Anda di halaman 1dari 29

BAB I

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika
kehidupan. Jangankan yang berasal manusia, yang berasal dari yang
Maha Benar pun, Allah azza wa jalla, menimbulkan pro dan kontra.
Dari hasil perkiraan perhitungan penduduk dunia berdasarkan agama,
manusia di dunia ini yang bersepakat bahwa Allah itu Tuhan mereka
(Islam) hanya 22% dari 6.879.200.000 penduduk dunia.
Oleh karena itu, perbedaan adalah sesuatu yang niscaya bagi kita,
tidak bisa kita menghindari perbedaan. Allah berfirman:
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS 5:48)
Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan rahmat
bagi kita, perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan kita, dan ini
telah dibuktikan oleh ulama-ulama besar dahulu seperti para imam
syariah Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali, semoga Allah merahmati
mereka. Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu kadangkadang kita melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang,
tidak jarang kita lihat kata-kata kotor meluncur begitu saja, cacian,
hujatan bahkan pengkafiran begitu mudah kita dengar. Kalau kita lihat
mereka yang berdebat dengan mengabaikan akhlakul karimah biasanya
dari kalangan yang tidak kita kenal kapabilitasnya dalam ilmu, namun
begitu, celakanya, ada juga diantara mereka yang berdebat tanpa
mengindahkan etika justeru dari kalangan yang kita kenal berilmu.
Betapa banyak kita menemukan perbedaan pendapat, dari kalangan
ulama sampai kalangan awam, perbedaan, pertentangan begitu riuh

1 | Page

rendah, kalau kita menelusur halaman halaman di internet, tak sedikit


kita menemukan adu argumentasi yang ramai, bahkan menjurus kasar.
Sehingga bagi sebagian kita merasa kesal dengan pertentangan
pertentangan tersebut, berbagai sikap ditunjukkan oleh kita atas
perbedaan, khususnya perbedaan pendapat di kalangan ulama,
sebagian kita dalam mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain,
sebagai berikut: Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah
Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, dan
Qur'an pun satu, lantas mengapa kok terjadi banyak perbedaan
pendapat. Andaikan ulama mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis
niscaya tidak akan ada lagi perbedaan pendapat itu.
Dalam artikel ini, kita tidak membahas hikmah di balik perbedaan
tersebut, tetapi kita akan membahas kenapa berbedaan itu muncul,
dengan harapan ini akan menumbuhkan pemahaman kita terhadap
pendapat yang berbeda dengan kita. Di antara sekian banyak "asbab alikhtilaf" para ulama kita akan mendapati bahwa ternyata perbedaan
pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita
akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena AlQur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui
bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu
hal yang mustahil dihapus.
(https://www.facebook.com/notes/mutiara-hikmah/sebab-sebabtimbulnya-perbedaan-pendapat-di-kalangan-ulama/)

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap khilafiyah.
2. Mengapa khilafiyah menjadi sesuatu masalah yang penting dalam
perkembangannya.
3. Bagaimana ulama-ulama terdahulu menyikap khilafiyah.
1.3 Tujuan
Dengan pembahasan materi khilafiyah ini, penyusun bertujuan:
2 | Page

1. Menambah pengetahuan pembaca tentang masalah khilafiyah.


2. Menjelaskan bagaimana sikap yang seharusnya diambil dalam
menghadapi masalah khilafiyah ini.
1.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan penyusun adalah
dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari buku-buku
maupun internet. Kemudian informasi yang didapat dirangkum dan
disusun sedemikian rupa sehingga terciptalah makalah ini

BAB II
2. Pembahasan
2.1 Pengertian Ikhtilaf/Khilafiyah
Khilaf dan ikhtilaf secara harfiyah (literally) berarti perbedaan,
perselisihan, dan pertentangan.1 Khilafiyah berarti masalah-masalah
fiqh yang diperselisihkan, dipertentangkan, diperdebatkan status
hukumnya di kalangan ulama atau fuqaha` akibat dari pemahaman dan
penafsiran mereka terhadap nash yang masih zhanni dilalahnya

1 AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm 363.

3 | Page

maupun hasil ijtihad dalam masalah-masalah yang belum ditunjuki


nash secara langsung.
Masalah khilafiyyah sudah ada dan muncul di zaman sahabat, jadi
bukan barang baru dan aneh. Khilafiyyah itu dalam perkembangannya
semakin banyak dan meluas di kalangan umat Islam pada masa-masa
berikutnya hingga zaman sekarang. Khilafiyyah terjadi hampir dalam
semua bidang, baik dalam soal politik, aqidah, tashawwuf, kalam, dan
juga dalam lapangan fiqh.
Namun perlu diingatkan di sini agar tidak dikaburkan, bahwa
khilafiyyah terjadi pada wilayah-wilayah zhanni, baik zhhani dilalah
maupun zhanni wurud yang memungkinkan terjadi perbedaan
interpretasi, pemahaman dan pendapat antara satu ulama dengan yang
lain. Masing-masing dapat menunjukkan sandaran hujjahnya secara
cukup meyakinkan. Sementara pada persoalan ( ibadah mahdhah) yang
sudah terang tidak ada sandaran hukumnya, maupun praktek ulama
salaf as-saleh, hakikatnya adalah bidah ( innovation) dan bukan
khilafiyyah lagi.
Khilafiyyah sebuah keniscayaan
Di dunia fiqh terdapat sebuah ungkapan, barang siapa yang tidak
mengenal khilaf maka hakikatnya ia belum mengerti fiqh. Ini adalah
sebuah ungkapan yang tidak berlebihan dan cukup realistis. Jangankan
antar madzab, sering terjadi dalam satu madzab terdapat dua atau lebih
pendapat ulama tentang hukum suatu permasalahan. Sehingga di
belakangnya ada ulama yang merasa terpanggil untuk menentukan
mana yang lebih kuat diantara pendapat-pendapat itu. Kelompok
ulama ini lazim disebut sebagai mujtahid tarjih.
Dalam madzab Hanafi misalnya terdapat pendapat Imam Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.
Ketiganya tak jarang terlibat dalam perbedaan pendapat dalam satu

4 | Page

masalah. Demikian pula yang terdapat dalam madzab Maliki, SyafiI


dan Hanbali. Sering dalam satu masalah dijumpai beberapa pendapat
yang berbeda-beda, ada qaul yang dianggap masyhur dan syadz.
Melihat fakta seperti itu, kiranya bisa ditegaskan bahwa perbedaan
pendapat pada umumnya, dan perbedaan dalam urusan fiqh pada
khususnya merupakan sebuah keniscayaan yang tidak perlu dan
mustahil untuk dihilangkan. Perbedaan telah ada, saat ini juga ada dan
kedepan pun tentunya juga akan selalu ada. Maka pemikiran ataupun
seruan maupun usaha untuk menyatukan umat Islam dalam arti satu
pemahaman dan penafsiran dalam hukum agama adalah seruan yang
kurang realistis walau secara normatif patut didukung.
Dewasa ini sekelompok orang yang oleh Syekh Yusuf al-Qardhawi
disindir dengan sebutan neo Zhahiri menyerukan atau mendakwakan
diri bahwa mereka sanggup menyatukan umat dalam satu
pemahaman/pendapat asal kembali mengamalkan al-Qur`an dan asSunnah yang tentu saja dipahami dan ditafsiri menurut kelompok
mereka. Mereka menolak dan bahkan menyerang keberadaan imamimam madzab dan para pengikutnya serta kelompok lain yang tidak
seide. Mereka mengecam taqlid (imitation) yang dilakukan oleh orang
lain, ironisnya dalam waktu yang bersamaan mereka juga melakukan
taqlid pada ulama/ustadz yang diikutinya. Mereka mengajak
meninggalkan madzab empat namun tanpa mereka sadari bahwa pada
dasarnya mereka mengajak untuk mengikuti madzab kelima yang
diciptakan kelompoknya.
Karena perbedaan adalah sesuatu yang alamiah dan manusiawi,
dengan kata lain perbedaan adalah sunnatullah yang tidak akan
berobah dan diubah oleh sang khaliq, maka yang diperlukan di sini
sebenarnya bukan usaha untuk menyatukan ke dalam satu pendapat,
namun bagaimana menjadikan keragaman pendapat itu sebagai
blessing bagi umat dan dapat disikapi secara dewasa.

5 | Page

(http://alitrigiyatno.wordpress.com/2012/06/15/adab-menyikapi-khilafiyah/)
2.2 Permasalahan Ikhtilaf/Khilafiyah
Oleh al-Ustadz Fariq bin Gasim Anuz Hafizhhullh
Perlu diketahui bahwa yang penyusun maksud dengan ikhtilaf di
sini adalah ikhtilaf tadhadh, yaitu perbedaan pendapat yang saling
menafikan (bertentangan). Di dalam khtilaf seperti ini yang benar
hanya satu.
Ada juga macam ikhtilaf yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu. Di dalam
ikhtilaf tanawwu semua pendapat benar, seperti :
[1]. Dua perkara atau perbuatan yang disyariatkan, seperti macammacam doa iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini
kadang-kadang salah satunya ada yang lebih utama.
[2]. Dua lafazh yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau
mendekati contoh surat Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab,
aqiqah sama dengan nasikah. Kata qadha dalam firman Allah :


Dan Rbbmu telah qadh supaya kamu jangan menyembah selain
Dia [Al-Isra : 23]
-Ibnu Abbas berkata qadha berarti memerintahkan.
-Mujahid mengatakan mewasiatkan.
-Rabi bin Anas mengatakan mewajibkan.
-Kata-kata memerintahkan, mewasiatkan dan mewajibkan
mempunyai makna yang hampir sama.
[3]. Dua lafazh dengan makna berbeda, tetapi tidak saling menafikan
bahkan saling melengkapi atau mencakup semua di dalamnya. Contoh
kata an-naiim dalam firman Allah.

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang kamu megah-megahkan di dunia itu) [At-Takatsur : 8]

6 | Page

Sebagian ahli tafsir mengatakan an-naiim bermakna keamanan,


kesehatan, kecukupan dalam makanan dan minuman.
Sebagian mengatakan ringannya syariat dan sebagian lagi mengatakan
nikmat pendengaran dan penglihatan.
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu semuanya benar. (Maka,) untuk
ikhtilaf tanawwu, tidak boleh seseorang menyalahkan salah satunya.
Syaihul Islam mengatakan,
Hanya kejahilan dan kezhaliman yang menjadikan seseorang mencela
salah satunya atau lebih mengutamakan salah satunya tanpa maksud
yang baik, atau tanpa ilmu atau tanpa keduanya 2
Allah berfirman:

Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan (amat) bodoh [AlAhzab : 72]
Allah melarang kita berselisih dan mencela perselisihan dalam ayatayat-Nya di antaranya.



Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian
bebantah-bantah yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar [Al-Anfal : 46]
Begitu pula Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam amat membenci
perselisihan. Apabila beliau mendengar ada di antara sahabatnya yang
berselisih, maka beliau marah dan segera menyelesaikannya sehingga
mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu berdamai dan bersatu
dalam kebenaran.
2 Iqtida As-Shirat Al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah rahimahullah juz I hal.
132-137, terdapat penjelasan mengenai Ikhtilaf tadladl dan ikhtilaf
tanawwu

7 | Page

Meskipun Allah menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah


syariyah) tetapi Allah juga menghendaki (iradah kauniyah) sesuai
dengan hikmah-Nya bahwa perselisihan itu akan selalu ada dan tidak
bisa dihilangkan.
Allah berfirman:
.



Jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu. Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orangorang yan diberi rahmat oleh Rabb-mu. Untuk itulah Allah
menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Rabb-mu telah ditetapkan,
Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan
manusia (yang durhaka) semuanya [Hud : 118-119]
Memang di antara perselisihan antara ulama ada hal-hal yang susah
dipastikan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi banyak sekali
di antara perselisihan tersebut terjadi dalam perkara-perkara ijtihadiyah
yang dapat diupayakan kesepakatannya.
Ijtihad seorang ulama mungkin benar, mungkin salah
Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para ulama
mujtahid dalam suatu masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu
benar, maka berarti dia telah mengucapkan kaidah yang tidak memiliki
dalil, baik dari Al-Quran, As-Sunnah atau ijma para sahabat serta
tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Apabila seorang hakim memberi keputusan, lalu ia berijtihad,
kemudian ia benar maka baginya dua pahala, dan jika ia memberi

8 | Page

keputusan, lalu ia berijtihad kemudian salah, maka baginya satu


pahala [HR Bukhari dan Muslim]3
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa tidaklah setiap
orang yang berijtihad dapat mencapai kebenaran. Tetapi selama ia
berdalil dan bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupannya,
maka itulah yang Allah bebankan kepadanya. Allah tidak akan
menghukumnya apabila ia salah. Ancaman dan hukuman itu baru
berlaku bagi orang yang meninggalkan perintah dan melanggar
larangan setelah tegak hujjah kepadanya.4. Ijtihad yang salah ini tidak
boleh diikuti apabila kita telah mengetahui mana yang benar dan mana
yang salah.5. Karena kita dituntut untuk mengikuti dalil, bukan
mengikuti manusia.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata,
Tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah dengan ucapan seseorang
dalam masalah perselisihan, karena sesungguhnya hujjah adalah nash
dan ijma, serta dalil yang diambil istimbathnya dari hal tersebut.
Pengutamaannya ditentukan dengan dalil-dalil syariat, bukan dengan
ucapan sebagian ulama. Karena sesungguhnya ucapan para ulama itu
baru menjadi hujjah disebabkan adanya dalil-dalil syariat. Ucapan para
ulama tersebut tidak dapat mengalahkan dalil-dalil syariat6

3 Shahih Bukhari, kitab Al-Itisham, bab Ajrul Hakim Idzaj Tahada fa


AShaba au Akhthaa, hadits no. 7352, juz 8 hal. 198, lihat Fathul Bari
hal.257 Muslim, kitab Al-Aqdliyah, bab Bayan Ajril Hakim, no. 1716
4 Lihat Majmu Fatawa juz 19, hal. 213, 216, 217,227
5 Iqtidla As-Sirathil mustaqim, hal. 268
6 Majmu Fatawa, juz 26 hal. 202

9 | Page

Perlu diingat bahwa kita wajib menghormati dan mencintai para


ulama7 meskipun ijitihad mereka ada yang salah, atau ada di antara
ijtihad mereka ada yang kita yakini sebagai perbuatan bidah (setelah
diadakan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyyah dan kriteriakriteria secara ilmu ushul). Tetapi tidak boleh kita menuduhnya sebagai
ahli bidah kecuali setelah jelas bagi kita bahwa hujjah telah
ditegakkan atas mereka dan mereka tetap mengikuti hawa nafsunya.
Syaikh Ali-Hasan berkata :
Sedangkan orang yang melakukan bidah, bisa jadi dia seorang
mujtahid sebagaimana telah dibicarakan-, maka orang yang berijtihad
seperti ini, meskipun salah, tidak bisa dikatakan sebagai ahli bidah.
Sebaliknya, bisa jadi ia jahil (bodoh). Maka ia tidak bisa dikatakan
sebagai ahli bidah karena kejahilannya. Meskipun demikian ia tetap
berdosa dikarenakan kesalahan dia meninggalkan kewajiban menuntut
ilmu, kecuali apabila Allah menghendaki.
Dan bisa jadi juga ada sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang
yang melakukan bidah untuk dikatakan sebagai ahli bidah. Berbeda
dengan orang yang terus menerus melakukan bidahnya setelah
nampak kebenaran olehnya, karena mengikuti nenek moyang, dan adat
istiadatnya. Maka orang seperti ini pantas dan tepat untuk
mendapatkan predikat sebagai ahli bidah, dikarenakan penolakannya
dan pengingkarannya8
Allah berfirman:


7 Raful Malam An-Aimmatil Alam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah
8 Ilmu Ushulil Bida, hal. 209-210

10 | P a g e

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran


baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang mumin. Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya dan Kami
masukkan ia kedalam neraka jahannam dan jahannam seburuk-buruk
tempat kembali [An-Nisa : 115]
[Disalin dari buku Hanya Ada Satu Kebenaran (Mencari Kebenaran
Dalam Masalah Khilafiyah Yang Kontradiktif), Penulis Fariq Gasim
Anuz, Penerbit Darul Qalam Jakarta, Cetakan 1Th.14124H/2003M; dinukil dari almanhaj.or.id]
2.3 Macam-Macam Ikhtilaf/Khilafiyah
Oleh: Syaikh Salim bin Shalih Al-Marfadi
Para ulama telah meneliti dalil-dalil tentang ikhtilaf, sehingga
nampak jelas bahwa ikhtilaf itu ada dua macam, masing-masing terdiri
dari beberapa jenis.
Ikhtilaf Tercela
Jenis-jenisnya adalah sebagai berikut :
[a]. Ikhtilaf yang kedua belah pihak dicela
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala tentang ikhtilafnya
orang-orang Nashara.


Artinya : Maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan
kebencian sampai hari kiamat [Al-Maidah : 14]
Firman Allah dalam menerangkan ikhtilaf nya orang-orang Yahudi:
wa alqynaa baynahumul adaawata wal bagh-dh-a ilaa yaumil
qiyaamah
Artinya : Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian
diantara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api
peperangan, Allah memadamkannya [Al-Maidah : 64]

11 | P a g e

Demikian juga ikhtilaf nya ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan ahlul
bidah dalam hal-hal yang mereka perselisihkan.
Allah berfirman:

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya
dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada
sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka [Al-An'am : 159]
Juga termasuk kedalam ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf antara dua
kelompok kaum muslim dalam masalah ikhtilaf tanawwu (fariatif) dan
masing-masing mengingkari kebenaran yang dimiliki oleh kelompok
lain.
[b]. Ikhtilaf yang salah satu pihak dicela dan satu lagi dipuji (karena
benar).
Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari
dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah
berfirman:
.
Artinya : Akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka
yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya
Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan [AlBaqarah : 253]
Ini (ayat di atas) adalah pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan
kekufuran. Adapun pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan bidah
adalah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits
iftiraq.
Artinya : Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 firqah (kelompok), kaum
Nashara menjadi 72 firqah, dan ummat ini akan terpecah menjadi 73
firqah, semuanya (masuk) didalam neraka kecuali satu. Ditanyakan :
Siapakah dia wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : orang yang

12 | P a g e

berada diatas jalan seperti jalan saya saat ini beserta para sahabatku
dalam sebagian riwayat : dia adalah jamaah
(Lihat "Silsilah Ash-Shahihah 204 Susunan Syaikh Nashiruddin AlAlbani)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa semua
firqah ini akan binasa, kecuali yang berada diatas manhaj salaf ashshaleh.
Imam Syathibi berkata :
Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam [illa waahidah] telah
menjelaskan dengan sendirinya bahwa kebenaran itu hanya satu, tidak
berbilang. Seandainya kebenaran itu bermacam-macam, Rasul tidak
akan mengucapkan ; [illa waahidah] dan juga dikarenakan bahwa
ikhtilaf itu di-nafi (ditiadakan) dari syariah secara mutlak, karena
syariah itu adalah hakim antara dua orang yang berikhtilaf.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Taala.

Artinya : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(Sunnahnya). [An-Nisaa : 59]
Jenis ikhtilaf inilah yang dicela oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
Ikhtilaf yang boleh
Ini juga ada dua macam yaitu :
[a]. Iktilafnya dua orang mujtahid dalam perkara yang diperbolehkan
ijtihad di dalamnya.
Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Taala kepada
umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak
sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa
sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah
berfirman.

13 | P a g e


Artinya : Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan [Al-Hajj : 78]
Diantara rahmat ini adalah tidak memberikan beban dosa kepada
seorang mujtahid yang salah bahkan ia mendapatkan pahala karena
kesungguhannya dalam mencari hukum Allah Subhanahu wa Taala.
Allah berfirman.

Artinya : Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu salah
padanya [Al-Ahzab : 5]
Dari Amr bin Al-Ash Radhiyallahu anhu, berkata : Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
Artinya : Apabila ada seorang hakim mengadili maka ia berijtihad,
lalu ia benar (dalam ijtihadnya) maka ia mendapatkan dua pahala,
apabila ia mengadili maka ia berijtihad, lalu ia salah maka ia
mendapatkan satu pahala [Hadits Riwayat Imam Bikhari]
Sebagai penjelas terhadap apa yang telah lewat, saya katakan :
Banyak para ulama yang membagi masalah-masalah agama ini
menjadi Ushul Kulliyah (pokok-pokok yang mendasar serta bersifat
meliputi) dan Furu Juziyah (cabang-cabang yang bersifat parsial),
masalah-masalah. Ushul (pokok) dan masalah-masalah ijtihad 1 baik
dalam masalah ilmiyah ataupun amaliyah.
Pendapat inilah yang ditempuh oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Rahimahullah dan Imam Syathibi Rahimahullah. Syaikhul Islam
berkata :
Akan tetapi yang benar, bahwa masalah yang besar (pokok) dari dua
katagori itu adalah masalah ushul, sedangkan rinciannya adalah
masalah furu.

14 | P a g e

Di dalam fatwa Lajnah Daimah terdapat pernyataan mereka (para


ulama) bahwa :
Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki Ushul yang kokoh berdasarkan
dalil-dalilnya, yang di atas Ushul tersebut mereka membangun furu.
Mereka berpedoman kepada masalah-masalah Ushul dalam mencari
dalil terhadap masalah-masalah Juziyah dan dalam menerapkan
hukum bagi diri mereka sendiri dan bagi orang lain.
Dari sini tampak jelas bagi kita bahwa permasalahan-permasalahan
yang diperbolehkan berijtihad di dalamnya adalah masalah yang
bersifat rinci (detail) dari masalah ilmiyah ataupun masalah amaliyah.
Adapun masalah ushul (pokok) maka tidak boleh berijtihad
didalamnya.
Diantara contoh permasalahan yang besar (pokok) dalam kaitannya
dengan khabariyah (masalah iman dan khabar wahyu) adalah :
- Mengesakan Allah dengan segala hak-Nya,
- adanya para malaikat, jin,
- hari kebangkitan kembali,
- azab kubur,
- shirath (jembatan yang membentang di atas Jahanam untuk di lalui
manusia di hari kiamat setelah hisab), dan persoalan-persoalan nyata
lainnya yang disebut sebagai USHUL (persoalan ini tidak boleh
diperselisihkan -ed).
Adapun FURU dalam kaitannya dengan masalah khabariyah (masalah
iman dan khabar wahyu) ialah setiap rincian (detail dari masalahmasalah ushul di atas -ed). Misalnya :
- Apakah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melihat Rabbnya (ketika
Miraj),
- apakah orang mati di kuburnya mendengar pembicaraan orang yang
masih hidup,
- apakah sampai pahala amal orang yang masih hidup (selain doa)
kepada mayit ?

15 | P a g e

- dan lain-lainnya.
Syaikhul Islam berkata :
Oleh karenanya para imam sepakat untuk membidahkan orang yang
(pendapatnya) menyelisihi masalah-masalah ushul seperti ini. Berbeda
dengan orang yang (pendapatnya) menyelisihi masalah-masalah
ijtihad, yang peringkatnya belum sampai tingkat ushul dalam
kemutawatiran sunnah mengenainya, seperti perselisihan mereka
berkaitan dengan hukum seorang saksi, sumpah, pembagian (harta
warisan), dalam undian, dan perkara-perkara lain yang tidak sampai
derajat ushul [Majmu' Fatawa IV/425]
Sekalipun demikian, persoalannya tidaklah mutlak begitu yaitu dapat
berijtihad untuk membidahkan siapa saja yang dikehendaki dengan
hujjah ijtihad yang diperbolehkan. Oleh karena itu ada beberapa
ketentuan untuk ijitihad ini, yaitu :
[1] Hendaknya dalam masalah yang di ijtihad-kan, tidak ada dalil yang
qathiyuts tsubut (qathi adanya sebagai dalil) dan qathiyud-dalalah
(qathi penunjukannya/dalalahnya)
Sebab tidak boleh berijtihad dalam menentang nash. Saya buatkan satu
contoh mengenainya dengan firman Allah.
.

Artinya : Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna [Al-Baqarah : 196].
Ayat ini adalah dalil yang qathiyus-tsubut (qathi adanya/tetapnya
sebagai dalil) karena ia termasuk Al-Quran al-Karim. Dan juga
qathiyud dalalah (qathi penunjukkannya/dalalahnya) tentang
wajibnya puasa sepuluh hari bagi orang yang tidak mendapatkan

16 | P a g e

hewan kurban (denda) padahal ia ber-tamattu (mendahulukan umrah


daripada haji).
[2] Hendaknya dalil tentang permasalahan itu mengandung beberapa
kemungkinan.
Contoh yang bekaitan dengan dalil zhanniyuts-tsubut (dalil yang masih
bersifat zhann.dipertanyakan keadaannya sebagai dalil), ialah pendapat
sebagian ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa mustahab
(sunnah) hukumnya mengerak-gerakkan jari ketika tasyahhud.
Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tambahan
menggerak-gerakkan (jari) dalam hadits itu adalah syadz
(bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat).
Contoh yang berkaitan dengan dalil zhanniyud-dalalah
(penunjukkannya sebagai dalil masih bersifat dugaan/dalalahnya tidak
qathi) ialah firman Allah. :


Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru [Al-Baqarah : 228].
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al-Qaru
adalah suci, sementara yang lain berpendapat bahwa Al-Qaru adalah
haid. Kedua pendapat tersebut mempunyai kemungkinan benar-benar
secara bahasa.
[3] Hendaknya ijtihad yang dilakukan tidak dalam masalah yang telah
ijma (disepakati) atau tidak dalam masalah yang telah baku sebagai
manhaj ilmiyah Ahlu Sunnah.
[4] Hendaknya hukum atas permasalahan itu bersumber dari seorang
mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab
mereka tentang ushul fiqh.

17 | P a g e

[5] Hendaknya kesimpulan hukum dibangun berdasarkan metode


Ahlus Sunnah dalam cara pandang maupun cara mengambil dalil.
Di antara metode itu adalah bahwa dalam pendapat yang di
ijtihadkannya, memiliki pendahulu dari kalangan ulama umat ini yang
telah dipersaksikan keilmuannya dalam masalah dien.
Al-Hafidzh Ibnu Rajab dalam kitabnya Fadhul Ilmi as-Salaf ala alKhalaf berkata :
Adapun para imam dan Fuqaha Ahul Hadits, maka mereka akan
mengikuti hadits shahih sebagaimana adanya apabila hadits itu
diamalkan oleh para sahabat, orang-orang yang sesudah mereka atau
sekelompok dari mereka, Adapun apa yang telah disepakati oleh
mereka untuk ditinggalkan, maka ia tidak boleh diamalkan Umar bin
Abdul Aziz berkata : Ambillah pendapat yang sesuai dengan
(pendapat) orang-orang sebelum kalian (Salafus Shalih), sesungguhnya
mereka lebih tahu dari pada kalian
(Lihat Tsalatsu Rasa'il, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab, hal. 140, Tahqiq
Muhammad Al-Ajami)
Dari keterangan di atas, menjadi jelaslah macam ikhtilaf yang pertama
dari ikhtilaf yang diperbolehkan.
[b]. Ikhtilaf Tanawwu
Contohnya adalah ikhtilaf sahabat dalam masalah bacaan (Al-Quran)
pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Abdullah bin Masud Radhiyallahu anhu, ia berkata :
Saya mendengar seseorang membaca ayat yang saya pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam membacanya
berbeda dengan orang itu, maka saya pegang tangannya lalu saya
bahwa kehadapan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Saya
laporkan hal itu kepada beliau, namun saya melihat tanda tidak suka
pada wajah beliau, dan beliau bersabda.
18 | P a g e

Artinya : Kalian berdua bagus (bacaannya), jangan berselisih!


Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa.
Ulama yang paling baik menulis masalah ikhtilaf tanawwu ini dan
menjelaskannya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah,
yaitu ketika beliau berkata :
Ikhtilaf tanawwu ada beberapa macam, diantaranya adalah ikhtilaf
yang masing-masing dari kedua perkataan (pendapat) atau perbuatan
itu benar sesuai syariat, seperti bacaan (Al-Quran) yang
diperselisihkan itu dicegah oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam. Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda:
Artinya : Kalian berdua bagus/benar (bacaannya)
Misalnya lagi adalah ikhtilaf dalam macam-macam sifat adzan,
iqamah, doa iftitah, tasyahhud, shalat khauf, takbir ied, takbir jenazah
dan lain-lain yang semuanya disyariatkan, meskipun dikatakan bahwa
sebagiannya lebih afdhal.
Kemudian kita dapatkan banyak umat Islam yang terjerumus dalam
ikhtilaf hingga menyebabkan terjadinya peperangan (pertengkaran)
antar golongan diantara mereka. hanya karena masalah menggenapkan
lafazh iqamah atau mengganjilkannya, atau masalah-masalah semisal
lainnya. Ini adalah substansi keharaman itu sendiri.
Sementara orang yang tidak sampai ketingkat ini (yaitu tingkat
peperangan/pertengkaran), banyak diantaranya yang kedapatan fanatik
terhadap salah satu cara (adzan, iqamahm dst) tersebut karena
mengikuti hawa nafsu, dan berpaling dari cara lain, atau melarang cara
lain yang sebenarnya masuk dalam salah satu cara. Hal yang tentu
dilarang oleh Nabi.
Diantara ikhtilaf tanawwu juga adalah ikhtilaf yang masing-masing
dari dua pendapat mempunyai kesamaan makna namun redaksinya

19 | P a g e

berbeda, sebagaiman banyak orang (Ulama) yang kadang berselisih


dalam membahasakan ketentuan hukum-hukum had, shighah-shighah
(bentuk-bentuk ) dalil, istilah tentang nama-nama sesuatu, pembagianpembagian hukum dan lain-lain. Selanjutnya kebodohan atau
kezhalimanlah yang akhirnya membawa pada sikap memuji terhadap
sakah satu dari dua pendapat tadi dan mencela yang lain.
Diantaranya lagi adalah tentang sesuatu yang memiliki dua makna
yang berbeda namun tidak saling berlawanan. Yang ini adalah
perkataan benar, dan yang itu juga merupakan perkataan benar,
sekalipun maknanya saling berbeda. Ini banyak sekali terjadi dalam
perselisihan pendapat.
Di antaranya lagi adalah ikhtilaf mengenai dua cara yang sama-sama
disyariatkan. Seseorang atau satu kelompok menempuh jalan ini,
sedangkan yang lain menempuh jalan lain. Kedua-duanya baik dalam
agama. Tetapi kebodohan atau kezalimanlah yang kemudian
menggiring pada sikap mencela terhadap salah satu dari kedua jalan
tersebut atau lebih mengutamakannya, tanpa dasar niat yang benar,
atau tanpa dasar ilmu, atau tanpa dasar niat yang ikhlas dan tanpa dasar
ilmu sekaligus
(Iqtidha' Ash-Shiratth Al-Mustaqim, karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah I/132-134)
Jika pertengkaran di antara sebagian kaum muslimin terjadi dalam
ikhtilaf macam ini maka jadilah ikhtilaf itu tercela, sebagaimana yang
telah jelas pada penjelasan yang telah lewat dan pada hadits Abdullah
bin Masud seputar ikhtilaf dalam qiraah (bacaan Al-Quran).
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
Artinya : Kalian berdua benar, jangan berselisih ! Sesungguhnya umat
sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa
Syaikhul Islam berkata :

20 | P a g e

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang ikhtilaf (perselisihan


pendapat) yang masing-masing dari kedua belah pihak
mengingkari/menolak kebenaran yang ada pada pihak lain, karena
kedua orang sahabat yang berbeda bacaannya itu sama-sama benar
dalam bacaannya. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan
sebab (larangan) tersebut yaitu bahwa lantaran umat sebelum kita
berselisih, maka kemudian mereka menjadi binasa karenanya.
Oleh sebab itu ketika Hudzaifah melihat penduduk Syam dan Iraq
berselisih mengenai bacaan huruf Al-Quran dengan perselisihan yang
telah dilarang oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau berkata
kepada Utsman (bin Affan, Amirul Mukminin -ed) : Perbaikilah umat
ini, janganlah mereka berselisih dalam bacaan Al-Quran, sebagaimana
umat sebelum mereka berselisih.
Jadi keterangan ini memberikan dua faedah :
[1] Haramnya berselisih dalam masalah seperti ini.
[2] Mengambil pelajaran dari umat sebelumnya dan berhat-hati jangan
sampai menyerupai mereka.
[Disalin dari Majalah Al-Ashalah tgl. 15 Dzul Hijjah 1416H, edisi
17/Th.III hal 78-89, karya Salim bin Shalih Al-Marfadi, dan dimuat
Majalah As-Sunnah edisi 06/Tahun V/1422H/2001M hal. 25-29
penerjemah Ahmad Nusadi; dari almanhaj.or.id (dikumpulkan menjadi
satu kesatuan dari dua artikel; bagian pertama; bagian kedua)]
2.4 Adab-Adab Ikhtilaf/Khilafiyah
Oleh: asy-Syaikh Salim bin Shalih al-Marfadi
Islam telah meletakkan sendi-sendi adab yang tinggi bagi seorang
muslim yang berjalan diatas manhaj Sunnah, dalam pergaulannya
bersama saudara-saudaranya ketika berselisih faham dengan mereka
dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Cukuplah kiranya, sabda Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, pembawa rahmat dan petunjuk.

21 | P a g e

Artinya : Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaqakhlaq yang mulia.


[Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam 'Adabul Mufrad' dan Imam
Ahmad. Lihat 'Silsilah Ash-shahihah 15']
Di antara adab-adab itu ialah :
[1]. Lapang Dada Menerima Kritik Yang Sampai Kepada Anda Untuk
Membetulkan Kesalahan, Dan Hendaklah Anda Ketahui Bahwa Ini
Adalah Nasehat Yang Dihadiahkan Oleh Saudara Seiman Anda.
Ketahuilah ! Bahwa penolakan anda terhadap kebenaran dan
kemarahan anda karena pembelaan terhadap diri adalah kesombongan
-Aaadzanallah. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda.
Artinya : Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan
orang lain. [Hadits Riwayat Muslim]
Banyak sekali contoh sekitar adab yang mulia ini yang telah dijelaskan
oleh para salafus shalih, dianaaranya adalah :
Kisah yang diceritakan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Bar, beliau berkata :
Banyak orang telah membawa berita kepada saya, berasal dari Abu
Muhammad Qasim bin Ashbagh, dia berkata :
Ketika saya melakukan perjalanan ke daerah timur, saya singgah di
Qairawan. Disana saya mempelajari hadits Musaddad dari Bakr bin
Hammad. Kemudian saya melakukan perjalanan ke Baghdad dan saya
temui banyak orang (Ulama) disana. Ketika saya pergi (dari Baghdad),
saya kembali lagi kepada Bakr bin Hammad (di Qairawan-red) untuk
menyempurnakan belajar hadits Musaddad.
Suatu hari saya membacakan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
dihadapan beliau (untuk mempelajarinya) :

22 | P a g e

Artinya : Sungguh telah datang satu kaum dari Muldar yang


(Mujtaabin Nimar)
Beliau (Bakr bin Hammad) berkata kepadaku
Sesungguhnya yang benar adalah Mujtabits Tsimar. Aku katakan
padanya Mujtaabin Nimar, demikianlah aku membacanya setiap kali
aku membacakannya di hadapan setiap orang yang aku temui di
Andalusia dan Irak
Beliau berkata kepadaku :
Karena enngkau pergi ke Irak, maka kini engkau (berani) menentang
aku dan menyombongkan diri dihadapanku ?
Kemudian dia berkata kepadaku (lagi) :
Ayolah kita bersama-sama bertanya kepada syaikh itu (menunjuk
seorang syaikh yang berada di Masjid), dia punya ilmu dalam hal
seperti ini
Kami pun pergi ke syaikh tersebut dan kami menanyainya tentang hal
ini.
Beliau berkata :
Sesungguhnya yang benar adalah [Mujtaabin Nimar] seperti yang
aku baca.
Artinya adalah : Orang-orang yang memakai pakaian, bagian depannya
terbelah, kerah bajunya ada di depan. Nimar adalah bentuk jama dari
Namrah.
Bakr bin Hammad berkata sambil memegangi hidungnya :
Aku tunduk kepada al-haq, aku tunduk kepada al-haq ! lalu ia pergi.
[Mukhtasyar Jaami' Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal.123 yang diringkas
oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani]

23 | P a g e

Saudaraku, cobalah anda perhatikan -semoga Allah senantiasa menjaga


anda- betapa menakjubkan sikap Adil ini ! Alangkah perlunya kita
pada sikap adil seperti sekarang ! Akan tetapi mana mungkin hal itu
terjadi kecuali bagi orang yang ikhlas niatnya karena Allah Subhanahu
wa Taala.
Inilah dia Imam Malik rahimahullah (pada masa hidupnya-red) pernah
berkata :
Tidak ada sesuatupun yang lebih sedikit dibandingkan dengan sifat
adil pada zaman sekarang ini
[Mukhtasyar Jaami' Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal . 120 yang diringkas
oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani]
Maka apa lagi dengan zaman sekarang ini yang sudah demikian
berkecamuknya hawa nafsu!! -Kita berlindung kepada Allah dari fitnah
yang menyesatkan-.
[2]. Hendaklah Memilih Ucapan Yang Terbaik Dan Terbagus Dalam
Berdiskusi Dengan Sesama Saudara Muslim.
Allah berfirman.

Artinya : Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia [AlBaqarah : 83]
Dari Abu Darda Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda.
Artinya : Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan
seorang mukmin pada hari kiamat dibanding akhlaq yang baik, dan
sesungguhnya Allah murka kepada orang yang keji dan jelek
(akhlaqnya). [Hadits Riwayat Tirmidzi]

24 | P a g e

[3]. Hendaklah Diskusi Yang Dilakukan Terhadap Saudara Sesama


Muslim, Dengan Cara-Cara Yang Bagus Untuk Menuju Suatu Yang
Lebih Lurus.
Yang menjadi motif dalam berdiskusi hendaklah kebenaran, bukan
untuk membela hawa nafsu yang sering memerintahkan pada
kejelekan. Akhlak anda ketika berbicara terletak pada keikhlasan anda.
Jika diskusi (tukar fikiran) sampai ketingkat adu mulut, maka
katakanlah : salaam/selamat berpisah ! dan bacakanlah kepadanya
sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Artinya : Saya adalah pemimpin di sebuah rumah di pelataran sorga
bagi orang yang meninggalkan adu mulut meskipun ia benar [Hadits
Riwayat Abu Daud dari Abu Umamah al-Bahily]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar menyebutkan dari Zakaria bin Yahya yang
berkata :
Saya telah mendengar Al-Ashmai berkata :
Abdullah bin Hasan berkata :
Adu mulut akan merusak persahabatan yang lama, dan mencerai
beraikan ikatan (persaudaraan) yang kuat, minimal (adu mulut) akan
menjadikan mughalabah (keinginan untuk saling mengalahkan) dan
mughalabah adalah sebab terkuat putusnya ikatan persaudaraan.
[Mukhtasyar Jaami' Bayan al-Ilmi wa Fadlihi hal. 278]
Dari Jafar bin Auf, dia berkata : saya mendengar Misar berkata
kepada Kidam, anaknya :
Kuhadiahkan buatmu wahai Kidam nasihatku
Dengarlah perkataan bapak yang menyayangimu
Adapun senda gurau dan adu mulut, tinggalkanlah keduanya
Dia adalah dua akhlak yang tak kusuka dimiliki teman
Ku pernah tertimpa keduanya lalu akupun tak menyukainya
Untuk tetangga dekat ataupun buat teman

25 | P a g e

Para salaf shalih telah membuat permisalan yang sangat cemerlang


tentang etika ikhtilaf (perselisihan pendapat), diantaranya adalah :
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
Hushain bin Abdurrahman, dia berkata :
Saya berada di tempat Said bin Jubair, lalu ia berkata :
Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam ?
Saya jawab :
Saya, tetapi ketahuilah bahwa saya tidak dalam keadaan shalat, saya
kena sengat binatang berbisa!.
Said bertanya :
Apa yang kau perbuat ?
Saya menjawab :
Saya melakukan ruqyah (baca-bacaan sebagai obat)
Said bertanya :
(Dalil) apakah yang membawamu untuk melakukan itu ?
Saya jawab :
Sebuah hadits yang diceritakan kepada kami oleh As-Syabi.
Said berkata :
Apa yang diceritakan Asy-Syabi kepadamu ?
Saya jawab :
Dia bercerita kepada kami dari Buraidah bin Al-Hushain bahwasanya
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
Artinya : Tidak ada ruqyah kecuali (pada penyakit yang timbul) dari
mata (orang yang dengki) dan bisa (racun) hewan
Dia berkata :
26 | P a g e

Sungguh bagus orang yang berpedoman pada apa (riwayat) yang ia


dengar, akan tetapi Ibnu Abbas menceritakan kepada kami bahwa ..
(sampai akhir hadits)
Perhatikanlah adab mulia yang dimiliki pewaris ilmunya Ibnu Abbas
Radhiyallahu anhu ini, ia tidak memaki Hushain bin Abdurrahman
(orang yang berselisih dengannya), bahkan menganggapnya baik
karena Hushain mengamalkan dalil yang ia ketahui. Kemudian baru
setelah itu. Said bin Jubair menjelaskan hal yang lebih utama (untuk
dilakukan) dengan cara yang lembut dan dikuatkan dengan dalil.
Akhirnya melalui hadits ini kita dapat mengambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
[1] Ikhtilaf, meskipun ia sudah menjadi perkara yang ditakdirkan oleh
Allah akan tetapi wajib bagi kita untuk menjauhinya
Dan tidak punya keinginan untuk berikhtilaf pada suatu yag boleh
selama kita masih ada jalan untuk menghindarinya.
[2] Perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad padanya, memiliki
beberapa syarat dan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh ilmu dan
keikhlasan bukan diatur oleh perkiraan dan kemauan hawa nafsu.
[3] Ahlu Sunnah memiliki manhaj dalam memahami ikhtilaf yang
diambil dari Al-Quran dan Sunnah.
Diantara adab-adabnya adalah mengikuti akhlak para salaf shalih
dalam pergaulan dengan sesama mereka ketika terjadi ikhtilaf.
[4] Tidak boleh bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk menuduh saudaranya memisahkan diri dari manhaj Ahlus
Sunnah kecuali berdasarkan ilmu dan keadilan, bukan berdasarkan
kebodohan dan kezhaliman.

27 | P a g e

[5] Tidak mencampur adukkan antara masalah-masalah ijtihadiyah


dengan masalah iftiraq (perpecahan) 9
Demikian juga tidak boleh mencampur-adukkan antara orang yang
membuat bidah juziyah (sebagian) dengan orang yang meninggalkan
sunnah dengan bidah kulliyah (keseluruhan).
(Disadur dari Majalah Al-Ashalah tgl.15 Dzul Hijjah 1416H, edisi
17/Th III hal. 78-89, karya Salim bin Shalih Al-Marfadi, dan dimuat di
Majalah As-Sunnah edisi 06/Tahun V/1422H/2001M, hal. 30-32 AdabAdab Ikhtilaf merupakan bagian ketiga dari tiga bagian,
diterjemahkan oleh Ahmad Nusadi; dari almanhaj.or.id)

DAFTAR PUSTAKA
Situs web:
http://abangdani.wordpress.com/2010/08/16/khilafiyah-dan-adab-adabnya/

9 Untuk penjelasan yang lebih rinci bisa dibaca di


http://abuzuhriy.com/perbedaan-antara-ikhtilaf-perbedaan-dan-iftiroqperpecahan/

28 | P a g e

http://alitrigiyatno.wordpress.com/2012/06/15/adab-menyikapi-khilafiyah/
https://www.facebook.com/notes/mutiara-hikmah/sebab-sebab-timbulnyaperbedaan-pendapat-di-kalangan-ulama/481695200567

29 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai