Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN JOURNAL READING

Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Melaksanakan Metode Kangguru


di Indonesia

DISUSUN OLEH :
Nama

Masrida Rezki

NIM

2008730086

Pembimbing

dr.Arief S Ghazali Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK STASE PEDIATRI RSUD CIANJUR


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2012

Perawatan Metode Kangguru (PMK) merupakan perawatan dengan biaya rendah yang
dipraktekkan dalam perawatan konvensional bayi baru lahir, terutama bayi prematur dan bayi
berat lahir rendah (BBLR). Bayi diposisikan kontak kulit dengan kulit dalam posisi tegak
pada dada ibu dan dipertahankan dalam posisi tersebut hingga beberapa jam per hari. Untuk
PMK lanjutan bayi dipertahankan hingga >20 jam per hari pada posisi ini. Komponen lain
dari PMK adalah promosi pemberian ASI eksklusif yang diberikan sedini mungkin pada bayi
baru lahir. Fakta juga membuktikan keamanan dan efektifitas dari PMK dalam mengurangi
angka kematian bayi.

LATAR BELAKANG
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007, Rata-rata angka
kematian neonatus nasional adalah 19/1000 kelahiran hidup dan angka kesakitan 34/1000
angka kelahiran hidup. Menurut perkiraan WHO, angka kesakitan pada periode awal
neonatus (0-6 hari) yaitu 78% dari seluruh angka kesakitan neonatus pada 28 hari pertama
setelah kelahiran pada tahun 2000. Prematur merupakan satu dari penyebab utama kematian
bayi baru lahir. Data yang didapat dari Kementrian Kesehatan untuk BBLR rata-rata sekitar
17% dengan 51% kematian di Rumah Sakit pada tahun 2004 adalah karena BBLR.
PMK sudah diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1990 dan sudah di praktekkan di
beberapa jumlah RS, terutama RS pendidikan. Organisasi profesional seperti Perinasia
berperan dalam membangun PMK dan menjaga program ini berlangsung. Beberapa studi
telah dilakukan untuk keamanan dan penerimaan PMK. Bagaimanapun, hasil penelitiannya
masih belum dijadikan sebagai kebijakan nasional. Oleh karena itu, dibutuhkan identifikasi
untuk memperkuat pelaksanaan PMK di RS, dimana ia sudah di praktekkan dan diperluas
hingga ke RS lain.

TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan intervensi yang dilakukan
antara Januari dan Juni 2010. Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
cakupan PMK dengan cara memperkuat pelaksanaan PMK di beberapa RS dan
memperkenalkan PMK sebagai praktek terbaru di beberapa Rumah Sakit.

METODE
18 bulan sebelum intervensi RSCM Jakarta dan RS Dr Soetomo Surabaya
dikembangkan sebagai pusat pelatihan dan praktek PMK diperkuat. 8 RS lain dari DKI
Jakarta, Jawa barat dan Jawa Timur juga di rekrut untuk berpartisipasi dalam intervensi PMK.
RS ini terdiri dari 2 RS provinsi, 4 RS daerah, 1 RS Bersalin dan 1 RS Ibu dan Anak.
Intervensi ini terdiri dari 4 komponen : Penilaian awal, Pelatihan Profesional
Kesehatan, 2 kali pengawasan atau pelatihan kunjungan pada masing-masing RS dan
Penilaian akhir. Berikut merupakan jadwal pengembangan intervensi :
Bulan 1-2
Fase 1 :

Bulan ke-2
Fase 2 :

Bulan ke-3
Workshop

Penilaian awal

3 training

PMK

2 pengawasan kunjungan ke Penilaian akhir (10

(10 Rumah

workshop

nasional

masing-masing RS
Pengumpulan data pasien

Sakit)

Bulan ke 3-5
Fase 3 :

Bulan ke-6
Fase 4 :
Rumah Sakit)
Feedback
workshop

Penilaian awal (Januari dan Februari 2010)


Penilaian awal dilakukan untuk memperoleh gambaran awal dari praktek perawatan
bayi baru lahir yang mungkin memfasilitasi atau menghambat pelaksanaan PMK di RS
proyek. Informasi yang diperoleh terkait hal berikut : Sifat dari fasilitas kesehatan, fasilitas
untuk bayi baru lahir, Status Ibu dan Bayi, status pelaksanaan PMK, Pemberian makan dan
pemantauan BB, dokumentasi dan catatan pasien, Follow up sistem, dan masalah staff.
3 Training workshop (Februari 2010)
Workshop dilakukan selama 5 hari, dihadiri oleh 4 delegasi dari masing-masing RS,
serta perwakilan resmi dari setiap provinsi dari RS tersebut berada sehingga jumlah peserta
menjadi 43. Kunci dari pelatihan adalah pengembangan rencana oleh masing-masing RS,
yang akan digunakan sebagai peta jalan untuk memantau kemajuan dan beradaptasi selama
intervensi.
2 Pengawasan Kunjungan (Maret dan Mei 2010)
Selama periode ini masing-masing RS mendapat kunjungan dari anggota Perinasia.
Catatan kualitatif dari kunjungan tersebut didokumentasikan pada template yang dirancang
khusus untuk tujuan ini. Kunjungan bangsal dilakukan untuk mengamati bayi dalam program

PMK dan melihat catatan utama serta pedoman. Kunjungan juga digunakan untuk
mewawancarai Ibu mengenai pengalamannya tentang PMK dan untuk memantau
keterampilan PMK dari anggota staff.
Penilaian Akhir (Juni 2010)
Penilaian akhir terdiri dari 2 komponen utama. Pertama, seluruh RS diambil sebagai
indikator kunci pada formulir pemantauan standar PMK (buku pemantauan) untuk masingmasing pasien yang menerima PMK selama periode Maret hingga Mei 2010. Kedua,
kemajuan pelaksanaan PMK diukur dengan menggunakan alat ukur standar pemantauan
kemajuan, yang mencakup riwayat pelaksanaan PMK, tipe PMK yang dipraktekkan,
keterlibatan peran yang berbeda, sumber daya dan ruang, observasi PMK, dokumentasi PMK,
promosi kesehatan, serta orientasi staff dan pelatihan PMK. Hasil penilaian akhir akan
dilaporkan dimanapun.

HASIL
Selain 2 RS sudah bertindak sebagai training center, 2 RS lain sudah menerapkan
pelaksanaan PMK saat intervensi. 344 Bayi menerima PMK pada 10 Rumah sakit peserta
selama periode intervensi (Maret-Mei 2010). Total 136 bayi menerima PMK di 2 pusat
pelatihan dan 208 bayi menerima PMK di 8 RS sisanya. 208 bayi di RS terakhir terdiri dari
21% dari total 979 BBLR di RS selama periode tersebut.
Kemajuan pelaksanaan yang luar biasa diamati antara kunjungan pertama dan kedua.
Beberapa RS malah sudah mempunyai ruangan khusus dan peralatan untuk PMK lanjutan.
Sedangkan di beberapa RS lain pembelian peralatan sudah disetujui oleh pihak manajemen
RS. Orientasi dan pelatihan untuk melakukan PMK dirumah, edukasi, pemanfaatan leaflet,
brosur dan poster sudah dilakukan. Salah satu dari tujuan kunjungan adalah untuk memantau
hambatan yang dialami oleh tim PMK di RS dan membantu untuk memberikan solusi.
Hambatan utama yang diterima adalah pencatatan, Sumber daya manusia, masalah keluarga
bayi, serta follow up dari bayi-bayi tersebut.
Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan PMK berasal dari data kualitatif yang
tersedia. Faktor tersebut meliputi : tempat, karakteristik RS, dukungan dari manajemen RS,
penyedia kesehatan di lapangan, sumber daya, dan juga pasien, keluarga serta masyarakat.

Komitmen pemerintah pusat dianggap sebagai suatu faktor pendukung, sedangkan


pemahaman yang sama, komitmen di tiap daerah, kabupaten atau kota dianggap sebagai
tantangan yang ada. Faktor lainnya dianggap sebagai pendukung seperti : pengalaman RS
tentang PMK sebelum dimulainya intervensi, keputusan dan SOP PMK di tingkat RS,
dukungan dan komitmen manajemen RS, serta penerimaan dan komitmen staff dan kerja
sama tim.
Faktor yang termasuk dukungan operasional meliputi kompetensi dan pengalaman
anggota, pelatihan anggota, kemampuan mengintegrasi PMK pada praktek perawatan bayi
baru lahir dan juga penerimaan serta pemahaman PMK dari pihak keluarga. Untuk ruangan
dan ketersediaan alat, beberapa RS menganggap sebagai faktor pendukung dan beberapa
lainnya menganggap sebagai suatu hambatan. Masalah staff dianggap sebagai suatu
tantangan, dengan jumlah staff, beban kerja dan jadwal rotasi dari anggota.
Hambatan utama yang ditemukan adalah kurangnya akses untuk melakukan
perawatan bayi dengan berat badan lahir rendah. Sejumlah besar bayi yang dipulangkan atas
saran medis, sulit untuk kembali lagi ke RS untuk melakukan PMK lanjutan dan follow up.
Untuk melakukan perawatan yang baik diperlukan ruangan khusus di perinatologi untuk
melakukan pemeriksaan lanjut dan follow up yang tidak bisa dilakukan di klinik rawat jalan.
Hambatan yang dikemukakan keluarga berupa jarak, biaya kesehatan, adanya anak lain yang
harus diurus dirumah, Ibu tidak mengerti tentang konsep PMK, adanya Ibu yang tidak
menyetujui untuk menyusui anaknya.

PEMBAHASAN
Ketika dibandingkan dengan program di negara lain, kerangka waktu proyek ini lebih
singkat dan di negara lain seperti Afrika Selatan pelaksanaan paling tidak berlangsung 6-8
bulan, kemudian kunjungan pengawasan paling tidak dilakukan sebanyak 3 kali dengan jarak
antar kunjungan yang tidak terlalu dekat. Hambatan yang dihadapi RS sama dengan
pengalaman di beberapa negara berpenghasilan rendah, institusi pribadi dan program
pengembangan PMK. Hambatan yang ditemui yaitu penemuan ruangan dan fasilitas untuk
melanjutkan PMK. Pentingnya manajemen RS yang baik, serta kerja sama dengan struktur
provinsi atau kabupaten juga ditekankan di penelitian lain.

Kesulitan lainnya yaitu meminta staff kesehatan untuk melengkapi lembar follow up
yang dianggap penting. Ketika PMK diperkenalkan selalu ada pertanyaan tentang
keterlibatan Sumber Daya Manusia, dan ketakutan tenang beban kerja yang lebih. Satu dari
hambatan utam alain yang terlihat di studi ini yaitu pelayanan follow up untuk pasien bayi
BBLR yang sudah keluar RS yang harus tetap datang ke RS. Secara keseluruhan PMK
terlihat dapat diterima dengan baik di kebanyakan RS. Secara umum anggota staf yaitu
dokter, perawat, bidan dan staf administrasi bertanggapan positif tentan PMK.
Melihat lagi dari keseluruhan intervensi, pelajaran yang harus diambil untuk memulai
skala proses di rumah sakit meliputi :
Pertama, Advokasi dan orientasi yang lebih baik diperlukan sebelum memulai program PMK,
yaitu dalam mempersiapkan ke kantor dinas kesehatan, anggota DPRD, manajemen RS yang
berperan dalam mendukung pelaksanaan program dan membantu dengan menggelarnya di
masyarakat.
Kedua, Persiapan besar yang lebih terstruktur dan lebih banyak diskusi tentang intervensi
dengan manajer RS diperlukan bila PMK diperkenalkan sebagai suatu sistem kesehatan RS
termasuk diskusi lebih spesifik pada masalah infrastruktur, SDM, serta data tambhaan tentang
aktifitas yang dibutuhkan dalam pemantauan.
Ketiga, upaya yang lebih terpadu harus dilakukan untuk mengintegrasi program PMK
menjadi komponen yang sangat diperlukan institusi, seperti manajemen laktasi atau komponen
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai