Anda di halaman 1dari 7

Taman Nasional Baluran Terancam Pabrik Pengolahan Nikel

October 27, 2014 Petrus Riski, Surabaya


Facebook365Twitter21LinkedIn0Google+2Email
Seorang pengunjung menunjukkan hamparan savana yang dikelilingi akasia dari
atas menara pantau di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski
Seorang pengunjung menunjukkan hamparan savana yang dikelilingi akasia dari
atas menara pantau di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski

Taman Nasional (TN) Baluran yang berada di wilayah Kabupaten Situbondo


merupakan kawasan konservasi bagi berbagai satwa dan tumbuhan yang hidup di
areal seluas 25.000 hektar.

Akan tetapi, TN yang dijuluki savana Afrika-nya Indonesia ini terancam


keberadaannya dengan rencana pembangunan smelter atau pabrik pengolahan
nikel oleh PT. Situbondo Metallindo.

Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar TN Baluran, Joko Waluyo mengatakan
pihaknya belum mengetahui detil kepastian pembangunan pabrik itu. Itu kan HGUnya (hak guna usaha) Pemda (Situbondo) ya. Kalau dari Pemda infonya untuk pabrik
pengolahan nikel, tapi itu masih jauh prosesnya, kata Joko.

Dia memastikan tidak ada wilayah taman nasional termasuk dekat pantai Pandean
yang digunakan untuk membangun pabrik. Kalau melewati kawasan harus ijin
menteri, dan itu belum pasti. Kalau proyek itu dijalankan, yang pasti diluar kawasan
taman nasional dan mereka akan membuat pagar. Kalau yang berdekatan langsung
dengan taman nansional itu rencananya akan dipagar, ditutup. Kalau itu malah
menguntungkan kita, karena itu biasanya jadi jalurnya orang luar yang masuk
kawasan untuk mencuri atau berburu, ujar Joko menerangkan.

Joko memastikan belum ada izin pemanfaatan kawasan milik taman nasional untuk
proyek pembangunan pabrik pengolahan nikel. Sedangkan dampak bila ada pabrik
itu bagi TN, hanya kebisingan aktivitas dan transportasi.

Sedangkan warga sekitar mengetahui rencana pembangunan pabrik nikel pada


bulan Juni-Juli 2014, ketika mulai ada aktivitas pembukaan lahan seluas kurang
lebih 400 hektar pada lahan yang banyak ditanami tanaman kapuk di sisi timur luar
taman nasional, dan memotong sebagian wilayah TN di dekat pantai Pandean, di
wilayah Desa Wonorejo, Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo.

Dari pantauan Mongabay-Indonesia, telah terdapat jalan penghubung selebar 6-8


meter yang dibuka oleh pihak perusahaan, dari timur melewati wilayah taman
nasional dengan membabat pohon kapuk atau randu. Jalan yang masih dijumpai
beberapa satwa seperti ayam hutan, burung merak, serta beberapa jenis burung
lainnya termasuk elang.itu direncanakan sebagai jalan penghubung untuk inspeksi
serta keluar masuknya kendaraan proyek pembangunan pabrik.

Lahan yang dibuka sebagai jalan menuju pantai Pandean di dekat kawasan TN
Baluran. Foto : Petrus Riski
Lahan yang dibuka sebagai jalan menuju pantai Pandean di dekat kawasan TN
Baluran. Foto : Petrus Riski

Sukadi, warga Desa Wonorejo, Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo


mengatakan warga belum mengambil sikap atas rencana pembangunan pabrik,
meski warga khawatir dampak buruknya terhadap lingkungan.

Sedangkan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Wonorejo, Heri Setiawan


mengungkapkan, dirinya belum diajak bicara mengenai informasi rencana
pembangunan itu.

Mencemari lingkungan

Sementara itu Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Hendrik Siregar


mengatakan, kebijakan pemerintah mengenai hilirisasi industri pertambangan sarat
masalah, karena tidak memikirkan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan
penggalian tambang.

Keberadaan smelter menurutnya sangat rentan terhadap persoalan lingkungan,


terkait limbah yang akan dihasilkan dan berpotensi mencemari lingkungan,
sementara pemerintah belum menetapkan standarisasi pabrik smelter.

Jatam belum mendapatkan data lengkap, termasuk proses pengolahan nikel yang
membutuhkan bahan kimia. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengetahui
resikonya. Hingga hari ini masyarakat belum banyak yang mengetahui resiko
adanya smelter, dan pemerintah tidak melakukan antisipasi terhadap resiko yang
akan ditimbulkan. Jelas Hendrik.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Ony
Mahardika mengatakan, pembukaan lahan di kawasan konservasi merupakan
pelanggaran undang-undang. Kawasan konservasi jelas-jelas dilindungi oleh
undang-undang, artinya tidak boleh ada pembangunan apapun di kawasan
konservasi maupun hutan lindung, tegas Ony.

Dampak buruk pabrik smelter seperti kerusakan ekosistem laut yang jelas
mempengaruhi nelayan, polusi udara bagi satwa dan tumbuhan di TN dan krisis air
karena digunakan oleh pabrik. Oleha karena itu, Walhi Jatim mendesak pengkajian
ulang rencana pembangunan pabrik itu.

Sementara itu Ketua Protection of Forest and Fauna (ProFauna) Indonesia


menyatakan keberadaan pabrik akan mengubah ekosistem dan satwa TN, serta
menjadi langkah awal dilakukannya eksploitasi taman nasional yang lebih besar
lagi.

Kita punya pengalaman buruk di taman nasional Kutai, ketika ada tambang di
dalam taman nasional, maka itu menjadi hancur. Maka seharusnya di Baluran tidak
boleh ada, dan kita mengecam keras kalau itu sampai ada, katanya.

Pembangunan
tembok
pembatas
juga
akan
berpengaruh
terhadap
terfragmentasinya habitat dan daerah jelajah satwa, serta mempermudah akses
manusia masuk lebih dalam. Karena kalau kita bicara ekosistem itu satu
kesatuan, tandas pendiri ProFauna itu.

Oleh karena itu, Profauna Indonesia melakukan aksi menolak pembangunan pabrik
smelter nikel di TN Baluran di depan kantor Gubernur Jawa Timur, di halaman Tugu
Pahlawan Surabaya, pada Kamis (23/10/2014).

Aksi ProFauna Indonesia di halaman Tugu Pahlawan, di depan kantor Gubernur Jawa
Timur menolak Smelter Nikel di dekat TN Baluran. Foto : Petrus Riski
Aksi ProFauna Indonesia di halaman Tugu Pahlawan, di depan kantor Gubernur Jawa
Timur menolak Smelter Nikel di dekat TN Baluran. Foto : Petrus Riski

Juru Kampanye ProFauna Indonesia, Swasti Prawidya Mukti mengatakan limbah dari
proses pemurnian nikel yaitu SO2 yang mengandung belerang. Ketika zat ini
menguap ke udara dan kontak dengan atmosfir kita, maka itu bisa memicu
terjadinya hujan asam yang secara langsung akan mencemari tanah, air dan udara,
tidak lama kemudian pasti akan merusak jaringan-jaringan tumbuhan, terang
Swasti.

ProFauna Indonesia juga menanyakan kelanjutan surat yang sudah dikirimkan


kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Timur, terkait keberatan dan
penolakan rencana pembangunan smelter di dekat Taman Nasional Baluran. Surat
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur itu juga telah direspon dengan
mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali pemberian ijin oleh Pemerintah
Kabupaten Situbondo. Namun hingga kini ProFauna belum memperoleh jawaban
dari pihak Pemerintah Kabupaten Situbondo.

Sementara itu saat dihubungi oleh Mongabay-Indonesia, Sekretaris Daerah


Kabupaten Situbondo Saifullah belum bersedia memberikan keterangan terkait
penolakan rencana pembangunan smelter. Bahkan melalui pesan singkat, Saifullah
belum memberikan jawaban atas keterangan yang diminta.

Anggota Tim Kajian Smelting Kementerian Kehutanan, Satyawan yang juga Dekan
Fakultas Kehutanan Univeristas Gajah Mada, saat dihubungi mengungkapkan,
bahwa pihaknya selaku tim smelting yang dibentuk Kementerian Kehutanan telah
melakukan pemantauan dan pertemuan dengan pihak perusahaan.

Dari hasil yang dihimpun sementara oleh tim, pihaknya masih belum dapat
menyimpulkan mengenai kesiapan perusahaan untuk membangun smelter, di lokasi
yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Baluran. Beberapa data yang
dibutuhkan tim belum dapat dipenuhi oleh perusahaan hingga kini. Data-data itu,
kata Satyawan, akan digunakan sebagai dasar kesimpulan serta rekomendasi
pemberian ijin dari Kementerian Kehutanan.

Pantai Pandean yang akan berubah bila smelter nikel jadi dibangun. Foto : Petrus
Riski
Pantai Pandean yang akan berubah bila smelter nikel jadi dibangun. Foto : Petrus
Riski

Tim smelting yang dibentuk Kementerian Kehutanan terdiri dari beberapa pakar,
selain Satyawan, juga ada Prof Tukirin dari LIPI, Prof Bismar dari Balitbang
Kementerian Kehutanan, Direktorat Konservasi Kawasan dan Pelestarian Hutan
Lindung, Legal PHKA, serta Kepala Taman Nasional Baluran. Dari pertemuan dengan
perusahaan masih belum dapat diambil kesimpulan, meski keputusan pemberian
ijin merupakan wewenang Kementerian Kehutanan.

Perusahaan Pembuka Lahan untuk Smelter

PT. Situbondo Metallindo awalnya berencana membangun pabrik peleburan bijih


nikel laterit di Desa Lamongan, pada lahan bekas kebun tebu yang dibelinya. Selain
itu perusahaan membeli lahan di Desa Agel dan Desa Pesanggrahan, Kecamatan
Jangkar, Kabupaten Situbondo. Total lahan yang telah dibebaskan baru mencapai 25
hektar dari total kebutuhan 100 hektar, yang rencana pengerjaannya akan dimulai
pada Juni 2013 lalu.

Perusahaan investor dari Cina itu akan berinvestasi senilai Rp 4 triliun dengan total
produksi 243.600 ton ferronickel alloy per tahun. Bahan mentah nikel akan
didatangkan dari pertambangan di Sulawesi Tenggara melalui Pelabuhan Jangkar.
Rencananya, PT Situbondo akan membangun dermaga sendiri dan mendirikan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batu bara.

Namun demikian pendirian pabrik itu diduga belum memiliki ijin mendirikan
bangunan (IMB) maupun ijin gangguan (HO), baru menyelesaikan Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) pada pertengahan tahun lalu. Dari rencana semula, perusahaan
belum mendapatkan seluruh kebutuhan lahannya dan keberadaan pabrik dinilai
tidak sesuai dengan Perda Situbondo No 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang
dan Wilayah, dimana lokasi smelter seharusnya diperuntukkan untuk kawasan
perikanan, pertanian dan perkebunan tebu.

Potensi Bahaya Nikel Secara Ekologi dan Kesehatan

Pada tanggal 12 Januari 2014, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden telah
menetapkan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 mengenai
kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah sebagai bentuk realisasi dari Undangundang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba).
Undang-undang ini beresensi agar semua bahan baku mineral seperti emas, nikel,
bauksit, bijih besi, tembaga, dan batubara mengalami proses nilai tambah sebelum
diekspor.

Peraturan ini juga mewajibkan pemilik usaha untuk membangun smelter, sebuah
fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam
seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang
memenuhi standar. Diharapkan pembangunan smelter ini akan meningkatkan
investasi dalam negeri karena fasilitas smelter yang ada saat ini masih terbatas.

Ditilik dari segi lingkungan, ada beberapa efek negatif di balik keberadaan smelter.
Pertama, smelter membutuhkan banyak sekali pasokan listrik dan batubara sebagai
bahan bakar proses pengolahan. Proses smelting pun pada akhirnya akan
menghasilkan konsentrat mineral, serta produk limbah padat berupa batuan dan
gas buang SO2. Saat menguap ke udara, maka senyawa SO2 dapat menyebabkan
hujan asam yang jika turun ke tanah akan meningkatkan derajat keasaman tanah
dan sumber air sehingga membahayakan kelangsungan hidup vegetasi dan satwa.

Satu diantara contoh nyata dari kerusakan lingkungan yang disebabkan smelter
adalah peristiwa yang terjadi di Norilsk, Rusia. Dulunya kota ini merupakan
kompleks smelting logam berat terbesar di dunia. Dalam setahun lebih dari 4 juta
ton cadmium, tembaga, timah, nikel, arsenik, selenium dan zinc terlepas ke udara.
Kadar tembaga dan nikel di udara melebihi ambang batas yang diperbolehkan, dan

sebagai akibatnya dalam radius 48 km dari smelter, tidak ada satu pohon pun yang
bertahan hidup.

Pada manusia dan satwa, semua jenis senyawa nikel juga dapat menyebabkan
iritasi saluran pernapasan, pneumonia, emphysema, hiperplasia, dan fibrosis. Selain
itu, percobaan laboratorium membuktikan bahwa senyawa nikel dapat menembus
dinding plasenta pada mamalia sehingga dapat mempengaruhi perkembangan
embrio dengan risiko kematian dan malformasi. Pada eksperimen berbeda yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan senyawa nikel pada organ-organ tubuh
tertentu pada hewan percobaan, didapati munculnya sel-sel kanker akibat mutasi
yang dialami oleh jaringan tubuh.

Anda mungkin juga menyukai