A. Pendahuluan
Saat ini, kata Tasikmalaya dipergunakan untuk dua nama hierarki pemerintahan daerah.
Pertama, Kabupaten Tasikmalaya yaitu daerah otonom yang dipimpin oleh seorang bupati
dengan luas wilayah sekitar 2.508,91 km2. Sebelum bernama Tasikmalaya, kabupaten ini
bernama Sukapura yang didirikan oleh Sultan Agung dari Mataram pada 9 Muharam Tahun
Alif, bersama-sama dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang (van der
Chjis, 1880: 80-81). Kedua, Kota Tasikmalaya yakni daerah otonom yang dipimpin oleh
seorang wali kota dengan luasnya sekitar 177,79 km2 yang dikukuhkan pada 17 Oktober
2001. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001, wilayah Kota Tasikmalaya
meliputi tiga kecamatan bekas Kota Administratif Tasikmalaya, yaitu: Cihideung, Tawang,
dan Cipedes; serta lima kecamatan yang diambil dari Kabupaten Tasikmalaya, yaitu:
Indihiang, Mangkubumi, Kawalu, dan Cibeureum (Indonesia, 2001; Marlina, 2007: 98).
Berdasarkan sensus tahun 2000, Kota Tasikmalaya berpenduduk sekitar 528.216 jiwa
sehingga kepadatannya mencapai 2.971 jiwa/km. Kepadatan penduduk di pusat Kota
Tasikmalaya (Cihideung, Tawang, dan Cipedes) mencapai lebih dari 7.800 jiwa/km (Santoso
[ed.], 2004: 333).
Pemerintahan Kota Tasikmalaya memang masih begitu muda. Akan tetapi, keberadaan Kota
Tasikmalaya sudah dikenal jauh sebelum pemerintahan kota tersebut dibentuk. Pada masa
kolonial, Kota Tasikmalaya menunjukkan pertumbuhan yang dinamis seiring dengan
perubahan fungsi kota dari sebuah kota distrik (district) menjadi kota keresidenan
(residentie). Sementara itu, dilihat dari aspek wilayah administrasi pemerintahan, wilayah
Kota Tasikmalaya tidaklah identik dengan Kabupaten Sukapura. Di lain pihak, opini umum
menunjukkan bahwa Kota Tasikmalaya merupakan hasil dinamis dari perkembangan
Kabupaten Sukapura.
Pertumbuhan Kota Tasikmalaya penting untuk diteliti karena sampai sekarang kota tersebut
menjadi barometer di wilayah Priangan Timur (Santoso [ed.], 2004: 337). Dalam makalah ini,
tidak semua aspek yang menjadi indikator pertumbuhan sebuah kota akan dikaji, tetapi
dibatasi pada tiga permasalahan, yaitu: pertama, kapan nama Tasikmalaya mulai
dipergunakan dalam administrasi pemerintahan kolonial?; kedua, apakah Distrik Tasikmalaya
merupakan wujud perubahan dari Distrik Tawang?; ketiga, apakah pertumbuhan Kota
Tasikmalaya terkait dengan perkembangan Kabupaten Sukapura?
B. Tasikmalaya: Tinjauan Etimologis
Ada dua keterangan yang menerangkan asal-usul nama Tasikmalaya dan kedua keterangan
tersebut menunjukkan bahwa Tasikmalaya merupakan nama yang berasal dari dua kata.
Pertama, Tasikmalaya merupakan nama yang berasal dari kata tasik jeung laya yang memiliki
makna keusik ngalayah atau hamparan pasir sebagai akibat letusan Gunung Galunggung
tahun 1822. Kedua, Tasikmalaya merupakan gabungan dari kata tasik yang artinya telaga,
laut, atau air yang menggenangi; dan malaya yang memiliki arti jajaran gunung-gunung.
Toponimi ini mengandung makna bahwa keberadaan gunung yang mencapai jumlah ribuan
laksana air laut (banyaknya) (Permadi, 1975: 3).Gunung-gunung tersebut ada yang terbentuk
sebelum dan sesudah Gunung Galunggung meletus tahun 1822.Secara geologis, letusan
tersebut mengakibatkan terciptanya jurang terjal yang membentuk formasi sepatu kuda ke
arah timur Gunung Galunggung.Beberapa tahun setelah letusan dahsyat itu, bermunculanlah
bukit-bukit kecil (hillocks) yang berjumlah sekitar 3.648 buah. Bukit-bukit kecil itulah yang
kemudian memperkuat ciri khas geogafis daerah Kota Tasikmalaya (Furuya, 1978: 591-592;
Zen, 1968: 62; ).
Berdasarkan uraian tersebut, ada yang berpendapat bahwa nama Tasikmalaya itu lahir dan
mulai dipergunakan dalam administrasi pemerintahan setelah Gunung Galunggung meletus
tahun 1822 (Ekadjati et al., 1975: 5; Marlina, 2007: 36). Sulit untuk menerima pendapat
bahwa Tasikmalaya mulai dipergunakan setelah Gunung Galunggung meletus tahun 1822.
Memang dalam laporan Residen Priangan tahun 1816, Tasikmalaya belum dipergunakan
sebagai nama sebuah distrik, yakni wilayah pemerintahan yang berada di bawah kabupaten
(de la Faille, 1895: 53). Akan tetapi, tahun 1820 namaTasikmalaya sudah dipergunakan dalam
administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun tersebut, nama Tasikmalaya sudah
dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan Hindia Belanda dengan nama
Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan wilayah sepanjang 37 pal (Statistiek van Java.
1820). Pada akhir tahun 1830-an, nama distrik tersebut menjadi Distrikt Tasjikmalaija yang
mencakup sekitar 79 desa (Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten
1839). Penulis cenderung untuk berpendapat bahwa nama Tasikmalaya mulai dipergunakan
antara tahun 1816-1820 atau pada masa awal Pemerintahan Komisaris Jenderal Hindia
Belanda. Hal tersebut seiring dengan pendapat yang menyatakan bahwa nama Tasikmalaya
mulai dipergunakan sebelum Gunung Galunggung meletus tahun 1822 dan penamaan
tersebut semakin menguat setelah peristiwa alam itu terjadi (Roswandi, 2006: 232).
C. Distrik Cicariang menjadi Distrik Tasikmalaya
Kalau memang nama Tasikmalaya baru dipergunakan antara tahun 1816-1820, lantas wilayah
yang sekarang bernama Kota Tasikmalaya itu sebelumnya bernama apa? Selain itu, apakah
nama Distrik (Kota) Tasikmalaya merupakan penjelmaan dari nama wilayah tersebut?
Sebelum bernama Tasikmalaya, wilayah ini bernama Tawang, Galunggung, atau TawangGalunggung. Tawang diambil dari kata sawang, yakni tempat luas yang terbuka yang dalam
bahasa Sunda dapat diartikan juga sebagai tempat palalangon yang bermakna memiliki
makna sebagai tempat panyawangan anu plungplong ka ditu ka dieu (Ekadjati et al., 1975: 3;
Musch, 1918: 202; Permadi, 1975: 3). Sekarang, Tawang merupakan salah satu nama
kecamatan dan sebagian wilayahnya merupakan pusat Kota Tasikmalaya. Sementara itu,
nama Galunggung jauh lebih dikenal daripada Tawang karena sebagai nama sebuah
kabuyutan. Sampai awal abad ke-19, wilayah Galunggung yang meliputi daerah Kota
Tasikmalaya sekarang, merupakan bagian dari Kabupaten Parakanmuncang (de la Faille,
1895: 123). Ketika kabupaten ini dibubarkan oleh Daendels tahun 1811, wilayah Galunggung
dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kabupaten Sumedang.
Ketika sistem distrik diperkenalkan dalam birokrasi tradisional, maka daerah Tawang pun
berubah status menjadi Distrik Tawang dan pada waktu pusat pemerintahan Kabupaten
Sukapura berkedudukan di Manonjaya (1839-1901), Distrik Tawang merupakan salah satu
September 1901. No. 4, terhitung sejak 1 Desember 1901 Afdeeling Tasikmalaya dihapus dan
wilayahnya dimasukkan ke tiga kabupaten. Distrik Ciawi, Indihiang, Tasikmalaya, dan
Singaparna dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sukapura; Onderdistrik Malangbong Kulon
dan Lewo (Distrik Malangbong) dimasukkan ke wilayah Kabupaten Limbangan; dan
Onderdistrik Cilengkrang dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sumedang. Seiring dengan itu,
pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura pun dipindahkan ke Kota Tasikmalaya yang telah
dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1901, tetapi baru dikukuhkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda pada 1 Desember 1901 (Staatsblad van Nederlandsch-Indi voor het Jaar 1901. No.
327). Perintah pemindahan tersebut disebabkan oleh pertama, letak Kota Tasikmalaya yang
strategis terutama jika dikaitkan dengan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda; dan kedua,
Kota Tasikmalaya lebih berpotensi untuk dikembangkan dibandingkan dengan Kota
Manonjaya (Marlina, 2007: 92).
Tahun 1913, Pemerintah Hindia Belanda mengubah nama Kabupaten Sukapura menjadi
Kabupaten Tasikmalaya (Staatsblad van Nederlandsch-Indi voor het Jaar 1913. No. 356).
Demikian juga dengan nama Afdeeling Sukapura diubah menjadi Afdeeling Tasikmalaya.
Sejak saat itu, Tasikmalaya menjadi pusat pemerintahan beberapa hierarki pemerintahan
daerah, antara lain Afdeeling Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Controle-Afdeeling
Tasikmalaya, Distrik Tasikmalaya, dan Onderdistrik Tasikmalaya. Pada 1921, Distrik
Tasikmalaya memiliki luas sekitar 178 km2 yang dibagi menjadi tiga onderdistrik, yaitu
Tasikmalaya, Kawalu, dan Indihiang; serta dengan jumlah desa sekitar 46 buah
(Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 19214: 285; Regeeringsalmanak voor NI, 19191:
394).
Dalam kurun waktu 1926-1931, kedudukan Kota Tasikmalaya semakin penting karena
menjadi pusat pemerintahan Afdeeling Oost-Priangan. Bentuk pemerintahan ini merupakan
implementasi dari Bestuurshervormingwet tahun 1922 yang membagi Keresidenan Priangan
menjadi tiga afdeeling, yaitu Afdeeling West-Priangan, Midden-Priangan, dan Oost-Priangan
yang masing-masing dipimpin oleh seorang residen. Afdeeling Oost-Priangan meliputi
Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis (Regeeringsalmanak voor NI, 19301: 327336).Seiring dengan penghapusan Afdeeling Oost-Priangan tahun 1931, fungsi Kota
Tasikmalaya kembali mengalami perubahan karena tidak lagi kedudukan residen.
E. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama,
Tasikmalaya telah dipergunakan sebagai nama suatu wilayah pemerintahan antara tahun
1816-1820. Sebelum kurun waktu itu, nama yang dikenal adalah Tawang, Galunggung, atau
Tawang-Galunggung. Ketika Gunung Galunggung meletus tanggal 8 dan 12 Oktober 1822,
nama Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan.
Kedua, penggunaan nama Tasikmalaya sebagai nama distrik bukan merupakan perubahan
dari Distrik Tawang karena dari berbagai sumber arsip distrik tersebut tidak pernah tercatat.
Pada masa Raffles (1816) di wilayah Priangan terdapat sebuah distrik bernama Cicariang.
Oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda, nama tersebut diubah menjadi Distrikt
Kampung Naga
Urang Naga begitu mereka menyebut dirinya adalah orang-orang yang sederhana,
ramah, menjunjung adat, dan punya semangat gotong royong yang tinggi.
Angin sejuk semilir berhembus di Kampung Naga. Kampung kecil yang terletak jauh dari
hiruk pikuk kota ini berselimutkan nuansa alam yang masih perawan. Masyarakatnya hidup
dengan rukun, damai dan sejahtera.Hidup berkecukupan dengan kekayaan adat istiadat
tradisional yang dijunjung tinggi.
Dalam sejarah Sunda, memegang teguh adat adalah hal yang utama.Jejak kental memegang
teguh adat ini masih dapat ditemukan di beberapa kampung adat di daerah Sunda, diantaranya
adalah Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis dan Kampung Kanekes
Baduy di Banten.Mereka telah membuktikan bahwa tradisi tradisional Sunda yang dipegang
teguh memiliki kekuatan yang sakral dan unik dalam melangengkan kehidupan harmonis
dengan alam semesta.
Lokasi
Luas Area
Geografis
Penduduk
Jumlah
Bangunan
Dengan kondisi rumah yang kesemuanya menghadap ke sebelah Utara atau ke sebelah
Selatan dengan memanjang ke arah Barat-Timur. Warga mempunyai orientasi arah sehari-hari
yang relatif seragam. Bekerja di kolam atau sawah di bagian bawah atau atas kampung.
Kegiatan pembersihan di Sungai Ciwulan yang mengalir di sepanjang sisi kampung dan
menjadi bagian yang sangat penting dari prosesi hidup warga. Sementara kegiatan prosesi
adat dan keagamaan banyak berorientasi ke Barat arah kiblat sebagai kepatuahan akan ke
Islaman mereka.
Pada dasarnya warga Kampung Naga adalah masyarakat Sunda menetap yang sangat
mencintai bentang alam di lokasi yang mereka yakini sebagai tempat sejati mereka. Seperti
masyarakat Sunda pada umumnya, perangai masyarakat agraris ini sukup lembut, santun, dan
menghargai orang lain.
endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan
diakhiri dengan munjungan (sungkeman).
Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan)
dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup
bumbungan.Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu
(bilik).Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap
Utara atau Selatan.Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan
alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.
Rumah yang berada di Kampung Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 108
bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah Masjid, lei (Lumbung Padi) dan patemon
(Balai Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri,
maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung Naga
Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.
Semua peralatan rumah tangga yang digunakan oleh penduduk Kampung Naga pun masih
sangat tradisional dan umumnya terbuat dari bahan anyaman.Dan tidak ada perabotan seperti
meja atau kursi di dalam rumah. Hal ini tidak mencerminkan bahwa Kampung Naga
merupakan kampung yang terbelakang atau tertinggal, akan tetapi mereka memang
membatasi budaya modern yang masuk dan selalu menjaga keutuhan adat tradisional agar
tidak terkontaminasi dengan kebudayaan luar.
Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk
menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi
kebakaran. Pemangku adat pun memandang apabila aliran listrik masuk maka akan terjadi
kesenjangan sosial diantara warganya yang berlomba-lomba membeli alat elektronik dan
dapat menimbulkan iri hati.
Letak daerahnya yang berada pada hamparan tanah yang menyerupai lembah, dicirikan
dengan bentuk bangunannya yang seragam.Atap rumahnya yang berwarna hitam terbuat dari
bahan ijuk, tampak berjejer teratur menghadap utara-selatan, dibatasi Sungai Ciwulan.Tempat
permukiman tersebut tampak seperti diapit dua buah hutan.
Hutan pertama yang terletak di sisi Sungai Ciwulan disebut Leuweung Biuk.Hutan lainnya
yang letaknya pada daerah yang lebih tinggi disebut Leuweung Larangan.Leuweung dalam
bahasa Sunda artinya hutan.Seperti tempat-tempat lainnya yang dinamakan hutan, seluruh
arealnya ditumbuhi tanaman keras yang entah sudah berapa puluh atau ratus tahun umurnya.
Namun, yang membedakan kawasan hutan di daerah itu dengan daerah lainnya di luar
Kampung Naga adalah, keadaan tumbuhan Leuweung Biuk dan apalagi tumbuhan di
Leuweung Larangan tetap terjaga utuh.Kawasan itu tampak hijau dengan berbagai jenis
tumbuhan yang secara sengaja dibiarkan tumbuh secara alami.Terhadap tumbuhan tersebut,
tak seorang pun anggota masyarakat Suku Naga berani merusaknya karena kedua areal hutan
itu dikeramatkan.
LEUWEUNG LARANGAN YANG LUASNYA KURANG LEBIH TIGA HEKTAR,
DIKERAMATKAN KARENA DI SANA DIMAKAMKAN LELUHUR MASYARAKAT
SUKU NAGA, SEMBAH DALEM EYANG SINGAPARANA. Di sebelahnya masih terdapat
tiga makam lainnya, namun tidak diketahui makam siapa.Kunjungan ke makam tersebut
biasanya hanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu, terutama pada saat diselenggarakan
upacara hajat sasih setiap dua bulan sekali.Upacara ritual itu hanya diikuti oleh kaum lakilaki dewasa yang sebelumnya mengikuti ketentuan khusus.Misalnya, sudah melakukan
beberesih, yakni mandi bersama di Sungai Ciwulan.
Upacara itu dipimpin kuncen yang bertindak sebagai kepala pemangku adat.Para peserta
biasanya menggunakan pakaian yang menyerupai jubah warna putih, kepala diikat totopong,
yakni sejenis ikat kepala khas Suku Naga.Selain itu mereka tidak boleh menggunakan alas
kaki, baik berupa sandal apalagi sepatu.Sementara areal hutan lainnya yang disebut
Leuweung Biuk-karena letaknya dekat Saluran Biuk-berada pada kaki bukit curam yang
sekaligus menjadi bibir Sungai Ciwulan.Di areal tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman
keras yang berumur lebih dari 50 tahun lebih.
Berbeda dengan Leuweung Larangan, LEUWEUNG BIUK TERMASUK TABU
DIKUNJUNGI. ANGGOTA MASYARAKATNYA TAK SEORANG PUN YANG BERANI
MENGINJAKKAN KAKINYA KE AREAL HUTAN TERSEBUT. APALAGI, SAMPAI
MENEBANG POHON YANG TUMBUH DI ATASNYA. HAL TERSEBUT KARENA
PAMALI.
Pamali sama artinya dengan tabu. Ketentuan yang tidak tertulis itu merupakan dogma yang
harus dipatuhi tanpa dijelaskan lagi alasan-alasannya, apalagi sampai diperdebatkan.Sesuatu
yang dikatakan pamali merupakan ketentuan dari leluhurnya yang harus dipatuhi. Jika tidak,
mereka akan menanggung akibatnya, baik secara individu maupun kelompok.
Peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman padi
yang mengakibatkan panen gagal atau berkurang produksinya misalnya, dianggap sebagai
peristiwa yang tidak lepas dari HUKUM SEBAB AKIBAT. Karena itu, ketika terjadi
perambahan tanah adat yang kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat
adat Suku Naga sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tanah adat Suku Naga sebenarnya cukup luas yang mencakup wilayah Gunung Sunda,
Gunung Satria, Gunung Panoongan, Gunung Raja, Pasir Halang sampai batas jalan raya yang
menghubungkan Tasikmalaya-Garut. Daerah itu sekaligus merupakan sub Daerah Aliran
Sungai Ciwulan yang harus dijaga kelestariannya.
KEARIFAN LOKAL
Pandangan hidup masyarakat adat Suku Naga yang berkaitan dengan lingkungannya tersebut
https://www.academia.edu/3819022/KEARIFAN_LOKAL_MASYARAKAT_HUKUM_AD
AT_KAMPUNG_KUTA_DALAM_MELINDUNGI_DAN_MENGELOLA_LINGKUNGA
N_HIDUPPekerjaan_Dosen
https://id-id.facebook.com/permalink.php?
story_fbid=316600978372225&id=307126962652960
https://sites.google.com/site/wisataairterjun/jawa-barat/curug-cibolang---ciamis
http://travelblog.ticktab.com/2014/08/09/ini-lima-kuliner-khas-tasikmalaya-yang-wajibkamu-cicipi/
http://makananindonesia-top.blogspot.com/2014/01/makanan-khas-tasikmalaya.html
http://geograph88.blogspot.com/2013/07/aneka-kerajinan-khas-tasikmalaya.html
http://nengsrim.blogspot.com/
http://sebandung.com/2014/02/alat-musik-tradisional-sunda/
http://25001223.blogspot.com/
http://blog.kangdede.web.id/alat-musik-tradisional-jawa-barat/
http://www.budayaindonesia.net/2013/12/uapacara-seren-taun-adat-sunda.html
http://indonesia2000.blogspot.com/2012/12/beberapa-upacara-adat-di-jawa-barat.html