PENDAHULUAN
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah
peradangan pada selaput otak, yang sering disebut sebagai meningitis. Meningitis merupakan
penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang. Bayi, anak-anak, dan
dewasa muda merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena
meningitis. Di Inggris, dilaporkan bahwa 3000 orang terkena meningitis setiap tahunnya, baik
dewasa maupun anak-anak. Dilaporkan juga bahwa satu dari sepuluh orang yang menderita
meningitis akan meninggal, dan sisanya akan sembuh dengan meninggalkan kecacatan.
Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya meningitis, diantaranya infeksi virus,
bakteri, dan jamur. Sebab lain adalah akibat trauma, kanker, dan obat-obatan tertentu.
Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang belakang, sehingga
dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran bahkan kematian
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya
gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai
peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS) yang disebabkan oleh
bakteri, virus, atau protozoa, yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Berdasarkan
durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut
memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan
meningitis kronik memiliki onset dan durasi bermingu-minggu hingga berbulan-bulan.
Pada banyak kasusu, gejala klini meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya
sangat bervariasi.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdarakan perubahan yang terjadi pada
cairan otak yaitu meningtis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai
dengan jumlah sel dan protein yang meningkat disertai carian serebrospinal yang jernih.
Penyebab yang peling sering dijumpai adalah kuman tuberculosis dan virus. Meningitis
purulenta atau meningtis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus.
Meningitis meningococcus merupakan meningitis purulenta yang sering terjadi.
Menigitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piamater, araknoid
dan dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang
superfisial. Sedang yang dimaksud Menigitis Purulenta adalah infeksi akut selaput otak
yang disebabkan oleh bakteri dan menimbulkan rekasi purulent pada cairan otak.
Penyakit ini lebih sering di dapatkan pada anak dari pada orang dewasa.
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan lapisan selaput otak yang mengalami radang maka menigitis dibagi menjadi
1. Pakimeningitis
: yang mengalami radang adalah durameter
2. Leptomenigitis : yang mengalami radang adalah araknoid dan piamater.
dapat
menghasilkan
immunoglobulin
protease
yang
mereka.
Bloodborne
bacteria
dapat
menjadi
fleksus
koroideus
Multiplikasi
Penyebaran hematogen
Meningens
Membentuk tuberkel
Meningitis
Terjadi
peningkatan
inflamasi
granulomatus
di
leptomeningen
dari lesi genital menuju sacral nerve roots menuju meningens. Dari situ, HSV-2
menjadi fase laten dan meunggu untuk reaktivasi menjadi episode aseptik
meningitis.
4. Mengitis karena jamur
Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif yarag
ditemukan, namun dengan meningkatnya pasien dengan gangguan imunitas,
angka kejadian meingitis jamur semakin meningkat. Probelm yang dihadapi oleh
para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang efektif. Sebagai contoh,
jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit/infeksi dan
jamur tidak sering ditemukan dalam cairan serebrospinal. Pasien yang terinfeksi
oleh karena jamur hanya dapat ditemukan dalam beberapa hari sampai minggu
pertumbuhannya. Etiologi dari meningitis jamur adalah Crytococcuc neoformans
dan Coccidioides immitris.
Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu : meningitis
kronis, vaskulitis dan invasi parenkimal. Pada infeksi Cryptococcal jaringan
menunjukan adanya meningitis kronis pada leptomeningen basal ayang dapat
menebal dan mengeras oleh rekasi jaringan penyokong dan dapat mengobstruksi
aliran likuor dari foramen luschka dan magendi sehingga terjadi hidrosefalus.
Pada jaringa otak terdapat substansia gelatinosa pada ruang subaraknoid dan kista
kecil di dalam parenkim yang erletak terutama pada ganglia basalis pada
distribusi arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri dari agregrasi atau gliosis.
Infiltrat meningens terdiri dari sel-sel inflamasi dan fibroblast yang bercampur
dengan Crytococcus. Bentuk granuloma tidak sering ditemukan, pada beberapa
kasus terlihat rekasi inflamasi kronis dan rekasi granulomatosa sama dengan yang
terlihat pada Mycobacterium tuberculosa dengan segala bentuk komplikasinya. 5
C. FAKTOR PEDISPOSISI
Beberapa keadaan merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya mengitis purulenta,
yaitu :
1. Sepsis
2. Kelainan yang berhubungan dengan penekanan rekasi imunologik misalnya
agamaglobulinemis
3. Pemirauan ventrikel (Ventrikulo peritonel shunt) pada hidrosefalus
4. Pungsi lumbal dan anasthesia spinal
5. Infeksi parameningeal
Bila terdapat meningitis purulenta yang sering kambuh, harus dipikirkan keadaankeadaan tersebut diatas.
8
D. ETIOLOGI
Tiap organisme yang masuk kedalam tubuh mempunyai kesempatan untuk
menimbulkan meningitis. Terdapat bakteri-bakteri
E. PATOLOGI
Perubahan patologik pada semua jenis meningitis purulenta adalah sama. Pada
stadium dini satu-satunya kelainan yang dilihat adalah pembendungan pembuluhpemubuluh darah otak yang superfisial dan pembuluh-pembuluh darah pada piamater
serta pembesaran plesus koroideus. Kemudian timbul eksudat pada ruang subaraknoid,
permukaan otak. Eksudat yang purulen bisa juga terdapat pada ventrikel, ruang
subaraknoid medula spinalis sepanjang otak dan saraf spinalis. Setelah beberapa minggu
terjadi pelebaran ventrikel, sering pula terjadi sembab otak yang bila hebat dapat
menyebabkan herniasi jaringan otak.
Secara mikroskopik tampak subaraknoid terisi fibrin dan eksudat purulen yang
sebagian besar mengandung leukosit PMN dan sedikit limfosit serta monosit.
Sebagian besar pembuluh-pembuluh darah melebar, di dalam beberapa diantaranya
terbentuk trombus, sedang yang lainnya pecah. Kuman dapat ditemukan didalam dan
diluar leukosit.
Radang dapat pula mengenai pleksus koroideus dan ependim yang melapisis ventrikel
serta terus meluas sampai ke jaringan subependim. Pada neonatus ventrikel dapat
menjadi sumber bakteri.
F. PATOFISIOLOGI
Meningitis pada umunya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau
jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput
otak, misalnya pada penyakit faringitis, tonsilitIs, pneumonia, bronchopneumonia dan
endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya abses otak,
otitis media, mastoditis, trombosis sinus kavernosus dan sinusitis. Penyebaran kuman
bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedak otak.
Invasi kuman-kuman kedalam ruang subaraknoid menyebabkan reakasi radang pada pia
dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subaraknoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat
yang
terbentuk
terdiri
dari
dua lapisan,
bagian
luar
mengandung
leukosit
10
Kerusakan neurologis
Selain darai adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, masuknya kuman
juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang peah. Penyebab
lainnya adalah rhinorhea, atorhea pada basis kranial yang memungkinkan kontaknya
CSS dengan lingkunganluar.
(perkontuinatum).
Lewat aliran darah pada keadaan sepsis (hematogen)
Penyebaran dari abses ekstradural, abses subdural dan abses otak.
Lamina kribrosa osis ethmoidalis pada keadaan rhionora.
Penyebaran dari radang paru (Pneumonia)
G. GEJALA KLINIS
Keluhan utama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk dan
punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot
ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala
tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun. Tanda
kernigs dan Brudzinky positif.
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi,
muntah, kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospnal
(CSS) melalui pungsi lumbal.
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa
sakit pada penderita tidak terlalu berat. Pada umunya, meningitis yang disebabkan oleh
Mumpsvirus
11
Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit
kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam
makolapapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas.
Gejala yang tampak pada meningtis Coxsakie virus yaitu tampak lesi vesikuler pada
palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit
kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi
dan konstipasi, biasanya selau ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang
dialami lebih kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus influenza, 25% oleh
Streptococcus
pneumoniae, 21%
oleh
sterptococcuc, dan
10%
oleh
infeksi
Meningococcus. 8
Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan
bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat,
malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau
purulen.
Meningitis tuberkulosis terdiri dari tiga stadium :
1. Stadium I atau stadium prodromal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan
nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung,
berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggua
dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang
hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri
punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
2. Stadium II atau stadium transis berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepela yang hebat dan
kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda ransangan
meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda
peningkata intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.
3. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan
kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meinggal dunai dalam
wakt tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.
Pemeriksaan ransangan meningeal
1. Pemeriksaan kaku kuduk
12
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan
rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak
dapat disentuh ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi
kepala.
2. Pemeriksaan tanda kernigs
Pasien berbaring terlentang diluruskan tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada
sendi panggul kemudain ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin
tanpa rasa nyeri. Tanda kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai
sudut 1350 (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri.
3. Pemeriksaan tanda brudzinski I
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan
cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.
4. Pemeriksaan tanda brudzinski II
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif pada paha sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada sendi panggual dan lutut kontralateral.
Selanjutnya untuk memastikan diagnosis meningitis dilakukan pemeriksaan
mikroskopik likuor serbrospinal yang didaptkan dengan pungsi lumbal pada saat pasien
masuk rumah sakit. Diagnosis dapat diperkuat dengan hasil positif pemeriksaan langsung
sediaan berwarna dibawah mikroskop dan hasil biakan. Namun hasil negatif dari dua
jenis pemeriksaan tersebut tidak merupakan indikasi kontra terhadap pengobatan secara
meningtis purulenta. Pada pemeriksaan cairan likuor serebrospinalis biasanya
didapatkan:
1. Tekanan cairan otak meningkat diatas 180 mmH2O
2. Cairan likuor mulai dari keruh sampai purulent, bergantung pada jumlah
selnya.
3. Jumlah leukosit meingkat antara 1000-10.000/ml, dan 95% terdiri dari sel
PMN, setelah pengobatan dengan antibiotika perbandingan jumlah sel MN
terhadap sel PMN meningkat.
4. Kadar protein meingkat, biasanya diatas 75/100 ml, kadang-kadang sampai
500mg/100ml atau lebih.
5. Kadar gula menurun biasanya lebih rendah dari 40mg/100ml
6. Kadar klorida menurun kurang darai 700mg/100ml
13
pergeseran kekiri.
3. Pemeriksaan eketrolit darah
Gangguan elektrolit sering
terjadi
karena
dehidrasi.
Disamping
itu
yang melebar pada anak perlu dicurigai adanya efusi subdural atau abses otak.
Scan tomografi pada meningitis purulenta mungkin akan menunjukan adanya
sembab otak dan hidrosefalus. Scan tomografi ini akan berguna untuk
mengetahui adanya komplikasi seperti abses otak atau efusi subdural.
5. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan dengan elektroensefalografi akan menunjukan perlambatan yang
menyeluruh di kedua hemisfer dan derajatnya sebanding dengan beratnya
radang.
H. KOMPLIKASI
1. Subdural effusion
Terjadi 30% pada anak-anak. Terutama pada anak umur kurang dari 2 tahun. Keadaan
ini dapat menimbulkan kompresi sehingga mengakibatkan pergeseran atau
mendesakan substanis otak. Sebagian besar asimptomatik, hanya dapat diagnosis
melalui Transluminasi, USG dan lain-lain.
Gejala :
- Febris
- Fontanel cembung
- Lingkar kepama membesar
- Penurunan kesadaran
- Papiledema
2. Lesi saraf kranial
Saraf otak yang paling sering terkena adalah N.VIII 8-24% mengalami tuli permanen.
Selain itu yang sering adalah lesi pada N.VI dan N.III
3. Cerebral Infark
Disebabkan oleh trombophlebitis atau arteritis. Trombosis dari vena-vena kecil di
daerah kortikal meinmbulkan infark dan secara klinis timbul gejala neurologis fokal
seperti hemiparese atau kejang. Oklusi arteri besar intrakranial dapat terjadi, dan
puncaknya pada hari ketiga dan ke empat.
4. Kejang
Komplikasi kejang terjadi pada 20%-50% kasus. Bentuk kejang dapat fokal atau
umum. Sering terjadi pada hari kedua sampai hari ke tiga. Patogenesa dari kejang ini
tidak diketahui. Kejang dapat disebabkan keran toksik atau sekunder terhadap adanya
vaskulitis, iritasi kortikal, panas, gangguan elektrolit atau proses immunologis.
5. SIADH
Hiponatremi dapa terjadi pada 20% kasus meningitis pada anak-anak. Pada beberapa
kasus berhubungan dengan pemebrian cairan yang berlebihan, dan yang lain
berhubungan dengan adanya gangguan pengeluaran hormon antidiuretik oleh
hipotalamus (innappropiate antidiuretics hormone)
6. Gangguan intelektual
15
Dari beberapa kasus dilaporkan pada sejumlah anak setelah mengalami meningitis
purulenta ditemukan bahwa mereka mempunyai tingkat kepandaian yang rendah
7. Hidrosefalus
Tejadi akibat sumbatan pada jalannya atau resrbsis atau produksi likuor
serebrospinalis yang berlebihan.
8. Gejala neurologis sisa (sequelle)
Dapat berupa paresis atau paralisis sampai deserebrasi (hilangnya fungsi otak)
I. DIAGNOSA BANDING
1. Perdarahan subaraknoid
2. Meningitis viral
3. Meningitis tuberkulosa
4. Meningitis karena jamur
5. Abses otak
Test
Meningitis purulenta
Meningitis serosa
Meningitis virus
(bakterial )
(tuberkulosa)
Tekanan likuor
Meningkat
Bervariasi
Biasanya normal
Warna
Keruh purulent
Xanthochromia
Jernih
Jumlah sel
1000 / ml
Bervariasi
<100 / ml
Jenis sel
Predominan PMN
Predominan MN
Predominan MN
Kadar proteni
Sedikit meningkat
Meningkat
Normal / meningkat
Kadar glukosa
Normal / menurun
Rendah
Biasanya normal
Kadar klorida
Menurun < 700mg/dl
menurun
Normal
J. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan umum
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Mula-mula ciaran diberikan secara infus dalam jumlah yang cukup dan jangan
berlebihan.
c. Bila gelisah diberi secativa seperti Fenobarbital atau penenang
d. Nyeri kepala diatasi dengan analgetika
e. Panas diturunkan dengan :
- Paracetamol
- Asam salisilat
f. Kejang diatasi dengan
- Diazepam
Dewasa
: dosisnya 10-20 mg IV
Anak
: dosisnya 0,5 mg/kg BB IV
- Fenobarbital
Dewasa
: dosisnya 6-120 mg/hari secara oral
Anak
: dosisnya 5-6 mg/kgBB/hari secara oral
- Difenil hidantoin
Dewasa
: dosisnya 300 mg/hari secara oral
Anak
: dosisnya 5-9 mg/kgBB/ hari secara oral
g. Sumber infeksi yang meinbulkan meningitis purulenta diberantas dengan obatobatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intrakranial diatasi dengan :
16
Manitol
Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan sosi pertama 10mg lalu
Bila dilakukan kultur dan bakteri penyebab dapat ditemukan, biasanya antibiotik
yang digunakan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini :
No
1.
2.
3.
4.
5.
Kuman penyebab
H. influenza
S. pneumoniae
N. meningitidis
S. aureus
S. epidermitis
Enterobacteriaceae
Pilihan pertama
Ampisillin
Penisillin G
Penisillin G
Nafosillin
Alternatif lain
Cefotaksim
Kloramfenikol
Kloramfenikol
Vancomisin
Ampisillin bila
sensitif dan atau
Sefotaksim
ditambah
aminoglikosida secara
itrateca
6.
7.
8.
9.
Pseudomonas
Streptococcus Group
Pipersillin +
Tobramisin
Penicillin G
A/B
Streptococcuc Group
Ampisilin +
Gentamisin
L Monocytogenes
Ampisilin
Sefotaksim
Vankomisin
Trimetroprim
sulfametoksasol
K. PROGNOSIS
18
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Baozier F, Anggraeni R, Hartono P. Pedoman Diagnosis dan terapi UPF Ilmu Penyakit
2.
3.
4.
5.
6.
19
20