Anda di halaman 1dari 36

166 / vol. 35 no.

7
November - Desember 2008

CDK
Cermin Dunia Kedokteran
ISSN: 0125-913 X
http://www.kalbe.co.id/cdk

Artikel :
389

Terapi Inhalasi
Pradjnaparamita

394

Perbedaan VO2.max antara Siswa yang Latihan Sepakbola


dengan yang Tidak di Pondok Pesantren Darul Hijrah
Huldani

386

Uji Provokasi Bronkus dengan Salin Hipertonis


Bambang Supriyatno, Nastiti N. Rahajoe

401

Asma Bronkial - Hubungannya dengan GERD


A. Dina Abidin H. Mahdi

405

Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA WHO 2OO1) terhadap


Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius
I Wayan Karya, Aminuddin Aziz, Sutji Pratiwi Rahardjo, Nani Irani Djufri

411

Kelainan Gigi dan Jaringan Pendukung Gigi yang Sering Ditemui


Adi Prayitno

Berita Terkini :
415

CARDIA: OxLDL dan sindrom metabolik

420

Metilprednisolon untuk penanganan neuritis vestibular

422

Kamera terkontrol magnet di dalam tubuh

423

Profil keamanan terapi statin

428

Adalafil dan disfungsi ereksi pasien diabetes

432

WHA menghimbau peningkatan fokus pada hepatitis

Petunjuk untuk Penulis


CDK menerima naskah yang membahas berbagai aspek
kesehatan, kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan
kepustakaan ataupun hasil penelitian di bidang-bidang
tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirimkan
kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan
oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu
pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila
menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti
kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis
sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia.
Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah
isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam
bahasa Indonesia dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak
membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan
tersebut. Naskah berisi 2000 - 3000 kata ditulis dengan
program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda, font
Euro-stile atau Times New Roman 10 pt.
Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan
lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel / skema /
grafik / ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dan telah dimasukkan dalam program MS Word.

daftar isi
content

Editorial 386
English Summary 388

Artikel
Terapi Inhalasi 389
Pradjnaparamita

Perbedaan VO2.max antara siswa yang Latihan Sepakbola 394


dengan yang Tidak di Pondok Pesantren Darul Hijrah
Huldani

Uji Provokasi Bronkus dengan Salin Hipertonis 396


Bambang Supriyatno, Nastiti N. Rahajoe

Asma Bronkial - Hubungannya dengan GERD 401


A. Dina Abidin H. Mahdi

Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA WHO 2OO1) terhadap 405


Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius
I Wayan Karya, Aminuddin Aziz, Sutji Pratiwi Rahardjo, Nani Irani Djufri

Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam
Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirement
for Manus- cripts Submitted to Biomedical Journals (Ann
Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh :
1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation.
1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins,
1984; Hal 174-9.
2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties
of invading microorganisms. Dalam: Sodeman
WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology:
Mechanism of diseases. Philadelphia:
WB Saunders, 1974 ; 457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis
di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.
Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua;
bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan
tambahkan dkk.
Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau
melalui e-mail ke alamat :

Redaksi CDK
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
Tlp: (021) 4208171. Fax: (021) 42873685
Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e mail;
oleh karena itu untuk keperluan tersebut tentukan contact
person lengkap dengan alamat e-mailnya.

Kelainan Gigi dan Jaringan Pendukung Gigi yang Sering Ditemui 411
Adi Prayitno

Berita Terkini
CARDIA: OxLDL dan sindrom metabolik 415
Eritropoietin mempunyai efek antidepresa 416
Gabapentin untuk mengurangi ketakutan berpidato 418
Higiene oral yang baik dapat melindungi terhadap 419
infeksi jantung
Metilprednisolon untuk penanganan neuritis vestibular 420
Kamera terkontrol magnet di dalam tubuh 422
Profil keamanan terapi statin 423
Obesitas Meningkatkan Risiko Adenoma Kolorektal 424
Silent stroke menyerang 1 dari 10 orang sehat 425
Semangka merupakan Viagra alami 426
Adalafil dan disfungsi ereksi pasien diabetes 428
Valsartan memperbaiki kekakuan arteri pada pasien 429
diabetes tipe 2, lebih baik daripada Amlodipin ?
Jusuf Kalla: sebaiknya dokter maksimal 431
memeriksa 40 pasien per hari
WHA menghimbau peningkatan fokus pada hepatitis 432
Praktis 434
Info Produk 436
Laporan Khusus 438
Gerai 445
Korespondensi 446
Formulir Berlangganan 447
Indeks Karangan 448
Agenda 450

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat


masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan
atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

RPPK 452

385

CDK
Cermin Dunia Kedokteran

ISSN: 0125-913 X
http://www.kalbe.co.id/cdk
Alamat Redaksi
Gedung KALBE
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
Tlp: 021-4208171
Fax: 021-4287 3685
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
Web: http://www.kalbe.co.id/cdk
Milis: http://groups.yahoo.com/group/milisCDK
Nomor Ijin
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

redaksi kehormatan
Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta
Prof. Dr. Abdul Muthalib, SpPD KHOM
Divisi Hematologi Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonsia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. DR. Dr. Charles Surjadi, MPH
Pusat Penelitian Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta
Prof. DR. Dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
DR. Dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Kanker Dharmais, Jakarta
DR. Dr. med. Abraham Simatupang, MKes
Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
Prof. Dr. Sarah S. Waraouw, SpA(K)
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Penerbit Kalbe Farma


Pencetak PT. Temprint

Prof. DR. Dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH


Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd
Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
Prof. DR. drg. Hendro Kusnoto, SpOrt.
Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

editorial

DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP


Sub Dept. Kardiologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSP Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
Prof. DR. Dra. Arini Setiawati
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Asma merupakan masalah yang sering dijumpai di kalangan anak-anak; dan jika berlanjut

Prof. Dr. Faisal Yunus, PhD, SpP(K)


Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta

menjadi kronis akan dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak.


Artikel Cermin Dunia Kedokteran kali ini berkisar pada masalah asma tersebut, ditambah dengan
penelitian di kalangan anak yang berolahraga dibandingkan dengan yang tidak; penelitian ini
menarik untuk dilanjutkan dalam skala yang lebih besar.
Terapi inhalasi, salah satu modalitas terapi asma juga dapat Sejawat baca di edisi ini, disambung
dengan uji provokasi sebagai salah satu cara diagnostik.
Seperti biasa, di akhir halaman kami sajikan daftar artikel yang diterbitkan di Cermin Dunia
Kedokteran sepanjang tahun 2008, semoga bisa berguna untuk penelusuran artilel yang
mungkin Sejawat perlukan.
Selamat membaca, semoga bisa berguna untuk memperbaiki mutu pelayanan terhadap pasien.

Redaksi

susunan

redaksi

Dr. R.M. Nugroho Abikusno, MSc., DrPH


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Ketua Pengarah
Dr. Boenjamin Setiawan, PhD

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS


Fakultas KedokteranUniversitas Udayana Denpasar, Bali

Pemimpin Umum
Dr. Erik Tapan

Prof. DR. Dr. Ignatius Riwanto, SpB(K)


Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/
RS Dr. Kariadi, Semarang

Ketua Penyunting
Dr. Budi Riyanto W.

Dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD


Universitas Trisakti/ Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta

Manajer Bisnis
Nofa, S.Si, Apt.

Prof. DR. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI


Sub Dept. Alergi-Imunologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dewan Redaksi
Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir, MSc.
Dr. Michael Buyung Nugroho
Dr. Karta Sadana
Dr. Sujitno Fadli
Drs. Sie Djohan, Apt.
Ferry Sandra, Ph.D.
Budhi H. Simon, Ph.D.
Tata Usaha
Dodi Sumarna

386

Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K)


Departemen Radiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN
Departemen Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Hendro Susilo, SpS(K)
Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo,
Surabaya
Prof. DR. Dr. Darwin Karyadi, SpGK
Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat
Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, M.Kes
Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

387

ENGLISH SUMMARY

TINJAUAN PUSTAKA

Terapi Inhalasi
Pradjnaparamita
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

VO2.max Difference
between Students
who Regularly Play
Soccer Compared
with Students who
Dont Play Soccer in
Darul Hijrah
Pesantren, South
Kalimantan
Huldani
Dept. of Physiology, Faculty of Medicine,
Lambung Mangkurat University, Banjarbaru,
South Kalimantan, Indonesia

VO2max is a physiological parameter in


standard measurement of cardiorespirative endurance as the most important
component in physical fitness. VO2max
,
is body s ability to take, distribute and
use oxygen maximally.
Soccer can increase cardiorespirative endurance, because soccer consists of 4
important components of physical fitness:
heart endurance and blood circulation,
strength, muscle endurance and elasticity.
A method to measure VO2max is multistage fitness test.
To find out VO2max difference between
student who practice soccer and those
,
who don t, an analytical study was conducted with cross sectional approach.
Sampling technique was purposive, analysed with t test. Every group contained
40 students. The result of research t test
= 6,423 and t table = 2,020 with significance level of 0,05, There is significant
VO2max difference between students
who practice soccer and students who
do not.
Cermin Dunia Kedokt. 2008; 35(7): 394-395

388

PENDAHULUAN
Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk
partikel aerosol melalui saluran napas.
Sasaran terapi inhalasi yang utama adalah saluran napas atas
dan saluran napas bawah. Saluran napas atas dimulai dari
rongga hidung, dengan sinus di sekitarnya, laring dan farings,
proksimal trakea. Saluran napas bawah dimulai dari bronkus,
bronkioli sampai ke alveoli. Target sasaran ini termasuk mukosa
dan ujung reseptor neuron di dalamnya.

Ukuran partikel berkisar antara 100 mikron sampai 0,01 mikron.


Penyebaran partikel obat akan tergantung kepada besaran
mikronnya; partikel dengan ukuran 5-10 mikron akan menempel pada orofaring, 2-5 mikron pada trakeobronkial sedangkan
partikel <1 mikron akan keluar dari saluran napas bersama
proses ekspirasi (Gb.1).
Gb.1. Besar Partikel dan Penetrasinya ke Saluran Napas

Hypothesis from available data

Hypertonic Saline
Bronchial Provocation
Test (BPT)
Bambang Supriyatno,
Nastiti N. Rahajoe
Dept. of Child Health, Faculty of Medicine,
University of Indonesia, Jakarta, Indonesia

Asthma is diagnosed based on history


and supporting examinations. Bronchial
provocation test (BPT) using histamine or
metacholine is the diagnostic standard for
asthma; but since histamine and metacholine are not easily available, another
agent is used as an alternative, such as
hypertonic saline (NaCl 4.5%).
The aim of this study is to measure the
sensitivity and specificity of this agent
compared with histamine.

BPT using histamine and hypertonic saline


(HS) were applied to asthma patients diagnosed according to National Consensus
of Child Asthma. Thirty patients underwent HS BPT and 22 patients underwent
histamine BPT. The age mode was 9 years
old, male : female ratio was 3 : 1; 70%
were classified as infrequent episodic
asthma, 30% were frequent episodic
asthma. no persistent asthma was found.
Atopy history in family were found in 70%
patients, and 66.7% patients have atopy.
Among 30 patients who underwent HS
BPT, 53.3% gave positive results, and
among 22 histamine BPT patients, 68.2%
were positive.
Among infrequent episodic asthma
patients, 42.9% showed positive results
to HS, and 60% to histamine, compared
with 77.8% and 85.7% in the group of
frequent episodic asthma. The sensitivity
and specificity of HS as provocation agent
were 86.7% and 85.7% respectively;
the positive predictive value was 92.9%
and the negative predictive value was 75%.
HS can be used as an alternative to histamine in BPT for diagnosing asthma with
86.7% sensitivity and and 85.7% specificity.
Cermin Dunia Kedokt. 2008; 35(7): 396-400

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Terdapat berbagai macam bentuk obat atau cara pemberian


terapi inhalasi, seperti bentuk aerosol, yang biasanya dikemas
dalam bentuk Inhalasi Dosis Terukur dan biasa disebut Metered
Dose Inhaler [ MDI ], DPI atau Dry Powder Inhalation, yaitu obat
berbentuk bubuk kering yang dikemas dalam satu bentuk obat
jadi atau kapsul yang digunakan dengan alat bantu. Bentuk
lainnya adalah cairan yang dapat berupa solutio atau suspensi,
bentuk ini juga harus digunakan dengan alat bantu nebuliser.
Karena langsung pada target sasaran, dosis yang digunakan
dalam terapi inhalasi sangat kecil, penyerapan sistemik juga
sedikit sehingga efek samping obat jarang terjadi.
Terapi inhalasi pertamakali memang ditujukan untuk target
sasaran di saluran napas, tetapi dalam beberapa penelitian
obat inhalasi mulai digunakan untuk penggunaan sistemik
yang memerlukan dosis kecil dan waktu yang cepat seperti
dalam penggunaan insulin.
MEKANISME KERJA
Obat dalam bentuk partikel aerosol yang dapat dibentuk dari
cairan ( pada nebulizer ) atau partikel aerosol yang dimampatkan dengan gas sebagai zat pembawa ( MDI = Meterred Doze
Inhaler ) atau aerosol yang berasal dari bubuk kering ( Dry
Powder Inhalation = DPI ), akan mencapai sasaran di saluran
napas bersama proses respirasi sesuai dengan ukuran partikel
yang terbentuk dengan mekanisme hukum Brown yaitu
impaksi, sedimentasi dan difusi. Impaksi adalah membentur
dan menempelnya partikel obat pada mukosa bronkus yang
terjadi karena pergerakan udara melalui inspirasi dan ekspirasi,
sedangkan sedimentasi adalah sampainya partikel sampai pada
mukosa bronkus karena mengikuti efek dari gravitasi.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Particle size
(microns)

Regional
deposition

Efficacy

Safety

>5

Mouth /
oesophageal
region

No clinical
effect

Absorption
from GI tract
if swallowed

2-5

Upper / Central
airways

Clinical
effect

Subsequent
absorption
from lung

<2

Peripheral
airways / alveoli

Some local
clinical effect

High
systemic
absorption

Dikutip dari Chrystin, Workshop Aerosol Medicine ERS, 2005

BENTUK OBAT DAN ALAT BANTU


Sebagai obat berbentuk partikel dengan target sasaran di
saluran napas, terapi inhalasi obat dapat berupa:
- Metered Dose Inhaler ( MDI ) atau dapat disebut Inhalasi
Dosis Terukur ( IDT )
- Dry Powder Inhalation ( DPI ), yang dapat berbentuk
Turbuhaler, Handihaler atau Diskus
- Cairan yang dapat berbentuk solutio atau suspensi.
Untuk dapat menjadi partikel, bentuk cairan ini harus
menggunakan alat bantu nebuliser
Metered Dose Inhaler
MDI berbentuk tabung kecil yang digunakan dengan cara disemprotkan. Diperlukan koordinasi antara semprot dan sedot
bagi penggunanya. Sulit dilakukan oleh anak-anak atau lanjut
usia, atau mereka yang mengalami gangguan neurologi. Dapat
digunakan dengan alat bantu berupa nebuhaler atau spacer;
dengan alat bantu ini obat dapat dihirup dengan lebih perlahan,
sehingga lebih disukai pasien PPOK lanjut usia. Pada pasien yang
menggunakan ventilasi mekanik dapat digunakan dengan konektor
pada pipa inspirasi ( tergantung dengan jenis/merk ventilator ).

389

TINJAUAN PUSTAKA
Dalam keadaan tidak sesak napas berat MDI disemprotkan bersamaan dengan inspirasi dalam, sangat diperlukan koordinasi
yang baik antara gerakan menyemprotkan obat dan inspirasi
yang dalam.
Dry Powder Inhalation
DPI dapat lebih mudah digunakan, karena tidak memerlukan
koordinasi yang cepat antara semprot dan sedot. Tetapi pengguna obat jenis ini memerlukan kekuatan otot pipi, sehingga
sulit pada pasien geriatri karena kekuatan otot pipinya sudah
berkurang.
Nebuliser
Nebuliser terdiri dari beberapa bagian yang terpisah, antara lain
generator aerosol, nebuliser, tempat obat cair dan alat hisapnya
yang dapat berupa masker, mouthpiece atau kanul ( kanul
hidung, kanul trakeostomi )
Generator aerosol adalah sumber tenaga yang diberikan
kepada nebuliser sehingga dapat mengubah cairan menjadi
aerosol atau partikel halus (Gb.2). Beberapa macam dasar cara
kerja adalah kompresor, ultrasound atau oksigen. Mekanisme
kerja nebuliser sampai saat ini selalu berkembang, secara
teknologi disesuaikan dengan kebutuhan penggunaan obat,
seperti misalnya untuk obat hipertensi pulmoner, atau insulin,
dibuat secara khusus hanya untuk obat tersebut.
Di samping itu harus diperhatikan pula mengenai kontinuitas
kerja alat nebuliser, karena ada yang menggunakan tombol
pengatur keluarnya aerosol, atau tanpa tombol pengatur sehingga
aerosol keluar terus menerus. Pada tipe kontinu banyak dosis
obat dapat terbuang, sedangkan yang menggunakan tombol
pengatur produksi aerosol dapat disesuaikan dengan pola napas
pemakai. Ada pula tipe nebuliser dengan klep di mouthpiecenya yang akan secara otomatis tertutup bila pemakai tidak
menarik napas, penggunaan obat juga menjadi efektif.
nebulised aerosol size is unstable in entrained ambient
air and rapidly loses water vapour, decreasing size
entrained
ambient air
e.g. 15-7=8 L/min

Gb.2.

patient inhalation
e.g. 15 L/min

compressed air
e.g. 7 L/min

Dikutip dari Dennis, JC, Workshop Aerosol Medicine, ERS 2005

390

Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar nebuliser dapat


memberikan hasil yang maksimal :
- kekuatan kompresor 6-8 l/menit
- volume obat 2-5 ml
- partikel yang dihasilkan sebagian besar 2-5 mikron
- persentase partikel yang optimal > 50 %
- kekuatan inspirasi ( bila menggunakan ventilator harus
disesuaikan )
- lama pemberian 5-10 menit
Macam Alat Bantu Nebuliser
Masker
Digunakan pada pasien dengan kesadaran menurun. Tidak
memerlukan koordinasi inspirasi atau ekspirasi dari pasien.
Hati hati pada penggunaan kortikosteroid atau antikolinergik.
Mouthpiece
Obat yang terhirup akan lebih efektif. Diperlukan koordinasi
inspirasi dan ekspirasi yang baik. Berikan sambungan konektor di sisi ekspirasi untuk mengurangi obat yang terbuang
melalui ekspirasi. Mouthpiece terbaru menggunakan klep
untuk mengurangi obat yang terbawa keluar saat ekspirasi.
Konektor ventilator
Beberapa konektor telah mempunyai saluran langsung; bila
tidak ada, dapat digunakan T konektor pada pipa inspirasi.
Pada trakeostomi diperlukan konektor khusus; dapat juga
dengan T konektor biasa.
PEMAKAIAN TERAPI INHALASI DALAM KLINIK
Dalam penanganan masalah respirasi, terapi inhalasi dapat
berfungsi sebagai :
- diagnostik
- terapi.
Sebagai alat diagnostik inhalasi digunakan pada :
- uji bronkodilator dengan beta2 agonis
- uji provokasi bronkus dengan metakolin
- induksi sputum dengan NaCl 3 %.
Jika digunakan untuk pengobatan perlu diperhatikan be berapa
hal agar tercapai sasaran, terhindar dari efek samping dan
nyaman bagi pasien, misalnya :
- tujuan pengobatan
- problem atau simptom respirasi yang menonjol
- kesadaran pasien
- diagnosis kerja saat itu
- lama penggunaan, jangka pendek atau jangka panjang
- bentuk obat dan alat bantu yang digunakan
- jenis obat
- tempat kerja, ruang gawat darurat, ICU dengan mesin
bantu napas, ruang rawat atau di rumah.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan terapi inhalasi dalam masalah respirasi biasanya
ditujukan untuk :
- bronkodilatasi
- mukolitik
- antiinflamasi mukosa bronkus
- antibiotik mukosa bronkus dan alveolus
- anastesi lokal bronkus untuk tindakan bronkoskopi.
Kesadaran pasien
Kesadaraan pasien sangat penting untuk mendapatkan hasil
terapi yang maksimal; misal menggunakan masker; sedangkan
pada penderita yang kompos mentis dan kooperatif penggunaan mouthpiece akan lebih efektif. Pada penggunaan nebuliser yang diskontinu, pengaturan pemasukan obat dapat
disesuaikan dengan waktu inspirasi pasien.
Diagnosis kerja
Diagnosis problem respirasi yang dapat menggunakan terapi
inhalasi.
- Asma
- PPOK
- Bronkiektasis
- Fibrosis kistik
- Gagal jantung dengan hipereaktif bronkus
- Stroke dengan retensi sputum
- Pneumoni aspirasi
- Infeksi Pneumocystis carinii
- Hipertensi pulmoner
Saat penggunaan
Dalam keadaan akut :
- Asma serangan akut
- PPOK eksaserbasi
- Gagal jantung dengan hiperaktifitas bronkus
Pada penatalaksanaan jangka panjang :
- Asma persisten sedang sampai berat
- PPOK stabil
- Bronkiektasis
- Fibrosis kistik
- Pencegahan infeksi Pneumocystis carinii
Bentuk obat dan alat bantu
Pemilihan bentuk obat dan alat bantu (MDI, DPI atau nebuliser)
harus disesuaikan dengan kemampuan koordinasi gerakan
pasien. Penggunaan di ruang gawat darurat lebih mudah
dengan nebuliser. Dalam penggunaan jangka panjang bentuk
MDI atau DPI lebih mudah. Nebuliser jet dapat digunakan untuk
suspensi maupun solutio. Nebuliser ultrasound hanya dapat
digunakan untuk solutio.

392

Masker untuk wajah (facemask) sebaiknya tidak digunakan


untuk kortikosteroid atau antikolinergik untuk mencegah efek
samping akibat partikel obat yang tertinggal di kulit sekitar
muka/wajah atau daerah mata.
Jenis obat
Obat akan selalu disesuaikan dengan diagnosis atau kelainan
saat itu. Kortikosteroid digunakan sebagai anti inflamasi bukan
bronkodilator jadi tidak digunakan pada keadaan akut. Sebaliknya
beta2agonis merupakan bronkodilator yang digunakan pada
keadaan akut; jika bronkodilatasi sudah tercapai, fungsinya
dapat saja berkurang sehingga dapat timbul efek samping
seperti tremor atau berdebar.
Tidak setiap obat berbentuk solutio dapat digunakan untuk
terapi inhalasi. Farmasi membuat khusus solutio untuk terapi
inhalasi, antara lain beta2agonis, kortikosteroid tertentu, NaCl,
antibiotik tertentu. Penggunaan obat secara kombinasi tidak dianjurkan kecuali diketahui tidak timbul reaksi antar obat tersebut.
Obat obatan yang telah tersedia dalam kemasan terapi inhalasi
antara lain :
- beta2agonis misal salbutamol, terbutalin, fenoterol,
formoterol, salmeterol
- antikolinergik misal ipratroprium bromide, tiotropium
- kortikosteroid misal budesonide, fluticasone
- antibiotik misal tobramycin
- prostacyclin
Tempat perawatan
Bila ditinjau dari tempat terapi inhalasi digunakan, dapat dibedakan :
- terapi inhalasi di ruang gawat darurat
- terapi inhalasi di ICU
- terapi inhalasi di ruang rawat
- terapi inhalasi di rumah atau perorangan.
Ruangan terapi inhalasi dilaksanakan dapat menggambarkan
tujuan terapi dan kondisi penderita, obat dan alat yang digunakan.
Ruang Gawat Darurat
Di ruang gawat darurat masalah respirasi yang sering ditemui
adalah obstruksi bronkus sedang sampai berat. Obstruksi berat
kadang kadang disertai dengan kesadaran menurun atau hipoksemi berat. Pada kondisi seperti ini keadaan mengancam jiwa
adalah masalah utama, tindakan yang pertama dilaksanakan
adalah membebaskan jalan napas dan oksigenasi. Nebuliser dengan
bronkodilator, pemberian oksigen dan perbaikan posisi saluran
napas penderita harus segera dilakukan.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

T I N J A UA N PUST A K A
Pemberian dapat membantu melepaskan sputum yang mukoid.
Penambahan antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Kortikosteroid atau antibiotik inhalasi tidak berfungsi
dalam kondisi seperti ini. Pemilihan alat bantu inhalasi sangat
penting, bila kesadaran masih baik pemilihan bentuk mouthpiece akan memberikan efek yang lebih maksimal, bila kesadaran
menurun dapat digunakan masker oro-nasal.
Ruang ICU
Di sini biasanya pasien dalam mesin bantu napas. Pasien dengan
sputum produktif dan mukoid dapat diberi inhalasi mukolitik,
sebaiknya ditambahkan bronkodilator untuk mencegah bronkospasme. Dosis bronkodilator lebih kecil dari dosis untuk bronkodilatasi. Penggunaan steroid inhalasi diberikan untuk menunjang
steroid sistemik pada kasus inflamasi saluran napas cukup nyata
dan memerlukan terapi steroid jangka panjang, misalnya pada
serangan asma berat atau PPOK eksaserbasi akut yang mempunyai
respons positif dengan kortikosteroid.
Antibiotik inhalasi hanya bermanfaat bila infeksi mukosa bronkus
dapat terbukti, ( biasanya pada penggunaan mesin bantu napas
yang sudah beberapa waktu). Penggunaan antibiotik untuk
pencegahan/prevensi infeksi tidak direkomendasi karena dapat
menyebabkan resistensi kuman. Inhalasi pulmonary vasodilator
jangka pendek, misalnya prostacycline atau nitric oxide dapat
menurunkan hipertensi pulmoner dan meningkatkan oksigenasi pada ARDS. Pemilihan alat nebuliser disesuaikan dengan
tipe mesin bantu napas yang digunakan, tidak setiap tipe mesin
bantu napas dapat digunakan untuk terapi inhalasi, bila dimodifikasi harus tetap diperhatikan mekanisme inhalasi yang terjadi,
apakah dapat berefek maksimal.

Obat berbentuk solutio tidak dapat dicampur dengan suspensi


karena berat molekul yang berbeda tidak akan terdispersi
menjadi partikel dengan maksimal. Sebagai pengencer sebaiknya
digunakan NaCl karena bersifat fisiologis.
EFEK SAMPING
- Palpitasi, karena kelebihan dosis [ bronkodilator beta2agonis ]
- Retensi CO2, bila menggunakan oksigen sebagai sumber
tenaga nebuliser pada terapi inhalasi pasien PPOK dalam
waktu yang lama
- Depresi SSP bila menggunakan morfin
- Bronkospasme pada beberapa obat
- Glaukoma, pada penggunaan antikolinergik dengan masker
- Mikosis kulit wajah bila menggunakan steroid inhalasi
dengan masker
- Kontaminasi mikroorganisme bila desinfeksi kurang
- Kerusakan partikel obat bila menggunakan jenis nebuliser
yang tidak sesuai
- Batuk bertambah karena iritasi laring bila terdapat laringitis
atau faringitis

DAFTAR PUSTAKA
1. ERS Workshop Medical Aerosol. Budapest 2005
2. ERS guideline on the use of nebulizer. Eur Respir J 2001;18:228-242
3. Device Selection and Outcome of Aerosol Therapy: Evidence Based
Guidelines: American College of Chest Physicians/American College of
Asthma, Allergy and Immunology. Chest 2005; 127;335-371

Ruang rawat
Di ruang rawat penggunaan terapi inhalasi berdasarkan berbagai tujuan baik sebagai alat bantu diagnostik ataupun terapi.
Diagnostik inhalasi dengan NaCl pekat dilakukan untuk induksi
sputum sebagai salah satu cara pengumpulaan sputum untuk
bahan pemeriksaan. Uji bronkodilator dilakukan untuk melihat
kecukupan dosis bronkodilator. Pada umumnya terapi inhalasi
di ruang rawat banyak dimanfaatkan untuk obstruksi saluran
napas, bronkokonstriksi cepat teratasi dengan pemberian inhalasi
yang adekuat, dosis maupun kekerapan pemberian.
PEMILIHAN OBAT
Obat yang digunakan dalan terapi inhalasi nebuliser berbentuk
solutio, suspensi atau obat khusus yang memang dibuat untuk
terapi inhalasi, seperti bronkodilator atau kortikosteroid.
Kombinasi obat dalam terapi inhalasi sebaiknya dilakukan
secara rasional.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

393

ABSTRAK
Konsumsi oksigen maksimum merupakan parameter fisiologi dalam pemeriksaan standar untuk mengukur daya tahan
kardiovaskuler yang merupakan salah satu komponen terpenting dari kesegaran jasmani. VO2.max merupakan kemampuan
tubuh untuk mengambil, mengedarkan dan memanfaatkan oksigen secara maksimal. Sepakbola merupakan olahraga yang
dapat meningkatkan daya tahan kardiovaskuler, karena dalam sepakbola memuat 4 komponen penting dari kesegaran
jasmani yaitu, ketahanan jantung dan peredaran darah, kekuatan, ketahanan otot dan kelenturan. Salah satu cara untuk
mengukur VO2.max yaitu dengan metode Multistage fitness test. Untuk mengetahui perbedaan VO2.max antara siswa yang
latihan sepakbola dengan yang tidak, telah dilakukan penelitian analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Teknik
sampling menggunakan purposive dengan analisis statistik berupa uji T. Sampel masing masing berjumlah 40 orang. Hasil
penelitian diperoleh thitung = 6,423 dan ttabel = 2,020 dengan taraf signifikan 0,05 sehingga thitung > ttabel. Artinya terdapat perbedaan yang bermakna antara siswa yang latihan sepakbola dengan yang tidak latihan sepakbola.

PENDAHULUAN
Olahraga merupakan bagian integral dari pendidikan yang dapat
memberikan sumbangan berharga bagi pertumbuhan dan
perkembangan manusia (1). Salah satu manfaat dari olahraga
yaitu meningkatkan kesegaran jasmani (2). Unsur terpenting dari
kesegaran jasmani adalah daya tahan kardiovaskuler (cardiovascular endurance) (2,3). Macam atau jenis aktifitas fisik menentukan nilai daya tahan kardiovaskular. Daya tahan kardiovaskular tersebut secara fisiologis dipengaruhi oleh faktor keturunan
(genetik), umur, jenis kelamin, dan aktifitas fisik. Konsumsi
Oksigen Maksimum (VO2-max) adalah parameter fisiologis
yang sangat obyektif dan pengukurannya merupakan pemeriksaan standar untuk mengukur cardiovascular endurance (4-7).
Sepakbola merupakan olahraga yang dapat meningkatkan cardiovascular endurance. Program latihan yang baik akan merefleksikan
kemampuan pemain dalam bertanding(8). Seorang pemain
sepakbola harus mampu menunjukkan kekuatan, kecepatan
dan daya tahan selama 90 menit permainan(9,10), sehingga
kadar VO2. max seorang pemain sangat berpengaruh(11,12).
Diperlukan latihan minimal tiga kali dalam seminggu untuk
memperoleh VO2. max yang baik(10).

394

Di pondok pesantren Darul Hijrah, terdapat beberapa macam


kegiatan ekstra-kurikuler olahraga di antaranya adalah sepakbola,
olahraga ini rutin dilakukan 3 sampai 4 kali dalam seminggu.
Untuk mengetahui apakah olahraga sepakbola ini sudah bermanfaat bagi anggotanya, maka dilakukan penelitian untuk
mengetahui perbedaan VO2.max siswa yang latihan fisik sepakbola dengan yang tidak latihan. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui perbedaan VO2.max antara siswa yang latihan
sepakbola dengan yang tidak latihan sepakbola.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan
pendekatan secara cross sectional, teknik purposive sampling,
jumlah sampel adalah 80 orang siswa pondok pesantren Darul
Hijrah Cindai Alus Martapura, Kalsel (masing-masing 40 orang
yang latihan sepakbola dan yang tidak) dengan kriteria : Jenis
kelamin laki-laki; Sehat jasmani, artinya pada saat penelitian
probandus tidak sakit dan tidak mempunyai riwayat penyakit
jantung dan paru; bagi sampel yang latihan sepakbola, telah
mengikuti latihan secara teratur, 3-4 kali selama 45-60 menit
dalam seminggu selama lebih dari 2 minggu; bagi sampel yang
tidak latihan sepakbola, tidak mengikuti atau melakukan
latihan olahraga.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Cara kerja dalam penelitian ini dengan pengukuran kapasitas


maksimal O2 (VO2.max) menggunakan multistage fitness test,
dengan langkah kerjanya sebagai berikut :
a. Ukur jarak sepanjang 20 m dan beri tanda pada kedua
ujungnya dengan kerucut - kerucut penanda jarak.
b. Subjek penelitian disarankan agar melakukan latihan pemanasan dengan melaksanakan aktifitas seluruh anggota
tubuh secara umum, sekaligus dengan beberapa macam
latihan peregangan, terutama dengan menggerakkan otototot kaki.
c. Testee siap di garis start, dan mesin pemutar kaset dihidupkan.
d. Setelah pita kaset menyuarakan sinyal suara "tit" tunggal pada
beberapa interval yang teratur. Testee diharapkan berusaha
agar dapat sampai ujung yang berlawanan (diseberang)
bertepatan dengan saat sinyal "tit" yang pertama berbunyi.
e. Kemudian testee harus meneruskan berlari pada kecepatan
seperti ini, dengan tujuan agar bisa sampai ke salah satu
dari kedua ujung tersebut bertepatan dengan terdengarnya sinyal "tit" yang berikutnya.
f. Setelah 1 menit, interval waktu di antara kedua sinyal "tit"
akan memendek, sehingga kecepatan larinya harus semakin
ditingkatkan. Kecepatan lari pada menit pertama disebut
sebagai level 1. Kecepatan tiap level berlangsung selama
1 menit dan rekaman pitanya berangsur meningkat sampai
ke level 21. Akhir dari setiap lari ulang alik dari setiap
level ditandai dengan suatu sinyal 3 kali berturut-turut.
g. Testee harus selalu menempatkan satu kaki, baik tepat
pada atau di belakang tanda meter ke-20 pada akhir setiap
lari ulang - alik.
h. Testee harus meneruskan larinya selama mungkin, sampai
tidak mampu lagi mempersamakan larinya dengan kecepatan yang telah diatur oleh pita rekaman, sehingga testee
secara sukarela harus menarik diri dari tes larinya. Pada
saat ini dicatat testee sudah sampai ke level dan shuttle
berapa.
i. Hasilnya (level dan shuttle) dicocokkan dengan tabel Predicted
Maximum Oxygen uptake Values for The Multistage Fitness
Test untuk mengukur VO2.max.
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel kemudian
dilakukan uji statistik hasil pengukuran dengan menggunakan uji t.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 80 sampel yang
latihan sepakbola dan tidak, dapat dilihat dari grafik 1 :

60

=0 ,05

50
40
30
20
10

45,905 + 6,517

Huldani
Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Suatu permukaan datar yang tidak licin, sekurang-kurangnya sepanjang
22 meter, mesin pemutar kaset, kaset audio, pita meteran untuk
mengukur jalur sepanjang 20 meter, kerucut - kerucut penanda
batas jarak + 1 - 1,5 cm.

52,905 + 4,446

Perbedaan VO2.max antara


Siswa yang Latihan Sepakbola
dengan yang Tidak Latihan Sepakbola
di Pondok Pesantren Darul Hijrah

HASIL PENELITIAN

Nilai VO2 Max (ml/kg/menit)

HASIL PENELITIAN

0
Siswa yang latihan
sepakbola

Siswa yang tidak latihan


sepakbola

Grafik 1. Perbedaan VO2.max antara siswa yang latihan sepakbola dengan


yang tidak latihan sepakbola.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, diperoleh thitung = 6,423


dan ttabel = 2,020 dengan taraf signifikan 0,05 sehingga thitung > ttabel
, Jadi terdapat perbedaan yang bermakna antara siswa yang
latihan sepakbola dengan yang tidak latihan sepakbola.
Pada penelitian ini VO2.max siswa yang latihan sepakbola lebih
besar dibanding yang tidak latihan. VO2.max merupakan
parameter tingkat kesegaran jasmani, maka dapat dinyatakan
bahwa tingkat kesegaran jasmani siswa yang latihan sepakbola
lebih baik dibanding yang tidak latihan. Hasil penelitian ini tidak
berbeda jauh dengan dengan hasil penelitian Miftah (13) yang
menyimpulkan bahwa kelompok olahragawan mempunyai 90%
kesegaran jasmani dengan kriteria cukup dan yang bukan olahragawan 60% kesegaran jasmani dengan kriteria cukup. Begitu
pula penelitian Yuliani (14), menyatakan bahwa nilai VO2.max
dari wanita usia 40 - 50 tahun yang mengikuti senam aerobik
lebih besar dibandingkan yang tidak mengikuti senam aerobik.
SIMPULAN
Ada perbedaan VO2.max yang bermakna antara siswa yang
latihan sepakbola dengan yang tidak latihan sepakbola di
pondok pesantren Darul Hijrah, Kelompok siswa yang latihan
sepakbola memiliki VO2.max yang lebih besar dibandingkan
dengan kelompok siswa yang tidak latihan sepakbola.
SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat besarnya pengaruh
sepakbola terhadap VO2.max.
DAFTAR PUSTAKA
Rincian Daftar Pustaka ada pada redaksi.

395

HASIL PENELITIAN

Uji Provokasi Bronkus dengan


Salin Hipertonis
Bambang Supriyatno, Nastiti N. Rahajoe
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK
Prevalensi asma makin meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Diagnosis asma
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang baku menggunakan uji provokasi dengan histamin atau metakolin.
Mengingat histamin sulit didapat, maka dicari beberapa alternatif antara lain menggunakan salin hipertonis (NaCl 4,5%).
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sensitivitas dan spesifisitas uji provokasi salin hipertonis dibandingkan
dengan histamin. Metodologi yang digunakan adalah desain uji diagnostik membandingkan uji provokasi salin hipertonis
dengan histamin. Pasien yang telah didiagnosis asma berdasarkan kriteria Konsesus Nasional Penanganan Asma Anak
manjalani uji provokasi dengan salin hipertonis atau dengan histamin; 30 pasien dengan salin hipertonik dan 22 pasien
dengan histamin. Didapatkan bahwa usia terbanyak adalah 9 tahun dengan perbandingan lelaki dan perempuan adalah
3:1. Yang terbanyak menderita asma episodik jarang (70,0%). 70,0% dengan riwayat atopi pada keluarga sedangkan
atopi pada pasien 66,7%. Uji provokasi bronkus dengan salin hipertonis menghasilkan 53,3% positif, sedangkan uji provokasi dengan histamin 68,2% positif. Berdasarkan derajat asma didapatkan bahwa pada asma episodik jarang 9/21(42,9) %
positif terhadap salin hipertonis dan 9/15(60) % positif terhadap histamin. Sedangkan pada asma episodik sering masingmasing 7/9(77,8) % dan 6/7(85,7)% positif terhadap salin hipertonis dan histamin. Berdasarkan hasil di atas didapatkan
sensitivitas 86,7% dan spesifisitas 85,7% dengan nilai prediktif positif 92,9% dan nilai prediktif negatif 75,0%. Uji provokasi bronkus menggunakan salin hipertonis dapat digunakan sebagai alternatif untuk diagnosis asma dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 86,7% dan 85,7%.
Kata kunci: asma, uji provokasi bronkus, salin hipertonik

PENDAHULUAN
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran
nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini
menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, sempit
dada dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang
luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat
reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi
ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan.1
Definisi di atas sehari-hari sukar diterapkan. Untuk itu Unit Kerja
Koordinasi (UKK) Pulmonologi PP IDAI merumuskan definisi
asma sebagai batuk dan/atau mengi berulang dengan karakteristik
timbul secara episodik, cenderung malam hari/dini hari (nokturnal),
musiman, setelah aktifitas fisik, serta adanya riwayat asma atau
atopi lain pada pasien atau keluarganya.2

396

Diagnosis asma sebenarnya tidak sulit. Pasien umumnya mempunyai riwayat serangan yang berulang dan kadang-kadang
hilang secara spontan. Apabila pasien tidak dalam serangan,
pemeriksaan fisik, spirometri dan foto toraks dapat normal
walaupun anamnesis mencurigakan adanya asma. Dalam hal/
keadaan ini perlu dilakukan uji provokasi bronkus.
Uji provokasi bronkus bertujuan untuk mengetahui ada/tidaknya
hipereaktivitas bronkus, suatu kelainan yang mendasari asma.4,5
Diketahui ada beberapa macam uji provokasi bronkus berdasarkan jenis rangsangan dan cara pemberiannya. Cara yang telah
diketahui dan digunakan secara umum adalah menggunakan
histamin dan metakolin serta uji beban kerja; sedangkan cara
lain adalah dengan inhalasi salin hipertonis yang akhir-akhir ini
makin diminati. 4,6,7
Penelitian ini mengenai uji provokasi bronkus dengan inhalasi
salin hipertonis untuk dibandingkan sensitivitas dan spesifisitasnya terhadap uji menggunakan histamin.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

HASIL PENELITIAN
METODOLOGI
Desain penelitian ini adalah untuk membandingkan suatu perangkat
diagnostik dengan baku emas; dalam hal ini uji provokasi dengan
salin hipertonik dibandingkan dengan uji menggunakan histamin.
Penelitian dilakukan di Subbagian Pulmonologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM sejak November 2000 - November
2001. Setiap pasien asma yang berobat di Poliklinik Pulmonologi
Anak dan berusia di atas 6 tahun menjalani uji provokasi
dengan salin hipertonik dan dengan histamin. Kriteria inklusi
adalah pasien sudah didiagnosis asma berdasarkan Konsensus
Nasional penanganan asma anak, berusia di atas 6 tahun dan
dapat melakukan uji fungsi paru dengan baik dan benar, bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi informed consent,
tidak menggunakan natrium kromoglikat, nedokromil, bronkodilator kerja cepat atau ipatropium bromida dalam 6 jam
sebelum provokasi, tidak menggunakan bronkodilator lepas
lambat dalam 12 jam sebelum provokasi dan dapat menggunakan spirometer dengan baik. Kriteria eksklusi adalah apabila
nilai FEV1 kurang dari 65%. Uji provokasi salin hipertonik
menggunakan larutan NaCl 4,5% produksi Otsuka, dilakukan
sesuai dengan cara Anderson.
Uji provokasi
Menggunakan nebulizer ultrasonik dengan kecepatan antara
1,5 - 2 ml per menit. Canister diisi dengan 200 ml larutan salin
4,5%, bila berkurang harus diisi kembali agar volumenya tidak
kurang dari 150 ml, canister dihubungkan dengan nebulizer.
Sebelum uji dilakukan canister, tabung aerosol serta penutupnya
ditimbang.

Tanpa mengetahui hasil uji provokasi salin hipertonik sebelumnya, minimal 2 minggu kemudian pasien menjalani uji provokasi dengan histamin dengan cara standar. Dikatakan positif
apabila selama proses provokasi terjadi penurunan FEV1 20%
dibanding prediksi. Dikatakan negatif apabila selama proses
provokasi berlangsung tidak terjadi penurunan FEV1 20%
nilai prediksi atau setelah pemberian histamin dosis 8 mg/ml.
HASIL
Karakteristik pasien
Terdapat 22 anak lelaki dan 8 anak perempuan dengan perbandingan 3:1. Usia berkisar antara 7 - 15 tahun dengan usia
terbanyak 9 tahun. Asma yang terutama adalah asma episodik
jarang (70,0%), tidak dijumpai asma persisten. Riwayat atopi
keluarga didapatkan pada 70,0%, sedangkan atopi pasien 66,7%.
Gejala yang selalu ada adalah batuk, sedangkan wheezing hanya
dijumpai pada 36,7% pasien asma. Sebagian besar pasien tidak
terganggu baik aktivitas maupun tidurnya (80,0%). Paparan
terhadap rokok dijumpai pada 26,7%, sedangkan kapuk 50%,
obat nyamuk 56,7%, bulu binatang 40,0%. Peningkatan IgE
dan eosinofil total masing-masing dijumpai pada 70,0% dan
73,3% pasien asma. Uji kulit dilakukan pada 20 pasien dengan
hasil uji positif pada 15/20 (75)% pasien, terutama (90%) positif
terhadap tungau debu rumah.
Tabel 1. Karakteristik pasien
Jumlah
Lelaki
n(%)

Perempuan
n(%)

Umur (tahun):

Diberikan pemaparan awal memakai nebulizer ultrasonik selama


30 detik, semenit kemudian dilakukan pemeriksaan FEV1
sebanyak 2 atau 3 kali. Provokasi berikutnya 3 menit setelah
yang pertama. Jika FEV1 menurun sebesar < 20%, maka waktu
paparan ditingkatkan 2 kali lipat. Jika FEV1 menurun 20%
atau setelah pemberian 23 ml salin hipertonis maka provokasi
dihentikan. Periode inhalasi adalah 30 detik, 1 menit, 2 menit, 4
menit dan 8 menit. Setelah uji dilakukan, canister, tabung
aerosol serta penutupnya ditimbang.
Uji provokasi dikatakan positif jika terjadi penurunan FEV1 >
20% nilai prediksi; dikatakan negatif apabila setelah paparan
inhalasi selama 8 menit selama proses tidak terjadi penurunan
FEV1 20% nilai prediksi. Hasilnya dicatat menggunakan
formulir yang telah disediakan. Selain pencatatan uji provokasi,
juga dilakukan penelusuran anamnesis dan pemeriksaan yang
sudah pernah dijalani.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

6-<9

3(13,7)

0(0,0)

9-<12

8(36,3)

5(62,5)

12-<15

8(36,3)

2(25,0)

>15

3(13,7)

1(12,5)

AEJ

14(63,6)

7(87,5)

AES

8(36,4)

1(12,5)

Persisten

0(0,0)

0(0,0)

Positif

15(68,1)

5(62,5)

Negatif

7(31,9)

3(37,5)

Positif

16(72,7)

5(62,5)

Negatif

6(27,3)

3(37,5)

Klasifikasi asma:

Atopi pasien

Atopi keluarga

397

HASIL PENELITIAN
Hasil positif uji provokasi dengan salin hipertonik dijumpai pada
16/30(53,3)% pasien sedangkan pada provokasi dengan
histamin dijumpai pada 15/22(68,2)% pasien. Apabila dirinci
lebih jauh ternyata pada asma episodik jarang dijumpai positif
pada 9/21(42,9)% pasien, sedangkan pada asma episodik
sering pada 7/9(77,9)% pasien (tabel 2). Pada penelitian ini
hanya 22 pasien saja yang diuji provokasi dengan histamin
karena keterbatasan bahan uji.
Tabel 2. Sebaran provokasi dengan salin hipertonik berdasarkan derajat asma
Histamin (n=22)

Salin hipertonik (n=30)


Positif (%)

Negatif (%)

Positif (%)

Negatif (%)

AEJ

9(42,9)

12(57,1)

9(60,0)

6(40,0)

AES

7(77,8)

2(22,2)

6(85,7)

1(14,3)

Asma
persisten

0(0,0)

0(0,0)

0(0,0)

0(0,0)

Terdapat 13 pasien yang positif terhadap keduanya (tabel 3).


Tabel 3. Hubungan antara provokasi salin hipertonik dengan provokasi histamin
Histamin
Total
Positif

Negatif

Salin

Positif

13

14

hipertonik

Negatif

15

22

Total

Sensitivitas
Spesifisitas
PPV
NPV

:
:
:
:

13/15 (86,7%)
6/7 (85,7%)
13/14 (92,9%)
6/8 (75,0%)

DISKUSI
Karakteristik pasien
Pada penelitian ini didapatkan perbandingan antara lelaki dan
perempuan adalah 3:1. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang mendapatkan bahwa pada asma anak sampai usia
pubertas, lelaki lebih banyak dijumpai. Perbedaan ini sampai
saat ini belum dapat diterangkan, namun diduga karena kaliber
atau ukuran saluran napas pada anak lelaki sampai usia tersebut lebih kecil dibandingkan perempuan.8

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Usia pasien pada penelitian ini di atas 7 tahun mengingat anak


usia di bawah 7 tahun belum dapat menjalani pemeriksaan uji
fungsi paru dengan benar. Kanengiser9 dan Crenesse,10 mendapatkan data bahwa pemeriksaan spirometri atau uji fungsi
paru pada anak 3-5 tahun harus hati-hati diinterpretasi.
Gejala yang selalu ada adalah batuk dan 36,7 % pasien pernah
mengalami wheezing. Hal ini sesuai dengan definisi asma berdasarkan Konsensus Nasional Penanganan Asma Anak,2 maupun konsensus internasional.11 Entri atau gejala awal yang harus
diwaspadai adalah batuk dan atau mengi. Batuknya bersifat
episodik (berulang), terutama pada malam hari, dan kadangkadang dapat sembuh dengan atau tanpa pengobatan.
Gangguan tidur maupun aktifitas sehari-hari yang kadang-kadang
saja dapat sesuai dengan diagnosis asma. Sebagian besar asma pada
penelitian ini adalah asma episodik jarang (70,0%), tidak dijumpai
asma persisten. Pada asma episodik jarang biasanya memang tidak
dijumpai gangguan tidur maupun aktifitas sehari-hari.1,2,11
Peran paparan terhadap rokok, kapuk, obat nyamuk dan bulu
binatang sesuai dengan kepustakaan; hal di atas merupakan
alergen yang sering mencetuskan serangan asma. Tungau debu
rumah merupakan alergen yang tersering. Di antara hasil uji kulit
yang positif ternyata 90,0% positif terhadap tungau debu rumah.
Atopi keluarga merupakan faktor yang penting untuk terjadinya
asma, demikian pula atopi pada pasien itu sendiri. Atopi pada
pasien terutama berupa urtikaria dan rinitis. Hal ini sesuai kepustakaan 8,12. Kadar Ig E dan eosinofil meningkat pada 70,0%
dan 73,3% pasien. Sebenarnya peningkatan eosinofil total dan
IgE bukan lagi merupakan patokan karena beberapa produk
eosinofi seperti ECP dan EDN diketahui lebih spesifik. Sayangnya
pemeriksaan tersebut belum dapat dilakukan di Indonesia, sehingga
secara kasar peningkatan eosinofil total dapat digunakan, meskipun
tidak berbanding lurus dengan peningkatan ECP maupun EDN.13
Pada anak di atas 5 tahun biasanya dilakukan uji kulit terhadap
beberapa alergen sebagai kelengkapan pembuktian adanya atopi
pada pasien.12 meskipun tidak selalu sesuai dengan kenyataan
karena struktur kulit berbeda dengan keadaan saluran nafas.
Pada penelitian ini didapatkan 75,0% uji kulitnya positif yang
identik dengan adanya atopi pada pasien.
Sebagian besar pasien pada penelitian ini adalah asma episodik
jarang, sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa
70-75% asma adalah asma episodik jarang. Adanya asma yang
menetap sampai usia 7 tahun mungkin karena beberapa faktor
yang berperan seperti awitan yang dini, seringnya paparan
terhadap alergen, faktor atopi, dan adanya penyakit penyerta
seperti sinusitis. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut.8,14

399

HASIL PENELITIAN
Hubungan salin hipertonik dan histamin
Diagnosis asma pada anak yang berusia di bawah 5 tahun agak
sulit meskipun kadang-kadang gejalanya sangat jelas. Pada anak di
atas 5 tahun, biasanya lebih mudah apabila terdapat fasilitas
spirometri untuk uji fungsi paru dan uji provokasi. Uji provokasi
dapat dilakukan dengan zat farmakologis seperti histamin dan
metakolin atau cara lain non farmakologis seperti beban kerja,
udara dingin, dan salin hipertonik.15-17
Uji provokasi dengan histamin atau metakolin dianggap sebagai
baku emas untuk diagnosis asma; tetapi mengingat histamin
dan metakolin sulit didapat dan mungkin dilarang, beberapa
ahli mencoba dengan salin hipertonik4. Dasar penggunaan salin
hipertonik adalah bahwa keadaan hiperosmoler saluran nafas
dapat mengakibatkan terjadinya bronkokonstriksi. Mekanisme
tersebut di atas telah diketahui sebagai penyebab asma yang
terinduksi oleh latihan (exercise induced asthma/EIA); selama
hiperventilasi terjadi kehilangan cairan di jalan nafas sehingga
mengakibatkan hiperosmolaritas airway lining fluid yang bisa
berperan sebagai stimulus terjadinya bronkokonstriksi.7,18,19
Mekanisme yang tepat mengapa rangsangan hiperosmoler akan
menyebabkan bronkokonstriksi masih belum jelas; diduga karena
hiperosmolaritas memprovokasi pelepasan mediator dari sel mast
mukosa yang mengakibatkan bronkokonstriksi. Selain itu rusaknya
epithelial tight junction akibat perbedaan gradien osmotik akan
mengakibatkan terpaparnya ujung-ujung saraf sensoris di jalan
nafas yang akan menginduksi terjadinya refleks bronkokonstriksi.20
Hipotesis di atas didukung oleh penelitian-penelitian in vitro yang
memperlihatkan adanya pelepasan histamin dari sel mast akibat
pemberian salin hipertonis, dan bronkokonstriksi yang diinduksi
oleh salin hipertonis ini dapat dihambat dengan pemberian
obat-obat yang menstabilkan sel mast seperti sodium kromoglikat
dan terfenadin.21 Histamin ini dapat secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi maupun secara tidak langsung menyebabkan
refleks bronkokonstriksi melalui nervus vagus.16 Pada penelitian
ini didapatkan sensitivitas 86,7% dan spesifisitas 85,7%. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan yang mendapatkan sensitifitas
72-85%, sedangkan spesifisitas 85-100%. Dengan hasil tersebut
maka tampaknya uji provokasi salin hipertonik dapat dilakukan
sebagai alternatif untuk diagnostik asma. Bila ditelusuri lebih jauh, uji
provokasi dengan salin hipertonik yang negatif ternyata sebagian
besar pada asma episodik jarang. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa salah satu kelemahan uji provokasi salin hipertonik
adalah kurang sensitif terhadap asma episodik jarang.22
Hasil uji provokasi dengan histamin dapat dibagi menjadi ringan,
dan berat berdasarkan PC20 (konsentrasi histamin yang dibutuhkan untuk menurunkan nilai FEV1 sebanyak 20 persen) yaitu
kurang dari 2 mg/ml disebut berat sedangkan di atas 2 mg/ml
dianggap ringan. Pada uji provokasi dengan salin hipertonik belum
ada patokan serupa.16

400

SIMPULAN
Uji provokasi bronkus dengan salin hipertonis 4,5 % merupakan uji yang mudah dilakukan, mudah didapat, aman, cepat,
dapat diulang, mudah diterima oleh subyek dan memberikan
hasil yang sama atau tidak jauh berbeda dengan uji provokasi
yang sudah lebih dahulu sering dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, uji provokasi dengan salin hipertonik dapat digunakan sebagai alternatif untuk diagnosis asma
dengan sensitivitas 86,7% dan spesifisitas 85,7%. Disarankan
untuk melakukan penelitian yang sama dengan jumlah sampel
yang lebih besar.

TINJAUAN PUSTAKA

Asma Bronkial Hubungannya dengan GERD


A. Dina Abidin H. Mahdi
Sub Bagian Alergi - lmunologi - Bagian llmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusurno Jakarta

Asma bronkial GERD dapat menyebabkan gangguan traktus


respiratorius, jantung dan otot laring melalui tiga mekanisme
utama :
1. Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa aspirasi dapat
menyebabkan reaksi inflamasi (teori Crausz refluks).

DAFTAR PUSTAKA
1. Taking a new look at asthma. Disampaikan pada Global strategy for athma management and prevention NHLBI/WHO Workshop: Asthma management and prevention, Global
initiative for asthma.
2. Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pulmonologi PPIDAI Indonesia. Tinjauan ulang konsensus nasional
penanganan asma pada anak. Disampaikan pada Konsensus nasional asma UKK
Pulmonologi IDAI, Bandung, Desember 1998.
3. Nishimura H, Mochizuki H, Tokuyama K, Morikawa A. Relationship between bronchial
hyperresponsiveness and development of asthma in children with chronic cough. Pediatr
Pulmonol 2001; 31:412-8.
4. Araki H, Sly PD. Inhalation of hypertonic salines as a bronchial challenge in children with mild
asthma and normal children. J Allergy Clin Immunol 1989; 84:99-107.
5. Spector SL. Bronchial provocation test. Weiss EB, Stein M, penyunting. Bronchial asthma:
Mechanism and therapeutics; edisi ke-3. Little, Brown; 501-12
6. Riedler J, Reade T, Dalton M dkk. Hypertonic saline challenge in an epidemiologic survey of
asthma in children. Am J Respir Crit Med 1994; 150:1632-9.
7. Smith CM, Anderson SD. Inhalational challenge using hypertonic saline in asthmatic subjects:
a comparison with responses to hyperpnoea, metacholine and water. Eur Respir J 1990:
3:144-51.
8. Martinez FD. Risk factors for the development of asthma. Dalam: Naspitz CK, Szefler SJ,
Tinkelman DG, Warner JO, penyunting. Textbook of Pediatric Asthma. London: Martin
Dunitz; 2001. h.62-82.
9. Kanengiser S, Dozor AJ. Forced expiratory maneuvers in children aged 3 to 5 years. Pediatr
Pulmonol 1994; 18:144-9.
10. Crenesse D, Berlioz M, Bourrier T, Albertini M. Spirometry in children aged 3 to 5 years:
Reliability of forced expiratory maneuvers. Pediatr Pulmonol 2001; 32:56-61.
11. Warner JO, Naspitz CK, Cropp GJA. Third international pediatric consensus statement on the
management of childhood asthma. Pediatr Pulmonol 1996; 25:1-17.
12. Woolcock A, Keena V, Peat J. Definition, classification, epidemiology and risk factors. Dalam:
,
O Byrne PM, Thomson NC, penyunting. Manual of asthma management, edisi ke-2. London:
WB Saunders, 2001.h.3-18.
13. Reijonen TM, Korppi M, Kuikka L, Savolainen K, Kleemola M, Mononen I, et al. Serum
eosinophil cationic protein as a predictor of wheezing after bronchiolitis. Pediatr Pulmonol
1997; 23:397-403.
14. Warner JO. Prediction and prevention of asthma. Dalam: Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman
DG, Warner JO, penyunting. Textbook of Pediatric Asthma. London: Martin Dunitz; 2001.
h.359-76.
15. Schoor JV, Joos GF, Pauwels RA. Indirect bronchial hyperresponsiveness in asthma:
mechanisms, pharmacology and implications for clinical research. Eur Respir J 2000; 16:514-33.
16. American Thoracic Society. Guidelines for methacoline and exercise challenge testing-1999.
Am J Respir Crit Care Med 2000; 161:309-29.
17. Avital A, Godfrey S, Springer C. Exercise, methacoline, and adenosine 5-monophosphate
challenges in children with asthma: Relation to severity of the disease. Pediatr Pulmonol 2000;
30:207-14.
18. Anderson SD, Robertson CF, Riedler J. The use of hypertonic saline aerosol for evaluating
bronchial hyperresponsiveness for paediatric epidemiological studies. New York. 1994:1-13.
19. Marker HK, Walls AF, Goulding D dkk. Airway effects of local challenge with hypertonic saline
in exercise-induced asthma. Am J Respir Crit Med 1994; 149:1012-9
20. Strauch E, Neupert T, Ihorst G, Vans Gravesande KS, Bohnet W, Hoeldke B, et al. Bronchial
hyperresponsiveness to 4,5% hypertonic saline indicates a past history of asthma-like
symptoms in children. Pediatr Pulmonol 2001; 31:44-50.
21. Silber G, Proud D, Warner J dkk. In vivo release of inflammatory mediators by hyperosmoler
solutions. Am rev respir Dis 1988;137:606-12.
22. Riedler J, Gamper A, Eder W dkk. Prevalence of bronchial hyperresponsiveness to 4,5% saline
and relation to asthma and allergy symptoms in Austrian children. Eur Respir J 1998; 11:355-60.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

PENDAHULUAN
Gastrooesphageal Reflux Diseases (GERD) adalah penyakit yang
didapatkan pada 60% penderita asma bronkial.(1) Gejala GERD
disebabkan oleh aliran balik asam lambung dan isi lambung
lainnya ke esophagus akibat inkompetensi sawar/barrier pada
batas (junction) esophagus dan lambung. GERD dapat menyebabkan gejala ekstra esofageal yang sering luput dari perhatian.
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas
dengan banyak sel dan elemen seluler yang memegang peranan
penting terutama mastosit, eosinofil, T limfosit, makrofag, netrofil
dan epitel; inflamasi ini menyebabkan episode mengi, sesak napas,
dada terasa penuh, batuk, terutama pada malam atau pagi hari.
Episode ini biasanya berhubungan dengan obstruksi saluran
pernapasan yang bisa berubah dengan atau tanpa pengobatan
(spontan). Inflamasi ini menyebabkan hipersensitifitas bronkus
terhadap berbagai stimulasi. Bukti terakhir menyatakan adanya

fibrosis subbasement pada beberapa pasien asma dan ini


memberi kontribusi pada kelainan faal paru yang persisten.
PATOFISIOLOGI
Pada keadaan normal terdapat mekanisme anti refluks lower
esophageal sphincter yang terdiri dari otot sphincter esofagus
bagian bawah (LES) diafragma dan dari lokasi anatomis/batas
gastroesofageal di bawah hiatus diafragma. Refluks biasanya
terjadi jika perbedaan tekanan antara LES dan laring tidak ada
lagi (hilang); hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya kekuatan
otot LES yang kadang-kadang tak diketahui sebabnya.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

2. Stimulasi pada refleks esofagopulmonaris/esofagolaringeal;


refleks dari esofagus bagian distal menstimulasi refluks vagal
yang menyebabkan bronkhokonstriksi (reflux theory).
Mekanisme lain adalah refluks esofagobronkhial: asam dari
esofagus dapat menstimulasi reseptor asam yang sensitif di
saluran napas bagian atas, menimbulkan bronkhospasme.
3. Mekanisme lain yang memegang peranan adalah reflux
esofagobronkhial. Mekanisme ini untuk mencegah reflux ke
larings-farings, dapat menyerupai gejala ekstraesofageal
sama seperti yang ditemukan pada GERD.
4. Asam di esofagus bagian bawah akan merangsang reseptor
asam yang sensitif, menimbulkan reaksi saraf bagian atas.
Saat ini banyak hal belum diketahui apakah serabut aferen
pada manusia dapat menyebabkan nyeri dada, batuk dan
asma. Teori ini didukung oleh studi pemberian sedikit asam
ke dalam traktus respiratorius akan menyebabkan spasme
bronkhus.
5. Menurut Gastal refluks ke dalam esofagus distal (GERD)
sering ditemukan pada asma bronkial dan batuk kronik,
dapat menyebabkan spasme bronkial; tetapi jika asam
tersebut mengenai esofagus bagian proximial dapat menyebabkan nyeri dada.
6. Sebab lain GERD adalah inkompetensi LES dengan obstruksi
intestinal kronik, pseudo obstruksi, kehamilan, merokok,
obat-obat anti kolinergik, obat relaksan otot polos (beta
adrenergik) aminofilin, nitrat, calcium channel blocker,
inhibitor fosfodiesterase yang meningkatkan siklus cAMP,
siklus GMP (sildenafil), operasi yang merusak LES, esofagitis
atau kontraksi esofagus karena tonus reflex vagal akibat
berkurangnya relaksasi LES oleh distensi lambung. Peningkatan tonus LES berhubungan dengan GERD. Refleks yang
sama bila terjadi kembung; selain inkompetensi batas (barrier),
mudah terjadi refluks isi lambung.

401

TINJAUAN PUSTAKA

PENGOBATAN ASMA BRONKIAL


Managemen pengobatan asma didasarkan atas : Menegakkan
diagnosis asma yang benar, identifikasi dan menghindari faktor
pencetus asma, edukasi pada keluarga, seleksi pengobatan yang
tepat, monitor serta modifikasi menajemen asma untuk mengkontrol asma dalam jangka waktu panjang. Pengobatan agresif
dan mencegah eksaserbasi asma harus segera dilakukan secara
efektif, efisien untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
Obat yang dipakai adalah :
1. Agonis reseptor adrenergik beta dua baik yang berefek
kerja singkat (short acting): metaproterenol, terbulalin,
albuterol; maupun yang bekerja lama (long acting) seperti
salmeterol, baik secara oral maupun inhalasi/(MDI) yang
memberi relaksasi otot polos termasuk LES.
2. Kortikosteroid : mempunyai efek anti inflamasi, modulasi
fungsi lekosit, regulasi nuklear protein, reseptor katekholamin,
eikosanoid dan integritas vaskular entotkhelial. Efek sampingnya gastritis dan ulkus peptikum.
Ada dua cara pengobatan yaitu inhalasi dan oral. Selain itu
juga dapat dikombinasi dengan beta agonis dan lekotriene
modifiers.
3. Teofilin oral juga dipakai pada asma, kadang-kadang digabung
dengan steroid. Metilxanthin menginhibisi ensim fosfodiesterase, menyebabkan pengingkatan cAMP. Yang sering digunakan adalah aminofilin dan teofilin. Efek sampingnya
gastritis.
4. Obat lain ialah : kromolin sodium/nedokromil.
5. Terapi imunologik : Anti imunoglobulin E, interleukin,
reseptor, anti leukotrien, IL-4R dan E 25 sebagai target
mediator inflamasi yang penting bagi pengobatan asma di
masa mendatang.
ASMA BRONKIAL - hubungannya dengan GERD
Gastroesophageal reflux (GERD) dan asma bronkial merupakan
penyakit yang sering didapatkan bersamaan. Asma bronkial
dapat mengenai semua orang; pada dewasa didapatkan
frekuensi 3-10%, sedangkan gastroesophageal reflux didapatkan pada 45-89% penderita asma, hal ini mungkin disebabkan
antara lain oleh refluks esofageal, refluks esofagopulmoner dan
akibat obat relaksan otot polos yaitu golongan beta adrenergik,
aminofilin, inhibitor fosfodiesterase akan menyebabkan inkompetensi sekunder lower sphincter (LES) esofagus.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Gambaran klinis
Rasa asam di mulut dan nyeri ulu hati (heartburn) akibat kontak
refluks dengan mukosa yang sensitif, menyebabkan inflamasi
dan disfagi. Zat refluks tersebut dapat mengenai faring dan
mulut, menyebabkan laringitis, suara parau dan pneumonia
aspirasi, fibrosis paru atau asma kronik. Banyak penderita GERD
yang asimptomatis atau mengobati sendiri dan tidak mencari
pertolongan sampai terjadi komplikasi berat.
Gejala GERD tidak hanya gastroesofageal tetapi juga ekstra
esofageal terutama berhubungan dengan asma dan batuk
kronik. Menurut penelitian Platova dkk (2001) pada 14 penderita
asma yang berbeda-beda beratnya, pengobatan GERD mengurangi keluhan asma seperti batuk dan meningkatkan kualitas
hidup penderita meskipun tidak mempunyai efek pada faal
paru dan juga tidak mengurangi dosis pengobatan terhadap
asmanya. Peneliti lain (Yuwanto, Chudahman Manan 2002)
menemukan bahwa pengobatan GERD akan mengurangi dosis
pengobatan asma dan meningkatkan faal paru.
Pengobatan kasus GERD yang ringan cukup dengan mengubah
gaya hidup dan obat anti sekretan yang dijual bebas. Pada
kasus sedang, simetidin 300 mg b.i.d atau famotidin 20 mg
b.i.d atau ranitidin 150 mg b.i.d untuk 6-12 minggu sangat
efektif mengurangi gejala klinis. Pada kasus berat, omeprazol
40 mg/hari, lansoprazol 30 mg/hari selama 8 minggu dapat
menyembuhkan gastritis erosiva pada 90 % penderita. Operasi
antirefluks hanya dilakukan jika refluks resisten terhadap
pengobatan; pada anak-anak, cara laparoskopi fundaplication
memberi hasil yang baik. Indikasi operasi pada anak adalah
bronkopneumonia berulang (29% kasus), apnoe (18% kasus),
gangguan nutrisi (17% kasus), asma bronkial (15% kasus),
striktur esofagus (8%), sufokasi laringitis (6%).
SIMPULAN
Refluks gastroesofageal ditemukan pada 45-89 % penderita
asma bronkial, mungkin disebabkan oleh stimulasi esofagopulmonaris atau refluks esofageal, refleks vagal- bronkhokonstriksi
dan obat-obat asma yaitu obat golongan antikholinergik, beta
adrenergik (relaksasi otot polos), aminofilin, phosphodiesterase
inhibitor yang meningkatkan siklus AMP/siklus GMP yang dapat
menyebabkan inkompetensi otot LES (Lower Esophagus
Sphincter).
Tujuan utama pengobatan adalah mengobati asma dan GERD,
sekaligus mengurangi refluks esofageal dan memproteksi
mukosa esofagus. Telah terbukti bahwa mengobati GERD pada
penderita asma bronkial akan mengurangi keluhan subyektif
seperti batuk dan pirosis (70% kasus) serta mengurangi serangan
asma( 60%), yang akan memperbaiki kualitas hidup penderita.

403

TINJAUAN PUSTAKA
SARAN
Asma bronkial dengan GERD harus bersama-sama diobati
untuk menghindari komplikasi yang lebih berat karena pengobatan terhadap refluks mempunyai efek pada fungsi paru dan
juga mengurangi dosis obat asmanya.

HASIL PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA
1. A Dina Abidin Mahdi. Penatalaksanaan penyakit alergi. Airlangga University
Press 1997.
2. Lapova M et al. Gastroesophageal reflux as the basis of recurent and chronic
respiratory diseases II, Destha Klinika 2. Lekar le fakulty university karlovy aFN,
Praha motal 1 lesk pediatry 1991 mar 46(3) 142-145. (Article in Czech)
3. Field KSM et al. Prevalence of gatroesophageal reflux symptons in asthma.
Chest 1996; 109:316-322.
4. Fenerty MB. Extraesophageal GERD : Presentation and approach to treatment GI
in the next century, clinical advances in esophageal and gastro intestinal
disorder. AGA. Post Graduate Course, Orlando, Florida 1999.1-10.
5. Field SK, Sutherland. Does medical antireflux therapy improve asthma in
asthmatic with gastroesophageal reflux. A critical review of literature. Chest
1998;115: 654-9.

Pengaruh Rinitis Alergi


(ARIA WHO 2OO1)

terhadap Gangguan Fungsi Ventilasi


Tuba Eustachius
I Wayan Karya, Aminuddin Aziz, Sutji Pratiwi Rahardjo, Nani Irani Djufri
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, Indonesia

6. Juwanto, Chudahman Manan. Clinical manifestation and management of


extraesophageal gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology Hematology
and Digestive Endoscopy 2002;3(2):17-23.
7. Hudviks datter et al. Habitual coughing and its assosiations with asthma, anxiety
and gastroesophageal reflux. Chest 1996.109.1262-7.
8. Meier MJH et al. Does omeprazole improve respiratory function in asthmatic
with gastroesophageal reflux ? Digestive disease and science 1994.39:2127-33.
9. Plattova Z, Dolina et al. Pathologic gastroesophageal reflux in patients with
bronchial asthma. Interni gastroenterologicka klinika FNBno, proeoviste
Bohunice. Vintr hek,2001 Jul 47 (7 ) : 450-3. (Article in Czech)
10. Snajdouf S et al. Hate result after surgical treatment of gastroesophageal reflux
in childhood. Klinikal desthe chirurgic FN molal 2 LFUK, subkatedra desthe
chirurgic, IPVZ, Praha. Rozl chir 1997, Agust, 76(8): 370-3. (Article in Czech)

ABSTRAK
Latar Belakang : Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat
berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Salah satu akibat rinitis alergi adalah gangguan fungsi tuba Eustachius. Tujuan Penelitian: Mengetahui pengaruh rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba
Eustachius dan membandingkannya dengan kelompok kontrol. Metode Penelitian : Dilakukan pemeriksaan timpanometri
pada 30 orang penderita rinitis (ARIA WHO 2001) dan 30 orang kontrol normal. Seluruh penderita rinitis alergi sebelumnya
menjalani tes cukit kulit dengan alergen inhalan. Hasil : Di kelompok kasus hanya ditemukan 1 orang (3,3%) dengan timpanogram tipe B, 3 orang (10,0%) tipe C dan sisanya 26 orang (86,7%) tipe A. Sedangkan di kelompok kontrol hanya ditemukan timpanogram tipe A. Hanya pada rinitis alergi persisten sedang berat didapat timpanogram tipe B dan C. Kesimpulan :
Rinitis alergi (ARIA WHO 2001) berpengaruh tidak signifikan terhadap gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius.
Kata Kunci: rinitis alergi, ventilasi tuba Eustachius, timpanometri

PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh Ig E pada mukosa hidung dengan gejala karakteristik
berupa bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal1.
Berdasarkan atas saat pajanan rinitis alergi diklasifikasikan menjadi
rinitis alergi musiman (seasonal) dan rinitis alergi tahunan (perennial).
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerja sama
dengan WHO 2001 membuat klasifikasi baru rinitis alergi berdasarkan parameter gejala dan kualitas hidup penderita. Berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit, rinitis alergi diklasifikasikan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten
ringan dan persisten sedang berat1.
Rinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, penurunan produktifitas kerja, prestasi di sekolah, aktifitas sosial dan malah pada penderita dengan alergi berat dan
lama dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi 2,3,4.
Rinitis alergi juga dapat mengganggu fungsi fisiologik tuba
Eustachius5. Gangguan fungsi ventilasi tuba menyebabkan perubahan tekanan udara telinga tengah menjadi tekanan negatif.

404

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Mekanisme gangguan fungsi tuba Eustachius pada rinitis alergi


didasari atas kesamaan antara mukosa rongga hidung, nasofaring,
tuba Eustachius dan telinga tengah, sehingga proses inflamasi
alergi di mukosa hidung dapat berlanjut ke mukosa nasofaring
dan tuba Eustachius6.
Gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius dapat dideteksi
melalui pemeriksaan timpanometri. Dengan melihat tekanan udara
dengan compliance maksimum pada timpanogram maka tekanan
telinga tengah dapat ditentukan. Jika dalam batas normal berarti
fungsi ventilasi tuba Eustachius dikatakan normal sebab tuba
Eustachius dapat menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah
dengan tekanan udara sekitarnya. Jika tuba Eustachius tersumbat,
maka akan terjadi tekanan negatif tinggi dalam telinga tengah
akibat absorpsi gas oleh mukosa telinga tengah. Tekanan
negatif lebih dari -100 mm H2O menandakan adanya gangguan
fungsi ventilasi tuba Eustachius7-10. Pada membran timpani
adesiva atau ruang telinga tengah dipenuhi cairan pada otitis
media serosa, maka tidak ada titik compliance maksimum sehingga
timpanogramnya menjadi mendatar.

405

HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius
pada penderita rinitis alergi telah dilaporkan oleh Lazo Saenz
dkk. Pada 60 orang penderita rinitis alergi dan 50 orang normal
dilakukan pemeriksaan timpanometri. Di kelompok penderita
rinitis alergi didapatkan 15,5% dengan timpanogram abnormal
( 13% tipe C dan 3% tipe B) sedangkan di kelompok kontrol
seluruhnya dengan timpanogram tipe A11. Kudelska dkk.
melakukan pemeriksaan audiometri dan timpanometri pada 30
penderita rinitis alergi seasonal dan 30 penderita rinitis alergi
perennial. Hasilnya pada penderita rinitis alergi perennial ditemukan gangguan pendengaran tipe konduktif 26,7% dengan
gambaran timpanogram tipe B dan tipe C masing-masing 20%
sedangkan pada penderita rinitis alergi seasonal ditemukan
gangguan pendengaran tipe konduktif 10% dengan gambaran
timpanogram tipe B 3,33% dan tipe C 6,67% 12.
Mempertimbangkan dampak gangguan tuba Eustachius akibat
rinitis alergi pada telinga tengah, maka perlu dilakukan deteksi
fungsi ventilasi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi.
BAHAN dan CARA
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional study.
Sampel penelitian terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok kasus
dan kelompok kontrol. Kelompok kontrol adalah penderita
rinitis alergi yang datang ke Poliklinik THT-KL RS. Perjan Dr. Wahidin
Sudirohusodo, Makassar dengan hasil prick test alergen inhalan
positif, berusia 17 sampai 60 tahun, membran timpani utuh,
bebas obat antihistamin, kortikosteroid dan dekongestan minimal
5 hari, dan tidak pernah mendapat imunoterapi.

Penderita rinitis alergi dengan infeksi saluran nafas atas, deviasi


septum nasi berat, polip nasi stadium 2 dan 3, riwayat operasi
telinga tengah, hidung, nasofaring dan tumor di sinonasal serta
nasofaring tidak diikutkan dalam penelitian ini. Kelompok kontrol
adalah orang tanpa kelainan THT secara klinis. Pengambilan
sampel menggunakan tehnik purposive sampling. Pada penderita rinitis yang datang ke poliklinik THT dilakukan anamnesis,
pemeriksaan THT, tes alergi, dan pemeriksaan timpanometri
dengan alat impedance audio traveler tipe AA 222, dengan
serial no. 128998 dan software version 1.09116 kalibrasi tahun
2005.
HASIL PENELITIAN
Sampel penelitian berjumlah 30 orang terdiri dari laki-laki 14
(46,7%) dan perempuan 16 (53,3%), berumur antara 17 - 60
tahun, rerata umur 27,9 tahun. Kelompok umur paling banyak
adalah 20 tahun.
Pada kelompok kasus 14 orang (46,7%) termasuk rinitis alergi
persisten sedang berat, 11 orang (36,7%) persisten ringan, 4
orang (13,3%) intermiten ringan dan 1 orang (3,3%) intermiten
sedang berat.
Gambaran tipe timpanogram berdasarkan derajat rinitis alergi
dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 dengan gambaran timpanogram
terbanyak adalah tipe A. Tipe B hanya ada 1 (3,3%) dan tipe C
3 (10 %). Berdasarkan derajat rinitis alergi, semua kelainan
timpanogram ada di kalangan penderita rinitis alergi persisten
sedang berat.

Tabel 1. Distribusi tipe timpanogram telinga kanan pada kelompok kontrol dan kelompok kasus

K a s u s

Tipe
Timpano
gram

Kontrol

Intermiten
ringan

Persisten
ringan

Intermiten
sedang berat

Persisten
sedang berat

Total

28
93,3%

4
100,0%

9
81,8%

1
100,0%

11
78,7%

25
83,3%

As

2
6,7%

0
0,0%

2
18,2%

0
0,0%

1
7,1%

3
10,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

2
14,2%

2
6,7%

Total

30
100,0%

4
100,0%

11
100,0%

1
100,0%

14
100,0%

30
100,0%

p = 0,698

406

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

www.kalbe.co.id

HASIL PENELITIAN
Tabel 2. Distribusi tipe timpanogram telinga kiri pada kelompok kontrol dan kelompok kasus
K a s u s

Tipe
Timpano
gram

Kontrol

Intermiten
ringan

Persisten
ringan

Intermiten
sedang berat

Persisten
sedang berat

Total

26
86,7%

3
75,0%

11
100,0%

1
100,0%

11
78,7%

26
86,7%

As

4
13,3%

1
25,0%

0
0,0%

0
0,0%

1
7,1%

2
6,7%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

1
7,1%

1
3,3%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

0
0,0%

1
7,1%

1
3,3%

Total

30
100,0%

4
100,0%

11
100,0%

1
100,0%

14
100,0%

30
100,0%

p = 0,787
Tabel 3. Distribusi hasil tes Valsava telinga kanan pada kelompok kontrol dan kelompok kasus
K a s u s
Tes
Valsalva

Kontrol

Intermiten
ringan

Persisten
ringan

Intermiten
sedang berat

Persisten
sedang berat

Total

Positif

15
50,0%

1
25,0%

3
27,3%

1
100,0%

2
14,7%

7
23,3%

Negatif

15
50,0%

3
75,0%

8
72,7%

0
0,0%

12
85,3%

23
76,7%

Total

30
100,0%

4
100,0%

11
100,0%

1
100,0%

14
100,0%

30
100,0%

p = 0,258

Tes Valsava positif pada telinga kanan kelompok kontrol 15 orang (50,0%) sedangkan pada kelompok kasus hanya 7 orang (23,3%).
Penderita rinitis alergi intermiten ringan 1 orang (25,0%) dengan tes Valsava positif dan 3 orang (75,0%) negatif. Pada rinitis alergi
persisten ringan 3 orang (27,3%) dengan tes Valsava positif dan 8 orang (72,7%) negatif. Hasil tes Valsava pada rinitis alergi persisten
sedang berat didapat hanya 2 orang (14,7%) positif dan 12 orang (85,3%) negatif.
Tabel 4. Distribusi hasil tes Valsava telinga kiri pada kelompok kontrol dan kelompok kasus
K a s u s
Tes
Valsalva

Kontrol

Intermiten
ringan

Persisten
ringan

Intermiten
sedang berat

Persisten
sedang barat

Total

Positif

13
43,3%

0
0,0%

3
27,3%

0
100,0%

4
28,6%

7
23,3%

Negatif

17
56,7%

4
100,0%

8
72,7%

1
0,0%

10
71,4%

23
76,7%

Total

30
100,0%

4
100,0%

11
100,0%

1
100,0%

14
100,0%

30
100,0%

p = 0,608

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa tes Valsava positif pada telinga kiri kelompok kontrol 13 orang (43,3%) dan hanya 7 orang
(23,3%) pada kelompok kasus. Penderita rinitis alergi intermiten ringan dan intermiten sedang berat semuanya (100,0%) dengan
tes Valsava negatif. Pada rinitis alergi persisten ringan 3 orang (27,3%) dengan tes Valsava positif, 8 orang (72,7%) negatif. Hasil
tes Valsalva pada persisten sedang berat adalah 4 orang (28,6%) positif dan 10 orang (71,4%) negatif.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

409

HASIL PENELITIAN
PEMBAHASAN
Sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang penderita rinitis
alergi dan 30 orang kontrol berusia antara 17 - 60 tahun dengan
rerata (mean) umur 27,97 tahun. Perempuan sedikit lebih banyak
daripada laki-laki, terbanyak di kelompok umur 20 tahun;
paling sedikit kelompok umur 51 - 60 tahun.
Sesuai klasifikasi ARIA WHO 2001, penderita rinitis alergi persisten
sedang berat merupakan sampel terbanyak pada penelitian ini
yaitu 46,7% kemudian rinitis alergi persisten ringan (36,7%),
intermiten ringan (13,3%) dan rinitis alergi intermiten sedang
berat (3,3%). Alimah Y (2005) dalam penelitiannya juga mendapatkan rinitis alergi persisten sedang berat yang paling banyak
yaitu 57,5% dari seluruh sampel. Hal ini karena rinitis alergi umumnya dianggap bukan penyakit yang amat serius bahkan sering
diabaikan. Biasanya penderita baru datang memeriksakan diri
apabila gejala-gejala rinitis alergi sudah berlangsung lama dan
mengganggu aktifitas sehari-hari seperti ada gangguan tidur,
kegiatan di sekolah / pekerjaan, bersantai maupun berolahraga
atau telah timbul komplikasi rinitis alergi.
Pada penelitian ini dilakukan timpanometri terhadap kedua
kelompok sampel. Hasilnya menunjukkan bahwa pada penderita
rinitis alergi didapatkan 1 orang (3,3%) timpanogram tipe B dan
3 orang (10,0%) timpanogram tipe C. Sedangkan pada kelompok
kontrol semuanya dengan timpanogram tipe A dan tipe As.
Angka ini hampir sama dengan hasil penelitian Lazo-Saenz,dkk.
yang melakukan pemeriksaan timpanometri pada 80 orang rinitis
alergi dan 50 orang normal sebagai kontrol, didapatkan 3%
kelompok rinitis alergi dengan timpanogram tipe B dan 13%
tipe C sedangkan pada kelompok kontrol semua dengan timpanogram tipe A.
Bila dilihat dari klasifikasi rinitis alergi, timpanogram tipe B dan
tipe C hanya didapatkan pada penderita rinitis alergi persisten
sedang berat (4 orang -13,3%). Ini menunjukkan bahwa penderita
tersebut telah mengalami gangguan ventilasi tuba Eustachius.
Keadaan ini akibat proses inflamasi alergi di mukosa nasofaring
dan tuba Eustachius yang berlangsung lama dan berat sehingga
tuba tidak mampu menyeimbangkan tekanan telinga tengah
dengan tekanan udara sekitarnya. Hasil uji statistik (Chi-Square, p
< 0,05) antara tipe timpanogram dengan rinitis alergi (ARIA
WHO 2001) pada telinga kanan dan kiri didapatkan nilai p yang
tidak bermakna (kanan p = 0,698 dan kiri p = 0,787 ).
Tabel 3 menunjukkan tes Valsava lebih banyak yang gagal di
kelompok kasus (76,7%). Ini berarti tuba Eustachius pada
penderita rinitis ini tidak mampu menyeimbangkan tekanan
telinga tengah dengan udara sekitarnya yang lebih tinggi. Pada
kedua pemeriksaan tes fungsi tuba ini, kegagalan proses ekualisasi
karena obstruksi oleh edema mukosa tuba Eustachius dan muara
tuba di nasofaring.

410

Uji statistik (Chi-Square) antara tes Valsava kelompok kontrol dan


kelompok kasus pada kedua telinga menghasilkan nilai p yang
tidak bermakna (kanan p =0,258 dan kiri p =0,608). Selain itu,
dilakukan juga pengujian terhadap klasifikasi, tipe timpanogram,
tes Toynbee, dan tes Valsava antara telinga kanan dan telinga kiri.
Dengan uji statistik Chi-Square didapatkan tidak ada perbedaan
yang bermakna antara telinga kanan dan telinga kiri pada rinitis
alergi ( ARIA WHO 2001) dengan tipe timpanogramnya. Demikian
pula pada tes Toynbee dan tes Valsava tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara telinga kanan dan telinga kiri.
Semua nilai p yang tidak bermakna tersebut mungkin karena
besar sampel penelitian yang merupakan jumlah minimal yang
dapat digunakan untuk penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA

Kelainan Gigi dan Jaringan


Pendukung Gigi yang Sering Ditemui
Adi Prayitno
Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta /
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Muwardi Surakarta.

ABSTRAK
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral kesehatan secara keseluruhan dan perihal hidup. Gigi yang sehat adalah
gigi yang rapi, bersih, bercahaya dan didukung oleh gusi yang kencang dan berwarna merah muda. Tujuan penelitian ini

SIMPULAN
1. Rinitis alergi (ARIA WHO 2001) tidak berpengaruh bermakna
terhadap gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius dibandingkan dengan kelompok kontrol.
2. Berbagai derajat rinitis alergi (ARIA WHO 2001) tidak berpengaruh bermakna terhadap gangguan fungsi ventilasi tuba
Eustachius.
SARAN
1. Meskipun ditemukan pengaruh yang tidak bermakna, pengaruh rinitis alergi terhadap gangguan fungsi ventilasi tuba tidak
dapat diabaikan.
2. Penanganan rinitis alergi jangan hanya difokuskan pada
gejala di hidung saja tetapi perlu juga diingat komplikasinya
terhadap fungsi tuba Eustachius.
3. Perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar
dengan metode dan alat lain untuk mendapat hasil yang lebih
akurat.
KEPUSTAKAAN
1. Bousquet J, Cauwenberge P V, Khaltaev N. ARIA Workshop Group. WHO. Allergic Rhinitis
and Its Impact on Asthma. J Allergy Clin Immunol. 2001, 108 (5 suppl); S147-S276.
2. Quraishi SA, Davies MJ, Craig TJ. Inflammatory Responses in Alergic Rhinitis: Traditional
Approaches and Novel Treatment Strategies. JAODA 2004; 104 (5suppl):57-S15.
3. Roland P, McCluggage CM, Sciinneider GW. Evaluation and Management of Allergic Rhinitis:
a Guide for Family Physicians. Texas Acad. Fam. Physicians 2001, 1- 15.
4. Virant FS. Allergic Rhinitis, Immunol. Allerg. Clin. North Am. 2000;20(2):265-282.
5. Mandel E, Casselbrant M, Fireman P. Otitis Media. In: Atlas of Allergies and Clinical Immunology 3th ed, Fireman P (ed.) Philadelphia: Mosby, Elsevier, 2002, 79 -93.
6. Restuti RD, Sosialisman. Otitis Media Efusi kaitannya dengan Rinitis Alergi. Dalam: Kumpulan
Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa penyakit
Penyerta Rinitis Alergi. Malang. 2006, 1-9.
7. Ghosh MS, Kumar A. Study of Middle Ear Pressure in Relation to Eustachian Tube Patency. Ind
J Aerospace
Med 2002;46(2): 27-31.
,
,
8. O Connor AF. Exanination of The Ear. In: Scott-Brown s Otolaryngology, 6th ed. Kerr AG.(ed.)
Butterworth; London: 1997 , p.20-23.
9. Peck JE. Audiology. In: Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery 8th ed. Lee KJ (ed.)
New York:McGraw-Hill, 2003, p.24-64.
10. Bluestone CD, Klein JO. Otitis Media. Atelectasis and Eustachian Tube Dysfunction, in
Pediatric Otolaryngology 3th, vol 1. Bluestone et al. (eds.) Philadelphia:WB. Saunders Co.
1996.p.388-450
11. Lazo-Saenz JG, Galvan-Aguilera AA, Martinez-Ordaz VA et al. Eustachian Tube Dysfunction
in Allergic Rhinitis. Otolaryngol Head and Neck Surg. 2005;132(4): 626-9.
12. Kudelska, Poludniewska B, Biszewska J, Silko, Godlewska. Assessment of the Hearing Organ
in the Patients with Perennial and Seasonal Allergic Rhinitis. Otolaryngol Pal. 2005;59(1):
97-100.
13. Cauwenberge PV, Wang D. Rhinitis and Otitis. In: Rhinitis Mechanisms and Management.
Naclerio et al.(eds.) New York: Marcel Dekker. 1999.p. 447- 458
14. Sweetow RW, Bold JM. Eustachian Tube Dysfunction Test. Available at www.
audiologyonline.com, accessed 3/24/2007

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

adalah untuk mengetahui macam kelainan dan tindakan yang dilakukan di RSUD dr Muwardi Solo. Jenis Penelitian ini adalah
observasional dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian ini adalah pasien yang datang berobat ke poliklinik Gigi
dan Mulut RSUD dr Muwardi, Surakarta. Jumlah sampel adalah semua pasien yang datang ke poliklinik selama 1 tahun pada
tahun 1994 dan 2004. Data berupa macam kelainan gigi dan mulut dan tindakan. Data yang terkumpul dianalisis dengan
analisa kuantitatif dan disajikan dalam gambar. Kesimpulan penelitian ini adalah ada perbedaan dalam macam kelainan gigi
dan mulut dan ada perbedaan tindakan antara tahun 1994 dan 2004. Ada kenaikan jumlah pada macam kelainan dan tindakan yang nyata.
Kata kunci : Kelainan Gigi; Kelainan Jaringan Pendukung Gigi; Tindakan; Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut

PENDAHULUAN
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral kesehatan
secara keseluruhan dan perihal hidup sehingga perlu dibudidayakan diseluruh masyarakat (Yuyus. R, 1996). Gigi yang sehat
adalah gigi yang rapi, bersih, bercahaya dan didukung oleh gusi
yang kencang dan berwarna merah muda. Pada kondisi normal,
dari gigi dan mulut yang sehat tidak tercium bau tidak sedap.
Kondisi ini hanya dapat dicapai dengan perawatan yang tepat
(1, Lesmana, 1999). Keadaan oral hygine yang buruk seperti
adanya kalkulus dan stain, banyak karies gigi, keadaan tidak
bergigi atau ompong dapat menimbulkan masalah dalam
kehidupan seharihari (2).
Karies gigi adalah penyakit jaringan keras gigi yang ditandai
dengan terjadinya mineralisasi bagian anorganik dan demineralisasi substansi organik (3). Karies dapat terjadi pada setiap gigi
yang erupsi, pada tiap orang tanpa memandang umur, jenis
kelamin, bangsa, maupun status ekonomi (4).
Periodontium adalah jaringan penyangga gigi yang terdiri dari
jaringan gusi, tulang alveolar, ligamentum periodontal dan
cementum yang melekat pada akar gigi (5,Lesmana, 1999).
Marshall-Day menyatakan umumnya keradangan gingiva
pada usia muda rata-rata mencapai 75% atau lebih dan akan
meningkat mendekati 100% (6,7.8).

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai


berikut : kelainan gigi dan mulut tersering manakah yang dapat
ditemui dan adakah perbedaan antara tahun 1994 dan 2004 ?
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan
cross sectional. Subjek penelitian ini semua adalah pasien yang
datang berobat ke poliklinik gigi dan mulut RSUD dr Muwardi
pada tahun 1994 dan 2004. Data yang dikumpulkan berupa
macam kelainan gigi dan tindakan pada tahun 1994 dan 2004.
HASIL PENELITIAN
Berikut hasil penelitian yang dilakukan di RSUD dr Muwardi
Solo seperti yang disajikan dalam gambar berikut:

Gambar 1. Menunjukkan macam kelainan gigi dan jaringan pendukung gigi tahun 1994

411

TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. Menunjukkan macam kelainan gigi dan jaringan pendukung gigi tahun 2004

Gambar 5. Menunjukkan tindakan odontectomy (OD) yang dilakukan tahun 1994

Kelainan diatas terbagi atas keluhan utama berupa:


1. pembengkakan akibat gigi yang rusak dan gigi tidak dapat
dipertahankan,
2. gigi kerowok dan gigi dapat diprtahankan,
3. kelainan jaringan pendukung gigi,
4. kelainan gigi dan jaringan pendukung gigi anak-anak
5. kebersihan gigi dan mulut
6. lain-lain
Dari gambar diatas terlihat jumlah kelainan pada spesialisasi
konservasi ada peningkatan yang berarti dari bulan Januari hingga
Desember pada tahun 1994 ke 2004. Demikian pula pada kelainan
orthodonsi. Secara keseluruhan tidak ada perbedaan yang berarti.

Gambar 6. Menunjukkan tindakan odontectomy (OD) yang dilakukan tahun 2004

Bulan

Gambar 3. Menunjukkan macam tindakan yang dilakukan tahun 1994

OK
1994

Poli
1994

OK
2004

Poli
2004
27

Januari

20

Februari

12

31

Maret

20

33

April

11

30

Mei

13

29

Juni

18

Juli

20

34

Agustus

50

September

14

50

Oktober

17

30

November

14

31

Desember

19

40

18

187

53

385

Gambar 7. Menunjukkan tindakan odontectomy (OD) yang dilakukan tahun


1994 dan 2004

Gambar 4. Menunjukkan macam tindakan yang dilakukan tahun 2004

Dari hasil pengamatan tindakan diatas terlihat tindakan penumpatan dan Odontectomy (OD : pencabutan) terlihat menonjol,
tetapi tidak ada perbedaan antara tahun 1994 dengan 2004.
Tindakan perawatan/penataan gigi geligi (orthodonsi) terlihat ada
peningkatan yang berarti dari tahun 1994 hingga 2004.

412

PEMBAHASAN
Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan peningkatan sumberdaya manusia serta kualitas hidup,
peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat serta mempertinggi kesadaraan masyarakat akan pentingnya hidup sehat.
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral kesehatan
secara keseluruhan dan perihal hidup sehingga perlu dibudidayakan diseluruh masyarakat (Yuyus, 1996).

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

BERITA TERKINI

TINJAUAN PUSTAKA
Gigi yang sehat adalah gigi yang rapi, bersih, bercahaya dan di
dukung oleh gusi yang kencang dan berwarna merah muda.
Pada kondisi normal, dari gigi dan mulut yang sehat tidak
tercium bau yang tidak sedap. Kondisi ini hanya dapat dicapai
dengan perawatan yang tepat (Eddy, 2003).
Keadaan oral hygine yang buruk seperti adanya kalkulus dan
stain, banyak karies gigi, keadaan tidak bergigi atau ompong
dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan seharihari
(Gabriella, 2000). Kebersihan mulut adalah cermin kesehatan.
Faktanya, ada penyakit yang berhubungan dengan kesehatan
mulut dan gusi tersebut (Anonim (A), 2002). Dalam kehidupan
sehari-hari sering dijumpai orang-orang yang merasa malu
untuk tersenyum atau berbicara dengan leluasa. Hal ini terjadi
karena bebagai macam hal, antara lain keadaan oral hygiene
atau kebersihan mulut yang buruk, banyak gigi karies atau
dapat juga karena ompong (Gabriella, 2002). Penyakit gigi dan
mulut yang paling banyak menyerang manusia adalah karies
gigi dan penyakit periodontal (Kristanti, dkk, 1995).
Karies gigi adalah penyakit jaringan keras gigi yang ditandai
dengan terjadinya mineralisasi bagian anorganik dan demineralisasi dari substansi organik (Anies, dkk, 1997). Karies dapat
terjadi pada setiap gigi yang erupsi, pada tiap orang tanpa
memandang umur, jenis kelamin, bangsa, maupun status
ekonomi (Monang, 1996). Penyakit karies ini masih menjadi
masalah di Indonesia, karena prevalensinya mencapai 80% dari
jumlah penduduk (Anies, dkk, 1997). Prevalensi gigi karies itu
sendiri meningkat dengan bertambahnya usia (Foresster, 1981).
Distribusi karies masyarakat menurut kelompok usia di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung tahun 1983 didapatkan untuk kelompok usia 10-19 tahun prevalensinya sebesar
71,6%, usia 20-29 tahun sebesar 86,4% dan usia 30-39 tahun
sebesar 87,8% (Adi Prayitno, dkk., 1983).
Periodonsium adalah jaringan penyangga gigi yang terdiri dari
jaringan gusi, tulang alveolar, ligamentum periodontal dan
sementum yang melekat pada akar gigi (Adi Prayitno, 1983;
Lesmana, 1999). Pada penelitian yang dilakukan Marshall-Day
dinyatakan umumnya keradangan gingiva pada usia muda
rata-rata mencapai 75% atau lebih dan akan meningkat mendekati 100% (Prijantojo (a, b, c), 1996). Prevalensi terjadinya
gingivitis di Amerika Serikat pada tahun 1988 sampai 1991
menurut kelompok usia didapatkan untuk usia 13-17 tahun
sebesar 65,9% dan usia 18-24 sebesar 73,3% (WHO, 1995).
Pada dasarnya kedua penyakit tersebut di atas disebabkan
karena plak yang melekat pada gigi (Kristanti, dkk, 1995). Plak
yang menempel pada sulcus gingiva mampu menimbulkan
infeksi dan menyebabkan kasus serius (Anonim (B), 2003).

414

Pada permukaan akar yang terbuka, yang merupakan tempat


melekatnya plak pada penderita dengan resesi gingiva karena
penyakit periodonsium, adalah salah satu tempat yang mudah
diserang karies (Kidd, 1998). Kejadian karies pada akar gigi
biasanya terjadi pada usia dewasa, yaitu usia 18 tahun ke atas.
Terjadinya karies akar gigi dapat dipengaruhi oleh adanya poket
periodontal (De Paolo, 1989). Dari pemantauan Direktorat
Kesehatan Gigi Dir. Yan. Medik pada akhir Pelita V (1984-1994)
menunjukkan pasien yang berobat jalan ke puskesmas karena karies
gigi sebesar 45,7% sedangkan yang disebabkan oleh kelainan
gusi dan periodontal sebesar 31,7% (Kristanti, dkk, 1995).
KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa :
1. Kelainan tersering untuk tahun 1994 adalah bidang konservasi dan terjarang adalah bidang orthodonsi, sedang kasus
tersering untuk tahun 2004 adalah bidang konservasi dan
terjarang adalah bidang pedodonsi.
2. Bahwa ada perbedaan pada macam kelainan antara tahun
1994 dengan 2004 dan ada perbedaan pada tindakan
antara tahun 1994 dan 2004.
3. Ada perbedaan pada jumlah kelainan gigi dan mulut dan
tindakan odontectomy (OD) yang nyata antara tahun 1994
dengan 2004.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Adi Prayitno, dkk, 1997. Kegoyahan Gigi Geligi pada Penyakit Diabetus Mellitus
Tak Terkontrol dan Terkontrol. Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta, pp: 26-7.
2. Gabriella Aditya, 2000. Pemutihan Kembali Gigi yang Berubah Warna dengan
Teknik Bleaching. Jurnal Kedokteran Trisakti. Vol. 19, No.1, p: 29.
Kidd A.M. Edwina, 1998. Dasar-Dasar Karies, Penyakit dan Penanggulangannya,
EGC, Jakarta, pp: 5-8.
Kristanti, Salma Maruf, Ratna Budiarso, Syahrudji Naseh, 1995. Penyakit Gigi
dan Mulut di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Tahun XXIII,
No. 8, pp: 542-3.
3. Anies, Henry Setiawan, Soeharyo Hadisaputro, 1997. Karies Gigi dan Perlaku
Pencegahan serta Pengobatan di Kotamadya Semarang. Majalah Medika
Indonesiana. Vol. 32, No. 1, pp: 37-42.
Anonim (A), 2003. Remehkan Kesehatan Gigi Picu Diabetes. www.sinarharapan.
co.id/iptek/kesehatan.
Anonim (B), 1994. Karang Gigi, File:A\Karang Gigi, Htm.
De Paolo D.F., 1989. Methodology Issue Relative to The Quantification of Root
Surface Caries Gerodontal, pp: 3-6.
Eddy Hasby, 2003 Perawatan Kesehatan Gigi dan Mulut. http://www.kompas.com/
kompas-cetak/0207/19/iptek/pera34.htm. Forrester, 1981. Pediatric Dental Medicine.
Lea and Febiger, Philadelphia, pp : 142-9.
4. Monang Panjaitan, 1996. Pengaruh Pemberian Obat Kumur Mengandung Fluor
terhadap Perkembangan Karies Gigi Narapidana Lembaga Pemasyarakatan
Tanjung Gusta, Medan. Cermin Dunia Kedokteran. No. 106, pp: 52-3
5. Adi Prayitno, dkk, 1983. Status Kesehatan Gigi Geligi Masyarakat di Daerah
Lampung. Fakultas Kedokteran Gigi Gadjah Mada, Yogyakarta, pp: 7-12.
6. Prijantojo (a), 1996. Hambatan Pembentukan Plak Gigi dengan Larutan Obat
Kumur Hexetidine 0,1%. Cermin Dunia Kedokteran. No. 106, p: 55.
7. Prijantojo (b), 1996. Kondisi Jaringan Periodonsium dari Sekelompok Masyarakat
di Daerah Pedesaan Sesuai dengan Kelompok Umur. Majalah Kesehatan
Masyarakat. Tahun XXIV, No. 2, p: 128.
8. Prijantojo (c), 1996. Evaluasi Derajat Keradangan Gingiva pada Masyarakat
dengan Tingkat Pendidikan yang Berbeda. Majalah Kesehatan Masyarakat
Indonesia. Tahun XXIV, No. 5, p: 330.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

CARDIA:
OxLDL dan Sindrom Metabolik
Dalam sebuah penelitian diketahui bahwa konsentrasi OxLDL (oxidized low-density lipoprotein
(LDL)-cholesterol) berkaitan dengan sindrom metabolik. Penelitian tersebut dipimpin oleh dr. Paul
Holvoet dari Katholieke Universiteit Leuven, Belgia, dipublikasikan dalam JAMA edisi Mei 2008.
Sedangkan penulis senior, dr. David Jacobs dari University of Minnesota, Minneapolis mengomentari bahwa hasil penelitian ini merupakan bukti lain bahwa oxLDL merusak dan merupakan risiko
penyakit jantung di kemudian hari, walaupun pada pasien yang masih muda dan sehat.

Para peneliti menjelaskan bahwa pada hewan yang diteliti,


OxLDL, yang merupakan fraksi yang kecil LDL (0,001%-5%),
berkontribusi dalam proses yang mengarah ke kejadian
sindrom metabolik; hal ini belum dibuktikan pada manusia.
Karena itulah para peneliti ingin mengetahui dengan pasti
hubungan antara konsentrasi OxLDL dengan angka kejadian
sindrom metabolik beserta komponennya (obesitas abdomen,
hiperglikemi, and hipertrigliseridemi) dalam 5 tahun dengan
melakukan penelitian Coronary Artery Risk Development in
Young Adults (CARDIA).
Penelitian ini melibatkan 5115 pasien berusia antara 18-30
tahun pada saat dipilih di tahun 1985-1986 di Amerika
Serikat. OxLDL diperiksakan pada 2823 orang pada tahun
ke-15, sebagai bagian dari penelitian Young Adult Longitudinal Trends in Antioxidants (YALTA). Kriteria eksklusi: kehamilan, tidak puasa selama 8 jam sebelum pemeriksaan dilakukan, data tidak lengkap, sudah menderita sindrom metabolik; sehingga yang memenuhi kriteria 1889 pasien.
Hasil : selama 20 tahun penelitian, 243 pasien (12,9%) dari
1889 pasien ini menderita sindrom metabolik. Setelah
menyesuaikan beberapa variabel, OxLDL memperlihatkan
hubungan bertingkat dengan kejadian sindrom metabolik.
Pasien yang memiliki kadar OxLDL tinggi mengalami peningkatan risiko sindrom metabolik hingga 3,5 kali. (Tabel1)
Tabel 1. Odds ratio untuk kejadian sindrom metabolik setelah follow up
5 tahun dengan pengukuran kadar OxLDL:
Quintile of oxidized LDL
1 (<55.4 U/L)

OR (95% confidence interval [CI])


1

Kadar OxLDL yang tinggi juga disertai dengan komponen


sindrom metabolik: obesitas, hipertrigliseridemi, kadar
glukosa darah puasa yang tinggi, namun tidak disertai
dengan peningkatan tekanan darah atau kolesterol HDL
(high-density lipoprotein cholesterol)
Tabel 2. Odds ratio yang sudah disesuaikan untuk kejadian komponen sindrom metabolik dengan perbandingan antara kadar OxLDL
yang tinggi dengan yang rendah:
Komponen sindroma metabolik

Obesitas abdomen

OR tertinggi vs terendah quintile (95% CI)

2.1 (1.2 - 3.6)

Glukosa puasa tinggi

2.4 (1.5 - 3.8)

Trigliserida tinggi

2.1 (1.1 - 4.0)

Telah disesuaikan untuk umur, jenis kelamin, ras, senter penelitian, merokok,
indeks massa tubuh, aktivitas fisik dan kadar colesterol LDL

Sebaliknya, kolesterol LDL memperlihatkan hubungan yang


terbatas dengan sindrom metabolik. Para peneliti mengatakan masih sangat dini untuk mengatakan apakah OxLDL
menjadi salah satu penyebab terjadinya sindrom metabolik;
namun terdapat hubungan yang kuat antara kadar OxLDL
dengan kejadian sindrom metabolik.
Kesimpulan:
OxLDL, merupakan salah satu petanda adanya sindrom
metabolik.
Peningkatan kadar OxLDL disertai dengan peningkatan
komponen sindrom metabolik: obesitas, hipertrigliseridemi,
kadar glukosa darah puasa yang tinggi, namun tidak disertai
dengan peningkatan tekanan darah atau kolesterol HDL.
Perlu penelitian lanjutan untuk memastikan apakah OxLDL
sendiri ikut berperan dalam meningkatkan kejadian sindrom
metabolik. (YYA)

2 (55.4 - 69.1 U/L)

2.1 (1.1 - 3.8)

3 (69.2 - 81.2 U/L)

2.4 (1.3 - 4.3)

4 (81.3 - 97.3 U/L)

2.8 (1.5 - 5.1)

Referensi :

5 (>97.4 U/L)

3.5 (1.9 - 6.6)

1. Holvoet P, Lee DH, Steffes M, et al. Association between circulating oxidized lowdensity
lipoprotein and incidence of the metabolic syndrome. JAMA 2008;299:2287-93

Telah disesuaikan untuk umur, jenis kelamin, ras, senter penelitian, merokok,
indeks massa tubuh, aktivitas fisik dan kadar colesterol LDL.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

2. Hughes S. Oxidized LDL Associated with Metabolic Syndrome.http://www.medscape.com/


viewarticle/574827?src=mpnews&spon=2&uac=117092CG

415

BERITA TERKINI

Eritropoietin mempunyai efek

antidepresan
Sebuah studi terhadap terapi depresi telah menemukan adanya potensi suatu kandidat
baru yang tidak lain adalah eritropoietin. Studi ini telah dipublikasikan dalam Biological
Psychiatry pada bulan Desember 2007.

Menurut Kamila Miskowiak MSc yang merupakan kepala


studi ini adalah bahwa meskipun depresi sering terkait dengan
masalah yang sifatnya kimiawi di dalam otak, bukti saat ini
menemukan juga adanya masalah struktural seperti terlihat
bahwa sel saraf pasien depresi tidak mengalami regenerasi
secepat kondisi normal.
Eritropoietin (EPO) sebelumnya juga telah diketahui memiliki
manfaat dalam hal neuroproteksi dan neurotropik pada studi
hewan serta dapat memperbaiki fungsi kognitif dan berhubungan dengan respon sel-sel saraf pada manusia, sehingga
tidak menutup kemungkinan dapat menjadi kandidat untuk
terapi depresi.
Pada studi ini, Miskowiak dkk mengevaluasi efek EPO pada
sel saraf dan fungsi kognitif terhadap informasi emosional
pada 23 orang sehat yang diberi injeksi salin atau 40.000 IU
EPO. Satu minggu kemudian pada relawan ini menjalani pemeriksaan MRI sambil dilakukan serangkaian pemeriksaan
termasuk pemeriksaan mimik wajah pada kondisi ketakutan,
marah, kaget, bahagia atau normal.

416

Peneliti menemukan bahwa pada kelompok yang mendapat suntikan EPO terjadi pengurangan respon wajah terhadap rasa takut yang terlihat pada daerah korteks oksipitoparietal, tanpa mempengaruhi ekspresi terhadap kondisi
lain. Berdasarkan hasil studi ini Miskowiak menjelaskan ide
pemberian EPO sebagai salah satu strategi penanganan
depresi pada masa datang.
Menurut John Krystal MD dari Yale University School of
Medicine dan the VA Connecticutt Healthcare System;
kemampuan EPO dalam memodulasi aktivitas otak bersamaan
dengan melakukan perbaikan proses emosional sehingga
berpotensi untuk digunakan sebagai antidepresan. (DHS)

Referensi:
1. Douglas,D. Erythropoietin May Have Antidepressant Activity.
http://www.medscape.com/viewarticle/569117
2. Natural human hormone as the next antidepressant?
http://www.elsevier.com

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

BERITA TERKINI

Gabapentin untuk Mengurangi

Ketakutan Berpidato
Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa gabapentin dapat
mengurangi ketakutan pre-operatif. Pada penelitian lain gabapentin juga diberikan pada pasien
dengan gangguan panik atau gangguan ansietas umum. Apakah gabapentin dapat mengurangi
kecemasan seseorang pada saat harus berbicara di depan umum?

ublic Speaking (berbicara di depan orang banyak) merupakan


salah satu hal yang banyak ditakuti oleh orang di Amerika.
Sebuah penelitian meneliti pengaruh pemberian gabapentin
terhadap rasa takut pada 32 orang sukarelawan berusia
17-30 tahun dengan kesehatan baik yang menjalani simulated
public speaking (SPS). Dosis Gabapentin 400 mg dan 800 mg.
Pengukuran rasa takut dan mood selama dilakukannya SPS
menggunakan Visual Analogue Mood Scale (VAMS) dan
Profile of Mood State (POMS). Pemeriksaan fisik mengukur
tekanan darah dan denyut jantung.
Hasil penelitian : Terapi gabapentin 800 mg mengurangi
ketakutan sukarelawan, terlihat dari VAMS. Sukarelawan
yang menerima gabapentin 400 mg dan 800 mg mengalami
penurunan skor ketegangan, terlihat dalam skor POMS.

418

Dalam penelitian ini pemberian gabapentin dapat mengurangi ketakutan/kecemasan seseorang dalam berpidato di
depan umum. Penelitian ini sekali lagi membuktikan kemampuan gabapentin yang dapat bersifat anksiolitik.
Para peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini dan
didukung oleh penelitian-penelitian lainnya, memperlihatkan
kemampuan gabapentin mengurangi ketakutan (bersifat
anksiolitik). (YYA)
Referensi:
1. Quevedo J, Barichello T, Izquierdo I et al. Effects of Gabapentin on Anxiety
Induced by Simulated Public Speaking. J. Psychopharmacol. 2003; 17( 2):184-8
2. Mnigaux C, Adam F, Guignard B et al. Preoperative Gabapentin Decreases
Anxiety and Improves Early Functional Recovery from Knee Surgery.
Anesth Analg 2005;100:1394-99
3. Pollack MH, Matthews J., Scott EL. Gabapentin as a Potential Treatment
for Anxiety Disorders. Am J Psychiatr. 1998; 155: 992-3

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

BERITA TERKINI

Higiene oral yang baik


dapat melindungi terhadap
infeksi jantung
Sebuah studi terhadap terapi depresi Menurut sebuah studi baru di Amerika, menjaga gigi dan gusi dapat menjadi
faktor penting dalam pencegahan infeksi katup jantung. Para peneliti menguji apakah aktivitas gigi harian seperti
menyikat gigi dan prosedur dental utama seperti cabut gigi menyebabkan endokarditis infeksi (IE), infeksi berbahaya pada jantung atau katup jantung yang terjadi ketika bakteri memasuki aliran darah. Studi ini dipubikasikan
dalam jurnal Circulation edisi 9 Juni 2008.

Di dalam studi melibatkan 290 pasien, para peneliti menganalisis sejumlah bakteri yang dilepaskan ke dalam aliran
darah (bakteremia) selama gosok gigi dan cabut gigi, dengan
atau tanpa antibiotika. Sampel sarah diambil dari pasien
sebelum, selama dan sesudah aktivitas dan dianalisis spesies
yang berkaitan dengan IE.
Para peneliti menemukan insiden bakteremia terkait IE dari
gosok gigi (23%), 33% cabut gigi dengan antibiotika dan
60% cabut gigi dengan antibiotika.
Penulis studi Peter Lockhart, ketua Departemen Kesehatan
Gigi di Carolina Medical Center di Charlotte mengatakan
bahwa bakteri masuk ke dalam darah ratusan kali setahun,
tidak hanya dari menyikat gigi.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Walaupun tampaknya bakteri yang masuk ke dalam darah


lebih sedikit pada saat menyikat gigi, aktivitas harian rutin
ini memaparkan risiko lebih besar karena IE berkaitan dengan
frekuensi bakteremia dari gosok gigi 2 kali sehari selama
365 hari versus sekali atau 2 kali setahun untuk kunjungan
ke dokter gigi termasuk pembersihan gigi atau tambal dan
prosedur lainnya.
Bagi mereka yang tidak berisiko infeksi seperti IE, bakteremia tidak perlu dikhawatirkan. "Jika Anda menghentikan
higiene oral, sejumlah penyakit di mulut meningkat secara
progresif dan Anda akan mendapat penyakit mulut lebih parah
yaitu penyakit gusi dan karies gigi yang mengarah pada infeksi
akut dan kronik seperti abses". (NFA)

419

BERITA TERKINI

Metilprednisolon
untuk penanganan
neuritis vestibular
Neuritis vestibular merupakan penyebab tersering kedua dari
vertigo vestibular perifer (penyebab tersering pertama adalah
vertigo posisional paroksismal benigna). 7% pasien dari
seluruh pasien klinik rawat jalan yang khusus menangani
gejala dizziness merupakan pasien neuritis vestibular.

Insidens penyakit ini sekitar 3,5/100.000 populasi. Tanda dan gejala neuritis
vestibular adalah adanya sustained rotatory vertigo akut; ketidakseimbangan
postural dengan Rombergs sign (+), misalnya: saat mata tertutup, tubuh
akan jatuh ke arah telinga yang sakit; horizontal spontaneous nystagmus
yang mengarah ke telinga sehat dengan komponen rotasional, dan mual.
Tes kalorik (irigasi telinga menggunakan air hangat atau air dingin) selalu
menunjukkan hiporesponsif atau nonresponsif ipsilateral.
Pada konsep sebelumnya, baik radang saraf vestibular maupun iskemi labirin
telinga diduga sebagai penyebab neuritis vestibular. Namun, konsep terbaru
menyatakan bahwa penyebab neuritis vestibular diduga karena infeksi
virus. Pada suatu studi postmortem diperlihatkan bahwa terjadi atrofi pada
saraf vestibular dan epitelium sensorik vestibular, yang serupa dengan hasil
histopatologik yang disebabkan oleh infeksi virus, seperti herpes zoster
oticus. Dan juga dengan ditemukannya DNA virus herpes simplex tipe 1
(HSV-1) pada saat otopsi dengan menggunakan polymerase chain reaction
pada 2 dari 3 ganglia vestibular manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa
ganglia vestibular sudah terinfeksi secara laten oleh HSV-1, seperti ganglia
saraf kranial yang lainnya. Penyebab serupa juga diduga sebagai penyebab
penyakit Bells palsy, hal ini didukung oleh bukti yang kuat, yaitu dengan
ditemukannya DNA HSV-1 pada cairan endoneurial pasien Bells palsy.
Proses penyembuhan neuritis vestibular biasanya tidak sempurna. Pada
suatu studi yang melibatkan 60 pasien, terdapat kelumpuhan kanal
semisirkular horizontal pada sekitar 90% pasien, 1 bulan setelah timbulnya
gejala dan pada 80% pasien setelah 6 bulan timbulnya gejala; hasil normal
pada tes kalorik hanya terdapat pada 42% pasien. Neuritis vestibular juga
menimbulkan unilateral dynamic deficit of the vestibuloocular reflex yang
permanen, yang tidak dapat dikompensasi oleh mekanisme tubuh lain,
dan defisit ini terjadi pada sekitar 4000 orang/tahun di Amerika Serikat.
Defisit ini menimbulkan gangguan penglihatan dan ketidakseimbangan
postural saat berjalan dan khususnya saat menggerakkan kepala ke arah
telinga yang sakit.

420

Berikut ini disampaikan beberapa uji klinis penggunaan kortikosteroid dalam


hal ini metilprednisolon dalam penanganan neuritis vestibular.
1. Uji klinik penggunaan metilprednisolon, valasiklovir, atau kombinasi
keduanya untuk penanganan neuritis vestibular.
Metode :
Merupakan prospective, randomized, double-blind, two-by-two
factorial trial pada pasien dengan neuritis vestibular akut, yang secara
acak mendapatkan terapi dengan metilprednisolon, valasiklovir,
plasebo, atau kombinasi metilprednisolon + valasiklovir.
Fungsi vestibular diperiksa dengan tes kalorik, dengan penggunaan
vestibular paresis formula (untuk menilai derajat unilateral caloric paresis)
dalam 3 hari setelah timbulnya gejala dan 12 bulan setelahnya.
Hasil :
Total pasien yang terlibat adalah 141 pasien: 38 pasien mendapatkan
plasebo, 35 pasien mendapatkan metilprednisolon, 33 pasien
mendapatkan valasiklovir, dan 35 pasien mendapatkan metilprednisolon + valasiklovir.
Pada saat timbulnya gejala, tidak terdapat perbedaan derajat kelumpuhan vestibular di antara kelompok studi.
Perbaikan fungsi vestibular perifer rata-rata (SD) pada follow up
bulan ke-12 adalah 39.628.1 percentage points pada kelompok
yang mendapatkan plasebo, 62.416.9 percentage points pada
kelompok metilprednisolon, 36.026.7 percentage points pada
kelompok valasiklovir, dan 59.224.1 percentage points pada kelompok metilprednisolon + valasiklovir.
Analysis of variance memperlihatkan efek metilprednisolon yang
bermakna (p<0,001) namun tidak pada valasiklovir (p=0,43).
Kombinasi metilprednisolon + valasiklovir tidak lebih baik dibandingkan dengan monoterapi kortikosteroid.
Kesimpulan : metilprednisolon meningkatkan penyembuhan fungsi
vestibular perifer secara bermakna pada pasien dengan neuritis vestibular;
hal ini tidak diperlihatkan oleh valasiklovir.
2. Uji klinik efek menguntungkan metilprednisolon pada vertigo
vestibular akut.
Tujuan : untuk mengetahui efikasi kortikosteroid pada vertigo vestibular akut.
Metode :
Merupakan double-blind, prospective, placebo-controlled, crossover
study.
Melibatkan 20 pasien yang secara acak mendapatkan terapi
metilprednisolon (n=10) atau plasebo (n=10).
Diagnosis vertigo vestibular akut ditegakkan melalui pemeriksaan
neurologik ekstensif.
Jika gejala-gejala vertigo tidak berkurang bermakna dalam 24 jam
pertama setelah pemberian terapi, maka pasien diinstruksikan untuk
beralih ke obat yang satu lagi.
Pasien difollow-up selama 1 bulan.
Dari 10 pasien yang mendapat metilprednisolon, 9 pasien mengalami
pengurangan gejala-gejala vertigo yang bermakna dan 1 pasien
beralih ke plasebo.
Dari 10 pasien yang mendapat plasebo, 3 pasien mengalami pengurangan gejala-gejala vertigo, 7 pasien lainnya dengan gejala vertigo
persisten beralih ke metilprednisolon dan mengalami pengurangan
gejala dalam 24 jam.
Hasil electronystagmogram kembali normal dalam 1 bulan pada 16
pasien yang mendapatkan metilprednisolon, namun tetap abnormal
pada 2 dari 4 pasien yang mendapatkan plasebo.
1 pasien yang mendapatkan metilprednisolon mengalami relaps
gejala-gejala vertigo saat dosis diturunkan, namun gejala-gejala
tersebut kembali remisi ketika dosis dinaikkan menjadi 32 mg/hari.
Kesimpulan : metilprednisolon lebih efektif dibandingkan dengan plasebo dalam
menurunkan gejala-gejala vertigo pada pasien dengan vertigo vestibular akut. (VKS)
Referensi :
1) Strupp M. et al. Methylprednisolone, Valacyclovir, or the Combination for Vestibular Neuritis. N Engl J Med.
2004; 351 : 354-61. Available from : http://www.nejm.com
2) Ariyasu L. et al. The beneficial effect of methylprednisolone in acute vestibular vertigo. Arch. Otolaryngol. Head
& Neck Surg. 1990;116(6). Available from : http://archotol.ama-assn.org/cgi/content/abstract/116/6/700

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

www.kalbe.co.id

BERITA TERKINI

BERITA TERKINI

Profil Keamanan Terapi Statin


Obat-obat golongan statin digunakan secara luas untuk menurunkan kadar kolesterol dalam
darah. Penelitian-penelitian besar memperlihatkan kemampuan statin dalam menurunkan
risiko kematian karena kardiovaskular, infark miokard nonfatal, stroke dan menurunkan perlunya
tindakan revaskularisasi. Semua pengaruh menguntungkan ini karena kemampuan statin
dalam menurunkan kadar LDL (low-density lipoprotein).

ahkan dalam sebuah penelitian pada pasien anak dan remaja


dengan hiperkolesterolemi familial, terapi statin menghambat
progresifitas penebalan intima pembuluh darah, sehingga dapat
mencegah arterosklerosis pada masa dewasa.

Kamera terkontrol magnet


di dalam tubuh
Gambar dari dalam tubuh ? Sekarang dapat dilakukan dengan sebuah kamera mini yang harus ditelan
oleh pasien. Pil kamera ini tidak lebih besar dari sebuah permen. Dokter mengendalikannya melalui
esofagus dan lambung dengan alat magnet yang sekaligus dapat mengarahkan dan menghentikan
saat dibutuhkan dan mengirimkan gambar.

Gambar dari dalam usus halus juga dapat diperoleh. Kamera


ini dapat melalui usus halus dan mengirimkan gambar villi
intestinal ke penerima di luar yang dibawa diikat pinggang
pasien. Alat ini menyimpan data untuk kemudian dianalisis
dokter dan mengidentifikasi adanya perdarahan atau kista.
Namun, kamera tidak cocok untuk pengujian esofagus dan
lambung. Alasannya adalah karena kamera hanya sekitar 3-4
detik melalui esofagus, yang menghasilkan 2-4 gambar per
detik. Saat mencapai lambung, berat kamera yang berkisar 5
gram akan turun secara cepat ke dasar lambung sehingga
terlalu cepat untuk mengirimkan gambar-gambar yang baik.
Oleh karena itu, untuk pengujian esofagus dan lambung, tetap
harus melalui endoskopi.
Para ilmuwan dari the Fraunhofer Institute for Biomedical
Engineering berkolaborasi dengan insinyur dari pabrik Given
Imaging, Israelite Hospital di Hamburg dan the Royal Imperial
College di London telah mengembangkan sistem kontrol untuk
pil kamera. Menurut Dr. Frank Volke, pimpinan tim, di masa
depan dokter dapat menghentikan kamera di esofagus, menaik
turunkan dan mengatur sudut kamera yang diperlukan.

422

Hal ini membuat pengujian yang lebih akurat pada sambungan


antara esofagus dan lambung, untuk mendeteksi kerja sfingter
kardiak, keluarnya asam lambung ke dalam esofagus dan penyebab heartburn yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan
kanker esofagus. Para peneliti telah mengembangkan peralatan
magnetik sebesar batang coklat yang dapat digunakan dokter
dari luar tubuh untuk mengendalikan gerak kamera.
Pil kamera terdiri dari kamera, sebuah transmiter yang mengirimkan gambar ke penerima, sebuah baterai dan beberapa
dioda dingin yang menyala seperti lampu kilat setiap kali
gambar diambil. Pil kamera prototipe telah lolos uji pertama
dalam tubuh manusia. Para ilmuwan telah menunjukkan bahwa
kamera dapat tinggal di dalam esofagus selama 10 menit,
walaupun pasien duduk tegak. (NFA)
Sumber :
1. www.fraunhofer.de
2. www.medicineworld.org/cancer/lead/6-2008/magnet-controlled-camerain-the-body.html

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Enam obat statin sekarang tersedia di pasaran dunia: lovastatin,


simvastatin, pravastatin, fluvastatin, atorvastatin, and rosuvastatin,
sedangkan pitavastatin tersedia di India dan Jepang. Mengingat
penggunaan statin diperkirakan akan terus meningkat karena
peningkatan kejadian hiperlipidemi dan efek pleiotropik yang
menguntungkan, maka keamanan dan tolerabilitas pasien
sangatlah penting.
Sebuah penelitian meta analisis dilakukan untuk mengetahui
efek statin terhadap kematian, kejadian vaskular serta keamanan statin pada pasien usia lanjut. Hasilnya memperlihatkan
bahwa terapi menggunakan statin bermakna menurunkan
kematian karena semua sebab dan kematian karena kardiovaskular, dan relatif aman diberikan pada pasien usia lanjut.
Penelitian lain dilakukan oleh Dr Jane Armitage dari University
of Oxford, Inggris untuk menguji keamanan obat-obat golongan statin. Kesimpulannya adalah bahwa obat-obat golongan
statin ditoleransi dengan baik. Efek samping yang sering dibicarakan seperti miopati dan rabdomiolisis jarang terjadi bila
digunakan dosis standar yang dianjurkan. Dr Jane mengatakan
bahwa walaupun ada beberapa keberatan mengenai pernyataan ini, jika dosis diberikan sesuai anjuran, obat-obat golongan
statin merupakan obat yang relatif aman. Hasil penelitian ini
dipublikasikan dalam The Lancet Juni 2008.
Dr Jane Armitage dan rekan melakukan penelitian terhadap
data penelitian yang dipublikasikan dari tahun 1985 hingga
2006 mengenai efektifitas, efek samping dan keamanan obat
golongan statin. Hasilnya memperlihatkan efektifitas statin dalam
menurunkan angka kejadian kematian karena kardiovaskular,
infark miokard tidak fatal, stroke dan menurunkan perlunya
revaskularisasi. Sedangkan efek samping yang sering terjadi
adalah toksisitas pada otot, di antaranya miopati dan rabdomiolisis, dan gangguan enzim pencernaan. Semua obat golongan
statin dapat menyebabkan miopati, yang dapat berkembang
menjadi rabdomiolisis. Namun angka kejadian miopati kurang
dari 1 per 10.000 pasien dengan penggunaan dosis standar
statin. Risiko miopati meningkat seiring dengan peningkatan
dosis, namun tetap rendah dengan atorvastatin 80 mg. Selain
itu diketahui bahwa miopati dan rabdomiolisis ini biasanya
terjadi bila obat-obat statin digunakan bersamaan dengan obat
lainnya, seperti golongan fibrat.
CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Dr. Jane mengatakan bahwa nyeri otot sering terjadi pada


pasien paruh baya dan jika pasien tersebut diterapi dengan
statin, statinlah yang biasanya dipersalahkan menjadi penyebab
nyeri ini. Pemeriksaan kreatinin kinase pada pasien-pasien
tersebut dapat menyingkirkan adanya miopati dan terapi statin
dapat diteruskan.
Peningkatan enzim transaminase secara umum terlihat pada 6
bulan pertama terapi. Biasanya peningkatan enzim transaminase
tanpa gejala klinis dan reversibel bila terapi dihentikan atau
dosis dikurangi. Peningkatan enzim tergantung dosis dan tidak
ada bukti kuat mengenai hubungan antara peningkatan enzim
yang terjadi dengan kerusakan hati (hepatitis atau gagal hati).
Pemeriksaan hati rutin tidak lagi direkomendasikan pada penggunaan simvastatin, pravastatin, atau lovastatin hingga dosis
40 mg sehari, namun tetap direkomendasikan pada penggunaan statin lainnya. Jika enzim pencernaan meningkat 3 kali
lipat dibandingkan dengan kadar enzim pada orang normal
yang tidak mengalami gangguan hati, enzim pencernaan harus
dipantau selama 1 minggu. Jika kadar enzim alanin transaminase
tetap tidak turun, statin harus dihentikan sementara. Peningkatan
enzim pencernaan 2-3 kali dari batas normal orang sehat memerlukan pemantauan, namun biasanya peningkatannya akan
berangsur berkurang selama terapi.
Dan walaupun statin diketahui relatif aman pada pasien usia
lanjut, penyesuaian dosis perlu dilakukan pada pasien usia
lanjut. Pada beberapa penelitian yang melibatkan pasien yang
lebih tua dari 80 tahun diperkirakan terjadi peningkatan risiko
miopati.Pasien yang menerima terapi warfarin perlu menyesuaikan dosis warfarinnya pada awal dan akhir terapi statin.
Kesimpulan:
Obat-obat golongan statin relatif aman pada dosis standar
yang dianjurkan.
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah miopati,
rabdomiolisis dan peningkatan enzim transaminase.
Kejadian miopati terjadi kurang dari 1 per 10.000 orang. (YYA)
Referensi:
1. Armitage J. The safety of statins in clinical practice. Lancet 2007; 370:1781-90
2. Ballantyne CM., Corsini A, Davidson MH. et al. Risk for Myopathy with Statin Therapy
in High-Risk Patients. Arch Intern Med. 2003;163:553-64.
3. Hughes S. Statins Are "Remarkably Safe," Says New Review . http://www.medscape.com/
viewarticle/558019?src=mp&spon=17&uac=117092CG
4. Josan K, Majumdar SR, McAlister FA et al. The efficacy and safety of intensive statin
therapy: a meta-analysis of randomized trials. CMAJ 2008; 178 (5).
5. Roberts CGP, Guallar E, Rodriguez A. Efficacy and Safety of Statin Monotherapy inc
Older Adults: A Meta-Analysis. J. Gerontol. Series A: Biological Sciences and Medical
Sciences 2007; 62: 879-87.
6. Rodenburg J, Vissers MN, Wiegman A. et al. Statin Treatment in Children With Familial
Hypercholesterolemia. The Younger, the Better. Circulation 2007; 116: 664 - 8

423

BERITA TERKINI

Obesitas
Meningkatkan
Risiko Adenoma
Kolorektal
Hasil suatu studi kohort retrospektif (diterbitkan dalam the American Journal of Gastroenterology,
Agustus 2008) menemukan bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan risiko adenoma
kolorektal (suatu jenis kanker usus besar), dan penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan risiko tersebut.

Studi yang dilakukan di Jepang ini melibatkan 7.963 pasien


kolonoskopi asimtomatik risiko sedang, dan 2.568 menjalani
kolonoskopi kedua 1 tahun kemudian. Dinilai hubungan insiden
adenoma kolorektal pada kolonoskopi kedua tersebut dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT) awal dan juga perubahan berat badan.
Hasilnya, terlihat peningkatan prevalensi adenoma kolorektal
yang dinilai dari 4 kelompok (quartile) IMT : 1 < 21,35 kg/m2;
2 21,35 - 23,199 kg/m2; 3 23,199 - 25,156 kg/m2; 4 25,156
kg/m2. Prevalensi adenoma kolorektal (berturut-turut) pada
kelompok tersebut sebesar : 15,4%; 20,6%; 22,7%; dan 24,2%.
Analisis statistik adjusted Odds Ratio perbandingan kelompok
pertama (IMT < 21,35 kg/m2) dengan kelompok ke dua : 1,15
(95% Confidence Interval [CI] 0,97 - 1,37; p=0,10), dengan
kelompok ke tiga : 1,19 (95% CI 1,01 - 1,41; p=0,04); dan
dengan kelompok ke empat : 1,32 (95% CI 1,12 - 1,56;
p=0,001); dengan kata lain, insiden adenoma kolorektal meningkat secara proporsional pada kelompok Quartile (Q) 1
(12,9%), Q2 (15,7%), Q3 (18,3%), dan Q4 (19,0%). Analisis
ini menunjukkan peningkatan bermakna secara proporsional
insiden adenoma kolorektal setelah 1 tahun.

424

Selain itu, pada pasien dengan IMT awal tertinggi yang


mengalami penurunan berat badan selama setahun, ternyata
insiden adenoma menurun hingga di bawah insiden kelompok
pasien dengan IMT terendah tanpa penurunan berat badan
(9,3% vs 17,1%). Kesimpulannya, obesitas berhubungan
dengan peningkatan adenoma kolorektal, dan penurunan
berat badan diharapkan dapat menurunkan risiko.
Selain studi di atas, studi lain (Y. Wang et al, 2008) juga menemukan hasil serupa, yaitu lingkar pinggang yang besar
berhubungan dengan peningkatan risiko kanker kolorektal
(adjusted Rate Ratio : 1,68; 95% CI 1,12 - 2,53; p=0,006
untuk lingkar pinggang 120 cm vs < 95 cm). (LHS)
Referensi
1. Barclay, Laurie.Obesity Linked to Risk for Colorectal Adenoma. 2008.
Medscape.www.medscape.com
2. Yamaji, Yutakal et al.The Effect of Body Weight Reduction on the Incidence
of Colorectal Adenoma. Abstract. Am. J. Gastroenterol. 2008;103 (8).
3. Reuters.Weight Loss May Reduce Risk of Colorectal Adenoma.2008.
4. Wang Y et al.A Prospective Study of Waist Circumference and Body Mass
Index in Relation to Colorectal Cancer Incidence. Cancer Causes Control
2008; 19(7).Abstract

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

BERITA TERKINI

Silent
stroke
menyerang 1 dari 10 orang sehat
Menurut studi pada orang Amerika tua tanpa ada masalah kesehatan mayor, kemungkinan
mengalami stroke sekitar 1 dari 10 orang dan mereka tidak menyadarinya. Kemungkinan tidak
cukup parah untuk menyebabkan gejala yang dapat diamati seperti masalah penglihatan,
masalah wajah atau gangguan berjalan, tapi tetap ada blokade arteri otak dan sedikit penurunan
kemampuan berpikir. Studi ini dilaporkan di dalam jurnal Stroke edisi online.

erkiraan ini muncul dari sebuah studi baru Framingham


Offspring atas 2.040 orang, rata-rata berumur 62 tahun yang
sedang berjalan. Citra MRI menunjukkan bahwa 10,7% dari
mereka mengalami apa yang disebut oleh penulis studi, Dr. Sudha
Seshadari, asisten profesor neurologi di Universitas Boston
disebut a silent brain infarct, yaitu blokade pembuluh darah
yang menyebabkan kerusakan jaringan. Pada kasus silent stroke,
blokade dan kerusakan terjadi di dalam otak tanpa gejala.
Menurut Seshadari, silent stroke berbeda dari transient ischemic
attack (TIA), suatu kehilangan fungsi otak sesaat. TIA menyebabkan beberapa gejala, sementara silent stroke tidak, seperti
definisinya. Keduanya merupakan tanda bahaya yang perlu
diperhatikan sama seperti faktor-faktor risiko kadar kolesterol,
tekanan darah, obesitas dan merokok.
Insiden yang ditemukan dalam studi Framingham Offspring
tidak jauh berbeda dengan studi sebelumnya, tapi kelompok
orang dalam studi ini lebih muda dibandingkan kebanyakan
studi sebelumnya. Fakta bahwa 1 dari 10 orang mengalami
serangan tiba-tiba yang berdampak pada otak merupakan hal
yang harus kita pedulikan dan harus diantisipasi.
Silent brain infarct ditunjukkan pada pencitraan MRI sebagai
'lesi kecil di berbagai bagian otak', kata Seshadari. Pencitraan
MRI tidak dapat memberikan petunjuk apakah telah terjadi silent
stroke.Pengujian menunjukkan bahwa rata-rata mereka dengan
lesi menunjukkan tanda-tanda seperti kehilangan fleksibilitas
berbicara dibandingkan kontrol dengan umur yang sama.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Insiden dalam studi ini tidak mengejutkan Dr. Claudette


Brooks, direktur laboratorium neurovaskular di West Virginia
Health Sciences Center. Ketika mengamati penyebab nyeri kepala
dan masalah yang mirip, dia juga menemukan lesi ini. Angka
silent stroke lebih tinggi di antara orang Amerika keturunan
Afrika. Mereka mempunyai insiden hipertensi, aterosklerosis
dan hiperlipidemi lebih tinggi.
Tidak perlu tindakan khusus untuk menurunkan risiko silent
stroke, kata Seshadari dan Brooks. Seshadari tidak merekomendasikan agar orang-orang segera melakukan pengecekan
dengan MRI.
Terserah komunitas kesehatan masyarakat dan medis untuk
menekankan pentingnya mengontrol faktor-faktor risiko. Jika
Anda tidak mempunyai faktor risiko seperti kadar kolesterol
tinggi, obesitas dan diabetes, cobalah menjaga diri Anda
tetap di luar kelompok ini. Jika Anda termasuk di dalamnya,
cobalah modifikasi faktor risiko dengan menjaga tekanan
darah dan menurunkan kolesterol. (NFA)

Referensi: MedlinePlus

425

BERITA TERKINI

Semangka
merupakan Viagra alami
Menurut sebuah studi oleh para peneliti di
Texas A&M Fruit and Vegetable Improvement Center, semangka (watermelon) menghasilkan efek yang mirip dengan Viagra
dan obat-obat lain yang digunakan untuk
disfungsi ereksi.

enelitian difokuskan pada dampak semangka terhadap


tubuh. Ternyata, semangka mengandung sitrulina (citrulline).
Sitrulina dalam semangka memproduksi asam amino yang
disebut arginin, yang secara nyata membantu relaksasi dan
melebarkan pembuluh darah; hal yang sama terjadi pada
pemberian sildenafil sitrat (Viagra) dan obat-obat sejenis.
Peneliti Texas A&M menyatakan bahwa mereka perlu
melakukan lebih banyak riset sebelum dapat menentukan
berapa banyak semangka yang harus dikonsumsi untuk mendapatkan hasil yang sama dengan Viagra. Ilmuwan Texas
A&M menyatakan bahwa Anda perlu makan di atas 6 cup
semangka setiap hari untuk mendapatkan hasil yang sama.
Penelitian ini menyebabkan banyak orang menyebut semangka
sebagai Viagra alami. (NFA)
Sumber : www.dbtechno.com

426

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

IKLAN 10
( VIMAX )

BERITA TERKINI

BERITA TERKINI

Tadalafil dan Disfungsi Ereksi

Valsartan Memperbaiki Kekakuan


Arteri pada Pasien Diabetes Tipe 2,
lebih baik daripada Amlodipin ?

Pasien Diabetes
Menurut data NIH Consensus Conference 1993, kurang lebih 30 juta laki-laki di Amerika
menderita disfungsi ereksi. Dan karena meningkatnya angka harapan hidup di Amerika,
angka kejadian disfungsi ereksi akan meningkat lebih dari 30% dalam 25 tahun mendatang.

aki-laki dengan disfungsi ereksi pada umumnya memiliki kondisi


komorbid, di antaranya adalah hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes dan penyakit kronik lainnya. Faktor yang
mendasari kondisi-kondisi tersebut di atas di antaranya adalah
disfungsi endotelial atau kerusakan endotel pembuluh darah.
Tadalafil adalah obat yang diresepkan dokter untuk pasien
dengan masalah ereksi. Cara kerjanya kurang lebih sama dengan
sildenafil. Tadalafil menghambat kerja enzim fosfodiesterase
tipe 5, yang berfungsi menghancurkan siklik GMP, sehingga
pelebaran pembuluh darah dapat dipertahankan dan dengan
demikian dapat mempertahankan ketegangan penis.
Pasien dianjurkan menggunakan obat ini setengah jam sebelum
melakukan hubungan seksual dan obat ini memiliki pengaruh
selama kurang lebih 36 jam. Jadi pasien harus mengatur jadual
terlebih dahulu, dan apabila sudah dimakan, harus melakukan
hubungan seks dalam waktu yang terbatas. Efek samping yang
paling sering ditemukan adalah nyeri kepala, mialgia, dispepsia
dan nyeri punggung. Dalam penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan, tadalafil merupakan terapi yang efektif dan ditoleransi
dengan baik oleh pasien yang menderita disfungsi ereksi.
Penderita diabetes laki-laki pada umumnya menderita disfungsi
ereksi. Tadalafil 10-20 mg adalah terapi yang aman dan efektif
bila digunakan sesuai dengan dosis dan cara penggunaan yang
direkomendasikan.
Para peneliti di Yunani menyelidiki apakah penggunaan tadalafil
dalam dosis 5-10 mg juga memberikan efek yang bermanfaat.
Metode penelitian: acak, tersamar ganda, kontrol-plasebo, multisenter atas 298 pasien diabetes yang mengalami disfungsi ereksi
selama 12 minggu. Menggunakan dosis Tadalafil 5 mg, Tadalafil
10 mg, atau plasebo. Penilaian dilakukan atas kepuasan pasien,
keberhasilan penetrasi vaginal, terpenuhinya hubungan seks
(completion of intercourse) dan Skor dari International Index of
Erectile Function Domain, untuk menentukan sukses tidaknya
terapi yang dilakukan.

428

Ternyata walaupun dosis yang diberikan lebih rendah, tetap


memberikan perbaikan yang bermakna terhadap kepuasan
pasien, penetrasi vaginal, keterpenuhan hubungan seks (completion of inter course), dan skor dari International Index of
Erectile Function Domain, untuk menentukan sukses tidaknya
terapi (p < 0.005) Efek samping: nyeri punggung, sakit kepala
dan dispepsia
Para peneliti menyimpulkan bahwa tadalafil dengan dosis
harian lebih rendah (5-10mg) dapat memberikan perbaikan
yang bermakna terhadap fungsi ereksi, dapat menjadi alternatif yang efektif dan dapat mengurangi perencanaan yang
harus dilakukan sebelum melakukan hubungan seks dalam
rentang waktu yang terbatas.
Kesimpulan:
Tadalafil dosis harian 5-10 mg efektif dan merupakan dosis
harian alternatif untuk terapi disfungsi ereksi pada pasien
dengan diabetes melitus, sehingga pasien tidak perlu terlalu
repot untuk mengatur jadual hubungan seksual. (YYA)
Referensi :
1. BMJ.Tadalafil(Cialis).http://besttreatments.bmj.com/btuk/conditions/
1000420411.html?grp=1
2. Carson CC, Rajfer J, Eardley I. et al. The efficacy and safety of tadalafil:
an update. BJU Int. 2004; 93(9): 1276-81
3. Hatzichristou D, Gambla M, Rubio-Aurioles E et al. Efficacy of tadalafil once
daily in men with diabetes mellitus and erectile dysfunction. Diabetic Med.
2008; 25 (2): 138-46
4. Lundberg DG. Daily Tadalafil Prevents Erectile Dysfunction in Diabetic Men.
http://www.medscape.com/viewarticle/573668
5. Seftel AD, Wilson SK, Knapp PM et al. The efficacy and safety of tadalafil
in United States and Puerto Rican men with erectile dysfunction. J. Urol.
2004; 72: 652-7
6. Young JM, Feldman RA, Auerbach SM et al. Tadalafil Improved Erectile
Function at Twenty-Four and Thirty-Six Hours After Dosing in Men with
Erectile Dysfunction: US Trial. J Androl 2005;26:310-8

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Sebuah penelitian oleh Dr. Janaka Karalliedde dan rekan dari King's College London School of
Medicine menemukan bahwa valsartan, sebuah obat antihipertensi dari golongan ARB
(Angiotensin Receptor Blocker) dapat memperbaiki kekakuan arteri lebih baik dibandingkan
dengan amlodipin pada pasien diabetes tipe 2 dengan hipertensi sistolik dan albuminuri.
Temuan ini dimuat dalam jurnal Hypertension edisi Juni 2008.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ARB dalam


hal ini valsartan dapat memperbaiki kekakuan arteri, dibandingkan dengan amlodipin, yang merupakan obat antihipertensi golongan CCB (Calcium Channel Blocker). Penelitian
acak atas 131 pasien dengan hipertensi sistolik dan albuminuri
selama 24 minggu, dengan washout period 4 minggu dengan
moxonidine. Kemudian diberi Valsartan 160 mg (n=66) atau
Amlodipine 5 mg (n=65). Setelah 4 minggu HCT 25 mg ditambahkan pada valsartan dan dosis amlodipin dititrasi hingga
10 mg untuk memastikan kontrol tekanan darah yang sama
dengan valsartan
Metode penilaian dengan Aortic pulse wave velocity.
Hasil penelitian: Setelah minggu ke-24, tekanan denyut arteri
brachial dan aorta menurun pada kedua kelompok terapi.
Perbedaan lainnya yang dihasilkan adalah penurunan aortic
pulse wave velocity yang lebih bermakna di kelompok valsartan (p= 0.002). Albumin excretion rate di kelompok amlodipin
dari 27.5 menjadi 32.6 mcg/min, sedangkan di kelompok
valsartan dari 30.8 menjadi 18.2 mcg/min (p<0.001 untuk
kelompok terapi valsartan dan tidak bermakna pada kelompok terapi amlodipin).
Para peneliti mengatakan bahwa perbaikan kekakuan arteri
terhadap respon obat antihipertensi sangatlah penting untuk
meningkatkan survival pasien gagal ginjal tahap akhir dan
penelitian yang telah mereka lakukan memperlihatkan perlunya penanganan cepat, yang selain menurunkan tekanan darah,
dapat memberikan keuntungan tambahan mengurangi aortic
pulse wave velocity. Hasil penelitian dr. Karalliedde dan rekan
menyimpulkan bahwa valsartan dapat mengurangi kekakuan
arteri lebih baik dibandingkan dengan amlodipin. Yang menjadi
pertanyaan adalah, apakah penambahan HCT 25 mg menurunkan tekanan darah seimbang dengan penambahan amlodipin
5 mg (menjadi 10 mg)? Mengapa tidak diberi obat antihipertensi tambahan yang sama? (misalnya keduanya diberi HCT,
dengan dosis amlodipin tetap 5 mg).

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Atau yang harus dipikirkan adalah, apakah obat diuretik,


yang selama ini diremehkan tidak memiliki fungsi apa-apa
terhadap pembuluh vaskular, justru memiliki keuntungan
memperbaiki vaskular? Apakah mungkin justru penurunan
aortic pulse wave velocity disebabkan karena adanya tambahan pemberian diuretik.
Tentu saja valsartan memperbaiki albumin excretion rate lebih
baik dibandingkan dengan amlodipin, karena valsartan temasuk
golongan ARB yang memang baik mengurangi mikro dan
makro albuminuri. Walaupun tidak bermakna, amlodipin juga
dapat mengurangi albuminuri. Dalam sebuah penelitian selama
12 minggu dan dipublikasikan Journal of Human Hypertension
2006, diketahui bahwa selain valsartan, amlodipin juga dapat
memperbaiki kekakuan arteri pada pasien-pasien hipertensi.
Jadi apa benar penelitian ini memperlihatkan bahwa valsartan
lebih baik dibandingkan dengan amlodipin dalam memperbaiki kekakuan pembuluh darah dan menurunkan pengeluaran
albumin ? Atau penelitian ini memperlihatkan keuntungan
lain amlodipin, atau adakah manfaat lain HCT yang belum
diketahui ? (YYA)

Referensi :
1. Ichihara A, Kaneshiro Y, Takemitsu T et al. Effects of amlodipine and
valsartan on vascular damage and ambulatory blood pressure in untreated
hypertensive patients. J. Hum. Hypertens.2006; 20: 78794
2. Karalliedde J, Smith A, DeAngelis L et al. Valsartan improves arterial
stiffness in type 2 diabetes independently of blood pressure lowering.
Hypertension 2008 Jun;51(6):1617-23.
3. Novartis International AG. Leading blood pressure medication Diovan
with diuretic reduces key sign of artery ageing which is linked to risk of
heart attack and stroke. http://hugin.info/134323/R/1225571/259161.pdf

429

BERITA TERKINI

Jusuf Kalla menceritakan pengalamannya saat melihat rumah tingkat dua yang dibangun tepat di samping rumahnya.

Jusuf Kalla :
Sebaiknya dokter maksimal memeriksa
40 pasien per hari
D

i tengah-tengah kesibukan menangani persoalan ekonomi


yang merupakan dampak dari runtuhnya perekonomian Amerika
Serikat, ternyata wakil presiden Bpk Jusuf Kalla (JK), memiliki
kepedulian juga terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia.
Diluar topik-topik utama yang dibahas, JK menyatakan
keprihatinannya terhadap banyaknya pasien Indonesia yang
berobat di luar negeri. "Lama kelamaan rumah-rumah sakit di
Indonesia hanya melayani pasien-pasien kelas II dan III saja",
ungkapnya memulai pembicaraan bersama Redaksi CDK di
Istana Wapres, Rabu 15 Oktober 2008.
Dalam pengamatannya, sebenarnya kemampuan tenaga medis
Indonesia tidak kalah dengan tenaga medis asing di mana pasien
Indonesia sering berobat. Begitu juga dengan fasilitas dan alat
kesehatan yang dimiliki rumah-rumah sakit di Indonesia.
Sayangnya, dalam pelayanannya, para dokter sering melayani
secara terburu-buru. Bayangkan saja, paparnya, idealnya dokter
hanya bisa melayani (8 jam @ 4 pasien) 32 pasien per hari,
namun kenyataannya ada dokter yang melayani hingga seratus
pasien bahkan lebih per hari dengan jam kerja hingga tengah
malam. Dokter juga manusia, yang pasti punya rasa capek.
Bagaimana bisa bekerja hingga 19 - 20 jam per hari? "Sekretaris
saya saja kalau diminta bekerja/mengetik hingga jam 11 malam,
pasti kerjaannya sudah banyak yang error", ungkapnya beranalogi.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Jika dibandingkan, biaya pemeriksaan dokter (jasa konsultasi,


red) di Indonesia relatif murah, namun sayangnya ada dokter
yang memberikan obat begitu banyak sehingga secara keseluruhan menjadi mahal.
Ini berbeda dengan sistem pelayanan di luar negeri. Dalam
memeriksa pasien, dokter sangat teliti (lama). Obat yang
diberikan pun tidak banyak. Jadi meskipun biaya konsultasi
cukup mahal namun kalau dihitung-hitung secara total (jasa
dokter + biaya obat) relatif menjadi sama. Pasien tentu lebih
senang memperoleh pemeriksaan teliti dan penjelasan panjang
lebar dari dokternya.
Sebagai solusinya, JK mengusulkan (setelah adanya pembatasan
tempat praktek dokter maksimal 3 tempat) jumlah pasien atau
jam pelayanan per dokter dibatasi. Misalnya dokter hanya bisa
melayani hingga jam 7 malam atau rata-rata 40 pasien per hari.
Dengan demikian para dokter bisa mempunyai waktu bersama
keluarga, ada pemerataan di antara para dokter untuk melakukan pemeriksaan pasien dan yang paling penting, para dokter
mempunyai waktu untuk terus meng-update ilmunya.
Sebaiknya perbaikan pelayanan ini sudah harus dilakukan oleh
para dokter, jangan sampai trust/kepercayaan masyarakat
sudah pudar baru kita bertindak, pesan JK serius. (ETN)

431

BERITA TERKINI

WHA menghimbau
peningkatan fokus
pada hepatitis
A

liansi Hepatitis Dunia (World Hepatitis Alliance/WHA)


menghimbau peningkatan kesadaran terhadap hepatitis kronis,
yang menginfeksi orang sepuluh kali lebih banyak di seluruh
dunia dibandingkan HIV/AIDS.

Kurangnya kesadaran menyulitkan para ilmuwan untuk mengakses data tentang hepatitis kronis. Tidak ada pusat sumber
yang mengkoordinasi data statistik hepatitis, dikatakan oleh
Profesor Shivaram Prasad Singh, pemimpin Kalinga Gastroenterology Foundation.

Diperkirakan 500 juta orang, kurang lebih satu dari 12 orang


mengalami infeksi virus hepatitis B atau C kronis di seluruh
dunia. Walau demikian, tidak ada kesadaran dan keinginan
politik yang serius untuk menangani penyakit ini, WHA mengatakan di akhir pertemuan tahunan WHO. Diperkirakan
1,5 juta orang meninggal akibat hepatitis setiap tahun, menjadikannya salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan
dunia, WHA mengatakan.

Pemerintah perlu menangani pencegahan hepatitis secara


serius dengan meningkatkan kebijakan pengamatan dan
skrining, Baru-baru ini saya berada di Mozambik dan menemukan bahwa mereka tidak menskrining darah transfusi
terhadap hepatitis, kata Jean-Michel Pawlotsky, sekretaris
umum WHA untuk Study of the Liver. (NFA)

Presiden WHA Charles Gore mengatakan Kita perlu memberi


perhatian yang sama besarnya sebagaimana terhadap AIDS,
TB dan malaria.

Sumber :

432

http://ww2.aegis.org/files/cdc/dupdate/2008/du080522.html#1023

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

PRAKTIS

PRAKTIS

Penatalaksanaan Asma
di Indonesia
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Hal tersebut menyebabkan peningkatan respon (hiperespon) jalan nafas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.

Pengobatan sesuai Berat Asma1


Medikasi pengontrol
harian

Berat asma

I. Intermiten

II. Persisten Ringan

III. Persisten Sedang

IV. Persisten Berat

Gejala

Gejala Malam

Bulanan
Gejala < 1x/minggu
Tanpa gejala di luar
serangan
Serangan singkat

< 2 kali sebulan

Tidak perlu

.........

.........

Asma persisten
ringan

Steroid inhalasi
(200-400 _g BD/hari
atau ekivalennya)

Teofilin lepas lambat


Kromolin
Leukotriene modifiers

.........

Asma persisten
sedang

Kombinasi inhalasi
steroid (400-800 _g BD/
hari atau ekivalennya)
& LABA

Steroid inhalasi
(400-800 _g BD/hari atau
ekivalennya) ditambah
teofilin lepas lambat atau
Steroid inhalasi
(400-800 _g BD/hari atau
ekivalennya) ditambah
LABA oral atau Steroid
inhalasi (400-800 _g BD/hari
atau ekivalennya) ditambah
leukotriene modifiers

Ditambah LABA oral


atau Ditambah
teofilin lepas lambat

Asma persisten
berat

Kombinasi inhalasi
steroid (> 800 _g BD
atau ekivalennya) dan
LABA, ditambah
1 dibawah ini:
Teofilin lepas lambat
Leukotriene modifiers
Steroid oral

Prednisolon/metilprednisolon
oral selang sehari 10 mg
ditambah LABA oral,
ditambah
teofilin lepas lambat

.........

Mingguan
Gejala > 1x/minggu,
tetapi < 1x/hari
Serangan dapat
mengganggu aktiviti
dan tidur

> 2 kali sebulan

Harian
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu
aktiviti dan tidur
Membutuhkan
bronkodilator setiap hari

> 1x / seminggu

Kontinyu
Gejala terus menerus
Sering kambuh
Aktiviti fisik terbatas

Sering

Tujuan Penatalaksanaan Asma:


1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal
mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise.
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Faal paru
APE >80%
* VEP, > 80% nilai prediksi
APE > 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE < 20%

APE > 80%


* VEP, > 80% nilai prediksi
APE > 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE 20-30%

Alternatif lain

Asma intermiten

Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan)1


Derajat Asma

Alternatif/pilihan lain

Ket.: SABA: short acting bronchodilator agent, LABA:long acting bronchodilator agent

APE 60 - 80%
* VEP, 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%

Semua tahap: ditambahkan SABA untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap
sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol.

Pengobatan Serangan Asma berdasarkan Berat Serangan1:


SERANGAN

APE < 60%


* VEP ,< 60% nilai prediksi
APE < 60% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%

Asma dikatakan terkontrol jika:


1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada) termasuk gejala
malam
2. Tidak ada keterbatasan aktifitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis _2 kerja singkat)
minimal (ideal tidak dibutuhkan)
4. Variasi harian APE < 20%
5. Nilai AP normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal
7. Tidak ada kunjungan ke gawat darurat

PENGOBATAN

Ringan
Aktifitas relatif normal berbicara satu kalimat dalam
satu nafas. Nadi < 100 x/menit

Terbaik: Inhalasi agonis beta-2


Alternatif : Kombinasi oral agonis beta-2 dan teofilin

Sedang
Jalan jarak jauh timbul gejala. Berbicara beberapa kata
dalam satu nafas. Nadi 100-120 x/menit. APE 60-80%

Terbaik: Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam


Alternatif: Agonis beta-2 subkutan Aminofilin IV,
Adrenalin 1/1000 0,3ml SK
Oksigen bila perlu, Steroid sistemik.

Berat
Sesak saat istirahat. Berbicara kataperkata dalam
satu nafas. Nadi < 120 x/menit. APE < 60% atau
100 l / detik

Terbaik: Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam


Alternatif: Agonis beta-2 subkutan / IV,
Adrenalin 1/1000 0,3ml SK
Aminofilin bolus dilanjutkan drip, Oksigen, Steroid IV.

Mengancam jiwa
Kesadaran berubah/menurun, gelisah, sianosis, gagal nafas

Seperti serangan akut berat,


pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanis
(MML)

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol.
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.

434

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

DAFTAR PUSTAKA:
1. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2004.
2. A Pocket Guide for Asthma Management and Prevention. Global Initiative for Asthma (GINA). A Pocket Guide for Physicians and Nurse Update 2005.
3. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Global Initiative for Asthma (GINA). Revised 2006.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

435

INFO PRODUK

INVITEC

( Anti ulkus dengan potensi uterotonik )


NSAIDs

merupakan obat yang sangat banyak digunakan, namun


penggunaan NSAIDs ini dapat memberikan dampak terjadinya ulkus
lambung. Dari studi epidemiologi diperkirakan penggunaan NSAIDs jangka
panjang akan menimbulkan ulkus lambung pada sekitar 20% - 30%
pasien, serta akan menimbulkan gastropati 3 - 10 kali lebih banyak.
Berbagai teori telah diajukan, namun teori ketidakseimbangan antara
faktor agresi dan faktor defensi merupakan salah satu teori yang saat ini
banyak digunakan untuk menerangkan terjadinya dispepsi. Seperti telah
diketahui bersama ketidakseimbangan antara faktor agresi dan defensi
akan meningkatkan risiko terjadinya dispepsi bahkan ulkus. Peningkatan
aktivitas faktor agresi, penurunan faktor defensi, ataupun kombinasi keduanya merupakan penyebab ulkus lambung. Faktor agresif di antaranya
adalah: asam lambung, pepsin, refluks cairan empedu, nikotin, NSAIDs,
kortikosteroid, dan infeksi kuman Helicobacter pylori. Jika faktor-faktor ini
meningkat aktivitasnya maka akan terjadi kerusakan jaringan dinding
lambung. Hal yang sama akan terjadi jika aktivitas faktor defensi menurun.
Beberapa yang termasuk faktor defensi adalah antara lain: aliran darah
mukosa, regenerasi sel epitel permukaan, prostaglandin, surfaktan (fosfolipid),
musin/mukus, bikarbonat, motilitas, impermeabilitas mukosa terhadap
ion H+, dan regulasi pH intra sel.
Berdasarkan teori di atas, ketidakseimbangan antara faktor agresi dan
faktor defensi yaitu peningkatan aktivitas faktor agresi, penurunan
aktivitas faktor defensi ataupun kombinasi keduanya akan menyebabkan
terjadinya dispepsi; maka penataaksanaan kasus yang berhubungan
dengan sindrom dispepsi ini adalah dengan cara:
1. Menurunkan aktivitas faktor agresi
2. Meningkatkan aktivitas faktor defensi
3. Kombinasi keduanya.
Maka terapi sindrom dispepsi selain dengan pemberian obat- obat anti
sekresi asam lambung (seperti: penghambat reseptor H2, PPI, anti gastrin)
atau preparat yang dapat menetralkan asam lambung seperti antasida,
dapat juga diberi preparat-preparat untuk meningkatkan potensi faktor
defensi, di antaranya prostaglandin.
Prostaglandin subtipe E1 merupakan pilihan yang tepat untuk meningkatkan fungsi faktor defensi dinding lambung. Analog PGE1 sintetik yaitu
misoprostol merupakan prostaglandin yang pertama diproduksi dan sudah
mendapat persetujuan FDA untuk penanganan ulkus lambung akibat penggunaan NSAIDs. Literatur menyebutkan bahwa misoprostol mempunyai
potensi sitoprotektif dan juga sebagai anti-sekresi asam lambung. Misoprostol
mampu melindungi mukosa lambung terhadap berbagai bahan iritan dan
bahan perusak termasuk: aspirin, etanol, indometasin, pentagastrin dan prednisolon, dan juga terhadap ulkus akibat stres (stress ulcer) ataupun syok septik.
INVITEC dalam bentuk sediaan tablet mengandung 200 mcg misoprostol analog prostaglandin E1 (PGE1) yang memiliki efek antisekresi dan
melindungi mukosa lambung. INVITEC mempunyai potensi antiulseran
serta efek proteksi mukosa terhadap zat-zat perusak pada dosis yang menghambat/mempengaruhi sekresi asam labung secara minimal.

Mekanisme anti ulkus dan sitoproteksi mukosa lambung dari misoprostol


diperkirakan dengan cara sebagai berikut:
1. Efek pada sekresi asam : misoprostol menghambat sekresi asam baik
siang maupun malam hari yang disebabkan oleh stimulasi histamin,
pentagastrin, dan kopi. Efek antisekresi ini dapat diamati sampai 5 1/2
jam setelah pemberian.
2. Efek terhadap sekresi pepsin dan volume cairan lambung: misoprostol
dapat menyebabkan penurunan moderat kadar pepsin dan volume
cairan lambung pada kondisi basal, tapi bukan saat stimulasi.
3. Efek terhadap serum gastrin: misoprostol tidak memiliki efek yang
menetap saat puasa atau peningkatan serum gastrin setelah makan.
4. Efek sekresi faktor intrinsik: pentagastrin sebagai stimulan sekresi
faktor intrinsik tidak terpengaruh oleh pemberian misoprostol 100 mcg.
5. Aktivitas proteksi mukosa: misoprostol memiliki sifat memperkuat
integritas barier mukosa gastroduodenal dari bahan-bahan perusak.
Hal ini mencakup rangsang sekresi bikarbonat duodenum dan
produksi mukus lambung. Misoprostol juga memelihara hemodinamik
mukosa lambung.
Selain efek antisekresi dan mukoproteksi terhadap lambung, prostaglandin
(termasuk misoprostol) ternyata mempunyai efek kontraksi otot polos uterus
(efek uterotonik). Oleh karenanya INVITEC (misoprostol) secara umum
dikontraindikasikan penggunaannya selain pada pasien yang hipersensitif
juga pada wanita hamil karena dapat mengakibatkan terjadinya abortus.
Indikasi
Pencegahan ulkus lambung yang diinduksi oleh AINS (termasuk aspirin)
pada pasien dengan risiko tinggi komplikasi ulkus lambung, misalnya usia
lanjut dan pasien dengan penyakit berat secara bersamaan, serta pasien
dengan riwayat ulkus lambung.
Dosis dan Cara Pemberian
Dewasa: untuk pencegahan ulkus lambung akibat induksi AINS anjuran
dosis oral 200 mcg 4 kali sehari bersama makanan. Misoprostol harus
diminum selama terapi AINS. Harus diminum saat makan dan dosis
terakhir sebelum tidur.
Efek Samping
Paling sering diare, nyeri abdomen, dan tinja encer derajat ringan sampai
sedang dan bersifat sementara. Pada wanita pernah dilaporkan adanya efek
ginekologik seperti: kram, menorrhagia, dismenorrhea, dan spotting.
Efek lain dapat berupa: mual, muntah, nyeri kepala, kembung, dispepsi, dan
konstipasi. Pola efek samping serupa jika diberikan bersamaan dengan AINS.
Tidak dianjurkan penggunaannya pada wanita menyusui.
Kesimpulan
INVITEC dengan kandungan zat aktif misoprostol (Analog PGE1 sintetik)
merupakan preparat yang meningkatkan faktor defensi sehingga berfungsi sebagai anti ulkus lambung dengan efek uterotonik sehingga
dikontraindikasikan penggunaannya pada wanita hamil. (TMB)

Referensi:
1. Daldiyono, Syam AF. Perubahan Hormon Gastrointestinal pada Sindroma Dispesia. Dalam Rani A, Manan C, Djojodiningrat D. dkk.(Ed). Dispepsia. Sains dan Aplikasi Klinik. Jakarta.
Subbag Gastroenterologi Bagian Penyakit Dalam FKUI. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002:
2. Goldberg AB, Greenberg MB, Darney PD. Misoprostol and pregnancy. N Engl J Med 2001;344:1:38-45.
3. Monk JP, Clissold SP. Misoprostol. A Preliminary Reviews of Its Pharmacodynamic and Pharmacokinetic Properties, and Therapeutic Efficacy in the Treatment of Peptic Ulcer Disease. Drugs 1987;33:1-30
4. Hawkey CJ, Karrasch JA, Szczepanski L, et al. Omeprazole Compared with Misoprostol for Ulcer Associated with Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs. N Engl J Med 1998;338:727-34.

436

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

LAPORAN KHUSUS

National Symposium on
Vascular Medicine ke-4 (ANVIN)
P

ada tanggal 24 Agustus 2008 telah diadakan pertemuan


National Symposium on Vascular Medicine ke-4 (ANVIN), yang
diadakan oleh team marketing Discovery A, PT Kalbe Tbk, dr.
Siswandi dan rekan. Acara ini diikuti oleh kurang lebih 50 orang
dokter, yang tediri dari dokter umum, dokter spesialis jantung,
dokter spesialis bedah vaskular. Acara yang berlangsung malam
hari itu dibuka oleh dr. H. Murnizal Dahlan, SpBV(K).
Setelah itu langsung dilanjutkan dengan pembahasan topik
Chronic Venous Insufficiency (CVI) Role of Vasoprotective
Agent oleh Dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K). Kepala Bagian Vaskular
di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta.
CVI merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Amerika Serikat. Kurang lebih 24 juta penduduk Amerika
menderita vena varikosa dan 6 juta orang menderita kelainan
kulit yang berhubungan dengan CVI. Ulkus karena CVI diderita
oleh kurang lebih 500.000 orang, dengan prevalensi tertinggi
pada pria usia 70-79 tahun dan wanita usia 40-49 tahun.
Kemungkinan besar banyak penderita CVI di Indonesia, namun
belum dilakukan pendataan secara berkala dan nasional.
Penyebab CVI multifaktorial, di antaranya adalah insufisiensi
katup vena, malformasi vaskular kongenital, herediter, kelebihan
berat badan, gaya hidup yang tidak sehat, serta faktor-faktor
hormonal. Selain itu pasien dengan riwayat gagal jantung,
trauma pada ekstremitas, flebitis, trombosis vena dalam lebih
mudah untuk mengalami CVI.

438

Ada 4 teori terjadinya CVI:


Teori lama:
Vein & Valve Damage or Failure Theory
Terjadinya refluks dan peningkatan tekanan vena, dan
Calf Muscle Pump Failure Theory
Terbentuknya vena yang melebar dan memanjang, terutama
di daerah medial malleolus
Teori baru:
Fibrin Cuff Theory
Terbentuknya deposit fibrin di daerah perikapiler.
White Cell Trapping Theory
Kerusakan vena karena penempelan sel darah putih di
dinding kapiler pembuluh darah.

LAPORAN KHUSUS

Di antara obat-obat venoaktif, Venosmil merupakan pilihan karena


kemampuannya dalam menurunkan permeabilitas kapiler, meningkatkan tonus vena, memperbaiki deformabilitas eritrosit
dan mengurangi edema. Penelitian yang membandingkan
hidrosmin dengan sediaan venotropik lainnya, memperlihatkan
keunggulan efektifitas Venosmil sebagai venotropic agent.
Penelitian yang membandingkan hidrosmin dengan diosmin juga
disampaikan dr. Ismoyo pada kesempatan ini. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa efektifitas perbaikan klinis hidrosmin
pada pasien CVI lebih superior dibandingkan dengan diosmin.

Tindakan operatif untuk CVI vena superfisial antara lain adalah:


The Hook Technique
Ligation of saphenofemoral junction
Ligasi vena yang mengalami perforasi (Lintons procedure)
Stripping varises dengan vein stripper.

Topik CVI (Chronic Venous Insufficiency) dibahas oleh Dr.


H. Murnizal Dahlan,SpBV(K), kepala bagian Bedah Vaskular Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Beliau mengulas
mengenai CVI, prevalensi, etiologi, patofisiologi, serta terapi
yang dapat diberikan. Dalam bahasan ini terapi dibagi menjadi
terapi non-farmakologis, terapi farmakologis dan terapi operatif.

Syarat operasi pada vena dalam adalah:


Gagalnya terapi konservatif
DVT (Deep Vein Thrombosis) proksimal
Inkompetensi vena dalam yang ringan

Terapi non farmakologik di antaranya adalah elevasi tungkai,


stoking kompresi, serta menurunkan berat badan. Terapi kompresi
terbaru dinamai External Pneumatic Compression. Terapi farmakologi yang dapat diberikan di antaranya adalah golongan
flavonoid seperti hidrosmin (Venosmil) yang dikatakan sangat
bermanfaat, bahkan pada kasus CVI lanjut. Tindakan invasif
seperti sclerotherapy; dalam kesempatan ini dibahas teknik
foam sclerotherapy.
Tindakan operatif pada kasus-kasus CVI vena superfisial dilakukan jika:
Telah terjadi perforasi vena
Nyeri tidak bisa ditangani dengan obat-obatan lagi.
Terapi konservatif gagal
Pasien yang aktif (berhubungan dengan aktifitas pasien
dalam kehidupan sehari-hari, seperti pekerjaan, gaya hidup)
Vena dalam (vena profunda) berfungsi baik.

Diingatkan oleh dr. Murnizal bahwa syarat yang penting sekali


untuk tindakan operatif pada vena superfisial adalah vena
profunda (vena dalam) harus berfungsi baik; untuk itu harus
dilakukan penilaian pre-operatif dengan seksama.

Tindakan operatif yang dapat dilakukan untuk CVI vena


profunda (dalam) antara lain pemasangan saphenous vein
crossover graft/PTFE (Polytetrafluoroethylene) graft, by pass
insitu vena popliteal-femoral. Jika vena dalam tidak kompeten (vena profunda tidak berfungsi/ dalam keadaan tidak
baik), maka dapat dilakukan valvuloplasti atau transposisi
segmen vena (vein segment transpositions).
Komplikasi tindakan operatif yang dapat terjadi adalah:
hematoma, kerusakan beberapa saraf saphena dan infeksi.
Selain tindakan operatif, ada tindakan invasif ringan yang
dapat dilakukan pada kasus-kasus CVI vena superfisial dan
vena profunda, di antaranya adalah Endovenous Radio
frequency Ablation, Endovenous Laser Treatment (EVLT),
Subfascial endoscopic perforator surgery (SEPS).
Pada acara ini dibahas pula diagnosis serta penatalaksanan
beberapa kasus dalam klinik. (YYA)

Klasifikasi CEAP :
CEAP clinical classification
CEAP etiological classification
CEAP anatomical classification
CEAP pathophysiological classification
Pemeriksaan non-invasif yang dapat dilakukan adalah Imaging
Studies berupa Doppler bidirectional-flow studies dan Doppler
color-flow studies dan pemeriksaan lainnya, seperti photoplethysmography. Pada CVI, pilihan terapi di antaranya adalah
elevasi tungkai, kompresi, obat-obatan venoaktif, perawatan
luka dan terapi operatif.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

439

LAPORAN KHUSUS

LAPORAN KHUSUS
Dia membahas beberapa penyakit infeksi seperti penyakit
jantung rematik, malaria tuberkulosis dan AIDS yang masih
prevalen yang dapat meningkatkan risiko stroke; di samping
mulai meningkatnya penyakit degeneratif seperti hipertensi
dan diabetes melitus.

Decline in Events Associated with Asymptomatic


Carotid Stenosis With and Without Intensive
Medical Therapy

Event

Dia juga menyinggung peranan pendidikan bagi pengobat


tradisional dan pengembangan guideline yang lebih spesifik
untuk tiap negara sesuai dengan ketersediaan tenaga dan
fasilitas kesehatan; hal ini dapat dicapai dengan makin sering
bertemunya para pakar dari negara maju dan negara berkembang, yang sudah mulai dirintis oleh China yang mengadakan
pertemuan tahunan untuk maksud tersebut.

6th World Stroke Congress,


Vienna, Austria 24 - 27 September 2008
Sampai saat ini stroke atau Gangguan Peredaran Darah Otak
masih merupakan masalah penting, baik di negara maju maupun
di Indonesia; penyakit ini merupakan penyebab kematian ke
tiga setelah penyakit jantung dan kanker; tetapi merupakan
penyebab kecacadan utama mengingat gejala sisanya yang
tetap membebani baik penderita maupun keluarganya.
Berbagai aspek penyakit stroke ini dibahas dalam pertemuan 4
tahunan World Stroke Congress; kali ini yang ke enam diselenggarakan di Vienna, Austria pada 24 - 27 September 2008.
Kongres ini merupakan kegiatan dari World Stroke Organization - organisasi yang beranggotakan para profesional dan
organisasi yang menangani masalah stroke.
Selain teaching courses, yang menarik adalah diadakannya
joint session World Stroke Organization World Heart Federation yang membahas bagaimana tindakan preventif berupa
penanganan berbagai faktor risiko bersama dapat bermanfaat
untuk mengurangi kejadian penyakit-penyakit jantung dan stroke.
Pada Presidential Symposium tampil GA Donnan dari Australia
yang menekankan bahwa masalah utama penanganan stroke
ialah bagaimana mengurangi beban kecacadan baik bagi penderita, maupun keluarga dan masyarakat. Dia mengusulkan
peningkatan ketrampilan petugas medik, tidak hanya terbatas
pada stroke specialist, untuk mendeteksi dan melakukan tindakan
yang tepat sedini mungkin; yang kedua ialah menerapkan
standar terapi dan pencegahan setinggi mungkin, dan yang
terakhir ialah terus melakukan riset mengingat masih banyak
yang harus diketahui untuk menganani stroke secara maksimal.

440

P Puska dari Finlandia menyoroti pentingnya kerjasama antara


neurologist dan cardiologist dalam menangani masalah vaskuler
yang mempunyai faktor risiko bersama; dia menganjurkan
kerjasama yang lebih erat baik di tingkat organisasi maupun
institusi untuk promosi diet yang sehat, tidak merokok, aktivitas
fisik seimbang dan mengendalikan tekanan darah dan lipid
darah sebagai usaha pencegahan di tingkat masyarakat.
R Bonita dari Selandia Baru menyoroti angka kematian akibat
stroke yang akan terus meningkat dari kira-kira 5.7 juta saat ini
menjadi 6.7 juta di tahun 2015 jika tidak dilakukan tindakan
pencegahan yang memadai. Dan 4 dari 5 kematian tersebut
akan terjadi di negara berpendapatan sedang-rendah. Dia
mengatakan bahwa sebagian besar faktor risiko telah diketahui
dan 6 juta kematian bisa dihindari jika (fakto risiko tersebut)
dapat ditangani dengan (lebih) baik, dan efeknya akan lebih
nyata jika dilakukan di negara berpenduduk padat seperti
India dan China (dan Indonesia ?). Pemerintah bertanggung
jawab untuk menyusun kebijakan pencegahan dan sistim rujukan
yang tepat.
M Brainin dari Austria berpendapat bahwa di negara maju
pencegahan yang paling tepat diarahkan pada populasi muda
berupa peraturan yang lebih ketat mengenai merokok, diet rendah
garam dan anjuran aktivitas fisik, ditambah dengan penanganan populasi risiko tinggi. Di samping itu, penanganan dini
berupa penggunaan trombolisis yang tepat dan peningkatan
kualitas perawatan di stroke unit akan mengurangi kecacadan.
Masalah stroke di negara berkembang dibahas olah VU Fritz
dari Afrika Selatan.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Beberapa kemajuan terapi yang dibicarakan antara lain:


Pengobatan tPA untuk stroke iskemik masih bermanfaat jika
diberikan dalam 4,5 jam setelah kejadian stroke. Kesimpulan
ini didapat dari hasil studi ECASS 3 (European Cooperative
Acute Stroke Study). Hasil ini dianggap sebagai sesuatu yang
relatif menggembirakan karena memperpanjang indikasi penggunaan rtPA yang selama ini direkomendasikan hanya dalam
3 jam setelah kejadian stroke iskemik; selain itu juga dapat lebih
meyakinkan para dokter akan efektivitas dan keamanan rtPA
pada pengobatan stroke iskemik akut.
Dilaporkan juga hasil penelitian pendahuluan MITI-IV (Microplasmin in the Treatment of Ischemic Stroke Intravenous
Study) atas manfaat mikroplasmin yang selain manfaat
trombolitiknya, juga diduga mempunyai efek neuroprotektif.
Obat ini diketahui menurunkan kadar fibrinogen dan MMP
(Metallic Metalloprotein) yang diduga berperan dalam proses
trombosis. Pada percobaan fase 2 atas 40 pasien di 8 rumahsakit di Eropa, rekanalisasi reperfusi yang dinilai melalui MRI
30% lebih baik daripada kelompok plasebo.Selain itu kondisi
klinis yang dinilai melalui skala NIHSS juga menunjukkan
perbaikan bermakna. Studi ini masih perlu dilanjutkan untuk
melihat manfaat klinisnya pada populasi yang lebih besar.
Usaha memperbaiki prognosis pasien stroke melalui kontrol
suhu tubuh juga dilakukan melalui percobaan penggunaan
parasetamol 6 gram/hari dimulai dalam 12 jam setelah serangan
stroke diteruskan sampai 3 hari pada pasien yang suhu tubuhnya antara 36 - 39 C. Penilaian menggunakan modified
Rankin Score menunjukkan odds ratio untuk perbaikan setelah
3 bulan adalah 1.21; dan untuk kelompok dengan suhu tubuh
> 37C odds rationya 1.43. Studi ini melibatkan 1368 pasien
di 28 rumahsakit di Belanda.

No
Microemboli Microemboli
(%)
(%)

Before After
2003 2003
(%)
(%)

Stroke
in year 1

1.2

14.3

< .0001

0.8

.02

MI
in year 1

2.4

8.6

.07

6.5

.0001

Death
in year 1

2.9

12.1

.027

5.1

.12

Virchows triads 2008 merupakan target untuk suatu gagasan


baru penanganan stroke - suatu konsep yang sebenarnya sudah
diketahui - yaitu pentingnya memperhatikan faktor endotel,
aliran darah dan komponen plasma/darah.
Gangguan atas faktor-faktor tersebut akan mengganggu fungsi
dan integritas neuron dan pembuluh darah - yang bersama sel
glia merupakan satu kesatuan neurovascular unit. Dimulai dari
aktivasi sistim koagulasi berupa deposisi fibrin dan thrombus di
mikrosirkulasi, menyebabkan aktivasi endotel, peningkatan permeabilitas, leucocyte adherence and transmigration, focal noreflow dan (akhirnya) mengurangi local CBF. Hal ini akhirnya akan
mematikan neuron. Kegagalan menanggulangi gangguan-gangguan ini secara simultan mungkin yang menyebabkan mengapa
usaha pengobatan stroke selama ini belum memuaskan.
Faktor neuroproteksi juga merupakan target pengobatan stroke
mengingat akhir-akhir ini banyak perhatian ditujukan pada
bagaimana neuron dapat memperbaiki diri setelah serangan
iskemik. Setiap lesi di susunan saraf akan mencetuskan suatu
reaksi neuroproteksi endogen; prosesnya dikenal sebagai neuroplastisitas yang dikendalikan oleh faktor-faktor neurotropik.
Konsep ini yang mendasari percobaan penggunaan cerebrolysin suatu neuropeptid - pada kasus-kasus stroke. Saat ini baru pada
tahap percobaan klinis yang memberikan harapan pendekatan
terapi baru.
Stroke Congress berikutnya akan diadakan di Seoul, Korea
pada 13 - 16 Oktober 2010, diharapkan dapat mengetengahkan
keberhasilan dan kemajuan pencegahan, diagnostik, pengobatan,
dan rehabilitasi stroke guna penanganan yang lebih baik. (BRW)

Studi mikroemboli atas 468 pasien di Kanada menunjukkan


bahwa kejadian mikroemboli turun dari 12.6% sebelum tahun
2003 menjadi hanya 2.3% di tahun sesudah 2003. Mereka
menduga penurunan ini akibat dari makin agresifnya terapi
untuk hiperlipidemi, karena penurunan ini juga terlihat dari
penurunan kejadian infark miokard dan kematian.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

441

LAPORAN KHUSUS

LAPORAN KHUSUS

Zat aktif yang paling penting untuk terapi psoriasis adalah


kortikosteroid seperti betamethasone dipropionate, betamethasone valerate dan clobetasol propionate. Derivat vitamin
D3 dan coal tar atau derivatnya juga sering digunakan. Fototerapi dan radioterapi juga telah digunakan untum terapi
psoriasis kulit kepala (sinar UV, PUVA, excimer laser, dan sinar
grenz). Juga terdapat data penggunaan obat imunosupresif
seperti alefacept, dll.

Sedangkan Prof. Feldman dari USA dalam presentasinya yang


berjudul Problem and Challenges in the Management of
Scalp Psoriasis menyebutkan bahwa masalah utama dalam
terapi psoriasis sehingga respon terapi tidak seperti yang diharapkan adalah buruknya kepatuhan pasien terhadap terapi.
Cara untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi
adalah memberikan obat topikal dalam bentuk sediaan yang
mudah dan nyaman digunakan serta tidak memerlukan waktu
terapi yang lama, contohnya adalah bentuk sediaan shampo
untuk psoriasis kulit kepala.
Topik lain yang mendapat antusias yang besar dari peserta
adalah mengenai melasma. Kembali Prof. Ortone dalam presentasinya dengan judul What is New on Melasma? menyebutkan
bahwa melasma merupakan kondisi hiperpigmentasi yang
sangat sering dijumpai yang biasanya mengenai daerah wajah
yang terpapar. Kemungkinan faktor genetik terlibat dalam
melasma dan kejadian familial kelainan ini tidaklah jarang (2147%). Prevalensi melasma sangat tinggi pada kelompok etnik
tertentu dan paling sering mengenai tipe kulit III-VI.
Penemuan saat ini menunjukkan bahwa peningkatan ekspresi
alpha-MSH pada keratinosit epidermis makula melasma menunjukkan bahwa hormon ini dan reseptornya terlibat dalam
induksi hipermelanosis dan dalam patogenesis melasma.
Sedangkan radiasi UV menyebabkan keratinosit epidermis memproduksi faktor melanogenik termasuk alpha-MSH sehingga
menyebabkan melanogenesis.

8th Asian Dermatological Congress


Pada tanggal 1-4 Oktober 2008 di kawasan Seoul, Korea,
tepatnya di Sheraton Grande Walkerhill Hotel, telah berlangsung
acara 8th Asian Dermatological Congress (8th ADC 2008).
Acara yang diikuti oleh sekitar 1080 peserta khususnya dokter
spesialis dan residen Kulit dan Kelamin dari 26 negara tersebut
diselenggarakan atas kerjasama Korean Dermatological Association dan Asian Dermatological Association.
Acara dengan tema "Shaping the Future : Dermatology in Asia"
dengan pembicara dari berbagai negara tersebut diselenggarakan dengan latar belakang adanya peningkatan ketertarikan
dermatologis maupun publik dalam kesehatan kulit dan perawatannya. Diharapkan dengan acara tersebut, dokter tidak hanya
melihat masa depan, tetapi juga membantu membentuk masa
depan dermatologi di Asia. Acara tersebut juga diharapkan
dapat menjadi daya dorong untuk mempercepat penelitian
dan perkembangan di bidang dermatologi. Acara 8th ADC
2008 ini antara lain dibuka oleh ketua panitia 8th ADC, Prof.
Jai-Il Youn, Ketua Korean Dermatological Association, Eil-Soo
Lee, M.D, Ph.D dan Ketua Asian Dermatological Association,
Kunihiko Tamaki, M.D, Ph.D.
Berbagai topik di bidang dermatologi dibahas dalam acara ini,
salah satunya adalah mengenai Atopic Dermatitis : Recent
Advances in the Pathophysiology and Their Clinical Relevance
oleh Prof. Thomas Bieber, M.D dari Jerman. Dalam presentasinya, Prof.Bieber menyebutkan bahwa dermatitis atopik merupakan penyakit kulit inflamasi kronik yang dibagi minimal dalam
2 bentuk yang berbeda yaitu atopik (berkaitan dengan IgE,
ekstrinsik) dan non-atopik (tidak berkaitan dengan IgE, intrinsik).

442

Saat ini, mutasi pada gen yang mengkode Filaggrin (FLG) telah
dilaporkan sangat berkaitan dengan bentuk tertentu dermatitis atopik dengan onset dini. Mutasi FLG dikaitkan dengan
disfungsi barier epidermal pada dermatitis atopik. Oleh karena
itu, dermatitis atopik dapat timbul dengan latar belakang gen
yang berkaitan dengan protein strutural yang terlibat dalam
fungsi barier epidermal atau yang berkaitan dengan mekanisme
imunologi yang terlibat dalam peningkatan sintesis IgE. Dermatitis
atopik pada kebanyakan pasien (70%) ditandai dengan adanya
peningkatan kadar IgE serum total, namun 30% pasien atopik
menunjukkan kadar IgE yang normal. Dalam presentasi ini juga
disebutkan mengenai penatalaksanaan yang lebih kuat dan proaktif yaitu diagnostik alergologikal, terapi dasar untuk mengkoreksi disfungsi barier epidermal, mengkontrol kolonisasi bakteri
dan mengkontrol inflamasi dengan lebih efektif dengan aplikasi
intermiten steroid topikal atau penghambat kalsineurin topikal.

Saat ini juga telah ditunjukkan adanya peningkatan ekspresi


SCF (Stem Cell Factor) yang disekresi oleh fibroblas dermis dan
c-kit dalam epidermis kulit melasma. Hal ini menunjukkan
bahwa SCF dan c-kit reseptornya telibat dalam mekanisme
hipermelanosis pada melasma. Estrogen dan progesteron juga
telah dipertimbangkan sebagai faktor etiologi melasma. Ditunjukkan bahwa 17-beta-estradiol menstimulasi keratinosit untuk
memproduksi GM-CSF, suatu faktor melanogenik dan faktor
pertumbuhan melanosit yang terlibat dalam hipermelanosis yang
diinduksi oleh UVA. Semua penemuan tersebut menyebabkan
pengertian yang lebih baik terhadap regulasi melanosit dan
keratinosit oleh hormon dan sinar matahari serta menyebabkan
perkembangan strategi terapi baru.

Topik lainnya adalah mengenai Psoriasis-Why Does It Really


Matter? And How Have We Managed This Condition oleh
Prof. Jean-Paul Ortone, M.D dari Perancis. Dalam presentasinya, Prof. Ortone menyebutkan bahwa psoriasis merupakan
kondisi yang cukup sering terjadi. Kulit kepala merupakan
lokasi yang paling sering terkena (80%). Psoriasis kulit kepala
ditandai dengan lesi eritroskuamosa berbatas tegas dengan sisik
putih perak yang mengenai garis rambut di atas wajah atau
retroaurikuler. Dapat timbul plak yang sangat tebal khususnya
di daerah oksipital, yang bila berlangsung lama dapat mengakibatkan alopesia jaringan parut. Terapi psoriasis meliputi terapi
fotosistemik dan topikal, dan kebanyakan pasien menggunakan
kombinasi terapi tersebut.

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Menurut Dr.Krisada Duangurai dari Bangkok dalam presentasinya yang berjudul Medical Therapy in Melasma, pigmen
dermis dapat diterapi dengan menghancurkan pigmen misalnya
dengan laser. Sedangkan pigmen epidermis dapat diterapi
dengan obat depigmentasi topikal atau dengan pengelupasan
epidermis. Obat depigmentasi meliputi :
Senyawa phenolic (hydroquinone dan derivatnya)
Obat keratolitik (tretinoin, glycolic acid, salicylic acid)
Kortikosteroid
Lain-lain (Licorice extract, azelaic acid, kojic acid, ascorbic
acid, arbutin). (EKM)

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

443

GERAI

LAPORAN KHUSUS
Penurunan hormon inilah yang akan menimbulkan banyak masalah/
penyakit pada masa tua. Hal ini bisa dikoreksi, jelas Wimpie bersemangat.
Pengetahuan yang diperoleh dari bidang ilmu Anti-Aging & Regenerative
Medicine bisa membantu manusia untuk tetap hidup berkualitas di
hari tuanya.

Wimpie Pangkahila, Kisjanto, Robert Goldman dan Michael Klentze saat membuka acara

The 7th Asia Pasific


Conference on
Anti Aging & Regenerative
Medicine,
Bali 10 - 12 Oktober 2008

Bertempat di Grand Hyatt Hotel Nusa Dua Bali, acara Anti Aging
Medicine tingkat Asia Pasific dibuka pada Jumat 10 Oktober 2008.
Tak kurang 300 peserta dari pelbagai negara di dunia ikut ambil bagian
pada event yang diselenggarakan oleh American Academy of Antiaging Medicine (A4M)/World Anti-aging Academy of Medicine (WAAAM)
dengan didukung oleh European Society of Preventive Regenerative
and Anti-aging Medicine/ESAAM, FK Udayana dan Perhimpunan Kedokteran Anti Penuaan Indonesia/PERKAPI dan CDK (media partner).
Dalam kata sambutannya, Prof Robert Goldman, Chairman A4M
menyatakan bahwa konferensi di Bali adalah bentuk mini dari konferensi
tingkat dunia di Las Vegas nanti. Semua pembicara adalah pakar
Anti Aging Medicine tingkat dunia yang berasal dari Eropah, Asia
dan Amerika Utara. Bagi Goldman sendiri, Bali sudah merupakan
kampung halamannya. Oleh karenanya meskipun harus melakukan
perjalanan (kali ini) hingga 35 jam, ia merasa senang bisa bertemu
dengan sahabat-sahabatnya praktisi AAM.
Pembicara berikutnya, Prof Michael Klentze, Secretary General ESAAM,
memuji keberanian Indonesia khususnya FK Udayana yang - untuk
pertama kalinya di dunia - menyelenggarakan pendidikan Master (S2)
dalam bidang Anti-Aging and Regenerative Medicine. Langkah besar
FK Udayana ini langsung saja diikuti dengan pembentukan program
serupa pada beberapa universitas di Eropah. Memang pada kata
sambutan yang dibawakan sebelumnya oleh Prof. Wimpie Pangkahila,
selaku tuan rumah, telah menyatakan bahwa dengan adanya program
master yang pesertanya membludak ini pada setiap angkatan, membuktikan bahwa Anti-aging Medicine itu telah diakui eksistensinya di
dunia lebih khusus lagi di Indonesia. Hal ini yang menyebabkan PERKAPI
menurut Prof Kisjanto selaku Ketua PERKAPI akan selalu mendorong
pembukaan bidang studi AAM di pelbagai Universitas di Indoensia.
Fundamental of Scientific Anti-aging & Regenerative Medicine
oleh Prof Wimpie Pangkahila
Pada hari pertama conference ini (10 Oktober 2008), presentasi
menarik dibawakan oleh Prof Wimpie Pangkahila, yang merupakan
satu-satunya pembicara dari Indonesia. Membawakan materi dengan
judul "Fundamental of Scientific Anti-aging & Regenerative Medicine",
Guru Besar dari FK Udayana tersebut menjelaskan perubahan-perubahan
yang terjadi saat usia kronologis manusia beranjak tua. Hampir semua
hormon (HGH, DHEA, Melatonin, Testoteron (pada pria) dan Estrogen
(pada wanita)) akan menurun.

444

Namun, Wimpie mengingatkan, Anti-Aging dan Regenerative Medicine


(AARM) bukanlah salah satu bentuk alternative medicine, bukan
pula hanya cosmetics dan aesthetic saja. Banyak bidang ilmu yang
dipelajari dalam AAARM tersebut antara lain:
- Prospective Advanced Diagnostics
- Biomarkers of Aging Assessment
- Anti-Aging Endocrinology & Hormone Replacement Therapy
- Antioksidant Analysis & Optmized Supplementation
- Maximized Immune Function
- Detoxification
- Cardiovascular Protection
- Cognitive Function Assessment & Repair
- Metabolic & DNA Repair
- Skin De-Aging & Repair
- Lifestyle Modification
- Musculoskeletal Rehabilitation
- Sports Medicine Conditioning

Kalbe berpartisipasi pada acara ANVIN 2008 di hotel Crown Jakarta, tanggal 24
Agustus 2008 dengan menampilkan produk Venosmil (hydrosmin 200 mg).

Dr. Anastasia Sai Mumpuni, SpJ tengah menjelaskan


tentang tentang Aterosklerosis pada seminar Qvida
dengan tema 'Mencegah Aterosklerosis secara Alami
dengan Antioksidan' tanggal 26 Juli 2008 di Kalbe
Cempaka Putih.

Pada hari pertama ini, setelah acara pembukaan, tampil berturutturut nara sumber seperti:
1. Prof Wimpie Pangkahila, MD, PhD, SpAnd, FAACS dengan topik
"Fundamental of Scientific Anti-Aging & Regenerative Medicine"
2. Prof Robert M. Goldman MD, PhD, DO, FAASP. ABAARM:
"Emerging Technology in the Science of Anti-Aging: Maximum
Human Performance with Anti-Aging Therapeutics"
3. Prof Michael Klentze, MD, PhD, ABAARM: "Breakthrough of
the Year: Genes and Stem Cells Reprogramming"
4. Dr Vijay Sharma, PhD: "Mesenchymal Stem Cell: Bench to Bedside"
5. Dr S. Ali Mohamed, M: "Clinical Prespective: New Standards in
Anti-Aging Hormone Replacement Therapy"
6. Prof Claus Muss, MD, MSc, PhD: "Impact of Oxidative Stress on
Neurodegeneration"
7. Dr Michael Elstein, MD, ABAARM, FACNEM, FAAM: "Aging - A
Nutritional & Bio-Chemical Approach"
8. Dr James T. Bell, PhD, MS, MBA, BS Eng: "Sports Medicine:
Exercise Prescription for Anti-Aging and Care & Prevention of
Age Related Diseases, Disability and Dysfunction"
9. Dr Selvaraj Y. Subramaniam MD, MFSEM, ABAARM: "Fish Oil Omega 3 Anti-inflammatory: What, How, When"
10. dll
Malam harinya peserta dijamu dengan penuh kehangatan di Victus Life.
Dari bincang-bincang Redaksi dengan beberapa peserta (terutama
yang sering mengikuti kegiatan anti aging medicine), tercermin rasa
puas, kerena ilmu yang diperoleh benar-benar Anti Aging Medicine
sehingga mereka bisa lebih jelas apa itu anti aging medicine dan
bagaimana menjalankan praktek Anti Aging Medicine guna memberikan
yang terbaik bagi masyarakat/kliennya di tempat praktek masing-masing.
Para peserta yang megikuti penuh acara ini (konferensi & workshop)
akan memperoleh 16 SKP IDI. Dua hari berikutnya, para peserta akan
mengikuti workshop yang terbagi atas 2 track yang berjalan paralel.

Kalbe turut serta dalam acara PIT PERHATI (Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Ahli Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala
Leher) di Hotel Hyat Bandung, pada tanggal 30 Juli - 1 Agustus 2008. Seperti terlihat pada foto Tim Marketing Pluto, Discovery dalam stan
Kalbe yang menampilkan produk Tarivid, Climadan, Cravit & Hexilon.

ABAARM Clinical Training Course (ACTC)


Selain konferensi ini, para peserta bisa melanjutkan dengan : ABAARM
Clinical Training Course (ACTC) 4 hari berikutnya. Kursus ini ditujukan
bagi para dokter/tenaga kesehatan lainnya yang berminat untuk
mengambil sertifikat American Board of Anti-Aging & Regenerative
Medicine (ABAARM). Dengan demikian akan semakin banyak dokterdokter Indonesia yang bisa "berbicara" di event-event Anti-Aging
Medicine regional/dunia. (ETN)
CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

445

KORESPONDENSI
Ass. Wr. Wb,
Nama saya dr. Natalina Christanto, saya seorang dokter PTT yang bertugas di daerah pedalaman Aceh. Akses
komunikasi sangat sulit sekali di daerah tempat tugas saya, sinyal HP saja baru ada tahun 2008 ini tapi kalau mati
lampu sinyal pun ikut menghilang. Siaran TV yang ada hanya semut. Kami baru bisa mendapat informasi apabila
kami sedang mengambil gaji ke kota. Saat itulah baru kami baca koran atau ke internet.
Yang ingin saya tanyakan apakah distribusi CDK sampai ke Aceh ? Kalau ya, bagaimana caranya saya bisa
mendapatkan CDK. Jujur saja saya tidak tahu medrep-medrep yang ada di Aceh karena tempat praktek saya yang
di ujung gunung itu tidak pernah dikunjungi. Kalau bisa saya dapatkan CDK, saya sangat bersyukur sekali, karena
sejak saya PTT di daerah ini saya merasa jadi 'gaptek', kemajuan-kemajuan terbaru atau penelitian-penelitian
terbaru saya tidak tahu dan kalau bisa CDK dikirimkan ke Aceh, ini alamat surat menyurat saya:
dr. Natalina Christanto
d/a Amrisaldin, JKMA Aceh, Jl. Prada I no. 5, Banda Aceh - NAD
Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.

FORMULIR BERLANGGANAN MAJALAH CDK TAHUN 2009


Pembaca yth.
Banyak terima kasih atas kebersamaan Anda selama ini. Komitmen kami adalah untuk selalu
memberikan yang terbaik bagi para pembaca.
Agar kami bisa melayani Anda lebih baik, mohon kiranya mengisi Formulir Berlangganan Majalah CDK
tahun 2009, di bawah ini yang akan menjadi acuan pembaruan data-base kami.

Nama Lengkap :
Jenis Kelamin

Pria

Wanita

Gelar

dr. umum

dr. spesialis :

Lain :

Alamat tempat praktek / institusi :

dr. Natalina Christanto


Kepala Puskesmas Arafat-Lamteuba
Kecamatan Seulimeum
Kabupaten Aceh Besar

Tlp./ Fax.

HP :

E-mail Address :
Yth. dr. Natalina Christanto
di Aceh

Nama MedRep yang memberikan majalah ini :

Menanggapi surat dokter, kami turut prihatin dengan kondisi tempat tugas saat ini yang masih jauh dari jangkauan
media informasi. Kami sampaikan bahwa majalah CDK selama ini didistribusikan sampai ke daerah-daerah termasuk
Aceh. Untuk dokter yang bertugas di Puskesmas Arafat-Lamteuba, Aceh Besar, kami akan mengirim melalui pos secara
teratur pada setiap penerbitan dengan kategori pelanggan : Institusi/Puskesmas.

Komentar anda mengenai Majalah CDK (jika terpilih akan dipublikasi di CDK) :

Sedangkan untuk pengiriman ke alamat : praktek pribadi, akan dikirim melalui marketing Kalbe cabang kota ybs.
Jika sewaktu2 kiriman majalah CDK terhenti, dokter dapat menghubungi marketing:
Ibu Nurjanah
DM Marketing Stealth
PT. Kalbe Farma Tbk.
Jl. Ir. M. Thahir
Pertigaan Lembah Hijau DS COT Mesjid
Banda Aceh - 23247
Tlp. 0651-22830

Silakan mengembalikan formulir yang telah diisi lengkap kepada : Medical Representative (MedRep)
yang membawa majalah ini.
Atau bisa juga mengirimkannya ke Redaksi CDK dengan cara (pilih salah satu) :

Demikian kami sampaikan dan terima kasih atas perhatiannya.

1. Pos: Redaksi CDK, Jl. Letjen Soeprapto kav. IV, Cempaka Putih Jakarta 10150
2. Facsimile: 021-42873685
3. E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id

Wassalam,

Redaksi

( Boleh difoto copy )


446

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

INDEKS KARANGAN
English Summary
IB Putra Adnyana, Haya Harareth :
Risiko Anovulasi pada Penderita Infertil dengan
Hiperprolaktinemi
Ketut Suwiyoga : Akurasi Gineskopi dengan Bantuan Olesan
no.1/2008
Asam Asetat 5% untuk Deteksi Displasia pada Lesi Serviks
Caroline Hutomo : Terapi Pre-eklampsia
IB Putra Adnyana : Hubungan Jumlah Folikel Antral dengan Respons
Ovarium terhadap Stimulasi Ovulasi
Jefferson Rompas : Pertumbuhan Janin Terhambat
Didik Gunawan Tamtomo : Gambaran Histopatologi Kulit pada
Pengobatan Tradisional Kerokan
Dwi Agustina, Caroline T. Sardjono, Ferry Sandra :
Metode Isolasi Inner Cell Mass sebagai Sumber Embryonic Stem Cell
Berita Terkini
Review Cochrane memberikan lampu hijau untuk pemberian Taxane
pada kanker payudara
Analgesia epidural menurunkan tekanan intraabdominal
Midazolam efektif mencegah PONV
Asam folat tingkatkan performa fungsi kognitif lansia
Jogging tidak sebaik sepak bola untuk membakar lemak
Kadar HDL tinggi melindungi jantung Anda
Kafein plus asetaminofen beracun untuk beberapa orang
Melawan kuman dengan sabun dan air hangat
Seksio saesar meningkatkan risiko ibu dan bayi
Informatika Kedokteran (Dani Iswara) : Blog Kedokteran sebagai
Media Komunikasi Pasien dan Dokter
Profil (Ari Satriyo Wibowo) : Mengenal Secara Utuh Sosok
Prof. Dr. Sarwono Prawirohardjo
Korespondensi : Masalah insomnia sering ditemukan pada lanjut usia
Laporan Kegiatan Ilmiah bulan November - Desember 2007
Kalender Kegian Ilmiah bulan Januari Maret 2008

160
vol. 35

162

05
09
12
17
23
28
32

36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
48
50
51
54

English Summary
60
Harry Murti, Mokhamad Fahrudin, Caroline Tan Sardjono,
B. Setiawan, Ferry Sandra : Altered Nuclear Transfer :
Pengembangan Teknik Somatic Cell Nuclear Transfer untuk
Mengatasi Masalah Etika
61
no.2/2008
Nurul Aini, Boenjamin Setiawan, Ferry Sandra :
Karakteristik Biologis dan Diferensiasi Stem Cell : Fokus pada Mesenchymal
Stem Cell
64
Frisca, Caroline Tan Sardjono, Ferry Sandra : Ekspansi Endothelial Progenitor Cell
68
Melina Setiawan, Caroline Tan Sardjono, Ferry Sandra :
Menuju Kloning Terapeutik dengan Teknik SCNT
72
Ronny Karundeng : Histofisiologi Sel Endotel dan Sel Progenitor Endotel
dalam Sirkulasi Darah
77
Suzanna Immanuel : Pemeriksaan Laboratorium dalam Anti Aging Medicine
82
Inge Permadhi, Samuel Oetoro, Fiastuti Witjaksono : Efektifitas
Penggunaan Meal Replacement pada Pengaturan Diet Pasien Obesitas dalam
Memperbaiki Komposisi Tubuh dan Faktor Risiko Sindroma Metabolik
87
Berita Terkini
Hadiah Nobel fisiologi atau kedokteran 2007 dianugerahkan pada para pioner stem cell
93
Aspirin dosis rendah plus statin menurunkan risiko kanker kolorektal
94
Efek donepezil pada pasien yang berhenti menggunakan memantine
95
Lemak perut dan risiko Diabetes Melitus
96
Pentoksifilin untuk pemakai EPO yang resisten
97
Kadar vitamin B12 rendah berkaitan dengan peningkatan risiko iskemi serebral
98
Bagaimana virus Chikungunya menyebar
99
Kopi dan teh dapat menurunkan risiko kanker ginjal
100
MRI paling kuat di dunia siap memindai otak manusia
101
Informatika Kedokteran (Rizaldy Pinzon) : Peresepan Elektronik untuk
Meningkatkan Keamanan Pengobatan di Rumah Sakit
102
Profil (Ari Satriyo Wibowo) : Prof. Dr. Samsuhidajat, SpB - Mengenal Lebih
Dekat Sosok Perintis Spesialis Bedah Digestif di Indonesia
104
Praktis : Status Epileptikus
106
Laporan Khusus bulan Januari Februari 2008
108
Laporan Kegiatan Ilmiah bulan Januari Februari 2008
110

161
vol. 35

448

English Summary

04

Husein Albar : Evaluation of Clinical Presentation to


Recognize Chronic Failure in Children
vol. 35 Amel Yanis, W. Edith H. Pleyte, Ika Widyawati, HE
no.3/2008 Kusdinar A : Peranan Hubungan Ibu-Anak pada
Gagal Tumbuh Anak 0-36 Bulan
Adi Wirawan, I Ketut : Profil Penderita Tuberkulosis Anak
Britanto Dani Wicaksono, Enos Tangke Arung, Ferry Sandra :
Aktivitas Antikanker dari Kayu Secang
Berita Terkini
Densitometri tulang tangan menyibak kerusakan tulang awal pada
artritis rematoid
Sel punca untuk transplantasi ginjal
Sel punca dewasa membantu mereka yang mengalami gangguan imun
dan penyakit jantung
Ibuprofen mengurangi efek positif aspirin pada individu dengan risiko stroke
Nyeri kepala biasa terjadi pada orang dengan masalah saluran cerna
Efek neuroprotektif asam mefenamat dan ketoprofen pada penyakit Alzheimer
Metabolisme dipengaruhi oleh probiotik
Antioksidan betakaroten meningkatkan risiko kanker
Obat flu dan batuk bebas (OTC) tidak direkomendasikan untuk bayi
Suplemen minyak ikan dapat berbahaya bagi beberapa pasien jantung
Obat kumur alopurinol sebagai pencegah stomatitis pada pasien kanker
Lahir prematur berdampak jangka panjang
Informatika Kedokteran (Hatmoko) : Pemanfaatan multimedia
audiovisual sebagai media penyuluhan kesehatan interaktif
Profil (Ari Satriyo Wibowo) : Semangat pantang menyerah
Prof. Barry J. Marshall, sang pemenang Nobel Kedokteran 2005
Praktis : Kesadaran menurun
Laporan Khusus bulan Februari - Maret 2008
Laporan Kegiatan Ilmiah bulan Februari - Maret 2008
Agenda Kegiatan Ilmiah bulan Mei - Juni 2008

English Summary

163

Anton B. Darmawan : Croup (Laringotrakeobronkitis)


M. Arief Purnanta, Soepomo Soekardono,
vol. 35 BU Djoko Rianto, Anton Christanto : Pengaruh Bising
terhadap Konsentrasi Belajar Murid Sekolah Dasar
no.4/2008
Max Rarung : Kelangsungan Hidup Lima Tahun Kanker
Ovarium yang Dikelola di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Dini Budhiarko, Caroline Tan Sardjono, Ferry Sandra : Assisted Hatching
Berita Terkini
Risiko obat-obat bebas (OTC)
Pedoman baru penanganan hipertensi resisten
Penuaan biologis ditunda oleh fitness aerobik
Terbukti : kaitan antara common cold dengan infeksi telinga
Dermatitis atopik berkaitan dengan keganasan
Tramadol untuk Penanganan Ejakulasi Dini
Sertraline untuk Leishmaniasis
Efek Trisiklik vs SSRI terhadap substansia alba otak
WHO menerbitkan laporan tentang skala global TB yang resisten terhadap obat
Lingkar pinggang besar pada wanita meningkatkan rIsiko kematian
Makan pagi menjaga remaja tetap ramping
Informatika Kedokteran (Rizaldy Pinzon) : Sistim Pendukung Keputusan
Klinis dan Perbaikan Kualitas Pelayanan Kesehatan
Profil (Ari Satriyo Wibowo) : Dr. Asri : Dokter Umum, Ahli Vasektomi
dan Kesadaran Pentingnya KB
Praktis (MML) : Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
Laporan Khusus bulan April - Mei 2008
Laporan Kegiatan Ilmiah bulan April - Mei 2008
Gerai
Resensi buku : Biografi Prof. Oei Ban Liang - Pelopor Bioteknologi,
Begawan Kimia dan Sosok Guru yang Humanis, terbitan CDK 2008
Agenda Kegiatan Ilmiah bulan Juli 2008

INDEKS KARANGAN
116
117

English Summary
Andreas Soejitno : The Role of Telehealth in Educating
Hospitalized Patient
Suwanto, Roveny, Steven : Mind Maps, Humor dan Mnemonic,
Tabel dan Diagram serta Gambar dalam Pembelajaran Ilmu
no.5/2008 Kedokteran
Umatul Khoiriyah : Mini Cex: Apakah Pilihan Tepat untuk
Menilai Kompetensi Klinis Siswa ?
Andreas Erick Haurissa, Gregorius Bimantoro, Pramanta : SPAS : Sistem
Perangkat Penaksiran Hasil Pembelajaran Waktu-Nyata yang Partisipatif
Theresia Ilyan, Sylvie Sakasasmita : Aplikasi Telemedicine bagi Pendidikan
Kedokteran di Pedesaan
Daryo Soemitro : Internet dalam Dunia Kedokteran
Dani Iswara : Peluang Pembelajaran Ubiquitous dalam Pendidikan Kedokteran
Yusuf Alam Romadhon : Hubungan Business to Business (B2B)
Dokter Spesialis-Dokter Umum
Berita Terkini
AMA menetapkan para dokter akan menerima aturan peresepan elektronik
Internet mungkin baik untuk kesehatan Anda
Google melansir catatan medis personal berbasis web
iPod dan alat pacu jantung akhirnya dapat bekerja bersamaan
MEDMARK akan menjadi pusat data kesalahan pengobatan terbesar di dunia
Kesalahan pengobatan dikurangi dengan komputerisasi peresepan dokter
Flu lambung menyebar melalui keyboard komputer yang terkontaminasi
Virtual Human Body, perjalanan interaktif dan 3 dimensi ke dalam anatomi manusia
Tip-tip aman berselancar di website medis
Orang-orang sering berbagi obat resep
Info Produk : Biogaia Chewing Gum
Laporan Khusus bulan Juni - Juli 2008
Laporan Kegiatan Ilmiah bulan Mei - Juni 2008
Gerai
Korespondensi
Agenda Kegiatan Ilmiah bulan Agustus 2008

164

252
253

vol. 35

121
127
133

139
140
142
144
145
146
148
149
152
154
156
158
160
164
166
168
175
177

184
185

English Summary
Ismail Setyopranoto : Pendekatan Evidence-Based Medicine
pada Manajemen Stroke Perdarahan Intraserebral
Rizaldy Pinzon : Analisis Situasi Pengendalian Tekanan Darah
untuk Prevensi Stroke Sekunder
no.6/2008
Andreas Prasadja, Maula N. Gaharu :
Obstructive Sleep Apnea
Lili Indrawati : Efek Coriandri fructus terhadap Distribusi Tidur
Rapid Eye Movement (REM) dibandingkan dengan Lorazepam
Syarief Hasan Lutfie : Penatalaksanaan Rehabilitasi Neurogenic Bladder
Riris L. Puspitasari, Caroline T. Sardjono, Boenjamin Setiawan, Ferry Sandra :
Kultur Embryonic Stem Cell menjadi Sel Neuron dengan Medium Bebas Serum
Eka J. Wahyoepramono : Awake Craniotomy, Alternatif bagi Tumor Intra-aksial
Didik Tamtomo : Aktivasi Komplemen pada Jejas Mekanis Pengobatan
Tradisional Kerokan
Berita Terkini
Latihan fisik dapat mempercepat penyembuhan luka
Astaxanthin, antioksidan dari golongan karotenoid
Homosistein ada hubungannya dengan penyakit jiwa
Hubungan antara selektivitas AINS dengan risiko stroke
Hubungan antara efek antikolinergik dan fungsi kognitif
Piracetam untuk pasca operasi
Simvastatin sebagai neuroprotektor
Lemak alami bentuk trans punya manfaat kesehatan
Polusi ozon di udara dan kematian prematur
Lercanidipine plus Enalapril
Coenzyme Q10 untuk Parkinson
Citicoline untuk pasien pecandu kokain
Praktis : Kejang Demam
Info Produk : Ibufenz
Laporan Khusus bulan Juli-Agustus 2008
Laporan Kegiatan Ilmiah bulan Juli-Agustus 2008
Gerai
Korespondensi
Agenda Kegiatan Ilmiah bulan September - November 2008

165

vol. 35

190
197
203
211
212
213
216
217
218
220
221
222
223
224
226
230
232
234
241
242
243
245

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

258
264
269
271
279
287
291
294
294
295
297
297
298
299
300
301
303
304
307
312
313
314
315

320
321
328

English Summary

166

Pradjnaparamita : Terapi Inhalasi


Huldani : Perbedaan VO2.max antara Siswa yang Latihan
vol. 35 Sepakbola dengan yang Tidak Latihan Sepakbola di
Pondok Pesantren Darul Hijrah
no.7/2008
Bambang Supriyatno, Nastiti N. Rahajoe : Uji Provokasi
Bronkus dengan Salin Hipertonis
A. Dina Abidin H. Mahdi : Asma Bronkial Hubungannya dengan GERD
I Wayan Karya, Aminuddin Azis, Sutji Pratiwi Rahardjo,
Nani Iriani Djufri : Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA WHO 2001) terhadap
Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius
Adi Prayitno : Kelainan Gigi dan Jaringan Pendukung Gigi
yang Sering Ditemui
Berita Terkini
CARDIA: OxLDL dan sindrom metabolik
Eritropoietin mempunyai efek antidepresa
Gabapentin untuk mengurangi ketakutan berpidato
Higiene oral yang baik dapat melindungi terhadap infeksi jantung
Metilprednisolon untuk penanganan neuritis vestibular
Kamera terkontrol magnet di dalam tubuh
Profil Keamanan terapi statin
Obesitas Meningkatkan Risiko Adenoma Kolorektal
Silent stroke menyerang 1 dari 10 orang sehat
Semangka merupakan Viagra alami
Adalafil dan disfungsi ereksi pasien diabetes
Valsartan memperbaiki kekakuan arteri pada pasien diabetes tipe 2,
lebih baik daripada Amlodipin ?
Jusuf Kalla: Sebaiknya dokter maksimal memeriksa 40 pasien per hari
WHA menghimbau peningkatan fokus pada hepatitis
Praktis : Penatalaksanaan asma di Indonesia
Info Produk : Invitec
Laporan Khusus bulan September - Oktober 2008
Gerai
Korespondensi
Formulir Berlangganan
Indeks Karangan
Agenda Kegiatan Ilmiah bulan November 2008 - Januari 2009

388
389

394
396
401

405
411
415
416
418
419
420
422
423
424
425
426
428
429
431
432
434
436
438
445
446
447
448
450

331
334
337
342
345
347
353
354
355
356
359
360
361
362
363
364
365
366
368
370
372
376
378
380
382

449

AGENDA

AGENDA

DESEMBER

Kalender

acara

November 2008
hingga
Januari 2009
NOVEMBER
Asia Pacific Geriatric Conference (APGC) 2008
Tanggal
Tempat
Kalangan
Sekretariat
Email
Phone
Fax
Contact Person

:
:
:
:
:
:
:
:

14 Nov 2008 - 16 Nov 2008


Bali, Indonesia
Internal Medicine and GP
Pharma-Pro Taman Palem Lestari, Perkantoran Fantasi Blok W/29
Jl. Kamal Raya Outer Ring Road, Cengkareng, JAKARTA, 11830
isma@pharma-pro.com
021-55960180 / 314 6633
021-55960179
Ismayanti

21st Century Medicine : Breakthroughs and Challenges

IOF World Congress on Osteoporosis 2008

Tanggal
Tempat
Kalangan
Sekretariat

:
:
:
:

Tanggal
Tempat
Kalangan
Sekretariat

:
:
:
:

03 Des 2008 - 07 Des 2008


Queen Sirikit National Convention Centre, Bangkok, Thailand
Reumatolog, obsgin
IOF Secretariat 73, cours Albert Thomas 69447 Lyon cedex 03
France

Phone
Fax
Contact Person

: +44 (0) 1786 458020


: +44 (0)1786 447530
: Carrie Smith

Email
Phone
Fax
URL

:
:
:
:

info@iofbonehealth.org
00-33-472-914-177
00-33-472-369-052
http://www.iofbonehealth.org/wco/2008/homepage.html

26 Nov 2008 - 27 Nov 2008


The Royal Institute of British Architects, London, United Kingdom
pharmacist, doctor, researcher
The Institute of Nanotechnology (Head Office) Suite 5/9 Scion
House Lord Hope Building Innovation Park 141 St.James Road
University of Stirling Glasgow Stirling G4 0LT FK9 4NF Scotland
Scotland

Asia Pacific Association of Cataract and Refractive Surgeons


Congress(APACRS) 2008

2nd International Conference of the Asia Pacific Society for


Healthcare Quality 2008 : Redefining Quality in Healthcare

Tanggal
Tempat
Kalangan
Sekretariat
Email
Phone
Fax

Tanggal
Tempat
Kalangan

: 05 Dec 2008 - 05 Dec 2008


: Grand Copthorne Waterfront Hotel, Singapore
: CEOs, healthcare management professionals, clinicians, nursing
and allied health professionals

Sekretariat

: APSHQ08 Conference Secretariat SGH Postgraduate Medical


Institute Singapore General Hospital Block 6 Level 1, Outram
Road Singapore 169608

Email
Phone
Fax
URL

:
:
:
:

:
:
:
:
:
:
:

27 Nov 2008 - 30 Nov 2008


Bangkok, Thailand
ophtalmologist
Lawson Marsh Events
pco@lawson-marsh.com
66-0-29-402-483
66-0-29-402-484

e-Health and Telemedicine Workshop


Tanggal

: 27 - 28 November 2008

Tempat

: Centre for e-Health

Kalangan

: Dokter dan praktisi e-health

Sekretariat

: Centre for e-Health, 2 Verdun Street Nedlands WA 6009

Phone

: +61 8 93810858

12th Bangkok International Symposium on HIV Medicine 2009

Fax

: +61 8 9381 0857

Tanggal

: 14 Jan 2009 - 16 Jan 2009

URL

: centreforehealth.org.au

Tempat

: Bangkok, Thailand

International Summit on Aesthetic Medicine (ISAM 2008) :

Jakarta Diabetes Meeting (JDM) 2008


Tanggal
Tempat
Kalangan
Sekretariat

Email
Phone
Fax

:
:
:
:

22 Nov 2008 - 23 Nov 2008


Hotel Mercure, Jakarta
endokrinologist, penyakit dalam, dokter umum
Sekretariat Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia / RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Jalan Salemba 6, Jakarta 10430

: endo_id@indo.net.id
: 021-3100075, 3907703
: 021-3928658, 3928659

Tanggal
Tempat
Kalangan
Sekretariat

:
:
:
:

Email
Phone
Fax
Contact Person
URL

:
:
:
:
:

28 Nov 2008 - 30 Nov 2008


Aston International Hotel, Denpasar, Bali, Indonesia
A nggota PERDESTI, ISAM, GP
Professional Congress Organizer (PCO) Secretariat: Jl. Hang Lekir
Raya No. 26, Kebayoran Baru , JAKARTA 12120, INDONESIA
pco@aestheticmedicineina.com
(+62-21) 7260088
(+62-21) 7397555
tessar 021.739.7555 / 0813.999.32.777
www.aestheticmedicineina.com

KONAS Pernefri X 2008


Tanggal
Tempat
Kalangan
Sekretariat

:
:
:
:

Email
Phone
Fax

: pernefri@cbn.net.id
: +62-21-3149208, 314 1203
: +62-21-315 5551, 315 2278

450

26 Nov 2008 - 30 Nov 2008


Hotel Horizon, Bandung
nefrologist, internis, dokter umum
Sekertariat PB. PERNEFRI Pav. 2 Ginjal Hipertensi RSUPN
Dr. Cipto mangunkusumo Jl. Diponegoro No.71 Jakarta Pusat 10440

HCQ@sgh.com.sg
(65) 6326 6682
(65) 6223 9789
http://www.apshq08.com

Lung Cancer Seminar 2008


Tanggal
Tempat
Kalangan
Sekretariat

:
:
:
:

30 Nov 2008 - 30 Nov 2008


Hotel Hyatt Regency, Surabaya
Dokter spesialis dan umum
Depatemen Pulmonologi Lt. 3 RSU Dr. Soetomo - FK UNAIR
Surabaya

Phone
Fax

: 031-550 1661
: 031-503 6047

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

JANUARI
Kalangan

: Specialist, GP

Sekretariat

: Meeting Organizer

Email

: jeerakan.j@hivnat.org

Current Tratment in Internal Medicine

Phone

: 662-652-3040 ext 102

Tanggal

: 24 Jan 2009 - 25 Jan 2009

Fax

: 662-254-7574

Tempat

: Hotel Mercure, Jakarta

Contact Person

: Ms. Jeerakan Janhom

Kalangan

: internis, dokter umum

Email

: pb_papdi@indo.net.id

Phone

: 021-31930956

Fax

: 021-3142108

Asia ARVO 2009

Tanggal

: 15 Jan 2009 - 18 Jan 2009

Tempat

: Hyderabad International Convention Center, Hyderabad, India

Kalangan

: opthalmologist

Sekretariat

: Organizing Secretary, Asia-ARVO 2009, Asia-ARVO Secretariat


LV Prasad Eye Institute, LV Prasad Marg, Banjara Hills Hyderabad
500034, India.

Tanggal

: 25 Jan 2009 - 26 Jan 2009

Tempat

: Sankara Nethralaya, Chennai, India

Kalangan

: ophtalmologist

Email

: asiaarvo@lvpei.org

Email

: neuro2008@snmail.org

Phone

: +91-40-23548271

Phone

: +91-44-28271616

Contact Person

: Dr. Santosh Honavar

Fax

: +91-44-28254180

URL

: http://www.asiaarvo2009.org

URL

: www.neuroupdate.org

International Neuro Ophthalmology update 2009

1. Informasi ini sesuai pada saat dicetak. Apabila ingin mengetahui lebih lanjut, silahkan akses http://www.kalbe.co.id/calendar
2. Apabila Anda mempunyai kegiatan ilmiah, dapat dikirimkan ke: cdk.redaksi@yahoo.co.id

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

451

RPPIK

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Dapatkah sejawat menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
Jawablah B jika benar, S jika salah

Terapi Inhalasi
Pradjnaparamita

1. Sasaran terapi inhalasi adalah saluran napas atas dan


bawah
2. Keuntungan terapi inhalasi ialah dapat diberikan
sembarang waktu dan tempat
3. Sediaan untuk inhalasi dapat berbentuk cairan
maupun bubuk kering
4. Untuk mencapai alveoli, partikel obat harus < 2 u
5. Penggunaan metered dose inhaler (MDI) tidak memerlukan
sinkronisasi inspirasi
6. Penggunaan nebulizer bisa maksimal jika dosisnya 5-10 ml
7. Nebulizer bisa digunakan pada pasien tak sadar
8. Kortikosteroid paling baik diberikan secara nebulizer
dengan masker

Uji Provokasi Bronkus


dengan Salin Hipertonis
Bambang Supriyatno, Nastiti N. Rahajoe

9. Terapi inhalasi bisa berguna untuk pasien stroke


10. Ada sediaan antibiotik yang dapat diberikan melalui
inhalasi

1. Gejala asma antara lain batuk dini hari.


2. Asma sering dikaitkan dengan riwayat tuberkulosis
di kalangan keluarga.
3. Uji provokasi bronkus ditujukan untuk menegakkan
diagnosis asma
4. Uji provokasi bronkus yang umum/baku menggunakan
salin hipertonis
5. Jika tidak dalam serangan, pemeriksaan fisik pasien
asma bisa normal
6. Uji beban kerja juga dapat digunakan untuk mendiagnosis asma
7. Dasar kelainan pada asma ialah inflamasi kronis paru
8. Pada proses inflamasi asma, sel yang paling berperan ialah netrofil
9. Diagnosis klinis asma pada umumnya mudah ditegakkan
10. Foto rontgen thorax pada pasien asma bisa tidak
menunjukkan kelainan
JAWABAN : 1.B

2.S

3.S

4.S

5.B

6.B

7.S

8.S

9.B

10.B

JAWABAN : 1.B

2.S

3.B

4.B

5. S 6.B

7.B

8.S

9.B

10.B

452

CDK 166/vol.35 no.7/November - Desember 2008

Anda mungkin juga menyukai