Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Pertusis adalah penyakit saluran pernapasan yang sangat menular


disebabkan oleh bakteri gram (-) Bordetella pertussis. Pertusis atau batuk rejan
sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Manifestasi klinis dari penyakit ini
adalah batuk yang sangat parah hingga dapat menyebabkan kematian (Jung,
2010).
Di seluruh dunia insidensi pertusis banyak didapatkan pada bayi dan
anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa
masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada
bayi yang belum mendapatkan vaksinasi pertusis secarara lengkap (Seyed et al.,
2013).
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena
menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian
dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka
kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya
namun tidak signifikan (Broutin et al., 2010).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pertusis (batuk rejan) yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk
yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau
orang dewasa dengan kekebalan yang menurun (Kathleen et al., 2010).
Penyakit ini di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat
spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi, karena penderita
berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai
bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian
pada anak, terutama di negara berkembang. Lebih kurang 200-400 ribu
kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program
imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun (Seyed
et al., 2013).

B. Epidemiologi
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang sangat menular, di
seluruh dunia ada 45 juta kasus pertusis setahun dengan kurang lebih 300.000
anak-anak meninggal tiap tahunnya. Namun, insidensi terjangkitnya pertusis
menurun drastis di negara berkembang dengan adanya program vaksinasi
sejak tahun 1940-1960an (Broutin et al., 2010).
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 2-5
tahun (James and Cherry, 2012). Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar
kepada anggota keluarga lainnya. Pertusis dapat mengenai semua golongan

umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, perbandingan insidensi antara
perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertusis.
Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan
pertusis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan
prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi
tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertusis menurun drastis setelah
vaksin pertusis mulai digunakan secara luas yang diinisiasi oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 1974 (Broutin et al., 2010).
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup
untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada
neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian
sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn
dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan
negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis
atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih
rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.

Gambar 1. Peta persebaran pertusis pada tahun 2010


C. Etiologi

Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil


kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan
tidak bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring
penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang
tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan
untuk menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella
Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama.
Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14
aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara
geografis dan sesuai waktu.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis,
banyak sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan
imunitas. Pasca penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa
aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria
69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel
epitel bersilia saluran pernapasan.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat
pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan
adenilat siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal
yang menghasilkan gejala pernafasan dan mempermudah penyerapan TP.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas
histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan
manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada
binatang percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi
darah. TP tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam
pathogenesis (Erik et al., 2015).
D. Patogenenis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara
pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan.

Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat


tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan
pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik (Erik et al.,
2015).
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting
Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada
perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan,
Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh
permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada
pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis,
maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang
dikenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan
karena pertusis toxin. Toksin pertusis berikatan dengan reseptor sel target
kemudian menghasilkan subunit pada daerah aktivasi enzim membrane sel.
Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi
(Jung, 2010).

Gambar 2. Bordetella pertussis


Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek
mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi
perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah
dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek
memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan


limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi
infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang
dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran
oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat,
apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat
anoksia (Erik et al., 2015).
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak
apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa
kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang
Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak
menghasilkan toksin pertusis.

E. Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan
perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih.
Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri
menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak (Matto S. 2005).

Gambar

. Pertusis
Pada

awalnya

lendir encer,

tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6


minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan (Shehap, 2009):
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
a. Bersin-bersin
b. Mata berair
c. Nafsu makan berkurang
d. Lesu
e. Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala
awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada
tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang
biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung
udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya
muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang
bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih
sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih
baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi
saluran pernafasan.

F. Diagnosis
Penegakan diagnosis Pertusis dapat dilakukan berdasarkan :
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala
klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit
dahulu, dan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,00050,000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak
menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain (Rahmati, 2013).
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya (Bayhan, 2012).
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk
menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat
dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT.
Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik
disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes
yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak
tampak setelah pertussis (Cherry, 2012).
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis atau emfisema.

Gambar. Foto thorax pada Pertusis


Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,
pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan
laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal,
tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan
pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B.
bronkiseptika,

dan

adenovirus

dapat

menyerupai

sindrom

klinis

B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.


G. Penatalaksanaan dan Prognosis
Jika pasien tidak segera mendapat pengobatan, maka penyakit ini
akan terus beratahan selama 3 minggu setelah munculnya gejala batuk yang
pertama. Eritromisin, macrolide merupakan penatalaksanaan yang diterima
oleh CDC. Selain itu dapat digunakan azhitromisin dan trimetrophimsulfamethoxazole. Jika antibiotik diberikan pada masa inkubasi, dapat
meningkatkan angka kesembuhan dan mencegah penyebaran penyakit yang
lebih luas (Jung, 2010). Pada tahap awal jika antibiotik diberikan pada tahap
ini dapat mencegah penyebaran penyakit ke orang lain. Penemuan gejala

penyakit di awal infeksi dapat memberikan prognosis yang lebih baik karena
jika antibiotik diberikan pada fase lanjutan, dapat memperpanjang gejala dan
dapat menyebabkan kematian, terutama pada bayi.
Tabel 1. Terapi Farmakologi Pertusis
Medication

Durasi

Dosis

Informasi terapi

Eritromisin

14 hari

Bayi dan anakanak : 40-50


mg/kg/hari setiap 6
jam maksimal 1
gram per hari

Tidak
direkomendasikan
untuk bayi dibawah
1 bulan

Azithromisin

5-7 hari

Bayi dan anakanak: 10


mg/kg/hari

Dapat digunakan
untuk bayi <6 bulan
dan intoleransi
azithromisin

Hari 1 : 1 mg/kg
single dose
Hari 2-5 : 5 mg/kg
single dose
Maksimum dosis
250 mg/hari
Trimetoprim
sulfametoxazo
l

14 hari

Bayi dan anakanak: trimetoprim,


8 mg/kg/hari dan
sulfamethoxazol,
40mg/kg/hari
terbagi dalam 2
dosis

Tidak
direkomendasikan
untuk bayi kurang
dari 2 bulan

Note: tatalaksana yang lain meliputi beta mimetics, steroid, obat pelega
tenggorokkan tidak terbukti bermanfaat. Pada pasien dengan kegagalan
fungsi paru, diperlukan penatalaksanaan yang radikal seperti
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
H. Pencegahan

10

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama


adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan
sebagai sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin
pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi
diantara orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertusis termasuk manifestasi
umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan
sering terjadi panas, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,
hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral)
pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit
panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis,
riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death
Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah
kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian
vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum
imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum
imunisasi, menangis 3 jam, high picth cry dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan
40.5oC dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.

Tabel 2. Vaksin Pertusis


Vaksin
DTaP

Usia
Bayi dan anak-anak

Informasi Vaksin
Reaksi lokal : nyeri,
kemerahan, bengkak
Reaksi sistemik sedang :
gelisah, demam
Reaksi sistemik: demam
tinggi >38, kejang demam,

11

hipotonik/hiperresponsif
Tdap

Remaja dan dewasa:


10-18 th

DTwP

Reaksi lokal: nyeri,


kemerahan, bengkak pada
lokasi penyuntikan

11-64 th

Reaksi sistemik: demam


ringan, sakit kepala,
pingsan dan gejala-gejala
GIT

Bayi dan anak-anak

Digunakan secara
internasional
Efek sampng lebih banyak
daripada DTaP

Tabel 3. Jadwal Imunisasi Pertusis


Vaksin
DTaP

Dosis

Usia

2 bulan

4 bulan

6 bulan

15-18 bulan
Diberikan sesegera mungkin seperti pada usia 12
bulan atau 6 bulan setelah dosis ketiga

4-6 tahun
Diberikan usia 4 tahun sebanyak 5 dosis sebelum
masuk sekolah

Tdap

Booste
r

11- 18 tahun
Dewasa
Perempuan (setelah melahirkan)

12

13

Anda mungkin juga menyukai