PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pertusis (batuk rejan) yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk
yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau
orang dewasa dengan kekebalan yang menurun (Kathleen et al., 2010).
Penyakit ini di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat
spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi, karena penderita
berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai
bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian
pada anak, terutama di negara berkembang. Lebih kurang 200-400 ribu
kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program
imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun (Seyed
et al., 2013).
B. Epidemiologi
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang sangat menular, di
seluruh dunia ada 45 juta kasus pertusis setahun dengan kurang lebih 300.000
anak-anak meninggal tiap tahunnya. Namun, insidensi terjangkitnya pertusis
menurun drastis di negara berkembang dengan adanya program vaksinasi
sejak tahun 1940-1960an (Broutin et al., 2010).
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 2-5
tahun (James and Cherry, 2012). Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar
kepada anggota keluarga lainnya. Pertusis dapat mengenai semua golongan
umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, perbandingan insidensi antara
perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertusis.
Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
pertusis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan
prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi
tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertusis menurun drastis setelah
vaksin pertusis mulai digunakan secara luas yang diinisiasi oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 1974 (Broutin et al., 2010).
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup
untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada
neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian
sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn
dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan
negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis
atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih
rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.
E. Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan
perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih.
Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri
menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak (Matto S. 2005).
Gambar
. Pertusis
Pada
awalnya
lendir encer,
F. Diagnosis
Penegakan diagnosis Pertusis dapat dilakukan berdasarkan :
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala
klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit
dahulu, dan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,00050,000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak
menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain (Rahmati, 2013).
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya (Bayhan, 2012).
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat
dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT.
Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik
disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes
yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak
tampak setelah pertussis (Cherry, 2012).
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis atau emfisema.
dan
adenovirus
dapat
menyerupai
sindrom
klinis
penyakit di awal infeksi dapat memberikan prognosis yang lebih baik karena
jika antibiotik diberikan pada fase lanjutan, dapat memperpanjang gejala dan
dapat menyebabkan kematian, terutama pada bayi.
Tabel 1. Terapi Farmakologi Pertusis
Medication
Durasi
Dosis
Informasi terapi
Eritromisin
14 hari
Tidak
direkomendasikan
untuk bayi dibawah
1 bulan
Azithromisin
5-7 hari
Dapat digunakan
untuk bayi <6 bulan
dan intoleransi
azithromisin
Hari 1 : 1 mg/kg
single dose
Hari 2-5 : 5 mg/kg
single dose
Maksimum dosis
250 mg/hari
Trimetoprim
sulfametoxazo
l
14 hari
Tidak
direkomendasikan
untuk bayi kurang
dari 2 bulan
Note: tatalaksana yang lain meliputi beta mimetics, steroid, obat pelega
tenggorokkan tidak terbukti bermanfaat. Pada pasien dengan kegagalan
fungsi paru, diperlukan penatalaksanaan yang radikal seperti
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
H. Pencegahan
10
Usia
Bayi dan anak-anak
Informasi Vaksin
Reaksi lokal : nyeri,
kemerahan, bengkak
Reaksi sistemik sedang :
gelisah, demam
Reaksi sistemik: demam
tinggi >38, kejang demam,
11
hipotonik/hiperresponsif
Tdap
DTwP
11-64 th
Digunakan secara
internasional
Efek sampng lebih banyak
daripada DTaP
Dosis
Usia
2 bulan
4 bulan
6 bulan
15-18 bulan
Diberikan sesegera mungkin seperti pada usia 12
bulan atau 6 bulan setelah dosis ketiga
4-6 tahun
Diberikan usia 4 tahun sebanyak 5 dosis sebelum
masuk sekolah
Tdap
Booste
r
11- 18 tahun
Dewasa
Perempuan (setelah melahirkan)
12
13