TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Pustaka
proteinuria
berasal
dari
kebocoran
glomerulus
(proteinuria
glomerular). Filter kapiler glomerulus terdiri atas tiga lapisan, yaitu endotel,
membran basalis, dan sel epitel (podosit) dengan foot processes serta slit
diafragma. Glomerulus memiliki muatan negatif (charge selective barrier)
akibat adanya residu asam sialat pada glikokaliks yang melapisi epitel dan
endotel, serta adanya proteoglikan heparan sulfat pada membran basalis.
Muatan
negatif
sangat
berkurang
pada
penderita
SN
sehingga
Klasifikasi SN lebih
didasarkan pada respon klinik, yaitu SNSS dan SNRS. SN pada anak
85%-90% merupakan SNSS, hanya 10%-15% merupakan SNRS
(Niaudet, 1999), hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar populasi
anak penderita SN dapat terhindar dari prosedur invasif.
Kelompok SNRS adalah penderita yang tidak mengalami remisi
setelah diberikan terapi steroid dalam waktu empat minggu. Kelompok ini
terbagi atas dua kategori, yaitu resisten steroid primer dan resisten steroid
sekunder
(Niaudet, 1999;
Persentase
kelompok ini relatif kecil, tetapi dapat berkembang menjadi gagal ginjal
tahap akhir dalam waktu 1-4 tahun. Oleh karena itu prediksi terjadinya
resisten steroid menjadi isu yang penting (Niaudet, 1993).
Banyak hal yang berkaitan dengan prediksi resisten steroid pada
anak, walaupun demikian secara garis besar dibagi atas karakteristik klinis
dan histologis. Para klinisi cenderung menggunakan karakteristik klinis
untuk prediksi tersebut, misalnya umur saat presentasi pertama kali,
keberadaan hematuria dan atau hipertensi.
Umur saat presentasi pertama kali di bawah usia 1 tahun, setelah
usia 6 tahun atau setelah pubertas memiliki kemungkinan menjadi resisten
steroid. Kejadian SN tidak biasa terjadi pada tahun pertama kehidupan
tanpa penyakit ginjal ataupun anak dengan SN remisi (p<0,0001). Hal ini
menunjukkan bahwa rasio protein kreatinin urin pada pasien SNRS dapat
digunakan sebagai pedoman klinis respon terapi steroid.
glomerulus
yang
normal.
Edema
intrarenal
menyebabkan
mengalami penurunan
aktivitas
plasma
renin,
lebih
sering
Glomerulopati
iskemia
Angiotensinogen
Angiotensin I
Angiotensin II
Aldosteron
ADH
vasokonstriksi
Peningkatan
tonus otot polos
Penghambatan Na K
ATP ase
peningkatan intrasel Na
Hipervolemia
Cardiac output
meningkat
HIPERTENSI
Kerusakan
arteriol
Peningkatan
afterload
Kerusakan
vaskular
Nefrosklerosis
protein
atau
menyebabkan
perubahan
resisten
kuantitas
terhadap
reseptor
glukokortikoid.
Peneliti
Jumlah peserta
85 kasus/ 68 kontrol
35 kasus/115 kontrol
84 kasus/ 61 kontrol
IL-12 B
79 kasus/ 87 kontrol
IL-13
72 kasus/78 kontrol
Paraoxonase-1
55 kasus/ 30 kontrol
MIF
Bruschi, et al.,2003
14 pasien
39 pasien
Apolipoprotein E
MDR-1
NR3C1
Gambar 2. Struktur Gen MIF Manusia. Gen MIF mengandung tiga ekson pendek
(107, 172, dan 66 pasangan basa) dan dua intron (188 dan 94 pasangan basa).
Regio 5 mempunyai dua polimorfisme yaitu pada posisi -794 dan -173 (Calandra
dan Roger, 2003).
ekspresi
dan
kegunaan
fungsional.
Glukokortikoid
untuk
asupan
sodium
klorida
pada
orang
normal
dan
Hamm,
angiotensinogen
1999).
menjadi
Enzim
bentuk
renin
ini
dekapeptida
akan
yang
memecah
inaktif
yaitu
pada
jangka
panjang,
keadaan
ini
menyebabkan
terganggunya aliran darah renal (renal blood flow), retensi garam dan air,
proteinuria dan penurunan laju filtrasi glomerulus (Kaplan, 2006).
2.1.5 Angiotensin II sebagai Regulator MIF
Angiotensin II merupakan suatu peptida dan dapat mencapai
/bekerja pada ginjal melalui tiga jalur, yaitu 1) melalui sirkulasi darah; 2)
melalui konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dari aliran darah
yang terjadi pada sel endotelial ginjal, dan 3) melalui pembentukan lokal
angiotensin II di dalam ginjal. Organ target angiotensin II terletak di
adrenal, ginjal, otak, pituitary gland, otot polos vaskular, dan sistem nervus
simpatis (Gasparo et al., 2000) sehingga angiotensin II selain bekerja
pada organnya sendiri (autocrine hormone) dan organ yang berdekatan
(paracrine hormone) juga bekerja pada organ-organ yang jauh melalui
sirkulasi darah (endocrine hormone).
bermakna
dengan
PGK
(Kaplan
dan
pada
terjadi
peningkatan
tekanan
kapiler
glomerulus.
protein
pada
filtrat
glomerulus.
Protein
ini
akan
sebagai
mediator
hemodinamik
yang
menyebabkan
pada
perkembangan
hipertensi
(Busche
et
al.,2001).
makrofag menetap
di jaringan
Gambar 4. Struktur tiga dimensi MIF manusia (nomor identifikasi model molekul:
15670). Struktur terdiri dari 3 monomer, dimana setiap monomer terdiri dari dua
rantai yang dipisahkan oleh tiga rantai . Terminal monomer terdiri dari terminal
NH 3 (satu rantai ) dan terminal COOH (dua rantai ). Jadi konfigurasi setiap
monomer adalah (Arenberg dan Bucala,2003)
Efek
lain
MIF
adalah
mengatur
kesensitivan
terhadap
glukokortikoid. Hal ini menjadi dasar penelitian tentang MIF pada penyakitpenyakit kronik dengan glukokortikoid sebagai terapi utama (Aeberli et al.,
2006; Arenberg dan Bucala, 2003). Glukokortikoid menginduksi sekresi
MIF
glukokortikoid
terhadap
respons
imun
selular
nonimun
maka
MIF
bekerja
antagonis
terhadap
efek
dimulai ketika
glukokortikoid
berdifusi pasif
melalui
Kompleks
glukokortikoid-reseptor
bertranslokasi
ke
intisel
dalam
ikatan
kompleks
glukokortikoid
dengan
reseptor
et
al.,
2000).
Mekanisme
Glukokortikoid
MIF
Ikatan reseptor
glukokortikoid
Sitosol
MAPK
cPLA2
Inti sel
AP-1
NF-kB
IkB
Glukokortikoid respon
elemen
Gambar 5. Target Kerja Glukokortikoid dan MIF. Ikatan glukokortikoid dan
reseptornya bekerja di intisel dengan berikatan pada glukokortikoid respon
elemen. Penghambatan glukokortikoid terjadi apabila dijumpai 2 molekul utama
di sitosol/inti yaitu NF-kB dan AP-1. Keduanya diaktivasi oleh MIF.
penderita penyakit ginjal kronis dan pada orang dewasa normal (kontrol).
Hasilnya ditemukan bahwa median dan kisaran MIF serum pada pasien
penyakit ginjal kronis lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (676 [1188275] versus 433 [ 414-4707] pg/mL) (Bruchfeld et al., 2009).
Berbagai metode untuk terapi target MIF akan dan telah ditemukan,
walaupun demikian kegunaannya pada klinis terutama untuk penderita SN
masih terbatas. Walaupun struktur MIF telah lama dikenal, namun konsep
sitokin dan fungsi enzimatik MIF masih terus dikembangkan secara in vitro
/ in vivo untuk memperoleh strategi target MIF (Morand,Leech dan
penghambatan
enzim
tautomerase
dan
enzim
menggunakan
isothiocyanat
(sulforaphane),
yang
juga
Angiotensin II dengan
seperti TNF- dan IL-1 sehingga terjadi penarikan dan aktivasi leukosit ke
sel-sel intrinsik ginjal (Lan, 2008).Keseluruhan keadaan ini menyebabkan
terjadinya kerusakan ginjal (Gambar 6).
Pada individu dengan resisten steroid belum terdapat data
mengenai kadar serum MIF. Namun, penelitian yang menggunakan sel
kultur diperkirakan berhubungan dengan peningkatan angiotensin II. Lebih
50% protein MIF
dilepas
Steroid
Peningkatan MIF
TNF-
IL-1
Penarikan dan
aktifasi lekosit
Infark
myocard
Mikroalbu
minuria
LVH
Dilatasi
ventrikel
Makroalbu
minuria
Disfungsi
endotel
Hipertensi
ANGIOTENSIN II
Payah
jantung
Nefrotik
proteinuria
Peny.jantung
tahap akhir
PGK
2.2
albuminuria
(Herizi et
al.,1998).
Reabsorbsi albumin
2.3
masih
menjadi
pengobatan
utama
SN
dan
sel ke luar sel. Pada tingkat yang lebih tinggi (tingkat ekspresi gen)
angiotensin II mengatur regulasi gen MIF dan perkembangan hipertensi.
Penderita
SNRS
yang
mengalami
hipertensi
akan
terjadi
Hipotesis Penelitian
2.4.1
Frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak SNRS
daripada SNSS dan anak sehat (Premis 1,2).
2.4.2
2.4.3
Kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS daripada anak
SNSS dan anak sehat (Premis 5,6).
2.4.4
2.4.5
Faktor genetik
Kadar MIF
meningkat
Angiotensin II
meningkat
Infeksi/inflamasi
Kontrol syaraf
Mekanisme
pressure
diuresis natriuresis
Norepinefrin
Vasopressin
Peningkatan
tekanan filtrasi
kapilar
Efek antagonis
glukokortikoid
Gambaran
patologi anatomi
Hipertensi
SN RESISTEN
STEROID
Usia
Proteinuria
menetap
Hematuria
Gangguan struktur dan fungsi ginjal
Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian. Alel C merupakan faktor genetik pada individu yang dihubungkan dengan peningkatan kadar sitokin
MIF di sirkulasi dan reaksi antagonis pada glukokortikoid. Hal ini berkorelasi dengan kadar angiotensin II sistemik dan persistensinya
menimbulkan hiperfiltrasi/hipertensi glomerular serta peningkatan tekanan filtrasi kapilar. Peranan angiotensin II sistemik terhadap mekanisme
pressure-diuresis-natriuresis dan peningkatan tekanan filtrasi kapilar di samping kontrol saraf, merupakan faktor risiko resisten steroid
sehingga terjadi proteinuria menetap. Faktor lain yang perlu diwaspadai juga adalah infeksi/inflamasi, gambaran patologi anatomi, usia, dan
keberadaan hematuria. Hipertensi dan proteinuria menetap menimbulkan gangguan struktur dan fungsi ginjal (tubuloglomerular sklerosis)
dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan setelah awitan proteinuria.
Keterangan:
= kerangka kerja penelitian;
= hubungan langsung;
= hubungan tidak langsung