Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pendahuluan
Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi D.A.,
misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu lebih tinggi, penghasilan
meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan
antibiotik, berpotensi menaikkan penderita D.A. sedangkan rumah yang
berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin
belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi
kemungkinan timbulnya D.A., pada kemudian hari.
D.A. cendeung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari
seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami D.A. pada masa
kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi,
lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2
tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi.
Risiko mewarisi D.A. lebih tinggi bila ibu yang menderita D.A.
dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A. yang dialami berlanjut
hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama
saja yaitu kira-kira 50%

Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis D.A., misalnya


faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik.

Konsep dasar terjadinya D.A. adalah melalui reaksi imunologik, yang


diperantarawi oleh sel sel yang berasal dari sumsum tulang.
Kadar IgE dalam serum penderita D.A. dan jumlah eosinofil dalam
darah perifer umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara
sistemik antara D.A. dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan
D.A. mengalami asma bronkial atau rinitis alergik

Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL3, IL-4 IL-13, dan GM-CSF, yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi
gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresi D.A. perbedaan
genetik aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi D.A. ada
hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dan
D.A., tetapi tidak dengan asma bronkial atau rinitis alergik. Varian genetik
kimase sel mas, yaitu serine protease yang diekskresi oleh sel mas di kulit,
mempunyai efek spesifik pada organ, dan berperan dalam timbulnya D.A.

Dermatofitosis telah mendapat perhatian sejak dahulu kala. Orang Yunani


memberi nama herpes (ring) oleh karena bentuk kelainan pada kulit tidak
berambut dan kulit kepala merupakan bentuk lingkaran yang makin lama makin

besar. Orang Romawi menghubungkan istilah ini dengan larva cacing (worm)
dalam bahasa Inggris melahirkan istilah ringworm, dimana istilah tersebut telah
lama ditinggalkan setelah diketahui organisme penyebabnya adalah jamur. 2,3
Dermatofitosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi terjadinya, yaitu:
1) Tinea kapitis pada kulit dan rambut kepala; 2) Tinea barbe pada dagu dan
jenggot; 3) Tinea kruris pada genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadangkadang sampai perut bagian bawah; 4) Tinea pedis et manum pada kaki dan
tangan; 5) Tinea unguium pada kuku jari tangan dan kaki; 6) Tinea korporis pada
bagian lain yang tidak termasuk bentuk tinea di atas. 1,2

1.2 Definisi
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang kronis, dan sering kambuh
yang ditandai dengan inflamasi umum yang terutama terdapat pada anak-anak.
Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum
serta adanya riwayat alergi dalam keluarga. Dermatitis berasal dari bahasa Yunani,
yang dimana derma itu artinya kulit dan itis yang berarti inflamasi (Atopic
dermatitis natural history)
1.3 Epidemiologi
Meskipun diterima bahwa dermatitis atopik adalah penyakit yang umum,
angka kejadian yang tepat sulit diprediksi karena berbagai macam metode sudah
digunakan. Seperti contoh beberapa penelitian memiliki informasi murni
berdasarkan hasil kuesioner, studi-studi lain telah menggunakan pemeriksaan
klinis oleh ahli kulit untuk melengkapi dan mengkonfirmasi data dari wawancara
dan kuesioner. Secara keseluruhan, dari data penelitian ISAAC dan banyak

penelitian lain bahwa eksim atopik yang paling umum terjadi di negara bagian
barat. Di Norwegia anak-anak dengan usia 7-13 tahun, angka prevalensinya
19,7%, di Jerman dan Swedia 13,1% dan 15,5%, Di Inggris, prevalensi pada anakanak 3 sampai 11 tahun ditemukan 11,5-14%
Patogen penyebab tersering di dunia adalah T. rubrum, sebanyak 47%
kasus tinea corporis. Dan M. canis menempati urutan ketiga dengan 14% kasus
tinea korporis. Infeksi dermatofita tidak menimbulkan mortalitas yang signifikan,
namun berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita.4
1.4 Etiologi
Penyebab tersering dari tinea korporis adalah Microsporum canis, T.
rubrum dan T. mentagrophytes. Epidermophyton sp juga dapat menyebabkan tinea
korporis. 2
1.5 Penularan
Dermatofita dapat menginfeksi manusia dengan berbagai cara yaitu :
1. Dari manusia ke manusia (Antropofilik), menyebar melalui kontak
langsung dengan penderita dimana kulit orang yang terinfeksi akan
menularkan ke kulit orang yang sehat pada orang lain.
antropofilik

(E.

flocossum,

M.

audouinii,

M.

Spesies

ferrugineum,

T.

mentagrophytes) mengakibatkan reaksi radang ringan dan kronis atau


kambuh-kambuhan. 5
2. Dari hewan ke manusia (Zoofilik), menyebar karena ada hubungan
langsung dengan binatang khususnya hewan peliharaan dan juga pada
hewan ternak.

Spesies zoofilik (M. canis pada anjing dan kucing, T.

mentagropytes pada binatang pengerat) mengakibatkan reaksi radang hebat


/ akut, sembuh jarang kambuh. 3,5
3. Benda ke manusia, menyebar secara kontak langsung dengan benda-benda
yang sebelumnya mungkin telah disentuh oleh orang yang terinfeksi,
misalnya: pakaian, handuk, sikat gigi, dll. 2
3. Tanah ke manusia (Geofilik), penyakit ini menyebar ke manusia melalui
kontak dengan tanah yang terinfeksi.

Spesies geofilik (M.gypseum)

mengakibatkan reaksi radang hebat/akut, sembuh jarang kambuh. 5


Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainankelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor, tempat infeksi, imunitas
penderita, rambut halus (vilus) folikelnya sebagai reservoir hingga sering kambuh.
Faktor predisposisinya adalah higien sanitasi yang jelek, daerah tropis, faktor
penyebab maserasi, sakit berat, penderita diabetes melitus, neurodermatitis,
leucorrhea. 5
1.6 Patogenesis
Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama. Yang pertama perlekatan
ke keratinosit, jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa
melekat pada jaringan keratin, salah satunya adalah asam lemak yang diproduksi
oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik. 6
Yang kedua penetrasi melalui ataupun di antara sel, setelah terjadi
perlekatan spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada
kecepatan yang lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu
oleh sekresi proteinase lipase dan enzim musinolitik yang juga menyediakan

nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke
jaringan. 6
Langkah terakhir perkembangan respon host, derajat inflamasi dipengaruhi
oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe
lambat atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT) yang diperantarai oleh cellmediated-immunity memainkan peran yang sangat penting dalam melawan
dermatofita. Respon inflamasi yang dihasilkan oleh tipe hipersinsitivitas lambat
berhubungan dengan perbaikan klinis, sedangkan bila respon ini tidak aktif akan
menghasilkan dermatofitosis kronik maupun berulang. 6
1.7 Gejala Klinis
Biasanya

penderita

merasakan

gatal,

terutama

bila

berkeringat.

Karakteristik penyakit ini berupa gambaran lesi tipikal yang anular, eritematosa,
papuloskuamous yang dapat berkembang cepat. Bentukan ringworm dapat kita
temukan yang merupakan cirri yang khas, biasanya berupa satu atau multipel
lingkaran lesi berbatas tegas dengan gambaran aktif di tepinya disertai timbulnya
bagian sentral yang lebih terang (central healing) oleh karena menipis dan terjadi
penyembuhan (Gambar 1.1). Bagian tepi lebih aktif dengan tanda peradangan
yang lebih jelas. Lesi ini mungkin saja meluas dan membentuk banyak lingkaran
dengan diameter dalam ukuran sentimeter. 2

Gambar 1.1
Tinea Corporis dengan central healing 6
(Schieke SM dan Garg A. Superficial Fungal Infection. Dalam Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine, 8th Edition Volume Two, New York, Mc Graw Hill Medical, 2012)

Lesi akut jarang berukuran lebih besar dari 4-5 cm. lesi-lesi ini berupa
papul dan pustula.bentuk dengan tanda radang yang begitu nyata, lebih sering
dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena umumnya mereka mendapat
infeksi baru pertama kali. Lesi kronis mungkin meliputi area yang luas dari kulit
walau jumlah lesi biasanya sedikit. Lesi tidak menunjukkan tanda-tanda radang
yang akut. 2
Kadang-kadang tinea korporis tipe pustular atau Majocchi granuloma
(gambar 1.2) menyerupai karbunkel atau kerion yang terjadi pada glabrous skin.
Lesi tipe ini adalah folikulitis jamur yang disebabkan T. rubrum atau T.
mentagrophytes yang menyebabkan infeksi rambut. Ini ditunjukkan sebagai
bentukan yang melingkar, timbul krusta dan granuloma dengan dasar yang tidak
teratur, pada folikel- folikel terdapat material purulen yang kental. Ini sering
terjadi pada tungkai depan bawah dan pergelangan tangan. Lesi-lesi sering tampak
di area yang tertutup dan daerah kulit yang sering dicukur.2,4

Gambar 1.2
Tinea Korporis tipe pustular 6
(Schieke SM dan Garg A. Superficial Fungal Infection. Dalam Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine, 8th Edition Volume Two, New York, Mc Graw Hill Medical, 2012)

1.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisik) dan pemeriksaan penunjang menggunakan lampu wood, secara
mikroskopis dan kultur jamur. Selain dari gejala yang tampak, diagnosis pasti
dapat dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik dengan membuat sediaan dari
kerokan kulit, rambut atau kuku yang dicat dengan KOH. Untuk menemukan
jamur dilakukan kerokan pada batas tepi lesi yang aktif yaitu di bagian tepi,
terlihat gambaran KOH yang positif pada gambar 1.3, yaitu tampak elemen jamur
yang dapat berupa hifa, spora, maupun miselium. Pemeriksaan tambahan yang
lain adalah dengan media kultur yang sesuai, pertumbuhan jamur dapat terlihat
dalam waktu 2 minggu dimana kita dengan mudah mengidentifikasi jamur pada
level genus.2

Gambar 1.3
Pemeriksaan KOH positif

(Schieke SM dan Garg A. Superficial Fungal Infection. Dalam Fitzpatricks Dermatology


in General Medicine, 8th Edition Volume Two, New York, Mc Graw Hill Medical, 2012)

1.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk penyakit ini adalah dermatitis numularis, pitriasis
rosea dan psoriasis vulgaris

2,4

juga impetigo, sifilis sekunder dan tersier, dan

dermatitis seboroik 4. Tabel 1.1 menyajikan perbedaan antara tinea korporis,


dermatitis seboroik, dan psoriasis vulgaris.
Tabel 1.1 Diagnosis Banding Tinea Korporis
Pitiriasis rosea7
Definisi

Psoriasis vulgaris 8

Dermatitis seboroik9

Tinea korporis6

Penyakit kulit yang

Penyakit yang

Kelainan kulit yang

Penyakit pada

belum diketahui

penyebabnya

didasari oleh faktor

jaringan yang

penyebabnya,

autoimun, bersifat

konstitusi dan

mengandung zat

dimulai dengan

kronik dan residif,

bertempat predileksi

tanduk, misalnya

sebuah lesi awal

ditandai dengan

di tempat-tempat

S.korneum pada

berbentuk bercak

adanya bercak-

seboroik

epidermis, rambut,

eritema dengan

bercak eritema

dan kuku yang

skuama halus.

berbatas tegas

disebabkan

dengan skuama

gol.jamur

kasar, berlapis-lapis

dermatofita.

dan transparan.

10

Epidemiolo Semua umur, t.u


gi

Etiologi

15-40 tahun
L=P
Belum diketahui

Semua umur,
umumnya
dewasa
L>P
Autoimun

Puncak umur 18-40


tahun
L>P
Belum diketahui

Semua umur
L=P

golongan dermatofit
Microsporum,
Trichophyton,
Epidermophyton.

Klinis

gejala konstitusi
Gatal ringan

Keadaan umum dbn Umumnya gatal pada


Gatal ringan
area seboroik, sifat

Gatal, terutama bila


berkeringat

kronik dan mudah


kambuh, berkaitan
dengan stres,
kelelahan, atau
paparan sinar
matahari
Efloresensi

Makula besar yang

Bercak eritema

Eritema dan skuama

Makula eritematosa

disebut Herald

(plak) dengan

yang berminyak agak

berbatas tegas terdiri

patch diikuti

skuama di atasnya

kekuningan, batas

atas skuama,

kurang jelas.

kadang-kadang

makula bulat
lonjong, searah

dengan vesikel dan

pelipatan kulit, tepi

papul di tepi. Daerah

meninggi dengan

tengahnya lebih

skuama kekuningan

tenang.

di atasnya dengan
gam baran
Cristmas tree
appearance
Predileksi

Khas pada tubuh

Scalp, perbatasan

tertutup pakaian

daerah tersebut

Area seboroik

kulit tubuh tidak


berambut

dengan muka,
ekstremitas bagian
ekstensor,
lumbosakral
Pmx

- Auspitz sign (+)

KOH: hifa bersepta

11

penunjang

- Karsvlek sign (+)

Gambar
Lesi

(Blauvelt A.
Pityriasis Rosea.
Dalam Fitzpatricks
Dermatology in
General Medicine, 8th
Edition Volume Two,
New York, Mc Graw
Hill Medical, 2012:
458-463)

(Gudjonsson JE &
Elder JT. Psoriasis.
Dalam Fitzpatricks
Dermatology in
General Medicine, 8th
Edition Volume Two,
New York, Mc Graw
Hill Medical, 2012:
197-218)

(Collins CD & Hivnor


C. Seborrheic
Dermatitis. Dalam
Fitzpatricks
Dermatology in
General Medicine, 8th
Edition Volume Two,
New York, Mc Graw
Hill Medical, 2012:
259-266)

(Schieke SM dan Garg


A. Superficial Fungal
Infection. Dalam
Fitzpatricks
Dermatology in
General Medicine, 8th
Edition Volume Two,
New York, Mc Graw
Hill Medical, 2012:
2313-2333)

1.10 Penatalaksanaan
Obat topikal merupakan pilihan yang utama dalam pengobatan penyakit
ini. Obat topikal yang ideal untuk dermatomikosis superfisial adalah yang
mempunyai spektrum antimikotik yang luas. Obat anti jamur topikal yang biasa
digunakan

adalah

golongan

imidazol

seperti

mikonazol,

ketokonazol,

sertakonazol, ekonazol, siklopiroks olamine yang merupakan obat-obat yang


cukup efektif. Obat anti jamur topikal dioleskan pada lesi sampai 2 cm di luar lesi
kulit yang tampak. Secara umum dioleskan sehari satu atau dua kali selama
minimum 2 minggu. Dapat juga diberikan salep whitfield sehari 2 kali. 2

12

Mekanisme kerja dari golongan imidazol ini adalah penghambatan sintesa


ergosterol

pada

14-alfa

dimethilassi

lanosterol,

sehingga

menghambat

permeabilitas membran sel jamur yang sensitif. Berspektrum luas dan fungistatik
terhadap kasus dermatofitosis, kandidiasis dan pitiriasis versikolor.2
Sertakonazol juga termasuk golongan imidazol yang mengandung gugusan
benzothiophen. Anti jamurnya berspektrum luas terhadap dermatofit, Candida,
Malassezia, dan bakteri gram positif. Mekanisme kerjanya sama dengan Imidazol
umumnya dan bersifat fungistatik. Gugus benzothiphen yang telah dijelaskan
mempunyai efek merusak membrane sel secara langsung sehingga juga bersifat
fungisidal terhadap jamur dermatofit dan kandida. Dioleskan satu kali sehari
selama tiga minggu atau dua kali sehari selama dua minggu. 2
Sedangkan golongan alilamin, kerjanya fungisidal dengan menghambat
enzim jamur 2,3-epoksidasi skwalene, sehingga kadar skwalene menumpuk yang
menyebabkan bersifat fungisidal primer dan kadar ergosterol menurun. Bentuk
topikal untuk jamur dermatofit dan C. parapsilosis bersifat fungisidal primer,
sedang bersifat fungiostatik untuk kandida yang lain dan Malassezia sp. Sediaan
yang ada adalah Naftifin HCl 1% krim dan lotion, Terbinafin 1% krim, Butenafin
1% krim.2
Pengobatan sistemik pada tinea korporis diindikasikan pada penderita
dengan lesi yang luas, tidak dapat mentoleransi obat-obat topikal, yang gagal
dengan pengobatan topikal, penderita dengan infeksi kronis dan pada penderita
dengan imunokompromais.2
Griseofulvin merupakan obat oral anti jamur yang pertama. Dosis pada
orang dewasa 500-1000 mg/hari. Sedangkan pada anak-anak 10-20 mg

13

mg/kgBB/hari. Lama pengobatan berkisar antara 2-6 minggu. Kira-kira 10% dari
pengguna obat ini akan mengalami sefalgia dan gangguan traktus digestivus
berupa nausea, vomitus dan diare. Gejala-gejala ini biasanya dapat dikurangi
dengan menurunkan dosisnya.2
Mekanisme kerja Griseofulvin belum jelas, dikatakan dapat berikatan
dengan keratin, sehingga menjadi resisten terhadap jamur, menghambat proses
mitosis jamur dan berhenti pada metafase hingga mempengaruhi pembelahan sel,
ada pula yang mengatakan bekerja langsung pada dinding hife (curling effect)
selain itu berfungsi sebagai vasodilator lemah dan menghambat kemotaksis
leukosit, termasuk anti keradangan dan imunomodulator. Sediaan ini bersifat
fungistatik hanya untuk dermatofitosis saja. Tidak dapat untuk jamur Candida dan
Malassezia.2
Obat anti jamur yang lebih baru dengan efektivitas yang lebih tinggi dan
masa pengobatan lebih pendek ialah ketokonazol, itrakonazol dan allolamin
(terbinafine). Dosis ketokonazol untuk dewasa adalah 200 mg/hari selama 2-4
minggu. Pada anak-anak di atas 2 tahun dosis yang diberikan 3-6 mg/kgBB/hari.
Efek samping dari obat ini adalah hepatotoksik. Obat oral ketokonazol digunakan
hanya untuk kasus-kasus yang tidak memberikan respons terhadap griseofulvin.
Dosis itrakonazol 100 mg/hari selama 2 minggu atau 200 mg/hari selama 1-2
minggu. Pada anak-anak diberikan 3-6 mg/kgBB/hari.2
Untuk membantu agar kesembuhan cepat tercapai dan tidak menulari
anggota keluarga yang lain perlu diberikan pengertian tentang cara penularan
penyakit ini. Menjaga kebersihan adalah hal yang utama dengan meningkatkan
kebersihan badan. Jangan menggunakan pakaian basah atau lembab, karena jamur

14

sangat menyukai tempat yang lembab. Menghindari pakaian yang tidak menyerap
keringat. Jangan memakai peralatan pribadi secara bersama-sama.2
Dengan terapi yang tepat banyak kasus tinea korporis dapat disembuhkan
dengan cepat tanpa meninggalkan jaringan parut. 2
1.11 Prognosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis diantaranya faktor: usia,
sistem kekebalan tubuh, dan perilaku keseharian penderita. Tinea korporis
merupakan salah satu penyakit kulit yang menular dan bisa mengenai anggota
keluarga lain yang tinggal satu rumah dengan penderita. Anak-anak dan remaja
muda paling rentan ditularkan tinea korporis. Disarankan untuk lebih teliti dalam
memilih bahan pakaian yang tidak terlalu ketat, tidak berbahan panas dan bahan
pakaian yang tidak menyerap keringat. Penularan juga dipermudah melalui
binatang yang dipelihara dalam rumah penderita tinea korporis.2
Faktor usia juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Semakin
bertambahnya usia, maka sistem kekebalan tubuh pun akan menurun, jadi lebih
beresiko dan mudah tertular suatu penyakit, termasuk tinea korporis.
Perkembangan penyakit tinea korporis dipengaruhi oleh bentuk klinik dan
penyebab penyakitnya, disamping faktor-faktor yang memperberat atau
memperingan penyakitnya. Apabila faktor-faktor yang memperberat penyakit
dapat dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat hilang sempurna. Tinea korporis
mempunyai prognosa baik dengan pengobatan yang adekuat dan kelembaban dan
kebersihan kulit yang selalu dijaga.2

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, dan Aisah S. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2010: 89-105
2. Handoyo HR, Abdullah B. Tinea Korporis. Dalam: Abdullah, B.
Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah Sakit. Surabaya:
Rumah Sakit Umum Haji Surabaya. 2009: 69-79
3. Graham-Brown R dan Burns T. Infeksi Jamur. Dalam: Lecture Note on
Dermatologi Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005: 32-41
4. James WD, Berger TG, dan Elston DM,. Disease Resulting from Fungi
and Yeasts. Dalam : Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology.
11th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Elsevier Company. 2011: 287-297
5. Suyoso S, Ervianti E, Zulkarnain I. Dermatofitosis. Dalam: Pedoman
Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi III.
Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Sutomo. 2005:59-67
6. Schieke SM dan Garg A. Superficial Fungal Infection. Dalam Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, 8th Edition Volume Two, New York,
Mc Graw Hill Medical, 2012: 2313-2333
7. Blauvelt A. Pityriasis Rosea. Dalam Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine, 8th Edition Volume Two, New York, Mc Graw Hill Medical,
2012: 458-463
8. Gudjonsson JE & Elder JT. Psoriasis. Dalam Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine, 8th Edition Volume Two, New York, Mc Graw Hill
Medical, 2012: 197-218
9. Collins CD & Hivnor C. Seborrheic Dermatitis. Dalam Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, 8th Edition Volume Two, New York,
Mc Graw Hill Medical, 2012: 259-266

Anda mungkin juga menyukai