Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar TN Baluran, Joko Waluyo mengatakan
pihaknya belum mengetahui detil kepastian pembangunan pabrik itu. Itu kan HGUnya (hak guna usaha) Pemda (Situbondo) ya. Kalau dari Pemda infonya untuk pabrik
pengolahan nikel, tapi itu masih jauh prosesnya, kata Joko.
Dia memastikan tidak ada wilayah taman nasional termasuk dekat pantai Pandean
yang digunakan untuk membangun pabrik. Kalau melewati kawasan harus ijin
menteri, dan itu belum pasti. Kalau proyek itu dijalankan, yang pasti diluar kawasan
taman nasional dan mereka akan membuat pagar. Kalau yang berdekatan langsung
dengan taman nansional itu rencananya akan dipagar, ditutup. Kalau itu malah
menguntungkan kita, karena itu biasanya jadi jalurnya orang luar yang masuk
kawasan untuk mencuri atau berburu, ujar Joko menerangkan.
Joko memastikan belum ada izin pemanfaatan kawasan milik taman nasional untuk
proyek pembangunan pabrik pengolahan nikel. Sedangkan dampak bila ada pabrik
itu bagi TN, hanya kebisingan aktivitas dan transportasi.
Lahan yang dibuka sebagai jalan menuju pantai Pandean di dekat kawasan TN
Baluran. Foto : Petrus Riski
Lahan yang dibuka sebagai jalan menuju pantai Pandean di dekat kawasan TN
Baluran. Foto : Petrus Riski
Mencemari lingkungan
Jatam belum mendapatkan data lengkap, termasuk proses pengolahan nikel yang
membutuhkan bahan kimia. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengetahui
resikonya. Hingga hari ini masyarakat belum banyak yang mengetahui resiko
adanya smelter, dan pemerintah tidak melakukan antisipasi terhadap resiko yang
akan ditimbulkan. Jelas Hendrik.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Ony
Mahardika mengatakan, pembukaan lahan di kawasan konservasi merupakan
pelanggaran undang-undang. Kawasan konservasi jelas-jelas dilindungi oleh
undang-undang, artinya tidak boleh ada pembangunan apapun di kawasan
konservasi maupun hutan lindung, tegas Ony.
Dampak buruk pabrik smelter seperti kerusakan ekosistem laut yang jelas
mempengaruhi nelayan, polusi udara bagi satwa dan tumbuhan di TN dan krisis air
karena digunakan oleh pabrik. Oleha karena itu, Walhi Jatim mendesak pengkajian
ulang rencana pembangunan pabrik itu.
Kita punya pengalaman buruk di taman nasional Kutai, ketika ada tambang di
dalam taman nasional, maka itu menjadi hancur. Maka seharusnya di Baluran tidak
boleh ada, dan kita mengecam keras kalau itu sampai ada, katanya.
Pembangunan
tembok
pembatas
juga
akan
berpengaruh
terhadap
terfragmentasinya habitat dan daerah jelajah satwa, serta mempermudah akses
manusia masuk lebih dalam. Karena kalau kita bicara ekosistem itu satu
kesatuan, tandas pendiri ProFauna itu.
Oleh karena itu, Profauna Indonesia melakukan aksi menolak pembangunan pabrik
smelter nikel di TN Baluran di depan kantor Gubernur Jawa Timur, di halaman Tugu
Pahlawan Surabaya, pada Kamis (23/10/2014).
Aksi ProFauna Indonesia di halaman Tugu Pahlawan, di depan kantor Gubernur Jawa
Timur menolak Smelter Nikel di dekat TN Baluran. Foto : Petrus Riski
Aksi ProFauna Indonesia di halaman Tugu Pahlawan, di depan kantor Gubernur Jawa
Timur menolak Smelter Nikel di dekat TN Baluran. Foto : Petrus Riski
Juru Kampanye ProFauna Indonesia, Swasti Prawidya Mukti mengatakan limbah dari
proses pemurnian nikel yaitu SO2 yang mengandung belerang. Ketika zat ini
menguap ke udara dan kontak dengan atmosfir kita, maka itu bisa memicu
terjadinya hujan asam yang secara langsung akan mencemari tanah, air dan udara,
tidak lama kemudian pasti akan merusak jaringan-jaringan tumbuhan, terang
Swasti.
Anggota Tim Kajian Smelting Kementerian Kehutanan, Satyawan yang juga Dekan
Fakultas Kehutanan Univeristas Gajah Mada, saat dihubungi mengungkapkan,
bahwa pihaknya selaku tim smelting yang dibentuk Kementerian Kehutanan telah
melakukan pemantauan dan pertemuan dengan pihak perusahaan.
Dari hasil yang dihimpun sementara oleh tim, pihaknya masih belum dapat
menyimpulkan mengenai kesiapan perusahaan untuk membangun smelter, di lokasi
yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran. Beberapa data yang
dibutuhkan tim belum dapat dipenuhi oleh perusahaan hingga kini. Data-data itu,
kata Satyawan, akan digunakan sebagai dasar kesimpulan serta rekomendasi
pemberian ijin dari Kementerian Kehutanan.
Pantai Pandean yang akan berubah bila smelter nikel jadi dibangun. Foto : Petrus
Riski
Pantai Pandean yang akan berubah bila smelter nikel jadi dibangun. Foto : Petrus
Riski
Tim smelting yang dibentuk Kementerian Kehutanan terdiri dari beberapa pakar,
selain Satyawan, juga ada Prof Tukirin dari LIPI, Prof Bismar dari Balitbang
Kementerian Kehutanan, Direktorat Konservasi Kawasan dan Pelestarian Hutan
Lindung, Legal PHKA, serta Kepala Taman Nasional Baluran. Dari pertemuan dengan
perusahaan masih belum dapat diambil kesimpulan, meski keputusan pemberian
ijin merupakan wewenang Kementerian Kehutanan.
Perusahaan investor dari Cina itu akan berinvestasi senilai Rp 4 triliun dengan total
produksi 243.600 ton ferronickel alloy per tahun. Bahan mentah nikel akan
didatangkan dari pertambangan di Sulawesi Tenggara melalui Pelabuhan Jangkar.
Rencananya, PT Situbondo akan membangun dermaga sendiri dan mendirikan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batu bara.
Namun demikian pendirian pabrik itu diduga belum memiliki ijin mendirikan
bangunan (IMB) maupun ijin gangguan (HO), baru menyelesaikan Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) pada pertengahan tahun lalu. Dari rencana semula, perusahaan
belum mendapatkan seluruh kebutuhan lahannya dan keberadaan pabrik dinilai
tidak sesuai dengan Perda Situbondo No 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang
dan Wilayah, dimana lokasi smelter seharusnya diperuntukkan untuk kawasan
perikanan, pertanian dan perkebunan tebu.
Pada tanggal 12 Januari 2014, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden telah
menetapkan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 mengenai
kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah sebagai bentuk realisasi dari Undangundang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba).
Undang-undang ini beresensi agar semua bahan baku mineral seperti emas, nikel,
bauksit, bijih besi, tembaga, dan batubara mengalami proses nilai tambah sebelum
diekspor.
Peraturan ini juga mewajibkan pemilik usaha untuk membangun smelter, sebuah
fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam
seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang
memenuhi standar. Diharapkan pembangunan smelter ini akan meningkatkan
investasi dalam negeri karena fasilitas smelter yang ada saat ini masih terbatas.
Ditilik dari segi lingkungan, ada beberapa efek negatif di balik keberadaan smelter.
Pertama, smelter membutuhkan banyak sekali pasokan listrik dan batubara sebagai
bahan bakar proses pengolahan. Proses smelting pun pada akhirnya akan
menghasilkan konsentrat mineral, serta produk limbah padat berupa batuan dan
gas buang SO2. Saat menguap ke udara, maka senyawa SO2 dapat menyebabkan
hujan asam yang jika turun ke tanah akan meningkatkan derajat keasaman tanah
dan sumber air sehingga membahayakan kelangsungan hidup vegetasi dan satwa.
Satu diantara contoh nyata dari kerusakan lingkungan yang disebabkan smelter
adalah peristiwa yang terjadi di Norilsk, Rusia. Dulunya kota ini merupakan
kompleks smelting logam berat terbesar di dunia. Dalam setahun lebih dari 4 juta
ton cadmium, tembaga, timah, nikel, arsenik, selenium dan zinc terlepas ke udara.
Kadar tembaga dan nikel di udara melebihi ambang batas yang diperbolehkan, dan
sebagai akibatnya dalam radius 48 km dari smelter, tidak ada satu pohon pun yang
bertahan hidup.
Pada manusia dan satwa, semua jenis senyawa nikel juga dapat menyebabkan
iritasi saluran pernapasan, pneumonia, emphysema, hiperplasia, dan fibrosis. Selain
itu, percobaan laboratorium membuktikan bahwa senyawa nikel dapat menembus
dinding plasenta pada mamalia sehingga dapat mempengaruhi perkembangan
embrio dengan risiko kematian dan malformasi. Pada eksperimen berbeda yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan senyawa nikel pada organ-organ tubuh
tertentu pada hewan percobaan, didapati munculnya sel-sel kanker akibat mutasi
yang dialami oleh jaringan tubuh.