otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area
asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual (Ellis, 2006).
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh
garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus
temporal berperan penting dalam kemampuan 10 pendengaran, pemaknaan
informasi dan bahasa dalam bentuk suara (Ellis, 2006).
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini
berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis,
2006).
Setiap lobus masih bisa dibagi menjadi beberapa area yang punya fungsi
masing-masing.
Gambar 3. Cerebellum
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar
dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol
tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur.
Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah,
kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan
sakit kepala ketika bangun (CDC, 2004).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III dan
mengendalikan
emosi,
mengendalikan
hormon,
memelihara
homeostasis, rasa haus, rasa lapar, seksualitas, pusat rasa senang,metabolisme dan juga
memori jangka panjang (Sherwood, 2001).
Struktur limbik terdiri dari beberapa bagian yaitu:
1. Hipothalamus
Hipothalamus memegang peranan penting dalam aliran adrenalin, pusat emosi,
mengontrol molekul-molekul yang membuat seseorang merasa marah, atau tidak
senang. Hipothalamus adalah bagian otak yang berisi sejumlah nukleus kecil.
Hipothalamus terletak di bawah thalamus, tepat di atas batang otak. Hipotalamus
2. Dendrit
Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang-cabang. Dendrit
merupakan perluasan dari badan sel. Dendrit berfungsi untuk menerima dan
mengantarkan rangsangan ke badan sel.
3. Neurit (akson)
Neurit berfungsi untuk membawa rangsangan dari badan sel ke sel saraf lain.
Neurit dibungkus oleh selubung lemak yang disebut selubung myelin yang terdiri
atas perluasan membran sel Schwann. Selubung ini berfungsi untuk isolator dan
pemberi makan sel saraf. Bagian neurit ada yang tidak dibungkus oleh selubung
mielin. Bagian ini disebut dengan nodus ranvier dan berfungsi mempercepat
jalannya rangsangan.
Antara neuron satu dengan neuron satu dengan neuron berikutnya tidak
bersambungan secara langsung tetapi membentuk celah yang sangat sempit. Celah antara
ujung neurit suatu neuron dengan dendrit neuron lain tersebut dinamakan sinapsis. Pada
bagian sinapsis inilah suatu zat kimia yang disebut neurotransmiter (misalnya asetilkolin)
menyeberang untuk membawa impuls dari ujung neurit suatu neuron ke dendrit neuron
berikutnya (Iswari, 2010).
Gambar 6. Neuron
D. Neurotransmiter
Neuron-neuron di dalam otak membutuhkan neurotransmiter untuk dapat saling
berkomunikasi. Neurotransmiter merupakan senyawa kimia pembawa pesan yang
meneruskan informasi elektrik dari sebuah neuron ke neuron lain atau sel efektor. Sifat
neurotransmiter adalah sebagai berikut:
1. Disintesis di neuron presinaps
2. Disimpan di vesikel dalam neuron presinaps
3. Dilepaskan dari neuron di bawah kondisi fisiologis
4. Segera dipindahkan dari sinaps melalui uptake atau degradasi
5. Berikatan dengan reseptor menghasilkan respon biologis.
berperan
sebagai
transmiter
pada
sistem
penghantaran
neuromuskular,
menghubungkan saraf motorik pada otot. Myasthenia gravis adalah salah satu
penyakit
yang
disebabkan
oleh
tidak
adanya
reseptor
asetilkolin.
Para
penderita myasthenia gravis ini akan selalu mengalami kelelahan dan kelemahan otot.
2. Asam amino
Asam amino tidak hanya berperan sebagai penyusun protein saja, tapi
beberapa asam amino juga berperan sebagai neurotransmiter. Salah satu contohnya
adalah glutamat dan aspartat yang berperan sebagai sinyal eksitatori. Glutamate dan
aspartat ini berfungsi untuk mengaktifkan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Reseptor NMDA ini bermanfaat untuk neuron karena sangat berperan dalam proses
belajar dan perkembangan neuron. Walau bagaimanapun, jika terlalu banyak stimulasi
NMDA, akan terjadi kematian sel. Selain itu, gamma-aminobutyric acid (GABA) dan
glisin, juga berperan sebagai inhibitor dari neuron.
3. Catecholamines
Neurotransmiter yang termasuk dalam golongan ini adalah nor-epinefrin dan
dopamine. Norepinefrin berperan dalam belajar dan memori serta berperan dalam
mengontrol tekanan darah dan jantung. Salah satu fungsi dari dopamine
adalah mengontrol pergerakan. Sehingga para penderita Parkinsons disease yang
tidak mempunyai dopamin, mengalami berbagai gangguan pergerakan, seperti
kesulitan bergerak, tremor, dan kekakuan otot. Selain itu, dopamin juga berperan
dalam emosi psikologis dan kognitif. Dopamin juga berperan dalam mengatur sistem
hormonal.
4. Serotonin
Serotonin berperan dalam mengontrol berbagai tingkatan emosional. Serotonin
juga berperan dalam kontrol perasaan hari (mood), kegelisahan, depresi, dan lain
sebagainya. Obat-obatan yang bekerja berlawanan dengan serotonin, bisa mengobati
depresi dan Obsessive-compulsive disorder (OCD). Salah satu contoh obatnya
adalah fluoxetine (Prozac).
5. Peptida
Peptida adalah kumpulan asam amino yang saling berikatan. Peptida otak
yang berperan sebagai neurotransmiter adalah opioid. Opioid ini berperan dalam
menekan rasa nyeri dan juga tidur walaupun prosesnya masih belum jelas.
Diperkirakan, opioid ini diproduksi oleh otak saat kita berada dalam kondisi stres.
Salah satu derivat opioid yang biasa digunakan adalah morfin.
6. Gas
Beberapa gas, ternyata bisa berperan sebagai neurotransmiter, contohnya
adalah nitrit oksida dan karbon monoksida. Biasanya, neurotransmiter akan berada
dalam vesikel-vesikel dan memerlukan reseptor untuk masuk kedalam post-sinap.
Tidak demikian dengan gas-gas ini. Dikarenakan bentuknya yang gas, nitrit oksida
dan karbon monoksida akan langsung berdifusi untuk keluar masuk neuron. Nitrit
oksida mempunyai beberapa peran penting, yaitu berperan dalam relaksasi usus,
ereksi pada penis, dan mengontrol siklik GMP (suatu molekul intrasellular messenger)
(Carey, 2002).
Biokimia Dopamin
Dopamin memiliki rumus kimia C 6 H 3 (OH) 2-CH 2-CH 2-NH 2. Nama kimianya adalah "4 (2-aminoethyl) benzen-1 ,2-diol" dan singkatan adalah "DA."
Sebagai anggota keluarga katekolamin, dopamin adalah prekursor norepinefrin
(noradrenalin) dan kemudian epinefrin (adrenalin) dalam jalur biosintesis untuk
neurotransmitter ini.
Dopamin diinaktifasi oleh reuptake melalui transporter dopamin, didegradasi
enzimatik oleh transferase katekol-O-metil (COMT) dan monoamine oksidase (MAO).
Dopamin yang tidak diuraikan oleh enzim, disimpan kembali ke dalam vesikel untuk
digunakan kembali. (Heike et al., 2010)
Reseptor Dopamin dan Efeknya
Ada lima subtype reseptor dopamine, kelima subtype dapat dimasukkan kedalam dua
kelompok. Dalam kelompok pertama reseptor D 1 dan D5 menstimulasi pembentukan cAMP
dengan mengaktivasi protein G stimulator, GS. reseptor D5 hanya baru saja ditemukan, dan
kurang diketahui tentang sifatnya dibandingkan tentang reseptor D1. Kelompok reseptor
dopamine kedua terdiri dari reseptor seperti (D2, D3 dan D4 ). Reseptor D2 menghambat
pembentukan cAMP dengan mengaktivasi protein G inhibitor dan beberapa data menyatakn
bahwa reseptor D3 dan D4 bkerja secara bersamaan. Satu perbedaan antara reseptor D 2, D3, D4
adalah distribusi yang berbeda. Reseptor 3 terutama konsentrasi di nucleus akumbens.
Disamping ada daerah lainnya dan reseptor D4 terutama terkonsentrasi dikorteks frontalis,
disamping ada pada daerah lainnya. Dimasa lalu potensi senyawa antipsikotik telah
dihubungkan dengan afinitas untuk reseptor D2. Adalah dimungkinkan untuk mempelajari
apakah antagonis spesifik untuk reseptor D3 dan D4 akan merupakan antipsikotik yang lebih
sedikit dibandingkan denga natagonis reseptor D2. (Lorenz et al., 2013)
Variasi tipe reseptor ditentukan oleh urutan asam amino DNA. Reseptor D 2 memiliki
2 bentuk isoform yaitu D2 short dan D2 long. Perangsangan reseptor D2 post sinaps akan
meransang proses interseluler. Secara fungsional tidak ada perbedaan antara kedua bentuk
reseptor D2 yang isoform tersebut. Pemahaman akan fungsi masing-masing reseptor akan
berguna dalam aplikasi klinik terapi. (Lorenz et al., 2013; Ernest, 2010)
Reseptor dopaminergik D2 dapat berperan sebagai autoreseptor yang dimana terletak
di pre sinaps dan post sinaps. Dopamin yang dilepaskan dari terminal saraf dapat
mengaktivasi reseptor D2 pada terminal pre sinaptik yang sama, dan akan mengurangi sintesis
atau pelepasan dopamin yang terlalu berlebihan, sehingga reseptor D 2 akan berperan sebagai
mekanisme umpan balik (feedback) negatif yang dapat memodulasi atau menghentikan
pelepasa dopamine pada sinaps tertentu. (Ernest, 2010)
Fungsi Dopamin
Dopamin memiliki banyak fungsi di otak, termasuk peran penting dalam perilaku dan
kognisi, gerakan dopamin, motivasi dan penghargaan, penghambatan produksi prolaktin
(yang terlibat dalam laktasi), tidur, mood, perhatian, dan belajar. Neuron dopaminergik (yaitu,
neuron yang utama adalah neurotransmitter dopamin) yang hadir terutama di daerah
tegmental ventral (VTA) dari otak tengah, substantia nigra pars kompakta, dan nukleus
arkuata dari hipotalamus. Fungsi dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat disekresikan
oleh neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir
pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya sebagai inhibisi (Guyton dan
Hall, 2008). (Sham et al., 2010; Stephanie et al.,2014)
Anatomi
Neuron dopaminergik membentuk dopamin neurotransmitter yang berasal substantia
nigra pars kompakta, daerah tegmental ventral (VTA), dan hipotalamus. Akson ini proyek ke
daerah-daerah besar dari otak melalui empat jalur utama. (Stephanie et al, 2014)
korteks pre-frontal.
Jalur mesolimbik membawa dopamin dari daerah tegmental ventral ke nukleus
akumbens melalui amigdala dan hipokampus. Para somas neuron proyek berada di
daerah tegmental ventral. (Maramis dan Maramis, 2009).
Persarafan ini menjelaskan banyak efek dari mengaktifkan sistem dopamin. Sebagai contoh,
jalur mesolimbik menghubungkan VTA dan nukleus akumbens; keduanya pusat sistem otak
yang memberi imbalan.
Gerakan
Melalui reseptor dopamine, D
1-5,
langsung, dan meningkatkan tindakan jalur langsung dalam ganglia basal. Kurangnya
biosintesis dopamin dalam neuron dopaminergik dapat menyebabkan penyakit Parkinson, di
mana seseorang kehilangan kemampuan untuk mengeksekusi halus, gerakan terkontrol. (Jean
et al., 2011)
Kognisi dan korteks frontal
Di lobus frontal, dopamin mengontrol arus informasi dari daerah lain di otak.
Gangguan dopamin di wilayah otak dapat menyebabkan penurunan fungsi neurokognitif,
terutama memori, perhatian, dan pemecahan masalah. Berkurangnya konsentrasi dopamin di
korteks prefrontal diperkirakan akan memberikan kontribusi terhadap gangguan defisit
perhatian. Telah ditemukan bahwa reseptor D1 serta reseptor D4 bertanggung jawab atas efek
kognitif-meningkatkan dopamin. Oleh itu, obat anti-psikotik bertindak sebagai antagonis
dopamin dapat digunakan dalam pengobatan gejala positif skizofrenia, meskipun, yang lebih
dulu disebut tipikal antipsikotik yang paling sering bertindak pada reseptor D2, sedangkan
obat atipikal juga bertindak pada reseptor D1, D3 dan D4. (Jean et al., 2011)
Mengatur sekresi prolaktin
Dopamin adalah neuroendokrin penghambat utama yang menghambat sekresi
prolaktin dari kelenjar hipofisis anterior. Dopamin dihasilkan oleh neuron dalam nukleus
arkuata hipotalamus yang kemudiannya dikeluarkan ke pembuluh darah hipotalamohipofisial median eminence, yang kemudiannya masuk ke kelenjar pituitary. Sel-sel
lactotrope yang menghasilkan prolaktin, dalam ketiadaan dopamin, akan mensekresi
prolaktin terus menerus. Dalam hal ini, dopamine berfungsi untuk menghambat sekresi
prolaktin. Dengan demikian, dalam konteks mengatur sekresi prolaktin, dopamin kadang-
kadang disebut faktor penghambat prolaktin (PIF),-hormon penghambat prolaktin (PIH), atau
prolaktostatin. (Jean et al., 2011)
Psikopatologi Dopamin
Hipotesis dopamine pada penderita psikosis berkembang dari pengamatan bahwa obat
yang menghambat reseptor dopamine seperti : haloperidol mempunyai aktifitas antipsikotik
dan obat yang mengstimulasi aktivitas dopamine seperti : amphetamine dapat menginduksi
gejala psikotik. Hipotesis dopamine tetap merupakan hipotesis neurokimiawi yang utama
pada penderita psikosis. Suatu serial penelitian telah menunjukkan bahwa konsentrasi plasma
HVA, pada kenyataannya menurun pada banyak pasien terhadap obat antipsikotik. Masalah
utama pada hipotesis tersebut adalah bahwa penghambatan reseptor dopamine menurunkan
gejala psikotik pada hampir setiap gangguan, seperti psikosis yang berhubungan tumor otak
dan psikotik yang disertai dengan mania. (Mizrahi et al., 2014; Kaplan et al., 2010)
Dopamine juga terlibat dalam psikofisiologi gangguan mood. Aktifitas dopamine
dapat rendah pada Depresi dan Mania. Observasi bahwa L-dopa dapat menyebabkan mania
dan psikosis pada beberapa pasien parkinsonisme mendukung hipotesis tersebut. Beberapa
penelitian telah menemukan kadar metabolit dopamine yang rendah pada pasien Depresi.
(Grace, 2010; Maslim, 2007)
Ada juga peranan dopamine pada gangguan spectrum autistic, yang dimana adanya
gangguan system neurotransmitter ysng berhubungan gejala gangguan perilaku. Berbagai
penelitian terdahulu memperlihatkan adanya disfungsi system neurokimiawi pada penderita
autism meliputi system dopamine, norepinefrin dan serotonin. Gangguan system
neurokimiawi tersebut berhubungan dengan perilaku agresif, obsesif kompulsif dan stimulasi
diri sendiri (self stimulating) yang berlebih. Peranan gangguan dopamine pada autism sering
didasarkan pada pengukuran kadar HVA- suatu metabolit dopamine dan percobaan
pemberiaan obat-obat agonis dopamine. Sebagian penelitian terdahulu menunjukkan kadar
HVA (homovanillic acid) ditemukan lebih tinggi pada anak autisme yang gejala
stereotipiknya lebih berat. Pemberian obat agonis dopamine memperburuk gejala stereotipi,
agitasi dan hiperaktivitas pada anak autis. (Kaplan et al., 2010; Maslim, 2007)
F. Pengaruh Sistem Dopaminergik terhadap Gejala Psikotik
Psikotik atau psikosis ialah gangguan jiwa yang meliputi keseluruhan kepribadian,
sehingga penderita tidak bisa menyesuaikan diri dalam norma-norma hidup yang wajar
dan berlaku umum. Psikotik adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa
kenyataan (sense of reality) (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada teori biokimia yang terjadi pada gejala psikotik, dikenal hipotesis dopamin
dan serotonin-glutamat. Pada teori glutamat disebutkan bahwa, penurunan kadar
glutamat akan menyebabkan penurunan regulasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA)
dan menyebabkan gejala-gejala psikotik serta defisit kognitif. Aktivitas berlebih reseptor
dopamin saraf pada jalur mesolimbik bisa menyebabkan timbulnya gejala positif seperti
delusi dan halusinasi (Murray et al., 2015; Levy et al., 2015). Delusi didefinisikan
sebagai keyakinan yang salah yang melibatkan salah tafsir dari persepsi atau
pengalaman, dengan keyakinan tinggi meskipun bukti yang ada jelas bertentangan
terhadap hal tersebut (Andreou et al., 2015). Penurunan aktivitas dopamin neuron pada
jalur mesokortek di dalam kortek prefrontalis bisa menyebabkan gejala negatif seperti
sikap apatis dan tidak memiliki motivasi hidup (Dawe et al., 2009; Hensler et al., 2013).
Teori jalur dopamin yang berpengaruh terhadap timbulnya gejala psikosis adalah (Heike
et al., 2011; Calcagno et al., 2013)
Mesokortikal dopamin pathways.
Hipoaktivitas dari daerah ini menyebabkan simptom negatif dan gangguan
kognitif. Simptom negative dan kognitif disebabkan terjadi penurunan dopamine di
jalur mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks.
Defisit behavioral yang dinyatakan dalam suatu simptom negatif berupa
penurunan aktivitas motorik. Aktivitas yang berlebihan dari system glutamat yang
bersifat eksitotoksik pada system saraf (burn out) yang kemudian berlanjut menjadi
suatu proses degenerasi di mesokortikal jalur dopamin.
Penurunan dopamine di mesokortikal dopamine pathway dapat terjadi secara
primer maupun sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamine yang
berlebihan pada jalur ini atau melalui blockade antipsikotik terhadap reseptor D2.
Peningkatan
dopamin
pada
mesokortikal
dopamine
pathway
dapat
memperbaiki simptom negatif atau mungkin juga simptom kognitif. Keadaan ini akan
menjadi suatu dilemma karena peningkatan dopamin di jalur mesolimbik akan
meningkatkan simptom positif, sementara penurunan dopamine di jalur mesokortikal
akan meningkatkan simptom negatif dan kognitif. Hal tersebut dapat diatasi dengan
pemberian obat antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua). Antipsikotik jalur
paranoid
jika
pemberian zat
ini
dilakukan
secara
pathways
dapat
Ada tiga faktor yang mungkin menjadi penyebab tingginya aktivitas dopamin
(Semiun, 2006) :
1. Konsentrasi dopamin yang tinggi
2. Sensitivitas yang tinggi dari reseptor dopamin
3. Jumlah reseptor dopamin yang terdapat pada sinapsis
Pada orang dengan gejala psikotik ditemukan memiliki jumlah reseptor dopamin
yang lebih banyak daripada orang normal. Tingginya aktivitas dopamin menyebabkan
rangsangan yang tinggi pada daerah khusus pada otak, rangsangan tersebut mengganggu
fungsi kognitif yang kemudian mengakibatkan halusinasi dan delusi. Reseptor dopamine
yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2).
Selama bertahun-tahun telah diobservasi bahwa gangguan atau obat-obat yang
meningkatkan dopamin akan mempertinggi atau menghasilkan gejala-gejala positif
psikotik dan obat-obat yang menurunkan dopamin akan menurunkan atau menghentikan
gejala/simtom positif.
Hipotesis dopamin
inilah
yang
menyebabkan
sebelum
tahun
1990an,
pengembangan obat antipsikotik difokuskan secara eksklusif pada agen dengan aktivitas
utama yang berlokasi pada reseptor dopamin D2, yaitu obat-obat antipsikotik tipikal,
yang merupakan antagonis reseptor D2. Namun meskipun blokade reseptor D2 dapat
mengurangi gejala-gejala positif seperti halusinasi dan delusi, antagonis D2 juga
berkaitan dengan efek samping neurologis yang tidak menyenangkan, yaitu gejala
ekstrapiramidal (Takase et al., 2015). Selain itu agen ini memiliki keterbatasan untuk
gejala negatif dan kognitif (Crismon dkk., 2008).
Daftar Pustaka :
Andreou C, Schneider BC, BraunV, Kolbeck K, Gallinat J, Moritz S (2015). Dopamine
effects on evidence gathering and integration. J Psychiatry Neurosci.
Carey J (2002). Brain Facts: A Primer on the Brain and Nervous System. Washington: The
Society for Neuroscience.
Calcagno B, Eyles D, Alphen V (2013) . Transient activation of dopaminergic neurons
during development modulates visual responsiveness. Translational Psychiatry. p.1-4.
Crismon ML, Argo TR, Buckley PF (2008). Schizophrenia. Editor: DiPiro JT, Talbert RL,
Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach Seventh Edition. New York: McGraw Hill.
Dawe GS, Hwang EH, Tan CH (2009). Pathophysiology and Animal models of
Schizophrenia. Ann Acad Med Singapore; 38 (5): 425-430.
Deng C, Jinzhuo C, Minghui Y, Zhou N, Shihui S (2011). Electrochemical Determination of
Dopamine In The Presence of Ascorbic Acid Based On The Gold Nanorods Carbon
Nanotubes Composite Film. Electrochimica Acta; 56: 8851-8856.
Ellis H (2006). Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Student & Junior Doctors. 11th
Edition. USA: Blackwell Publishing.
Ernest P (2010). D2 Dopamine Receptor Gene in Psychiatric and Neurologic Disorders and
Its Phenotypes. American Journal of Medical Genetics Part B (Neuropsychiatric
Genetics). p.103-105.
Ganong WF (2005). Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: EGC.
Grace AA (2010). Dopamine system dysregulation by the ventral subiculum as the common
pathophysiological basis for schizophrenia psychosis, psychostimulant abuse, and
stress. Neurotox Res; 18 (3-4): 367376.
Guyton AC, Hall JE (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Heike T, Tajvar A, Andreas ML (2010). Dopamine and Psychosis: Theory, Pathomechanisms
and Intermediate Phenotypes.National Intitutes of Health. p.6-7.
Heike T, Tajvar A, Andreas ML (2011). Presynaptic Regulation of Dopamine Transmission in
Schizophrenia. Schizophrenia Bulletin. 37 (1): p.108-110.
Hensler JG, Artigas F, Bortolozzi A, Daws LC, Deurwaerdre PD, Milan L, Navailles S, et al.
(2013). Catecholamine/serotonin interactions: Systems thinking for brain function and
disease. Adv Pharmacol; 68: 167197.
Iswari M (2010). Anatomi Fisiologi dan Dasar Neurologi (Dasar Ilmu Faal dan Saraf untuk
Pendidikan Luar Biasa). Padang: UNP Press.
Jean MB, Raul RG (2011). The Physiology, Signaling, and Pharmacology of Dopamine
Receptors. The American Society for Pharmacology and Experimental Therapeutics.
p.184-188.
Kaplan H, Sadock B, Grebb J (2010). Antagonis Reseptor Dopamin. Dalam : Sinopsis
Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid II. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher. h. 549
Kumar P, Clark M (2005). Clinical Medicine. 6th Edition. London: Elseveir Saunders.
Levy E, Traicu A, Iyer S, Malla A, Joober R (2015). Psychotic disorders comorbid with
attention-deficit hyperactivity disorder: an important knowledge gap. The Canadian
Journal of Psychiatry; 60 (3): 48-52.
Lorenz D, Rebecca B, Andreas H (2013). Reinforcement learning and dopamine in
schizophrenia: dimensions of symptoms or specic features of a disease group?.
Frontiersin.172 (4): p.1-16.
Maramis WF, Maramis AA (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke 2. Surabaya:
Airlangga University Press, pp: 77-78, 82, 85.
Maslim R (2007). Obat Anti-Psikosis. Dalam : Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi III.
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya. h. 14
Sham K, Peter D (2010). Dopamine: generalization and bonuses. Elsevier Science. p.549550.
Sherwood L (2001). Fisiologi Manusia. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Sylvia, Lorraine (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Stephanie MP, Daniel JL (2014). New Approaches to the Management of Schizophrenia:
Focus on Aberrant Hippocampal Drive of Dopamine Pathways. Dovepress.172 (4):
p.887-889
Takase M, Kanahara N, Oda Y, Kimura H, Watanabe H, Iyo M (2015). Dopamine
supersensitivity psychosis and dopamine partial agonist: A retrospective survey of
failure of switching to aripiprazole in schizophrenia. Journal of Psychopharmacology;
29 (4): 383-389.