Anda di halaman 1dari 110

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG LAKI-LAKI GERIATRI 60 TAHUN DENGAN CHF


NYHA III, ACUTE ON CKD, NEFROLITIASIS SINISTRA,
BPH GRADE I, DAN ISK KOMPLIKATA

Oleh :
Amalia Fitri Puspitasari

G99142085

Indah Purnama Sari

G99142086

Esty Jayanti

G99142087

Pembimbing

dr. Bayu Basuki Wijaya, Sp.PD.


KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAK AR TA
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Besar Ilmu Penyakit Dalam dengan judul :


SEORANG LAKI-LAKI GERIATRI 60 TAHUN DENGAN CHF
NYHA III, ACUTE ON CKD, NEFROLITIASIS SINISTRA,
BPH GRADE I, DAN ISK KOMPLIKATA

Disusun Oleh :

Amalia Fitri Puspitasari

G99142085

Indah Purnama Sari

G99142086

Esty Jayanti

G99142087

Telah disahkan pada tanggal :

Pembimbing

dr. Bayu Basuki Wijaya, Sp.PD.

LAPORAN KASUS
I. Identitas Penderita
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat
No. RM

:
:
:
:
:
:
:

Tn. S
60 tahun
Laki-laki
Islam
Petani
Sidoharjo, Sragen, Jawa Tengah
01302512

Suku
Agama
Status
Berat Badan
Tinggi Badan
IMT

:
:
:
:
:
:

Jawa
Islam
Menikah
65 kg
170 cm
22,49 kg/m2

Masuk Bangsal
Pemeriksaan

: 26 Mei 2015
: 28 Mei 2015

II. DATA DASAR


Autoanamnesis, alloanamnesis, dan pemeriksaan fisik dilakukan pada
tanggal28 Mei 2014 di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi.
A. Keluhan Utama :
Sesak nafas 2 hari SMRS
B. RiwayatPenyakitSekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan
memberat 2 hari SMRS. Keluhan sesak ini dirasakan pasien sejak 4 bulan
SMRS, namun pada saat itu sesak nafas masih hilang timbul. Sesak napas
yang memberat sejak 2 hari SMRS dirasakan terus-menerus. Sesak napas
dirasakan seperti tertekan benda berat (ampeg). Sesak dirasakan bertambah
berat saat tidur terlentang. Sesak biasa timbul saat aktivitas sedang, seperti
berjalan sejauh 100 meter dan membaik jika pasien istirahat sejenak. Saat
istirahat pasien masih merasa sesak namun pasien merasa lebih nyaman
saat posisi duduk. Sesak tidak dipengaruhi oleh adanya cuaca, debu,

ataupun lingkungan sekitar. Pasien juga mengeluh sesak pada malam hari
yang menyebabkan terbangun dari tidur. Sesak tidak disertai bunyi ngik
ngik.
Pasien mengeluh BAK sulit sejak 7 hari SMRS. Frekuensi BAK
6x/hari namun hanya sedikit yang keluar pada saat BAK. BAK menetes,
setiap BAK + gelas belimbing. Air kencing berwarna kuning, agak
keruh, tidak disertai darah dan tidak berpasir. Setiap BAK, pasien harus
mengejan dan setelah BAK pasien merasa tidak lampias. Keluhan tidak
berkurang dengan perubahan posisi. Pasien juga sering terbangun di
malam hari untuk BAK. BAK terasa panas dan anyang-anyangan. Keluhan
ini tidak membaik dengan pemberian obat dan dirasakan semakin
memberat. Keluhan sulit BAK disertai dengan nyeri pinggang. Nyeri
pinggang dirasakan di sebelah kiri dan menjalar dari belakang ke arah
perut bagian bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul, biasa timbul pada
malam hari. Nyeri tidak membaik dengan istirahat dan makin memberat
dengan aktivitas. Keluhan tidak disertai dengan demam. Pasien selama ini
terbiasa minum sedikit, satu hari hanya 2-3 gelas belimbing. Pasien
biasanya mengkonsumsi air sumur yang kemudian dimasak.
BAB pasien tidak lancar sejak 7 hari SMRS. BAB hitam, keras dan
mringkil. BAB hanya sedikit, + gelas belimbing. Keluhan dirasakan
makin memberat dan tidak membaik dengan pemberian obat dari klinik.
BAB tidak disertai dengan darah maupun lendir.
Pasien juga mengeluhkan badan mudah merasa lemas sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Apabila beraktivitas, pasien lebih mudah
merasa lelah dan berkurang dengan istirahat. Lemas tidak disertai dengan
pusing nggliyer, pandangan berkunang-kunang, telinga berdenging,
mimisan, pandangan kabur, gusi berdarah, bercak bercak merah di kulit
atau dada berdebar.
Sejak 1 tahun SMRS, pasien sering merasakan sakit kepala. Nyeri
kepala dirasakan di belakang kepala terutama di daerah tengkuk. Nyeri
kepala dirasakan berdenyut dan cengeng di daerah tengkuk. Keluhan ini
hilang timbul. Keluhan biasa muncul apabila pasien terlalu lelah bekerja

dan jika pasien memiliki banyak masalah. Keluhan berkurang dengan


istirahat dan minum obat pusing yang dibeli di warung. Pasien
mengatakan memiliki sakit tekanan darah tinggi sejak 2 tahun yang lalu,
dengan tensi 150/90. Namun, pasien hanya kontrol jika timbul keluhan dan
pasien mengatakan tidak meminum obat untuk mengontrol tekanan
darahnya.
Pasien menyatakan pernah operasi batu ginjal dengan metode laser
pada tahun 2012 di RS Kustati Surakarta.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat sakit gula
2. Riwayat sakit jantung
3. Riwayat alergi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
4. Riwayat sakit liver :

disangkal

D. RiwayatPenyakitKeluarga
1. Riwayat sakit darah tinggi
2.
3.
4.
5.

: Pasien mengatakan 3 orang

kakaknya dan 2 orang adiknya memiliki tekanan darah tinggi.


Riwayat sakit gula
: disangkal
Riwayat sakit jantung
: disangkal
Riwayat sakit ginjal
: disangkal
Riwayat sakit batu
: disangkal

E. Riwayat Keluarga

70 th

73 th

Keterangan :
: Laki laki

: Perempuan

56 th, HT (+)
62 th, HT (+)
72 th,
HT 68
(+)th,dunia
HT (+)
60 th, HT: (+)
52 th, HT (+)
: Meningal
Pasien

F. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat
bebas
membeli

minum
:

obat-obatan

pasien
obat

sakit

sering
kepala

(paramex) yang dibeli di warung


sejak 1 tahun SMRS
2.Riwayat merokok :
merokok

selama

pasien
30

tahun

sebanyak -1 bungkus sehari,


tetapi sejak 2 tahun yang lalu
3. Riwayat minum minuman keras
4. Riwayat minum jamu
5. Riwayat olah raga teratur

pasien sudah tidak merokok


: disangkal
: disangkal
: disangkal

G. Riwayat Gizi
Pasien makan sehari tiga kali, sekali makan 2-3 sendok makan nasi
putih dengan lauk tahu, tempe, dan sayur. Pasien minum dalam sehari 2

3 gelas belimbing. Pasien mengkonsumsi air dari sumur yang kemudian


dimasaknya.
H. Riwayat sosial ekonomi
Pasien adalah seorang pria berusia 60 tahun yang sehari hari
bekerja sebagai petani. Pasien tinggal dengan 1 orang istri,1 orang anak, 1
orang menantu dan 2 orang cucu.
III.PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 28Mei 2014
Keadaan Umum
Tanda Vital

Status gizi

Kulit

Kompos mentis
Tensi : 150/90 mmHg
Nadi : 98 kali/ menit, irama reguler, isi dan tegangan
cukup
Frekuensi Respirasi : 28 kali/menit, torakoabdominal
Suhu : 36,50C (per axiller)
VAS : 2
BB : 65 kg
TB : 170 cm
BMI : 22,49 kg/m2
Kesan : status gizi normal
Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ekimosis (-),

Kepala

ikterik (-)
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam dengan uban,
lurus, mudah rontok (-), luka (-), atrofi musculus

Wajah
Mata

temporalis (-)
Moon face (-)
Mata cekung (-/-), konjunctiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/
+),

edema

palpebra

(-/-),

strabismus

(-/-),

Telinga

eksopthalmus (-/-)
Sekret (-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri

Hidung

tekan tragus (-)


Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-),
fungsi penghidu normal

Mulut

Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat


(-), lidah tifoid (-), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-),
luka pada sudut bibir (-)
JVP R+3 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran

Leher

kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-),


leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-).
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal (-),

Thorax

spider

naevi

(-),

ginekomasti

(-),

pernafasan

torakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran


KGB axilla (-/-), KGB supraklavikuler (-/-), KGB
infraklavikuler (-/-)
Jantung :
Inspeksi
Palpasi

Perkusi

Auskultasi

Iktus kordis tidak tampak


Iktus kordis teraba di SIC VI linea medioclavicularis
sinistra, tidak kuat angkat, thrill (-)
- Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis
-

dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea

sternalis dextra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea sternalis

sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC VI linea

medioclavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC III linea parasternalis

sinistra
Konfigurasi jantung kesan melebar ke caudolateral
Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler,
bising (-), gallop (-).

Pulmo :
Anterior
Inspeksi
Statis
Dinamis

Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak


mendatar
Pengembangan dada simetris kanan = kiri, retraksi
intercostal (-)

Palpasi

Statis

Simetris

Dinamis
Perkusi
Kanan
Kiri

Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri


Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC VI
linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas
absolut paru hepar.
Sonor, sesuai batas jantung pada SIC V linea
medioclavicularis sinistra.

Auskultasi

Kanan
Kiri

Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-/-),


ronkhi basah halus (+/+) di basal paru, ronkhi basah
kasar (-/-), wheezing (-),
krepitasi (-)
Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-/-),
ronkhi basah halus (+/+) di basal paru, ronkhi basah
kasar (-/-), wheezing (-), krepitasi (-)

Posterior
Inspeksi
Statis
Dinamis

Palpasi

Statis
Dinamis
Perkusi
Kanan
Kiri

Normochest, simetris.
Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak membesar, retraksi intercostal (-).
Simetris
Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Sonor, mulai redup pada batas paru bawah vertebra
thorax X
Sonor, mulai redup pada batas paru bawah vertebra
thorax XI

Auskultasi

Kanan
Kiri

Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-/-),


Ronkhi basah halus (+/+) di basal paru, ronkhi
basah kasar (-/-), wheezing (-),
krepitasi (-)
Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan (-/-),
Ronkhi basah halus (+/+) di basal paru, ronkhi
basah kasar (-/-), wheezing (-),
krepitasi (-)

Abdomen :

Inspeksi

Dinding perut sejajar dengan dinding dada, distended


(-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae

Auskultasi

(-), ikterik (-)


Bising usus (+) 14 x/menit normal , bruit hepar (-),

Perkusi

bising epigastrium (-)


Pekak alih (-), pekak sisi (-), undulasi (-), area Traube

Palpasi

timpani
Supel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), hepar :

teraba tidak teraba, lien : tidak teraba, ballotement (-)


Genitourinaria

Rectal Toucher:

Inspeksi : Merah (-), benjolan (-)


Palpasi : Tonus muskulus sfingter ani (+) normal,
mukosa licin, feces hitam (-), teraba pembesaran
lobus prostat, sulcus medianus masih teraba,

Ekstremitas

konsistensi prostat kenyal.


nyeri ketok costovertebrae (-/+)

Akral dingin

Oedem

Palmar Eritema

IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah 26/5/2015
Pemeriksaan
Hasil
HEMATOLOGI RUTIN
10.4
Hb
Hct
34
11.3
AL
AT
204
AE
4.53

Satuan

Rujukan

g/dL
%
103/L
103/L
106/L

13.5 17.5
33 45
4.5 11
150 450
4.5 5.9

KIMIA KLINIK
GDS

125

mg/dL

60 140

SGOT

52

/L

<35

SGPT

26

/L

<45

Kreatinin

6.2

mg/dL

0.8 - 1.3

Ureum

97

mg/dL

<50

129

mmol/L

136 145

3.6

mmol/L

3.7 5.4

1.20

mmol/L

1.17 1.29

ELEKTROLIT
Na
K
Ca

2+

SEROLOGI
HbsAg

Non reaktif

Non reaktif

B. Pemeriksaan Foto Abdomen


Pemeriksaan Foto Abdomen dilakukan tanggal 26 Mei 2015

Keterangan :
Bayangan gas usus normal bercampur dengan fecal material
Bayangan hepar dan lien tidak tampak membesar
Contour ginjal kanan dan kiri dalam batas normal

10

Tampak multiple bayangan radioopaque yang terproyeksi setinggi VL 3


4 sisi kiri
Psoas shadow kanan kiri simetris
Corpus, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik
Kesimpulan :
Suspect multiple Nephrolithiasis kiri

11

C. EKG
a. EKG tanggal 26 Mei 2015

Hasil :

12

Irama

: Sinus ritmis

Heart Rate

: 100 x/menit

Axis

: Normoaxis

Gelombang P : 0.04
Kompleks QRS : 0.06
PR Interval

: 0.14

Zona transisi : V4 V5
LVH

: tidak memenuhi kriteria Sokolow Lyon (9 < 35)

dan kriteria Cornell (11 < 28)


T inverted

: ditemukan pada lead II, III, aVF

Kesimpulan

: Sinus ritmis dengan HR 88x/menit, normoaxis, T

inverted di lead II, III, aVF

V. RESUME
1. Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 2 hari SMRS
2. Anamnesis
:
Pasien sesak napas yang memberat sejak 2 hari SMRS.
Sesak napas seperti tertekan benda berat dan hilang timbul.
Sesak timbul saat aktivitas sedang. PND (+) Orthopneu (+).
BAK sulit sejak 7 hari SMRS. BAK menetes @+ gelas
belimbing. Air kencing kuning, agak keruh, darah (-), berpasir (-).
Pasien harus mengejan setiap BAK dan setelah BAK pasien
merasa tidak lampias. Frekuensi BAK 6x/hari, Nokturia (+). BAK
panas, anyang-anyangan (+). Keluhan disertai nyeri pinggang di
sebelah kiri dan menjalar dari belakang ke arah perut bagian
bawah. Nyeri hilang timbul, biasa timbul malam hari. Tidak
membaik dengan istirahat dan memberat dengan aktivitas. Demam

13

(-). Pasien selama ini terbiasa minum sedikit, satu hari hanya 2-3
gelas belimbing. BAB tidak lancar sejak 7 hari SMRS. BAB hitam,
keras dan mringkil @+ gelas belimbing. BAB darah (-) BAB
lendir (-).
Badan mudah lemas sejak 1 bulan SMRS. Lelah memberat
dengan aktivitas, berkurang dengan istirahat. Pusing nggliyer (-)
pandangan berkunang-kunang (-) telinga berdenging (-) mimisan
(-) pandangan kabur (-) gusi berdarah (-) bercak merah di kulit (-)
dada berdebar (-).
Sejak 1 tahun SMRS, pasien sering pusing. Pusing
berdenyut dan cengeng di daerah tengkuk. Pusing timbul bila
pasien terlalu lelah bekerja dan jika memiliki banyak masalah.
Keluhan berkurang dengan istirahat dan minum obat pusing yang
dibeli di warung. Riwayat HT (+) sejak 2 tahun, tidak terkontrol.
Pasien minum dalam sehari 2 3 gelas belimbing.
3. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum pasien composmentis dengan tekanan
darah 150/90 mmHg, nadi 98x/menit, RR : 20x/menit, suhu :
36.50C, VAS : 2 dan IMT 24.2 kg/m2. Pemeriksaan cor batas
jantung kesan melebar dengan batas jantung kiri bawah di SIC VI
linea midclavicularis sinistra. Pemeriksaan urogenital didapatkan
nyeri ketok costovertebrae (-/+) dan teraba pembesaran lobus
prostat, sulcus medianus masih teraba, konsistensi prostat kenyal.
4. Pemeriksaan tambahan :
a. Laboratorium :
Hb: 10.4 g/dL, AL: 11.3 ribu/L, SGOT: 52 /L,Cr : 6,2 mg/dL,

14

Ur : 97 mg/dL, Na: 129 mmol/L, K : 3.6 mmol/L.


b. Radiologi :
Foto abdomen suspect multiple nephrolithiasis kiri
c. Lain-lain :
EKG =

Sinus ritmis dengan HR 88x/menit, normoaxis, T

inverted di lead II, III, aVF


LFG

( 14065 ) 60
=10.08
72 6,2

mL/men/1,73m2

VI.PROBLEM
a. CHF NYHA III
A : Iskemia inferior, LVH
E : Hipertensi
b. Dysuria e.c Nefrolithiasis Sinistra
c. Klinis BPH
d. Azotemia ec Acute Kidney Injury dd Akut on CKD
e. Klinis ISK Komplikata

15

VII.
No

RENCANA AWAL
Diagnosis/Masalah

Pengkajian (Assesment)

Rencana Awal

Rencana Terapi

diagnosis
1.

CHF NYHA III

Echocardiography

Anamnesis

Bedrest tidak

A : Iskemia inferior,

Sesak napas sejak 4 Foto Thorax PA

total setengah

LVH

bulan SMRS
Kolesterol total,
Sesak seperti tertekan
LDL, HDL,
benda berat
Trigliserida
Sesak
timbul
saat
Funduskopi
aktivitas sedang

duduk

E : Hipertensi

Pusing berdenyut dan


cengeng

di

Diet 2100 Kkal,


rendah garam
<5g/hari

Captopril 3 x
6,25mg

daerah

tengkuk. Pusing timbul

Aspilet 1 x 80 mg

bila pasien terlalu lelah

ISDN 3 x 5 mg

bekerja

dan

memiliki

jika
banyak

masalah.
PND (+)
Orthopneu (+).

Riwayat merokok sejak


30 tahun yang lalu dan
berhenti 2 tahun yang
lalu

Hipertensi sejak 2 tahun


yang lalu, tidak
terkontrol

Pemeriksaan fisik

TD 150/90 mmHg

Pemeriksaan cor batas

16

jantung kesan melebar


ke caudolateral dengan
batas jantung kiri
bawah di SIC VI linea
midclavicularis sinistra.

Pemeriksaan pulmo
auskultasi anterior dan
posterior didapatkan
ronki basah halus (+/+)
di basal paru

Pemeriksaan penunjang

2.

Dysuria e.c
Nefrolithiasis
sinistra

EKG T inverted di lead

II, III, aVF


Anamnesis :

BAK panas
Nyeri pinggang kiri
menjalar dari belakang
ke arah perut bagian
bawah.

Riwayat operasi batu


ginjal 2 tahun yang lalu

Pasien hanya minum 2


3 gelas/hari

mengkonsumsi air dari


sumur

Pemeriksaan fisik

Nyeri ketok
costovertebrae (-/+)

Pemeriksaan penunjang

Foto abdomen suspect

17

Kultur urin

Bedrest total

Urin rutin

Diet 2100 kkal

Infus NaCl 0,9%


20 tpm

Tramadol 3 x 50
mg p.r.n

multiple nephrolithiasis
kiri
3.

Klinis BPH

BAK sulit 2 hari

USG Urologi

SMRS
BAK menetes
@ + gelas belimbing
Pasien harus mengejan

setiap BAK
Setelah BAK pasien

merasa tidak lampias


Frekuensi BAK

Pasang DC

6x/hari

Nokturia (+)

Pemeriksaan Fisik
Rectal Toucher:

teraba

pembesaran

lobus prostat, sulcus


medianus
teraba,
4

Azotemia ec Acute
Kidney Injury dd

masih
konsistensi

prostat kenyal.
Anamnesis

Akut on CKD

Riwayat operasi batu

USG Abdomen

Urin rutin

primer 1 fl/24

ginjal 2 tahun yang lalu

Frekuensi BAK 6x/hari,


BAK menetes, setiap
BAK

gelas

belimbing (300 cc/24


jam)

Nyeri
sebelah

pinggang
kiri

18

di
dan

Infus EAS
jam

Diet rendah
garam <5gr
Diet protein< 50
gr

menjalar dari belakang


ke arah perut bagian
bawah
Pemeriksaan penunjang

5.

Cr : 6,2 mg/dL

Ur : 97 mg/dL

LFG : 10.08

Klinis ISK

mL/men/1,73m2
Anamnesis:

Komplikata

Air kencing berwarna

Kultur urin

kuning, agak keruh,


tidak disertai darah dan

Uji sensitifitas

tidak berpasir

BAK terasa panas dan


anyang-anyangan

Keluhan

sulit

BAK

disertai dengan nyeri


pinggang

Urinalisis

Dicurigai terdapat batu


nefrolitiasis

Pemeriksaan Fisik:
T : 36,5 oC
Pemeriksaan Penunjang:
Leukosit 11.300 /ul

19

antibiotika

Inj. Ceftriaxon
2g/24 jam

VIII. FOLLOW UP
Tanggal

Subyektif

29 Mei

Obyektif

Assasment

Sesak

KU

nafas

sedang

Lemas

Tensi : 140 / 80 mmHg

Sulit BAK

RR

Nyeri perut

Nadi

bawah

reguler

2015

: CM, tampak sakit -

A : Iskemia
inferior, LVH

: 28x / menit
-

sinistra

: JVP (R+3cm), KGB

tidak membesar.

Cor :
I

: IC tidak tampak
-

batas

jantung

kesan -

melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal,

O2 3 lpm

Diet 2100 kkal, rendah


Garam < 5 gr/hari

Infus D5 % 20 tpm

Infus EAS Pfrimer 1 fl


24 jam

Komplikata

Inj. Ceftriaxon 2g/24


jam

Tramadol 3 x 50 mg
p.r.n

Klinis BPH
Klinis ISK

Bed rest tidak total


duduk

Azotemia ec AKI
dd Akut on CKD

P : IC tidak kuat angkat


P

Disuria ec
nefrolitiasis

: CP (-/-), SI (-/-)

Leher

E : Hipertensi

: 90 x / menit, isi cukup,

Suhu : 36,8 C
Mata

CHF NYHA III

Terapi / Plan

Captopril 3 x 6,25mg

Aspilet 1 x 80 mg

ISDN 3 x 5 mg

reguler, bising (-), gallop (-)


Pulmo :
I :Pengembangan dada kanan
= kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/sonor
A : SDV(N/N), RBH (+/+) di
basal paru
Abdomen :
I

: DP // DD

A : bising usus (+) 14 x/menit


P : tympani, pekak alih (+),
undulasi (-),

pekak sisi (-),

20

Plan :
-

USG Urologi, EKG

ulang pagi, Kultur urin


-

Konsul dan Raber


Jantung

area traube timpani


P : supel, nyeri tekan di regio
suprapubik (+)
Genitourinaria:
Teraba

pembesaran

prostat,
masih

sulcus
teraba,

lobus

medianus
konsistensi

prostat kenyal.
Nyeri ketok costovertebrae (-/
+)
Ekstremitas :
Akral dingin:
-

30 Mei

Oedem

Sesak

KU

nafas

sedang

berkurang

Tensi : 140 / 80 mmHg

Lemas

RR

Sulit BAK

Nadi

Nyeri perut

reguler

bawah

Suhu : 36,8 C

2015

: CM, tampak sakit -

Leher

: CP (-/-), SI (-/-)
-

batas

jantung

kesan -

melebar ke caudolateral

21

O2 3 lpm

Diet 2100 kkal, rendah

Infus EAS Pfrimer 1 fl


Inj. Ceftriaxon 2g/24
jam

Tramadol 3 x 50 mg
klp

Klinis BPH
Klinis ISK

Infus D5 % 20 tpm
24 jam

Azotemia ec AKI

Komplikata

A : BJ I-II intensitas normal,

duduk

ec -

dd Akut on CKD

P : IC tidak kuat angkat

Bed rest tidak total

Garam < 5 gr/hari

sinistra

: JVP (R+3cm), KGB

: IC tidak tampak
:

Disuria
nefrolitiasis

Cor :

Iskemia

E : Hipertensi

: 90 x / menit, isi cukup,

tidak membesar.
I

inferior, LVH

: 24x / menit

Mata

CHF NYHA III

Inj Furosemid 20 mg/1


jam

Captopril 3 x 6,25mg

Aspilet 1 x 80 mg

reguler, bising (-), gallop (-)

ISDN 1 X 5 mg

Pulmo :

Bisoprolol 1 x 2,5 mg

I :Pengembangan dada kanan

Simvastatin 2 g (0-0-1

= kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri

Plan : Kultur urin, EKG,

P : sonor/sonor

USG urologi,

A : SDV(N/N), RBH (+/+) di

Echocardiographi

basal paru
Abdomen :
I : DP // DD
A : bising usus (+) 14 x/menit
P : tympani, pekak alih (+),
undulasi (-),

pekak sisi (-),

area traube timpani


P : supel, nyeri tekan di regio
suprapubik (+)
Genitourinaria:
Teraba
prostat,
masih

pembesaran
sulcus
teraba,

lobus

medianus
konsistensi

prostat kenyal.
Nyeri ketok costovertebrae (-/
+)
Ekstremitas :
Akral dingin:
-

Oedem

22

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG tanggal 29 Mei 2015

Hasil :
Irama

: AF normo VR

Heart Rate

: 88x/menit

Axis

: Normoaxis

Gelombang P : Menghilang
Zona transisi : V4 V5

23

LVH

: tidak memenuhi kriteria Sokolow Lyon (>35) dan kriteria Cornell

(>28)
T inverted

: ditemukan pada lead II, III, aVF

Kesimpulan

: AF normo VR, HR 88 kali/menit, normoaksis, T inverted di lead

II, III, aVF


b. Laboratorium Urin
Pemeriksaan Urin merupakan hasil tanggal 28 Mei 2015
Pemeriksaan
Warna
Kejernihan
KIMIA URIN
BJ
Ph
Leukosit
Nitrit
Protein
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Eritrosit
MIKROSKOPIS
Eritrosit
Leukosit
EPITEL
Ep. Skuamous
Ep. Transisional
Ep. Bulat
SILINDER
Hyline
Granulated
Leukosit
Small round cell
Mukus

Hasil
Dark Yellow
Cloudy

Satuan

1.016
5.5
500
Negatif
75
Normal
Negatif
Normal
Negatif
50

Rujukan

mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
mg/dL
/L

1.015 1.025
4.5 8
Negatif
Negatif
Negatif
Normal
Negatif
Normal
Negatif
Negatif

558
6022.4

/ L
/LPB

0 6.4
0 12

12
-

/LPB
/LPB
/LPB

Negatif
Negatif
Negatif

0
6.1
2.04

/LPK
/LPK
/LPK
/ L
/ L

03
Negatif
Negatif
0.0 0.0
0.0 0.0

/ L

24

Sperma
Konduktivitas
Lain lain

0
/ L
0.0 0.0
8.7
ms/cm
3.0 32.0
Eritrosit 100 102/LPB, Leukosit 6022
6023/LPB, Kristal amorf (+), benang mukus
(+), bakteri (+)

c. Jawaban Konsulan dan Raber Jantung tanggal 30 Mei 2015


S: Sesak Nafas
O: TD : 110 /70 mmHg

N : 64 x/menit

RR : 28 x/menit
Mata : CP (-/-), SI(-/-)
Leher : JVP meningkat
Thorax: Simetris, retraksi (-)
Cor
I

: IC tidak tampak

: IC tidak kuat angkat

: Batas jantung melebar ke caudolateral

: BJ I-II intensitas normal, reguler,

Pulmo: SDV (+/+), ST (-/-), RBH (+/+)


Abdomen: Supel, NT (+) di region suprapubik, BU (+) Normal
Extremitas: Akral dingin:
-

Oedem
-

Assesment: CHF NYHA III, AF normal VR


a.HHD
e.HT
Terapi:

Captopril 3 x 25 mg

Bisoprolol 1 x 2,5 (stop)

Inj Furosemid 20 mg/12 jam

25

Simvastatin 20 mg (0-0-1)

Aspilet (0-1-0)

Tyarit 3 x 200 mg

Plan : EKG senin pagi, Echocardiography.

Tanggal

Subyektif

Obyektif

Assasment

26

Terapi / Plan

1 Juni
2015

Sesak

KU

: CM, tampak sakit -

nafas

sedang

berkurang

Tensi : 140 / 100 mmHg


RR

A : AF normo VR
E : Hipertensi

: 24x / menit

Nadi

: 90 x / menit, isi cukup, -

reguler
Suhu : 36,2 C
Mata

: CP (-/-), SI (-/-)

Leher
Cor :
I

: IC tidak tampak

: IC tidak kuat angkat

Bed rest tidak total


duduk

O2 3 lpm

Diet jantung 2100 kka

Disuria ec

rendah Garam < 5

nefrolitiasis

gr/hari

Azotemia ec Akut
on CKD

: JVP (R+3cm), KGB

tidak membesar.

CHF NYHA III

Klinis BPH

ISK Komplikata

Infus NaCl 0,9% 20


tpm

Infus EAS pfrimer


1fl/24 jam

Injeksi Ceftriaxon 2 g /
24 jam

Injeksi Furosemid
20mg/12 jam

: batas jantung kesan

melebar ke caudolateral

Captopril 3 x 6,25mg

A : BJ I-II intensitas normal,

Aspilet 1 x 80 mg

reguler, bising (-), gallop (-)

Tyarit 2 x 200 mg

Pulmo :
I

:Pengembangan dada

kanan = kiri

Plan :

: Fremitus raba kanan=kiri

: sonor/sonor

urin, BC, DR3, Ur, Cr,

A : SDV(N/N), ST (-/-),RBH (+/


+) di basal paru
Abdomen :
I : DP // DD
A : bising usus (+) 14 x/menit
P : tympani, pekak alih (+),
undulasi (-),

USG Urologi, Kultur

pekak sisi (-),

area traube timpani,


P : supel, nyeri tekan di regio
suprapubik (+)

27

Elektrolit

Genitourinaria:
Teraba

pembesaran

prostat,

sulcus

masih

teraba,

lobus

medianus
konsistensi

prostat kenyal.
Nyeri ketok costovertebrae (-/
+)
Ekstremitas :
Akral dingin:
-

Oedem

4 Juni

Nyeri BAK

KU

2015

Sesak

sedang

nafas

Tensi : 140 / 100 mmHg

berkurang

RR

: CM, tampak sakit -

E : Hipertensi

: 88 x / menit, isi cukup, -

reguler
-

: CP (-/-), SI (-/-)

Leher
Cor :

: IC tidak tampak
:

batas

jantung

BPH grade 1

ISK Komplikata
ec Morganella

P : IC tidak kuat angkat


P

O2 3 lpm

Diet jantung 2100 kka

ec

Azotemia ec Akut
on CKD

: JVP (R+3cm), KGB

tidak membesar.
I

Disuria

kesan

morganii ssp
morganii

Bed rest tidak total


duduk

rendah Garam < 5


gr/hari

nefrolitiasis

Suhu : 36,4 C
Mata

A : AF normo VR

: 24 x / menit

Nadi

CHF NYHA III

Infus NaCl 0,9% 20


tpm

Infus EAS Pfrimer


1fl/24 jam

Injeksi Ceftriaxon 2 g /
24 jam

Injeksi Furosemid
20mg/12 jam

Aspilet 1 x 80 mg

A : BJ I-II intensitas normal,

Captopril 3 x 6,25mg

reguler, bising (-), gallop (-)

Tyarit 2 x 200 mg

Pulmo :

KSR 3 X 1

melebar ke caudolateral

28

I :Pengembangan dada kanan

= kiri

Asam Mefenamat 2 x
500 mg p.c

P : Fremitus raba kanan=kiri


P : sonor/sonor

Plan : Kultur urin, bladde

A : SDV(N/N), ST (-/-), RBH

training

(+/+) di basal paru


Abdomen :

I : DP // DD

kondisi sudah stabil

A : bising usus (+) 14 x/menit


P : tympani, pekak alih (+),
undulasi (-), pekak sisi (-),
area traube timpani
P : supel, nyeri tekan di regio
suprapubik (+)
Genitourinaria:
Teraba
prostat,
masih

pembesaran
sulcus
teraba,

lobus

medianus
konsistensi

prostat kenyal.
Nyeri ketok costovertebrae (-/
+)
Ekstremitas :
Akral dingin:
-

Lepas Raber Jantun

Oedem

29

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah 1 Juni 2015
Pemeriksaan
KIMIA KLINIK

Hasil

Satuan

Rujukan

Kreatinin

2.5

mg/dL

0.8 - 1.3

Ureum

88

mg/dL

<50

138

mmol/L

136 145

3.0

mmol/L

3.7 5.4

0.95

mmol/L

1.17

ELEKTROLIT
Na
K
Ca

2+

1.29

B. Pemeriksaan Foto Thorax PA


Pemeriksaan Foto Thorax PA dilakukan tanggal 1 Juni 2015

Keterangan :
Cor

: Kesan membesar

Pulmo

: Tampak perselubungan dengan airbronchogram di

suprahiler kanan, tampak penebalan hilus kanan kiri


Sinus costrophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah

30

Sistema tulang baik


Kesimpulan :
Cardiomegaly (CTR >50%)
Pneumonia
Penebalan hilus kanan kiri, suspect Lymphadenopathy Hiler
C. EKG tanggal 1 Juni 2015

Hasil :
Irama

: AF normo VR

Heart Rate

: 70 x/menit

31

Axis

: Normoaxis

Gelombang P : Menghilang
Zona transisi : V4 V5
LVH

: tidak memenuhi kriteria Sokolow Lyon (9 < 35)

dan kriteria Cornell (11 < 28)


T inverted

: ditemukan pada lead II, III, aVF

Kesimpulan

: AF normo VR, HR 70x/menit, normoaksis, T

inverted di lead II, III, aVF


D. USG Urologi
Pemeriksaan USG Urologi dilakukan tanggal 1 Juni 2015

Keterangan :

32

Ren dekstra

: ukuran normal, intensitas echoparenkim normal,


batas sinus korteks tegas, tak tampak ektasis
sistem

pelviocaliceal,

tidak

tampak

batu/kista/massa
Ren sinistra

: ukuran normal, intensitas echoparenkim normal,


batas sinus korteks tegas, tampak ektasis ringan
sistem

pelviocaliceal,

tidak

tampak

batu/kista/massa
Vesica urinaria : ukuran normal, berisi cukup urin, tak tampak
batu/massa/penebalan dinding
Prostat

: membesar dengan ukuran 2.9 x 3.1 x 5.3


(Volume = 26.52 cc), tampak kalsifikasi multipel,
tidak tampak adanya massa

Kesimpulan :
Hiperplasia prostat grade I
Hidronefrosis ringan kiri
E. Kultur
a. Kultur urin tanggal 1 Juni 2015
94% Probability

Morganella morganii ssp

Selected organism

morganii

Organism quantity

Bionumber
0007051201542211
5
>10 CFU/mL urine

Antimicrobial

MIC

Interpretatio
n

Interpretati

Antimicrobial

MIC
1
4*
4

on
S
S
S

<=1

ESBL
Ampicillin
Ampicillin /

>=32
>=32

R
R

Ertapenem
Meropenem
Arnikacin

Sulbactam
Cefazolin

>=64

Gentamicin

33

Ceftazidime
Ceftriaxone
Lefepime
Aztreonam

>=64
>=64
>=64
>=64

R
R
R
R

Ciprofloxacin
Tigecycline
Nitrofurantoin
Trimethoprim /

>=4
1
256
>=3

R
*R
R
R

Sulfamethoxazol 20
e
Deduced drug : * = AES modified ** = User modified
Tanggal

Subyektif

5 Juni

2015
-

Obyektif

Assasment

Sesak

KU

: CM, tampak sakit -

nafas

sedang

berkurang

Tensi : 140 / 90 mmHg

Lemas

RR

A : AF normo VR
E : Hipertensi

: 24x / menit

Nadi

: 92 x / menit, isi cukup, -

reguler
Suhu : 36,5 C
Mata

: CP (-/-), SI (-/-)

Leher
Cor :

: IC tidak tampak

Bed rest tidak total


duduk

O2 3 lpm

Diet jantung 2100 kka

Disuria ec

rendah Garam < 5

nefrolitiasis

gr/hari

Azotemia ec Akut
on CKD

: JVP (R+3cm), KGB

tidak membesar.
I

CHF NYHA III

Terapi / Plan

BPH grade I

ISK ec

Infus NaCl 0,9% 20


tpm

Injeksi Gentamycin 80
mg / 12 jam

Injeksi Furosemid
20mg/12 jam

P : IC tidak kuat angkat

Morganella

KSR 3 X 1

morganii ssp

Captopril 3 x 6,25mg

morganii

Aspilet 1 x 80 mg

batas

jantung

kesan

melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-)

Plan :

Pulmo :

Off DC cathether

I :Pengembangan dada kanan

Konsul bedah urologi

= kiri

DR3 elektrolit

P : Fremitus raba kanan=kiri


P : sonor/sonor
A : SDV(N/N), ST (-/-), RBH
(+/+) di basal paru

34

Abdomen :
I : DP // DD
A : bising usus (+) 14 x/menit
P : tympani, pekak alih (+),
undulasi (-),

pekak sisi (-),

area traube timpani,


P : supel, nyeri tekan di regio
suprapubik (+)
Genitourinaria:
Teraba

pembesaran

prostat,
masih

sulcus
teraba,

lobus

medianus
konsistensi

prostat kenyal.
Nyeri ketok costovertebrae (-/
+)
Ekstremitas :
Akral dingin:
-

6 Juni

2015
-

Oedem

Sesak

KU

nafas (-)

sedang

Nyeri di

Tensi : 140 / 90 mmHg

kaki

RR
Nadi

: CM, tampak sakit -

E : Hipertensi

: 20x / menit
: 90 x / menit, isi cukup, -

Disuria

O2 3 lpm

Diet jantung 2100 kka

ec

: CP (-/-), SI (-/-)

on CKD

: JVP (R+3cm), KGB

tidak membesar.

35

Azotemia ec Akut

BPH grade I

Bed rest tidak total


duduk

rendah Garam < 5


gr/hari

nefrolitiasis

Suhu : 36,5 C
Leher

A : AF normo VR

reguler
Mata

CHF NYHA III

Infus NaCl 0,9% 20


tpm

Injeksi Furosemid
20mg/12 jam

Cor :
I

: IC tidak tampak

P : IC tidak kuat angkat

morganii ssp

morganii

batas

jantung

kesan

reguler, bising (-), gallop (-)


Pulmo :
I :Pengembangan dada kanan
= kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : sonor/sonor
A : SDV(N/N), ST (-/-), RBH
(-/-)
Abdomen :
I : DP // DD
A : bising usus (+) 12 x/menit
P : tympani, pekak alih (+),
pekak sisi (-),

area traube timpani


P : supel, nyeri tekan di regio
suprapubik (+)
Genitourinaria:
Teraba
prostat,
masih

pembesaran
sulcus
teraba,

lobus

medianus
konsistensi

prostat kenyal.
Nyeri ketok costovertebrae (-/
+)
Ekstremitas :
Akral dingin:
-

Injeksi Gentamycin 80
mg / 12 jam

KSR 3 X 1

Plan : Kultur urin

A : BJ I-II intensitas normal,

undulasi (-),

Morganella

melebar ke caudolateral

ISK ec

Oedem

36

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Kultur urin tanggal 4 Juni 2015
94% Probability

Morganella morganii ssp

Selected organism

morganii

Organism quantity

Bionumber
0007051201542211
5
>10 CFU/mL urine

Antimicrobial

MIC

Interpretatio
n

Interpretati

Antimicrobial

MIC
1
0.5
<=2

on
S
S
S

<=1
>=4

S
R

ESBL
Ampicillin
Ampicillin /

>=32
>=32

R
R

Ertapenem
Meropenem
Arnikacin

Sulbactam
Cefazolin
Ceftazidime

>=64
>=64

R
R

Gentamicin
Ciprofloxacin

B.Laboratorium Darah tanggal 5 Juni 2015


Pemeriksaan
Hasil
HEMATOLOGI RUTIN
11.1
Hb
Hct
35
15.5
AL
AT
335
AE
4.77
KIMIA KLINIK

Satuan

Rujukan

g/dL
%
103/L
103/L
106/L

13.5 17.5
33 45
4.5 11
150 450
4.5 5.9

Kreatinin

1.9

mg/dL

0.8 - 1.3

Ureum

41

mg/dL

<50

134

mmol/L

136 145

3.4

mmol/L

3.7 5.4

1.26

mmol/L

1.17

ELEKTROLIT
Na
K
Ca

2+

37

1.29

C. Jawaban Konsulan dari Bedah Urologi tanggal 05 Juni 2015


RT

Teraba pembesaran lobus prostat, sulcus medianus masih

teraba, konsistensi prostat kenyal. Nyeri ketok costovertebrae (-/


+)
Ass

: BPH

USG : BPH grade 1

Tanggal

Subyektif

8 Juni

2015
-

Off DC (+)

BAK (+) kuning jernih

Obyektif

Assasment

Sesak

KU

: CM, tampak sakit -

nafas (-)

sedang

Nyeri di

Tensi : 140 / 90 mmHg

kaki

RR

: 96 x / menit, isi cukup, -

: CP (-/-), SI (-/-)

P : IC tidak kuat angkat


batas

jantung

Diet jantung 2100 kka


rendah Garam < 5
gr/hari

CKD

dd -

Sydrome type II

: IC tidak tampak
:

O2 3 lpm

kesan -

Infus NaCl 0,9% 20


tpm
Injeksi Furosemid
20mg/12 jam

Cardiorenal

Cor :

ec

Azotemia ec Akut
on

: JVP (R+3cm), KGB

tidak membesar.
I

Disuria

Bed rest tidak total


duduk

nefrolitiasis

Suhu : 36,5 C
Leher

E : Hipertensi

reguler
Mata

CHF NYHA III


A : AF normo VR

: 20x / menit

Nadi

Terapi / Plan

Injeksi Gentamycin 80
mg / 12 jam

BPH grade I

KSR 3 X 1

ISK ec

Neurobion 1 x 500 mg

melebar ke caudolateral

Morganella

A : BJ I-II intensitas normal,

morganii ssp

reguler, bising (-), gallop (-)

morganii

Plan :
-

Evaluasi off DC untuk


kencingnya

Pulmo :
I :Pengembangan dada kanan

EKG ulang

= kiri

APS

P : Fremitus raba kanan=kiri


P : sonor/sonor

38

A : SDV(N/N), ST (-/-), RBH


(-/-)
Abdomen :
I : DP // DD
A : bising usus (+) 12 x/menit
P : tympani, pekak alih (+),
undulasi (-),

pekak sisi (-),

area traube timpani


P : supel, nyeri tekan di regio
suprapubik (+)
Genitourinaria:
Teraba

pembesaran

prostat,

sulcus

masih

teraba,

lobus

medianus
konsistensi

prostat kenyal.
Nyeri ketok costovertebrae (-/
+)
Ekstremitas :
Akral

dingin:

Oedem
-

Hasil Monitoring BC
outpu
t

input
29Mei eas
nacl
minum dan
makan

250
150
0

1000

200
195
0

iwl

bc

975

-25

39

30Mei d5
eas
minum makan
31Mei d5
eas
minum makan
01Jun d5
eas
minum makan
02Jun nacl
eas
minum makan
03Jun nacl
eas
minum makan
04Jun nacl
eas
minum makan
05Jun nacl
eas
minum makan
06Jun nacl

150
0
250
300
205
0
150
0
250
400
215
0
150
0
250
500
225
0
150
0
250
450
220
0
150
0
250
550
230
0
150
0
250
350
210
0
150
0
250
500
225
0
150
0

1200

975

-125
1400

975

-225
1350

975

-75
1225

975

0
1500

975

-175
1500

975

-375
1325

975

-50
1200

40

975

minum makan
07Jun nacl
minum makan
IX.

500
200
0
150
0
500
200
0

-175
1400

975
-375

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanam : dubia ad malam
Ad fungsionam: dubia ad malam

X. ALUR KETERKAITAN MASALAH

Hipertensi

Nefrolitiasis

CHF

Acute on Chronic Kidney Disease

ISK

41

BPH grade 1

XI.

RINGKASAN
Pasien sesak napas yang memberat sejak 2 hari SMRS. Sesak napas
seperti tertekan benda berat dan hilang timbul. Sesak timbul saat aktivitas
sedang. PND (+) Orthopneu (+).
BAK sulit sejak 7 hari SMRS. BAK menetes @+ gelas belimbing.
Air kencing kuning, agak keruh, darah (-), berpasir (-). Pasien harus
mengejan setiap BAK dan BAK tidak lampias. Frekuensi BAK 6x/hari,
Nokturia (+). BAK panas, anyang-anyangan (+). Keluhan disertai nyeri
pinggang di sebelah kiri dan menjalar dari belakang ke arah perut bagian
bawah. Nyeri hilang timbul, biasa timbul malam hari. Tidak membaik
dengan istirahat dan memberat dengan aktivitas. Demam (-). Pasien
selama ini terbiasa minum sedikit, satu hari hanya 2-3 gelas belimbing.
BAB tidak lancar sejak 7 hari SMRS. BAB hitam, keras dan mringkil @+
gelas belimbing. BAB darah (-) BAB lendir (-).
Badan mudah lemas sejak 1 bulan SMRS. Lelah memberat dengan
aktivitas, berkurang dengan istirahat. Pusing nggliyer (-) pandangan
berkunang-kunang (-) telinga berdenging (-) mimisan (-) pandangan kabur
(-) gusi berdarah (-) bercak merah di kulit (-) dada berdebar (-)
Sejak 1 tahun SMRS, pasien sering pusing. Pusing berdenyut dan
cengeng di daerah tengkuk. Pusing timbul bila pasien terlalu lelah bekerja
dan jika memiliki banyak masalah. Keluhan berkurang dengan istirahat
dan minum obat pusing yang dibeli di warung. Riwayat HT (+) sejak 2
tahun, tidak terkontrol.
Hasil

pemeriksaan

fisik

didapatkan

keadaan

umum

pasien

composmentis dan pasien tampak sakit sedang, TD 150/90 mmHg, nadi


98x/menit, RR : 20 x/menit, suhu : 36.50C, VAS : 2 dan IMT 24.2 kg/m2.

42

Pemeriksaan cor batas jantung kesan melebar ke caudolateral dengan batas


jantung kiri bawah di SIC VI linea midclavicularis sinistra. Pemeriksaan
pulmo dari auskultasi di paru anterior dan posterior didapatkan ronki basah
halus (+/+) di basal paru. Pemeriksaan urogenital didapatkan nyeri ketok
costovertebrae (-/+) dan teraba pembesaran lobus prostat, sulcus medianus
masih teraba, konsistensi prostat kenyal.
XII. PEMBAHASAN KASUS
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan tanda tanda dan
gejala yang mengarah ke diagnosis CHF NYHA III. Dari anamnesis
didapatkan adanya keluhan sesak napas dirasakan seperti tertekan benda berat
(ampeg). Sesak dirasakan bertambah berat saat tidur terlentang. Sesak biasa
timbul saat aktivitas sedang, seperti berjalan sejauh 100 meter dan membaik
jika pasien istirahat sejenak (Dyspnea deffort). Pasien juga mengeluh sesak
pada malam hari yang menyebabkan terbangun dari tidur (Paroksismal
nocturnal dyspnea).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa batas jantung melebar ke
caudolateral dan dari pemeriksaan penunjang Foto rontgen PA, didapatkan
bahwa nilai CTR >50%. Menurut Framingham kriteria gagal jantung kongestif
ada 2 kriteria, yaitu kriteria mayor, dan kriteria minor. Diagnosis ditegakkan
dari dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor harus
ada di saat bersamaan (Rani et al., 2009). Dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini memenuhi kriteria gagal jantung
menurut Framingham.
Gagal jantung kongestif merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan
penyakit jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa
darah terganggu karena gangguan kontraktilitas otot jantung yang dapat
disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit atau fibrosis,
serta akibat pressure overload. Disfungsi diastolik terjadi akibat gangguan
relaksasi miokard dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri. Penyebab tersering disfungi diastolik adalah

43

penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan


kardiomiopati hipertrofi (Donald, 2009).
Pada pasien ini, memiliki riwayat Hipertensi sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien tidak rutin kontrol dan tidak rutin meminum obat untuk hipertensinya.
Dengan adanya hipertensi pada pasien, nantinya akan terjadi hipertrofi
ventrikel kiri yang akan menyebabkan peningkatan afterload, penyakit arteri
coroner, penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis. Disfungsi sistolik
asimtomatis biasanya mengikuti disfungsi diastolic. Setelah beberapa lama,
hipertrofi ventrikel kiri gagal mengkompensasi peningkatan takanan darah
sehingga lumen ventrikel kiri berdilatasi untuk mempertahankan cardiac
output. Lama-kelamaan fungsi sistolik ventrikel kiri akan menurun. Penurunan
ini akan mengaktifkan system neurohormonal dan renin-angiotensin, sehingga
meretensi garam dan air dan meningkatkan vasokonstriksi perifer, yang
akhirnya malah memperburuk keadaan dan menyebabkan disfungsi sistolik.
Pada gagal jantung akan terjadi aktivasi system neurohormonal dan reninangiotensin. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan
intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di
ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan
intraglomerular

dengan

cara

meningkatkan

irama

arteriole

efferent.

Angiotensin II akan memicu stress oksidatif yang pada akhirnya akan


meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga
angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal nantinya
akan menyebabkan terjadiya hiperfiltrasi pada ginjal. Hal ini selanjutnya akan
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Pada
tahap awal, akan terjadi proses adaptasi yaitu nantinya ginjal akan mengalami
hipertrofi sebagai mekanisme kompensasi untuk melaksanakan sluruh beban
kerja ginjal. Namun apabila sekitar 75% masa nefron sudah hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron menjadi sangat
tinggi

sehingga

keseimbangan

glomerulus-tubulus

tidak

dapat

lagi

dipertahankan. Pada akhirnya akan menyebabkan kolapsnya kapiler

44

gromerulus dan glomerulosklerosis dan akan terjadi penurunan fungsi nefron


yang progresif.
Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan laboratorium dan didapatkan
hasil nilai kreatin 6,2 mg/dL dan ureum 97 mg/dL. Dari nilai ureum dan
keratin, dapat dihitung Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) untuk mengetahui
fungsi ginjal secara keseluruhan. Rumus menghitung Laju Filtrasi Glomerulus
adalah:
LFG =

( 14065 ) 60
=10.08 mL/men/1,73m2
72 6,2

Pada kasus ini juga didapatkan adanya keluhan BAK sulit. Keluhan ini
tidak membaik dengan pemberian obat dan dirasakan semakin memberat.
Keluhan sulit BAK disertai dengan nyeri pinggang. Nyeri pinggang dirasakan
di sebelah kiri dan menjalar dari belakang ke arah perut bagian bawah. Nyeri
dirasakan hilang timbul, biasa timbul pada malam hari. Nyeri tidak membaik
dengan istirahat dan makin memberat dengan aktivitas. Keluhan tidak disertai
dengan demam. Pada pemeriksaan fisik pasien terdapat nyeri ketok
costovertebrae sebelah kiri.
Batu ginjal (Nefrolitiasis) hanya berada di pelvis renalis, namun dapat juga
bercabang mengikuti kaliks atau melibatkan 2 kaliks yang bersebelahan (batu
staghorn). Umumnya, manifestasi klinis berupa obstruksi saluran kemih dan
infeksi. Terkadang disertai nyeri pinggang, baik hanya pegal, kolik, atau
hingga nyeri yang menetap dan hebat. Pemeriksaan fisis umumnya normal,
tetapi jika salah terjadi hidronefrosis, dapat teraba massa ginjal yang
membesar. Nyeri tekan atau nyeri ketok sudut kostovertebra dapat positif
sesuai sisi ginjal yang terkena (Gaol dan Mochtar, 2014).
Nefrolitiasis bias terjadi karena gangguan aliran kemih seperti, fimosis,
striktur uretra, stenosis meatus, hipertrofi prostat, refluks vesiko ureter,
ureterokel, konstriksi hibungan ureteropelvik. Selain itu, kurangnya asupan air
dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi tinggi. Hal ini
terjadi pada pasien, dengan kebiasaan minum sedikit, satu hari hanya 2-3 gelas

45

belimbing dan kebiasaan pasien mengkonsumsi air dari sumur. Pembentukan


batu kristal kristal di ginjal dan dapat mengendap di dalam insterstitium
medular ginjal, tubulus atau sistem pengumpul yang akhirnya akan
menyebabkan gagal ginjal akut maupun kronik.
Pemeriksaan penunjang bisa menggunakan foto rontgen abdomen yang
terlihat adanya gambaran batu radioopak dan disarankan dengan melakukan
pemeriksaan penunjang IVP (Intravena Pyelograf) yang dilakukan degan
bantuan kontras untuk melihat adanya batu (Gaol dan Muchtar, 2014). Pada
pemeriksaan foto rontgen pasien, didapatkan hasil adanya gambaran
radioopak, di ginjal sebelah kiri. Namun pada pasien tidak dilakukan
pemeriksaan IVP karena nilai ureum dan kreatinin pasien masih tinggi.
Pasien juga mengeluhkan BAK menetes, dan sedikit. Setiap BAK, pasien
harus mengejan dan setelah BAK pasien merasa tidak lampias. Keluhan tidak
berkurang dengan perubahan posisi. Frekuensi BAK 6x/hari namun hanya
sedikit yang keluar pada saat BAK dan pasien juga sering terbangun di malam
hari untuk BAK.
Menurut Purnomo 2010, pembesaran prostat menyebabkan penyempitan
lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urine,
buli buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan. Perubahan
struktur pada bulu-buli, oleh pasien disarankan sebagai keluhkan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala prostatismus.
Keluhan yang timbul biasanya pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS:
lower urinary tract symptomps) yang terdiri atas keluhan dari mekanisme
keluhan storage (penyimpanan), meliputi urgensi, polakisuria atau frekuensi,
nokturia, dan disuria; sedangkan keluhan voiding meliputi hesitansi
(pengeluaran), harus mengejan saat miksi, pancaran urin melemah, dan
intermitensi. Adapun keluhan pasca miksi meliputi perasaan tidak puas setelah
miksi serta terasa masih ada sisa urin setelah miksi.

46

Pada colok dubur (Rectal Toucher) diperhatikan Tonus sfingter ani,


mukosa rectum, keadaan prostat, antara lain kemungkinan adanya nodul,
krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat. Pada colok
dubur pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat kenyal,
lobus kanan kiri simetris, dan tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik pasien,
didapatkan hasil pemeriksaan colok dubur teraba pembesaran lobus prostat,
sulcus medianus masih teraba, konsistensi prostat kenyal.
Pada pemeriksaan penunjang menggunakan USG dapat diperkirakan
besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendetekdi residu urin, batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-buli. (Mansjoer, 2001). Pada pasien ini, hasil dari
pemeriksaan USG didapatkan bahwa prostat membesar dengan ukuran 2.9 x
3.1 x 5.3 (Volume = 26.52 cc), tampak kalsifikasi multipel, tidak tampak
adanya massa.
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare,
2002). BPH merupakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa. Prostat tersebut mengelilingi uretra, sehingga pembesaran pada bagian
periuretral bisa menyebabkan obstruksi leher kandung kemih. Pembesaran
prostat pada

pars uretralis bisa menyebabkan aliran kemih dari kandung

kemih menjadi terhambat (Price dan Wilson, 2006).


Pada BPH terdapat resiko untuk terjadinya obtruksi saluran kemih. Gejala
iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari
urin yang tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal

47

dipercepat bila terjadi infeksi. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini
dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut
dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan
pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
Pasien juga mengeluhkan bahwa air kencing berwarna kuning, agak keruh,
tidak disertai darah dan tidak berpasir. Pada saat pasien BAK terasa panas dan
anyang-anyangan. Dan pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan adanya
nyeri tekan di region suprapubik.
Infeksi saluran kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam
saluran kemih dan berkembangbiak di dalam media urin. Gambaran klinis
infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala hingga
menunjukkan gejala yang sangat berat. Gejala yang sering timbul ialah
disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan,
disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis.
Pemeriksaan penunjang untuk ISK dapat dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium urin rutin. Hasil dari laboratorium urin rutin pada pasien yatu
dengan Eritrosit 100 102/LPB, Leukosit 6022 6023/LPB. Pada
pemeriksaan kultur urin didapatkan bahwa 94% Probability Morganella
morganii ssp morganii dan bakteri >105 CFU/mL urine.

48

XIII.

TINJAUAN PUSTAKA

A. CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) / GAGAL JANTUNG


I. Definisi
Gagal jantung adalah sekumpulan tanda gejala yang kompleks akibat
adanya gangguan struktural atau fungsional dalam pengisian ventrikel atau
ejeksi darah. Manifestasi utama gagal jantung yaitu sesak napas dan
kelelahan, yang dapat membatasi aktivitas, dan retensi cairan, yang dapat
menyebabkan kongesti paru dan/atau splanchnic dan/atau edema perifer.
Gejala gagal jantung dapat terjadi akibat gangguan perikardium,
miokardium, endokardium, katup jantung, pembuluh darah besar, atau
abnormalitas metabolik, tapi kebanyakan pasien dengan gagal jantung
memiliki gangguan fungsi miokardium ventrikel kiri (AHA, 2013).
Gagal jantung kongestif terjadi akibat ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume darah
yang efektif berkurang. Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang
adekuat, di dalam tubuh terjadi refleks homeostasis atau mekanisme
kompensasi melalui perubahan neurohormonal, dilatasi ventrikel, dan
mekanisme Frank-Starling. Salah satu respon hemodinamik yang tidak
normal adalah peningkatan tekanan pengisian dari jantung atau preload.
Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema
paru dan bendungan di sistem vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung
kongestif (Kabo, 2012).
II. Etiologi
Penyebab gagal jantung kongesitf dibedakan menjadi dua, yaitu
penyakit miokard sendiri, dan gangguan mekanik pada miokard (Kabo,
2012).
a. Penyakit pada miokard
1) Penyakit jantung koroner
2) Kardiomiopati
3) Miokarditis dan penyakit jantung rematik
4) Penyakit infiltratif

49

5) Iatrogenik akibat obat-obatan seperti adriamisin dan diisopiramid,


atau akibat radiasi
b. Gangguan mekanik pada miokard
1) Kelebihan beban tekanan (pressure overload).
Contoh: hipertensi, stenosis aorta, koarktasio aorta
2) Kelebihan beban volume (volume overload).
Contoh: insufisiensi aorta atau mitral, penyakit jantung bawaan
(left to right shunt) atau tranfusi berlebihan
3) Hambatan pengisian.
Contoh: Constrictive pericarditis atau tamponade
III. Patofisiologi
Gagal jantung kongestif merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan
penyakit jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk
memompa darah terganggu karena gangguan kontraktilitas otot jantung
yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit
atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi
atau tahanan aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang (Donald,
2009).
Sementara itu, disfungsi diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi
miokard dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance
ventrikel kiri, menyebabkan

gangguan pada pengisian ventrikel saat

diastolik. Penyebab tersering disfungi diastolik adalah penyakit jantung


koroner,hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofi (Donald, 2009).
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal
jantung sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta untuk
membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk memastikan
perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup:
a

Mekanisme Frank Starling


Mekanisme Frank-Starling meningkatkan stroke volume berarti
terjadi peningkatan volume ventrikular end-diastolic. Bila terjadi
peningkatan

pengisian

diastolik, berarti

ada

peningkatan

peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal pada filamen

50

aktin

dan miosin, dan

hasilnya

meningkatkan

tekanan

pada

kontraksi berikutnya (Marulam, 2010).


Pada gagal jantung, mekanisme Frank-Starling membantu
mendukung cardiac output. Cardiac output mungkin akan normal pada
penderita gagal jantung yang sedang beristirahat, dikarenakan
terjadinya

peningkatan

volume

ventricular

end-diastolic

dan

mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif


ketika jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan serat
otot mengalami peregangan yang berlebihan (Marulam, 2010)
b

Perubahan neurohormonal
Stimulasi

sistem

saraf

simpatetik berperan penting dalam

respon kompensasi menurunkan cardiac output dan patogenesis


gagal jantung. Stimulasi langsung irama jantung dan kontraktilitas
otot jantung oleh 8 pengaturan vascular tone, sistem saraf simpatetik
membantu memelihara perfusi berbagai organ, terutama otak dan
jantung (Marulam, 2010).
Aspek negatif dari peningkatan

aktivitas

system

saraf

simpatetik melibatkan peningkatan tahanan sistem vaskular dan


kelebihan kemampuan

jantung

dalam

memompa.

Stimulasi

simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan aliran


darah ke kulit, otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak
hanya

menurunkan

meningkatkan

sistem

perfusi jaringan

tetapi

juga berkontribusi

tahanan vaskular dan stres berlebihan dari

jantung (Marulam, 2010).


c

Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac
output dalam gagal jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan
kecepatan filtrasi glomerulus, yang menyebabkan retensi garam dan
air. Penurunan aliran darah ke ginjal, meningkatkan sekresi renin oleh
ginjal yang secara paralel akan meningkatkan pula angiotensin II.
Peningkatan konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada keadaan

51

vasokonstriksi dan menstimulasi produksi aldosteron dari adrenal


korteks. Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi natrium dengan
meningkatkan retensi air (Marulam, 2010).
Selain itu angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam
inflamasi

proses perbaikan karena adanya kerusakan jaringan.

Keduanya menstimulasi produksi sitokin, adhesi sel inflamasi (contoh


neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis; mengaktivasi makrofag pada
sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi pertumbuhan
fibroblas dan sintesis jaringan kolagen (Marulam, 2010).
d

Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara


lokal
Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide
(ANP), brain natriuretic peptide (BNP), dan C-type natriuretic
peptide (CNP). ANP dihasilkan dari sel atrial sebagai respon
meningkatkan ketegangan tekanan atrial, memproduksi natriuresis
cepat dan sementara, diuretik dan kehilangan kalium dalam jumlah
sedang dalam urine. BNP dikeluarkan sebagai respon tekanan
pengisian ventrikel sedangkan fungsi CNP masih belum jelas
(Marulam, 2010).

Remodeling dan hipertrofi ventrikel


Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon
terhadap peningkatan
remodeling

kebutuhan maka terjadi berbagai

termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya

macam
terjadi

peningkatan muatan tekanan ruang jantung atau pressure overload


(misalnya

pada

hipertensi,

stenosis

katup), hipertrofi ditandai

dengan peningkatan diameter setiap serat otot. Pembesaran ini


memberikan pola hipertrofi

konsentrik

yang

klasik, dimana

ketebalan dinding ventrikel bertambah tanpa penambahan ukuran


ruang jantung. Namun, bila

pengisian volume jantung terganggu

(misalnya pada regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat
jantung juga bertambah yang disebut hipertrofi eksentrik, dengan

52

penambahan ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding. Mekanisme


adaptif tersebut dapat

mempertahankan kemampuan jantung

memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya


untuk sementara. Perubahan

patologik

lebih

lanjut,

seperti

apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matriks


ekstraselular

(terutama

kolagen)

juga

dapat timbul

dan

menyebabkan gangguan fungsional dan struktural yang semakin


mengganggu fungsi ventrikel kiri (Donald, 2009).

Gambar 1. Bagan mekanisme kompensasi neurohormonal sebagai


respon terhadap penurunan curah jantung dan tekanan darah pada
gagal jantung
IV. Gejala dan tanda
Akibat bendungan di berbagai organ dan low output, pada penderita
gagal jantung kongestif hampir selalu ditemukan:
a. Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea, dan batuk non produktif yang timbul saat berbaring

53

b. Gejala dan tanda sistemik berupa lemah, mudah lelah, oligouri,


nokturi, mual, muntah, desakan vena sentralis meningkat, takikardi,
pulse pressure sempit, asites, hepatomegali, dan edema perifer.
c. Gejala susunan saraf pusat berupa: insomnia, sakit kepala, mimpi
buruk, sampai delirium (Kabo, 2012).
V. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Menurut Framingham kriteria gagal jantung
kongestif ada 2 kriteria, yaitu kriteria mayor, dan kriteria minor (Rani et al.,
2009).
Kriteria mayor terdiri dari :
a. Paroksismal nocturnal dispnea
b. Distensi vena leher
c. Ronki basah paru
d. Kardiomegali
e. Edem paru akut
f. Gallop S3
g. Peningkatan tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular
Kriteria minor terdiri dari :
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dyspnea deffort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardi (>120 x/ menit)
Kriteria mayor atau minor: Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan.
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor
dan dua kriteria minor harus ada di saat bersamaan (Rani et al., 2009).
New York Heart Association (NYHA) membagi klasifikasi fungsional
gagal jantung kongestif menjadi ada 4 kelas, yaitu (Ghanie, 2010):
a. Kelas I: penderita tanpa pembatasan kegiatan fisik. Gejala timbul
apabila mereka melakukan kegiatan fisik yang berat
b. Kelas II: penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik
Gejala timbul apabila mereka melakukan kegiatan fisik yang sedang

54

c. Kelas III: penderita dengan keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari.


Gejala timbul apabila mereka melakukan kegiatan fisik yang ringan
dan berkurang dengan istirahat.
d. Kelas IV: penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun
tanpa menimbulkan keluhan. Gejala timbul walaupun saat istirahat
dan bertambah apabila melakukan kegiatan fisik meskipun sangat
ringan.
VI. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan foto toraks dapat mengarah ke kardiomegali, corakan
vascular paru menggambarkan kranialisasi, garis kerley A/B, infiltrate
prekordial kedua paru, dan efusi pleura. Fungsi elektrokardiografi (EKG)
untuk melihat penyakit yang mendasari seperti infark miocard dan aritmia.
Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan Hb, elektrolit, ekokardiografi,
angiografi, fungsi ginjal, dan fungsi tiroid dilakukan atas indikasi.
VII. Penatalaksanaan
Tata laksana gagal jantung ditujukan pada 4 aspek, yaitu (Sitompul &
Sugeng, 2003):
a.
Tindakan umum
Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk
membatasi aktivitas sesuai dengan beratnya keluhan. Semua penderita
harus diberi edukasi mengenai penyebab dan faktor pencetus
penyakitnya agar dapat menghindari hal-hal yang dapat memperberat
kondisinya.
b.

Mengurangi beban jantung dan kelebihan cairan


Obat yang digunakan untuk mengatasi retensi dan kelebihan cairan
adalah diuretic. Bila gagal jantung ringan, biasanya cukup dengan
diuretika oral. Diuretic yang biasa digunakan adalah golongan thiazide
dan loop diuretic. Obat-obat lain yang mengurangi beban jantung
adalah vasodilator.Vasodilator yang paling sering digunakan saat ini
adalah nitrat, penghambat ACE, prazosin, dan hidralazin.

c.

Memperkuat kontraktilitas miokard

55

Obat-obat yang dipergunakan untuk memperkuat kontraktilitas


miokard adalah preparat digitalis, amin simpatomimetik seperti
dopamin dan dobutamin. Digitalis meningkatkan kontraktilitas dengan
membina kurva Frank-Starling yang lebih menguntungkan serta
meningkatakan curah jantung. Dopamin terutama bermanfaat pada
gagal jantung dengan hipotensi dimana efek vasokonstiksi perifer
diharapakan akan banyak membantu sirkulasi. Dobutamin bisa
bermanfaat pada gagal jantung berat dengan tekanan pembuluh balik
paru yang tinggi namun tekanan sistemik dalam batas normal
d.

Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab, faktor


pencetus, dan kelainan yang mendasari.

B. NEFROLITHIASIS
I.Definisi
Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalam ginjal, dan
mengandung komponen kristal serta matriks organik. Lokasi batu ginjal
dijumpai khas di kaliks atau pelvis dan bila akan keluar dapat terhenti di
ureter atau di kandung kemih. Batu ginjal sebagian besar mengandung batu
kalsium. Batu oksalat, kalsium oksalat atau kalsium fosfat secara bersama
dapat dijumpai sampai 65 85% dari jumlah keseluruhan batu ginjal
(Sjabani, 2010).
II.

Etiologi
1. Idiopatik
2. Gangguan aliran kemih : fimosis, striktur uretra, stenosis meatus,
hipertrofi prostat, refluks vesiko ureter, ureterokel, konstriksi hibungan
ureteropelvik
3. Gangguan metabolisme

hiperparatiroidisme,

hiperurisemia,

hiperkalsiuria
4. Infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme penghasil urea (Proteus
mirabilis)
5. Dehidrasi : kurang minum, suhu lingkungan tinggi
6. Benda asing : fragmen kateter, telur skistosoma
7. Jaringan mati (nekrosis papila ginjal)

56

8. Multifaktor : anak di negara sedang berkembang, penderita multitrauma


(Gaol dan Muchtar, 2014)
III.

Patofisiologi
Pembentukan

batu

memerlukan

keadaan

supersaturasi

dalam

pembentukan batu. Inhibitor pembentuk batu dijumpai dalam urin normal.


Batu kalsium oksalat dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein. Beberapa
promoter dapat memacu pembentukan batu seperti asam urat, memicu batu
kalsium oksalat. Aksi reaktan dan inhibitor belum dikenali sepenuhnya. Ada
dugaan proses ini berperan pada pembentukan awal atau nukleasi kristal,
progresi kristal atau agregasi kristal (Sjabani, 2010).
Batu ginjal dapat terbentuk bila dijumpai satu atau beberapa faktor
pembentuk kristal kalsium dan menimbulkan agregasi pembentukan batu.
Subyek normal dapat mengekskresikan nukleus kristal kecil. Proses
pembentukan batu kemungkinan dengan kecenderungan ekskresi agregat
kristal yang lebih besar dan kemungkinan sebagai kristal kalsium oksalat
dalam urin (Sjabani, 2010).
Proses perubahan kristal yang terbentuk pada tubulus menjadi batu masih
belum sejelas proses pembuangan kristal melalui aliran urin yang banyak.
Diperkirakan bahwa agregasi kristal menjadi cukup besar sehingga
tertinggal dan biasanya ditimbun pada duktus kolektivus akhir. Selanjutnya
secara perlahan timbunan akan membesar. Pengendapan ini diperkirakan
timbul pada bagian sel epitel yang mengalami lesi (Sjabani, 2010).
IV.

Tanda dan gejala


Batu ginjal hanya berada di pelvis renalis, namun dapat juga bercabang
mengikuti kaliks atau melibatkan 2 kaliks yang bersebelahan (batu
staghorn). Batu di pelvis biasanya menyebabkan hidronefrosis, namun batu
kaliks biasanya tidak menunjukkan tanda fisis. Umumnya, manifestasi klinis
berupa obstruksi saluran kemih dan infeksi. Terkadang disertai nyeri
pinggang, baik hanya pegal, kolik, atau hingga nyeri yang menetap dan
hebat. Pemeriksaan fisis umumnya normal, tetapi jika salah terjadi

57

hidronefrosis, dapat teraba massa ginjal yang membesar. Nyeri tekan atau
nyeri ketok sudut kostovertebra dapat positif sesuai sisi ginjal yang terkena
(Gaol dan Mochtar, 2014).
V.

Pemeriksaan penunjang
1. Foto rontgen abdomen dengan dua proyeksi
Batu asam urat murni bersifat radiolusen, sedangkan batu lainnya rata
rata bersifat radioopak. Hati hati dengan batu radioopak yang letaknya
berhimpitan dengan struktur tulang.
2. Pemeriksaan foto pielografi intravena
Untuk batu radiolusen, dilakukan foto dengan bantuan kontras untuk
menunjukkan defek pengisian. Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan
pada saat pasien mengalami kolik renal akut karena tidak akan
menunjukkan gambaran sistem palviokaleses dan ureter.
3. CT urografi tanpa kontras
Standar baku untuk mengevaluasi batu pada ginjal dan traktus urinarius,
termasuk batu asam urat
4. Pemeriksaan ultrasonografi
Bisa untuk melihat semua jenis batu, baik yang radiolusen atau
radioopak. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat menentukan ruang dan
lumen saluran kemih.
5. Pemeriksaan laboratorium, seperti urinalisis, pemeriksaan darah perifer
lengkap dan kadar ureum kreatinin serum dilakukan untuk menungjang
diagnosis adanya batu, komposisi, dan menentukan fungsi ginjal
(Gaol dan Mochtar, 2014)

VI.

Penatalaksanaan
1. Mengatasi gejala
Batu saluran kemih dapat menimbulkan keadaan darurat bila batu
turun ke sistem kolektivus dan menyebabkan kolik ginjal atau infeksi di
dalam sumbatan saluran kemih. Nyeri akibat batu saluran kemih dapat
dijelaskan dengan 2 mekanisme, yaitu dilatasi sistem sumbatan dengan

58

peregangan reseptor nyeri dan iritasi lokal dinding ureter atau dinding
pelvis ginjal disertai edema dan pelepasa mediator nyeri.
Tindakan darurat ditujukan kepada pasien dengan kolik ginjal.
Pasien dianjurkan untuk tirah baring dan dicari penyebab lain. Berikan
spasme analgetik atau inhibitor sintesis prostaglandin).
2. Pengambilan batu
a. Batu dapat keluar spontan. Sekitar 60 70% dari batu yang turun
spontan sering disertai serangan kolik ulangan. Diberikan terapi atau
untuk pencegahan kolik, dijaga pembuangan tinja tetap baik,
diberikan antiedema dan diberikan diuresis, serta aktivitas fisis. Batu
tidak diharapkan keluar spontan bila batu ukuran sebesar atau
melebihi 6 mm, disertai dilatasi hebat pelvis, infeksi atau sumbatan
sistem kolektivus dan keluhan pasien terhadap nyeri.
b. Pengambilan batu
Gelombang

kejutan

litotrips

ekstrakorporeal,

perkutaneous

nefrolitomi/cara lain, pembedahan


3. Pencegahan (batu kalsium kronik kalsium oksalat)
a. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan oksalat)
b. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu
Sitrat (kalium sitrat 20 mEq tiap malam hari, minum jeruk nipis

atau lemon sesudah makan malam)


Batu ginjal tunggal (meningkatkan

masukan

cairan,

mengkontrol secara berkala pembentukan batu baru)


c. Pengaturan diet
Meningkatkan masukan cairan
Masukan cairan terutama pada malam hari akan meningkatkan
aliran urin dan menurunkan konsentrasi pembentuk batu dalam

urin
Hindari minum soft drinks lebih dari 1 liter per minggu
Kurangi masukan protein (sebesar 1g/kgBB/hari). Masukan
protein tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium, ekskresi
asam urat dan menurunkan sitrat dalam urin. Protein hewani
diduga mempunyai efek menurunkan pH urin lebih besar

59

dibanding protein nabati karena lebih banyak menghasilkan

asam.
Membatasi asupan natrium. Diet rendah natrium (80 sampai 100
mq/hari) dapat memperbaiki reabsorbsi kalsium proksimal,
sehingga terjadi pengurangan ekskresi natrium dan ekskresi

kalium
Pembatasan masukan kalsium tidak dianjurkan. Penurunan
kalsium intestinal bebas akan menimbulkan peningkatan
absorbsi oksalat oleh pencernaan, peningkatan ekskresi oksalat

dan meningkatkan saturasi kalsium oksalat dalam urin.


4. Medikamentosa
a. Hiperkalsiuria idiopatik
Batasi

asupan

garam

dan

berikan

diuretik

tiazid

seperti

hidroklortiazid 25mg 50mg/hari. Hindari terjadinya hipokalemia,


bila perlu tambahkan kalium sitrat atau kalium bikarbonat.
b. Pemberian fosfat netral (orofosfat)
Mampu mengurangi ekskresi kalsium dan meningkatkan ekskresi
inhibitor kristalisasi
c. Hiperurikosuria
Beri allopurinol 100mg 300mg/hari
d. Hipositraturia
Diberikan kalium sitrat. Pemberian minuman 2 buah jerik nipis
sesudah makan malam pada pasien batu ginjal kalsium.
e. Hiperoksaluria enterik
Diusahakan pengurangan absorbsi oksalat intestinal, diberikan
banyak masukan cairan, kalium sitrat, kalsium karbonat oral 1
sampai 4g/hari untuk mengikat oksalat lumen intestinal. Asupan diet
rendah lemak dan diet rendah oksalat
f. Batu kalsium fosfat
Diberikan kalium sitrat
(Sjabani, 2010)

60

C.

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) / GAGAL GINJAL KRONIK


I. Definisi
Penyakit Ginjal kronik adalah suatu proses patofisologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia
adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ,
akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik (Suwitro, 2009).
Kriteria penyakit ginjal kronik
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
Kelainan Patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
2

atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)


Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan,

dan LFG sana atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m 2 tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik (Suwitro, 2009).
II.

Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu,
atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
(Suwitro, 2009). Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar

61

LFG, yang dihitungdengan mempergunakan rumus Kockkcroft-Gault


sebagai berikut:
(140 umur) X berat badan
LFG (ml/menit/1,73 m2

*)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85


Tabel 2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan
LFG (ml/menit/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
1
> 90
meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
2
60 89
ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG
3
30 59
menurunsedang
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
4
15 - 29
berat
5
Gagal Ginjal
< 15 atau dialisis

III.

Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik


Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik sebagai berikut :
1. Penurunan cadangan faal ginjal ( LFG = 40 75 %)

62

Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan
regulasi masih dapat dipertahankan normal. Masalah ini sesuai dengan
konsep intac nephrom hypothesis. Kelompok pasien ini sering
ditemukan kebetulan pada laboratorium rutin.
2. Insufisiensi renal (LFG = 20 50 %)
Pasien GGK pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas
normal walaupun sudah memperlihatkan keluhan-keluhan yang
berhubungan dengan retensi azotemia. Pada pemeriksaan hanya
ditemukan hipertensi, anemia (penurunan HCT) dan hiperurikemia.
Pasien pada tahap ini mudah terjun ke sindrom acute on chronic renal
failure artinya gambaran klinik gagal ginjal akut (GGA) pada seorang
pasien gagal ginjal kronik (GGK), dengan faktor pencetus (triger)
yang memperburuk faal ginjal (LFG) Sindrom ini sering berhubungan
dengan faktor-faktor yang memperburuk faal ginjal (LFG).
Sindrom acute on chronic renal failure :
-

Oliguria

Tandatanda overhydration (bendungan paru, bendungan hepar,

kardiomegali).
- Edema perifir (ekstrimitas & otak )
- Asidosis, hiperkalemia
- Anemia
- Hipertensi berat
Klinik sering dikacaukan dengan penyakit jantung hipertensif.
3. Gagal ginjal (LFG = 5 25 %)
Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata : anemia,
hipertensi, overhydration atau dehidrasi, kelainan laboratorium seperti
penurunan HCT, hiperurikemia, kenaikan ureum & kreatinin serum,
hiperfosfatemia, hiponatremia dilusi atau normonatremia, kalium K+
serum biasanya masih normal.
4. Sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5 %)
Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik
sangat komplek dan melibatkan banyak organ (multi organ)
(Sukandar, 2006).

63

IV.

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi structural dan fungsional nefronb yang masih tersisa (surviving
nephorns) sebagai upaya konpensasi yang dipelantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadi
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses
ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin- angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, skelorosis dan progresifitas
tersebut. Aktivitas jangka panjang aksi renin angiotansin-aldosteron,
sebagian ddipelantarai oleh growth factor (TGF-). Beberapa hal yang
juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit Ginjal
Kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, disiplidemia.
Terdapat variabilitas interinvidual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadinya
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal
LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi
pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang di tandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum sampai pada
LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala uremia

64

yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan


metabolisme, fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hiverpolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG dibawah 15%, akan terjadi komplikasi yang lebih serius dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacemen therapy)
antara lain dialisis atau tranplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitro, 2009).
V.

Etiologi
Umumnya gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsik
difus dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif
akan berakhir dengan gagal ginjal kronik. Umumnya penyakit diluar
ginjal, misal nefropati obstruktif dapat menyebabkan kelainan ginjal
instrinsik dan berakhir dengan gagal ginjal kronik.
Glomerulonefritis, hipertensi esensial dan pielonefritis merupakan
penyebab paling sering dari gagal ginjal kronik, kira-kira 60 %. Gagal
ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan
nefropati obstruktif hanya 15-20%.
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkhim ginjal
progresif dan difus, seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Lakilaki lebih sering dari wanita, umur antara 20-40 tahun. Sebagian besar
pasien relatif muda dan merupakan calon utama untuk transplantasi ginjal.
Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit sistem
(glomerulonefritis
poliartritis

sekunder)

nodosa,

(glomerulopati)

yang

seperti

granulomatosus
berhubungan

lupus

eritomatosus

wagener.
dengan

sistemik,

Glomerulonefritis
diabetes

mellitus

(glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan


gagal ginjal kronik. Hlomerulonefritis yang berhubungan dengan

65

amiloidosis sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun


seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis, artritis reumatoid dan mieloma.
Penyakit ginjal hipertensi (arteriolar nephrosclerosis) merupakan
salah satu penyebab gagal ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat
yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10 %.
Kira-kira 10-15% pasien-pasien dengan gagal ginjal kronik
disebabkan penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit
Fabbry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan
amiloidosis.
Tabel 3. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit ginjal
Diabetes Tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal
non diabetes

Penyakit glomerular
(penyakit otoimun, infeksi sistemik,obat,neoplasia)
Penyakit vascular
(Penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pieloneftritis kronik,batuk,obstruksi,keracunan obat)
Penyakit Kistik

Penyakit pada

(Ginjal Polikstik)
Rejeksi Kronik

transplantasi

Keracunan obat (sikloporin/takrolimus)


Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy
Pada orang dewasa gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan
infeksi saluran kamih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang
dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel, nekrosis papilla renalis
yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Seperti diketahui nefritis interstisial menunjukkan kelainan
histopatologi berupa fibrosis dan reaksi inflamsi atau radang dari jaringan
interstisial dengan etiologi yang banyak (lihat tabel). Kadang dijumpai
juga kelainan-kelainan mengenai glomerulus dan pembuluh darah,askuler.

66

Nefropati asam urat menempati urutan pertama dari etiologi nefritis


interstisial.
Dikelompokan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus,
nefropati, urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan
penyebab yang tidak diketahui (Sukandar, 2006).
VI.

Diagnosis
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi ; a).
Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi

traktus,

urinarius,

batu

traktus

urinarius,

hipertensi,

hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagai


nya. b). Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,
mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload)
neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma. c). Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
2. Gambaran Laboratorium
Gambaran Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi a). Sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya b). Penurunan fungsi ginjal berupa
peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan penurunan LFG yang
dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis
metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi a). Foto
polos abdomen, bisa tampak batu radio opak. b). Pielografi intravena

67

jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter


glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi
antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi d).
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, klasifikasi e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila
ada indikasi
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada
pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan
terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik,
hipertensi

yang tidak terkendali,

infeksi perinefrik,

gangguan

pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas (Suwitro, 2009).


VII.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal
tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,
bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid

68

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat penurunan LFG pada


passien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol infeksi traktus urinarius, obatobat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.
3. Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus.
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini
adalah: Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai
dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut,
pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan
0,6-0,8 kg.bb/hari, yang 0,35 0,50 gr diantaranya merupakan protein
nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30 -35
kkal/kgBB/hari. Ddibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status
nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein
dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah dipecah menjadi urea
dan subtansi nitrogen lain , yang terutama diekskresikan melalui ginjal.
Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen dan
ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik
yang disebut uremia.
Dengan demikian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah supan
protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan
hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus

(intraglomerulus

hyperfiltration),

yang

akan

meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi ginjal. Pembatasan

69

asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena


protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan
fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
4. Terapi Farmakologis
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti
hipertenasi,

disamping

bermanfaat

untuk

memperkeciil

resiko

kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan


kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertrofi

glomerulus.

Beberapa

studi

membuktikan

bahwa

pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya


dengan pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi
intraglomerulus dan hipertrogi glomerulus. Disamping itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini
diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko terjadi
pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan
dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim
Konverting

Angiotensin

(Angiotensin

Converting

Enzyme/ACE

inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses


pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria (Suwitro, 2009).
D. GEJALA AKUT PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK
I.Definisi
Acute on Chronic Renal Failure Syndrome memperlihatkan presentasi
klinik akut (oliguria, asidosis hiperkalemia) pada pasien GGK (anemia,
hipertensi/normotensi) dengan pemicu reversible / correctable factors yang
memperburuk faal ginjal laju filtrasi glomerulus (LFG).
Sindrom ini sering merupakan presentasi pertama dari pasien-pasien
dengan gagal ginjal kronik (GGK). Seperti diketahui presentasi klinik GGK

70

sangat bervariasi sangat luas; mulai dari tanpa keluhan atau keluhan-keluhan
ringan dan tidak spesifik dan keadaan darurat medik.
Pada keadaan darurat medik ini harus dipertimbangkan beberapa
keadaan berikut:
-

Acute on Chronic Renal Failure Syndrome

Rapidly Progressive Glomerulo Nephritis (RPGN) Syndrome

Azotemic Syndrome

Ketiga keadaan darurat medik ini harus cepat dan tepat dapat dibedakan
karena mempengaruhi manajemen dan prognosis
II.

Etiologi
Beberapa faktor yang dapat memperburuk faal ginjal LFG pada pasien
gagal ginjal kronik tingkat ringan atau sedang dapat dilihat pada tabel.
Sebenarnya faktor-faktor tersebut dapat dicegah dan dapat diatasi dengan
pengobatan konservatif bila diketahui sedini mungkin sehingga stadium
terminal dapat dihindarkan. Infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis)
sering dijumpai walaupun tanpa keluhan atau gejala dan ditemukan pada
pemeriksaan laboratorium rutin, misal lekosituri dan basiluri. Biakan urin
harus rutin pada setiap penyakit ginjal apapun juga sebabnya termasuk gagal
ginjal kronik. Infeksi paru terutama pneumonia morbiditas dan mortalitas
pasien gagal ginjal kronik (GGK)
Hipertensi berat yang. tidak terkontrol terutama bila disertai gagal
jantung kongestif paling sulit dikendalikan.
Beberapa faktor yang memperburuk faal ginjal (LFG) :
1. Infeksi
infeksi saluran kemih dan ginjal pielonefritis
infeksi ekstra renal terutama bila disertai septikemi.
2. Hipertensi berat
3. Gagal jantung kongestif
4. Pembedahan / trauma
5. Transfusi darah ganda (multiple)
6. Obat-obatan nefrotoksik
7. Gangguan elektrolit
Deplesi air & natrium

71

Hipokalemia
Hiperkalsemi
8. Nefropati Obstruktif
Deplesi air dan natrium yang akut (vibrio eitor) dan kronik (natriuresis)
pada penyakit ginjal pilikistik, pielonefritis kronik dan sindrom Fanconi;
dapat memperburuk faal ginjal.
Pembedahan atau trauma yang menyebabkan hiperkatabolisme dapat
memperburuk faal ginjal dan retensi sisa-sisa metabolisme.
Transfusi darah terutama dengan whole blood dan ganda sering kali
menyebabkan asidosis, hiperkalemia dan overhydration.
Obat-obat yang mempunyai efek nefrotoksik misal tetrasiklin dapat
memperburuk faal ginjal, pada orang tua dengan hipertrofi prostat dan
disertai infeksi saluran kemih dan ginjal, tidak jarang dijumpai.
Prosedur pencitraan organ (terutama ginjal) dengan menggunakan
media kontras harus mempunyai indikasi mutlak; karena resiko penurunan
progresif faal ginjal
III.

Patofisiologi
Semua

faktor

ekstrarenal

dan

terbalikan

(reversibel)

dapat

menyebabkan penurunan progresif faal ginjal (LFG), maka gambaran klinik


azotemia makin meningkat dan tidak jarang dengan sindrom azotemia yang
komplek. Bila semua faktor terbalikan tersebut dapat dikendalikan dengan
pengobatan rasional dan adekuat, maka faal ginjal (LFG) akan
memperlihatkan perbaikan dan mungkin akan menangguhkan saat dimulai
program hemodialisis intermiten.
Pada keadaan darurat medik dapat dilakukan dilisis sementara untuk
mengatasi presentasi klinik yang berhubungan dengan retensi toksin
azotemia

(lihat

indikasi

absolut

keseimbangan cairan dan elktrolit.

72

inisiasi

dialisis)

dan

gangguan

Hubungan Penurunan Faal Ginjal Dan Gambaran Klinik


IV.

Gambaran klinik
Gambaran klinik Acute on CRF syndrome tergantung dari 3 faktor berikut:
a. Derajat penurunan faal ginjal laju filtrasi glomerulus (LFG)
b. Penyakit dasar ginjal (underlying renal disease)
c. Faktor-faktor pemburuk faal ginjal
Menurut pengalaman penulis gambaran klinik gejala akut pada gagal
ginjal kronik terdiri dari 2 tipe :
1. Tipe kering
a. Gambaran klinik:
-

Oliguria (anuria)

Dehidrasi

Hipotensi

Febris atau suhu normal

Kesadaran menurun (somnolen) atau koma

b. Penyakit dasar (underlying renal disease)


-

Penyakit ginjal polikistik

Nefropati kronik asam urat

Nefropati obstruksi kronik intrarenal (nefrolitiasis)

c. Faktor pemburuk faal ginjal (LFG)

73

Natriuresis

Urosepsis

Septik shock (pneumonia lobaris)

Kolik ginjal disertai obstruksi uropati unilateral atau bilateral

Iatrogenik (pembedahan, antibiotika yang potensial nefrotoksik,


NSAIDs, dan media kontras)

2. Tipe basah
a. Gambaran klinik menyerupai sindrom nefritik akut (SNA) :
-

Oliguria (anuria)

Hipertensi berat

Bendungan paru akut

Kardiomegali

Kenaikan tekanan vena yugularis

Hepatomegali

Muka sembab, asites, sembab tungkai

Asidosis

Kesadaran menurun (sonmolen) atau koma

b. Penyakit dasar ginjal (underlying renal disease)


-

Penyakit parenkhim ginjal dengan kecenderungan retensi


natrium (Na+):

Glomerulopati idiopati

Nefropati imunoglobulin - A (IgA)

Nefropati diabetik

c. Faktor pemburuk faal ginjal (LFG)

V.

ISK berulang (rekuren)

Hipertensi berat (maligna)

Penyakit jantung hipertensif

Penyakit jantung aterosklerosis (iskemia atau infark)

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang diagnosis tergantung dari tipe :

74

1. Tipe kering
a. Gambaran klinik
-

Analisis urin

Hb (HCT) dan jumlah lekosit

Ureum, kreatinin, elektrolit seram

Analisis gas darah

Analisis gas darah

b. Penyakit dasar (underlying renal disease)


-

Analisis urin dan CFU per ml

asam urat serum

USG ginjal dan saluran kemih (prostat)

CT scan ginjal

Nefrotomogram

c. Faktor pemburuk faal ginjal


-

Elektrolit terutama Na+ dan K+ serum dan urin

CFU per ml urin

Biakan darah

Hb (HCT) dan jumlah lekosit

Pencitraan ginjal (foto polos perut, USG, CT scan dan renografi


hippuran)

2. Tipe basah
b. Gambaran klinik
-

Analisis urin rutin

Ureum dan kreatinin serum

Elektrolit dan analisis gas darah

Foto torak

EKG

c. Penyakit dasar ginjal (underlying renal disease)


-

Analisis urin rutin

Proteinuria kwantitatif selama 24 jam

Profil imunoglobulin dan komplemen

Imunodiagnosis

75

Gula darah

d. Faktor pemburuk faal ginjal


-

Analisis urin dan CFU per ml urin

Ekhokardiogram

Profil lipid (Sukandar, 2006)

E. BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)


I.Definisi
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)
menurut beberapa ahli adalah :
1. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi
ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer
dan Bare, 2002)
2. BPH merupakakan

pertumbuhan

nodul-nodul

fibroadenomatosa

majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian


periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan
menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi
uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi
leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran
kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006)
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50
tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat
yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari
beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine
( Baradero, Dayrit, dkk, 2007)
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna
Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang
disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50
tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat

76

menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan


perkemihan.
II.

Etiologi
1. Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat
oleh enzim 5-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang
telah dibentuk akan berikatan dengan reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT+RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi
sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.
Kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada
prostat normal, namun pada BPH aktivitas enzim 5-reduktase dan
jumlah reseptor androgen lebih banyak, hal ini menyebabkan sel prostat
lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibanding dengan prostat normal.
2. Keseimbangan antara estrogen dan progesteron
Pada usia semakin tua, kadar testosteron menurun sementara kadar
estrogen relatif tetap. Estrogen di dalam prostat berperan dalam
proliferasi sel prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel
prostat terhadap rangsnga hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun
rangsangan terbentuknya sel prostat baru akibat rangsangan testosteron
menurun, tetapi sel-sel yang telah ada mempunyai umur lebih panjang,
sehingga massa prostat jadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Setelah sel stroma mendapat stimulasi dari DHT dan estradiol, selsel

stroma

mensintesis

suatu

growth

factor

yang

selanjutnya

mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara autokrin, serta

77

mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan


terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
4. Berkurangnya kematian sel
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan
yang manti dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah apoptosis sel
prostat menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga massa prostat bertambah.
III.

Patofisiologi
Menurut

Purnomo

2010,

pembesaran

prostat

menyebabkan

penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan


ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan
urine, buli buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik bulibuli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan strukturpada bulu-buli tersebut,
oleh pasien disarankan sebagai keluhkan padasaluran kemih sebelah bawah
atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli bulitidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua
muaraureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke
ureteratau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka
berlangsungterus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnyadapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidakhanya
disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretraposterior,
tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang pada stromaprostat, kapsul

78

prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itudipersarafi oleh
serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
IV.

Gejala dan tanda


1. Keluhan saluran kemih bawah
Keluhan yang timbul biasanya pada saluran kemih sebelah bawah
(LUTS: lower urinary tract symptomps) yang terdiri atas keluhan dari
mekanisme storage (penyimpanan), voiding (pengeluaran) , dan keluhan
pasca miksi. Keluhan storage meliputi urgensi, polakisuria atau
frekuensi, nokturia, dan disuria; sedangkan keluhan voiding meliputi
hesitansi, harus mengejan saat miksi, pancaran urin melemah, dan
intermitensi. Adapun keluhan pasca miksi meliputi perasaan tidak puas
setelah miksi serta terasa masih ada sisa urin setelah miksi.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih
bawah, ahli urologi membuat sistem skoring yang secara seubjektif diisi
dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh
WHO adalah International Prostatic Symptom Score).
Sistem skoring IPSS terdiri dari tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0 sampai 5,
sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai
dari 1 hingga 7. Dari skor IPSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS
dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan: skor 0-7, (2) sedang: skor 8-19, (3)
berat: skor 20-35.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih
bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan
di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam
yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih

79

Pasien terkadang berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia


inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini akibat sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan
intraabdominal.
4. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh
dan teraba massa kista di daerah suprapubik akibat retensi urine
5. Pada colok dubur diperhatikan :
a. Tonus sfingter ani/refleks bulbokavernosus untuk menyingkirkan
adanya kelainan buli-buli neurogenik
b. Mukosa rektum
c. Keadaan prostat, antara lain kemungkinan adanya nodul, krepitasi,
konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.
Pada colok dubur pembesaran prostat benigna menunjukkan
konsistensi prostat kenyal, lobus kanan kiri simetris, dan tidak
didapatkan nodul; sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat
keras, teraba nodul, dan mungkin lobus kanan-kiri tidak simetris.
V.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria,
harus dipertimbangkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hamaturia. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intraven, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan
ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat
disfungsi buli-buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan
patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak dengan BPH. Dari

80

foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblasik sebagai tanda
metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal.
Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi
renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran
ureter berbelok-belok di vesika), indentasi pada dasar buli-buli,
divertikel, residu urin, atau filling defect di vesika.
Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa
ginjal, mendetekdi residu urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor bulibuli. (Mansjoer, 2001)
3. Penanda tumor
Untuk membantu menegakkan diagnosis suatu adenokarsinoma
prosat dan mengikuti perkembangan penyakit tumor ini, terdapat
beberapa penanda tumor, yaitu :
a.

PAP (Prostatic Acid Phosphatase) dihasilkan oleh sel asini prostat

dan disekresikan ke dalam duktuli prostat


b.
PSA (Prostate Specific Antigen) yaitu suatu glikoprotein yang
dihasilkan oleh sitoplasma sel epitel prostat, dan berperan dalam
melakukan likuefansi cairan semen.
Pada proses keganasan prostat, PSA akan menembus membran sel
epitel dan beredar melalui pembuluh vaskuler, yang selanjutnya
kadarnya meningkat pada pemeriksaan darah peifer. PSA berguna untuk
melakukan deteksi dini adanya kanker prostat dan evaluasi lanjutan
setelah terapi kanker prostat. PSA yang meningkat ditemukan pada
kanker prostat, BPH, infeksi, juga trauma.
Bila nilai PSA < 4ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan nilai PSA 410ng/ml, hitunglah Prostate Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu
PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD 0,15 maka

81

sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA >
10ng/ml (Gaol dan Muchtar, 2014).
4. Flowmetri : Qmax (laju pancaran urin) turun, biasanya <15cc
5. USG/kateter untuk melihat volume urin residual
6. Transrectal / Transabdominal Ultrasonography (TRUS/TAUS) untuk
mengukur volume prostat dan gambaran hipoekoik
7. Intravenous Pyelography (IVP) dan sistogram (Gaol dan Muchtar, 2014)
VI.

Penatalaksanaan
1. Modalitas terapi BPH adalah :
a. Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6
bulankemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
b. Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan
ringan, sedang, sedang dan berat tanpa disertai penyulit.Obat yang
digunakan berasal dari phitoterapi (misalnya : Hipoxisrosperi,
serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongansupresor
androgen.
2. Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urinakut
(100 ml).
b. Klien dengan

residual

urin

yaitu

urine

masih

kandungkemih setelah klien buang air kecil > 100 ml


c. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan

tersisa

di

gangguan

sistemperkemihan seperti retensi urine atau oliguria.


d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowcytometri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat)
a) Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang
dimasukanmelalui uretra
b) Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
c) Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.
2) Prostatektomi Suprapubis
a) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher
kandungkemih.
b) Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan
katetersuprapubis setelah operasi.

82

3) Prostatektomi Neuropubis
a) Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah
b) Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
c) Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
4) Prostatektomi Perineal
a) Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
b) Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
c) Vasektomi
biasanya
dikakukan
sebagai
pencegahanepididimistis.
d) Persiapan buang hajat

diperlukan

sebelum

operasi

(pembersihanperut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).


e) Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka
(drainase)diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan
rendam duduk.
Pada TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek sampingnya
dapat meliputi:
1) Inkotenensi urinarius temporer
2) Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dankemandulan
sementara (jumlah sperma sedikit) disebabkanoleh ejakulasi dini
kedalam kandung kemih.
F. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)
I.
Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi akibat
terbentuknya koloni kuman di saluran kemih (Rani et al, 2004). Beberapa
istilah yang sering digunakan dalam klinis mengenai ISK (Tessy et al, 2001;
Purnomo, 2010) :
1. ISK uncomplicated (sederhana), yaitu ISK pada pasien tanpa disertai
kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran kemih.
2. ISK complicated (rumit), yaitu ISK yang terjadi pada pasien yang
menderita kelainan anatomis/ struktur saluran kemih, atau adanya
penyakit sistemik. Kelainan ini akan menyulitkan pemberantasan
kuman oleh antibiotika.
3. First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection, yaitu ISK
yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat setelah
sekurangkurangnya 6 bulan bebas dari ISK.

83

4. Infeksi

berulang,

yaitu

timbulnya

kembali

bakteriuria

setelah

sebelumnya dapat dibasmi dengan pemberian antibiotika pada infeksi


yang pertama. Timbulnya infeksi berulang ini dapat berasal dari reinfeksi atau bakteriuria persisten. Pada re-infeksi kuman berasal dari
luar saluran kemih, sedangkan bakteriuria persisten bakteri penyebab
berasal dari dalam saluran kemih itu sendiri (Rani et al, 2004).
5. Asymtomatic significant bacteriuria (ASB), yaitu bakteriuria yang
bermakna tanpa disertai gejala (Tessy et al, 2001)
II.

Klasifikasi
ISK diklasifikasikan berdasarkan :
1. Anatomi
a. ISK bawah, presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender.
i.
Perempuan
Sistitis, adalah presentasi klinis infeksi saluran kemih disertai
bakteriuria bermakna Sindroma uretra akut (SUA), adalah
presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme
(steril).
ii.

Laki-laki
Presentasi ISK bawah pada laki-laki dapat berupa sistitis,
prostatitis, epidimidis, dan uretritis.

b. ISK atas
i.
Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim
ii.

ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri.


Pielonefritis kronis (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari
infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil.
Obstruksi saluran kemih serta refluk vesikoureter dengan atau
tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan
ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang
spesifik (Sukandar, 2010; Liza, 2006)

2. Klinis

84

a. ISK Sederhana/ tak berkomplikasi, yaitu ISK yang terjadi pada


perempuan yang tidak hamil dan tidak terdapat disfungsi truktural
ataupun ginjal.
b. ISK komplikata, yaitu ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria,
ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu hamil (Rani, 2006).
III.

Etiologi
Penyebab terbanyak adalah bakteri gram-negatif termasuk bakteri yang
biasanya menghuni usus kemudian naik ke sistem saluran kemih. Dari gram
negatif tersebut, ternyata Escherichia coli menduduki tempat teratas
kemudian diikuti oleh Proteus sp, Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas
(Tessy et al, 2001)
Jenis kokus gram positif lebih jarang sebagai penyebab ISK sedangkan
Enterococci dan Staphylococcus aureus sering ditemukan pada pasien
dengan batu saluran kemih, lelaki usia lanjut dengan hiperplasia prostat atau
pada pasien yang menggunakan kateter urin. Demikian juga dengan
Pseudomonas aeroginosa dapat menginfeksi saluran kemih melalui jalur
hematogen dan pada kira-kira 25% pasien demam tifoid dapat diisolasi
Salmonella dalam urin. Bakteri lain yang dapat menyebabkan ISK melalui
cara

hematogen

adalah

Brusella,

Nocardia,

Actinomises,

dan

Mycobacterium tuberculosa (Tessy et al, 2001; Gardjito et al, 2005).


Candida sp merupakan jamur yang paling sering menyebabkan ISK
terutama pada pasien-pasien yang menggunakan kateter urin, pasien DM,
atau pasien yang mendapat pengobatan antibiotik berspektrum luas. Jenis
Candida yang paling sering ditemukan adalah Candida albican dan
Candida tropicalis. Semua jamur sistemik dapat menulari saluran kemih
secara hematogen (Tessy et al, 2001).
Faktor predisposisi yang mempermudah untuk terjadinya ISK, yaitu
(Sukandar, 2010; Rani et al, 2004; Fauci et al, 2008) :
1. Bendungan aliran urin

85

2.
3.

4.
5.

6.

7.
IV.

Anomali kongenital
Batu saluran kemih
Oklusi ureter (sebagian atau total)
Refluks vesikoureter
Urin sisa dalam buli-buli karena :
Neurogenic bladder
Striktura uretra
Hipertrofi prostat
Diabetes Melitus
Instrumentasi
Kateter
Dilatasi uretra
Sitoskopi (Rani et al, 2004)
Kehamilan dan peserta KB
Faktor statis dan bendungan
pH urin yang tinggi sehingga mempermudah pertumbuhan kuman
Senggama

Patofisiologi
Sejauh ini diketahui bahwa saluran kemih atau urin bebas dari
mikroorganisme atau steril. Infeksi saluran kemih terjadi pada saat
mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dan berkembangbiak di
dalam media urin. Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui 4 cara,
yaitu (Tessy et al, 2001; Purnomo, 2010) :
1.
2.
3.
4.

Ascending
Hematogen
Limfogen
Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau
eksogen sebagai akibat dari pemakaian intrumen.
Sebagian besar mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui cara

ascending. Kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang


berasal dari flora normal usus dan hidup secara komensal di introitus
vagina, prepusium penis, kulit perineum, dan sekitar anus. Mikroorganisme
memasuki saluran kemih melalui uretra prostat vas deferens testis
(pada pria) buli-buli ureter dan sampai ke ginjal. Dua jalur utama
terjadinya ISK adalah hematogen dan ascending, tetapi dari kedua cari ini

86

ascending-lah yang paling sering terjadi (Tessy et al, 2001; Fauci et al,
2008) :
a. Hematogen
Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya
tahan tubuh yang rendah, karena menderita sesuatu penyakit kronis, atau
pada pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran
hematogen bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat lain,
misalnya infeksi S. aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran
hematogen dari fokus infeksi di tulang, kulit, endotel, atau tempat lain.
M. Tuberculosis, Salmonella, pseudomonas, Candida, dan Proteus sp
termasuk jenis bakteri/ jamur yang dapat menyebar secara hematogen
(Sukandar, 2010; Purnomo, 2010; Liza, 2006).
Walaupun jarang terjadi, penyebaran hematogen ini dapat
mengakibatkan infeksi ginjal yang berat, misal infeksi Staphylococcus
dapat menimbulkan abses pada ginjal.
b. Infeksi Ascending
Infeksi secara ascending (naik) dapat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu :

V.

Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus

vagina
Masuknya mikroorganisme ke dalam buli-buli
Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung

kemih
Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal.

Tanda dan gejala


Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari
tanpa gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat (Rani et al,
2006). Gejala yang sering timbul ialah disuria, polakisuria, dan terdesak
kencing yang biasanya terjadi bersamaan, disertai nyeri suprapubik dan
daerah pelvis. Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang
terinfeksi, yaitu (Sukandar, 2010; Rani et al, 2006) :

87

1. Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa nyeri supra
pubik, disuria, frekuensi, hematuri, urgensi, dan stranguria
2. Pada ISK bagian atas, dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri
punggung, muntah, skoliosis, dan penurunan berat badan.
VI.

Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang
menegakkan diagnosis infeksi saluran kemih, antara lain (Tessy et al,
2001; Siregar, 2009)
a. Urinalisis
Eritrosit
Ditemukannya eritrosit dalam urin (hematuria) dapat merupakan
penanda bagi berbagai penyakit glomeruler maupun nongromeruler. Penyakit nongromeluler seperti batu saluran kemih
dan infeksi saluran kemih.

Piuria
Piuria atau sedimen leukosit dalam urin yang didefinisikan oleh
Stamm, bila ditemukan paling sedikit 8000 leukosit per ml urin
yang tidak disentrifus atau setara dengan 2-5 leukosit per
lapangan pandang besar pada urin yang di sentrifus. Infeksi
saluran kemih dapat dipastikan bila terdapat leukosit sebanyak >
10 per mikroliter urin atau > 10.000 per ml urin. Piuria yang
steril dapat ditemukan pada keadaan : (Siregar, 2009)
Infeksi tuberkulosis
Urin terkontaminasi dengan antiseptik
Urin terkontaminasi dengan leukosit vagina
Nefritis intersisial kronik (nefropati analgetik)
Nefrolitiasis
Tumor uroepitelial
Silinder
Silinder dalam urin dapat memiliki arti dalam diagnosis
penyakit ginjal, antara lain : (Siregar, 2009)

88

Silinder eritrosit, sangat diagnostik untuk glomerulonefritis


atau vaskulitis ginjal
Silinder leukosit bersama dengan hanya piuria, diagnostik
untuk pielonefritis
Silinder epitel, dapat ditemukan pada nekrosis tubuler akut
atau pada gromerulonefritis akut (Fauci et al, 2008)
Silinder lemak, merupakan penanda untuk sindroma
nefrotik bila ditemukan bersaman dengan proteinuria

nefrotik.
Kristal
Kristal dalam urin tidak diagnostik untuk penyakit ginjal

Bakteri
Bakteri dalam urin yang ditemukan dalam urinalisis tidak
identik dengan infeksi saluran kemih, lebih sering hanya
disebabkan oleh kontaminasi. (Siregar, 2009)

b. Bakteriologis
Mikroskopis, pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan
urin segar tanpa diputar atau pewarnaan gram. Bakteri
dinyatakan positif bila dijumpai satu bakteri lapangan pandang

minyak emersi.
Biakan bakteri, pembiakan bakteri sedimen urin dimaksudkan
untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan bakteri
dalam jumlah bermakna sesuai kriteria Catteli. (Tessy et al,
2001; Sukandar, 2010)
Wanita, simtomatik
102 organisme koliform/ mL urin plus piuria, atau
105 organisme patogen apapun/ mL urin, atau
Tumbuhnya organisme patogen apapun pada urin yang
diambil dengan cara aspirasi suprapubik
Laki-laki, simtomatik
103 organisme patogen/ mL urin
Pasien asimtomatik

89

105 organisme patogen/ mL urin pada 2 sampel urin


berurutan
c. Tes Kimiawi
Beberapa tes kimiawi dapat dipakai untuk penyaring adanya
bakteriuria, di antaranya yang paling sering dipakai adalah tes
reduksi griess nitrate. Dasarnya adalah sebagian besar mikroba
kecuali Enterococci mereduksi nitrat (Tessy et al, 2001; Sukandar,
2010).

d. Tes Plat Celup (Dip-Slide)


Beberapa pabrik mengeluarkan biakan buatan yang berupa
lempengan plastik bertangkai dimana pada kedua sisi permukaannya
dilapisi pembenihan padat khusus. Lempengan tersebut dicelupkan
ke dalam urin pasien atau dengan digenangi urin. Setelah itu
lempengan dimasukkan kembali kedalam tabung plastik tempat
penyimpanan semula, lalu diletakkan pada suhu 37 oC selama satu
malam.

Penentuan

jumlah

kuman/mL

dilakukan

dengan

membandingkan pola pertumbuhan kuman dengan serangkaian


gambar yang memperlihatkan keadaan kepadatan koloni yang sesuai
dengan jumlah kuman antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap mL
urin yang diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah dan cukup
adekuat. Kekurangannya adalah jenis kuman dan kepekaannya tidak
dapat diketahui (Tessy et al, 2001; Sukandar, 2010).
2. Radiologis dan Pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan radiologis pada ISK dimaksudkan untuk mengetahui
adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi
ISK. Pemeriksaan ini dapat berupa foto polos abdomen, pielonegrafi
intravena, demikian pula dengan pemeriksaan lainnya, misalnya
ultrasonografi dan CTScan (Tessy et al, 2001; Sukandar, 2010).

90

VII.

Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan ISK adalah : (Tessy et al, 2001)
1. Eradikasi bakteri penyebab dengan menggunakan antibiotik yang sesuai
2. Mengkoreksi kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi
Tujuan penatalaksanaan ISK adalah mencegah dan menghilangkan
gejala, mencegah dan mengobati bakteriemia dan bakteriuria, mencegah dan
mengurangi risiko kerusakan ginjal yang mungkin timbul dengan pemberian
obat-obatan yang sensitif, murah, aman dengan efek samping yang minimal.
Oleh karena itu pola pengobatan ISK harus sesuai dengan bentuk ISK,
keadaan anatomi saluran kemih, serta faktor-faktor penyerta lainnya.
Bermacam cara pengobatan yang dilakukan untuk berbagai bentuk yang
berbeda dari ISK, antara lain :

Pengobatan dosis tunggal


Pengobatan jangka pendek (10-14 hari)
Pengobatan jangka panjang (4-6 minggu)
Pengobatan profilaksis dosis rendah
Pengobatan supresif

(Tessy et al, 2001; Siregar, 2009)


1. Infeksi saluran kemih (ISK) bawah
Prinsip penatalaksanaan ISK bawah meliputi intake cairan yang
banyak, antibiotik yang adekuat, dan bila perlu terapi simtomatik untuk
alkalinisasi urin : (Sukandar, 2010)

Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam


dengan

antibiotika

tunggal,

seperti

ampisilin

gram,

trimetroprim 200 mg.


Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis (leukosuria)

diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari.


Pemeriksaan mikroskopis urin dan biakan urin tidak diperlukan
bila semua gejala hilang dan tanpa leukosuria.
Bila pada pasien reinfeksi berulang (frequent re-infection) :

(Sukandar, 2010)

91

Disertai faktor predisposisi, terapi antimikroba yang intensif

diikuti dengan koreksi faktor resiko.


Tanpa faktor predisposisi, terapi yang dapat dilakukan adalah
asupan cairan yang banyak, cuci setelah melakukan senggama
diikuti terapi antimikroba dosis tunggal (misal trimetoprim 200

mg)
Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan

Pasien sindroma uretra akut (SUA) dengan hitung kuman 10 3 -105


memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi klamidia memberikan hasil
yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi yang disebabkan mikroorganisme
anaerobik diperlukan antimikroba yang serasi (misal golongan kuinolon).
(Sukandar, 2010)
Antimikroba
Trimetoprim Sulfametoxsazole
Trimetoprim
Ciprofloxacin
Levofloxacin
Cefixim
Cefodoxin proksetil
Nitrofurantoin makrokristal
Nitrofurantoin monohidrat
Nitrofurantoin monohidrat

Dosis
2 x 160/800 mg
2 x 100 mg
2 x 100 250 mg
2 x 250 mg
2 x 250 mg
1 x 400 mg
2 x 100 mg
4 x 50 mg
2 x 100 mg

Lama terapi
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
3 hari
7 hari
7 hari

makrokristal
Amoksisilin

2 x 500 mg

7 hari

2. Infeksi saluran kemih (ISK) atas


Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat
inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral
paling sedikit 48 jam.Indikasi rawat inap pasien pielonefritis akut :
(Sukandar, 2010)

Kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi

terhadap antimikroba oral.


Pasien sakit berat atau debilitasi

92

Terapi antibiotik oral selama rawat jalan mengalami kegagalan


Diperlukan investigasi lanjutan
Faktor predisposisi untuk ISK tipe komplikata
Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes melitus, dan usia lanjut
The Infection Disease Society of America menganjurkan satu dari

tiga alternatif terapi antibiotika intravena sebagai terapi awal selama 4872 jam sebelum diketahui mikroorganisme penyebabnya : (Sukandar,
2010)

Flurokuinolon
Aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin
Sefalosporin berspektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida

Antimikroba
Cefepim
Ciprofloxacin
Levofloxacin
Ofloxacin
Gentamicin (+Ampicillin)

Dosis
1 gram
400 mg
500 mg
400 mg
3 5 mg/kgBB

Interval
12 jam
12 jam
24 jam
12 jam
24 jam

Ampicilin (+Gentamicin)
Tikarsilin klavulanat
Piperasilin tazobaktam
Imipenem Silastatin

1 mg/kgBB
1 2 gram
3,2 gram
3,375 gram
250 500 mg

8 jam
6 jam
8 jam
2 8 jam
6 8 jam

G. Hipertensi
1. Definisi
The Joint National Committee on Preventation, Detection
evaluation and Treatment of Blood Preassure dari Amerika Serikat dan
badan dunia WHO dengan International Society of Hypertention membuat
definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang tekanan
sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau
lebih atau sedang memakai obat anti hipertensi (Yogiantoro, 2009).
Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara
terus menerus sehingga melebihi batas normal.Tekanan darah normal
adalah 110/80 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi

93

pembuluh darah perifer dan kardiak output (Wexler, 2002). Tekanan darah
tinggi merupakan gangguan asimptomatik yang sering terjadi ditandai
dengan peningkatan tekanan darah secara persisten (Yogiantoro, 2009).
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang
memberi gejala yang akan berlanjut untuk suatu target organ seperti stroke
(untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung),
dan left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung). Dengan target organ di
otak yang berupa stroke, hipertensi adalah penyebab utamam stroke yang
membawa kematian tinggi (Yogiantoro, 2009).
2. Klasifikasi Hipertensi
Tabel 2.1.Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-8 tahun 2014

Klasifikasi hipertensi menurut Evidence-based Guideline for the


Management of high Blood Pressure in Adults: Report from the panel
Members Appointed to the Eight joint National Commitee (JNC8), tahun
2014.
3. Penyebab Hipertensi
Sembilan puluh persen sampai 95% hipertensi bersifat idiopatik
(hipertensi esensial), yang memungkinkan umur panjang, kecuali apabila
infark

miokardium,

kecelakaan

serebrovaskular,

atau

penyulit

lainnya.Selain itu terdapat pula jenis hipertensi lainnya yang disebut


dengan hipertensi sekunder, yaitu hipertensi yang disebabkan oleh
gangguan organ lainya.Gangguan ginjal yang dapat menimbulkan

94

hipertensi yaitu, glomerulonefritis akut, penyakit ginjal congestive,


penyakit polikistik, stenosis arteria renalis, vaskulitis ginjal, dan tumor
penghasil renin.Gangguan pada sistem endokrin juga dapat menyebabkan
hipertensi, dintaranya seperti hiperfungsi adrenokorteks (sindrom Cushing,
aldosteronisme primer, hiperplasia adrenal kongenital, ingesti licorice),
hormon eksogen (glukokortikoid, estrogen, makanan yang mengandung
tiramin

dan

simpatomimetik,

feokromositoma,

akromegali,

inhibitor

monoamin

hipotiroidisme,

dan

oksidase),
akibat

kehamilan.Gangguan pada sistem kardiovaskular seperti koarktasio aorta,


poliarteritis nodosa, peningkatan volume intravaskular, peningkatan curah
jantung, dan rigiditas aorta juga dapat menyebabkan hipertensi, begitu
pula dengan gangguan neurologik seperti psikogenik, peningkatan
intrakranium, apnea tidur, dan stres akut (Cohen, 2008).
4. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi :
a.

Usia
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin
tinggi usia seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Sebagian
besar hipertensi terjadi pada usia di atas 65 tahun (Yogiantoro, 2009).

b.

Faktor Keturunan
Faktor riwayat keluarga hipertensi (faktor keturunan) mempunyai
peran sebesar 1,25 kali lebih besar untuk timbulnya hipertensi
dibandingkan dengan seseorang yang tidak mempunyai riwayat
tersebut (Yogiantoro, 2009).

c.

Alkohol
Orang-orang yang minum 3 atau lebih minuman alkohol perhari
mempunyai tingkat tekanan darah yang tinggi (Yogiantoro, 2009).

d.

Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan
tekanan darah (Yogiantoro, 2009).

95

e.

Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya
dengan hipertensi.Tingginya peningkatan tekanan darah bergantung
pada besarnya penambahan berat badan (Yogiantoro, 2009).

f.

Olahraga
Aktifitas fisik membantu mengontrol berat badan.Aerobik yang cukup
seperti 30-45 menit berjalan cepat setiap hari membantu menurunkan
tekanan darah secara langsung.Olahraga secara teratur dapat
menurunkan tekanan darah pada semua kelompok baik hipertensi
maupun normotensi (Yogiantoro, 2009).

g.

Kelainan lain-lain
Kelainan hormon, kelainan ginjal, kelainan syaraf, serta kehamilan
adalah faktor-faktor yang telah ditemukan sebagai penyebab hipertensi
sekunder (Yogiantoro, 2009).

5. Mekanisme Hipertensi
Tingkat tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang
ditentukan oleh interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan dan
demografik yang mempengaruhi dua variabel hemodinamik: curah jantung
dan resistansi perifer. Total curah jantung dipengaruhi oleh volume darah,
sementara volume darah sangat bergantung pada homeostasis natrium.
Resistansi perifer total terutama ditentukan di tingkat arteriol dan
bergantung pada efek pengaruh saraf dan hormon. Tonus vaskular normal
mencerminkan keseimbangan antara pengaruh vasokontriksi humoral
(termasuk angiotensin II dan katekolamin) dan vasodilator (termasuk
kinin, prostaglandin, dan oksida nitrat).Resistensi pembuluh juga
memperlihatkan

autoregulasi;

peningkatan

aliran

darah

memicu

vasokonstriksi agar tidak terjadi hiperperfusi jaringan. Faktor lokal lain


seperti pH dan hipoksia, serta interaksi saraf (sistem adrenergik - dan -),
mungkin penting. Ginjal berperan penting dalam pengendalian tekanan
darah, melalui sistem renin-angiotensin, ginjal mempengaruhi resistensi
perifer dan homeostasis natrium.Angiontensin II meningkatkan tekanan

96

darah dengan meningkatkan resitensi perifer (efek langsung pada sel otot
polos vaskular) dan volume darah (stimulasi sekresi aldosteron,
peningkatan reabsorbsi natrium dalam tubulus distal).Ginjal juga
mengasilkan berbagai zat vasodepresor atau antihipertensi yang mungkin
melawan efek vasopresor angiotensin.Bila volime darah berkurang, laju
filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate) turun sehingga terjadi
peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus proksimal sehingga natrium
ditahan dan volume darah meningkat (Kumar et al., 2007).
Sembilan puluh persen sampai 95% hipertensi bersifat idiopatik
(hipertensi esensial).Beberapa faktor diduga berperan dalam defek primer
pada hipertensi esensial, dan mencakup, baik pengaruh genetik maupun
lingkungan.Penurunan ekskresi natrium pada tekanan arteri normal
mungkin merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial.Penurunan
ekskresi natrium kemudian dapat menyebabkan meningkatnya volume
cairan, curah jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah
meningkat.Pada keadaan tekanan darah yang lebih banyak natrium untuk
mengimbangi asupan dan mencegah retensi cairan. Oleh karena itu,
ekskresi natrium akan berubah, tetapi tetap steady state (penyetelan ulang
natriuresis tekanan). Namun, hal ini menyebabkan peningkatan stabil
tekanan

darah.Hipotesis

alternatif

menyarankan

bahwa

pengaruh

vasokonstriktif (faktor yang memicu perubahan struktural langsung di


dinding pembuluh sehingga resistensi perifer meningkat) merupakan
penyebab primer hipertensi.Selain itu, pengaruh vasikonstriktif yang
congestive atau berulang dapat menyebabkan penebalan struktural
pembuluh resistensi. Faktor lingkungan mungkin memodifikasi ekspresi
gen pada peningkatan tekanan. Stres, kegemukan, merokok, aktifitas fisik
berkurang, dan konsumsi garam dalam jumlah besar dianggap sebagai
faktor eksogen dalam hipertensi (Kumar et al., 2007).
6. Diagnosis Hipertensi
Pemeriksaan pasien hipertensi memiliki tujuan, yaitu untuk menilai
gaya hidup dan faktor risiko kardiovaskular lainnya atau bersamaan

97

gangguan yang mungkin mempengaruhi prognosis dan pedoman


pengobatan, untuk mengetahui penyebab tekanan darah tinggi, untuk
menilai ada atau tidaknya kerusakan target organ dan penyakit
kardiovaskular (National Institutes of Health, 2003).
Pemeriksaan pada hipertensi menurut PERKI (Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) (2003), terdiri atas:
a.

Riwayat penyakit
1) Lama dan klasifikasi hipertensi
2) Pola hidup
3) Faktor-faktor risiko kelainan kardiovaskular
4) Riwayat penyakit kardiovaskular
5) Gejala-gejala yang menyertai hipertensi
6) Target organ yang rusak
7) Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan

b.

Pemeriksaan Fisik
1) Tekanan darah minimal 2 kali selang dua menit
2) Periksa tekanan darah lengan kontra lateral
3) Tinggi badan dan berat badan
4) Pemeriksaan funduskopi
5) Pemeriksaan leher, jantung, abdomen dan ekstemitas
6) Refleks saraf

c.

Pemeriksaan Laboratorium
1) Urinalisa
2) Darah: platelet, fibrinogen
3) Biokimia: potassium, sodium, creatinin, GDS, lipid profil, asam
urat

d.

Pemeriksaan Penunjang Lain


1) Foto rontgen dada
2) EKG 12 lead
3) Mikroalbuminuria
4) Ekokardiografi

98

Tekanan darah setiap orang sangat bervariasi. Pengukuran tunggal


yang akurat adalah awal yang baik tetapi tidak cukup: ukur tekanan darah
dua kali dan ambil rata-ratanya. Hipertensi didiagnosis jika rata-rata
sekurang-kurangnya 2 pembacaan per kunjungan diperoleh dari masingmasing 3 kali pertemuan selama 2 sampai 4 minggu diperoleh tekanan
darah sistolik 140 mmHg atau 90 mmHg untuk diastolik. Menurut JNC
7, tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg atau kurang. Prehipertensi
bila tekanan darah 120/80 samapi 139/89 mmHg. Hipertensi stadium 1
bila tekanan darah sistolik 140 sampai 159 mmHg atau tekanan darah
diastolik 90 sampai 99 mmHg. Serta hipertensi stadium 2 bila tekanan
darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 100 mmHg
(Cohen, 2008).
7. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang bisa mengenai jantung, otak, ginjal,
arteri perifer, dan mata. Beberapa penelitian mengatakan bahwa penyebab
kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari
kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung,
antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor AT1 angiotensin II, stres
oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lainlain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan
sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan
organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya
ekspresi transforming growth factor- (TGF-) (Yogiantoro, 2006).
Dapat Dimodifikasi
Hipertensi

Tidak dapat Dimodifikasi


Umur (pria > 55 tahun, wanita > 65

Merokok

tahun)

Obesitas (BMI 30)


Physical Inactivity

Riwayat keluarga dengan penyakit

Dislipidemia

kardiovaskular prematur (pria < 55

Diabetes mellitus

tahun, wanita < 65 tahun)

99

Mikroalbuminemia atau GFR <


60 ml/min

Tabel. Faktor Risiko Kardiovaskular


8. Penatalaksanaan
a.

Target Tekanan Darah


Menurut Joint National Commission (JNC) 7, rekomendasi
target tekanan darah yang harus dicapai adalah < 140/90 mmHg dan
target tekanan darah untuk pasien penyakit ginjal kronik dan diabetes
adalah

130/80

mmHg.

American

HeartAssociation

(AHA)

merekomendasikan target tekanan darah yang harus dicapai,


yaitu140/90 mmHg, 130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit
ginjal kronik, penyakit arteri kronik atau ekuivalen penyakit arteri
kronik,

dan

120/80

mmHg

untuk

pasien

dengan

gagal

jantung.Sedangkan menurut National Kidney Foundation (NKF),


target tekanan darah yang harus dicapai adalah 130/80 mmHg untuk
pasien dengan penyakit ginjal kronik dan diabetes, dan < 125/75
mmHg untuk pasien dengan > 1 g proteinuria (Cohen, 2008).
b.

Modifikasi Gaya Hidup


Pelaksanaan gaya hidup yang positif mempengaruhi tekanan
darah memiliki implikasi baik untuk pencegahan dan pengobatan
hipertensi.

Promosi

kesehatan

modifikasi

gaya

hidup

direkomendasikan untuk individu dengan pra-hipertensi dan sebagai


tambahan terhadap terapi obat pada individu hipertensi. Intervensi ini
untuk risiko penyakit jantung secara keseluruhan. Meskipun dampak
intervensi gaya hidup pada tekanan darah akan lebih terlihat pada
orang dengan hipertensi, dalam percobaan jangka pendek, penurunan
berat badan dan pengurangan NaCl diet juga telah ditunjukkan untuk
mencegah perkembangan hipertensi. Pada penderita hipertensi,
bahkan jika intervensi tersebut tidak menghasilkan penurunan tekanan

100

darah yang cukup untuk menghindari terapi obat, jumlah obat atau
dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol tekanan darah dapat
dikurangi.Modifikasi diet yang efektif menurunkan tekanan darah
adalah

mengurangi

berat

badan,

mengurangi

asupan

NaCl,

meningkatkan asupan kalium, mengurangi konsumsi alkohol, dan pola


diet yang sehat secara keseluruhan (Kotchen, 2008).
Mencegah dan mengatasi obesitas sangat penting untuk
menurunkan tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Ratarata penurunan tekanan darah 6,3/3,1 mmHg diobseravsi setelah
penurunan berat badan sebanyak 9,2 kg. Berolah raga teratur selama
30 menit seperti berjalan, 6-7 perhari dalam seminggu, dapat
menurunkan tekanan darah.Ada variabilitas individu dalam hal
sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan variabilitas ini mungkin
memiliki dasar genetik. Berdasarkan hasil meta-analisis, menurunkan
tekanan darah dengan membatasi asupan setiap hari untuk 4,4-7,4 g
NaCl (75-125 meq) menyebabkan penurunan tekanan darah 3.74.9/0.9-2.9 mmHg pada hipertensi dan penurunan lebih rendah pada
orang

darah

normal.

Konsumsi

alkohol

pada

orang

yang

mengkonsumsi tiga atau lebih minuman per hari (minuman standar


berisi ~ 14 g etanol) berhubungandengan tekanan darah tinggi, dan
penurunan konsumsi alkohol dikaitkan dengan penurunan tekanan
darah. Begitu pula dengan DASH (Dietary Approaches to
StopHypertension) meliputi diet kaya akan buah-buahan, sayuran, dan
makanan rendahlemak efektif dalam menurunkan tekanan darah
(Kotchen, 2008).
Tabel Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengatasi HT
Modifikasi
Diet natrium

Rekomendasi
Membatasi diet natrium tidak
lebih dari 2400 mg/hari atau
100 meq/hari

101

Penurunan potensial
TD sistolik
2-8 mmHg

Penurunan

Berat

Menjaga berat badan

Badan
Olahraga aerobic

normal; 5-20 mmHg per 10 kg

BMI = 18,5-24,9 kg/


Olahraga aerobik secara teratur,
bertujuan

penururnan
4-9 mmHg

untuk melakukan

aerobik 30 menit
Latihan

sehari-hari dalam

seminggu. Disarankan pasien


berjalan-jalan 1 mil per hari di
atas tingkat aktivitas saat ini
Diet DASH

Diet yang kaya akan buahbuahan,

sayuran,

4-14 mmHg

dan

mengurangi jumlah lemak jenuh


dan total
Membatasi

Pria 2 minum per hari, wanita

2-4 mmHg

konsumsi alcohol
1 minum per hari
Modifikasigaya hidup merupakan upaya untuk mengurangi
tekanan darah, mencegah atau memperlambat insiden dari hipertensi,
meningkatkan

efikasi

obat

antihipertensi,

dan

mengurangi

risikopenyakit kardiovaskular (National Institutes of Health, 2003).


c.

Terapi Farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis
hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 adalah:
1) Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron
Antagonist
2) Beta Blocker (BB)
3) Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
4) Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)
5) Angiotensin

II

Receptor

Blocker

atau

receptor

antagonist/blocker (ARB)
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara
bertahap, dan target tekanan darah tercapai secara progresif dalam

102

BB

beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi


dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam
dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan
satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada
tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai
dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan
darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah
meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensif
lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari
dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi.
Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat
meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien
karena jumlah obat yang harus diminum bertambah (Yogiantoro,
2009).
Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas Utama Obat Antihipertensi
Menurut ESH (European Society of Hypertension) (2003).
Kelas Obat

Indikasi

Diuretika

Gagal

(Thiazide)

usia lanjut, isolated systolic

Diuretika (Loop)

hypertension, ras Afrika


Insufisiensi ginjal, Gagal

Diuretika (anti

jantung kongestif
Gagal jantung kongestif, Gagal ginjal,

aldosteron)
Penyekat

pasca infark miokardium


Angina pektoris,
Pasca
infark
Jantung

jantung

Kontraindikasi
Mutlak
Tidak Mutlak
kongestif, gout
Kehamilan

hiperkalemia
Asma penyakit

miokardium, Gagal paru

obstruktif pembuluh Darah

kongestif, menahun, A-V

kehamilan, takiaritmia

Penyakit
perifer,

block (derajat 2 intoleransi


atau 3)

glukosa,

Atlit

atau pasien yang

103

Calcium

aktif secara fisik


Takiaritmia,

Usia lanjut, isolated systolic

Antagonist
hypertension,
(dihydropiridine) pektoris,
pembuluh

angina
penyakit

gagal
Jantung
kongestif

darah perifer,

Aterosklerosis

karotis,

Calcium

kehamilan
Angina

pektoris,

A-V

Antigonist

Aterosklerotis

karotis,

(derajat 2 atau

(verapamil,

takikardia supraventrikuler

3), gagal jantung

diltiazem)
Pengahambat

Gagal

Kongestif
Kehamilan,

ACE

disfungsi
Pasca

Angiotensin

Jantung

kongestif,

ventrikel

kiri,

Infark miokardium,

non-diabetik nefropati
II Nefropati DM tipe 2,

block

hiperkalemia,
stenosis

arteri

renalis bilateral
Kehamilan,

receptor

mikroalbuminuria diabetik,

antagonist

proteinuria,

(AT1-blocker)

ventrikel kiri, batuk karena

renalis bilateral

-Blocker

ACEI
Hiperplasia prostat (BPH),

Hipotensi

Gagal jantung

Hiperlipidemia

ortostatis

kongestif

Klasifikasi

hiperkalemia,

hipertropi stenosis

Tatalaksana Hipertensi Menurut JNC 7


TDS TDD
Perbaikan

Tekanan
Darah

(mmHg)

(mmHg)

Normal

< 120

Dan < 80

Prehipertensi

120-139

Terapi Obat Awal

Pola Hidup Tanpa Indikasi


yang Memaksa

Dianjurkan
ya
Atau 80- ya
Tidak
89
obat

104

arteri

Dengan
Indikasi yang
Memaksa

Indikasi Obat-obatan
untuk Indikasi

Hipertensi
derajat 1

140-159

Atau 90- Ya
99

Diuretika
Thiazide

yang memaksa
jenis Obat-obatan
untuk untuk Indikasi

sebagian

besar yang Memaksa

kasus

dapat obat

dipertimbangka
n ACEI,
BB,

Antihipertensi

ARB, lain

(diuretika,

CCB, atau ACEI, ARB,

kombinasi

BB,

CCB)

sesuai
Kebutuhan
Hipertensi
derajat 2

160

Atau
100

Ya

Kombinasi 2
obat
untuk
sebagian

besar

kasus umumnya
diuretika

jenis

Thiazide

dan

ACEI atau ARB


atau
CCB

105

BB atau

XIV.

KESIMPULAN
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dilengkapi dengan

pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis CHF NYHA III, Acute on CKD,


Nefrolitiasis Sinistra, BPH Grade I, Dan ISK Komplikata. Diberikan diet
jantung 2100 kkal, rendah garam < 5 gr/hari untuk menurunkan Hipertensi
pada pasien. Diberikan furosemid yang digunakan sebagai diuretic untuk
membantu pengeluaran urin yang ditambah dengan pemasangan DC kateter .
Gentamycin digunakan untuk antibiotik yang sensitive pada ISK komplikata
pasien. Monitoring BC untuk mengevaluasi pemberian diuretic, diharapkan
seimbang atau sampai -1000. Prognosis ad vitam, ad sanam dan ad
fungsionam adalah dubia ad malam.
XV.

SARAN DAN USUL


1. Keadaan umum pasien harus selalu diawasi dan rutin dikontrol agar
CHF NYHA III dan Akut on CKD pasien tidak mengalami
progresivitas yang tinggi.
2. Modifikasi diet dan gaya hidup lebih diutamakan untuk mengontrol
terjadinya Nefrolitiasis yang berulang, serta pengontrolan terhadap
BPH grade 1 pasien, karena keduanya akan memperberat terjadinya
Akut on CKD dan berpengaruh terhadap CHF NYHA III pada pasien.

106

XVI. DAFTAR PUSTAKA


American Heart Association (2013) 2013 ACCF/AHA Guideline for the
Management of Heart Failure: A Report of the American College of
Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. Circulation, 128 : 240 327.
Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan
Sistem Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC
Donald S (2009) Hypertensive vascular disease. Dalam Harrisons Principles of
Internal Medicine. 7th Ed. USA : The Mcgraw-Hill Companies, Inc. p. 241.
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL et al (2008) Harrisons Principles of Internal
Medicine. 17th edition. USA : The McGraw-Hill Companies
Gaol HL dan Mochtar CA (2014) Batu Saluran Kemih. Dalam : Tanto C, Liwang
F, Hanifati S, Pradipta EA, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta :
Media aesculapius. pp : 277 79.
Gardjito W, Puruhito, Iwan A et al (2005) Saluran Kemih dan Alat Kelamin
Lelaki. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit EGC
Ghanie A (2010) Gagal Jantung Kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing.
Kabo P (2012) Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskuler secara
rasional. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, pp: 181205.
Liza (2006) Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta : FKUI

107

Marulam P (2010) Gagal Jantung, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, et


all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing, pp : 1583-85.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-3. Jakarta. Media
Aesculapius
Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine M. C, 2006, Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Vol 2, Alih bahasa, Brahm U. Pendit,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Purnomo, BB. 2010. Dasar dasar Urologi. Jakarta : CV Sagung Seto.
Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, et al. Gagal jantung kronik. Dalam: Rani AA,
Soegondo S, Nasir AUZ, eds. PanduanPelayananMedik PAPDI. Jakarta:
Interna Publishing, pp. 54-7
Rani HAA, Soegondo S, Nasir AU et al (2004) Standar Pelayanan Medik Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FKUI
Rani HAA, Soegondo S, Nasir AU et al (2006) Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta : Pusat
Penerbitan IPD FKUI.
Roesli R (2007) Kriteria RIFLE cara yang mudah dan terpercaya untuk
menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal
Hipertensi, 7(1) : 18-24.
Roesli RMA, Martakusumah AH (2009) Sindroma kardiorenal. Bandung :
Subbag Ginjal Hipertensi, Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD.
Shlipak G. Michael, M. Massie. Barry (2004) The clinic challenge of cardiorenal
syndrome. Circulation, 110 : 1514 1517
Siregar P (2009) Manfaat Klinis Urinalisis dalam Nefrologi. Disampaikan pada :
Pertemuan Ilmiah Nasional VII PB PAPDI. Medan.
Sitompul B, Sugeng JI (2003) Gagal jantung. Dalam: Rilantono LI, Baraas F,
Karo SK, Roebiono PS, eds. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Indonesia, pp: 115-127.

108

Sjabani M (2010) Batu Saluran Kemih, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing, pp : 1025 31.
Sjamsuhidayat, R. dan De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Copy
Editor: Adinda Candralela. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo(dkk), EGC, Jakarta.
Sukandar E (2006). Nefrologi Klinik. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah, Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS. dr. Hasan Sadikin.
Sukandar E (2010) Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Suwitro K (2009). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II.
Edisi 5.Jakarta: Interna Publishing, pp: 1035-1040.
Tessy A, Ardaya, Suwanto (2001) Infeksi Saluran Kemih. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Widayati A, Wirawan IPE, Kurharwanti AMW (2005) Kesesuaian Pemilihan
Antibiotika Dengan Hasil Kultur Dan Uji Sensitivitas Serta Efektivitasnya
Berdasarkan Parameter Angka Lekosit Urin Pada Pasien Infeksi Saluran
Kemih Rawat Inap Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta (Juli
Desember 2004). Yogyakarta : Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

109

Anda mungkin juga menyukai