (menstruasi)

13 (2)

40 (6)

Wanita dewasa (postmenopause)

14 (2)

42 (6)

Selama Kehamilan

12 (2)

37 (6)

(Hillman, 2005)

d. Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial thromboplastin time
(aPTT), thrombin time (TT) atau fibrinogen pada keadaan yang dicurigai terjadi
perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4. Tes koagulasi rutin.


Tes

Nilai Normal

Hitung trombosit

150.000-350.000/l

Bleeding time (BT)

3-7 menit

Prothrombin time (PT)

10-14 detik

Partial thromboplastin time (aPTT)

25-38 detik

Fibrinogen
Orang sehat

200-400 mg/dl

Orang sakit

400-800 mg/dl

(Hillman, 2005).
e. Protein/albumin
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai normal albumin
adalah 3-5,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8 g/dl (Price, 2003).
f. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)
Dapat meningkat. Nilai normal alanin aminotransferase adalah 0-40 IU/l.
Menurut Kalayanarooj (1997) anak dengan level enzim hati yang meningkat
sepertinya lebih rentan mengalami dengue yang parah dibandingkan dengan
yang memiliki level enzim hati yang normal saat didiagnosis.
g. Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan. Jumlah kalium normal
serum adalah 3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-145 mEq/l.
h. Golongan darah dan cross match
Bila akan diberikan transfusi darah dan komponen darah.
i.

Imunoserologi
Dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari.
IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.

2. Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan.
Tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada

Universitas Sumatera Utara

kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
USG.

2.1.7. Diagnosis
Belum ada panduan yang dapat diterima untuk mengenal awal infeksi virus
dengue (WHO Scientific Working Group, 2006). Perbedaan utama antara demam
dengue dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma (Suhendro,
2006).
1. Demam Dengue
Ditegakkan bila terdapat dua atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri
retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia)
ditambah pemeriksaan serologis dengue positif; atau ditemukan pasien demam
dengue/ demam berdarah dengue yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang
sama.
2. Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan kriteria WHO 1999 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di
bawah ini terpenuhi.
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
-

Uji bendung positif.

Petekie, ekimosis, atau purpura.

Perdarahan mukosa (tersering epitaksis atau perdarahan gusi), atau


perdarahan di tempat lain.

Hematemesis atau melena.

c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/l).


d. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
-

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan


umur dan jenis kelamin.

Penurunan

hematokrit

>20%

setelah

mendapat

terapi

cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.


- Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Universitas Sumatera Utara

Namun, pada laporan WHO Scientific Working Group: Report on Dengue


(2006) diperoleh beberapa laporan perdarahan parah pada pasien yang tidak
memiliki atau memilki bukti minimum kebocoran plasma. Fenomena ini
memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dan patofisiologinya belum
dipahami dengan baik.
3. Sindrom Syok Dengue
Seluruh kriteria DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi
yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (<20 mmHg), hipotensi dibandingkan
standard sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.
Tabel 2.5. Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue.
DD/DBD Derajat Gejala
Laboratorium
DD

Demam disertai 2 atau leukopenia,


lebih tanda: sakit kepala, trombositopenia,
nyeri

retro-orbital, tidak

gejala di atas ditambah trombositopenia


uji bendung positif

DBD

II

bukti

kebocoran plasma

mialgia, artralgia
DBD

ada

<100.000,Ht

Serologi

meningkat 20%

dengue

gejala di atas ditambah trombositopenia


perdarahan spontan

positif

<100.000,Ht
meningkat 20%

DBD

III

Gejala di atas ditambah trombositopenia


kegagalan sirkulasi (kulit <100.000,Ht
dingin dan lembab serta meningkat 20%
gelisah)

DBD

IV

Syok

berat

disertai trombositopenia

dengan tekanan darah <100.000,Ht


dan nadi tidak terukur.

meningkat 20%

(Suhendro, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien DBD umumnya berorientasi kepada pemberian cairan.
Harris et al. (2003) mendemonstrasikan bahwa meminum cairan seperti air atau jus
buah dalam 24 jam sebelum pergi ke dokter merupakan faktor protektif melawan
kemungkinan dirawat inap di rumah sakit.
Setiap pasien tersangka demam dengue atau DBD sebaiknya dirawat di tempat
terpisah dengan pasien penyakit lain, sebaiknya pada kamar yang bebas nyamuk
(berkelambu). Penatalaksanaan pada demam dengue atau DBD tanpa penyulit adalah:
1. Tirah baring.
2. Pemberian cairan.
Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5-2 liter dalam
24 jam (susu, air dengan gula/sirup, atau air tawar ditambah dengan garam
saja).
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis.
Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres kepala, ketiak atau inguinal.
Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau dipiron.
Hindari pemakaian asetosal karena bahaya perdarahan.
4. Antibiotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.

Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda syok, yaitu:
1. Keadaan umum memburuk.
2. Terjadi pembesaran hati.
3. Masa perdarahan memanjang karena trombositopenia.
4. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala.
Jika ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infus harus segera dipersiapkan dan
terpasang pada pasien. Observasi meliput pemeriksaan tiap jam terhadap keadaan
umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan; serta Hb dan Ht setiap 4-6 jam pada
hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya setiap 24 jam.
Terapi untuk sindrom syok dengue bertujuan utama untuk mengembalikan volume
cairan intravaskular ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan
pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl 0,9%, Ringers

Universitas Sumatera Utara

lactate (RL) atau bila terdapat syok berat dapat dipakai plasma atau ekspander plasma.
Jumlah cairan disesuaikan dengan perkembangan klinis.
Kecepatan permulaan infus ialah 20 ml/kg berat badan/ jam, dan bila syok telah
diatasi, kecepatan infus dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/ jam.
Pada kasus syok berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan bila tak tampak
perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander plasma atau dekstran atau
preparat hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat badan. Dalam hal ini perlu
diperhatikan keadaan asidosis yang harus dikoreksi dengan Na-bikarbonat. Pada
umumnya untuk menjaga keseimbangan volume intravaskular, pemberian cairan
intravena baik dalam bentuk elektrolit maupun plasma dipertahankan 12-48 jam
setelah syok selesai.
Pada tahun 1997, WHO merekomendasikan jenis larutan infus yang dapat
diberikan pada pasien demam dengue/DBD:
1. Kristaloid.
a. Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL).
b. Larutan ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5/RA).
c. Larutan NaCl 0,9% (garam faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan
faali (D5/GF).
2. Koloid (plasma).

Transfusi darah dilakukan pada:


1. Pasien dengan perdarahan yang membahayakan (hematemesis dan melena).
2. Pasien sindrom syok dengue yang pada pemeriksaan berkala, menunjukkan
penurunan kadar Hb dan Ht.
Pemberian transfusi profilaksis trombosit atau produk darah masih banyak
dipraktikkan. Padahal, penelitian Lum et al. (2003) menemukan bukti bahwa praktik
ini tidak berguna dalam pencegahan perdarahan yang signifikan.
Pemberian kortikosteroid tidak memberikan efek yang bermakna. Pada pasien
dengan syok yang lama, koagulopati intravaskular diseminata (disseminated

Universitas Sumatera Utara

intravascular coagulophaty, DIC) diperkirakan merupakan penyebab utama


perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostasis terbukti adanya DIC, heparin perlu
diberikan. (Hendarwanto, 1996).

Tersangka DBD
Kedaruratan

Tidak ada kedaruratan

Uji torniket positif

Rawat inap

Jumlah
trombosit
<100.000/l

Uji torniket negatif

Jumlah
trombosit
>100.000/l

Rawat jalan
Segera bawa ke rumah sakit

1. Rawat jalan
2. Antipiretik
3. Kontrol setiap hari
sampai demam hilang

Nilai tanda klinis,


periksa trombosit dan
Ht bila demam
menetap setelah hari
sakit ke-3

Gambar 2.3. Penatalaksanaan tersangka DBD (Mansjoer, 2001).

2.1.9. Komplikasi
Infeksi primer pada demam dengue dan penyakit mirip dengue biasanya ringan
dan dapat sembuh sendirinya. Kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan
kejang demam adalah komplikasi paling sering pada bayi dan anak-anak. Epistaksis,
petekie, dan lesi purpura tidak umum tetapi dapat terjadi pada derajat manapun.
Keluarnya darah dari epistaksis, muntah atau keluar dari rektum, dapat memberi kesan
keliru perdarahan gastrointestinal. Pada dewasa dan mungkin pada anak-anak, keadaan
yang mendasari dapat berakibat pada perdarahan signifikan. Kejang dapat terjadi saat
temperatur tinggi, khususnya pada demam chikungunya. Lebih jarang lagi, setelah

Universitas Sumatera Utara

fase febril, astenia berkepanjangan, depresi mental, bradikardia, dan ekstrasistol


ventrikular dapat terjadi.
Komplikasi akibat pelayanan yang tidak baik selama rawatan inap juga dapat
terjadi berupa kelebihan cairan (fluid overload), hiperglikemia dan hipoglikemia,
ketidak seimbangan elektrolit dan asam-basa, infeksi nosokomial, serta praktik klinis
yang buruk (Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control,
WHO, 2009).
Di daerah endemis, demam berdarah dengue harus dicurigai terjadi pada orang
yang mengalami demam, atau memiliki tampilan klinis hemokonsentrasi dan
trombositopenia (Halstead, 2007).

2.1.10. Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi
yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi
pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat
kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan
penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak
yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Halstead, 2007).

2.1.11. Kriteria Memulangkan Pasien.


Pasien dapat pulang jika syarat-syarat sebagai berikut terpenuhi:
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa pemberian antipiretik.
2. Nafsu makan membaik.
3. Tampak perbaikan secara klinis.
4. Hematokrit stabil.
5. Tiga hari setelah syok teratasi.
6. Jumlah trombosit >50.000/ml. Perlu diperhatikan, kriteria ini berlaku bila pada
sebelumnya pasien memiliki trombosit yang sangat rendah, misalnya 12.000/ml.
7. Tidak dijumpai distres pernapasan (Mansjoer, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.1.12. Pencegahan
Belum ada vaksin yang tersedia melawan dengue, dan tidak ada pengobatan
spesifik untuk menangani infeksi dengue. Hal ini membuat pencegahan adalah
langkah terpenting, dan pencegahan berarti menghindari gigitan nyamuk jika kita
tinggal di atau bepergian ke area endemik (CDC, 2010).
Jalan terbaik untuk mengurangi nyamuk adalah menghilangkan tempat
nyamuk bertelur, seperti bejana/ wadah yang dapat menampung air. Nyamuk dewasa
menggigit pada siang hari dan malam hari saat penerangan menyala.

Untuk

menghindarinya, dapat menggunakan losion antinyamuk atau mengenakan pakaian


lengan pajang/celana panjang dan mengamankan jalan masuk nyamuk ke ruangan.
Penggunaan insektisida untuk memberantas nyamuk dapat dilakukan dengan
malathion. Cara penggunaan malathion adalah dengan pengasapan (thermal fogging)
atau pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah tangga dapat menggunakan
golongan organofosfat, karbamat atau pyrethoid (Hendarwanto, 1996)

2.2.Trombosit
Trombosit (platelet) adalah elemen terkecil darah. Sel ini tidak berinti, berbentuk
bulat atau oval, gepeng, memberikan struktur mirip piringan. Aktivitas trombosit
penting untuk pembekuan darah, integritas vaskular dan vasokonstriksi, serta aktivitas
adhesi dan agregasi yang terjadi saat pembekuan plak platelet terjadi di sumsum
tulang (bone marrow). Masa hidup trombosit sekitar 7,5 hari. Normalnya, dua pertiga
total trombosit berada di sirkulasi darah, sementara sepertiga lainnya berada di organ
spleen (Fisbach, 2003).

2.2.1. Pembentukan Trombosit


Pada orang dewasa, trombosit berasal dari sumsum tulang merah melalui
fragmentasi sitoplasma megakariosit matang, banyak invaginasi dari membran plasma
membelah di seluruh sitoplasma, yang membentuk membran demarkasi. Sistem ini
membatasi daerah sitoplasma megakariosit yang akan dilepaskan sebagai trombosit ke
dalam sirkulasi (Junqueira, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2.

Hemostasis Oleh Trombosit


Trombosit normalnya bersirkulasi dalam bentuk cakram yang tidak

terstimulasi. Trombosit melakukan perbaikan terhadap pembuluh yang rusak


didasarkan pada beberapa fungsi penting trombosit itu sendiri (Guyton, 2006).
Selama hemostasis atau trombosis, trombosis teraktivasi dan menolong
pembentukan plak hemostatik atau trombus. Terdapat tiga langkah yang terlibat:
1. Adhesi kolagen yang terpapar di pembuluh darah.
2. Pengeluaran granul beserta isinya.
3. Agregasi
Pada waktu trombosit bersinggungan dengan permukaan pembuluh darah yang
rusak, terutama dengan serabut kolagen di dinding pembuluh darah, sifat-sifat
trombosit segera berubah drastis.
Trombosit berlekatan dengan kolagen melalui reseptor spesifik di permukaan
trombosit, termasuk kompleks glikoprotein GPIa-IIa (2-1 integrin), dalam suatu reaksi
yang melibatkan faktor von Willebrand. Faktor ini adalah suatu glikoprotein, yang
disekresikan oleh sel endotel ke dalam plasma, yang akan menstabilkan faktor VIII
dan berikatan dengan kolagen dan subendotel. Trombosit berikatan dengan faktor von
Willebrand melalui suatu kompleks glikoprotein (GPIb-V-IX) di permukaan
trombosit.
Perlekatan trombosit dengan kolagen mengubah bentuk dan persebarannya di
subendotel. Trombosit mengeluarkan isi granul-granulnya; sekresi juga distimulasi
oleh trombin. Trombin, yang terbentuk dari kaskade koagulasi, merupakan aktivator
paling kuat untuk trombosit dan memicu aktivasi trombosit dengan cara berinteraksi
dengan reseptornya di membran plasma. Mekanisme aktivasi ini adalah sinyal
transmembran.

Interaksi

trombin

dengan

reseptornya

merangsang

aktivitas

fosfolipase-C. Enzim ini menghidrolisis membran fosfolipid fosfadilinositol 4,5bifosfat (PIP2). Diasilgliserol merangsang protein kinase C, yang memfosforilasi
protein pleckstrin (47 kDa). Hal ini mengakibatkan agregasi dan pelepasan isi granul.
ADP yang dikeluarkan granul tersebut juga merangsang trombosit beragregasi.
IP3 menyebabkan pengeluaran Ca2+, menyebabkan pembebasan asam arakidonat dari

Universitas Sumatera Utara

fosfo lipid trombosit, mengakibatkan terbentuknya tromboksan A2, yang akan


mengaktivasi fosfolipase C, yang pada akhirnya mencetuskan agregasi trombosit.
Semua agen agregasi (trombin, kolagen, ADP, dsb.) memodifikasi permukaan
trombosit sehingga fibrinogen dapat berikatan dengan kompleks glikoprotein, GPIIbIIIa (integrin), di permukaan trombosit yang teraktivasi. Beberapa agen, termasuk
epinefrin, serotonin dan vasopresin, memberikan efek sinergis dengan agen agregasi
lainnya (Murray, 2003).
Dengan demikian, pada setiap lokasi pembuluh darah yang luka, dinding
pembuluh darah yang rusak menghasilkan suatu siklus aktivasi trombosit yang
jumlahnya terus meningkat yang menyebabkan menarik lebih banyak lagi trombosit
tambahan, sehingga membentuk sumbat trombosit. Kemudian, benang-benang fibrin
terbentuk dan melekat erat pada trombosit, sehingga terbentuklah sumbat yang kuat
(Guyton, 2006).

2.2.3.

Hitung Trombosit

1. Alat yang digunakan:


a. Pipet trombosit
b. Kamar hitung Improved Neubauer
c. Kaca penutup
2. Reagensia:
a. Amonium oksalat 1%
b. Rees Ecker
c. Procain HCl
3.

Cara pemeriksaan:
a. Sampel darah yang diperlukan darah EDTA atau darah kapiler.
b. Isi pipet dengan darah sampai garis 0,5, bila diketahui ada trombositopenia
darah diisi sampai garis 1.
c. Sambil menahan dengan ujung jari, isi pipet dengan Rees Ecker sampai garis
101, kemudian letakkan horizontal.
d. Sambil menekan kedua ujung pipet, pipet digoyang selama 3-5 menit.

Universitas Sumatera Utara

e. Isi kamar hitung yang telah ditutup dengan larutan tersebut setelah terlebih
dahulu membuang 3 tetes larutan tersebut.
f. Biarkan kamar hitung selama 2 menit, kemudian trombosit dihitung di bawah
mikroskop dengan pembesaran 45 kali. Bidang yang dihitung adalah semua
bidang kecil (Aman et. Al,, 2008).
Penghitungan jumlah trombosit:
Jumlah trombosit x 2000/mm3

4.

Interpretasi hasil:
Nilai normal pada dewasa adalah 140-400 x 103/ mm3, anak-anak 150-450 x
103/mm3.

2.2.4.

Trombositopenia
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 100.000/

mm3. Jumlah trombosit >100.000/ mm3 biasanya tidak mengakibatkan masalah


perdarahan. Purpura dan pemanjangan waktu perdarahan biasanya terjadi saat jumlah
trombosit kurang dari 50.000 mm3 (Provan, 2004).
Hubungan jumlah trombosit dengan resiko perdarah spontan adalah sebagai
berikut:
a. Jumlah trombosit 50.000-150.000/mm3: biasanya tidak ada perdarahan.
b. Jumlah trombosit 20.000-50.000/mm3: perdarahan spontan tetapi sedikit.
c. Jumlah trombosit <20.000/mm3: perdarahan spontan dengan mudah.
d. Jumlah trombosit <500/ mm3: perdarahan spontan serius (Wallach, 2000).

Menurut Theml (2004), penyakit/ keadaaan penyebab trombositopenia adalah


sebagai berikut:
1. Obat-obatan: heparin, quonidine, digoxin, dan cimetidin.
2. Imunotrombositopenia sekunder.
3. Post-transfusi.
4. Trombositopenia akibat keadaan mikroangiopati.
5. Trombositopenia akibat hipersplenisme.

Universitas Sumatera Utara

6. Trombositopenia akibat penurunanproduksi sel.


7. Konsumsi alkohol jangka panjang.
8. Bahan-bahan kimia dan radiasi.
9. Infeksi virus: virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, rubella dan flavivirus.
10. Penyakit neoplastik dan aplastik sumsum tulang.
11. Defisiensi vitamin B12 (asam folat).
12. Penyakit konstitusional: penyakit jantung kongenital, sindrom Wiscott-Aldrich,
anomali May-Hegglin, sindrom Bernard-Soulier, dan hipersplenisme.

2.3. Rawat Inap


Rawat inap adalah suatu proses perawatan pasien oleh tenaga kesehatan akibat
penyakit tertentu, dimana pasien diinapkan. Manajemen, prosedur, fasilitas, dan biaya
rawat inap dapat berbeda antara rumah sakit yang satu dengan yang lainnya.

2.3.1. Prosedur Rawat Inap


Prosedur rawat inap dapat berbeda pada beberapa rumah sakit. Berikut prosedur
alur pasien masuk ke rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009:
1.

Petugas

Instalasi

Rawat

Jalan

(IRJ)/

Instalasi

Gawat

Darurat

(IGD)

menginformasikan ke ruangan.
2. Petugas rawat inap menyiapkan tempat sesuai penyakit pasien.
3. Pasien dikirim dari IRJ/ IGD dengan membawa rekam medis.
4. Kepala ruangan/ kepala grup menerima pasien dan memeriksa kelengkapan rekam
medis.
5. Kepala ruangan/ kepala grup menempatkan pasien sesuai dengan penyakitnya.
6. Kepala ruangan/ kepala grup/pelaksana memeriksa keadaan umum pasien,
mengukur vital sign dan mencatat di RM 72.
7. Kepala ruangan/ kepala grup/ pelaksana melaporkan keberadaan pasien ke dokter
ahli.
8. Kurang dari 15 menit pasien sudah diperiksa oleh dokter ahli/ residen.

2.3.2. Fasilitas dan Biaya Rawat Inap

Universitas Sumatera Utara

Fasilitas ruang rawat inap secara umum dapat dibedakan menjadi lima kelas:
Super Utama, Utama I, Utama II, kelas I, dan kelas II. Akan tetapi, beberapa rumah
sakit dapat memiliki kelas dan fasilitas yang berbeda.
Sebagai contoh, harga tiap-tiap kelas kamar rawat inap di RSUP Haji Adam
Malik, Medan pada tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1. Super Utama: Rp 400.000/ hari.
2. Utama I: Rp 300.000/ hari.
3. Utama II: Rp 250.000/ hari.
4. Kelas I: Rp 200.000/ hari.
5. Kelas II: Rp 120.000/ hari.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai