a. Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
pasal 46 disebutkan bahwa : Setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin. Izin tersebut sebagaimana dimaksud diberikan dalam bentuk SIP. Dalam kasus ini, apoteker yang bersangkutan tidak memiliki izin dalam bentuk SIPA saat menjalankan praktik pelayanan kesehatan di apotek. Oleh karena itu, apoteker yang bersangkutan berstatus ilegal dan telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang dan akan dikenakan sanksi. Adapun apoteker yang bersangkutan ketika mengurus SIPA, harus berhenti bekerja pada salah satu tempat pelayanan kesehatan. Karena menurut UndangUndang Nomor 36 Tahun 2014 pasal 46 ayat 5, SIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat. Berdasarkan kasus ini, apoteker yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran terhadap UU No 36 tahun 2014 pasal 46, oleh karena itu akan diberikan sanksi. Adapun menurut UU No 36 Tahun 2014 pasal 86 ayat 1 disebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah). Sanksi yang diberikan oleh organisasi profesi terhadap apoteker tersebut yaitu memberikan peringatan tertulis, jika dengan peringatan apoteker tersebut tetap melakukan pelanggaran makan diberikan rekomendasi pembekuan dan atau pencabutan STRA, serta apabila pelanggaran sangat berat maka apoteker tersebut berkewajiban untuk mengikuti pendidikan di institusi pendidikan profesi apoteker (Menurut SK Pengurus Pusat IAI No PO.004/PP.IAI/1418/VII/2014 tentang pedoman disiplin apoteker Indonesia) b. Pelanggaran yang dilakukan oleh apoteker yang bersangkutan yaitu pelanggaran terhadap undang-undang Nomor 36 tahun 2014 pasal 46 (Karena apoteker yang bersangkutan melaksanakan praktik pelayanan kesehatan tanpa memiliki izin dan menjalankan praktik pelayanan kesehatan di dua tempat) yang berbunyi : (1) Setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin. (2) Izin tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP. (3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten / kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten / kota tempat tenaga kesehatan menjalankan praktiknya. (4) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tenaga kesehatan harus memiliki : a. STR yang masih berlaku b. Rekomendasi dari organisasi profesi, dan c. Tempat praktik
(5) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing berlaku
hanya untuk 1 (satu) tempat (6) SIP masih berlaku sepanjang : a. STR masih berlaku b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri. Selain itu, peraturan tentang perizinan tersebut juga tercantum dalam permenkes Nomor 889 Tahun 2011 Pasal 17 (1) Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja (2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. SIPA bagi apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian b. SIPA bagi apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian c. SIKA bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran; atau d. SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian Selain itu, peraturan tentang perizinan tersebut juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 52 yang berbunyi : (1) Setiap tenaga kefarmasian yang melaksanakan pekerjaan kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat ijin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja (2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. SIPA bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit b. SIPA bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker pendamping c. SIK bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas kefarmasian di luar apotek dan instalasi farmasi rumah sakit atau d. SIK bagi tenaga teknik kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian c. Sampai saat ini apoteker tersebut tidak memiliki surat ijin (SIPA). Ketika apoteker tsb akan mengurus SIPA di solo, maka apoteker tersebut harus menjadi anggota dari PC IAI Solo sehingga dapat memiliki rekomendasi dari PC IAI Solo untuk mengurus SIPA. Apoteker tersebut terlebih dahulu harus mengurus lolos butuh ke PC IAI Surakarta kemudian ke PC IAI Solo sehingga dengan demikian apoteker tsb resmi menjadi anggota PC IAI Solo. Adapun setelah apoteker tersebut memperoleh rekomendasi dari PCI IAI Solo untuk pengurusan SIPA apoteker tersebut harus memiliki STRA dan sertifikat kompetensi yang masih berlaku, sedangkan dalam kasus ini STRA apoteker yang bersangkutan berlaku sampai Februari 2017 tetapi
sertifikat kompetensi yang dimilikinya hanya berlaku sampai Juni 2013.
Menurut Permenkes 889 pasal 20, SIPA masih berlaku selama STRA dan Sertifikat Kompetensi masih berlaku. Oleh karena itu, agar apoteker yang bersangkutan dapat mengurus SIPA, ia harus memperbarui sertifikat kompetensinya melalui ujian kompetensi kemudian mengurus STRA dan mengurus SIPA. Dalam hal ini, rekomendasi yang diberikan setelah apoteker menjadi anggota PC IAI Solo hanya dapat digunakan untuk mengurus SIPA di Solo. SIPA hanya berlaku untuk satu tempat sehingga apoteker tersebut tidak bisa mengurus SIPA di Solo sekaligus di Purwokerto. Apoteker tersebut harus memilih salah satu tempat. Sedangkan, apabila apoteker tersebut ingin pindah dan mengurus SIPA di purwokerto dan karena ia bukan merupakan anggota dari PC IAI Purwokerto, maka terlebih dahulu apoteker tersebut terlebih dahulu harus menjadi anggota dari PC IAI Purwokerto. Karena Solo dan Purwokerto masih sama-sama merupakan daerah yang ada di provinsi Jawa Tengah, maka apoteker tersebut terlebih dahulu harus mengurus rekomendasi dari PC IAI Solo kemudian mengurus lolos butuh ke PD IAI Solo setelah itu ke PD IAI Purwokerto dilanjutkan ke PC IAI Purwokerto dan menjadi anggota PC IAI Purwokerto. d. Kode Etik dan sumpah yang dilanggar oleh apoteker tersebut yaitu Sumpah ke 4 yang berbunyi Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaikbaiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. Dalam hal ini apoteker tersebut telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang apoteker tanpa ijin praktik dan hal tersebut tidak sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian seperti yang telah tercantum dalam undang-undang. Sanksi yang diberikan oleh organisasi profesi terhadap apoteker tersebut yaitu memberikan peringatan tertulis, jika dengan peringatan apoteker tersebut tetap melakukan pelanggaran makan diberikan rekomendasi pembekuan dan atau pencabutan STRA, serta apabila pelanggaran sangat berat maka apoteker tersebut berkewajiban untuk mengikuti pendidikan di institusi pendidikan profesi apoteker (Menurut SK Pengurus Pusat IAI No PO.004/PP.IAI/1418/VII/2014 tentang pedoman disiplin apoteker Indonesia) 2. a) Ya, pasien dapat disebut sebagai konsumen dan pemberi pelayanan kesehatan (apoteker) dapat disebut sebagai pelaku usaha. Karena menurut UU RI No. 8 TAHUN 1999 Tentang PERLINDUNGAN KONSUMEN, yang dimaksud dengan konsumen adalah adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yg tersedia dlm masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam hal ini, pasien sebagai seorang konsumen yang memakai produk yang berupa jasa yang diberikan oleh apoteker sebagai pelaku usaha. b) Penerapan hak-hak konsumen dalam pelayanan kefarmasian, meliputi :
Konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengkomsumsi barang dan/atau jasa Dalam hal ini, pasien berhak untuk memperoleh suatu kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi obat yang diberikan sebagai suatu terapi pengobatan. Kenyamanan, keamanan dan keselamatan tersebut dapat dilihat dari ada atau tidaknya efek samping maupun reaksi obat yang merugikan yang timbul yang harus diketahui oleh pasien berdasarkan pelayanan konseling yang diberikan oleh apoteker - Konsumen berhak utuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Dalam hal ini, pasien berhak untuk memilih jenis obat yang akan ia gunakan misalnya berhak untuk memilih obat generik dibandingkan obat paten demikian pula sebaliknya, dan tentunya hal tersebut berdasarkan pertimbangannya semula setelah mendengar informasi yang disampaikan oleh apoteker terkait jenis obat tersebut - Konsumen berhak atas hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Dalam hal ini, pasien berhak untuk memperoleh informasi mengenai obat sejelas-jelasnya dari apoteker. Baik itu efek samping, indikasi, kontra indikasi, interaksi obat serta harga dari obat tersebut. - Konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yg digunakan; Dalam hal ini pasien berhak untuk memberikan pendapat serta menyampaikan keluhan maupun masalah yang dialaminya setelah menggunakan obat dari apoteker. c) Asas manfaat, Perlindungan konsumen bermanfaaat semaksimal bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Contoh : Berdasarkan pada asas manfaat, maka apoteker diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengobatan sejelas-jelasnya sehingga pasien dapat menjalani pengobatan dengan maksimal serta apoteker dapat menjalankan usaha apoteknya secara keseluruhan dengan maksimal pula. Asas keadilan, Memberikan kesempatan kpd konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Contoh : Berdasarkan asas keadilan, maka diharapkan agar pasien sebagai konsumen pamakai jasa dapat memperoleh hak serta menjalankan kewajibannya sebagai seorang konsumen demikian pula apoteker dapat memperoleh hak serta tak lupa memberikan kewajibannya sebagai seorang yang bertanggung jawab penuh pada pengobatan pasien. Asas keseimbangan, Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spirituil. Contoh : Berdasarkan asas keseimbangan, maka antara kepentingan pasien sebagai pengguna jasa apoteker, apoteker sebagai pelaku usaha dan pemerintah dapat seimbang yakni tidak ada tumpang tindih atau berat
sebelah antara hak maupun kewajiban diantara pasien, apoteker maupun
pemerintah Asas keamanan dan keselamatan, Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kpd konsumen dlm penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yg dikomsumsi atau digunakan. Contoh : Berdasarkan asas keamanan, maka apoteker sebagai seorang pelaku usaha yang memberikan penawaran berupa jasa harus bisa menjamin bahwa obat yang diberikan dalam terapi pasien harus aman serta dapat memberikan keselamatan pasien selama pasien menggunakan obat tersebut. Asas kepastian hukum, agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Contoh : Berdasarkan asas kepastian hukum, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pelayan kesehatan oleh apoteker (misalnya standar pelayanan kefarmasian di apotek) yang diberikan kepada pasien harus berdasarkan hukum dan semua pihak yang terlibat baik itu pasien maupun apoteker harus menaati peraturan hukum yang berlaku sehingga negara dapat menjamin keadilan hukum atas piak-pihak tersebut.
d) Pasien mempunyai hak ;
1. Menerima/menolak sebagian/seluruh tindakan yg akan diberikan setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan secara lengkap, tidak berlaku pada pasien : a. yg penyakitnya dpt scr cepat menular lebih luas; b. tidak sadarkan diri; c. gangguan mental berat. 2. Atas rahasia kondisi kesehatannya, hak tidak berlaku dalam hal: a. Perintah undang-undang; b. perintah pengadilan; c. izin yang bersangkutan; d. kepentingan masyarakat; e. kepentingan orang tersebut. 3. Menuntut ganti rugi akibat kesalahan/kelalaian yg diterimanya, tidak berlaku dalam a. penyelamatan nyawa b. pencegahan kecacatan c. keadaan darurat. d. Atas second opinion dan informasi lain 3. a) Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perikatan / perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi unsur-unsur berikut : - Sepakat yang mengikatkan dirinya Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan - Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,
jika ia oleh Undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Suatu hal tertentu Hanya barang-barang yg dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu dikemudian dapat ditentukan atau dihitung. Suatu sebab yang halal Suatu perjanjian tanpa sebab,atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan dan Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah
b) Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana salah satu pihak yang
melakukan perjanjian tidak menepati perjanjian. Apabila terjadi wanpretasi maka menurut Pasal 1276 KUHPerdata, solusi yang dapat dilakukan dalam menghadapi pihak yang melakukan wanprestasi ada 5 kemungkinan yaitu : - Memenuhi / melaksanakan perjanjian - Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi - Membayar ganti rugi - Membatalkan perjanjian dan - Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi Sedangkan hukuman yang dapat diberikan kepada pihak yang telah melakukan wanpretasi yaitu :
- Membayar kerugian yang diderita oleh pihak yang lain
- Pembatalan Perjanjian - Peralihan resiko - Membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan di depan hakim c) Apoteker yang bekerja di apotek waralaba dan dianggap sebagai pekerja seperti buruh bukan profesi sangat jelas bertentangan dengan kepmenkes 1332 tahun 2002 tentang tata cara perijinan apotek, dalam hal ini apotek yang didirikan berdasarkan kerjasama antara apoteker dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yg bersangkutan. Maka dengan demikian, seorang apoteker harus tetap berpegang teguh pada kode etik dan sumpah profesinya untuk menjalankan praktek sesuai dengan martabat dan budi luhur profesi, apoteker harus menunjukkan bahwa tugasnya di apotek adalah sebagai penanggung jawab apotek bukan hanya sebagai buruh yang seenaknya saja diatur oleh pemilik apotek waralaba. d) Apoteker pendamping Pengertian Apoteker Pendamping (menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993)
Menurut Pasal 1 ayat e, apoteker pendamping adalah apoteker yang
bekerja di apotek di samping Apoteker Pengelola Apotek dan/atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Kewajiban Apoteker pendamping (menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993) - Menurut Pasal 21, Apoteker pendamping yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas menggantikan Apoteker Pengelola Apotek - Karena apoteker pendamping merupakan seorang apoteker, maka kewajiban seorang profesi apoteker juga merupakan kewajiban seorang apoteker pendamping, yang meliputi a. Menurut pasal 12 ayat 1, apoteker berkewajiban untuk menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin b. Menurut pasal 15 ayat 1, apoteker wajib untuk melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat c. Menurut pasal 15 ayat 4, apoteker wajib memberikan informasi : - Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien - Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. Hak Apoteker Pendamping (Menurut PP 51 Tahun 2009) - Menurut pasal 54 ayat 2, Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat 2 huruf b dapat melaksanakan praktek kefarmasian di 3 (tiga) tempat.