Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH KOTA TASIKMALAYA (1820-1942)

Peta Kabupaten Tasikmalaya


Kota Tasikmalaya secara geografis memiliki posisi yang strategis, yaitu berada pada 108o 08'
38" - 108o 24' 02" BT dan 7o 10' - 7o 26' 32" LS di bagian Tenggara wilayah Propinsi Jawa
Barat. Kedudukan atau jarak dari Ibukota Propinsi Jawa Barat, Bandung + 105, wilayah Kota
Tasikmalaya berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Kab. Tasikmalaya dan Kab. Ciamis (dengan batas sungai
Citanduy)
Sebelah Barat : Kab. Tasikmalaya
Sebelah Timur : Kab. Tasikmalaya dan Kab. Ciamis
Sebelah Selatan : Kab. Tasikmalaya (batas sungai Ciwulan)

A. Pendahuluan

Saat ini, kata Tasikmalaya dipergunakan untuk dua nama hierarki pemerintahan daerah.
Pertama, Kabupaten Tasikmalaya yaitu daerah otonom yang dipimpin oleh seorang bupati
dengan luas wilayah sekitar 2.508,91 km2. Sebelum bernama Tasikmalaya, kabupaten ini
bernama Sukapura yang didirikan oleh Sultan Agung dari Mataram pada 9 Muharam Tahun
Alif, bersama-sama dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang (van der
Chjis, 1880: 80-81). Kedua, Kota Tasikmalaya yakni daerah otonom yang dipimpin oleh
seorang wali kota dengan luasnya sekitar 177,79 km2 yang dikukuhkan pada 17 Oktober
2001. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001, wilayah Kota Tasikmalaya
meliputi tiga kecamatan bekas Kota Administratif Tasikmalaya, yaitu: Cihideung, Tawang,
dan Cipedes; serta lima kecamatan yang diambil dari Kabupaten Tasikmalaya, yaitu:
Indihiang, Mangkubumi, Kawalu, dan Cibeureum (Indonesia, 2001; Marlina, 2007: 98).
Berdasarkan sensus tahun 2000, Kota Tasikmalaya berpenduduk sekitar 528.216 jiwa
sehingga kepadatannya mencapai 2.971 jiwa/km. Kepadatan penduduk di pusat Kota
Tasikmalaya (Cihideung, Tawang, dan Cipedes) mencapai lebih dari 7.800 jiwa/km (Santoso
[ed.], 2004: 333).
Pemerintahan Kota Tasikmalaya memang masih begitu muda. Akan tetapi, keberadaan Kota
Tasikmalaya sudah dikenal jauh sebelum pemerintahan kota tersebut dibentuk. Pada masa
kolonial, Kota Tasikmalaya menunjukkan pertumbuhan yang dinamis seiring dengan
perubahan fungsi kota dari sebuah kota distrik (district) menjadi kota keresidenan
(residentie). Sementara itu, dilihat dari aspek wilayah administrasi pemerintahan, wilayah
Kota Tasikmalaya tidaklah identik dengan Kabupaten Sukapura. Di lain pihak, opini umum
menunjukkan bahwa Kota Tasikmalaya merupakan hasil dinamis dari perkembangan
Kabupaten Sukapura.
Pertumbuhan Kota Tasikmalaya penting untuk diteliti karena sampai sekarang kota tersebut
menjadi barometer di wilayah Priangan Timur (Santoso [ed.], 2004: 337). Dalam makalah ini,
tidak semua aspek yang menjadi indikator pertumbuhan sebuah kota akan dikaji, tetapi
dibatasi pada tiga permasalahan, yaitu: pertama, kapan nama Tasikmalaya mulai
dipergunakan dalam administrasi pemerintahan kolonial?; kedua, apakah Distrik Tasikmalaya
merupakan wujud perubahan dari Distrik Tawang?; ketiga, apakah pertumbuhan Kota
Tasikmalaya terkait dengan perkembangan Kabupaten Sukapura?
B. Tasikmalaya: Tinjauan Etimologis
Ada dua keterangan yang menerangkan asal-usul nama Tasikmalaya dan kedua keterangan
tersebut menunjukkan bahwa Tasikmalaya merupakan nama yang berasal dari dua kata.
Pertama, Tasikmalaya merupakan nama yang berasal dari kata tasik jeung laya yang memiliki
makna keusik ngalayah atau hamparan pasir sebagai akibat letusan Gunung Galunggung
tahun 1822. Kedua, Tasikmalaya merupakan gabungan dari kata tasik yang artinya telaga,
laut, atau air yang menggenangi; dan malaya yang memiliki arti jajaran gunung-gunung.
Toponimi ini mengandung makna bahwa keberadaan gunung yang mencapai jumlah ribuan
laksana air laut (banyaknya) (Permadi, 1975: 3).Gunung-gunung tersebut ada yang terbentuk

sebelum dan sesudah Gunung Galunggung meletus tahun 1822.Secara geologis, letusan
tersebut mengakibatkan terciptanya jurang terjal yang membentuk formasi sepatu kuda ke
arah timur Gunung Galunggung.Beberapa tahun setelah letusan dahsyat itu, bermunculanlah
bukit-bukit kecil (hillocks) yang berjumlah sekitar 3.648 buah. Bukit-bukit kecil itulah yang
kemudian memperkuat ciri khas geogafis daerah Kota Tasikmalaya (Furuya, 1978: 591-592;
Zen, 1968: 62; ).
Berdasarkan uraian tersebut, ada yang berpendapat bahwa nama Tasikmalaya itu lahir dan
mulai dipergunakan dalam administrasi pemerintahan setelah Gunung Galunggung meletus
tahun 1822 (Ekadjati et al., 1975: 5; Marlina, 2007: 36). Sulit untuk menerima pendapat
bahwa Tasikmalaya mulai dipergunakan setelah Gunung Galunggung meletus tahun 1822.
Memang dalam laporan Residen Priangan tahun 1816, Tasikmalaya belum dipergunakan
sebagai nama sebuah distrik, yakni wilayah pemerintahan yang berada di bawah kabupaten
(de la Faille, 1895: 53). Akan tetapi, tahun 1820 namaTasikmalaya sudah dipergunakan dalam
administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun tersebut, nama Tasikmalaya sudah
dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan Hindia Belanda dengan nama
Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan wilayah sepanjang 37 pal (Statistiek van Java.
1820). Pada akhir tahun 1830-an, nama distrik tersebut menjadi Distrikt Tasjikmalaija yang
mencakup sekitar 79 desa (Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten
1839). Penulis cenderung untuk berpendapat bahwa nama Tasikmalaya mulai dipergunakan
antara tahun 1816-1820 atau pada masa awal Pemerintahan Komisaris Jenderal Hindia
Belanda. Hal tersebut seiring dengan pendapat yang menyatakan bahwa nama Tasikmalaya
mulai dipergunakan sebelum Gunung Galunggung meletus tahun 1822 dan penamaan
tersebut semakin menguat setelah peristiwa alam itu terjadi (Roswandi, 2006: 232).
C. Distrik Cicariang menjadi Distrik Tasikmalaya
Kalau memang nama Tasikmalaya baru dipergunakan antara tahun 1816-1820, lantas wilayah
yang sekarang bernama Kota Tasikmalaya itu sebelumnya bernama apa? Selain itu, apakah
nama Distrik (Kota) Tasikmalaya merupakan penjelmaan dari nama wilayah tersebut?
Sebelum bernama Tasikmalaya, wilayah ini bernama Tawang, Galunggung, atau TawangGalunggung. Tawang diambil dari kata sawang, yakni tempat luas yang terbuka yang dalam
bahasa Sunda dapat diartikan juga sebagai tempat palalangon yang bermakna memiliki
makna sebagai tempat panyawangan anu plungplong ka ditu ka dieu (Ekadjati et al., 1975: 3;
Musch, 1918: 202; Permadi, 1975: 3). Sekarang, Tawang merupakan salah satu nama
kecamatan dan sebagian wilayahnya merupakan pusat Kota Tasikmalaya. Sementara itu,
nama Galunggung jauh lebih dikenal daripada Tawang karena sebagai nama sebuah
kabuyutan. Sampai awal abad ke-19, wilayah Galunggung yang meliputi daerah Kota
Tasikmalaya sekarang, merupakan bagian dari Kabupaten Parakanmuncang (de la Faille,
1895: 123). Ketika kabupaten ini dibubarkan oleh Daendels tahun 1811, wilayah Galunggung
dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kabupaten Sumedang.
Ketika sistem distrik diperkenalkan dalam birokrasi tradisional, maka daerah Tawang pun
berubah status menjadi Distrik Tawang dan pada waktu pusat pemerintahan Kabupaten
Sukapura berkedudukan di Manonjaya (1839-1901), Distrik Tawang merupakan salah satu

distrik di wilayah Kabupaten Sumedang (Marlina, 1972: 6; Sastrahadiprawira, 1953: 182).


Oleh karena itu, penggunaan nama Tasikmalaya merupakan suatu upaya bagi pengubahan
nama Tawang atau Tawang-Galunggung (Roswandi, 2006: 232). Betulkah seperti itu?
Dalam Verslag Omtrent de Residentie Preanger-Regentschappen en Krawang 1816, Raffles
membagi wilayah ini berdasarkan sistem distrik yang dipimpin oleh seorang wedana.
Kabupaten Sumedang dibagi menjadi beberapa beberapa distrik, antara lain Ciawi,
Pagerageung, Rajapolah, Indihiang, Cicariang, dan Singaparna. Sementara itu, di Kabupaten
Sukapura tidak terdapat wilayah yang bernama Distrik Tawang atau Distrik Galunggung.
Distrik Cicariang merupakan wilayah pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi
Distrik Tasikmalaya karena secara geografis, wilayah pemerintahan Distrik Cicariang hampir
sama dengan wilayah pemerintahan Distrik Tasikmalaya. Hal tersebut diperkuat dengan data
statistik yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun tersebut, dalam
administrasi wilayah Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1820, Kabupaten Sumedang dibagi
menjadi beberapa distrik, salah satunya bernama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan
wilayah sepanjang 37 pal dan pusat pemerintahannya di Tasjikmalaija en Tjitjariang
(Statistiek van Java. 1820). Kedudukan Tasikmalaya dan Cicariang sebagai hoofdplaats van
het Distrikt Tassikmalaija op Cicariang tercatat dalam peta Distrik Tasikmalaya awal abad ke19.
Pada akhir tahun 1830-an, nama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang menghilang. Dalam
administrasi wilayah Pemerintahan Hindia Belanda yang ada adalah Distrikt Tasjikmalaija
yang mencakup sekitar 79 desa (Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en
Beambten1839,). Pada pertengahan abad ke-19, Distrik Tasikmalaya dibagi menjadi tujuh
onderdistrik, yaitu onderdistrikten Sambong, Siloeman, Tjibodas, Tjisangkir, Tjihideung,
Pagaden, Mangkoeboemi, en Tjibeuti (Veth, 1869: 906.). Kedudukan Tasikmalaya sebagai
pusat pemerintahan distrik dan ketujuh onderdistrik lainnya tercatat dalam dalam Algemeen
Atlas van Nederlandsch Indi yang dibuat tahun 1857 (van Carbee en Versteeg, 1853-1862).
Fakta tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Distrik Tasikmalaya bukan merupakan
perubahan nama dari Distrik Tawang, melainkan perubahan dari Distrik Cicariang. Perubahan
tersebut tidak dilakukan secara langsung melainkan setahap demi setahap. Hal tersebut dapat
dilihat dari penggunaan nama distrik (Tjitjariang Tassikmalaija op Tjitjariang
Tasikmalaja). Demikian juga dengan lokasi pusat pemerintahannya, pada awalnya tidak
hanya berkedudukan di Tasikmalaya, melainkan juga di Cicariang.
D. Dari Kota Distrik menjadi Kota Kabupaten
Dalam tulisannya berjudul Sukapura (Tasikmalaya), Ietje Marlina (2000: 91-110)
memandang Kota Tasikmalaya sebagai bagian dari pertumbuhan Kabupaten Sukapura.
Pendapat ini kemudian menjadi opini umum seperti yang terlihat dari beberapa tulisan
mengenai Kota Tasikmalaya (Adeng, 2005; Roswandi, 2006).Sejatinya, pembahasan
mengenai Kota Tasikmalaya harus dibedakan dengan Kabupaten Tasikmalaya.Nama
pemerintahan yang terakhir memang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Kabupaten
Sukapura karena pada kenyataannya Kabupaten Tasikmalaya merupakan penjelmaan dari
Kabupaten Sukapura.Uraian mengenai Kota Tasikmalaya harus dilihat sebagai bagian dari

perkembangan Kabupaten Sumedang.


Ketika Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang mulai dipergunakan dalam administrasi wilayah
pemerintahan, Kota Tasikmalaya berkedudukan sebagai pusat pemerintahannya bersamasama dengan Tjitjariang.Kedudukannya tersebut tidak berubah sampai sistem distrik dihapus
pada masa Pemerintahan Republik Indonesia.Pada 1862, Pemerintah Hindia Belanda
memperkenalkan sistem afdeeling dalam struktur pemerintahan kabupaten.Tujuannya adalah
untuk mengurangi kekuasaan bupati karena pemerintahan sehari-hari di wilayah afdeeling
dijalankan oleh hoofd van plaatselijke bestuur (setingkat asisten residen) yang didampingi
oleh zelfstandige patih atau patih afdeeling (Indonesia, 1953: 157-158; Lubis, et al., 20031:
340).Sistem afdeeling diberlakukan terhadap kabupaten yang memiliki wilayah cukup
luas.Salah satu kabupaten di Residentie Preanger-Regentschappen yang memiliki wilayah
cukup luas adalah Kabupaten Sumedang sehingga berdasarkan sistem afdeeling tersebut,
wilayahnya dipecah menjadi dua afdeeling. Pertama, Afdeeling Baloeboer op Noord
Soemedang yang terdiri atas 6 distrik, 39 onder distrik, dan 209 desa. Kedua, Afdeeling
Galoenggoeng op Zuid Soemedang yang terdiri atas 5 distrik, 41 onder distrik, dan 254 desa.
Afdeeling Baloeboer memiliki wilayah sepanjang 16,93 Geographische Mijlen atau 650 pal
sedangkan Afdeeling Galoenggoeng memiliki panjang wilayah sekitar 15,85 Geographische
Mijlen atau sekitar 383 pal (Statistiek der Preanger Regentschappen. 1863). Pusat
pemerintahan Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang terletak sekitar 7 pal dari kota
Manonjaya, ibu kota Kabupaten Sukapura, dan sekitar 55 pal dari kota Sumedang, ibu kota
Kabupaten Sumedang (Veth, 18693: 906).
Perubahan struktur pemerintahan ini membawa dampak pada status Kota Tasikmalaya,
karena sejak Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang dibentuk, Kota Tasikmalaya tidak
hanya berkedudukan sebagai hoofdplaats der district melainkan juga sebagai hoofdplaats der
afdeeling.Dengan demikian, Kota Tasikmalaya tidak hanya menjadi tempat tinggal wedana,
melainkan juga menjadi tempat tinggal asisten residen sebagai hoofd van plaatselijke bestuur
dan zelfstandige patih. Kenyataan tersebut menarik untuk diteliti lebih mendalam karena
jarak Kota Tasikmalaya ke Kota Sumedang relatif lebih jauh, tetapi berkedudukan sebagai
kedudukan zelfstandige patih sebagai wakil Bupati Sumedang dalam menjalankan roda
pemerintahan sehari-hari. Kota Tasikmalaya justru lebih dekat ke Kota Manonjaya yang pada
waktu berkedudukan sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura.
Pada tahun 1870 Preangerstelsel dihapus oleh Pemerintah Hindia Belanda, kecuali untuk
penanaman kopi. Satu tahun kemudian, Pemerintah Hindia Belanda menata ulang wilayah
administrasi Preanger Regentschappen atau yang dikenal dengan nama Preanger
Reorganisatie. Dalam reorganisasi itu, Residentie der Preanger Regentschappen dibagi
menjadi sembilan afdeeling yang dipimpin oleh seorang asisten residen.Sebagian afdeeling
bersatu dengan kabupaten sehingga pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh bupati dan
asisten residen; sebagian lagi berdiri sendiri sehingga pemerintahan dijalankan oleh patih
afdeeling dan asisten residen (Lubis, 1998: 33; Natanagara, 1937: 114). Berdasarkan
reorganisasi itu, nama Afdeeling Galoenggoeng Zuid op Soemedang diganti menjadi
Afdeeling Tasjikmalaija dengan wilayah administrasi pemerintahannya tidak mengalami
perubahan, termasuk pusat pemerintahannya masih berkedudukan di Kota Tasikmalaya.
Berdasarkan Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indi tanggal 1

September 1901. No. 4, terhitung sejak 1 Desember 1901 Afdeeling Tasikmalaya dihapus dan
wilayahnya dimasukkan ke tiga kabupaten. Distrik Ciawi, Indihiang, Tasikmalaya, dan
Singaparna dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sukapura; Onderdistrik Malangbong Kulon
dan Lewo (Distrik Malangbong) dimasukkan ke wilayah Kabupaten Limbangan; dan
Onderdistrik Cilengkrang dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sumedang. Seiring dengan itu,
pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura pun dipindahkan ke Kota Tasikmalaya yang telah
dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1901, tetapi baru dikukuhkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda pada 1 Desember 1901 (Staatsblad van Nederlandsch-Indi voor het Jaar 1901. No.
327). Perintah pemindahan tersebut disebabkan oleh pertama, letak Kota Tasikmalaya yang
strategis terutama jika dikaitkan dengan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda; dan kedua,
Kota Tasikmalaya lebih berpotensi untuk dikembangkan dibandingkan dengan Kota
Manonjaya (Marlina, 2007: 92).
Tahun 1913, Pemerintah Hindia Belanda mengubah nama Kabupaten Sukapura menjadi
Kabupaten Tasikmalaya (Staatsblad van Nederlandsch-Indi voor het Jaar 1913. No. 356).
Demikian juga dengan nama Afdeeling Sukapura diubah menjadi Afdeeling Tasikmalaya.
Sejak saat itu, Tasikmalaya menjadi pusat pemerintahan beberapa hierarki pemerintahan
daerah, antara lain Afdeeling Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Controle-Afdeeling
Tasikmalaya, Distrik Tasikmalaya, dan Onderdistrik Tasikmalaya. Pada 1921, Distrik
Tasikmalaya memiliki luas sekitar 178 km2 yang dibagi menjadi tiga onderdistrik, yaitu
Tasikmalaya, Kawalu, dan Indihiang; serta dengan jumlah desa sekitar 46 buah
(Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 19214: 285; Regeeringsalmanak voor NI, 19191:
394).
Dalam kurun waktu 1926-1931, kedudukan Kota Tasikmalaya semakin penting karena
menjadi pusat pemerintahan Afdeeling Oost-Priangan. Bentuk pemerintahan ini merupakan
implementasi dari Bestuurshervormingwet tahun 1922 yang membagi Keresidenan Priangan
menjadi tiga afdeeling, yaitu Afdeeling West-Priangan, Midden-Priangan, dan Oost-Priangan
yang masing-masing dipimpin oleh seorang residen. Afdeeling Oost-Priangan meliputi
Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis (Regeeringsalmanak voor NI, 19301: 327336).Seiring dengan penghapusan Afdeeling Oost-Priangan tahun 1931, fungsi Kota
Tasikmalaya kembali mengalami perubahan karena tidak lagi kedudukan residen.
E. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama,
Tasikmalaya telah dipergunakan sebagai nama suatu wilayah pemerintahan antara tahun
1816-1820. Sebelum kurun waktu itu, nama yang dikenal adalah Tawang, Galunggung, atau
Tawang-Galunggung. Ketika Gunung Galunggung meletus tanggal 8 dan 12 Oktober 1822,
nama Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan.
Kedua, penggunaan nama Tasikmalaya sebagai nama distrik bukan merupakan perubahan
dari Distrik Tawang karena dari berbagai sumber arsip distrik tersebut tidak pernah tercatat.
Pada masa Raffles (1816) di wilayah Priangan terdapat sebuah distrik bernama Cicariang.
Oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda, nama tersebut diubah menjadi Distrikt

Tassikmalaija op Tjitjariang. Pada akhir


tahun 1930-an, nama distrik tersebut
berubah lagi menjadi Distrikt
Tassikmalaija. Setelah berubah, Cicariang
menjadi sebuah onderdistrik dengan nama
Cibeuti dengan pusat pemerintahannya di
Cibeuti.
Ketiga, pertumbuhan Kota Tasikmalaya
bukan sebagai bagian dari perkembangan
Kabupaten Sukapura, melainkan sebagai
bagian dari dinamika Kabupaten
Sumedang.Baru pada tahun 1901, Kota
Tasikmalaya merupakan bagian integral dari Kabupaten Sukapura yang kemudian namanya
berubah menjadi kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu, pertumbuhan Kota Tasikmalaya
dapat dilihat dari fungsi kota yang semula berkedudukan sebagai kota distrik yang
berkembang sedemikian rupa sehingga berkedudukan sebagai kota kabupaten dan
keresidenan
https://wongalus.wordpress.com/tag/kearifan-lokal-kampung-naga/
Posts Tagged With: kearifan lokal kampung naga
KEARIFAN PAMALI CARA URANG NAGA
Dipublikasi pada30 Juni 2009olehwongalus

Kampung Naga
Urang Naga begitu mereka menyebut dirinya adalah orang-orang yang sederhana,
ramah, menjunjung adat, dan punya semangat gotong royong yang tinggi.

Angin sejuk semilir berhembus di Kampung Naga. Kampung kecil yang terletak jauh dari
hiruk pikuk kota ini berselimutkan nuansa alam yang masih perawan. Masyarakatnya hidup

dengan rukun, damai dan sejahtera.Hidup berkecukupan dengan kekayaan adat istiadat
tradisional yang dijunjung tinggi.
Dalam sejarah Sunda, memegang teguh adat adalah hal yang utama.Jejak kental memegang
teguh adat ini masih dapat ditemukan di beberapa kampung adat di daerah Sunda, diantaranya
adalah Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis dan Kampung Kanekes
Baduy di Banten.Mereka telah membuktikan bahwa tradisi tradisional Sunda yang dipegang
teguh memiliki kekuatan yang sakral dan unik dalam melangengkan kehidupan harmonis
dengan alam semesta.

Gambar. Kampung Naga dan Leuweung Larangan di sebelah


Timur
Pesona alamnya masih terpelihara dengan natural,
jauh dari polusi dan pencemaran
lingkungan.Masyarakat adat Kampung Naga
hidup damai dan memiliki banyak kearifan yang
patut kita pelajari untuk menciptakan
keseimbangan hidup dengan ekosistem alam.
Namun, tiba-tiba saja komunitas yang kebanyakan
bekerja sebagai petani ini unjuk sikap pada Bulan
Mei 2009 ini. Setelah sekian lama hidup dalam
ketenangan, mereka menyatakan memboikot para
pengunjung atau wisatawan yang akan berkunjung ke kampungnya. Inilah sikap warga
Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat yang akhirnya diakui bisa mengancam
dunia pariwisata di Jabar.Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kemudian menawarkan bantuan
suryakanta pembangkit listrik tenaga matahari kepada warga Kampung Naga agar
menghentikan aksi boikotnya.
Aksi boikot wisatawan ini dilakukan warga Kampung Naga itu merupakan bentuk protes
terhadap pemerintah dan PT Pertamina karena hingga kini warga Kampung Naga kesulitan
memperoleh minyak tanah setelah suplainya dikurangi.Padahal, warga Kampung Naga
menjadikan minyak tanah sebagai bahwa untuk masak dan penerangan.
Menurut PT Pertamina, tidak mungkin menyuplai minyak tanah bersubsidi hanya ke
Kampung Naga. Pasalnya, akan memicu kecemburuan bagi daerah lain. Untuk menutupi
kebutuhan bahan penerangan, Dinas Pariwisata Jabar yang selama ini mengandalkan
Kampung naga sebagai daerah tujuan wisata mengusulkan warga Kampung Naga
menggunakan suryakanta.

Penggunaan suryakanta ini konon tidak akan


mengikis nilai kultural Kampung Naga. Lain
halnya dengan listrik yang akan mengubah wajah
keaslian Kampung Naga. Untuk itu, wajar bila
warga Kampung Naga menolak listrik di
kampungnya.
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan
yang dihuni oleh sekolompok masyarakat yang
kuat memegang adat istiadat peninggalan
leleuhurnya. Hal ini akan terlihat jelas
perbedaannya bila dibandingkan dengan
masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat
Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang
dikondisikan dalam suasana kebersahajaan dan
lingkungan kearifan tradisional yang lekat.
Kampung eksotis ini berada di wilayah Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat tidak jauh dari
jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan
kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah
yang subur, di sebelah baratnya hutan yang
dikeramatkan karena terdapat makam leluhur
masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan
dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah
utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang
sumber iarnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah
Garut.
Gambar. Arsitektur kampung
Naga dekat alam
Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern, beragama Islam, tetapi masih
kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari
besar Islam misalnya Upacara Bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran
(pembacaan Sejarah Nenek Moyang). Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional
dengan luas areal kurang lebih 4 ha
Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut Tasikmalaya harus
menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda sengked) sampai ketepi sungai Ciwulan
dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui
jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan. Ada sekitar 420 anak tangga di lereng perbukitan itu
(konon pada penghitungan kali lain jumlahnya bisa berubah). Tangga itu mengarah dari sisi
jalan raya ke suatu tempat di Sungai Ciwulan. Desa ini terletak pada sisi bukit dekat sungai.
Kita harus menuruni anak tangga itu sampai di tepian Sungai Ciwulan. Sungai itu.

melintasi Kampung Naga. Dengan


menelusuri jalan di pinggir Sungai Ciwulan
tidak lebih 200 meter, sampailah kita ke
wilayah Kampung Naga yang dikelilingi
pagar bambu.
Gambar pemandangan rumah dikampung
Naga
Di seberang sungai berdiri kokoh hutan
kecil, sebuah bukit yang dipenuhi oleh
pohon-pohon yang tampaknya berumur
sangat tua. Hutan tersebut dinamakan
Leuweung Larangan. Leweung Larangan berada di seberang Sungai Ciwulan, sebelah timur
perkampungan. Di sebelah barat, tepat di belakang perkampungan terdapat Leuweung
Keramat. Perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih empat hektar ini memiliki
kehidupan komunitas yang unik.Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat
modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya.Seperti
berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif
dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai
dengan mandi di Sungai Ciwulan.
Dengan demikian Kampung Naga dibagi dalam
tiga wilayah, yaitu Leuweung Keramat (tempat
nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di
sebelah barat, perkampungan tempat mereka hidup
dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan
Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di
sebelah timur. Posisi perkampungan tidak secara
langsung berhubungan dengan kedua hutan
tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah
Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat
dibatasi oleh tempat masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta
pusaka).

Lokasi
Luas Area
Geografis

Penduduk
Jumlah
Bangunan

Kampung Legok Dage, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu Kabupaten


Tasikmalaya. 26 km arah barat Kota Tasikmalaya
wilayah adat sekitar 4 hektar
wilayah perkampungan sekitar 1.5 hektar
Terletak di antara perbukitan tanah Pasundan yang sejuk. Elevasi sekitar
600m dpl. Topografi area kampung berbukit cukup curam. Kepadatan tanah
relatif stabil, kondisi tanah subur. Curah hujan cukup banyak.
sekitar 800 orang (2005) warga Sanaga (kampung inti).
jumlah rumah di Kampung Naga berjumlah

Dengan kondisi rumah yang kesemuanya menghadap ke sebelah Utara atau ke sebelah
Selatan dengan memanjang ke arah Barat-Timur. Warga mempunyai orientasi arah sehari-hari
yang relatif seragam. Bekerja di kolam atau sawah di bagian bawah atau atas kampung.
Kegiatan pembersihan di Sungai Ciwulan yang mengalir di sepanjang sisi kampung dan
menjadi bagian yang sangat penting dari prosesi hidup warga. Sementara kegiatan prosesi
adat dan keagamaan banyak berorientasi ke Barat arah kiblat sebagai kepatuahan akan ke
Islaman mereka.
Pada dasarnya warga Kampung Naga adalah masyarakat Sunda menetap yang sangat
mencintai bentang alam di lokasi yang mereka yakini sebagai tempat sejati mereka. Seperti
masyarakat Sunda pada umumnya, perangai masyarakat agraris ini sukup lembut, santun, dan
menghargai orang lain.

Upacara Adat masyarakat Kampung Naga yang sering selenggarakan di antaranya:


MENYEPI. Upacara menyepi dilakukan pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu.Upacara ini
sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik pria maupun wanita.Pelaksanaan
upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan
usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat.
Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada
leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan
menimbulkan malapetaka.
HAJAT SASIH. Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik
yang bertempat tinggal di Kampung Naga Dalam maupun di Kampung Naga Luar.Upacara
Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur. Maksud dan tujuan
dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung
Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala nikmat yang telah diberikan kepada seluruh warga. Pemilihan tanggal dan bulan untuk
pelaksanaan upacara Hajat Sasih dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam.
KAWINAN.Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang
dilakukan setelah selesainya akad nikah.Upacara ini dilaksanakan dengan sangat sakral mulai
dari penentuan tanggal baik untuk perayaan sampai dengan resepsi berakhir. Adapun tahaptahap dalam upacara perkawinan tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak

endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan
diakhiri dengan munjungan (sungkeman).
Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan)
dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup
bumbungan.Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu
(bilik).Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap
Utara atau Selatan.Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan
alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.
Rumah yang berada di Kampung Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 108
bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah Masjid, lei (Lumbung Padi) dan patemon
(Balai Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri,
maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung Naga
Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.
Semua peralatan rumah tangga yang digunakan oleh penduduk Kampung Naga pun masih
sangat tradisional dan umumnya terbuat dari bahan anyaman.Dan tidak ada perabotan seperti
meja atau kursi di dalam rumah. Hal ini tidak mencerminkan bahwa Kampung Naga
merupakan kampung yang terbelakang atau tertinggal, akan tetapi mereka memang
membatasi budaya modern yang masuk dan selalu menjaga keutuhan adat tradisional agar
tidak terkontaminasi dengan kebudayaan luar.
Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk
menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi
kebakaran. Pemangku adat pun memandang apabila aliran listrik masuk maka akan terjadi
kesenjangan sosial diantara warganya yang berlomba-lomba membeli alat elektronik dan
dapat menimbulkan iri hati.
Letak daerahnya yang berada pada hamparan tanah yang menyerupai lembah, dicirikan
dengan bentuk bangunannya yang seragam.Atap rumahnya yang berwarna hitam terbuat dari
bahan ijuk, tampak berjejer teratur menghadap utara-selatan, dibatasi Sungai Ciwulan.Tempat
permukiman tersebut tampak seperti diapit dua buah hutan.
Hutan pertama yang terletak di sisi Sungai Ciwulan disebut Leuweung Biuk.Hutan lainnya
yang letaknya pada daerah yang lebih tinggi disebut Leuweung Larangan.Leuweung dalam
bahasa Sunda artinya hutan.Seperti tempat-tempat lainnya yang dinamakan hutan, seluruh
arealnya ditumbuhi tanaman keras yang entah sudah berapa puluh atau ratus tahun umurnya.
Namun, yang membedakan kawasan hutan di daerah itu dengan daerah lainnya di luar
Kampung Naga adalah, keadaan tumbuhan Leuweung Biuk dan apalagi tumbuhan di
Leuweung Larangan tetap terjaga utuh.Kawasan itu tampak hijau dengan berbagai jenis
tumbuhan yang secara sengaja dibiarkan tumbuh secara alami.Terhadap tumbuhan tersebut,

tak seorang pun anggota masyarakat Suku Naga berani merusaknya karena kedua areal hutan
itu dikeramatkan.
LEUWEUNG LARANGAN YANG LUASNYA KURANG LEBIH TIGA HEKTAR,
DIKERAMATKAN KARENA DI SANA DIMAKAMKAN LELUHUR MASYARAKAT
SUKU NAGA, SEMBAH DALEM EYANG SINGAPARANA. Di sebelahnya masih terdapat
tiga makam lainnya, namun tidak diketahui makam siapa.Kunjungan ke makam tersebut
biasanya hanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu, terutama pada saat diselenggarakan
upacara hajat sasih setiap dua bulan sekali.Upacara ritual itu hanya diikuti oleh kaum lakilaki dewasa yang sebelumnya mengikuti ketentuan khusus.Misalnya, sudah melakukan
beberesih, yakni mandi bersama di Sungai Ciwulan.
Upacara itu dipimpin kuncen yang bertindak sebagai kepala pemangku adat.Para peserta
biasanya menggunakan pakaian yang menyerupai jubah warna putih, kepala diikat totopong,
yakni sejenis ikat kepala khas Suku Naga.Selain itu mereka tidak boleh menggunakan alas
kaki, baik berupa sandal apalagi sepatu.Sementara areal hutan lainnya yang disebut
Leuweung Biuk-karena letaknya dekat Saluran Biuk-berada pada kaki bukit curam yang
sekaligus menjadi bibir Sungai Ciwulan.Di areal tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman
keras yang berumur lebih dari 50 tahun lebih.
Berbeda dengan Leuweung Larangan, LEUWEUNG BIUK TERMASUK TABU
DIKUNJUNGI. ANGGOTA MASYARAKATNYA TAK SEORANG PUN YANG BERANI
MENGINJAKKAN KAKINYA KE AREAL HUTAN TERSEBUT. APALAGI, SAMPAI
MENEBANG POHON YANG TUMBUH DI ATASNYA. HAL TERSEBUT KARENA
PAMALI.
Pamali sama artinya dengan tabu. Ketentuan yang tidak tertulis itu merupakan dogma yang
harus dipatuhi tanpa dijelaskan lagi alasan-alasannya, apalagi sampai diperdebatkan.Sesuatu
yang dikatakan pamali merupakan ketentuan dari leluhurnya yang harus dipatuhi. Jika tidak,
mereka akan menanggung akibatnya, baik secara individu maupun kelompok.
Peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman padi
yang mengakibatkan panen gagal atau berkurang produksinya misalnya, dianggap sebagai
peristiwa yang tidak lepas dari HUKUM SEBAB AKIBAT. Karena itu, ketika terjadi
perambahan tanah adat yang kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat
adat Suku Naga sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tanah adat Suku Naga sebenarnya cukup luas yang mencakup wilayah Gunung Sunda,
Gunung Satria, Gunung Panoongan, Gunung Raja, Pasir Halang sampai batas jalan raya yang
menghubungkan Tasikmalaya-Garut. Daerah itu sekaligus merupakan sub Daerah Aliran
Sungai Ciwulan yang harus dijaga kelestariannya.
KEARIFAN LOKAL
Pandangan hidup masyarakat adat Suku Naga yang berkaitan dengan lingkungannya tersebut

sebenarnya mengandung kearifan lokal.Misalnya, hanya dengan PAMALI, MASYARAKAT


ADAT SUKU NAGA MAMPU MENAHAN DIRI, sehingga tidak terjadi perambahan
kawasan hutan.Padahal jika dilihat dari tuntutan kebutuhan dan keterbatasan sumber daya
alam yang dimiliki, desakan tuntutan tersebut jauh lebih kuat dibanding masyarakat
sekitarnya.
Masyarakat adat Suku Naga tabu membangun rumah dengan menggunakan bahan bangunan
industri, kecuali paku. Atap rumahnya terbuat dari ijuk dan dinding-dindingnya terbuat dari
anyaman bambu.Seluruh tiang penyangga menggunakan balok kayu.Bahan-bahan lokal
tersebut berusaha dipenuhi sendiri tanpa harus merusak kawasan hutannya.
Sayang, nilai-nilai lokal yang mengandung kearifan tersebut, dalam masyarakat sekarang ini
kurang diperhatikan lagi.Kegiatan penebangan hutan malah terjadi disekeliling
kampung.Ironisnya, perambahan itu dilakukan bukan oleh masyarakat Suku Naga, melainkan
oleh masyarakat luar yang selama ini menganggap dirinya memiliki latar belakang
pengetahuan lebih maju.Sebaliknya masyarakat adat Suku Naga sendiri tidak seorang pun
yang berani memasuki areal kawasan hutan tersebut.Mereka berusaha menjaga
kelestariannya. Perusakan hutan lindung Gunung Raja dianggap telah melindas nilai-nilai
lokal yang selama ini dianutnya sebab di daerah itu terdapat situs yang memiliki kaitan erat
dengan asal-usul masyarakat adat Suku Naga. Selain itu, kawasan hutan tersebut patut
dipertahankan mengingat salah satu peran pentingnya sebagai sumber air masyarakat adat
Suku Naga.
Masyarakat adat Suku Naga yang menempati wilayah yang disebut Kampung Naga itu,
selama ini diakui memiliki potensi budaya yang besar merupakan bagian tidak terpisahkan
dari budaya Sunda. Mereka hidup mengelompok tanpa mengisolasi diri dengan lingkungan
dan kehidupan daerah sekitarnya, akan tetapi tetap mempertahankan pandangan hidup dan
tradisinya di tengah gelombang modernisasi.
TV dengan gempuran sinetron dan acara gosip, serta fasilitas komunikasi yang canggih,
ditambah kedatangan turis-turis asing dengan kebiasaan berpakaian mereka yang berbeda,
dan kedatangan wisatawan dalam negeri sering kurang ajar dan seenaknya, tidak membuat
mereka berubah.adat tetap jadi yang utama. DA KIEU CARA URANG NAGA MAH
URANG NAGA MENYADARI PERUBAHAN DI SEKITAR MEREKA, TAPI MEMILIH
UNTUK TIDAK BERUBAH.

https://www.academia.edu/3819022/KEARIFAN_LOKAL_MASYARAKAT_HUKUM_AD
AT_KAMPUNG_KUTA_DALAM_MELINDUNGI_DAN_MENGELOLA_LINGKUNGA
N_HIDUPPekerjaan_Dosen
https://id-id.facebook.com/permalink.php?
story_fbid=316600978372225&id=307126962652960

https://sites.google.com/site/wisataairterjun/jawa-barat/curug-cibolang---ciamis
http://travelblog.ticktab.com/2014/08/09/ini-lima-kuliner-khas-tasikmalaya-yang-wajibkamu-cicipi/
http://makananindonesia-top.blogspot.com/2014/01/makanan-khas-tasikmalaya.html
http://geograph88.blogspot.com/2013/07/aneka-kerajinan-khas-tasikmalaya.html
http://nengsrim.blogspot.com/
http://sebandung.com/2014/02/alat-musik-tradisional-sunda/
http://25001223.blogspot.com/
http://blog.kangdede.web.id/alat-musik-tradisional-jawa-barat/
http://www.budayaindonesia.net/2013/12/uapacara-seren-taun-adat-sunda.html
http://indonesia2000.blogspot.com/2012/12/beberapa-upacara-adat-di-jawa-barat.html

Anda mungkin juga menyukai