Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Preeklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan

disertai dengan proteinuria.1 Menurut Cunningham kriteria minimum untuk


mendiagnosis preeklampsia adalah adanya hipertensi disertai proteinuria minimal.
Hipertensi terjadi ketika tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg
dengan pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4
jam. Kemudian, dinyatakan terjadi proteinuria apabila terdapat 300 mg protein
dalam urin selama 24 jam atau sama dengan 1+ dipstick.2
2.2

Klasifikasi Preeklampsia
Pembagian preeklamsia sendiri dibagi dalam golongan ringan dan berat.

Berikut ini adalah penggolongannya:


1) Preeklamsia ringan
Dikatakan preeklamsia ringan bila :

Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah diastolik

90-110 mmHg
Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
Tidak disertai gangguan fungsi organ

2) Preeklamsia berat
Dikatakan preeklamsia berat bila :

Tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan darah diastolik >110

mmHg
Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan
kuantitatif. Bisa disertai dengan :
a) Oliguria (urine 500 mL/24jam)
b) Keluhan serebral, gangguan penglihatan
c) Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium
d) Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
e) Edema pulmonum, sianosis
f) Gangguan perkembangan intrauterine

g) Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia


3) Jika terjadi tanda-tanda preeklamsia yang lebih berat dan disertai dengan
adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklamsia.
2.3

Etiologi Preeklampsia
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.

Banyak teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang
memuaskan. Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia
hingga saat ini, yaitu:
1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri
spirali sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat
berkembang menjadi iskemia plasenta.

Gambar 2.1 Etiologi preeklampsia menurut teori iskemik plasenta


Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan PE Implantasi plasenta normal
yang memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus membentuk satu kolom

di bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus menginvasi desidua dan


berjalan sepanjang bagian dalam arteriol spiralis. Hal ini menyebabkan endotel
dan dinding pembuluh vaskular diganti diikuti oleh pembesaran pembuluh
darah.
2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).
3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis oleh
sel-sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantarai oleh
peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan radikal bebas.
4. Genetik.
Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Namun,
banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan di antara faktor-faktor yang
ditemukan tersebut seringkali sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau
merupakan akibat.
2.4

Patofisiologi Preeklampsia
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan

patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh
vasospasme dan

iskemia.4 Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat

mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti


prostaglandin,

tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi

platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf


pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.
Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus
dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri
epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler
meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac
peningkatan

tahanan

microangiopati menyebabkan

pembuluh
anemia

perifer. Peningkatan
dan

trombositopeni.

output dan
hemolisis

Infark plasenta

dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan


kematian janin dalam rahim.5
Perubahan pada organ-organ:3

1) Perubahan kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan
dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang
secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia
kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau
kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang
ektravaskular terutama paru.
2) Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi

yang

menyerupai

preeklampsia

dan

eklamsia

tidak diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak
pada penderita preeklampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa
atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan
disebabkan

dengan
oleh

sempurna

filtrasi

air

dan garam yang diberikan. Hal

glomerulus menurun,

sedangkan

ini

penyerapan

kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak


menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium,
natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal.
3) Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain
itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan
merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain
yang menunjukan tanda preklamsia berat 9yang mengarah

pada

eklamsia

adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh
adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri atau
didalam retina.3

4) Otak

Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia
pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan.2
5) Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada
plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan
oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklamsia sering
peningkatan tonus

terjadi

rahim dan kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi

partus prematur. 3
6) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh
edema paru yang menimbulkan dekompensasi

kordis.

Bisa

juga

karena

terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru.3


2.5

Penatalaksanaan Preeklampsia

Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :


1.

Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah

2.

Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia

3.

Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin

4.

Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman

Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:

Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa


dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya

Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang


tergantung pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
1. Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya:
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi
medikamentosa
2. Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan
diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.

Penanganan awal di Puskesmas


Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara
prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat

pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang


perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai
berikut:
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5,
berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang
ulangan berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan
injeksi diazepam 10 mg iv secara pelan-pelan selama 2 menit, bila
timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial
dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada
glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c
RD 5 28 tetes per menit.
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang
sudah diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6. Menyiapkan obat-obatan: injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan
infuse, dan tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
kejang dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat
asam.

Penanganan di rumah sakit


Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah
pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap
kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a.

Pencegahan Kejang

Tirah baring, tidur miring kiri

Infus RL atau RD5

Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap,


yaitu :
-

Loading / initial dose

: dosis awal

Maintenance dose

: dosis rumatan

Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin

Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB


Loading dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan

Maintenance dose
-

SM 40 % 10 g im, terbagi pada

glutea kiri dan kanan


SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30

selama 5 menit

tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai 24
jam pada perawatan konservatif
dan 24 jam setelah persalinan
pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b.

Antihipertensi

Hanya diberikan bila tensi 180/110 mmHg atau MAP 126

Bisa diberikan nifedipin 10 20 mg peroral, diulang setelah 30


menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam

Penurunan darah dilakukan secara bertahap :


-

Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik

Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah <


160/105 mmHg atau MAP < 125

c.

Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :

Memperberat penurunan perfusi plasenta

Memperberat hipovolemia

Meningkatkan hemokonsentrasi

Indikasi pemberian diuretikum :


1.

Edema paru

2.

Payah jantung kongestif

3.

Edema anasarka
Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika terjadi edema paru,

stop pemberian cairan dan berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg


intravena.
2.6

Jenis Anestesi
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional

dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli
anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut.6
Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok
perifer. Spinal & anestesi epidural ini telah secara luas digunakan di ortopedi,
obstetri dan anggota tubuh bagian bawah operasi abdomen bagian bawah. Spinal
anestesi, diperkenalkan oleh Bier pada tahun 1898 dan merupakan teknik regional
pertama utama dalam praktek klinis. Operasi seksio sesaria memerlukan anestesi
yang efektif yaitu regional (epidural atau tulang belakang) atau anestesi umum.
Dengan epidural anestesi, obat anestesi yang dimasukkan kedalam ruang di sekitar
tulang belakang ibu, sedangkan dengan spinal anestesi yaitu obat anestesi
disuntikkan sebagai dosis tunggal ke dalam tulang belakang ibu. Dengan dua jenis
anestesi regional ini ibu terjaga dalam proses persalinan, tetapi mati rasa dari
pinggang kebawah.6,7
Dengan anestesi umum, ibu tidak sadar dalam proses persalinan dan obat
anestesi yang digunakan dapat mempengaruhi seluruh tubuhnya serta bayi yang

akan dilahirkan. Resiko utama yang berhubungan dengan anestesi umum adalah
permasalahan pada jalan nafas. Resiko yang signifikan terjadi adalah aspirasi dari
isi saluran pencernaan dan hanya 30 ml dari cairan aspirasi tersebut yang
menyebabkan sindroma Mendelson. Intubasi menjadi lebih sulit dibandingkan
dari pada pasien-pasien yang tidak hamil, terutama pada ibu yang gemuk.
Permasalahan lainnya adalah leher pendek dan oedem laring.6,7
Saat ini, dokter anestesi dan dokter kandungan percaya bahwa neuraxial
anestesi lebih aman daripada anestesi umum karena kurang morbiditas ibu dan
risiko kematian terkait dengan masalah jalan napasyang sulit. Neuraxial anestesi
termasuk spinal anestesi, epidural anestesi, dan kombinasi spinal-epidural
anestesi. Prosedur ini dilakukan dengan sterilisasi dan identifikasi anatomi
terlebih dahulu. Pendekatan untuk mencapai ruang subarachnoid dilakukan
dengan cara median ataupun paramedian. Epidural anestesi adalah sebuah teknik
yang lebih sulit, tapi menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan
spinal anestesi dalam hal durasi. Potensi kelanjutan dari analgesia pasca operasi
dengan narkotika atau obat bius lokal telah secara dramatis meningkatkan
popularitas anestesi epidural. Keuntungan dari spinal anestesi dibandingkan
dengan anestesi epidural adalah kecepatan onsetnya. Kerugian spinal anestesi
adalah tingginya kejadian hipotensi, ada mual-muntah intrapartum, kemungkinan
adanya post spinal headache, serta lama kerja obat anestesi terbatas.7,7
Komplikasi yang paling umum ditemui dengan anestesi spinal adalah
hipotensi, yang disebabkan blokade sistem saraf simpatik. Akibatnya, penurunan
resistensi vaskuler sistemik dan perifer terjadi penurunan cardiac output. Dalam
beberapa kasus, efek kardiovaskular dapat bermanifestasi sebagai hipotensi
mendalam & bradikardia. Hipotensi merupakan masalah yang serius yang terjadi
dalam spinal anestesi pada operasi seksio sesaria, dengan insiden yang dilaporkan
dari literatur hampir di atas 83%. Selama 25 tahun, pergeseran uterus ke kiri
dengan manipulasi mengganjal panggul dan pengisian cairan sebelum
dilakukannya spinal anestesi merupakan beberapa cara untuk mencegah terjadinya
hipotensi.8
Karena spinal anestesi mempunyai keuntungan-keuntungan untuk seksio
caesarea, berbagai usaha dilakukan untuk mencegah hipotensi maternal. Dicoba

dengan pemberian 1000-1500 ml Ringer laktat 15-30 menit sebelum spinal


anestesi. Bila diberikan larutan dextrose untuk mengisi volume, beberapa peneliti
melihat adanya hiperglikemia feotal, asidosis dan ahkirnya neonatal hipoglikemia.
Sebaliknya beberapa peneliti menganjurkan pemberian sedikit dekrose (1%
dekrose di dalam RL) untuk mempertahankan euglikemia. Penggunaan sejumlah
kecil koloid dikombinasikan dengan kristaloid tidak menunjukkan hasil yang
konsisten untuk menurunkan kejadian hipotensi maternal. Pada pasien-pasien
yang tidak hamil, pemberian ko-loading cairan lebih baik dalam mempertahankan
cardiac output setelah spinal anestesi.Banyak metode untuk mencegah hipotensi
selama anestesi spinal untuk section caesaria telah diteliti, namun tidak ada satu
teknik yang telah terbukti efektif dan dapat diandalkan.6-8
Ueyama dkk. (1999) menunjukkan bahwa cairan kristaloid "coload"
(administrasi cepat dari bolus cairan pada saat mulai injeksi intratekal) adalah
lebih unggul dibandingkan kristaloid preload konvensional (cairan diberikan
sebelum injeksi intratekal) untuk mencegah hipotensi. Manu dkk. (2008)
menemukan ko-loading dengan 15 ml/kg BB ringer laktat lebih efektif
pemberiannya dibandingkan dengan pemberiannya sebagai preloading dalam hal
mencegah hipotensi. 11 Dahlgren dkk. (2005) melaporkan koloid preloading
mengurangi angka kejadian hipotensidibandingkan dengan larutan Ringer. Teoh
dkk. (2009) meneliti bahwa 15ml/kg BB HES 130/0,4 yang digunakan sebagai
preload secara signifikan meningkatkan curah jantung 5 menit pertama setelah
spinal anestesi pada seksio sesaria dibandingkan sebagai ko-loading.8
2.7

Pemilihan anestesi6,7
Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeklampsia tergantung dari

berbagai faktor, termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan status
medis dari pasien (adanya koagulopati, gangguan pernafasan, dll). Jika persalinan
dilakukan secara bedah Caesar maka pemilihan teknik anestesia di sini termasuk
epidural, spinal, combine spinal-epidural dan anestesia umum. Meskipun
kemungkinan terjadinya hipotensi yang berat pada pasien preeklampsia yang
menjalani anestesia regional (terutama spinal

anestesia), banyak data yang

mendukung pemilihan anestesia regional baik pada bedah Caesar yang berencana
ataupun darurat.
Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia berat dikatakan
berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri sistemik dan
pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesia. Pada
anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan intubasi
endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.
Apapun teknik anestesia yang dipilih, harus diingat bahwa meskipun
persalinan adalah terapi untuk preeklampsia, pada periode post partum perubahan
kardiovaskular, cardiac output dan status cairan, harus tetap dimonitor.
2.8

Penanganan pra anestesia


Dengan banyaknya organ yang mengalami perubahan patologis, evaluasi

pre anestesi dilakukan lebih dini karena tindakan pembedahan Caesar pada
preeklampsia/eklampsia dapat dilakukan secara semi elektif atau darurat.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan
pilihan cara anestesinya. Pemeriksaan laboratorium meliputi platelet, fibrinogen,
PT/APTT, ureum, creatinin, fungsi liver dan konsentrasi Mg, dilakukan setiap 6-8
jam sampai dengan pasca bedah dini. Monitoring dilakukan terhadap fetus dan
fungsi vital ibu, yaitu tekanan darah, cairan masuk dan keluar, refleks tendon,
pelebaran serviks, dan frekuensi kontraksi uterus.2
Tekanan darah dan pulsasi nadi diukur setiap 15 menit selam minimum 4
jam sampai stabil dan seterusnya setiap 30 menit. Dilakukan pemasangan kateter
urin dan urin output diukur setiap jam disesuaikan dengan pemberian cairan.
Monitoring preeklampsia/eklampsia dapat mendeteksi dini kelainan irama jantung
yang diduga penyebab edema paru yang mengakibatkan kematian mendadak.
Pada eklampsia penanganan pertama ditujukan pada jalan nafas, pemberian
oksigen, left uterine displacement dan penekanan cricotiroid Intubasi dilakukan
bila jalan nafas tidak dapat dipertahankan bebas, terjadi kejang yang lama atau
regurgitasi. Setelah tindakan pertama dilanjutkan dengan penanganan terhadap
kejang dan menurunkan tekanan darah. Kejang dapat diatasi dengan thiopental
atau diazepam. Pilihan obat anti kejang adalah obat yang tidak mengganggu

neurologis. Pada preeklampsia kejang dapat dicegah dengan pemberian


magnesium sulfat. Stabilisasi, monitoring fungsi vital, dan evaluasi gejala
neurologis yang teratur dapat mengurangi penyulit yang mungkin terjadi pada ibu
akibat persalinan dan anestesia.
Pemberian cairan pada pasien dengan preeklampsia murni cenderung
untuk mempertahankan tekanan darahnya meskipun adanya blokade regional. Jika
hal ini terjadi maka loading cairan tidak mutlak dilakukan dan dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan cairan. Dengan demikian, loading cairan pada
preeklampsia seharusnya tidak dilakukan sebagai profilaksis atau secara rutin,
namun harus selalu dipertimbangkan dan dilakukan secara terkontrol. 2 Hipotensi
jika terjadi dapat dikontrol dengan pemberian efedrin. Pada pasien preeklampsia
kebutuhan cairan pada bedah Caesar harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan
pemberian cairan lebih dari 500 ml, kecuali untuk menggantikan kehilangan
darah, semestinya dilakukan dengan hati-hati.
2.9

Tatalaksana anestesi
Penanganan preeklampsia berat dan eklamsia dalam bidang obstetri sama,

kecuali pelaksanaan tindakan terminasi dari kehamilan. Pada preeklampsia berat


persalinan harus dilakukan dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia persalinan
harus terjadi dalam waktu 12 jam setelah timbul gejala eklampsia. Jika ada gawat
janin atau dalam 12 jam tidak terjadi persalinan dan janin masih ada tanda-tanda
kehidupan harus dilakukan bedah Caesar. Masalah koagulopati merupakan hal
yang perlu dipertimbangkan sebelum tindakan operasi pada pasien preeklampsia/
eklampsia.
Bedah Caesar pada eklampsia merupakan tindakan darurat, anestesi umum
merupakan pilihan pertama kecuali bila pasien sudah terpasang kateter epidural.
Waktu persiapan untuk tindakan anestesi sangat pendek. Persiapan yang dilakukan
untuk anestesi umum dan regional tidak jauh berbeda pada pasien dengan
kehamilan. Pencegahan aspirasi dengan mengosongkan lambung, netralisasi asam
lambung dan mengurangi produksi asam lambung dilakukan sebelum tindakan
anestesi dilakukan. Persiapan dimulai dari pemeriksaan jalan nafas, ada tidaknya
distress pernafasan, tekanan darah, kesadaran pasien dan pemeriksaan darah.

Edema dari jalan nafas yang mungkin terjadi pada pasien tersebut menyebabkan
kesulitan untuk intubasi. Intubasi sadar dapat dilakukan pada edema jalan nafas
dan distress yang mungkin disebabkan aspirasi pada saat kejang. Jalan nafas
orotrakeal yang disediakan lebih kecil dari ukuran wanita dewasa. Dengan
pemberian anestesi topical yang baik, intubasi sadar dapat dilakukan dengan baik.
Dilakukan pemberian anestesi topical dengan lidokain spray.7
Tekanan darah pasien preeklampsia/ eklampsia diturunkan sedemikian
rupa sehingga tidak terjadi penurunan pada aliran darah ke plasenta dan otak.
Penyulit saat intubasi yang paling berbahaya adalah meningkatnya tekanan darah
yang berakibat terjadinya edema paru dan perdarahan otak. Pemberian obat anti
hipertensi sangat diperlukan sebelum dilakukan anestesi umum. Pada anestesi
umum, pemberian lidokain 1,5 mg/kg BB secara intravena dapat mengendalikan
respons hemodinamik saat intubasi. Efek farmakologi enflurane yang dianggap
merugikan ginjal dan menurunkan nilai ambang terhadap kejang dan pengaruh
halotan terhadap hepar, menjadikan isoflurane sebagai pilihan pertama obat
anesthesi inhalasi. Pemakaian magnesium sulfat sebagai anti konvulsan dapat
terjadi potensiasi dengan obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi, sehingga
pemberian suksinil kolin harus dikurangi. Lambung dikosongkan secara aktif
terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi dan diberikan
antasida.
Setelah dilakukan pemasangan infus dan disiapkan peralatan intubasi
dengan ukuran jalan nafas orotrakeal yang lebih kecil dari ukuran wanita normal,
pasien ditidurkan left tilt position 15 dan dilakukan preoksigenasi dengan O2
100%. Saat intubasi posisi head up 45 dan dilakukan maneuver Sellick. Induksi
dapat dilakukan dengan lidokain 1,5 mg/kg BB, thiopental 4 mg/kg BB, suksinil
kolin 1 mg/kg BB yang kemudian dilanjutkan dengan N2O/O2 50% dan
isoflurane. Pembedahan Caesar tidak mutlak membutuhkan relaksasi dan apabila
diperlukan dapat dipikirkan pemberian atracurium.

Setelah anak lahir pada

pemberian anestesi umum dan anestesi regional, oksitosin diberikan secara


kontinyu, hal ini untuk mengantisipasi akibat efek tokolitik dari magnesium.7
Monitoring yang dilakukan selama anestesi diteruskan hingga pasca
bedah. Pemberian cairan pasca bedah harus memperhitungkan adanya mobilisasi

cairan yang terjadi mulai dalam 24 jam. Jika tidak terjadi diuresis yang memadai
akibat belum kembalinya fungsi ginjal kemungkinan dapat terjadi peningkatan
cairan intravaskuler yang beresiko terjadinya edema paru. Jumlah trombosit dan
fungsinya akan kembali 4 hari setelah persalinan. Kejang pasca bedah terjadi pada
27% pasien. Obat anti hipertensi masih dibutuhkan selama pasca bedah.
Pemberian cairan selama masa antenatal harus dilakukan secara hati-hati untuk
mencegah kelebihan cairan. Total cairan intravena harus dibatasi sebanyak 1
ml/kg/jam.
2.10

Monitoring post partum


Pemberian cairan pada post partum harus dibatasi dengan memperhatikan

diursesis spontan yang kadang terjadi dalam 36-48 jam setelah persalinan.Total
cairan intravena yang diberikan 80 ml/jam: Ringer Laktat atau yang ekuivalen.
Pemberian cairan oral dapat diberikan secara lebih bebas. Urin output harus
dimonitor setiap jam dan tiap 4 jam dijumlahkan dan dicatat. Jika total cairan
yang masuk lebih dari 750 ml dari cairan yang keluar dalam waktu 24 jam, maka
diberikan furosemid 20 mg iv. Kemudian dapat diberikan gelofusine jika sudah
terjadi diuresis. Jika total cairan yang masuk kurang dari 750 ml dari cairan yang
keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan 250 ml gelofusine. Jika urin output
masih kurang, maka diberikan furosemide 20 mg iv.8
Terminasi kehamilan pada pre-eklampsia/eklampsia melalui bedah Caesar
memerlukan kerjasama dan komunikasi yang baik dari berbagai keahlian terkait
agar dapat tercapai hasil yang optimal. Diperlukan monitoring yang ketat serta
terapi, tindakan dan pilihan cara anestesi yang tepat, diawali sejak pra
pembedahan sampai pasca bedah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.8

Daftar pustaka
1. Prawirohardjo S. 2012. Ilmu kebidanan. Edisi keempat. Jakarta. PT Bina
Pustaka : Hal 531-532.

2. Cunningham F.G., 1995. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam Obstetri


Williams. Edisi 18. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp. 773-819
3. Cunningham F. G., 2005. Hypertensive Disorders In Pregnancy in
Williams Obstetri. 22nd Ed. New York :Medical Publishing Division, pp.
762-74
4. Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam :
Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, pp. 281-99
5. Rachma N., 2008. Eklampsia : Preventif dan Rehabilitasi Medik Pre dan
post Partum, in Holistic and Comprehensive Management Eclampsia.
Surakarta : FK UNS, pp. 99
6. Morgan HA. Anesthesia for pediatric surgery. In: Devison JK, Eckhardt III
WF, Perese

DA (Eds.). Clinical anesthesia procedures

of the

Massachussets General Hospital. 4thed, Little Brown and Company, 1993.


7. Miller RD: Millers Anesthesia. Anesthesia for obstetrics: 7th edition.
8. Balestrieri PJ: Preeclampsia. http://www.gasnet.anesthesiology.com, 2001.

Anda mungkin juga menyukai